Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Secara klasik, preeklampsia dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi
terjadinya hipertensi dan adanya proteinuria pada usia kehamilan 20 minggu.
Hipertensi merupakan tekanan darah sistolik 140 mmHg dan/atau diastolik
90 mmHg. Sedangkan proteinuria merupakan adanya ekskresi protein
abnormal pada urin sebanyak 300 mg/24 jam, atau perbandingan protein :
kreatinin 0,3, atau hasil uji dipstick protein 30 mg/dL atau +4.4
Beberapa kali wanita hamil dengan hipertensi menunjukkan gejala gangguan
organ multisistemik tanpa adanya proteinuria. Oleh sebab itu pada tahun 2013
American College of Obstetricians and Gynecologists menyatakan bahwa pada
kasus hipertensi dalam kehamilan tanpa proteinuria, diagnosis preklampsia
pada wanita hamil dapat ditegakkan apabila terdapat kondisi trombositopenia
(platelet 100.000/mikroliter), gangguan fungsi hati (peningkatan kadar enzim
liver transminase di dalam darah sebesar dua kali dari konsentrasi normal),
insufisiensi ginjal (peningkatan serum kreatinin 1,1 mg/dL atau peningkatan
dua kali lipat serum kreatinin tanpa adanya penyakit ginjal lain), edema
pulmoner, dan gangguan pada serebral dan fungsi penglihatan.3
Berdasarkan tingkat keparahannya, preeklampsia dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu:
1. Preeklamsia Ringan (PER), yaitu tekanan darah sistolik 140 sampai <
160 mmHg, tekanan diastolik 90 sampai < 110 mmHg pada usia
kehamilan > 20 minggu dan tes celup urin menunjukkan proteinuria +2
atau pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil > 300 mg/24 jam.2
2. Preeklampsia Berat (PEB), yaitu tekanan darah sistolik 160 mmHg,
tekanan diastolik 110 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu dan tes
celup urin menunjukkan proteinuria +4 atau pemeriksaan protein
kuantitatif menunjukkan hasil > 5 g/24 jam.
2.2. Epidemiologi
Preeklampsia merupakan penyumbang angka mortalitas dan morbiditas
maternal dan perinatal yang sangat besar. Preeklampsia terjadi pada 2-10%
dari kehamilan di berbagai negara, dengan presentase yang lebih tinggi
seringkali ditemukan pada negara berkembang.7 Di negara maju seperti
Amerika Serikat, preeklampsia juga merupakan salah satu dari komplikasi
yang paling sering terjadi, dengan prevalensi mencapai 5-7% kehamilan.3
Di Indonesia sendiri, insiden terjadinya HDK, termasuk preeklampsia
di dalamnya, mencapai angka 3,4-8,5%. Selain itu, HDK juga menjadi
penyebab kematian ibu terbesar setelah komplikasi puerperium dan perdarahan
pascapersalinan, dengan presentase sebesar 32%. di RSUP Sanglah, PEB
memiliki prevalensi terbesar dari seluruh spektrum HDK, yaitu sebesar 4,7%.5

2.3. Etiologi dan Faktor Risiko


Sampai saat ini, tidak diketahui secara pasti penyebab terjadinya
kejadian preeklampsia.7 Meski begitu, ada beberapa faktor risiko yang berhasil
diidentifikasi seperti:
1. Faktor risiko maternal, seperti kehamilan primigravida, usia ibu < 18
tahun atau > 35 tahun, memiliki riwayat pernah mengalami preeklampsia
pada kehamilan sebelumnya, riwayat hipertensi dalam keluarga, obesitas
(BMI 30 kg/m2), dan jarak antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.
Selain itu, adanya riwayat penyakit medis penyerta pada ibu, seperti
hipertensi kronis, diabetes mellitus, penyakit ginjal, trombofilia, migrain,
systemic lupus erythematosus, serta penggunaan selective serotonin
reuptake inhibitor (SSRI) juga diketahui dapat meningkatkan risiko
kejadian preeklampsia.3,6
2. Faktor risiko fetal, seperti kehamilan ganda, hydrops fetalis, penyakit
trofoblastik gestasional, dan kromosom triploid.6

