Disusun oleh:
KARINI 2019-16-046
JAKARTA 2020
I. KONSEP MEDIS HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
A. PENGERTIAN
Hipertensi ialah tekanan darah sistolik dan sistolik ≥140/90 mmHg pengukuran tekanan
darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Kenaikan tekanan darah sistolik
≥ 30 mmHg dan kenaikan tekanan darah diastolik ≥ 15 mmHg sebagai parameter
hipertensi sudah tidak dipakai lagi (Prawirohardjo, 2013).
Hipertensi dalam kehamilan adalah suatu kondisi dalam kehamilan dimana tekanan darah
sistol diatas 140 mmHg dan diastol diatas 90 mmHg atau adanya peningkatan tekanan
sisstolik sebesar 30 mmHg atau lebih atau peningkatan diastolik sebesar 15 mmHg atau
lebih diatas nilai dasar yang mana diukur dalam dua keadaan, minimal dalam jangka
waktu 6 jam (Reeder dkk, 2011).
Menurut Prawirohardjo (2013) Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan:
1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu
atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan
hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca persalinan.
2. Preeklamsi adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
dengan proteinuria.
3. Eklamsi adalah preeklamsi yang disertai dengan kejang-kejang sampai dengan koma.
4. Hipertensi kronik dengan superposed preeklamsi adalah hipertensi kronik di sertai
tanda-tanda preeklamsi atau hipertensi kronik disertai proteinuriae.
5. Hipertensi gestasional (transient hypertensi) adalah hipertensi yang timbul pada
kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan
pascapersalin atau kehamilan dengan preeklamsi tetapi tanpa proteinuria.
Tabel 1 Perbedaan Hipertensi kronis, hipertensi gastasional dan
preeklampsia/eklampsia pada kehamilan (Karthikeyan, 2015)
Konsekuensi hipertensi pada kehamilan (Mustafa et al., 2012; Malha et al., 2018):
1. Jangka pendek
Ibu: eklampsia, hemoragik, isemik stroke, kerusakan hati (HELL sindrom, gagal hati,
disfungsi ginjal, persalinan cesar, persalinan dini, dan abruptio plasenta.
Janin: kelahiran preterm, induksi kelahiran, gangguan pertumbuhan janin, sindrom
pernapasan, kematian janin.
2. Jangka panjang
Wanita yang mengalami hipertensi saat hamil memiliki risiko kembali mengalami
hipertensi pada kehamilan berikutnya, juga dapat menimbulkan komplikasi
kardiovaskular, penyakit ginjal dan timbulnya kanker.
Hipertensi pada kehamilan dapat berkembang menjadi pre-eklampsia, eklampsia dan
sindrom HELLP. Kemudian dapat bermanifestasi dengan kejadian serebral iskemik
atau hemoragik pada pra, peri, dan postpartum menjadi penyakit stroke. Gejala pre-
eklampsia/eklampsia adalah sakit kepala, gangguan penglihatan (kabur atau kebutaan)
dan kejang. Hal ini dapat menyebabkan kecacatan bahkan kematian bagi ibu dan janin
bila tidak segara dilakukan penanganan (Vidal et al., 2011)
B. ETIOLOGI
Menurut Prawirohardjo (2013), menjelaskan penyebab hipertensi dalam kehamilan
belum diketahui secara jelas. Namun ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan
terjadinya hipertensi dan dikelompokkan dalam faktor risiko. Beberapa faktor risiko
sebagai berikut:
a. Primigravida, primipaternitas
b. Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes melitus,
hidrops fetalis, bayi besar.
c. Umur
d. Riwayat keluarga pernah pre eklampsia/ eklampsia e. penyakit- penyakit ginjal dan
hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
e. Obesitas
C. PATOFISOLOGI
Menurut Pratiwi dan Fatimah (2019) menjelaskan beberapa teori yang mengemukakan
terjadinya hipertensi dalam kehamilan diantaranya adalah:
1. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta
kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang
arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa uteri arkuarta dan memberi cabang arteri radialis. Arteri radialis
menembus endometrium menjadi arteri basalis dan artrei basalis memberi cabang
arteri spiralis.
Kehamilan normal akan terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis
yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri
spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan arteri spiralis mengalami distensi
dan dilatasi. Keadaan ini akan memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan
resistensi vaskular, dan peningkatan tekanan darah pada daerah utero plasenta.
Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat,
sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini sering
dinamakan dengan remodeling arteri spiralis. Sebaliknya pada hipertensi dalam
kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan
jaringan matriks sekitarrya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras
sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan
vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi dan terjadi
kegagalan remodeling arteri spiralis. Sehingga aliran darah uteroplasenta menurun,
dan terjadi hipoksia dan iskemia plasenta.
2. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, Dan Disfungsi Endotel
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan yang
disebut juga radikal bebas. Iskemia plasenta tersebut akan menghasilkan oksidan
penting, salah satunya adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya
terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil tersebut akan
merusak membran sel yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi
peroksida lemak. Peroksida lemak tersebut selain akan merusak membran sel, juga
akan merusak nukleus, dan protein sel endotel.
Peroksida lemak sebagai oksidan akan beredar diseluruh tubuh dalam aliran darah dan
akan merusak membran sel endotel. Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida
lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran
sel endotel.Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi
endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel.
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
HLA-G (human leukocyte antigen protein G) merupakan prakondisi untuk terjadinya
invasi trofoblas kedalam jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel
natular killer. HLA-G tersebut akan mengalami penurunan jika terjadi hipertensi
dalam kehamilan. Hal ini menyebabkan invasi desidua ke trofoblas terhambat. Awal
trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai kecendrungan terjadi pre-
eklampsia, ternyata mempunyai proporsi helper sel yang lebih rendah bila dibanding
pada normotensif.
4. Teori adaptasi kardiovaskuler
Daya refrakter terhadap bahan konstriktor akan hilang jika terjadi hipertensi dalam
kehamilan, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasopresor. Artinya daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang
hingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor.
5. Teori Genetik
Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial
jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang
mengalami pre-eklampsia, 2,6% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia
pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia.
6. Teori defisiensi gizi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan dalam
terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Misalnya seorang ibu yang kurang
mengkonsumsi minyak ikan, protein dan lain-lain.
7. Teori stimulus inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Plasenta juga akan
melepaskan debris trofoblas dalam kehamilan normal. Sebagai sisa-sisa proses
apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibar reaksi steress oksidatif.
Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses
inflamasi. Proses apoptosis pada preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidatif,
sehingga terjadi peningkatan produksi debris apoptosis dan dan nekrotik trofoblas.
Makin banyak sel trofoblas plasenta maka reaksi stress oksidatif makin meningkat,
sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini
menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar
dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal (Prawirohardjo, 2013).
Berdasarkan teori di atas, akan mengakibatkan terjadinya kerusakan membran sel
endotel. Kerusakan ini mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya
seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut dengan disfungsi sel endotel.
Apabila terjadi disfungsi sel endotel, maka akan terjadi beberapa gangguan dalam
tubuh, diantaranya adalah :
a. Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel adalah
memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2)
yang merupakan suatu fasodilator kuat.
b. Perubahan pada sel endotel kapiler glomerulus
c. Peningkatan permeabilitas kapiler
d. Peningkatan produksi bahan- bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO
(vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat.
e. Peningkatan vaktor koagulasi
f. Agresi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agresi
sel-sel trombosit ini untuk menutupi tempattempat di lapisan endotel yang
mengalami kerusakan. Terjadinya agresi trombosit akan memproduksi
tromboksan (TXA2) yang mana tromboksan tersebut merupakan suatu
vasokonstriktor kuat. Ibu hamil yang mengalami hipertensi akan terjadi
perbandingan kadar tromboksan (vasokonstriktor kuat) lebih tinggi dari pada
prostasiklin (vasodilator kuat), sehingga menyebabkan pembuluh darah cendrung
mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kenaikan tekanan darah.
D. MANIFESTASI KLINIS
Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyakit teoritis, sehingga terdapat berbagai
usulan mengenai pembagian kliniknya. Pembagian klinik hipertensi dalam kehamilan
adalah sebagai berikut (Ratnawati, 2016):
1. Hipertensi dalam kehamilan sebagai komplikasi kehamilan
a. Preeklampsi
Preeklampsi adalah suatu sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Diagnosis preeklampsi
ditegakkan jika terjadi hipertensi disertai dengan proteinuria dan atau edema
yang terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke-20. Proteinuria didefinisikan
sebagai terdapatnya 300 mg atau lebih protein dalam urin 24 jam atau 30 mg/dl
(+1 dipstik) secara menetap pada sampel acak urin. Preeklampsi dibagi menjadi
dua berdasarkan derajatnya yang dapat dilihat pada tabel.
