Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Preeklampsia merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada
maternal dan neonatal di seluruh dunia. Preeklampsia adalah hipertensi (tekanan
darah sistolik > 140 mmHg dan diastolik >90 mmHg) disertai proteinuria (> 30
mg/liter urin atau > 300 mg/24 jam) dan terjadi sesudah usia kehamilan lebih dari
20 minggu, dimana pada preeklampsia terjadi gangguan berbagai sistem yang
mempengaruhi fungsi vaskuler ibu dan pertumbuhan janin.

Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg
dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria lebih dari 5 g/24 jam
(Angsar, 2017). Hal utama yang menjadi penyebab kematian dan kesakitan ibu
preeklamsia adalah abrasion plasenta, edema pulmonary, kegagalan ginjal dan
hepar, miokardial infark, disseminated intravascular coagulation (DIC), perdarahan
serebral (Gilbert & Harmon, 2005). Sedangkan efek preeklamsia pada fetal dan bayi
baru lahir adalah insufisiensi plasenta, asfiksia neonatorum, intra uterine growth
retardation (IUGR), prematur, dan abrasion plasenta. Kematian pada masa perinatal
yang disebabkan karena asfiksia sebesar 28% (Cunningham, 2010).

Menurut WHO, angka kematian bayi baru lahir di dunia sangat memprihatinkan
yaitu 2/3 kematian bayi berumur 0-1 tahun terjadi pada bayi baru lahir. Lalu 2/3
kematian bayi baru lahir terjadi pada masa bayi baru lahir awal atau bayi berumur 1
hari sampai 1 minggu, dan 2/3 kematian pada masa bayi baru lahir terjadi pada hari
pertama (Wiknjosastro, 2006). Secara global setiap tahunnya 120 juta bayi lahir,
dari jumlah tersebut 4 juta (33 per 1000) lainnya meninggal dalam usia 30 hari
(neonatal lanjut) (WHO, 2012). Komplikasi akibat preeklampsia pada bayi yaitu
terhambatnya pertumbuhan dalam uterus, prematur, asfiksia neonatorum, kematian
dalam uterus, peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal (Mitayani, 2019).
Berdasarkan penelitian oleh Winarsih (2009), menyatakan bahwa kondisi bayi yang
dilahirkan dari ibu preeklampsia berat yaitu asfiksia, berat badan lahir rendah,
kelahiran prematur, dan tidak mengalami kelainan kongenital. Dan penelitian yang
dilakukan oleh Bertin (2018) menyatakan bahwa adanya hubungan antara
preeklampsia dengan kejadian berat badan bayi lahir rendah dan preeklampsia
merupakan faktor resiko 2,48 kali lebih besar penyebab BBLR dibandingkan non
preeklampsia.

B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka tujuan yang akan dicapai
dalam makalah ini yaitu:
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian kasus Preeklamisa Berat.
2. Mahasiswa mengerti tentang etiologi dan manifestasi klinis kasus Preeklamisa
Berat.
3. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi kasus Preeklamisa Berat.
4. Mahasiswa mengetahui apa saja komplikasi yang terjadi pada kasus
Preeklamisa Berat.
5. Mahasiswa mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada
kasus Preeklamisa Berat.
6. Mahasiswa mampu mengidentifikasi pathway yang terjadi pada kasus
Preeklamisa Berat.
7. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
kasus Preeklamisa Berat.
C. Manfaat Masalah
Adapun manfaat yang akan diperoleh dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Pemahaman mahasiswa yang lebih mendalam terkait kasus Preeklamisa Berat
pada lingkup keperawatan matenitas.
2. Sebagai media penambah ilmu mahasiswa dalam menegakkan diagnosa
keperawatan yang tepat pada kasus Preeklamisa Berat pada lingkup
keperawatan maternitas.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian
Pre eklampsia berat adalah peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160
mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik. Pre eklamsia adalah kumpulan gejala yang
timbul pada ibuhamil, bersalin, dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias yaitu
hipertensi proteinuria dan edema yang kadang-kadang di sertai konvulsi sampai koma,
ibu tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan vascular atau hipertensi
sebelumnya (Rukiyah, 2017).
Selama masa nifas di hari ke-1 sampai 28, ibu harus mewaspadai munculnya
gejala pre eklampsia. Jika keadaan bertambah berat bisa terjadi eklampsia, dimana
kesadaran hilang dan tekanan darah meningkat tinggi sekali, akibatnya pembuluh darah
otak bisa pecah, terjadi oedema paru paru yang memicu batuk berdarah. Semuanya ini
bisa menyebabkan kematian (Anggraini,2019).

