Anda di halaman 1dari 63

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
SEPTEMBER 2018
UNIVERSITAS PATTIMURA

G2P1A0 ATERM + KALA II + KPD + IUFD

Disusun oleh:
Ikram Syah Maulana
(2017-84-047)

PEMBIMBING
dr. Merlyn M Mailisa, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIKOBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2018

1
BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. Rm
TTL : 21- 05- 1980
Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Ureng
Pekerjaan : IRT
Status pernikahan : Menikah
No.RM : 13 33 29
Ruangan : Nifas
Tanggal MRS : 27 Juli 2018 pukul 18.10 WIT

B. Anamnesis
 Keluhan utama : Nyeri perut bagian bawah
 Anamnesis terpimpin :
Pasien G2P1A0 aterm datang dengan keluhan nyeri perut bagian bawah yang
terjadi sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasen sebelum ke rumah sakit
pasien sudah ditolong oleh seorang dukun untuk melakukan proses melahirkan
sejak I hari sebelum ke rumah sakit. Akan tetapi pasien tidak bisa melhirkan
anaknya sehingga dibawa ke rumah sakit.
Riwayat penyakit dahulu:
- Tidak ada
 Riwayat pengobatan:
- Tidak ada

2
 Riwayat keluarga:
Tidak ada keluarga yang mempunyai keluhan yang sama.
 Riwayat menstruasi :
Siklus menstruasi pasien teratur (28-30 hari) dengan durasi menstruasi 1 minggu.
Pasien mengaku tidak pernah mengalami menstruasi di luar siklus. Nyeri haid
yang dialami tidak berlebihan.
 Riwayat ginekologi :
Pasien mengaku tidak memiliki masalah ginekologi
 Riwayat obstetri :
Pasien suda hamil 2 kali. Anak pertama pasien meninggal sesaat melahirkan,
proses melahirkan anak pertama normal.
 Riwayat kontrasepsi :
- Tida perna menggunakan kontrasepsi.
 Riwayat kebiasaan :
Pasien mengaku tidak pernah merokok dan minum minuman beralkohol.
C. Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan umum
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
 Tanda vital
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 127x/menit
Pernapasan : 36x/menit
Suhu : 37,3ºC
 Pemeriksaan fisik
Kepala : Normochepal
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Telinga : Otorea -/-

3
Hidung : Rhinorea -/-
Leher : Pembesaran KGB leher (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Kelenjar getah bening : Pembersaran (- )
Dada : Normochest
Paru : Bunyi pernapasan : vesikuler kiri = kanan
Bunyi tambahan : Ronki basah halus -/-, Wheezing - / -
Jantung : BJ I/II murni, reguler,
Perut : (pada pemeriksaan ginekologis)
Hati : Pembesaran (-)
Ginjal : Ballotement (-)
Limpa : Pembesaran (-)
Alat genital : (pada pemeriksaan ginekologis)
Ekstremitas : Dalam batas normal
Refleks : Dalam batas normal
Kulit : Dalam batas normal
Gigi dan mulut : Dalam batas normal
Saraf otak : Dalam batas normal.

Pemeriksaan Ginekologi (dilakukan tanggal 23 Juli 2018)


 Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : perut tampak besar dan Tegang,
- Palpasi : nyeri tekan (+) pada perut, TFU 34 cm , defans muscular (+).
- Auskultasi : BU (+) kesan normal
 Inspekulo: tidak dilakukan
 Pemeriksaan genital
Vulva/uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal,

4
Pemeriksaan Obstetri (dilakukan tanggal 23 juli 2018)
 Leopold 1 : TFU 34 cm, teraba bokong, konsistensi lunak
 Leopold 2 : punggung sebelah kanan, ekremitas sebelah kiri, DJJ tidak terdengar
pada punggung kanan.
 Leopold 3 : presentasi kepala
 Leopold 4 : kepala sudah masuk ke PAP
 HIS (+)
 Inspekulo : tidak dilakukan
 VT : : Pembukaan Lengkal, Hodge II, Caput (+), His (+).

Pemeriksaan penunjang
Pada tanggal 23 Juli 2018, telah dilakukan pemeriksaan darah terhadap pasien,
hasil pemeriksaan tersebut antara lain :
 Hemoglobin : 9,0 g/dl
 Leukosit : 26,1 103/mm3
 Trombosit : 313 103/mm3

D. Diagnosis
G2P1A0 aterm + kala II + KPD + IUFD

E. Tatalaksana
 Rencana SC
 Informed concent keluarga
 IVFD RL 20 tpm
 Ceftriaxom 2 x 1 gram / IV
 Drip metronidazole 3x1 vial
 Injeksi ranitidine
 Berikan O2 2tpm

5
 Konsul anastesi
Laporan operasi:
a. Diagnosis pre operasi : G2P1A0 aterm + kala II + KPD + IUFD
b. Diagnosis post operasi : rupture uteri imenens + kala II lama + infeksi intrapartum
+ IUFD + partus aterm
c. Tindakan operasi : Laporan operasi :
 Prosedur operasi rutin
 Insisi secara pfannsteil 1 jari di atas SOP, panjang ± 10 cm
 Insisi diperdalam lapis demi lapis sampai dengan peritoneum parietale, dibuka
 Ekspolasi dan identifikasi : tampak rupture tuba kanan
 Dilakukan salphingectomi dextra dan tubektomi
 Control perdarahan
 Cuci cavum peritoneum dengan NaCL
 Tutup dinding abdomen lapis demi lapis
 Operasi selesai, perdarahan selama operasi ± 50 cc
 KU ibu post operasi baik.

Instruksi post op:


a. Awasi KU dan tanda – tanda vital, head up 30º
b. Bedrest 24 jam post operasi, boleh miring kiri-kanan
c. Medikamentosa :
 IVFD RL 500 cc + oksitosin 20 IU 28 tpm , selama 24 jam post OP
 Ceftriaxon 1gr/12 jam/iv/skin test dulu
 Metronidazole 0,5gr/12 jam/iv
 Transamin 250mg/12 jam/iv
 Ketorolac 30 mg/8 jam/iv
 Takar urin 24 jam  warna coklat

6
 Cek dara 2 jam pos OP

F. Follow-up
Tanggal Perjalanan Penyakit Terapi
28/7/2018 S : nyeri pada luka operasi (+) P:
TD = O:  IVFD RL: D5 % = 2:1  28
140/90  KU = Baik, CM tpm
mmHg  Mata = Ca-/-, Si-/-  Cravit 2x500mg
N =  Abd = supel, NT (+) pda  Tricodazole 3x500mg
80x/m tempat operasi, luka operasi  Natrium diklofenat 3 x 50 g
P = baik, TFU 1 jari dibawah  Neurobion 1x1
20x/m pusat, BU (+) kesan normal.  Jika demam drip PCT
S = 36,5 ͦ  BAK : kurang 500mg/8 jam
C  BAB: sudah
A : Post SC hari ke 5 + kala II
lama+ infeksi intrapartum +
IUFD `
31/7/2018 S : nyeri pada luka operasi P :
TD = sudah berkurang  IVFD RL 28 tpm
120/90 O:  Inj meropenem 1 gr/8 jam
mmHg  KU = Baik, CM  Drip Metronidazole 0,5g/8
N =  Mata = Ca-/-, Si-/- jam
80x/m  Abd = supel, NT (+) pda  Sporetik 2 x 200 mg
P = tempat operasi, luka operasi  Drip albumin 1 botol/ hari
20x/m baik, TFU 1 jari dibawah  Puasa 8 jam
S = 36,5 ͦ pusat, BU (+) kesan normal.  Konsul anastesi
C  BAK : kurang
 Cek darah rutin dan kimia

7
 BAB: sudah dan tes rapid HIV
A : Post SC hari ke 8 + kala II
lama+ infeksi intrapartum +
IUFD `
Dehisensi luka
01/8/2018 S : nyeri pada luka operasi P :
TD = sudah berkurang  IVFD RL : D 5% = 2 : 1 
130/70 O: 28 tpm
mmHg  KU = Baik, CM  Inj meropenem 1 gr/8 jam
N =  Mata = Ca-/-, Si-/-  Drip Metronidazole 0,5g/8
80x/m  Abd = supel, NT (+) pda jam
P = tempat operasi, luka operasi  Inj ketorolac 1 gr / 8 jam
20x/m baik, TFU 1 jari dibawah  Inj ranitidine 1 gr / 8 jam
S = 36,5 ͦ pusat, BU (+) kesan normal.  Drips cernevit / 24 jam
C  BAK : 27,78 cc/jam  Drip albumin 1 botol/ hari
 BAB: encer
 Hasil LAB pada tanggal
1/8/2018 : hb: 7,0 106/mm3,
leukosit : 24,3 103/mm3,
albumin : 1,9 mg/dl
A : Post SC hari ke 10
02/8/2018 S : nyeri pada luka operasi P :
TD = sudah berkurang  IVFD RL : D 5% = 2 : 1 
120/70 O: 28 tpm
mmHg  KU = Baik, CM  Inj meropenem 1 gr/8 jam
N =  Mata = Ca-/-, Si-/-  Drip Metronidazole 0,5g/8
80x/m  Abd = supel, NT (+) pda jam
P = tempat operasi, luka operasi  Inj ketorolac 1 gr / 8 jam

8
20x/m baik, TFU 1 jari dibawah  Inj ranitidine 1 gr / 8 jam
S = 36,5 ͦ pusat, BU (+) kesan normal.  Drips cernevit / 24 jam
C  BAK : 27,78 cc/jam  Drip albumin 1 botol/ hari
 BAB: encer
 Hasil LAB pada tanggal
1/8/2018 : hb: 11,3 106/mm3,
leukosit : 15,7 103/mm3,
albumin : 2,3 mg/dl
A : Post SC hari ke 11 + post
rehecting hari ke 1
06/8/2018 S : nyeri pada luka operasi P :
TD = sudah berkurang  IVFD RL 20 tpm
110/70 O:  Sporetik 2 x 200 mg
mmHg  KU = Baik, CM  Metronidazole 3 x 500 mg
N =  Mata = Ca-/-, Si-/-  Vib albumin 3 x 2
80x/m  Abd = supel, NT (+) pda
P = tempat operasi, luka operasi
20x/m baik, TFU 1 jari dibawah
S = 36,9 ͦ pusat, BU (+) kesan normal.
C A : Post SC hari ke 14 + post
rehecting hari ke 4

9
G. RESUME MEDIS
Pasien G2P1A0 aterm datang dengan keluhan nyeri perut bagian bawah yang
terjadi sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasen sebelum ke rumah sakit pasien
sudah ditolong oleh seorang dukun untuk melakukan proses melahirkan sejak I hari
sebelum ke rumah sakit. Akan tetapi pasien tidak bisa melhirkan anaknya sehingga
dibawa ke rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan darah: 120/90 mmHg, Nadi:
127x/menit, Pernapasan: 36x/menit dan Suhu: 37,3ºC. pada pemeriksaan obstetric
didadatkan : Leopold 1: TFU 34 cm, teraba bokong, konsistensi lunak, Leopold 2 :
pusnggung sebelah kanan, ekremitas sebelah kiri, DJJ tidak terdengar pada punggung
kanan, Leopold 3 : presentasi kepala, Leopold 4 : 5kepala sudah masuk ke PAP , HIS
(+), Inspekulo : tidak dilakukan, VT : Pembukaan Lengkal, Hodge II, Caput (+), His
(+), dan djj tidak terdengar. Diagnosis G2P1A0 aterm + kala II + KPD + IUFD.
Rencana tindakan yang akan dilakukan adalah laparatomi eksplorasi.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

IUFD (Intra Uterine Fetal Death)

A. Pengertian IUFD
Menurut WHO dan The American College of Obstetricians and Gynecologists
yang disebut kematian janin adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan
500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau
lebih. Kematian janin merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat
janin, atau infeksi (Winkjosastro, 2009). Kematian janin merupakan hasil akhir dari
gangguan pertumbuhan janin, atau akibat infeksi yang tidak terdiagnosis sebelumnya
sehingga tidak diobati (Saifuddin,2008).