2.4. Patofisiologi
Banyak teori yang menjelaskan patofisiologi terjadinya preeklampsia
pada ibu hamil. Namun, teori yang berkembang saat ini adalah mengenai
preeklampsia sebagai 2-stages disease, yang berarti bahwa mekanisme
patofisiologi terjadinya preeklampsia dapat dibagi menjadi dua tahapan.
Pertama disebabkan oleh terjadinya proses abnormalitas pada implantasi
plasenta yang terjadi < 20 minggu usia kehamilan, kemudian diikuti dengan
tahapan kedua, yaitu dampak implantasi yang buruk tersebut sehingga terjadi
aktivasi sel endotel dan inflamasi.3,4 Akibat abnormalitas implantasi plasenta,
dapat terjadi hipoksia plasenta dan reperfusi hipoksia yang menghasilkan
kerusakan pada sinsitium dan gangguan pertumbuhan pada janin.
1. Teori Kelainan Invasi Trofoblas pada Implantasi Plasenta
Arteri spiralis merupakan percabangan sistem vaskularisasi yang berfungsi
memberikan aliran darah bagi uterus dan plasenta pada masa kehamilan.
Pada implantasi yang normal, terjadi proses remodeling arteri spiralis yang
berperan untuk memberikan vaskularisasi dari ibu kepada janin.1
Pada trimester pertama, cytotropoblast stem cells akan membentuk lapisan
sinsitiotropoblas dan beragregasi membentuk sederetan trofoblas yang
invasif, yang menyusun vili koriales yang disebut anchoring villous
tropoblast. Cytotropoblast di dalam vili tersebut akan menembus
sinsitium pada beberapa tempat sehingga membentuk suatu kelompok sel
berlapis yang disebut extravillous tropoblast cells. Kelompok sel inilah
yang secara fisik menghubungkan plasenta dengan dinding uterus ibu.
Perkembangan selanjutnya dari sel trofoblas ekstravilus itu akan
mengikuti 2 jalur, jalur pertama yaitu sel-sel tersebut menginvasi dinding
uterus (interstitial invasion) dan jalur kedua adalah sel sel itu menembus
pembuluh darah (endovascular invasion). Invasi endovaskuler ke arteri
spiralis ini merupakan bagian yang sangat penting pada proses ini, di mana
peristiwa ini terjadi paling awal pada umur kehamilan 4-6 minggu. Proses
tersebut terjadi dalam dua gelombang, gelombang pertama menembus
pembuluh darah di desidua dan yang kedua menembus pembuluh darah
pada tingkat miometrium. Setelah mengalami invasi, trofoblas nantinya
akan menggantikan posisi endotel dan lapisan muskularis pembuluh darah.
Perubahan fisik arteria spirales seperti itu menyebabkan suatu kondisi
sirkulasi darah yang high flow dan low resistance sehingga aliran
darah ke plasenta menjadi sangat besar.4
Pada HDK, terjadi invasi trofoblas yang tidak sempurna, yaitu proses
invasi trofoblas pada lapisan otot serta jaringan matriks sekitar arteri
spiralis hanya terjadi secara superfisial. Dengan demikian, hanya
pembuluh darah pada lapisan desidua saja yang mengalami proses
remodeling, sementara pembuluh darah yang lebih dalam tidak mengalami
perubahan pada lapisan endotel dan jaringan muskuloelastiknya.
Akibatnya arteri spiralis yang seharusnya berdilatasi, justru tetap
mengalami konstriksi dan memiliki resistensi pembuluh darah yang
tinggi.4 Adapun penyebab pasti terjadinya invasi trofoblas yang abnormal
masih belum jelas. Terdapat teori yang menyebutkan terjadinya
abnormalitas disebabkan oleh tidak adanya reseptor JAG1 yang pada
kehamilan normal berperan dalam signaling substansi Notch2 di dalam
proses pengaturan diameter pembuluh darah dan perfusi plasenta. Ada
pula teori mengenai pengaruh kompleks imunitas dan sel natural killer
yang dapat memengaruhi abnormalitas implantasi plasenta.3
Abnormalitas yang terjadi pada plasenta menyebabkan terjadinya gejala
gangguan maternal pada ibu. Awal terjadinya gangguan tersebut terjadi
oleh karena hipoksia dan iskemia plasenta yang terjadi akibat penurunan
aliran darah menuju plasenta. Sebagai respon dari hipoksia, plasenta akan
memproduksi faktor patogenik ke dalam sistem sirkulasi maternal yang
nantinya akan menyebabkan aktivasi dan disfungsi endotel. Endotel
memiliki peran penting dalam pengaturan pembuluh darah, seperti
pengaturan tonus otot polos pembuluh darah melalui pengeluaran faktor