B. Etiologi
Penyebab hipertensi kehamilan hingga saat ini belum di ketahui dengan jelas. Banyak
teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada
satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang dianut
adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi
Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke
dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot
tersebut sehingga terjadi dilatasi arterialis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan
sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan
lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Hal ini memberi dampak
penururnan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran
darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan
perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas
pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri
spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak
memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif
mengalami vasokontriksi, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan
terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal
bebas).Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal
hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh
darah. Radikal ini akan merusak membran sel yang mengandung banyak asam
lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain dapat merusak
membran sel, juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel. Jika sel endotel
terpapar terhadap peroksida lemak maka akan terjadi disfungsi endotel, yang akan
berakibat:
 Gangguan metabolisme prostaglandin
 Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit memproduksi tromboksan suatu vasokonstriktor kuat. Pada
hipertensi kehamilan kadar tromboksan lebih tinggi sehingga terjadi
vasokontriksi, dan terjadi kenaikan tekanan darah
 Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus
 Peningkatan permeabilitas kapilar
 Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin
 Peningkatan faktor koagulasi
3. Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan hamil normal, terdapat Human Leucocyte Antigen Protein G
(HLA-G) yang berfungsi melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural
Killer(NK) ibu. Namun, pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi
penurunan ekspresi HLA-G. Penurunan HLA-G akan menghambat invasi trofoblas
ke dalam desidua. Padahal Invasi trofoblas penting agar jaringan desidua lunak dan
gembur sehingga memudahkan dilatasi arteri spiralis.
4. Teori Adaptasi Kardiovaskuler
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopressor.
Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan vasopresor
atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respon
vasokontriksi. Terjadinya refrakter pembuluh darah karena adanya sintesis PG pada
sel endotel pembuluh darah. Akan tetapi, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi
kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor dan terjadi peningkatan
kepekaan terhadap bahan vasopresor
5. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familiar dengan model gen tunggal. Telah terbukti bahwa
pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26 % anak perempuan akan mengalami
preeklampsia pula dan 8% anak menantu mengalami preeklampsia.
6. Teori Defisiensi Gizi
Beberapa hasil penetilian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan
dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan, seperti defisiensi kalsium pada wanita
hamil dapat mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.
7. Teori Stimulus Inflamasi
Pada kehamilan normal plasenta akan melepkaskan debris trofoblas, sebagai sisa
proses apoptosis dan nektrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan
ini selanjutnya akan merangsang proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah
debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih
dalam batas normal.Hal tersebut berbeda dengan proses apoptosis pada
preeklampsia, dimana terjadi peningkatan stress oksidatif dan peningkatan produksi
debris apoptosis dan nekrotik trofoblas. Sehingga menjadi bebas reaksi inflamasi
dalam darah ibu sampai menimbulkan gejala-gejala pre eklampsia padai ibu.