B. Etiologi IUFD
Menurut Norwitz (2008), penyebab kematian janin dalam rahim yaitu :

 50 % kematian janin bersifat idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).


 Kondisi medis ibu (hipertensi, pre-eklamsi, diabetes mellitus) berhubungan
dengan peningkatan insidensi kematian janin. Deteksi dini dan tata laksana
yang yang sesuai akan mengurangai risiko IUFD.
 Komplikasi plasenta (plasenta previa, abruption plasenta) dapat menyebabkan
kematian janin. Peristiwa yang tidak diinginkan akibat tali pusat sulit
diramalkan, tetapi sebagian besar sering ditemukan pada kehamilan kembar
monokorionik/monoamniotik sebelum usia gestasi 32 minggu.
 Penentuan kariotipe janin harus dipertimbangkan dalam semua kasus
kematian janin untuk mengidentifikasi abnormalitas kromosom, khususnya
dalam kasus ditemukannya abnormalitas struktural janin. Keberhasilan

11
analisis sitogenetik menurun pada saat periode laten meningkat. Kadang-
kadang, amniosentesis dilakukan untuk mengambil amniosit hidup untuk
keperluan analisis sitogenetik.
 Perdarahan janin-ibu (aliran sel darah merah transplasental dari janin menuju
ibu) dapat menyebabkan kematian janin. Kondisi ini terjadi pada semua
kehamilan, tetapi biasanya dengan jumlah minimal (<0,1 mL). Pada kondisi
yang jarang, perdarahan janin-ibu mungkin bersifat masif. Uji Kleuhauer-
Betke (elusi asam) memungkinkan perhitungan estimasi volume darah janin
dalam sirkulasi ibu.
 Sindrom antibodi antifosfolipid. Diagnosis ini memerlukan pengaturan klinis
yang benar (>3 kehilangan pada trimester pertama >1) kehilangan kehamilan
trimester kedua dengan penyebab yang tidak dapat dijelaskan, peristiwa
tromboembolik vena yang tidak dapat dijelaskan.
 Infeksi intra-amnion yang mengakibatkan kematian janin biasanya jelas
terlihat pada pemeriksaan klinis. Kultur pemeriksaan histology terhadap janin,
plasenta/selaput janin, dan tali pusat akan membantu.

C. Predisposisi IUFD
Menurut Winkjosastro (2009), Pada 25-60% kasus penyebab kematian janin
tidak jelas. Kematian janin dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal, atau kelainan
patologik plasenta.

 Factor maternal antara lain adalah post term(>42 minggu), diabetes mellitus
tidak terkontrol, sistemik lupus eritematosus, infeksi hipertensi, pre-eklamsia,
eklamsia, hemoglobinopati, umur ibu tua, penyakit rhesus, rupture uteri,
antifosfolipid sindrom, hipotensi akut ibu, kematian ibu.
 Factor fetal antara lain: hamil kembar, hamil tumbuh terlambat, kelainan
congenital, kelainan genetic, infeksi.

12
 Factor plasenta antara lain: kelainan tali pusat, lepasnya plasenta, KPD, vasa
previa.
 Sedangkan factor resiko terjadinya kematian janin intra uterine meningkat
pada usia >40 tahun, pada ibu infertil, kemokonsentrasi pada ibu, riwayat bayi
dengan berat badan lahir rendah, infeksi ibu (ureplasma urelitikum),
kegemukan, ayah berusia lanjut.

D. Manifestasi Klinis IUFD


Menurut Achadiat(2004), criteria diagnostic kematian janin dalam rahim meliputi:

1. Rahim yang hamil tersebut tidak bertambah besar lagi, bahkan semakin
mengecil.
2. Tidak lagi dirasakan gerakan janin.
3. Tidak ditemukan bunyi jantung janin pada pemeriksaan.
4. Bentuk uterus menjadi tidak tegas sebagaimana suatu kehamilan normal.
5. Bila kematian itu telah berlangsung lama, dapat dirasakan krepitasi, yakni
akibat penimbunan gas dalam tubuh.

E. Penegakan Diagnosis
 Anamnesis
1. Ibu tidak merasakan gerakan jnin dalam beberapa hari atau gerakan janin
sangat berkurang.
2. Ibu merasakan perutnya bertambah besar, bahkan bertambah kecil atau
kehamilan tidak seperti biasanya.
3. Ibu belakangan ini merasa perutnya sering menjadi keras dan merasakan
sakit seperti mau melahirkan.
4. Penurunan berat badan.
5. Perubahan pada payudara atau nafsu makan

13
 Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Penurunan atau terhentinya peningkatan bobot berat badan ibu.
Terhentinya perubahan payudara
2. Palpasi
Tinggi fundus uteri lebih rendah dari usia kehamilan. Tidak teraba
gerakan- gerakan janin. Dengan palpasi yang teliti dapat dirasakan adanya
krepitasi pada tulang kepala janin.
3. Auskultasi
Baik memakai stetoskop monoral maupun dopler tidak terdengar denyut
jantung janin.
 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Reaksi biologis negative setelah 10 hari janin mati. hipofibrinogenemia
setelah 4-5 minggu janin mati.
 Pemeriksaan Radiologi
1. USG: Gerak anak tidak ada, Denyut jantung anak tidak ada, Tampak
bekuan darah pada ruang jantung janin
2. X-Ray: Spalding’s sign (+) : tulang-tulang tengkorak janin saling tumpah
tindih, pencairan otak dapat menyebabkan overlapping tulang tengkorak.
Nanjouk’s sign (+) : tulang punggung janin sangat melengkung. Robert’s
sign (+) : tampak gelembung-gelembung gas pada pembuluh darah besar.
Tanda ini ditemui setelah janin mati paling kurang 12 jam. Adanya
akumulasi gas dalam jantung dan pembuluh darah besar janin.
F. Menetapkan Kematian Janin dalam Rahim
Menurut Nugroho (2012), menetapkan janin dalam rahim meliputi :

1. Pemeriksaan terhadap detak jantung (dengan menggunakan stetoskop


laeneck, alat dopler).

14
2. Pemeriksaan terhadap tidak adanya gerak jantung, tulang kepala janin
berhimpit, tulang belakang makin melengkung (dengan menggunakan USG).
3. Pemeriksaan terhadap tulang kepala berhimpit, tulang belakang melengkung,
dalam usus janin dijumpai pembentukkan gas (dengan foto rontgen).

G. Batasan Kematian Janin


Menurut WHO dalam Nugroho (2012) : kematian yang terjadi pada janin dengan
berat badan lahir lebih dari 1000 gram. Menurut Prawiroharjo dalam Nugroho (2012)
: kematian janin dibagi dalam 4 golongan :

 Kelompok I : kematian janin sebelum kehamilan 20 minggu.


 Kelompok II : kematian janin pada umur kehamilan 20-28 minggu.
 Kelompok III: kematian janin pada umur kehamilan lebih dari 28 minggu.
 Kelompok IV : kematian janin yang tidak termasuk tiga golongan di atas
 Menurut U.S National Center dalam Nugroho (2012): Kematian janin pada
umur kehamilan lebih dari 20 minggu.
 Menurut FIGO dalam Nugroho (2012): Kelahiran bayi termasuk dengan BBL
>500 gram atau lebih sesuai umur kehamilan >22 minggu.

H. Diagnosis IUFD
Menurut Norwitz (2008), diagnosis kematian janin dalam rahim meliputi :

 Gejala jika kematian janin terjadi terjadi di awal kehamilan, mungkin tidak
akan ditemukan gejala kecuali berhentinya gejala-gejala kehamilan yang biasa
dialami (mual, sering berkemih, kepekaan pada payudara). Di usia kehamilan
selanjutnya, kematian janin harus dicurigai jika janin tidak bergerak dalam
jangka waktu yang cukup lama.

15
 Tanda-tanda ketidakmampuan mengidentifikasi denyut jantung janin pada
kunjungan ANC (antenatal care) setelah usia gestasi 12 minggu atau tidak
adanya pertumbuhan uterus dapat menjadi dasar diagnosis.
 Pada pemeriksaan laboratorium terjadi penurunan kadar gonadotropin
korionik manusia (Human Chorionic Gonadotropin atau HCH) mungkin dapat
membantu diagnosis dini selama kehamilan.
 Pada pemeriksaan radiologis. Secara historis, foto rontgen abdominal
digunakan untuk mengkonfirmasi IUFD. Tiga temuan sinar X yang dapat
menunjukkan adanya kematian janin meliputi penumpukan tulang tengkorak
janin (tanda spalding), tulang punggung janin melengkung secara berlebihan
dan adanya gas didalam janin. Meskipun demikian, foto rontgen sudah tidak
digunakan lagi. USG saat ini merupakan baku emas untuk mengkonfirmasi
IUFD dengan mendokumentasikan tidak adanya aktifitas jantung janin setelah
usia gestasi 6 minggu. Temuan sonografi lain mencakup edema kulit kepala
dan maserasi janin.