Derajat preeklamsia
Ringan Berat
1) Hipertensi ≥ 140/90 mmHg 1) Hipertensi ≥ 160/110 mmHg
2) Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam 2) Proteinuria ≥ 500 mg/24 jam
atau ≥ +1 dipstik atau > +3 disptik
3) Oliguria kurang dari 500
ml/24 jam
4) Gangguan penglihatan dan
serebral
5) Edema paru dan sianosis
6) Nyeri epigastrium atau
kuadran kanan atas
7) Trombositopenia
8) Pertumbuhan janin terganggu
Proteinuria yang merupakan tanda diagnostik preeklampsi dapat terjadi karena
kerusakan glomerulus ginjal. Dalam keadaan normal, proteoglikan dalam
membran dasar glomerulus menyebabkan muatan listrik negatif terhadap
protein, sehingga hasil akhir filtrat glomerulus adalah bebas protein. Pada
penyakit ginjal tertentu, muatan negatif proteoglikan menjadi hilang sehingga
terjadi nefropati dan proteinuria atau albuminuria. Salah satu dampak dari
disfungsi endotel yang ada pada preeklampsi adalah nefropati ginjal karena
peningkatan permeabilitas vaskular. Proses tersebut dapat menjelaskan terjadinya
proteinuria pada preeklampsi. Kadar kreatinin plasma pada preeklampsi umumnya
normal atau naik sedikit (1,0-1,5mg/dl). Hal ini disebabkan karena preeklampsi
menghambat filtrasi, sedangkan kehamilan memacu filtrasi sehingga terjadi
kesimpangan (Reeder, 2011).
b. Eklampsia
Eklampsia adalah terjadinya kejang pada seorang wanita dengan preeklampsia
yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain. Kejang bersifat grand mal atau tonik-
klonik generalisata dan mungkin timbul sebelum, selama atau setelah persalinan.
Eklampsia paling sering terjadi pada trimester akhir dan menjadi sering
mendekati aterm. Pada umumnya kejang dimulai dari makin memburuknya
preeklampsia dan terjadinya gejala nyeri kepala daerah frontal, gangguan
penglihatan, mual, nyeri epigastrium dan hiperrefleksia. Konvulsi eklampsi dibagi
menjadi 4 tingkat, yaitu (Prawirohardjo, 2013):
1) Tingkat awal atau aura
Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa
melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya dan kepala diputar ke
kanan atau ke kiri.
2) Tingkat kejang tonik
Berlangsung kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi
kaku, wajah kelihatan kaku, tangannya menggenggam dan kaki membengkok
ke dalam. Pernapasan berhenti, muka terlihat sianotik dan lidah dapat tergigit.
3) Tingkat kejang klonik
Berlangsung antara 1-2 menit. Kejang tonik menghilang. Semua otot
berkontraksi secara berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut
membuka dan menutup sehingga lidah dapat tergigit disertai bola mata
menonjol. Dari mulut, keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan
kongesti dan sianotik. Penderita menjadi tak sadar. Kejang klonik ini dapat
terjadi demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat
tidurnya. Akhirnya kejang berhenti dan penderita menarik napas secara
mendengkur.
4) Tingkat koma
Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita
menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul
serangan baru yang berulang, sehingga penderita tetap dalam koma. Selama
serangan, tekanan darah meninggi, nadi cepat dan suhu meningkat sampai 40
C.
5) Kejang pada eklampsi berkaitan dengan terjadinya edema serebri.
Secara teoritis terdapat dua penyebab terjadinya edema serebri fokal yaitu
adanya vasospasme dan dilatasi yang kuat. Teori vasospasme menganggap
bahwa over regulation serebrovaskuler akibat naiknya tekanan darah
menyebabkan vasospasme yang berlebihan yang menyebabkan iskemia lokal.
Akibat iskemia akan menimbulkan gangguan metabolisme energi pada
membran sel sehingga akan terjadi kegagalan ATP-dependent Na/K pump
yang akan menyebabkan edema sitotoksik. Apabila proses ini terus
berlanjut maka dapat terjadi ruptur membran sel yang menimbulkan lesi
infark yang bersifat irreversible.