C. Tanda dan Gejala


1. Hipertensi berat/hipertensi urgensi (TD≥160/110) dengan Proteinuria berat
ditetapkan bila ekskresi protein dalam urin ≥ 5 g/24 jam atau tes urin dipstik ≥
positif 2.
2. Disfungsi organ seperti kejang, edema paru dan /atau gagal jantung kongestif,
oliguria (≤ 500 ml/24 jam) dan kreatinin ≥ 1,2 mg/dL, trombositopeni hemolisis
mikroangiopati (<100.000/ul), peningkatan enzim hati yaitu SGOT dan SGPT
3. Nyeri perut epigastrik atau kuadran kanan atas dengan mual dan muntah
4. Gejala serebral menetap (sakit kepala, pandangan kabur, penurunan visus atau
kebutaan kortikal dan penurunan kesadaran.
5. Pada janin terjadi pertumbuhan yang terhambat dan oligohidramnion.
6. Adanya HELLP syndrome (H=Hemolysis ELL=Elevated Liver Enzym, p=Low
Platelet Count) (Anik, 2016). Sindrom HELLP adalah kumpulan gejala-gejala dari
Hemolysis yaitu anemia hemolitik mikroangiopatik dengan apusan darah perifer
abnormal, bilirubin total >1,2 mg/dL atau jumlah laktat dehidrogenase (LDH)
serum >600 U/L. Elevated Liver enzymes dimana Aspartat aminotransferase >70
U/L atau LDH >600 U/L. Dan Low Platelets yaitu kadar platelet <150.000/mm.
Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated LiverEnzyme, Low Platelet Count) yang
ditandai dengan hemolisis, peningkatan enzim hepar, trombositopenia akibat
kelainan hepar dan sistem koagulasi.
Menentukan edema
1. Kriteria menentukan adannya edema adalah: nilai positif jika pitting edema di
daerah tibia, lumbosakral, wajah (kelopak mata) dan tangan, terutama setelah
malam tirah baring.
2. Bila sulit menentukan tingkat edema, maka metode yang digunakan adalah sebagai
berikut:
+ = Sedikit edema pada daerah kaki pretibia
++ = Edema ditentukan pada ekstermitas bawah.
+++ = Edema pada muka, tangan, abdomen bagian bawah
++++ = Anasarka disertai asietas (Anik M. , 2016)
Protein positif artinya jumlah protein lebih dari 0,3 gram per liter urine 24 jam atau
lebih dari 2 gram per liter sewaktu. Urine diambil dengan penyadapan/kateter.
+ = 0,3 gram protein per liter
++ = 1 gram protein per liter
+++ = 3 gram protein per liter
++++ = >10 gram per liter

D. Faktor Resiko
1. Usia
Ibu dengan usia ≥40 tahun memiliki risiko 2 kali lipat lebih besar untuk
mengalami preeklampsia. Dari penelitian di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa risiko pre eklampsia meningkat hingga 30% setiap penambahan 1 tahun
setelah ibu mencapai usia 34 tahun. Sedangkan ibu yang hamil di usia muda
cenderung tidak mempengaruhi risiko terjadinya pre eklampsia.
Sindrom HELLPdidapati pada nulipara 68% dan pada multipara 34%. Pada
nulipara umur rerata 24,0 tahun (16 –40 tahun), dengan usia kehamilan rerata
32,5 minggu (24 –36,5 minggu). Sedangkan pada multipara umur rerata 25,6
tahun (18 –38 tahun) dengan usia kehamilan rerata 33,3 minggu (25 –39
minggu).
2. Paritas
Paritas primigravida diartikan sebagai wanita yang hamil untuk pertama kalinya.
Pre eklampsia tidak jarang dikatakan sebagai penyakit primagravida karena
memang lebih banyak terjadi pada primigravida daripada multigravida. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa nuliparitas meningkatkan kemungkinan
terjadinya preeklampsia sebanyak 3 kali lipat. Sedangkan ibu yang masuk ke
dalam golongan multipara adalah ibu yang sudah melahirkan lebih dari 1
kalidan tidak lebih dari 4 kali, memiliki risiko sebesar 1% untuk mengalami pre
eklampsia
3. Riwayat pre eklampsia sebelumnya
Ibu yang mengalami pre eklampsia pada kehamilan pertamanya, akan memiliki
risiko 7 kali lipat lebih besar untuk mengalami pre eklampsia pada kehamilan
berikutnya
4. Kehamilan kembar
Ketika seorang ibu mengandung lebih dari 1 janin dalam kandungannya, maka
risiko ibu tersebut mengalami pre eklampsia meningkat hampir 3 kali lipat. Satu
buah penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil dengan 3 janin berisiko
mengalami preeklampsia 3 kali lipat lebih besar dari pada ibu hamil dengan 2
janin.
5. Penyakit terdahulu
Jika sebelum hamil ibu sudah terdiagnosis diabetes, kemungkinan terkena pre
eklampsia meningkat 4 kali lipat. Keadaan pada penyakit-penyakit ginjal dan
hipertensi yang sudah ada sebelum hamil juga akan meningkatkan risiko pre
eklampsia.
6. Jarak antara kehamilan
Hubungan antara risiko terjadinya pre eklampsia dengan interval kehamilan
lebih signifikan dibandingkan dengan risiko yang ditimbulkan dari pergantian
pasangan seksual. Ketika intervalnya adalah ≥10 tahun, maka risiko ibu tersebut
mengalami pre eklampsia adalah sama dengan ibu yang belum pernah
melahirkan sebelumnya.
7. Indeks masa tubuh
Kenaikan berat badan berlebih jika berat badan naik dari 500 gram perminggu
atau 2000 gram per bulan (Anik, 2016). Penelitian menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan risiko munculnya pr eeklampsia pada setiap peningkatan indeks
masa tubuh. Sebuah studi kohort mengemukakan bahwa ibu dengan indeks
masa tubuh >35 memiliki risiko untuk mengalami pre eklampsia sebanyak 2 kali
lipat. Sebuah studi lain yang membandingkan risiko antara ibu dengan indeks
masa tubuh rendah dan normal menemukan bahwa risiko terjadinya pre
eklampsia menurun drastis pada ibu dengan indeks masa tubuh <20
8. Usia kehamilan
Menurut Dekker (1999), pre eklampsia paling sering ditemukan pada usia
kehamilan di trisemester kedua. Sedangkan menurut Taber (1994) menyatakan
bahwah keadaan ini (preeklampsia) timbul setelah umur kehamilan 20 minggu
tetapi dapat pula berkembang sebelum saat tersebut pada penyakit trofoblastik
Faktor risiko Sindrom HELLP berbeda dengan pre eklampsi Pada sindrom
HELLP meliputi
1. Usia
Pasien Sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun)
dibandingkan pasien pre eklampsi-eklampsi tanpa Sindrom HELLP (rata-rata
umur 19 tahun )
2. Paritas
3. Riwayat obstetric jelek termasuk riwayat pre eklampsia sebelumnya HELLP
akan lebih berisiko dengan riwayat luaran kehamilan yang jelek.
4. Ras kulit putih.
Kejadian sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara.