I. Patofisiologi IUFD
Menurut Sastrowinata (2005), kematian janin dalam pada kehamilan yang
telah lanjut, maka akan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut :

 Rigor mortis (tegang mati) berlangsung 2,5 jam setelah mati kemudian lemas
kembali.
 Stadium maserasi I : timbulnya lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh ini mula-mula
terisi cairan jernih, tetapi kemudian menjadi merah coklat.
 Stadium maserasi II : timbul lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban
menjadi merah coklat. Terjadi 48 jam setelah anak mati.

16
 Stadium maserasi III : terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan
janin sangat lemas dan hubungan antara tulang-tulang sangat longgar edema
di bawah kulit.

J. Komplikasi IUFD
Menurut Norwitz (2008), sekitar 20-25% dari ibu yang mempertahankan janin
yang telah mati selama lebih dari 3 minggu maka akan mengalami koagulopati
intravaskuler diseminata (Disseminated Intravascular Coagulopathy atau DIC) akibat
adanya konsumsi faktor-faktor pembekuan darah secara berlebihan.

K. Pengelolaan IUFD
Menurut Nugroho (2012), Janin yang mati dalam rahim sebaiknya segera dikeluarkan
secara:

1. Lahir spontan: 75% akan lahir spontan dalam 2 minggu.


2. Persalinan anjuran :
a. Dilatasi serviks dengan batang laminaria.
Setelah dipasang 12-24 jam kemudian dilepas dan dilanjutkan dengan
infus oksitosin sampai terjadi pengeluaran janin dan plasenta.
b. Dilatasi serviks dengan kateter folley.
 Untuk umur kehamilan > 24 minggu.
 Kateter folley no 18, dimasukan dalam kanalis sevikalis diluar
kantong amnion.
 Diisi 50 ml aquades steril.
 Ujung kateter diikat dengan tali, kemudian lewat katrol, ujung tali
diberi beban sebesar 500 gram.

17
 Dilanjutkan infus oksitosin 10 u dalam dekstrose 5 % 500 ml, mulai
8 tetes/menit dinaikkan 4 tetes tiap 30 menit sampai his adekuat.
c. Infus oksitosin
 Keberhasilan sangat tergantung dengan kematangan serviks,
dinilai dengan Bishop Score, bila nilai = 5 akan lebih berhasil.
 Dipakai oksitosin 5-10 u dalam dekstrose 5 % 500 ml mulai 8
tetes / menit dinaikan 4 tetes tiap 15 sampaihis adekuat.
d. Induksi prostaglandin
Dosis :
 Pg-E 2 diberikan dalam bentuk suppositoria 20 mg, diulang 4-
5 jam.
 Pg-E 2 diberikan dalam bentuk suntikan im 400 mg. Pg-E 2,5
mg/ml dalam larutan NaCL 0.9 %, dimulai 0,625 mg/ml
dalam infus.
Kontra Indikasi: asma, alergi dan penyakit kardiovaskuler.

L. Pencegahan IUFD

Menurut Winkjosastro (2009), Upaya mencegah kematian janin, khususnya


yang sudah atau mendekati aterm adalah bila ibu merasa gerakan janin menurun,
tidak bergerak atau gerakan janin terlalu keras, perlu dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi. Perhatikan adanya solusio plasenta. Pada gemeli dengan TT (twin to
twin transfusion) pencegahan dilakukan dengan koagulasi pembuluh anastomosis.

18
Bagan: pathway IUFD
Sumber : Norwitz (2008), Nugroho (2012), dan Winkjosastro (2009).

19
KETUBAN PECAH DINI

A. Defenisi
Ketuban pecah dini memiliki bermacam-macam batasan, teori dan
definisi.Beberapa penulis mendefinisikan ketuban pecah dini atauPrematureRupture
of the Membranes(PROM) adalah keadaan pecahnyaselaput ketubansebelum proses
persalinan, ada juga yang menyatakan Ketuban Pecah Dini (KPD) ialah pecahnya
selaput ketuban secara spontan pada saat belum inpartu, biladiikuti satu jam
kemudian tidak timbul tanda-tanda awal persalinan.Penggunaan istilah Premature
Rupture of the Membranes(PROM) pada beberapa literature sedikit membingungkan.
Istilah ini cukup tepat jika digunakan pada pasien yangusia kehamilannya diatas 37
minggu atau aterm, datang dengan ketuban yangpecah spontan, dan tanpa tanda-tanda
persalinan. Sedangkan Preterm PrematureRupture of the Membranes(PPROM)
adalah pecahnya ketuban pada pasiendengan usia kehamilan kurang dari 37
minggu.Pendapat lain menyatakan dalamukuran pembukaan servik pada kala I, yaitu
bilaketuban pecah sebelumpembukaan padaprimigravida kurang dari 3 cm danpada
multigravida kurang dari5 cm. Dalam keadaan normal selaput ketuban pecah dalam
prosespersalinan1,6.

B. Epidemiologi
Dalam keadaan normal 8-10 % perempuan hamil aterm akan mengalami
ketuban pecah dini. KPD preterm terjadi 1% dari seluruh kehamilan. KPD preterm
menyebabkan terjadinya1/3 persalinan preterm dan merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas perinatal1,6.

KPD iatrogenik yang dikelola secara ekspektatif memiliki angka kematian


perinatal sebesar 60%.Hampir sepertiganya meninggal dalam kandungan. Hipoplasi
paru terjadi pada 50% kasus yang terdiagnosa sebelum usia kehamilan19 minggu.

20
Sequelae yang berat terjadi pada bayi yang selamat antara lainkebutaan, penyakit
paru kronis dan serebral palsi1,6.

C. Anatomi dan Fisiologi Selaput Ketuban


Selaput ketuban (amniotic sac) yang membatasi rongga amnion terdiriatas
amnion dan khorion yang sangat erat ikatannya.Selaput amnion merupakan jaringan
avaskular yang lentur tapi kuat.Struktur avaskular ini memiliki peran penting dalam
kehamilan pada manusia. Pada banyak kasus obstetri, pecahnya selaput ketuban
secaradini pada kehamilan yang masih muda merupakan penyebab tersering kelahiran
preterm7,8.

Bagian dalam selaput berhubungan dengan cairan amnion yang merupakan


jaringan sel epitel kuboid yang berasal dari ectoderm embrionik.Epitelini melekat erat
ke sebuah membran basal yang berhubungan dengan lapisan interstisial mengandung
kolagen I, III, dan V. Bagian luar dari selaput ialah jaringan mesenkim yang berasal
dari mesoderm. Lapisan amnion ini berhubungan dengan korion leave. Lapisan dalam
amnion merupakan mikrovili yang berfungsi mentransfer cairan dan metabolik.
Lapisan ini menghasilkan zat penghambat metalloproteinase-17,8.

21
Gambar 2.Lapisan Membran Amnion7,8

Sel masenkim berfungsi menghasilkan kolagen sehingga selaputmenjadilentur


dan kuat. Di samping itu, jaringan tersebut menghasilkansitokinIL-6, IL-8, MCP-1
(monosit chemoattractant protein-1); zat ini bermanfaat untuk melawan bakteri.
Disamping itu, selaput amnion menghasilkan zat vasoaktif: endotelin-1
(vasokonstriktor), dan PHRP (parathyroid hormonerelated protein), suatu
vasorelaksan. Dengan demikian, selaput amnion mengatur peredaran darah dan tonus
pembuluhlokal7,8.

Selaput amnion juga meliputi tali pusat. Sebagian cairan akanberasalpula dari
difusi pada tali pusat. Pada kehamilan kembardikorionik-diamniotik terdapat selaput
amnion dari masing-masing yangbersatu.Namun, ada jaringan
korionleaveditengahnya (pada USG tampak sebagaihuruf Y, pada awal
kehamilan);sedangkanpada kehamilan kembar dikorion-monoamniotik (kembar satu
telur)tidak akan adajaringan korion diantarakedua amnion (pada USG
tampakgambaran huruf T)7,8.

Masalah pada klinik ialah pecahnya ketuban berkaitan dengan kekuatan


selaput.Pada perokok dan infeksi terjadi pelemahan pada ketahanan selaput sehingga
mudah pecah.Pada kehamilan normal hanya ada sedikit makrofag.Pada saat kelahiran
leukosit akan masuk ke dalam cairan ketubansebagaireaksi terhadap peradangan.
Pada kehamilan normal tidak ada IL- 1B,tetapi pada persalinan preterm IL-1B akan
ditemukan. Hal iniberkaitandenganterjadinya infeksi7,8.

Sejak awal kehamilan cairan ketuban telah dibentuk.Cairan ketuban


merupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi sekaligusmenunjang pertumbuhan.
Osmolalitas, kadar natrium, ureum, kreatinintidak berbedadengan kadar serum ibu,
artinya kadar di cairan ketubanmerupakan hasildifusi dari ibunya. Cairan ketuban
mengandung banyak seljanin (lanugo,verniks kaseosa). Fungsi cairan ketuban yang

22
juga penting ialahmenghambatbakteri karena mengandung zat seperti fosfat dan
seng7,8.

D. Fungsi Cairan Ketuban


Cairan ketuban mempunyai peranan penting dalam menunjang
proseskehamilan dan persalinan. Di sepanjang kehamilan normal kompartemen
daricairan ketuban menyediakan ruang bagi janin untuk tumbuh bergerak
danberkembang.Tanpa cairan ketuban rahim akan mengkerut dan menekan janin,pada
kasus–kasus dimana tejadi kebocoran cairan ketuban pada awal trimesterpertama
janin dapat mengalami kelainan struktur termasuk distrorsi muka, reduksitungkai, dan
cacat dinding perut akibat kompresi rahim9.

Menjelang pertengahan kehamilan cairan ketuban menjadi semakin


pentinguntuk perkembangan dan pertumbuhan janin , antara lain perkembangan paru-
parunya, bila tidak ada cairan ketuban yang memadai selama pertengahankehamilan
janin akan sering disertai hipoplasia paru dan berlanjut padakematian.Selain itu cairan
ini juga mempunyai peran protektif pada janin.Cairanini mengandung agen-agen anti
bakteria dan bekerja menghambatpertumbuhanbakteri yang memiliki potensi
patogen9.

Selama proses persalinan dan kelahiran cairan ketuban terus bertindak


sebagaimedium protektif pada janin untuk membantu dilatasi servik. Selain itu
cairanketuban juga berperan sebagai sarana komunikasi antara janin dan
ibu.Kematangan dan kesiapan janin untuk lahir dapat diketahui dari hormon urin
janinyang diekskresikan ke dalam cairan ketuban9.

