Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kecelakaan


Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, mengungkapkan kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di
jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dengan atau
tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian
harta benda.

2.2 Penggolongan Kecelakaan Lalu Lintas


Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan pada pasal 229, karakteristik kecelakaan lalu lintas dapat dibagi ke
dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1) Kecelakaan Lalu Lintas ringan, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan
kerusakan kendaraan dan/atau barang.
2) Kecelakaan Lalu Lintas sedang, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan luka
ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.
3) Kecelakaan Lalu Lintas berat, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan korban
meninggal dunia atau luka berat.

2.3 Jenis Kecelakaan Lalu Lintas


Kecelakaan lalu lintas dapat dibagi menjadi beberapa jenis kecelakaan lalu
lintas (Bina Marga, 2011), yaitu:
1. Head-on Collision (Tabrak Depan-Depan)
Jenis tabrakan dimana tabrakan terjadi antara 2 kendaraan dari arah yang
berlawanan. Kecelakaan ini terjadi karena kendaraan yang mau menyalip
gagal kembali ke jalurnya atau karena jarak pandang yang tidak mencukupi
di daerah tikungan. Di Indonesia, kecelakaan ini yang paling sering terjadi,
karena lebar jalan di hampir seluruh jalan di Indonesia masih di bawah
standar.

5
6

2. Run off Road Collision (Tabrak Samping-Samping)


Jenis tabrakan dimana tabrakan terjadi hanya pada satu kendaraan yang keluar
dari jalan dan menabrak sesuatu, hal ini dapat terjadi ketika pengemudi
kehilangan kontrol atau salah menilai tikungan, atau mencoba untuk
menghindari tabrakan dengan pengguna jalan lain jalan atau binatang.
3. Rear- end Collision (Tabrak Depan-Belakang)
Jenis tabrakan dimana tabrakan terjadi dari dua atau lebih kendaraan dimana
kendaraan menabrak kendaraan di depannya, biasanya disebabkan karena
kendaraan di depan berhenti tiba-tiba. Skenario yang sering terjadi adalah
deselerasi tiba-tiba oleh mobil pertama (misalnya, untuk menghindari
seseorang menyeberang jalan) sehingga mobil kedua tidak punya waktu
untuk rem dan bertabrakan dengan yang pertama. Atau mobil kedua
mempercepat lebih cepat dari kendaraan pertama (misalnya, meninggalkan
persimpangan). Atau jika terjadi perbedaan kecepatan yang signifikan dari
kendaraan pertama (truck) yang overload dengan kendaraan kedua yang
kecepatannya lebih tinggi melewati jalan tanjakan, hal ini biasa terjadi di jalan
tol. Jenis kecelakaan ini juga dapat menyebabkan kecelakaan beruntun
dimana melibatkan lebih dari dua kendaraan.
4. Side Collision (Tabrak Depan-Samping)
Jenis tabrakan dimana terjadi antara dua kendaraan secara bersampingan
dengan arah yang sama. Tabrakan ini sering terjadi di persimpangan, di
tempat parkir atau ketika kendaraan menabrak dari samping suatu objek tetap.
5. Rollover (Terguling)
Jenis tabrakan dimana kendaraan terjungkir balik, biasanya terjadi pada
kendaraan dengan profil yang lebih tinggi seperti truk. Kecelakaan rollover
berhubungan langsung dengan stabilitas kendaraan. Stabilitas ini dipengaruhi
oleh hubungan antara pusat gravitasi dan lebar trek (jarak antara roda kiri dan
kanan). Pusat gravitasi yang tinggi dan trek yang lebar dapat membuat
kendaraan tidak stabil di tikungan dengan kecepatan yang tinggi atau
perubahan arah belokan yang tajam dan mendadak. Airbags maupun sabuk
pengaman kurang efektif.
7

Tabel 2.1 Klasifikasi Kecelakaan Berdasarkan Posisi Terjadinya


Arah
Klasifikasi Keterangan
kendaraan
- Terjadi pada jalan lurus yang
Tabrak Depan – Depan
berlawanan arah
- Tidak tersedia pengaturan lampu
lalu lintas atau rambu-rambu
Tabrak Samping – Samping dipersimpangan
- Mengemudikan kendaraan
dengan kecepatan tinggi
- Terjadi pada suatu ruas jalan
searah
- Pengereman mendadak
Tabrak Depan – Belakang - Jarak kendaraan yang tidak
terkontrol
- Terjadi pada jalan lurus dan
searah
- Terjadi pada saat pengemudi
kehilangan konsentrasi
Tabrak Depan – Samping
- Kendaraan mengalami hilang
kendali
- Biasanya terjadi di tikungan
Terguling - Mengemudikan kendaraan
dengan kecepatan tinggi