E. Patofisiologi

Dalam perjalanannya beberapa faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi kadang
saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan terjadinya iskemia
plasenta. Pada pre eklampsia ada dua tahap perubahan yang mendasari
patogenesisnya. Tahap pertama adalah: hipoksia plasenta yang terjadi karena
berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan
invasi sel tropoblast pada dinding arteri spiralis pada awal kehamilan dan awal
trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan
sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus diplasenta
sehingga terjadilah hipoksia plasenta. Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan
membebaskan zat-zat toksis seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid
peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan akan menyebabkan terjadinya stress
oksidatif yaitu suatu keadaan di mana radikal bebas jumlahnya lebih dominan
dibandingkan antioksidan. Stress oksidatif pada tahap berikutnya bersama dengan
zat toksis yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endothel
pembuluh darah yang disebut disfungsi endothel yang dapat terjadi pada seluruh
permukaan endothel pembuluh darah pada organ-organ penderita pre eklampsia.
Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang bertindak
sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan dengan
vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II sehingga akan
terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi. Peningkatan kadar lipid
peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga terjadi agregasi
trombosit dan pembentukan thrombus. Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi
endothel di dalam tubuh penderita pre eklampsia jika prosesnya berlanjut dapat
terjadi disfungsi dan kegagalan organ seperti:
1. Pada ginjal: hiperurisemia, proteinuria, dan gagal ginjal.
2. Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi. Perubahan
permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru dan oedema
menyeluruh.
3. Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati.
4. Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.
5. Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan,
pelepasan retina, dan pendarahan.
6. Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia janin,
dan solusio plasenta.
F. Pathway
Factor Resiko: primigravida,
molahidatidosa, riwayat hipertensi