Cairan ketuban juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk


melihatadanya kelainan-kelainan pada proses pertumbuhan dan perkembangan
janindengan melakukan kultur sel atau melakukan spectrometer.Fungsi lain cairan
ketuban juga dapat melindungi janin dari trauma,sebagai media perkembangan
musculoskeletal janin, menjaga suhu tubuh janin,meratakan tekanan uterus pada

23
partus, membersihkan jalan lahir sehingga bayikurang mengalami infeksi, serta
menjaga perkembangan dan pertumbuhan normaldari paru-paru dan traktus gastro
intestinalis9.

E. Etiologi & Faktor Resiko


Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran
atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut.Berkurangnya
kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapatberasal dari vagina dan
serviks.Beberapa hal masih merupakan kontroversi di bidang obstetri. Penyebab
lainnya adalah sebagaiberikut10:

a. Serviks inkompeten, kanalis sevikalis yang selalu


terbukaolehkarenakelainan pada servik uteri (akibat persalinan, kuretase,
atautindakan bedah obstetri lainnya).
b. Ketegangan rahim berlebihan (tekanan intra
uterinmeningkatsecaraberlebihan/overdistensiuterus:seperti pada
keadaantrauma, kehamilan ganda, hidramnion).
c. Kelainan letak janin dan rahim misalnya: letak sungsang dan letak
lintang,sehingga tidak ada bagianterendah yang menutupi pintu
ataspanggul(PAP) yang dapat menghalangitekanan terhadap membrane
bagian bawah.
d. Kemungkinan kesempitan panggul dimanabagian terendah belum
masukPAP misalnyapada Cephalo Pelvic Disproportion (CPD).
e. Infeksi yang menyebabkan terjadinya biomekanik pada
selaputketubandalambentuk preteolitik sel sehingga memudahkan
ketubanpecah(Amnionitis/Korioamnionitis).
f. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin Crendah,
ataupunkelainangenetik).
g. Akhirnya, pecahnya selaput ketuban juga dapat disebabkan oleh
traumadan setelah fetoskopi atau amniosentesis (iatrogenic).

24
Masa interval sejak ketuban pecah sampaiterjadi kontraksi disebutfaselaten.
Makin panjang fase laten, makintinggi kemungkinan infeksi.Makin muda
kehamilan, makin sulit upaya penatalaksanaannya tanpa menimbulkan
morbiditas janin10.

F. Mekanisme Ketuban Pecah Dini


Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkanolehkontraksiuterus
dan peregangan berulang.Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi
perubahan biokimia yang menyebabkanselaputketubaninferior rapuh, bukan karena
seluruh selaput ketuban rapuh.Terdapat keseimbangan antara sintesis
dandegradasimatriksekstraselular.Perubahan struktur, jumlah sel dan
katabolismekolagenmenyebabkan aktivitas kolagen berubah dan
menyebabkanselaputketubanpecah.Degradasi kolagen dimediasioleh matriks
metalloproteinase(MMP)yang dihambat oleh inhibitor jaringanspesifik dan
inhibitorprotease.Mendekati waktu persalinan, keseimbanganantara MMP dan
tissueinhibitors metalloproteinase-1 (TIMP-1)mengarah pada degradasi proteolitik
dari matriksekstraselular dan membran janin.Aktivitas degradasi
proteolitikinimeningkat menjelangpersalinan10.

Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda.Pada


trimesterketigaselaput ketuban mudah pecah.Melemahnya kekuatan
selaputketubanadahubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim,
sertagerakanjanin.Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia
padaselaputketubansehingga pecahnya ketuban pada kehamilan aterm
merupakanhalfisiologis.Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm disebabkan oleh
adanyafaktor-faktor eksternal misalnya infeksi yang menjalar darivagina.Disamping
ituketuban pecah dini pretermjuga sering terjadi
padapolihidramnion,inkompetenservik, serta solusio plasenta10.

25
Banyak teori, mulai dari defek kromosom,
kelainankolagen,sampaiinfeksi.Pada sebagian besar kasus ternyata
berhubungandenganinfeksi(sampai 65%). Termasuk diantaranya; high
virulensiyaituBacteroides, dan low virulensiyaitu Lactobacillus.Kolagen terdapat
pada lapisan kompaktaketuban, fibroblast,jaringanretikuler korion dan
trofoblas.Sintesismaupun degradasi jaringankolagendikontrol oleh sistem aktifas dan
inhibisi interleukin-1 (iL-1)danprostaglandin10.

Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas IL-


1danprostaglandin,menghasilkan kolagenase jaringan, sehinggaterjadidepolimerasi
kolagen padaselaput korion/amnion, menyebabkanketubantipis, lemah dan mudah
pecahspontan10.

G. Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien merasakan basah pada vagina, atau mengeluarkancairanyang
banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir.Cairan berbau khas dan perlu
diperhatikan warnanya. Menentukan usia kehamilan dari hari pertama
menstruasi terakhir (HPHT) atau dari USG9,10,11.
b. Inspeksi
Tentukan pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairanketuban keluar
dari vagina9,10,11.
c. Pemeriksaan dengan speculum
Pemeriksaan dengan speculum pada KPD akantampak keluar cairan
dariOrifisium Uteri Eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar,
fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, mengejan, atau bagian
terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan
terkumpul pada fornik anterior9,10,11.

26
Gambar 3. Ketuban Pecah Dini9,10,11

d. Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketubansudah tidak
adalagi.Pemeriksaan Vaginal Toucher (VT)
perludipertimbangkan,terutama padakehamilan yang kurang bulan yang
belum dalampersalinan sangat dibatasidilakukan pemeriksaan dalam
(VT), karena pada waktupemeriksaan dalam, jaripemeriksa akan
mengakumulasi segmenbawahrahim dengan flora vagina yangnormal.
Mikroorganismetersebut bisadengan cepat menjadi
pathogen.Pemeriksaandalamvagina hanya dilakukanpada kasus KPD
yang sudah dalam persalinanatauyang dilakukan induksipersalinan9,10,11.
e. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan ada atau tidaknya infeksi, kriteria laboratorium
yangdigunakan adalah adanya Leukositosis maternal (WBC yang lebih
dari16.000/uL), adanya peningkatan C-reactive protein cairan ketuban
dan gas-liquidchromatography, serta Amniosentesis untuk mendapatkan
bukti yang kuat(misalnya cairan ketuban yang mengandung leukosit yang

27
banyak atau bakteripada pengecatan gram maupun pada kultur aerob
maupun anaerob)9,10,11.
Tes lakmus (tes Nitrazin) digunakan, yaitu jika kertas lakmus
merahberubahmenjadi birumenunjukkan adanya air ketuban
(alkalis).Normalnya pH airketuban berkisar antara 7-7,5.Darahdan infeksi
vagina dapat menghasilkan tesyangpositif palsu9,10,11.
Mikroskopik (tes pakis), yaitu dengan meneteskan air ketuban
padagelasobjekdan dibiarkan kering.Pemeriksaan mikroskopik
menunjukkan gambaran daun pakis9,10,11.
f. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untukmelihat jumlah cairanketuban dalam
kavum uteri. Dikenal tiga cara pengukuran cairan ketuban, yaitu secara
subyektif, semi kuantitatif (pengukuran satu kantong), dan pengukuran
empat kuadran menurut Phelan. Sayangnya tidak ada satupun metode
pengukuran volume cairan ketuban tersebut yang dapat dijadikan standar
baku emas. Penilaian subyektif oleh seorang pakar dengan menggunakan
USG “real-time” dapat memberikan hasil yang baik11.
Penilaian subyektif volume cairan ketuban berdasarkan atas pengalaman
subyektif pemeriksa didalam menentukan volume tersebut berdasarkan
apa yang dilihatnya pada saat pemeriksaan. Dikatakan normal bila masih
ada bagian janin yang menempel pada dinding uterus, dan bagian lain
cukup terisi cairan ketuban. Bila sedikit, maka sebagian besar tubuh janin
akan melekat pada dinding uterus, sedangkan bila hidramnion, maka tidak
ada bagian janin yang menempel pada dinding uterus.Pengukuran
semikuantitatif dilakukan melalui pengukuran dari satukantong (single
pocket)ketuban terbesar yang terletak antara dinding uterus dantubuh
janin, tegak lurus terhadap lantai.Tidak boleh ada bagian janin yang
terletakdidalam area pengukuran tersebut11.

28
H. Penatalaksanaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan KPD adalah;
memastikan diagnosis, menetukan umur kehamilan, mengevaluasi ada tidaknya
infeksi maternal ataupun infeksi janin, serta apakah dalam keadaan inpartu, atau
terdapat kegawatan janin8,9.

Prinsip penanganan Ketuban Pecah Dini adalah memperpanjangkehamilan


sampai paru-paru janin matang atau dicurigai adanya atau
terdiagnosiskhorioamnionitis8,9.

 KPD Dengan Kehamilan Aterm.


1. Diberikan antibiotika profilaksis, Ampisilin 4 x 500 mg selama 7 hari.
2. Dilakukan pemeriksaan "admision test" bila hasilnya patologis
dilakukanterminasi kehamilan
3. Observasi temperature rektal setiap 3 jam, bila ada kecenderungan
meningkatlebih atau sama dengan 37,6° C, segera dilakukan
terminasi.
4. Bila temperatur rektal tidak meningkat, dilakukan observasi selama
12 jam.Setelah 12 jam bila belum ada tanda-tanda inpartu dilakukan
terminasi.
5. Batasi pemeriksaan dalam, dilakukan hanya berdasarkan indikasi
obstetric
6. Bila dilakukan terminasi, lakukan evaluasi Pelvic Score (PS) :
a. Bila PS lebih atau sama dengan 5, dilakukan induksi dengan
oksitosindrip.
b. Bila PS kurang dari 5, dilakukan pematangan servik dengan
Misoprostol50 μgr setiap 6 jam per oral maksimal 4 kali
pemberian.

29
Tabel 1. Pelvic Score (PS) menurut Bishop1

 KPD Dengan Kehamilan Preterm


1. Penanganan di rawat di RS
2. Diberikan antibiotika : Ampicillin 4 x 500 mg selama 7 hari.
3. Untuk merangsang maturasi paru diberikan kortikosteroid (untuk
UKkurang dari 35 minggu) : Deksametason 5 mg setiap 6 jam.
4. Observasi di kamar bersalin :
a. Tirah baring selama 24 jam, selanjutnya dirawat di ruang obstetri.
b. Dilakukan observasi temperatur rektal tiap 3 jam, bila
adakecenderungan terjadi peningkatan temperatur rektal lebih atau
samadengan 37,6° C, segera dilakukan terminasi.
5. Di ruang Obstetri :

30
a. Temperatur rektal diperiksa setiap 6 jam.
b. Dikerjakan pemeriksaan laboratorium : leukosit dan laju endap
darah(LED) setiap 3 hari.
6. Tata cara perawatan konservatif :
a. Dilakukan sampai janin viable
b. Selama perawatan konservatif, tidak dianjurkan
melakukanpemeriksaan dalam
c. Dalam observasi selama 1 minggu, dilakukan pemeriksaan USG
untukmenilai air ketuban:Bila air ketuban cukup, kehamilan
diteruskan, Bila air ketuban kurang (oligohidramnion),
dipertimbangkan untukterminasi kehamilan.
d. Pada perawatan konservatif, pasen dipulangkan pada hari ke-7
dengansaran sebagai berikut : tidak boleh koitus, tidak boleh
melakukan manipulasi vagina, segera kembali ke RS bila ada
keluar air ketuban lagi.
e. Bila masih keluar air, perawatan konservatif dipertimbangkan
denganmelihat pemeriksaan laboratorium. Bila terdapat
leukositosis ataupeningkatan LED, lakukan terminasi.