vasokonstriksi dan vasodilatasi, serta regulasi antikoagulasi, antiplatelet,
dan fungsi fibrinolitik.
Faktor angiogenik berupa vascular endothelial growth factor (VEGF),
placenta growth factor (PlGF), dan transforming growth factor-beta
(TGF) diduga memiliki keterkaitan penting di dalam timbulnya
manifestasi klinis preeklampsia. Selain berperan dalam angogenesis,
faktor-faktor ini juga berperan penting dalam menjaga fungsi endotel
pembuluh darah sistemik. Pada preeklampsia, iskemia plasenta akan
menyebabkan dikeluarkannya soluble FMS-like tyrosine kinase-1 (sFlt-1)
yang merupakan bentuk terlarut dari reseptor VEGF dan PIGF yang
bersifat antiangiogenik. Peningkatan sFlt-1 di dalam sirkulasi akan
menyebabkan penurunan VEGF dan PIGF bebas di dalam darah, yang
kemudian akan menurunkan fungsi keduanya di dalam stimulasi
angiogenesis dan menjaga fungsi integritas endotel. Pada ginjal, inaktivasi
VEGF bebas dapat menyebabkan endoteliosis glomerular, yang
merupakan awal mula terjadinya proteinuria.3 Selain itu, terjadi pula
pengeluaran soluble Endoglin (sEng) yang merupakan suatu molekul yang
memblok endoglin yang berperan sebagai ko-reseptor TGF. Akibatnya,
akan terjadi penurunan fungsi dilatasi endotel pembuluh darah.4
2. Teori Intoleransi Imunologik antara Ibu, Plasenta, dan Janin
Faktor imunologik dianggap merupakan salah satu penyebab terjadinya
preeklampsia. Adanya teori ini didukung dengan adanya fakta bahwa
primigravida mempunyai risiko lebih besar dibandingkan dengan
multigravida. Begitu pula apabila seorang ibu multipara menikah lagi,
maka ia akan mempunyai risiko menderita preeklampsia yang lebih besar
dibandingkan apabila pasangan/suaminya tetap. Hal tersebut dikarenakan
oleh pada ibu yang sudah pernah hamil dari suami pertamanya, maka ibu
tersebut telah memiliki toleransi terhadap materi genetik yang dibawa oleh
suami pertamanya. Sementara, apabila ibu kembali hamil dengan suami
kedua, maka akan terdapat materi genetik baru sehingga menyebabkan
reaksi imunologis terhadap plasenta.
Hasil konsepsi merupakan hasil penggabungan materi genetik dari ibu dan
suami. Oleh karena hasil konsepsi tersebut tidak seutuhnya merupakan
bagian dari ibu, maka hasil konsepsi dapat dianggap sebagai benda asing
yang berada pada tubuh ibu. Namun, pada wanita dengan kehamilan
normal, terdapat human leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang
berperan penting untuk memodulasi respons imunitas ibu, sehingga ibu
tidak memberikan reaksi penolakan imunitas terhadap hasil konsepsi yang
dikandungnya. Selain itu, adanya HLA-G juga berperan untuk membantu
proses terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu.1
Pada HDK, terdapat penurunan ekspresi HLA-G oleh trofoblas
ekstravillus pada ibu. Adapun mekanisme terjadinya peningkatan
pembuluh darah adalah akibat terganggunya proses invasi trofoblas ke
dalam lapisan desidua ibu. Hal tersebutlah yang pada akhirnya
menyebabkan kegagalan terjadinya dilatasi pada arteri spiralis dan
menyebabkan tekanan darah meningkat.1,4
3. Teori Genetik
Adanya faktor genetik atau keturunan pada preeklampsia dikaitkan oleh
karena terdapatnya interaksi yang berasal dari berbagai gen paternal
maupun maternal. Adapun di antaranya adalah methylene tetrahydrofolate
reductase (MTHFR), F5 (Leiden), AGT (M235T), HLA (Various), NOS3
(Glu 298 Asp), F2 (G20210A), ACE (I/D atIntron 16), CTLA4, LPL, dan
SERPINE1. Gen tersebut memiliki kontrol di dalam mengatur sistem
regulasi enzimatik dan metabolisme setiap organ di tubuh. Adanya
paparan faktor risiko dari ibu maupun lingkungan, dapat memicu reaksi
genetik sehingga menyebabkan preeklamsia.
Ditemukan bahwa insiden preeklampsia terjadi pada 20-40% pada wanita
dengan riwayat ibu mengalami preeklampsia, serta 11-37% pada wanita
dengan saudara kandung perempuan juga mengalami preeklamsia.
Meskipun demikian, wanita yang memiliki genotif preeklamsia belum
tentu memiliki ekspresi fenotip yang serupa dengan wanita lain dengan
genotif yang sama.4