Penatalaksanaan: Tindakan Preeklamsi Tidak mendapat informasi adekuat


Sectio caesarea
Spasme pembuluh darah Kurang pengetahuan

Suplai darah ke plasenta

perfusi uteroplasenta

Maladaptasi uterus Hipoksia plasenta Prostaglandin plasenta

Iskemia
Gang. Pertumbuhan  Suplai O2 dan
plasenta nutrisi janin

Pelepasan Pelepasan rennin IUGR


tropoblastik

Endotheliosis Endoteliosis Mengaktifkan


Glumerulus angiotensin I- II Lahir premature Resiko tinggi cedera
janin
Resiko perdarahan
Proteinuria Menghasilkan aldosteron
Retensi Na dan Air volume darah Hipertensi
Perpindahan cairan ke ruang interstitial kelelahan

penurunan volume Resiko perfusi jaringan otak


Edema dalam pembuluh darah

Kelebihan Volume Cairan


Factor ibu: Preeklamsi Factor janin: Letak presbo

Post partum
Oprasi SC

Trauma pembedahan / Kelahiran Anak Adaptasi Psikologi Kelahiran Anak


Efek anesthesia spinal
insisi Adaptasi Fisiologi
Perubahan peran Perubahan peran
Terputusnya kontinuitas Bedrest Vaskuler Taking-in
jaringan efek Sist. urinary
pembedahan Kurang pengetahuan Taking-hold Kurang pengetahuan
Menekan saraf Sist.
Penurunan spingter uri cardiovaskuler
motilitas usus
Luka Letting-go
Cardiac Sist.
Tempat Menekan ujung Resiko Perubahan output Sist. reproduksi
masuk syaraf Konstipasi eliminasi urine Gastrointestinal
kuman

Nyeri akut Fundus uteri


Resiko infeksi Pengeluaran lochea
Involusi uteri

Nyeri akut
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan urine: menentukan adanya proteinuria
2. Pemeriksaan Darah:
a. Hemoglobin dan hematokrit: bila Hb dan Hematokrit meningkat
berarti adanya hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis pre
eklampsia dan menggambarkan adanya hipovolemia.
b. Trombosit: Trombositopenia menggambarkan pre eklampsia berat
c. Kreatinin serum, asam urat serum, nitrogen urea darah(BUN)
Peningkatannya menggambarkan beratnya hipovolemia, tanda
menurunnya aliran darah ke ginjal, oliguria, tanda preeklampsia berat
d. Transaminasi serum (SGOT, SGPT):
Peningkatan transaminase serum menggambarkan pre eklampsia berat
dengan gangguan fungsi hepare.
e. Lactid acid dehydrogenase: menggambarkan adanya hemolysis.
f. Albumin serum, dan fakor koagulasi
Menggambarkan kebocoran endotel, dan kemungkinan koagulapati
(dr. Taufan Nugroho, 2018).

H. Komplikasi

Adapun komplikasi dari pre eklamsi berat (PEB) yaitu:


1. Solusio plasenta
2. Hipofibrinogenemia
3. Hemolisis
Penderita dengan preeklampsi berat kadang-kadang menunjukan gejala
klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan
pasti bahwa hal ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau kerusakan sel
darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsy
penderita eklampsi dapat menerangkan ikterus tersebut (Rukiyah, 2017).
4. Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu dapat terjadi. Perdarahan sampai seminggu, dapat terjadi.
Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina hal ini merupakan tanda
gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
5. Edema paru-pru
Hal ini disebabkan karena payah jantung (Rukiyah, 2019).
6. Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada pre eklampsi merupakan akibat vasopasmus
arteriol umum. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan
faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya (Rukiyah, 2016).
Pada pre eklamsia berat, kadang ditemukan perubahan dalam uji fungsi
dan integritas hati. Nekrosis perdarahan periportal di bagian tepi lobules
hati hal ini merupakan alasan yang paling mungkin untuk meningkatkan
enzim serum hati. Perdarahan dari lesi ini dapat menyebabkan rupture
hepar atau mungkin meluas dibawah kapsul hati dan membentuk
hematoma subkapsular (Leveno, 2017).
7. Kelainan ginjal
Pada beberapa kasus pre eklamsia berat, keterlibatan ginjal sangat besar
dan kreatinin plasma dapat meningkat beberapa kali melebihi nilai normal
non-hamil atau hingga 2-3 mg/dL. Setelah kelahiran, tanpa adanya
penyakit renovaskular kronik yang mendasarinya, pemulihan seutuhnya
fungsi ginjal biasanya dapat diharapkan (Leveno, 2017).
8. Komplikasi lain
Lidah tergigit trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang-kejang
pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular coagulation)
(Rukiyah, 2017).
9. Hematuritas
Dismaturitas dan kematian janin intra-uterina (Rukiyah, 2017).