31
Gambar 4. Algoritma Penatalaksanaan KPD Preterm1,8,9

32
 Terminasi Kehamilan
a. Induksi persalinan dengan drip oksitosin.
b. Seksio sesaria bila prasyarat drip oksitosin tidak terpenuhi atau bila
dripoksitosin gagal.
c. Bila skor pelvik jelek, dilakukan pematangan dan induksi persalinan
dengan Misoprostol 50 μgr oral tiap 6 jam, maksimal 4 kali
pemberian

I. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang seringkali ditimbulkan dari KPD sangat
berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas bayi serta dampak terhadap ibunya
sendiri, diantaranya adalah8,9:

 Persalinan premature
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul olehpersalinan.Periode
laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90%terjadi
dalam 24 jamsetelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu
50% persalinandalam 24 jam.Pada kehamilan kurangdari 26minggu
persalinan seringkali terjadidalam 1 minggu.
 Infeksi
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecahdini.Pada
ibuterjadi korioamnionitis.Pada bayi dapat terjadiseptikemia,pneumonia,
omfalitis.Umumnya terjadi korioamnionitissebelumjanin terinfeksi.Pada
ketuban pecahdini preterm, infeksi lebih seringdaripada aterm. Secara
umum insiden infeksisekunder padaketubanpecah dini meningkat
sebanding dengan lamanya periodelaten.
Kriteria klinis infeksi yang digunakan pada KPDyaitu; adanya
febris,uterinetenderness (di periksa setiap 4 jam), takikardia (denyut nadi

33
maternal lebihdari 100x/mnt), serta denyut jantung janin yang lebih dari
160 x/mnt.
 Hipoksia dan asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidamnionsehingga bagian
keciljanin menempel erat dengan dinding uterus yang dapatmenekan tali
pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia.Terdapat hubungan antara
terjadinya gawat janin dan derajat oligohidamnion, semakin sedikit air
ketuban, janin semakin gawat.
 Sindrom deformitas janin
Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dinimenyebabkanpertumbuhan
janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan
janin, serta hipoplasi pulmonary.

34
Partus Lama dan Kala II Lama

A. Definisi

Persalinan lama, yang disebut juga dengan istilah distosia secara umum
dimaksudkan untuk persalinan yang abnormal atau sulit. WHO secara lebih spesifik
mendefinisikan persalinan lama (prolonged labor / partus lama) sebagai proses
persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam. Waktu pemanjangan proses persalinan
yang dimaksud adalah penambahan kala I dan/atau kala II persalinan. Dalam
penentuan batas waktu, terdapat variasi terdapat sebuah sumber yang menyatakan
bahwa batasan waktu dalam penentuan partus lama adalah 18 jam.1,3

Kala II lama (Prolonged Second Stage) diartikan sebagai memanjangnya


waktu kala II dimana pada primigravida berlangsung lebih dari 2 jam dan pada
multipara berlangsung lebih dari 1 jam. Menurut AGOG (American Congress of
Obstetricians and Gynecologists), kala II lama didefiniskan sebagai tidak adanya
kemajuan pada kala II dengan batasan waktu dilakukan pimpinan persalinan sebagai
berikut: persalinan dengan anestesi epidural pada nullipara yang berlangsung lebih 3
jam dan multipara berlangsung lebih 2 jam, sedangkan untuk persalinan tanpa
anestesi epidural nullipara berlangsung lebih 2 jam dan multipara berlangsung 1
jam.5,6

B. Faktor Resiko

Faktor Resiko terjadinya kala II lama masih belum diketahui secara pasti,
tetapi dalam South Australian Perinatal Practice Guidelines, disebutkan terdapat
beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya variasi waktu dalam kala II, yaitu posisi
ibu pada kala II, posisi dari janin, penurunan pada saat pembukaan lengkap, kualitas
dari his, kekuatan mengejan ibu dan penggunaan analgesik. Dalam penelitiannya,
Thomas dan Santolaya menemukan bahwa nullipara, preeklamsia, diabetes,
makrosomia, janin laki-laki, anestesi epidural, induksi persalinan, penggunaan

35
oksitosin, serta koriamnionitis sebagai faktor resiko terjadinya persalinan dengan kala
II lama. 8,9

C. Etiologi
Secara umum penyebab kala II lama dapat dibagi ke dalam beberapa faktor
yaitu faktor tenaga (power), faktor panggul (passage), faktor anak (passenger).
1. Faktor Tenaga (power)
His yang normal dimulai dari salah satu sudut di fundus uteri kemudian
menjalarmerata simetris ke seluruh korpus uteri dengan dominasi kekuatan pada
fundusuteri (lapisan otot uterus paling dominan) kemudian terdapat relaksasi
secaramerata dan menyeluruh.
His yang tidak normal dalam kekurangan atau sifatnya menyebabkan
kerintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalinan, tidak
dapat diatasi sehingga persalinan mengalami hambatan atau kemacetan. Kelainan
his terutama ditemukan pada primigravidatua. Kelainan anatomis uteri juga
menghasilkan kelainan his. Pada multipara lebih banyak ditemukan kelainan
yang bersifat inersia uteri. Peregangan rahim yang berlebihan pada kehamilan
ganda atau hidramnion juga dapat menyebabkan inersia uteri.11
Kelainan tenaga pada kala II lama, dapat dibagi menjadi 2, yaitu:11
a. Inertia uteri.
Kelainannya terletak dalam hal kontraksi uterus yaitu lebih singkat, dan jarang
daripada biasanya. Keadaan umum penderita biasanya baik, dan rasa nyeri
tidak seberapa. Selama ketuban masih utuh umumnya tidak banyak bahaya,
baik bagi ibu maupun bagi janin, kecuali jika persalinanberlangsung terlalu
lama. Keadaan ini dinamakan inersia uteri primer atau hypotonic uterine
contraction Kalau timbul setelah berlangsungnya his kuat untuk waktu yang
lama, hal itu dinamakan inersia uteri sekunder. Hingga saat ini etiologi dari
inertia belum diketahui tetapi beberapa faktor dapat mempengaruhi: umum
(primigravida pada usia tua, anemia, perasaan tegang dan emosional,

36
pengaruh hormonal: oksitosin dan prostaglandin, dan penggunaan analgetik
yang tidak tepat), dan lokal (overdistensi, perkembangan anomali uterus misal
hypoplasia, mioma, malpresentasi, malposisi, dan disproporsi cephalopelvik,
kandung kemih dan rektum penuh).

b. Incoordinate uterine action.


Disini sifat his berubah sehingga tonus otot uterus meningkat, juga diluar his,
dan kontraksinya tidak berlangsung seperti biasa karena tidak ada sinkronasi
antara kontraksi bagian-bagiannya. Tidak adanya koordinasi antara kontraksi
bagian atas, tengah dan bawah menyebabkan his tidak efisien dalam
mengadakan pembukaan.
Selain 2 hal tersebut diatas, kurang adekuatnya mengejan dapat
menyebabkan terjadinya kala II. Kekuatan yang dihasilkan oleh kontraksi otot
abdomen dapat terganggu secara bermakna sehingga bayi tidak dapat lahir secara
spontan melalui vagina. Sedasi berat atau anestesia regional kemungkinan besar
mengurangi dorongan refleks untuk mengejan.9
2. Faktor Panggul (passage)
Pada panggul ukuran kecil akan terjadi disproporsi dengan kepala janin
sehingga kepala janin tidak dapat melewati panggul meskipun ukuran janin
berada dalam batas normal. Panggul sempit yang penting pada obstetric bukan
sempit secara anatomis namun panggul sempit secara fungsional artinya
perbandingan antara kepala dan panggul. Selain panggul sempit dengan ukuran
yang kurang dari normal, juga terdapat panggul sempit lainnya. Karena
kepentingan tersebut panggul sempit dapat dibagi menurut Munro Kerr:
1. Kelainan herediter:
 Panggul Naegele: tidak adanya salah satu sacral alae
 Panggul Robert: tidak adanya kedua sacral alae

37
 High assimilation pelvis: sakrum terdiri dari 6 vertebra
 Low assimilation pelvis: sakrum terdiri dari 4 vertebra
 Split pelvis: simfisis pubis terpisah
2. Kelainan tulang sendi: rakitis, osteomalasia, neoplasma, fraktur,atrofi,
nekrosis, penyakit pada sendi sakroiliaka dan sendi sakrokoksigea.
3. Kelainan tulang belakang: kifosis, skoliosis, spondilolistesis
4. Kelainan kaki: koksitis, luksasio koksa, atrofi ataukelumpuhan satu kaki

Kesempitan panggul dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:


1. Kesempitan pada pintu panggul atas
Pintu atas panggul dianggap sempit apabila conjugata vera kurang dari 10 cm
atau diameter transversa kurang dari 12 cm. Pada panggul sempit kepala
memiliki kemungkinan lebih besar tertahan oleh pintu atas panggul, sehingga
serviks uteri kurang mengalami tekanan kepala.
2. Kesempitan pada pintu panggul tengah
Dengan sacrum melengkung sempurna, foramen ischiadikus mayor cukup
luas dan spina ischiadika tidak menonjol diharapkan bahwa panggul tengah
tidak akan menghalangi bagi lewatnya kepala janin. Ukuran terpenting yang
hanya bisa ditetapkan dengan pelvimetrirontenologik ialah distansia
interpinarum. Apabila ukuran ini kurang dari 10 cm maka perlu kita waspada
terhadap kemungkinan kesukaran pada persalinan, terutama jika ukuran
diameter sagitalis posterior pendek. Pada panggul tengah yang sempit, lebih
sering ditemukan posisi kepala janin berupa posisi oksipitalis posterior
persisten atau presentasi kepala dalam posisi lintang tetap (tranverse arrest).
3. Kesempitan pada pintu panggul bawah

38
Bila diameter transversa dan diameter sagitalis posterior kurang dari 15cm,
maka sudut arkus pubis juga mengecil (<90º) sehingga timbul kemacetan pada
kelahiran janin ukuran biasa.