2.5. Diagnosis
Diagnosis preeklampsia berat ditegakkan apabila ditemui tekanan darah
sistolik 160 mmHg, tekanan diastolik 110 mmHg pada usia kehamilan > 20
minggu dan tes celup urin menunjukkan proteinuria +4 atau pemeriksaan
protein kuantitatif menunjukkan hasil > 5 g/24 jam. Jika tanpa proteinuria,
disertai gangguan lain, seperti:3,8,9,10
1. Oligouria. Jumlah produksi urin kurang dari 500 cc dalam 24 jam
yang disertai kadar kreatinin darah > 1,2 mg/dL
2. Tanda impending eclampsia:
a. Mata berkunang-kunang
b. Kepala pusing
c. Nyeri kepala frontal
d. Nyeri epigastrium kanan
e. Hiperefleksia
3. Adanya sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low
Platelet Count) yang ditandai oleh LDH >600, SGOT/SGPT >70, dan
trombosit <100.000 sel/L
4. Edema paru dan/atau gagal jantung kongestif
5. Pertumbuhan janin terhambat (PJT)
6. Oligohidramnion

2.6. Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari preeklampsia berat antara lain sebagai berikut.8
1. Preeklampsia ringan
2. HELLP syndrome
3. Hipertensi kronik dalam kehamilan
4. Kehamilan dengan penyakit jantung
5. Kehamilan dengan sindrom nefrotik
6. Tirotoksikosis

2.7. Komplikasi
Preeklampsia berat dapat menyebabkan komplikasi baik pada ibu
maupun bayi. Komplikasi preeklampsia berat pada ibu termasuk edema paru,
infark miokard, stroke, acute respiratory distress syndrome, koagulopati, gagal
ginjal berat, dan cedera retinal. Komplikasi pada janin merupakan akibat dari
paparan terhadap insufisiensi plasenta atau dari kelahiran preterm atau
keduanya. Pada kasus yang sangat berat dapat ditemui fetal distress baik pada
saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.3

2.8. Penatalaksanaan
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala
preeklampsia berat selama perawatan; maka sikap terhadap kehamilannya
dibagi menjadi:
1 Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan
bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.
2 Aktif: berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian pengobatan medikamentosa.5

