Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Pembimbing :
dr. H. Achmad Husain, Sp.OG

Oleh :
Karis Akmal Hussin
(201820401011134)

SMF OBSTETRI DAN GYNEKOLOGI


RSUD Dr. H. SLAMET MARTODIRJO PAMEKASAN
FAKULTAS KEDOKTERAN

i
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb,

Segenap puji syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT yang selalu
melimpahkan segala rahmat dan hidayahnya maka tugas referat yang berjudul
“Hipertensi Dalam Kehamilan” ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan
tugas ini merupakan salah satu tugas yang penulis laksanakan selama mengikuti
kepaniteraan di SMF Obstetri dan Gynekologi RSUD Dr. H. Slamet Martodirjo
Pamekasan. Kami mengucapkan terimakasih kepada dr. H. Achmad Husain,
Sp.OG selaku dokter pembimbing dalam penyelesaian tugas referat ini,
terimakasih atas bimbingan, saran, petunjuk dan waktunya sehingga dapat
menyelesaikan tugas ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk kritik dan saran selalu kami harapkan. Besar harapan kami
semoga tugas ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya serta penyusun pada
khususnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Pamekasan, 14 Agustus 2019

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Referat dengan judul “Hipertensi Dalam Kehamilan” telah diperiksa dan


disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
Dokter Muda di SMF Obstetri dan Gynekologi.

Pamekasan, 14 Agustus 2019


Pembimbing

dr. H. Achmad Husain, Sp.OG

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Tiga penyebab klasik kematian ibu yang paling dikenal di Indonesia di

samping infeksi dan perdarahan ialah preeklamsia. Berdasarkan Survei Demografi

dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun angka kematian ibu (AKI) atau Maternal

Mortality Ratio (MMR) di Indonesia untuk periode 2008 sampai dengan 2012

ialah 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini lebih tinggi dari hasil

SDKI 2007 yang besarnya 228 per 100.000 kelahiran hidup. Kejadian preeklamsia

dikatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat bila Case Fatality Rate (CFR)

preeklamsia mencapai 1,4% sampai 1,8%. Di Indonesia frekuensi kejadian

preeklamsia sekitar 3-10% (SDKI, 2012).

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2008, bahwa

setiap tahunnya wanita yang bersalin meninggal dunia mencapai lebih dari

500.000 orang, salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin

adalah Preeklampsia (PE), angka kejadiannya berkisar antara 0,51%- 38,4%. Di

negara maju angka kejadian preeklampsia berkisar 6-7% dan eklampsia 0,1-0,7%

(Amelda, 2009).

BAB II
PEMBAHASAN

1
2.1 Definisi
Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK) adalah suatu keadaan yang

ditemukan sebagai komplikasi medik pada wanita hamil dan sebagai penyebab

morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin.

Klasifikasi penyakit hipertensi yang mempersulit kehamilan menurut National

High Blood Pressure Education Program (2000) dibagi menjadi 4, yaitu:

1. Hipertensi gestasional
- TD sistolik ≥ 140 mmHg atau TD diastolik ≥ 90 mmHg ditemukan pertama

kali sewaktu hamil


- TD kembali normal sebelum 12 minggu pascapartum
2. Preeklampsia

Kriteria minimum :

- TD ≥ 140/90 mmHg yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu


- Proteinuria ≥300 mg/24 jam atau ≥ 1+ pada pemeriksaan carik celup

Kemungkinan preeklampsia meningkat :