Gambar 1. Anatomi Panggul


Selain panggul, jalan lahir terbentuk melalui bagian lunak yang dalam
kenyataannya bisa terdapat gangguan yang menyebabkan terjadinya kala II lama:
1. Vulva
 Edema
Walaupun jarang merupakan rintangan bagi kelahiran pervaginam,
adanya edema pada vulva dapat memperlama kala pengeluaran. Edema
tersebut dapat disebabkan karena penderita dibiarkan meneran terus-
menerus pada kala II. Selain itu, kemungkinan adanya edema juga bisa
pada waktu hamil, disebabkan oleh preeklamsia maupun gangguan gizi.
 Stenosis
Disebabkan oleh adanya perlukaan maupun radang yang menyebabkan
ulkus dan sembuh dengan meninggalkan parut-parut yang mengganggu
kala II persalinan. Tetapi kesulitan ini dapat diatasi dengan epiostomi
yang cukup luas

39
 Tumor
Bentuk neoplasma yang ditemukan pada vulva.
2. Vagina
 Stenosis vagina kongenital
Stenosis vagina kongenital dibagi menjadi dua, yaitu: septum vagina
lengkap atau septum tidak lengkap. Gangguan kala II lebih sering
disebabkan oleh adanya septum tidak lengkap pada vagina. Septum tidak
lengkap sering menahan turunnya kepala janin pada persalinan. Stenosis
dapat terjadi karena parut-parut akibat perlukaan dan radang. Pada
stenosis vagina yang tetap kaku pada kehamilan dan merupakan halangan
untuk lahirnya janin, perlu dipertimbangkan sectio cesaria.
 Tumor vagina
Adanya tumor pada vagina bisa pula menyebabkan persalinan rintangan
bagi lahirnya janin per vaginam. Adanya tumor vagina bisa pula
menyebabkan persalinan per vaginam dianggap mengandung terlampau
banyak resiko.
3. Serviks uteri
 Distosia servikalis atau dysfungctional uterine action
 Konglutio orifisii eksternii
Jarang terjadi, dimana kala I serviks uteri menipis akan tetapi
pembukaan tidak terjadi, sehingga merupakan lembaran kertas di bawah
kepala janin. Diagnosis ditegakkan dengan dengan menumukan ostium
uteri eksternum ditengah-tengah lapisan tersebut.
 Karsinoma servisis uteri
4. Uterus
Kelainan yang dapat mengganggu persalinan adanya mioma uteri, dimana
mioma uteri tersebut dapat menghalangi jalan lahir, menyebabkan janin letak
lintang, dan menyebabkan adanya inersia uteri.

40
5. Ovarium
Tumor ovairum dapat menyebabkna adanya halangan lahirnya janin
pervaginam. Tumor tersebut untuk sebagian atau seluruhnya terletak dalam
cavum douglas. Membiarkan persalinan berjalan lama, yang dapat
menyebabkan pecahnya tumor (tumor kistik) atau rupture uteri (tumor solid),
dan atau infeksi intrapartum.
3. Faktor Anak (passenger)4,10,12,13
Selain kelainan karena tenaga dan panggul, kala II lama dapat disebabkan
karena terdapatnya kelainan pada faktor anak (passenger). Kelainan tersebut
meliputi:
1. Kelainan pada presentasi, posisi maupun letak, yang meliputi:
a. Malpresentasi
 Presentasi Puncak
Pada presentasi ini, kepala janin dalam keadaan defleksi ringan ketika
melewati jalan lahir. Sehingga ubun-ubun besar menjadi bagian
terendah. Pada presentasi puncak kepala, lingkaran kepala yang melalui
jalan lahir adalah sirkumfernsia frontooksipitalis dengan titik perputaran
yang berada di bawah simfisis adalah glabella. Presentasi ini memriliki
prognosis yang buruk karena dapat meningkatkan mortalitas dan
morbiditas baik ibu maupun janin.
 Presentasi Muka
Presentasi muka adalah keadaan dimana kepala dalam kedudukan
defleksi maksimal, sehingga oksiput tertekan pada punggung dan muka
merupakan bagian terendah yang menghadap ke bawah. Presentasi
muka dikatakan primer jika terjadi sejak masa kehamilan, dan dikatakan
sekunder jika baru terjadi pada masa persalinan. Pada umumnya
penyebab terjadinya presentasi muka adalah keadaan-keadaan yang
memaksa terjadinya defleksi kepala atau keadaan yang menghalangi

41
terjadinya fleksi kepala. Oleh karena itu presentasi muka dapat
ditemukan pada panggul sempit atau pada janin besar. Multiparitas juga
merupakan faktor yang memudahkan terjadinya presentasi muka.
Kelainan janin seperti anensefalus dan tumor di leher depan juga dapat
menyebabkan presentasi muka. Terkadang presentasi muka dapat terjadi
pada kematian janin intrauterine akibat otot janin yang telah kehilangan
tonusnya.

Gambar 2. Presentasi muka4

 Presentasi Dahi
Presentasi dahi adalah keadaan dimana kedudukan kepala berada
diantara fleksi maksimal dan defleksi maksimal, sehingga dahi
merupakan bagian terendah. Pada umumnya, presentasi dahi bersifat
sementara, dan sebagian besar akan berubah menjadai presentasi muka
atau presentasi belakang kepala. Sebab terjadinya presentasi dahi pada
dasarnya samadengan sebab terjadinya presentasi muka karena semua
presentasi muka biasanya melewati fase presentasi dahi lebih dahulu.

42
Gambar 3. Presentasi Dahi

 Presentasi Ganda/Majemuk
Presentasi majemuk adalah terjadinya prolaps satu atau lebih
ekstremitas pada presentasi kepala ataupun bokong. Kepala memasuki
panggul bersamaan dengan kaki dan atau tangan. Presentasi majemuk
juga dapat terjadi manakala bokong memasuki panggul bersamaan
dengan tangan. Dalam pengertian presentasi majemuk tidak termasuk
presentasi bokong-kaki, presentasi bahu, atau prolaps tali pusat. Apabila
bagian terendah janin tidak menutupi dengan sempurna pintu atas
panggul, maka presentasi majemuk dapat terjadi.

43
Gambar 4. Presentasi Majemuk

b. Malposisi
Malposisi adalah posisi abnormal verteks kepala janin (dengan ubun-ubun
kecil sebagai penanda) terhadap panggul ibu.

 POPP (Persistent Occiput Posterior Postision)


Prevalensi kondisi ini adalah 10%. Pada posisi ini ubun-ubun tidak
berputar ke depan, tetapi tetap berada di belakang. Salah satu penyebab
terjadinya adalah usaha penyesuaian kepala terhadap bentuk dan ukuran

44
panggul. Penyebab yang lain adalah otot-otot dasar panggul yang lembek
pada multipara atau kepala janin yang kecil dan bulat sehingga tidak ada
paksaan pada belakang kepala janin untuk memutar ke depan.

c. Letak
 Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang
dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum
uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yaitu presentasi bokong,
presentasi bokong sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna, dan
presentasi kaki. Diagnosis letak sungsang umumnya tidak sulit. Pada
pemeriksaan luar, kepala teraba di fundus uteri, sementara pada bagian
bawah uterus teraba bokong yang tidak dapat digerakkan semudah kepala.
Selain dari pemeriksaan luar, diagnosis juga dapat ditegakkan dari
pemeriksaan dalam dan pemeriksaan penunang seperti USG dan MRI.

Gambar 5. Letak Sungsang

 Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang dalam uterus
dengan kepala pada sisi yang satu dan bokong berada pada sisi yang lain.
Sebab tersering terjadinya letak lintang adalah multiparitas disertai
dinding uterus dan perut yang lembek. Pada kehamilan prematur,

45
hidramnion, dan kehamilan kembar, janin sering dijumpai dalam letak
lintang. Kelainan bentuk rahim seperti uterus arkuatus atau subseptus juga
merupakan penyebab terjadinya letak lintang. Adanya letak lintang dapat
diduga hanya dengan inspeksi. Uterus tampak melebar dan fundus tampak
lebih rendah tidak sesuai dengan usia kehamilannya. Pada palpasi, fundus
uteri kosong, kepala janin berada di samping, dan diatas simfisis juga
kosong.

Gambar 6. Letak Lintang


2. Kelainan pada bentuk janin
 Hidrochepalus
Adalah keadaan dimana terjadi penimbunan cairan serebrospinalis dalam
ventrikel otak, sehingga kepala menjadi besar dan terjadi pelebaran sutura
serta ubun-ubun. Cairan yang tertimbun dalam ventrikel biasanya berkisar
antara 500-1500 ml, akan tetapi kadang-kadang dapat mencapai 5 liter.
Karena kepala janin terlalu besar dan tidak dapat berakomodasi di bagian
bawah uterus, maka sering ditemukan dalam keadaan sungsang.
Bagaimanapun letaknya, hidrosefalus akan menyebabkan disproporsi

46
sefalopelvik dengan segala akibatnya. Jika lingkar kepala <36 cm,
kelahiran pervaginam diperbolehkan.

Gambar 7. Hidrosefalus
Secara keseluruhan, Insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000
kelahiran. Insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000
kelahiran dan 11%-43% disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri.
Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga
dalam hal perbedaan ras.
Diagnosis Hidrocephalus:
1. Saat palpasi teraba ukuran kepala yang besar dan kepala tidak masuk
pintu atas panggul.
2. Pada pemeriksaan dalam terdapat kepala dengan sutura yang dalam
dan ubun – ubun yang luas, serta tulang kepala terasa tipis seperti
menekan bola pingpong.
3. Ditemukan bayangan tengkorak yang besar sekali pada pemeriksaan
rontgen.
4. Pada pemeriksaan USG tampak kepala yang besar dengan ukuran
diameter biparietalis yang lebar.