2.8.1. Perawatan Konservatif


1.
Bila umur kehamilan kurang dari 35 minggu tanpa adanya keluhan
subjektif dengan keadaan janin baik
2.
Pengobatan dilakukan di kamar bersalin (selama 24 jam)
a. Tirah baring miring ke sisi kiri secara intermiten
b. Infus Ringer Laktat yang mengandung 5% Dekstrose
c. Diberikan MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang
i. Loading dose (initial dose): 4g MgSO4 40% dilarutkan dalam
normal Saline IV/ 10-15 menit
ii. Maintenance dose: MgSO4 1g/jam/IV dalam 24 jam
iii. Cara pemberian:
Ambil 4g MgSO4 40%(10 cc) dilarutkan dalam Normal
Saline 10 cc IV /10-15menit. Sisanya, 6g MgSO4 40% (15
cc) dimasukkan ke dalam satu botol (500 cc) larutan Ringer
Dektrose 5% diberikan perinfus dengan tetesan 28 tetes per
menit atau habis dalam 6 jam.
iv. Syarat-syarat pemberian MgSO4 lanjutan:
a) Refleks patella normal
b) Respirasi > 16 kali/menit
c) Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya > 100 cc ; 0,5
cc/kg BB/jam
d) Tersedia Kalsium Glukonat 10% dalam 10 cc.
v. Antidotum: bila timbul gejala dan tanda intoksikasi MgSO4,
maka diberikan injeksi Kalsium Glukonat 10% dalam 10cc
dalam 3 menit.
d. Pemberian antihipertensi jika tekanan darah 180/110 atau MAP >
125 mmHg. Diberikan Nifedipin 3 x 10 mg atau Nicardipin drip.
Jika tidak tersedia nifedipin, maka dapat diberikan methyldopa 500-
3000 mg per oral dibagi 2-4 dosis.
e. Dilakukan pemeriksaan laboratorium tertentu (fungsi hati dan ginjal)
dan jumlah produksi urine 24 jam
f. Konsultasi dengan bagian penyakit dalam, bagian mata, bagian
jantung, dan yang lain sesuai dengan indikasi
3. Pengobatan dan evaluasi selama rawat tinggal di ruang bersalin (selama
24 jam di ruang bersalin)
a. Tirah baring
b. Medikamentosa
c. Pemerikaan laboratorium: darah lengkap dan hapusan darah tepi,
homosistein, fungsi ginjal dan hati, urine lengkap, produksi urine 24
jam, penimbangan berat badan setiap hari, dan indeks gestosis
d. Diet biasa
e. Dilakukan penilaian kesejahteraan janin (USG/NST/Doppler USG)
4. Perawatan konservatif dianggap gagal bila:
a. Adanya tanda-tanda impending eklampsia (keluhan subjektif)
b. Kenaikan progresif dari tekanan darah
c. Adanya sindroma HELLP
d. Adanya kelainan fungsi ginjal
e. Penilaian kesejahteraan janin jelek
5. Penderita boleh pulang bila penderita sudah mencapai perbaikan
dengan tanda-tanda preeklampsia ringan, perawatan dilanjutkan
sekurang-kurangnya selama 3 hari lagi
6. Bila keadaan penderita tetap, dilakukan pematangan paru dilanjutkan
dengan terminasi.