- TD ≥ 160/110 mmHg
- Proteinuria 2 g/24 jam atau ≥ 2+ pada pemeriksaan carik celup
- Kreatinin serum > 1,2 mg/dL kecuali memang sebelumnya diketahui

meningkat
- Trombosit < 100.000/µL
- Hemolisis mikroangiopatik – peningkatan LDH
- Peningkatan kadar transaminase serum – ALT atau AST
- Nyeri kepala yang persisten atau gangguan serebral atau visual lainnya
- Nyeri epigastrik persisten
3. Eklampsia
- Kejang yang tidak disebabkan oleh penyebab lain pada perempuan dengan

preeklampsia
4. Preeklampsia yang bertumpang tindih pada hipertensi kronis
- Proteinuria awitan baru ≥300 mg/24 jam pada perempuan hipertensi, tetapi

tidak ditemukan proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu


- Peningkatan mendadak proteinuria atau tekanan darah atau hitung trombosit

< 100.000/µL pada perempuan yang mengalami hipertensi dan proteinuria

sebelum kehamilan 20 minggu


5. Hipertensi kronis

2
- TD ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau terdiagnosis sebelum kehamilan

20 minggu, tidak disebabkan penyakit trofoblastik gestasional, atau


- Hipertensi pertama kali didiagnosis selama kehamilan 20 minggu dan

menetap setelah 12 minggu pascapartum

(Cunningham, 2009)

2.2 Faktor Risiko Preeklampsia

Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam

kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut :

1. Primigravida, primipaternitas
2. Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes

melitus, hidrops fetalis, bayi besar


3. Umur yang ekstrim
4. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
5. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas

(Sarwono, 2003)

2.3 Etiopatogenesis Preeklampsia

Setiap teori yang memuaskan mengenai etiologi dan patogenesis

preeklampsia harus dapat menjelaskan hasil pengamatan bahwa penyakit

hipertensi dalam kehamilan lebih mungkin timbul pada perempuan yang :

- Terpajan vili korionik untuk pertama kalinya


- Terpajan vili korionik dalam jumlah berlebihan, misalkan : kehamilan

ganda, mola hidatidosa


- Telah memiliki penyakit ginjal atau kardiovaskular
- Secara genetis berisiko untuk mengalami hipertensi selama kehamilan

Adanya janin bukan merupakan syarat diagnosis preeklampsia. Juga,

meskipun vili korionik berperan penting, mereka tidak harus terdapat dalam

uterus. Apapun etiologi pencetusnya, rangkaian peristiwa yang menyebabkan

sindrom preeklampsia ditandai dengan sejumlah kelainan yang menimbulkan

kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya, vasospasme, transudasi

plasma, serta komplikasi iskemik dan trombotik.

3
2.4 Patofisiologi Preeklampsia

Proses patologi pada preeklampsia disebabkan oleh jejas pada sel-sel

endotel, yang menyebabkan terjadinya mikroangiopati pada berbagai lokasi di

tubuh (hati, otak, ginjal, dan organ lainnya). Jejas tersebut disebabkan antara lain

oleh mediator-mediator inflamasi (tromboksan dan endotelin) dan vasokonstriksi

(angiotensin II) yang bersirkulasi dalam darah. Penyebab peningkatan jumlah

mediator tersebut dan patofisiologi preeklampsia hingga kini masih belum jelas,

banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan

tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori

yang sekarang banyak dianut adalah :

a) Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta

Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas

ke dalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot

tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki

jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan

memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan

vasodilatasi lumen arteri spiralis ini member dampak penurunan tekanan darah,

penurunan resistensi vascular, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero

plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga

meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini

dinamakan “remodeling arteri spiralis”.

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada

lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot spiralis

menjadi tetap kaku dank eras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan

mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami

4
vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”, sehingga alirah

darah utero plasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.

b) Teori iskemia plasenta, radikal bebas, disfungsi endotel

Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan

oksidan (radikal bebas). Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima

electron atau atom/ molekul yang mempunyai electron yang tidak berpasangan.

Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal

hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh

darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses normal,

karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal

hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang

beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut “toxaemia”.

Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam

lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak

membran sel, juga akan merusak nukleus, protein sel endotel. Produksi oksidan

(radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan

produksi antioksidan.

Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kdar oksidan,

khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin E

pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar

oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan/

radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran

darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah

mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung

berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak

5
jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil,

yang akan berubah menjadi peroksida lemak.

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi

kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel.

Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,

bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel (disfungsi endotel). Pada waktu

terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka

akan terjadi :

- Gangguan metabolism prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel

adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin

(PGE2) suatu vasodilator.


- Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.

Agregasi sel trombosit ini untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel

yang mengalami kerusakan dan agregasi trombosit memproduksi tromboksan

(TXA2) suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal perbandingan

kadar protasiklin/tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga

terjadi vasokonstriksi, dengan kenaikan tekanan darah.


- Perubahan khas pada endotel kapilar glomerulus (glomerular endotheliosis).
- Peningkatan permeabilitas kapilar.
- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO

(vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat.


- Peningkatan faktor koagulasi.

c) Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi

dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut :

 Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam

kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida.

6
 Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih besar

terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami

sebelumnya.
 Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam

kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah

makin lama periode ini, makin kecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya “hasil

konsepsi” yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte

antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respons imun,

sehingga ibu tidak trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu.

Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam

jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupaka prakondisi untuk terjadinya invasi

trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, di samping untuk menghadapi sel NK.

Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G.

berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke

dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi

lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-

G juga merangsang produksi sitikon, sehingga memudahkan terjadinya reaksi

inflamasi. Kemungkinan terjadinya Immune-Maladaptation pada preeklampsia.

d) Teori adaptasi kardiovaskular

Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan

vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan

bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk

menimbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan normal terjadinya refrakter

pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya

sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa

daya refrakter terhadapa bahan vasopresor akan hilang bila diberi prostaglandin

7
sisntesa inhibitor (bahan yang menghambat produksi prostaglandin).

Prostaglandin ini di kemudian hari ternyata adalah prostasiklin.

Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan

vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan

vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor

hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor.

Banyak peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap bahan-

bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada trimester 1.

Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi dalam

kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan 20 minggu.

e) Teori defisiensi gizi

Berdasarkan penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak

ikan, termasuk minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia.

Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat

menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan

mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti telah mencoba

melakukan uji klinik untuk memakai konsumsi minyak ikan atau bahan yang

mengandung asam lemak tak jenuh dala mencegah preeklampsia. Hasil sementara

menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil baik dan mungkin dapat dipakai

sebagai alternatif pemberian aspirin.

Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet

perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsi/ eklampsia.

Peneliti di Negara Equador Andes dengan metode uji klinik, ganda tersamar,

dengan membandingkan pemberian kalsium dan plasebo. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen kalsium cukup, kasus yang

mengalami preeklampsia adalah 14 % sedang yang diberikan glukosa 17 %.

8
(Felicia, 2010; Dikman, 2011)

2.5 Gejala Klinis Preeklampsia

Pada preeklampsia didapatkan gejala sakit kepala di daerah frontal,

skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual dan atau

muntah. Gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan

merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Tekanan darah pun akan

meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan tekanan darah sistolik 30

mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat lebih dari 140/90

mmHg. Tekanan darah pada preeklampsia berat meningkat lebih dari 160/110

mmHg dan disertai kerusakan beberapa organ. Di samping itu dapat ditemukan

juga takikardia, takipnu, edema paru, perubahan kesadaran, hipertensi

ensefalopati, hiperefleksia dan perdarahan otak (Michael, 2005).

2.6 Penegakan Diagnosis Preeklampsia

1. Anamnesis

Dilakukan anamnesis pada pasien/keluarganya mengenai adanya gejala,

penyakit terdahulu, penyakit keluarga dan gaya hidup sehari-hari. Gejala dapat

berupa nyeri kepala, gangguan visus, rasa panas dimuka, dispneu, nyeri dada,

mual muntah dan kejang. Penyakit terdahulu seperti hipertensi dalam kehamilan,

penyulit pada pemakaian kontrasepsi hormonal, dan penyakit ginjal. Riwayat gaya

hidup meliputi keadaan lingkungan sosial, merokok dan minum alkohol.