Teori force dilatation mengungkapkan bahwa akibat peningkatan tekanan
darah yang ekstrim pada eklampsi menimbulkan kegagalan vasokonstriksi
autoregulasi sehingga terjadi vasodilatasi yang berlebihan dan peningkatan
perfusi darah serebral yang menyebabkan rusaknya barier otak dengan
terbukanya tight junction sel- sel endotel pembuluh darah. Keadaan ini akan
menimbulkan terjadinya edema vasogenik. Edema vasogenik ini mudah
meluas keseluruh sistem saraf pusat yang dapat menimbulkan kejang pada
eklampsi.
2. Hipertensi dalam kehamilan sebagai akibat dari hipertensi menahun
a. Hipertensi kronik
Hipertensi kronik dalam kehamilan adalah tekanan darah ≥140/90 mmHg yang
didapatkan sebelum kehamilan atau sebelum umur kehamilan 20 minggu dan
hipertensi tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan. Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi kronis dibagi menjadi dua, yaitu hipertensi primer dan
sekunder. Pada hipertensi primer penyebabnya tidak diketahui secara pasti atau
idiopatik. Hipertensi jenis ini terjadi 90-95% dari semua kasus hipertensi.
Sedangkan pada hipertensi sekunder, penyebabnya diketahui secara spesifik yang
berhubungan dengan penyakit ginjal, penyakit endokrin dan penyakit
kardiovaskular (Pratiwi & Fatimah, 2019)
b. Superimposed preeclampsia
Pada sebagian wanita, hipertensi kronik yang sudah ada sebelumnya semakin
memburuk setelah usia gestasi 24 minggu. Apabila disertai proteinuria,
diagnosisnya adalah superimpose preeklampsi pada hipertensi kronik
(superimposed preeclampsia). Preeklampsia pada hipertensi kronik biasanya
muncul pada usia kehamilan lebih dini daripada preeklampsi murni, serta
cenderung cukup parah dan pada banyak kasus disertai dengan hambatan
pertumbuhan janin.
3. Hipertensi gestasional
Hipertensi gestasional didapat pada wanita dengan tekanan darah ≥140/90 mmHg
atau lebih untuk pertama kali selama kehamilan tetapi belum mengalami proteinuria.
Hipertensi gestasional disebut transien hipertensi apabila tidak terjadi preeklampsi
dan tekanan darah kembali normal dalam 12 minggu postpartum. Dalam klasifikasi
ini, diagnosis akhir bahwa yang bersangkutan tidak mengalami preeklampsi hanya
dapat dibuat saat postpartum. Namun perlu diketahui bahwa wanita dengan hipertensi
gestasional dapat memperlihatkan tanda-tanda lain yang berkaitan dengan
preeklampsi, misalnya nyeri kepala, nyeri epigastrium atau trombositopenia
yang akan mempengaruhi penatalaksanaan.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Purwaningsih & Fatmawati (2010) menyebutkan pemeriksaan diagnostik yang dilakukan
pada ibu hamil dengan hipertensi diantaranyana:
1. Uji urin kemungkinan menunjukkan proteinuria
2. Pengumpulan urin selama 24 jam untuk pembersihan kreatinin dan protein.
3. Fungsi hati: meningkatnya enzim hati (meningkatnya alamine, aminotransferase atau
meningkatnya aspartate).
4. Fungsi ginjal: profil kimia akan menunjukkan kreatinin dan elektrolit abnormal,
karena gangguan fungsi ginjal.
5. Tes non tekanan dengan profil biofisik.
6. USG seri dan tes tekanan kontraksi untuk menentukan status janin
7. Evaluasi aliran doppler darah untuk menentukan status janin dan ibu
F. PENATALAKSANAAN
Manuaba dkk (2013), menjelaskan beberapa penatalaksanaan yang dapat dilaukan pada
pasien dengan hipertensi dalam kehamilan diantaranya:
1. Hipertensi ringan
Kondisi ini dapat diatasi dengan berobat jalan. Pasien diberi nasehat untuk
menurunkan gejala klinis dengan tirah baring 2x2 jam/hari dengan posisi miring.
Untuk mengurangi darah ke vena kava inferior, terjadi peningkatan darah vena untuk
meningkatkan peredaran darah menuju jantung dan plasenta sehingga menurunkan
iskemia plasenta, menurunkan tekanan darah, meningkatkan aliran darah menuju
ginjal dan meningkatkan produksi urin.Pasien juga dianjurkan segera berobat jika
terdapat gejala kaki bertambah berat (edema), kepala pusing, gerakan janin terasa
berkurang dan mata makin kabur.