47
 Makrosomia
Berat neonatus yang besar adalah apabila berat janin melebihi
4000 gram. Pada janin besar, faktor keturunan memegang peran
penting. Selain itu janin besar juga dijumpai pada wanita hamil
dengan diabetes mellitus, postmaturitas, dan grande multipara.
 Tumor pada janin
 Kembar siam
Distosia Bahu
Distosia bahu adalah suatu keadaan dimana setelah kepala dilahirkan, bahu
anterior tidak dapat lewat di bawah simfisis pubis. Kondisi ini merupakan
kegawatdaruratan obstetri karena bayi dapat meninggal jika tidak segera
dilahirkan.
Tanda distosia bahu yang harus diamati penolong persalinan adalah:
 Kesulitan melahirkan wajah dan dagu
 Kepala bayi tetap melekat erat di vulva atau bahkan tertarik kembali (turtle
sign)
 Kegagalan paksi luar kepala bayi
 Kegagalan turunnya bahu

48
Gambar 8. Algoritma Penanganan Distosia Bahu

Gambar 9. Manuver Mc.Robert

49
D. Gejala Klinis13
Gejala klinis terjadinya kala 2 lama dapat dijumpai pada ibu dan janin. Gejala
klinis yang dapat dijumpai pada ibu meliputi:
1. Tanda-tanda kelelahan dan dehidrasi dari ibu (nadi cepat dan lemah, perut
kembung, demam, nafas yang cepat dan his hilang dan lemah)
2. Vulva edema
3. Cincin retraksi patologi Brandl
Sering timbul akibat persalinan yang terhambat disertai peregangan dan penipisan
berlebihan segmen bawah uterus, dan menandakan ancaman akan rupturnya
segmen bawah uterus.
Gejala Klinis yang dapat ditemui pada janin:
1. Denyut jantung janin cepat, hebat, tidak teratur, bahkan negatif
2. Air ketuban terdapat mekonium, kental kehijau-hijauan, berbau.
3. Kaput suksedaneum yang besar. Kaput ini dapat berukuran cukup besar dan
menyebabkan kesalahan diagnostik yang serius. Biasanya kaput suksedaneum,
bahkan yang besar sekalipun, akan menghilang dalam beberapa hari.
4. Moulase kepala yang hebat akibat tekanan his yang kuat, tulang tengkorak saling
bertumpang tindih satu sama lain.
5. Kematian janin dalam kandungan atau intra uterine fetal death (IUFD).

E. Patofisiologi Uterus Pada Kala II Lama14


Pada awal persalinan, uterus akan menghasilkan energi untuk berkontraksi
dan relaksasi. Kondisi metabolik ini dapat berlangsung jika energi ibu cukup, dan
aktivitas ini dipertahankan selama berjam-jam. Namun, jika kondisi ini berlangsung
terlalu lama, akan menyebabkan patologi pada uterus. Pertama-tama, akan timbul
gangguan emosi dan kelelahan pada ibu yang mengakibatkan cadangan glikogen pada
uterus akan berkurang, sehingga ATP yang dihasilkan juga akan berkurang. Selain itu

50
juga dapat terjadi asidifikasi karena timbunan asam laktat untuk memenuhi kebutuhan
ATP. Timbunan asam laktat ini bisa mengurangi kemampuan uterus untuk
berkontraksi. Kontraksi yang terus-menerus pada miometrium yang mengalami
deplesi energi dan hipoksia akan mengakibatkan ruptur uteri.

Gambar 10. Patofisiologi Uterus Pada Persalinan Lama1

F. Diagnosis Kala II lama

Berdasarkan Nice Clinical Guidelines, diagnosis kala II lama dapat


ditegakkan sebagai berikut:6

51
1. Nullipara
 Kala II lebih dari 2 jam tanpa pengaruh regional anestesi (AGOG 2003) atau
lebih dari 3 jam dengan pengaruh regional anestesi. (Kala II dimulai terjadi
pembukaan lengkap pada serviks)

2. Multipara:
- Kala II lebih dari 1 jam tanpa pengaruh regional anestesis (AGOG 2003),
atau lebih dari 2 jam dengan pengaruh regional anestesi ((Kala II dimulai
terjadi pembukaan lengkap pada serviks)

G. Penatalaksanaan Kala II Lama


Kala II lama merupakan salah satu kegawatdaruratan obstetrik yang
memerlukan penanganan tepat dan cepat dimana penanganan tersebut dapat
mengurangi morbiditas maupun mortalitas ibu dan janin. Ketika Kala II lama
ditegakkan maka penilaian klinik perlu dilakukan, diantaranya:15
1. Penilaian klinik terhadap ibu
- Kondisi ibu
- Kontraksi/his
- Pemeriksaan klinik berupa: pemeriksaan kandung kemih, palpasi abdomen,
dan pemeriksaan dalam (evaluasi pelvik, imbangan feto pelvik/penentuan
CPD, maupun ada tidaknya tumor pada jalan lahir)
2. Penilaian Klinik terhadap janin
- Janin berada di dalam atau di luar Rahim
- Jumlah janin
- Letak
- Presentasi dan penurunan bagian terbawah janin
- Posisi, moulage, dan kaput suksadenum

52
- Bagian kecil janin (tangan, tali pusat dll)
- Anomali kongenital yang dapat mengganggu ekspulsif bayi
- Tafsiran berat janin
- Gawat janin
- Janin hidup atau tidak
3. Penilaian terhadap kekuatan mengejan ibu
Berdasarkan hasil penilaian tersebut, maka dapat ditentukan dengan segera
etiologi gangguan kemajuan proses persalinan saat kala II dapat segera diambil
keputusan yang tepat.

Setelah ditegakkan diagnosis, maka harus segera dilakukan intervensi untuk


menyelesaikan kala II, sebagai berikut:6,15
1. Pada wanita dengan kondisi fisik yang lelah dan panik, klinisi dapat memberikan
dukungan dan semangat untuk melakukan persalinan. Selain itu dapat diberikan
analgesik ataupun anestesi dan dilakukan rehidrasi maupun pemberian kalori.
2. Pemberian oksitosin sesuai dengan indikasi adanya inersia uteri.
3. Tindakan bedah baik per vaginam maupun Sectio Cesaria sesuai indikasi
4. Sectio Cesaria dilakukan pada keadaan yang tidak memungkinkan persalinan per
vaginam dengan tindakan operatif misalnya: makrosomia, malpresentasi, letak
lintang, dan CPD.

H. Dampak Persalinan Lama pada Ibu-janin


Persalinan lama dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi salah satu atau
keduanya sekaligus.10
1. Infeksi Intrapartum
Infeksi adalah bahaya yang serius yang mengancam ibu dan janinnya pada
partus lama, terutama bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri di dalam cairan
amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion
sehingga terjadi bacteremia dan sepsis pada ibu dan janin. Pneumonia pada

53
janin, akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi
serius lainnya. Pemeriksaan pada janin, akibat aspirasi cairan amnion yang
terinfeksi adalah konsekuensi serius lainnya. Pemeriksaan serviks dengan jari
tangan akan memasukkan bakteri vagina kedalam uterus. pemeriksaan ini
harus dibatasi selama persalinan, terutama apabila dicurigai terjadi persalinan
lama.10
2. Ruptura Uteri
Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya serius
selama partus lama, terutama pada ibu dengan paritas tinggi dan pada mereka
dengan riwayat seksio sesarea. Apabila disproporsi antara kepala janin dan
panggul sedemikian besar sehingga kepala tidak cakap (engaged) dan tidak
terjadi penurunan, segmen bawah uterus menjadi sangat teregang kemudian
dapat menyebabkan rupture. Pada kasus ini, mungkin terbentuk cincin
retraksi patologisyang dapat diraba sebagai sebuah kista transversal atau
oblik yang berjalan melintang di uterus antara simfisis dan umbilicus.
Apabila dijumpai keadaan ini, diindikasikan persalinan perabdominan segera.
10

3. Cincin Retraksi Patologis


Walaupun sangat jarang, dapat timbul konstriksi atau cincin lokal uterus pada
persalinan yang berkepanjangan. Tipe yang paling sering adalah cincin
retraksi patologis Bandl, yaitu pembentukan cincin retraksi normal yang
berlebihan. Cincin ini sering timbul akibat persalinan yang terhambat, disertai
peregangan dan penipisan berlebihan segmen bawah uterus. pada situasi ini
cincin terihat jelas sebagai suatu indentasi abdomen dan menandakan
ancaman akan rupturnya segmen bawah uterus. Konstriksi uterus lokal jarang
dijumpai saat ini karena terhambatnya persalinan secara berkepanjangan
tidak lagi dibiarkan. Konstriksi lokal ini kadang-kadang masih terjadi sebagai
konstriksi jam pasir (hourglass constiction) uterus setelah lahirnya kembar
pertama. Pada keadaan ini, konstriksi tersebut kadang-kadang dapat

54
dilemaskan dengan anastesia umum yang sesuai dan janin dilahirkan secara
normal, tetapi kadang-kadang seksio uteri sesarea yang dilakukan dengan
segera menghasilkan prognosis yang lebih baik bagi kembar kedua. 10
4. Pembentukan Fistula
Apabila bagian bawah terbawah janin menekan kuat ke pintu atas panggul,
tetapi tidak maju untuk jangka waktu yang cukup lama, bagian jalan lahir
yang terletak diantaranya dan dinding panggul dapat mengalami tekanan
yang berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi nekrosis yang akan
jelas dalaam beberapa hari setelah melahirkan dengan munculnya fistula
vesikovaginal, vesikoservikal, atau rektovaginal. Umumnya nekrosis akibat
penekanan inipada persalinan kala dua yang berkepanjangan. Dahulu, saat
tindakan operasi ditunda selama mungkin, penyulit ini sering dijumpai, tetapi
saat ini jarang terjadi kecuali dinegara-negara yang belum berkembang. 10
5. Cedera Otot-otot Dasar Panggul
Saat kelahiran bayi, dasar panggul mendapat tekanan langsung dari kepala
janin serta tekanan kebawah akibat upaya mengejan ibu. Gaya-gaya ini
meregangkan dan melebarkan dasar panggul sehingga terjadi perubahan
fungsional dan anatomik otot, saraf dan jaringan ikat. Terdapat semakin besar
kekhawatiran bahwa efek-efek pada otot dasar panggul selama melahirkan ini
akan menyebabkan inkontinensia urin dan alvi serta prolapse organ panggul.
10

Efek Pada Janin


1. Kaput Suksedaneum
Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering terjadi kaput suksadenum
yang besar di bagian terbawah kepala janin. Kaput ini dapat berukuran cukup
besar menyebabkan kesalahan diagnostik yang serius. Kaput dapat hampir
mencapai dasar panggul sementara kepala sendiri belum cakap. Dokter yang
kurang berpengalaman dapat melakukan upaya secara prematur dan tidak