2. Pemeriksaan Fisik

Evaluasi tekanan darah dilakukan dengan cara meminta pasien dalam

posisi duduk di kursi dengan punggung bersandar pada sandaran kursi, lengan

yang akan diukur tekanan darahnya, diletakkan setinggi jantung dan bila perlu

9
lengan diberi penyangga. Lengan atas harus dibebaskan dari baju yang terlalu

ketat melingkarinya. Pada wanita hamil bila tidak memungkinkan duduk, dapat

miring kearah kiri. Pasien dalam waktu 30 menit sebelumnya tidak boleh minum

kopi dan tidak minum obat-obat stimulant adrenergik serta istirahat sedikitnya 5

menit sebelum dilakukan pengukuran tekanan darah.

Alat yang dipakai untuk mengukur tekanan darah adalah

sphygmomanometer. Letakkan manset atau bladder cuff di tengah arteri brachialis

pada lengan kanan, sisi bawah manset kurang lebih 2,5 cm diatas fosa antecubital.

Manset harus melingkari sekurang- kurangnya 80% dari lingkaran lengan atas dan

menutupi 2/3 lengan atas. Menentukan tekanan sistolik palpasi dengan cara

palpasi pada arteri radialis dekat pergelangan tangan dengan dua jari sambil

pompa cuff sampai denyut nadi arteri radialis menghilang. Baca berapa nilai

tekanan ini pada manometer, kemudian buka kunci pompa. Selanjutnya untuk

mengukur tekanan darah, cuff dipompa secara cepat sampai melampaui 20-30

mmHg diatas tekanan sistolik palpasi. Pompa dibuka untuk menurunkan mercury

dengan kecepatan 2-3 mmHg/detik. Tentukan tekanan darah sistolik dengan

terdengarnya suara pertama (Korotkoff I) dan tekanan darah diastolik pada waktu

hilangnya denyut arteri brakhialis

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang perlu dilakukan dalam kasus hipertensi sebagai

komplikasi kehamilan adalah proteinuria, untuk diagnosis dini preeklampsia yang

merupakan akibat dari hipertensi kehamilan. Pemeriksaan proteinuria dapat

dilakukan dengan dua metode, yaitu secara Esbach dan Dipstick. Pengukuran

secara Esbach, dikatakan proteinuria jika didapatkan protein ≥300 mg dari 24 jam

jumlah urin. Nilai tersebut setara dengan kadar proteinuria ≥30 mg/dL (+1

10
dipstick) dari urin acak tengah yang tidak menunjukkan tanda- tanda infeksi

saluran kencing. Interpretasi hasil dari proteinuria dengan metode dipstick adalah:

 +1 = 0,3 – 0,45 g/L

 +2 = 0,45 – 1 g/L

 +3 = 1 – 3 g/L

 +4 = > 3 g/L.

4. Penegakan Diagnosis Preeklampsia

Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada

kehamilan/diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika

hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan

preeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat preeklampsia

tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin,

namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain

dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:

 Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter


 Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan

peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan

ginjal lainnya
 Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan

atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen


 Edema Paru
 Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
 Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau

didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)


5. Penegakan Diagnosis Preeklampsia Berat

Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada

preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi

kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria

11
gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau

preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :

 Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg

diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan

lengan yang sama


 Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
 Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan

peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan

ginjal lainnya
 Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan

atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen


 Edema Paru
 Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
 Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau

didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

(Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI, 2010; Pedoman Nasional Pelayanan

Kedokteran, 2016)

2.7 Penatalaksanaan Preeklampsia

Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,

pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit

organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Selain itu, pemeriksaan

sangat teliti yang diikuti dengan observasi harian tentang tanda-tanda klinik

berupa : nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan cepat berat

badan sehingga perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran

proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan

pemeriksaan USG dan NST.

Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan

preeklampsia ringan, yaitu dibagi menjadi dua unsur diantaranya adalah :

12
a) Sikap terhadap penyakit : pengobatan medikamentosa
 Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat

inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri).

Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan

karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai faktor risiko tinggi

untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan

tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru

dan oliguria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan

gradien tekanan onkotik koloid/ pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena

itu, monitoring input cairan (melalui oral ataupun infus) dan output cairan

(melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara

cepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin.

Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi.

Cairan yang diberikan dapat berupa :

- 5% Ringer-dekstrose atau cairan garam faali jumlah tetesan : < 125 cc/

jam.
- Infus dekstrose 5% yang tiap liternya diselingi dengan infus ringer

laktat (60-125 cc/ jam) 500 cc.

Dipasang Folley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria

terjadi bila produksi urin < 30 cc/ jam dam 2-3 jam atau < 500 cc/ 24 jam.

Diberikan antasida untuk menetralisir lambung sehingga bila mendadak kejang,

dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang

cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.

Pemberian obat

Obat antikejang adalah :

13
- MgSO4

Obat lain untuk anti-kejang :

- Diazepam
- Fenitoin

Fenitoin sodium ini mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron, cepat

masuk jaringan otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena,

diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50

mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat.

Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada

rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi

neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium

sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak

terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium).

Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium

sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk

antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.

 Cara pemberian :
- Magnesium sulfat regimen :
- Loading dose : initial dose

4 gram MgSO4 : intravena, (40% dam 10 cc) bolus pelan selama 15

menit.

Maintenance dose :

Diberikan infus 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau diberikan 4

atau 5 gram im. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram im

tiap 4-6 jam.

Syarat-syarat pemberian MgSO4 :

14
 Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi

yaitu kalsium glukonas 10 % = 1 g (10 % dalam 10 cc)

diberikan i.v 3 menit.


 Refleks patella (+) kuat.
 Frekuensi pernapasan >16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda

distress napas.
 Urin sekurang-kurangnya 150 cc/ 6 jam.

MgSO4 dihentikan bila :

 Ada tanda-tanda intoksikasi


 Setelah 24 jam pasca persalinan atau 24 jam setelah kejang

terakhir.

Pemberian antihipertensi jika tekanan darah sistolik 160 mmHg dan/ atau

tekanan diastolik ≥ 90 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu

penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik. Antihipertensi lini pertama : Nifedipin

dengan dosis 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg

dalam 24 jam.

Mengontrol tekanan darah tinggi merupakan bagian penting dalam

pengobatan preeklamsi. Satu-satunya cara untuk menyembuhkan gangguan ini

adalah dengan melahirkan bayi pasien. Tingkat keparahan gejala akan membantu

memutuskan apakah segera melahirkan bayi pasien.

Untuk mengobati preeklamsi, beebrapa obat dapat direspkan untuk

menurunkan tekanan darah dan melindungi dari komplikasi. Menurunkan tekanan

darah tinggi tidak akan mencegah preeklamsi menjadi semakin parah. Ini

dikarenakan tekanan darah tinggi hanyalah gejala preeklamsi, bukan penyebab.

Obat juga diresepkan untuk mencegah kejang.

Magnesium sulfat biasanya mulai diminum sebelum kelahiran dan

dilanjutkan selama 24 jam setelah melahirkan jika pasien mengalami kejang yang

berhubungan dengan preeklamsi. Bila mungkin, obat steroid akan diberikan

15
sebelum kelahiran prematur (hingga 34 minggu). Obat ini akan sampai di paru-

paru bayi selama periode 24 jam yang dapat menurunkan resiko masalah

pernapasan setelah lahir.

Obat yang dianjurkan sebagai obat anti hipertensi oral pada kehamilan.

Obat ini adalah alpha adrenergic, yang memepengaruhi sistem saraf pusat dan

menghambat medulla oblongata di otak dari mengirinkan sinyal ke pembuluh

darah untuk mengerut (yang akan meningkatkan tekanan darah). Dosis harian

yang diperlukan adalah 500mg sampai 2 gr, dibagi menjadi 2 sampai 4 dosis.