2. Hipertensi Berat
Dalam keadaan gawat, segera masuk rumah sakit, istirahat dengan tirah baring ke satu
sisi dalam suasana isolasi. Pemberian obat-obatan untuk menghindari kejang (anti
kejang), antihipertensi, pemberian diuretik, pemberian infus dekstrosa 5%, dan
pemberian antasida.
3. Hipertensi kronis
Pengobatan untuk hipertensi kronis adalah di rumah sakit untuk evaluasi menyeluruh,
pemeriksaan laboratorium lengkap serta kultur, pemeriksaan kardiovaskuler pulmonal
(foto thorax, EKG, fungsi paru).
Penatalaksanaan terhadap hipertensi dalam kehamilan tersebut juga dijelaskan oleh
Purwaningsih dan Fatmawati (2010) dan Prawirohardjo (2013), beberapa
penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan diantaranya:
1. Anjurkan melakukan latihan isotonik dengan cukup istirahat dan tirah baring.
2. Hindari kafein, merkok, dan alkohol.
3. Diet makanan yang sehat dan seimbang, yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang
mengandung cukup protein, rendah karbohidrat, garam secukupnya, dan rendah
lemak.
4. Menganjurkan agar ibu melakukan pemeriksaan secara teratur, yaitu minimal 4 kali
selama masa kehamilan. Tetapi pada ibu hamil dengan hipertensi dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan kehamilan yang lebih sering, terutama selama trimester
ketiga, yaitu harus dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu selama 2 bulan pertama
trimester ketiga, dan kemudian menjadi sekali seminggu pada bulan terakhir
kehamilan.
5. Lakukan pengawasan terhadap kehidupan dan pertumbuhan janin dengan USG.
6. Pembatasan aktivitas fisik.
7. Penggunaan obat- obatan anti hipertensi dalam kehamilan tidak diharuskan, karena
obat anti hipertensi yang biasa digunakan dapat menurunkan perfusi plasenta dan
memiliki efek yang merugikan bagi janin. Tetapi pada hipertensi berat, obat-obatan
diberikan sebagai tindakan sementara. Terapi anti hipertensi dengan agen farmakologi
memiliki tujuan untuk mengurangi tekanan darah perifer, mengurangi beban kerja
ventrikel kiri, meningkatkan aliran darah ke uterus dan sisitem ginjal serta
mengurangi resiko cedera serebrovaskular
G. KOMPLIKASI
Menurut Mitayani (2011), menyebutkan beberapa komplikasi yang mungkin terjadi
akibat hipertensi dalam kehamilan pada ibu dan janin.
Pada ibu:
1. Eklampsia
2. Pre eklampsia berat
3. Solusio plasenta
4. Kelainan ginjal
5. Perdarahan subkapsula hepar
6. Kelainan pembekuan darah
7. Sindrom HELLP (hemolisis, elevated, liver, enzymes, dan low platellet count).
8. Ablasio retina.
Pada janin:
1. Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus
2. Kelahiran premature
3. Asfiksia neonatorum
4. Kematian dalam uterus
5. Peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal.
1. Anamnesa
Biasanya ibu akan mengalami: sakit kepala di daerah frontal, terasa sakit di ulu
hati/ nyeri epigastrium, bisa terjadi gangguan visus, mual dan muntah, tidak nafsu
makan, bisa terjadi gangguan serebral, bisa terjadi edema pada wajah dan
ekstermitas, tengkuk terasa berat, dan terjadi kenaikan berat badan 1 kg/ minggu.
c. Riwayat Perkawinan
Biasanya terjadi pada wanita yang menikah di bawah usia 20 tahun atau di atas 35
tahun.
d. Riwayat Obstetri
Biasanya hipertensi dalam kehamilan paling sering terjadi pada ibu hamil
primigravida, kehamilan ganda, hidramnion, dan molahidatidosa dan semakin
semakin tuanya usia kehamilan (Prawirohardjo, 2013).
f. Data Psikologis
Biasanya ibu yang mengalami hipertensi dalam kehamilan berada dalam kondisi yang
labil dan mudah marah, ibu merasa khawatir akan keadaan dirinya dan keadaan janin
dalam kandungannya, dia takut anaknya nanti lahir cacat ataupun meninggal dunia,
sehingga ia takut untuk melahirkan (Prawihardjo, 2013)
2. Pemeriksaan fisik
Tekanan darah : Pada ibu hamil dengan hipertensi akan ditemukan tekanan darah
darah sistol diatas 140 mmHg dan diastol diatas 90 mmHg.