55
bijak untuk melakukan ekstraksi forceps. Bisanya kaput suksedanu, bahkan
yang besar sekalipun, akan menghilang dalam beberapa hari.10
2. Molase Kepala Janin
Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng tulang tengkorak saling
bertumpang tindih satu sama lain di sutura-sutura besar, suatu proses yang
disebut molase (modling, moulage). Biasanya batas median tulang parietal
yang berkontak dengan promontorium bertumpang tindih dengan tulang
disebelahnya; hal yang sama terjadi pada tulang-tulang frontal. Namun,
tulang oksipital terdorong kebawah tulang parietal. Perubahan-perubahan ini
sering terjadi tanpa menimbulkan kerugian yang nyata. Di lain pihak, apabila
distorsi yang terjadi mencolok, molase dapat menyebabkan robekan
tentorium, laserasi pembuluh darah janin, dan perdarahan intrakranial pada
janin. 10
Fraktur tengkorak kadang-kadang dijumpai, biasanya setelah dilakukan
upaya paksa pada persalinan. Fraktur ini juga dapat terjadi pada persalinan
spontan atau bahkan seksio sesarea. Fraktur mungkin tampak sebagai alur
dangkal atau cekungan berbentuk berbentuk sendok tepat di posterior sutura
koronaria. Alur dangkal relatif sering dijumpai, tetapi karena hanya mengenai
lempeng tulang eksternal, fraktur ini tidak berbahaya.10

I. Komplikasi
Komplikasi pada persalinan dengan kala II lama dapat terjadi pada ibu
maupun pada bayi. Pada kala II lama dapat terjadi infeksi sampai sepsis. Infeksi
adalah bahaya serius yang mengancam ibu dan janinnya, terutama bila disertai
pecahnya ketuban. Bakteri didalam cairan amnion menembus amnion dan menginvasi
desidua serta pembuluh korion sehingga terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan
janin.15
Selain itu dapat terjadi dehidrasi, syok, kegagalan fungsi organ-organ,
robekan jalan lahir, ruptur uteri. Penipisan abnormal segmen bawah uterus

56
menimbulkan bahaya serius selama partus lama, terutama pada wanita dengan paritas
tinggi dan pada mereka dengan riwayat bedah sesar. Robekan serta pembentukan
fistula pada buli-buli, vagina, uterus dan rektum. Apabila bagian terbawah janin
menekan kuat ke pintu atas panggul tetapi tidak maju untuk jangka waktu yang cukup
lama, bagian jalan lahir yang terletak di antaranya dan dinding panggul dapat
mengalami tekanan berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, maka dapat terjadi
nekrosis yang akan jelas dalam beberapa hari setelah melahirkan dengan munculnya
fistula vesikovaginal, vesikoservikal, atau rektovaginal. Umumnya nekrosis akibat
penekanan ini terjadi setelah persalinan kala dua yang sangat berkepanjangan.10,15

Gambar 11. Komplikasi Fistula Pada Kala II Lama1

Menurut Myles dan Santolaya, terjadinya morbiditas maternal yang meliputi


laserasi jalan lahir, dan pendarahan postpartum sebanding dengan lama kala II
berlangsung. Selain itu, dalam penelitiannya, Myles dan Santolaya mendapatkan
bahwa tindakan bedah obstetri meningkat sesuai dengan lama dari kala II. Dalam
peneltiannya Brown et al, menyimpulkan bahwa ibu dengan kala II lama memiliki
resiko 1,4 kali terjadinya inkontinesia urine dibandingkan ibu yang tidak mengalami
kala II lama, dalam 3 bulan postpartum.9,16
Komplikasi yang terjadi pada janin akibat kala II lama adalah gawat janin
dalam rahim sampai meninggal. Juga dapat terjadi kelahiran janin dalam asfiksia

57
berat sehingga menimbulkan cacat otak menetap. Trauma persalinan merupakan
akibat lain dari persalinan kala II lama yang dilakukan tindakan operatif per vaginam.
Trauma tersebut meliputi eksoriasi kulit, sefalhematom, perdarahan subgaleal, ikterus
neonatorum berat, dan nekrosis kepala yang akan diikuti alopesia di kemudian
hari.Selain itu dapat terjadi patah tulang dada, lengan, kaki, kepala karena
pertolongan persalinan dengan tindakan.10

J. Prognosis
Prognosis dari partus kala II lama ini ditentukan oleh kecepatan dan ketepatan
dalam mendiagnosis serta menanganinya. Semakin lama partus tersebut berlangsung,
maka semakin besar kemungkinan terjadinya partus lama dan semakin banyak
komplikasi yang ditimbulkan baik pada ibu maupun pada janinnya.15

58
BAB III
DISKUSI

Kematian janin (IUFD) adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat
badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20
minggu atau lebih. Ketuban Pecah Dini (KPD) ialah pecahnya selaput ketuban secara
spontan pada saat belum inpartu, bila diikuti satu jam kemudian tidak timbul tanda-
tanda awal persalinan. Kala II lama (Prolonged Second Stage) diartikan sebagai
memanjangnya waktu kala II dimana pada primigravida berlangsung lebih dari 2 jam
dan pada multipara berlangsung lebih dari 1 jam. Pada Pasien ini didapatkan
kehamilan G2P1A0 aterm yang datang dengan keluhan nyeri perut bagian bawah
yang terjadi sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Menurut pengakuan pasien,
pasien sudah merasakan keluar cairan (ketuban) kurang lebih 4 hari sebelum masuk
rumah sakit. Pasien sebelum ke rumah sakit pasien sudah ditolong oleh seorang
dukun untuk melakukan proses melahirkan sejak 1 hari sebelum ke rumah sakit.
Akan tetapi pasien tidak bisa melhirkan anaknya sehingga dibawa ke rumah sakit. Hal
ini sesuai dengan teori bahwa pada kejadian ketuban pecah dini yang menyatakan
bahwa pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum inpartu, bila diikuti
satu jam kemudian tidak timbul tanda-tanda awal persalinan. Kemudian juga pada
pasien ini didapatkan adanya kala II lama karena suda di tolong oleh dukun untuk
proses persalinan akan tetapi tida bisa melahirkan anaknya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan darah: 120/90 mmHg, Nadi:
127x/menit, Pernapasan: 36x/menit dan Suhu: 37,3ºC. pada pemeriksaan obstetric
didadatkan : Leopold 1: TFU 34 cm, teraba bokong, konsistensi lunak, Leopold 2 :
pusnggung sebelah kanan, ekremitas sebelah kiri, DJJ tidak terdengar pada punggung
kanan, Leopold 3 : presentasi kepala, Leopold 4 : 5kepala sudah masuk ke PAP , HIS
(+), Inspekulo : tidak dilakukan, VT : Pembukaan Lengkal, Hodge II, Caput (+), His
(+), dan djj tidak terdengar. dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan bahwa janin yang

59
dikandung oleh pasien telah meninggal atau yang disebut dengan IUFD. Hal ini
serupa dengan teori yang menyatakan bahwa salah satu syarat untuk bisa dikatakan
IUFD dalah tidak terdengar DJJ.

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F Gary. et all. 2010. Obstetric Williams. 23 rd ed. USA: The


McGraw-Hill Companies, Inc.
2. Manuaba,IBG.,2010. Ilmu Kebidanan, penyakit Kandungan dan KB untuk
Pendidikan Bidan Edisi 2. Jakarta:EGC
3. Marthius, 2007. Bedah kebidanan Martius. Jakarta : ECG
4. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
5. Bobak, I, dkk. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC
6. Carey, J. 2005.: Ilmu Kesehatan Obstetri Patologi Reproduksi Edisi 2.
Jakarta:EGC
7. Chapman, V. 2006. Asuhan Kebidanan Persalinan & Kelahiran (The Midwife’s
Labour and Birth Handbook). Jakarta : EGC : 444 –5.
8. Made IP. Ketuban Pecah Dini. In: Karkata, K; Suwiyoga; Wardhiana;Pemaron.
Prosedur Tetap Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS Sanglah
Denpasar. Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS Sanglah. Denpasar.
p:8-10. 2004.
9. Sualman K.Penatalaksanaan KetubanPecah Dini pada Kehamilan
Preterm.Universitas Riau, Pekanbaru. 2009
10. Lewi L, Schoubroeck DV, Ranst MV, Bries G, Emonds M-P, Arabin B, et
al.Successful Patching of Iatrogenic Rupture of the Fetal
Membranes.Placenta(2004), 25, 352–356
11. Devlieger R, Millar LK, Bryant G, Lewi L, Deprest JA. Fetal MembraneHealing
After Spontaneous and Iatrogenic Membrane Rupture: A Review ofCurrent
Evidence. American Journal of Obstetrics and Gynecology (2006)195, 1512–20
12. Weber G, Merz E. Amniotic Fluid. Ultrasound in Obstetrics andGynecology.
2005:409-414

61
13. Intrapartum care: Care of healthy women and their babies during childbirth. NICE
Guidelines; 2007.
14. Hutagalung, Filderia., Marliandiani. Hubungan antara Usia, Paritas Dengan
Persalinan Kala II Lama (Studi Kasus di RSUD dr. Moch. Soewandhie Surabaya).
Program studi D-III Kebidanan Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. 2011
15. South Australia Perinatal Practice Guideline: Chapter 9a Delays in the second
stage of labour. South Australia, 2012.
16. Myles, Thomas D., Santolaya, Joaquin. Maternal and Neonatal Outcomes in
Patients With a Prolonged Second Stage of Labor. Jobstet Gynecol America
2003: 102 (1); 52-8.
17. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2008.
18. Neilson, J.P., lavender, T., Quenby, S., Wray, S. Obstructed labour: reducing
maternal death and disability during pregnancy.British Medical Bulletin, 2003:
67: 191–204.
19. Joy, S., Thomas, P. 2011. Abnormal Labor. Emedicine (Serial Online), 2011.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/273053-overview,
Accesed on May 5, 2013.
20. Pernoll, M. L. Benson & Pernoll’s handbook of obstetrics and gynecology. Tenth
edition. New York: Mc Graw Hill, 2001.
21. Syakurah, Risma. Tinjauan Pustaka Partus Kasep (Serial Online), 2011.
http//www.wordpress.com. diakses tanggal 5 Mei 2012.
22. Buku Acuan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED).
Jaarta:Bakti Husada, 2008.
23. Brown, SJ., Gartland, D., Donath, S., MacArthurc, C., Effects of prolonged
second stage, method of birth, timing of caesarean section and other obstetric risk
factors on postnatal urinary incontinence: an Australian nulliparous cohort study.
International Journal of Obstetrics and Gynaecology, 2011.

62
24. Gde Manuaba, I.B. Ketuban Pecah Dini (KPD). Ilmu Kebidanan, Penyakit
Kandungan & Keluarga Berencana. Jakarta: EGC; 2001. Hal: 229-232.

63

Anda mungkin juga menyukai