Kortikosteroid untuk meringankan sindrom HELLP

Fonseca dkk (2005) melakukan penelitian teracak pada 132 perempuan

yang mengalami sindrom HELLP, mereka dibagi dalam 2 kelompok, yaitu yang

mendapatkan dexamethason dan plasebo. Hasil akhir yang dinilai mencakup

durasi rawat inap, waktu pemulihan nilai laboratorium yang abnormal, pemulihan

parameter klinis dan komplikasi yang mencakup gagal ginjal akut, edema paru,

eklampsia dan kematian. Tidak ada satupun yang berbeda bermakna antara 2

kelompok. Pada studi blided serupa, Katz dkk (2008) melakukan penelitian secara

acak pada 105 perempuan pascapartum yang mengalami HELLP kedalam

kelompok yang mendapat dexamethason dan plasebo. Mereka menganalisis hasil

akhir yang serupa dengan penelitian Fonseca dan menemukan bahwa

dexamethason tidak memiliki manfaat.

b) Sikap terhadap kehamilannya


1. Perawatan Aktif (agresif) : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi

bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.

Indikasi :

 Ibu

16
- Umur kehamilan ≥ 37 minggu. Lockwood dan Paidas mengambil

batasan umur kehamilan > 37 minggu untuk preeklampsia ringan dan

batasan umur kehamilan ≥ 37 minggu untuk preeklampsia berat.


- Adanya tanda-tanda/ gejala-gejala Impending Eclampsia.
- Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu : keadaan klinik dan

laboratorium memburuk.
- Diduga terjadi solusio plasenta.
- Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan.
 Janin
- Adanya tanda-tanda fetal distress.
- Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction (IUGR).
- NST non reaktif dengan profil biofisik abnormal.
- Terjadinya oligohidramnion.
 Laboratorium

Adanya tanda-tanda ”Sindroma HELLP” khususnya menurunnya

trombosit dengan cepat.

1. Konservatif (ekspektatif) : berarti kehamilan tetap dipertahankan

bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.


- Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan 37 minggu tanpa

disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik.5

Pada umur kehamilan < 34 minggu (estimasi berat janin < 2000 g tanpa

tanda impending eclampsia.


- Diberikan 10 gr MgSO4 50% secara im setiap 6 jam dan dihentikan jika

ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan, selambat-lambatnya

dalam waktu 24 jam.


- Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan, keadaan ini dianggap sebagai

kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi.


Perawatan konservatif dianggap gagal bila :
- Ada tanda-tanda impending eclampsia.
- Kenaikan progresif tekanan darah.
- Ada sindroma HELLP.
- Ada kelainan fungsi ginjal
- Penilaian kesejahteraan janin jelek

17
18
Rekomendasi perawatan ekspektatif pada preeklampsia berat :

- Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat

dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu

dan janin stabil.


- Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga direkomendasikan

untuk
- Melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan tersedia

perawatan intensif bagi maternal dan neonatal (Level evidence II,

Rekomendasi A).

19
- Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preekklamsia berat,

pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan

paru janin (Level evidence I , Rekomendasi A).


- Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk melakukan

rawat inap selama melakukan perawatan ekspektatif (Level evidence IIb ,

Rekomendasi B).

2.8 Komplikasi Preeklampsia

Ibu

 Eklampsia
 Sistem saraf pusat : perdarahan intrakranial, trombosis vena sentral,

hipertensi ensefalopati, edema serebri, edema retina, makular atau retina

detachment dan kebutaan korteks.


 Gastrointestinal-hepatik : subkapsular heamatoma hepar, ruptur kapsul

hepar.
 Ginjal : gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.
 Hematologik : DIC, trombositopenia dan hematoma luka operasi.
 Kardiopulmonar : edema paru, cardiac arrest, iskemia miokardium.
 Lain-lain : asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendali.

Janin

 Prematuritas
 Intra Uterine Growth Restriction (IUGR)
 Gawat janin
 Kematian janin dalam rahim Intra Uterine Fetal Death (IUFD)
(Abadi, 2008)

2.9 Prognosis Preeklampsia

Penderita preeklampsia/eklampsia yang terhambat penanganannya akan

dapat berdampak pada ibu dan janin yang dikandungnya. Pada ibu dapat terjadi

perdarahan otak, dekompensasi kordis dengan edema paru, gagal ginjal dan

masuknya isi lambung ke dalam pernapasan saat kejang. Pada janin dapat terjadi

kematian karena hipoksia intrauterin dan kelahiran prematur.