I. Penanganan Post Partum Pre Eklamsi Berat


1. Obat penurun tekanan darah dianjurkan terus dikonsumsi jika tekanan
diastolik masih > 110 mmHg dan pantau urine hingga hipertensi teratasi.
Obat anti hipertensi yang biasa diberikan pada pre-eklamsia adalah
hidralazin, nifedipin dan methyl dopa.
2. Direkomendasi untuk melakukan tinjauan postnatal dan perencanaan
prakonsepsi
1. Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau kejang
terakhir. Obat anti kejang yaitu 4 gr MgSO4 (20 cc MgSO4 20%)
diberikan secara I.V dalam waktu 5 menit (Prawirohardjo, 2010).
2. Monitoring input (melalui infus maupun oral) dan out put cairan (melalui
urin) dengan memasang foley catheter untuk mempermudah pemantauan
(Bothamley, et al., 2012).
3. Tes fungsi hati dan jumlah trombosit harus mendokumentasikan
penurunan nilai sebelum keluar dari rumah sakit
4. Jika pasien dipulangkan dengan obat BP, penilaian ulang dan pemeriksaan
TD harus dilakukan, selambat-lambatnya 1 minggu setelah pulang
5. Kecuali seorang wanita memiliki hipertensi kronis yang tidak terdiagnosis,
dalam kebanyakan kasus pre eklamsia, tekanan darah kembali ke nilai
dasar pada 12 minggu pascapartum.
6. Pasien harus dipantau secara hati-hati untuk pre eklamsia berulang, yang
dapat berkembang hingga 4 minggu pascapartum, dan eklamsia dapat
terjadi hingga 6 minggu setelah melahirkan.
7. Pengawasan dan pemantauan pre eklampsia berat post partum menjadi
prioritas penting untuk meminimalkan terjadinya komplikasi yang tidak
diinginkan, kejang bisa timbul pada periode ini walaupun sebelum
melahirkan ibu tidak pernah mengalami kejang. Melakukan observasi
keluhan, KU, TTV, dan input out put karena observasi yang cermat pada
ibu dengan pre eklampsia sangat dianjurkan sepanjang periode ini
(PrawirohardjoSarwono, 2010).
8. Perawatan pada ibu tetap dilakukan dengan meminimalisasi obat yang
diberikan, terutama yang bisa mengganggu tingkat kesadaran bayi (infants
alertness) dan kemampuan menyusunya (feeding behaviour). Jika
pemberian ASI secara langsung tidak memungkinkan, ASI perah
(expressed breast milk) bisa diberikan. Pengeluaran ASI harus dilakukan
dengan teknik yang benar secara teratur tiap 3 jam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Alfiah. S, Rini, HL. 2017, Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin Dengan Pre
Eklampsia Berat Di Ruang Ponek Rsud Kabupaten Jombang, Journal Stikes
Pemkab Jombang.
2. Bothamley, J and Maureen, B. 2012, Patofisiologi Dalam Kebidanan [Book],
Jakarta.
3. Bulechek, G.M., et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). 6 th ed.
Mosbie Elsevier: USA.
4. IDAI, 2017, Menyusui oleh ibu dengan riwayat pre-eklamasi dan eklamsia,
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/menyusui-oleh-ibu-dengan-riwayat-
pre-eklamasi-dan-eklamsia
5. Moudy E.U Djami, 2016, Preeklamsi,
https://akbidbinahusada.ac.id/publikasi/artikel/103-preeklampsia#
6. Rahayu, DP. 2019, Asuhan Keperawatan Ibu Yang Mengalami Post Sc
Indikasi PEB Dengan Nyeri Akut Hari Ke 0 Diruang Dahlia RSD Dr.Soebandi
Jember, nursing science .

Anda mungkin juga menyukai