2.8.2. Perawatan Aktif


1. Bila umur kehamilan 35 minggu
2. Kehamilan diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk
stabilisasi ibu
3. Kehamilan harus segera diakhiri tanpa memandang umur kehamilan
bila dijumpai: kejang-kejang, gagal ginjal akut, stroke, edema paru,
solutio plasenta dan fetal distress
4. Pada HELLP syndrome, persalinan bisa ditunda dalam 48 jam bila
umur kehamilan < 35 minggu, untuk memberikan kesempatan
pematangan paru
Catatan:
1. Persalinan sedapat mungkin diarahkan pervaginam
2. Penderita belum inpartu
Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop >5. Bila perlu dilakukan
pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus
sudah mencapai kala II dalam waktu 24 jam
Indikasi seksio sesarea adalah:
a. Tidak memenuhi syarat persalinan pervaginam.
b. Induksi persalinan gagal
c. Terjadi gawat janin.
3. Penderita sudah inpartu
a. Kemajuan persalinan dikelola dengan partograf WHO atau kurva
Friedman
b. Monitor tekanan darah tiap 30 menit
c. Tindakan operatif pervaginam (vakum atau forceps sesuai indikasi);
tidak rutin dikerjakan kecuali:
Tekanan darah tidak terkontrol (MAP > 125 mmHg)
Tanda-tanda impending eklampsia
Kemajuan kala II tidak adekuat
d. Seksio sesarea dilakukan apabila terdapat kegawatan ibu dan/atau
janin, atau indikasi obstetrik
e. Bila harus dilakukan SC, pilihan anestesianya adalah regional atau
epidural dan tidak diajurkan anestesia umum.8

2.9. Prognosis
Prognosis preeklampsia dapat dibedakan menjadi prognosis pada ibu dan bayi.
Prognosis pada ibu sangat tergantung pada waktu ditemukannya kondisi
preeklampsia pada ibu hamil, kondisi klinis ibu, hasil laboratorium, komplikasi
yang terjadi dan ketepatan pelaksanaan yang diberikan. Apabila preeklampsia
ditemukan lebih dini dan mendapatkan penatalaksanaan yang optimal, maka
prognosis cenderung baik. Bila ditemukan lebih lambat dengan kondisi ibu
yang buruk, hasil laboratorium buruk, dan terdapat komplikasi, maka
prognosisnya cenderung buruk. Risiko preeklampsia bisa menetap pada
kehamilan berikutnya. Preeklampsia juga bisa menjadi hipertensi kronis oleh
sebab itu kontrol rutin diperlukan.
Prognosis preeklampsia pada bayi cenderung buruk. Adapun risiko komplikasi
pada bayi, yaitu pertumbuhan janin terhambat, kelahiran prematur, sampai
kematian janin dalam rahim.
DAFTAR PUSTAKA

1. Angsar MD. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam: Ilmu Kebidanan Sarwono


Prawirohardjo Ed. 3 Cet. 4. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010; hal. 530-560.
2. Kemenkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013;
hal. 109-117.
3. Task Force on Hypertension in Pregnancy. Hypertension in Pregnancy.
Washington: American College of Obstetricians and Gynecologists. 2013.

4. Cunningham FG, Gant NF, Leveno, KJ, et al. Williams Obstetric 24th Edition.
New York: McGraw Hill Education. 2014; hal. 728-770.
5. Sutopo H dan Surya IGP. Characteristics of patients with hypertension in
pregnancy at Sanglah Hospital. Indones J Obstet Gynecol. July 2011; 35(3):
97-99.
6. Carson MP. Hypertension and Pregnancy. Medscape. Diakses melalui:
http://emedicine.medscape.com/article/261435. Diakses pada: 12 Juni 2016.
7. Shamsi U, Saleem S, Nishter N. Epidemiology and risk factors of
preeclampsia; an overview of observational studies. Al Ameen J Med Sci.
2013; 6(4):292-300.
8. Anonim. Prosedur tetap obstetri dan ginekologi. Denpasar: Bagian/SMF
Obsterti dan Ginekologi FK Unud/RS Sanglah. 2015.

9. Duhig KE dan Shennan AH. Recent advances in the diagnosis and


management of pre-eclampsia. F1000 Prime Reports. 2015;7:24.
10. SMFM. Evaluation and management of severe preeclampsia before 34 weeks
gestation. Am J Obstet Gynecol. 2011.
11. WHO. WHO Recommendations for Prevention and Treatment of Pre-
eclampsia and Eclampsia. Geneva: WHO Library and Cataloguing in
Publication Data. 2011.

Anda mungkin juga menyukai