20
Gambar. Alur prognosis ibu dan bayi pada preeklampsia/eklampsia (Winkjosastro,

2006)

2.10 Monitoring

Perempuan dengan hipertensi yang didiagnosis saat sedang hamil harus

dievaluasi dalam beberapa bulan pertama pascapartum. Mereka diberi konseling

mengenai risiko jangka panjang. Seperti yang disebutkan sebelumnya, semakin

lama hipertensi yang terdiagnosis dalam kehamilan menetap setelah kelahiran,

semakin besar kemungkinan perempuan tersebut memiliki hipertensi kronis.

Kelompok Kerja menyimpulkan bahwa hipertensi yang dicetuskan kehamilan

harus menghilang dalam 12 minggu setelah pelahiran (National High Blood

Pressure Education Program, 2000). Hipertensi yang menetap diluar episode ini

dianggap sebagai hipertensi kronis.

2.11 Pencegahan Preeklampsia

Strategi yang dilakukan guna mencegah hipertensi dalam kehamilan

meliputi upaya nonfarmakologi dan farmakologi. Upaya nonfarmakologi meliputi

edukasi, deteksi prenatal dini dan manipulasi diet. Sedangkan upaya farmakologi

mencakup pemberian aspirin dosis rendah dan antioksidan.

 Penyuluhan untuk kehamilan berikutnya

Wanita yang mengalami hipertensi selama kehamilan harus

dievaluasi pada masa postpartum dini dan diberi penyuluhan

21
mengenai kehamilan mendatang serta risiko kardiovaskular mereka

pada masa yang akan datang. Wanita yang mengalami preeklampsi-

eklampsia lebih rentan mengalami penyulit hipertensi pada kehamilan

berikutnya (James R dan Catherine N, 2004). Edukasi mengenai

beberapa faktor risiko yang memperberat kehamilan dan pemberian

antioksidan vitamin C pada wanita berisiko tinggi dapat menurunkan

angka morbiditas hipertensi dalam kehamilan.

 Deteksi pranatal dini

Selama kehamilan, waktu pemeriksaan pranatal dijadwalkan 1

kali saat trimester pertama, 1 kali saat trimester kedua dan 2 kali pada

trimester ketiga. Kunjungan dapat ditambah tergantung pada kondisi

maternal. Dengan adanya pemeriksaan secara rutin selama kehamilan

dapat dilakukan deteksi dini hipertensi dalam kehamilan. Wanita

dengan hipertensi yang nyata (≥140/90mmHg) sering dirawat inapkan

selama 2 sampai 3 hari untuk dievaluasi keparahan hipertensi

kehamilannya yang baru muncul. Meskipun pemilihan pemeriksaan

laboratorium dan tindakan tambahan tergantung pada sifat keluhan

utama dan biasanya merupakan bagian rencana diagnostik,

pemeriksaan sel darah lengkap dengan asupan darah, urinalisis serta

golongan darah dan rhesus menjadi tiga tes dasar yang memberikan

data objektif untuk evaluasi sebenarnya pada setiap kedaruratan

obstetri ginekologi. Hal tersebut berlaku pada hipertensi dalam

kehamilan, urinalisis menjadi pemeriksaan utama yang dapat

menegakkan diagnosis dini pada preeklampsi.

 Manipulasi diet

22
Salah satu usaha awal yang ditujukan untuk mencegah

hipertensi sebagai penyulit kehamilan adalah pembatasan asupan

garam. Diet tinggi kalsium dan pemberian kapsul dengan kandungan

minyak ikan dapat menyebabkan penurunan bermakna tekanan darah

serta mencegah hipertensi dalam kehamilan.