Nafas : Biasanya pada ibu hamil dengan hipertensi akan ditemuksn nafas
pendek, dan pada ibu yang mengalami eklampsia akan terdengar bunyi nafas yang
berisik dan ngorok.
Berat badan : Biasanya akan terjadi peningkatan berat badan lebih dari 0,5
kg/minggu, dan pada ibu hamil yang mengalami preeklampsia akan terjadi
peningkatan BB lebih dari 1 kg/minggu atau sebanyak 3 kg dalam 1 bulan
Kepala : Biasanya ibu hamil akan ditemukan kepala yang berketombe dan
kurang bersih dan pada ibu hamil dengan hipertensi akan mengalami sakit kepala.
Thorax :
b) Jantung : Pada ibu hamil biasanya akan terjadi palpitasi jantung, pada ibu
yang mengalami hipertensi dalam kehamilan,khususnya pada ibu yang
mengalami preeklampsia beratakan terjadi dekompensasi jantung.
Pemeriksaan janin : Biasanya ibu hamil dengan hipertensi bisa terjadi bunyi jantung
janin yang tidak teratur dan gerakan janin yang melemah (Mitayani, 2011).
Sistem persarafan : Biasanya ibu hamil dengan hipertensi bisa ditemukan hiper
refleksia, klonus pada kaki
Genitourinaria : Biasanya ibu hamil dengan hipertensi akan didapatkan oliguria
dan proteinuria, yaitu pada ibu hami dengan preeklampsia (Reeder, 2011).
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
b. Perawatan
kehamilan resiko
tinggi
Kriteria hasil:
1) Tingkat
pernapasannormal
2) Irama
pernapasannormal
3) Tekanan nadinormal
4) Kedalaman
inspirasinormal
3) pengurangan
kecemasan
Tindakan keperawatan:
1) Gunakan pendekatan
yang tenang dan
meyakinkan
2) Berusaha untuk
memahami perspektif
pasien dari situasi stress
3) Anjurkan pasien dalam
menggunakan teknik
relaksasi
4) Tentukan pasien dalam
pengambilan keputusan
ANALISA KASUS HDK
Seorang ibu berusia 35 tahun dengan status obstetri G1P0A0 hamil 27 minggu. Ibu datang ke
puskesmas untuk ANC, ibu mengeluh pusing sejak satu minggu yang lalu. Hasil anamnesis:
keluhan tidak disertai pandangan kabur atau nyeri ulu hati dan tidak ada riwayat tekanan
darah tinggi. Hasil pemeriksaan didapatkan TD 140/100 mmHg, P 20 x/menit, N 84 x/menit,
TFU 27 cm, DJJ 148 x/menit, protein urin +
ANALISA DATA
Data Etiologi Masalah
Ds: Gangguan adaptasi Gangguan rasa nyaman
Ibu mengeluh pusing sejak 1 kehamilan
minggu yang lalu, hamil 27
minggu G1P0A0
Do:
TD 140/100 mmHg, P 20
x/menit, N 84 x/menit, TFU
27 cm, protein urin +
Ds: Usia ibu ≥ 35 tahun Risiko cedera pada janin
Seorang ibu berusia 35
tahun dengan status obstetri
G1P0A0 hamil 27 minggu.
Do:
TD 140/100 mmHg, P 20
x/menit, N 84 x/menit, DJJ
148 x/menit
DIAGNOSA KEPERAWATAN
RENCANA KEPERAWATAN
DAFTAR PUSTAKA
Manuaba, Chandranita.dkk. (2013). Gawat Darurat Obstetri Ginekologi & Obstetri
Ginekologi Sosial Untuk Profesi Bidan. Jakarta: EGC
Mitayani. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika
Pratiwi, A., & Fatimah. (2019). Patologi Dalam Kehamilan Memahami Berbagai Penyakit &
Komplikasi Kehamilan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Prawirohardjo, Sarwono. (2013). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka
Purwaningsih, Wahyu dan Fatmawati, Siti. (2010). Asuhan Keperawatan Maternitas.
Yogyakarta: Nuha Medika
Ratnawati, A. (2016). Asuhan Keperawatan Maternitas. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Reeder dkk. (2011). Keperawatan Maternitas Kesehatan Wanita, Bayi, & Keluarga: Volume
1 (Edisi 18). Jakarta: EGC
__________. (2011).Keperawatan Maternitas Kesehatan Wanita, Bayi, & Keluarga: Volume
2 (Edisi 18). Jakarta: EGC.