 Aspirin dosis rendah

Penelitian pada tahun 1986, melaporkan bahwa pemberian

aspirin 60 mg atau placebo pada wanita primigravida mampu

menurunkan kejadian preeklampsi. Hal tersebut disebabkan karena

supresi selektif sintesis tromboksan oleh trombosit serta tidak

terganggunya produksi prostasiklin.

 Antioksidan

Terapi antioksidan secara bermakna menurunkan aktivasi sel


endotel dan mengisyaratkan bahwa terapi semacam ini bermanfaat
dalam pencegahan hipertensi kehamilan, terutama preeklampsi.
Antioksidan tersebut dapat berupa vitamin C dan E.

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Strategi yang dilakukan guna mencegah hipertensi dalam kehamilan
meliputi upaya nonfarmakologi dan farmakologi. Upaya nonfarmakologi meliputi
edukasi, deteksi prenatal dini dan manipulasi diet. Sedangkan upaya farmakologi
mencakup pemberian aspirin dosis rendah dan antioksidan.
3.2 Saran
Bagi wanita yang mengalami hipertensi, sebaiknya:
1. Selama kehamilan harus dievaluasi pada masa postpartum dini dan
diberi penyuluhan mengenai kehamilan mendatang serta risiko
kardiovaskular mereka pada masa yang akan datang.
2. Selama kehamilan, waktu pemeriksaan pranatal dijadwalkan 1 kali
saat trimester pertama, 1 kali saat trimester kedua dan 2 kali pada
trimester ketiga. Kunjungan dapat ditambah tergantung pada
kondisi maternal.
3. Salah satu usaha awal yang ditujukan untuk mencegah hipertensi
sebagai penyulit kehamilan adalah pembatasan asupan garam.

24
Daftar Pustaka
Abadi, Agus, dkk. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya: Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Amelda.(2009). Gambaran Karakteristik Ibu Hamil Dengan Pre Eklamsia di
RSUP H. Adam Malik Medan, Periode 2005-2006.
Cunningham. 2009. Obstetri Williams Edisi 21. Jakarta : EGC
Dikman Angsar (2011). Hipertensi dalam kehamilan. Dalam (Sarwono
Prawirohardjo) Ilmu Kebidanan, Jakarta: Bina Pustaka.
Felicia D, Freedy FC, Iskandar WJ (2010). Suplementasi asam folat sebagai upaya
pencegahan preeklamsia pada ibu hamil di Indonesia. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kedokteran Indonesia vol. III, no. 01, Januari-Juni 2010, hal 30-
35.
Fonseca, J, Mendez, F, Catano, C & Arias, F 2005, 'Dexamethasone Treatment
Does Not Improve the Outcome of Women with HELLP Syndrome: a
double-blind, placebo-controled, randomized clinical trial', American
Journal of Obstetrics & Gynecology, vol 193, p. 1591.
James R, Catherine N. Management of hypertension before, during and after
pregnancy. Heart Education. 2004. 10: 1501-1503.
Katz L, de Amorim MM, Figueiroa JN, Pinto e Silva JL. Postpartum
dexamethasone for women with hemolysis, elevated liver enzymes, and low
platelets (HELLP) syndrome: a double-blind, placebo-controlled,
randomized clinical trial. American Journal of Obstetrics and
Gynecology. 2008; 282.e1–3.e8.
Michael., (2005). Bab 11. Sistem Kardiovaskular. Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
National High Blood Preesure Education Program. 2000. Working Group Report
on High Blood Pressure in Pregnancy. National Institutes of Health.
National Heart, Lung, and Blood Institute.
Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan : Diagnosis dan Tatalaksana
Preeklampsia. 2016.
Persatuan Dokter Obsgyn Indonesia. Panduan penatalaksanaan hipertensi dalam
kehamilan. HKFM, Jakarta. 2010: 20-24.
Sarwono, Ilmu kebidanan, edisi 3, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohordjo; 2003.
Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). 2012. Angka Kematian Ibu.
Dikutip dari www.bkkbn.co.id diakses pada tanggal 14 Agustus 2019.

25
Wiknjosastro, H., 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

26

Anda mungkin juga menyukai