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga, 2011

2.4 Dampak Kecelakaan Lalu Lintas


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 tentang Prasarana
Jalan Raya dan Lalu Lintas, dampak kecelakaan lalu lintas dapat diklasifikasi
berdasarkan kondisi korban menjadi tiga, yaitu:
a. Meninggal dunia adalah korban kecelakaan yang dipastikan meninggal dunia
sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 hari
setelah kecelakaan tersebut.
8

b. Luka berat adalah korban kecelakaan yang karena luka-lukanya menderita


cacat tetap atau harus dirawat inap di rumah sakit dalam jangka waktu lebih
dari 30 hari sejak terjadi kecelakaan. Suatu kejadian digolongkan sebagai
cacat tetap jika sesuatu anggota badan hilang atau tidak dapat digunakan sama
sekali dan tidak dapat sembuh atau pulih untuk selama-lamanya.
c. Luka ringan adalah korban yang mengalami luka-luka yang tidak
memerlukan rawat inap atau harus dirawat inap di rumah sakit kurang dari 30
hari sejak terjadi kecelakaan.

2.5 Faktor – Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas


Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Raya faktor yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas dapat
dikelompokkan dalam empat unsur, yakni: manusia, kendaraan, jalan, dan
lingkungan. Besarnya persentase masing-masing faktor penyebab kecelakaan lalu
lintas yang ditentukan berdasarkan bobot faktor risiko dan jumlah kecelakaan yang
terjadi yaitu faktor manusia sebesar 75,4%, faktor kendaraan sebesar 10,2%, faktor
jalan dan lingkungan sebesar 14,5% (Vogel, 2005). Persentase penyebab
kecelakaan lalu lintas di Kota Bandung berdasarkan persepsi responden ahli yaitu
faktor manusia sebesar 63,1%, faktor kendaraan sebesar 20,1% dan faktor jalan
sebesar 16,8% (Rajasa, 2017). Gambar 2.1 menunjukan faktor yang berkontribusi
terhadap kecelakaan lalu lintas di jalan (Austroads, 2002).

Sumber: Austroads, 2002


Gambar 2.1 Faktor Yang Berkonstribusi Terhadap Kecelakaan Lalu Lintas
9

2.5.1 Faktor Manusia


Manusia sebagai pemakai jalan yaitu pejalan kaki dan pengendara kendaraan.
Pejalan kaki tersebut menjadi korban kecelakaan dan dapat juga menjadi penyebab
kecelakaan. Pengemudi kendaraan merupakan penyebab kecelakaan yang utama,
sehingga paling sering diperhatikan. Faktor manusia merupakan faktor yang paling
dominan dalam kecelakaan (Bina Marga, 2011)
Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas pada
pengendara adalah:
a. Lengah
Lengah dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan apabila pengemudi
melakukan kegiatan lain saat mengemudi yang mengakibatkan terganggunya
konsentrasi pengemudi, misalnya melihat ke samping, mengambil sesuatu atau
berbincang-bincang dengan penumpang (Warpani, 2002).
b. Mengantuk
Mengantuk dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas pada
pengendara karena pengemudi kehilangan daya reaksi dan konsentrasi akibat
kurang istirahat (tidur) dan atau sudah mengemudikan kendaraan lebih dari 5
jam tanpa istirahat (Warpani, 2002). Ciri-ciri pengemudi yang mengantuk adalah
sering menguap, perih pada mata, lambat dalam bereaksi, berhalusinasi dan
pandangan kosong.
c. Lelah
Faktor kelelahan merupakan salah satu faktor penyebab kecelakaan, kelelahan
yaitu keadaan di mana pengemudi membawa kendaraan dalam keadaan lelah
akibat kurang istirahat sedemikian rupa sehingga mengakibatkan kurang
waspada serta kurang tangkas bereaksi terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi (Enggarsari, 2017).
d. Mabuk
Mabuk dapat disebabkan ketika pengemudi kehilangan kesadaran antara lain
karena pengaruh obat-obatan, alkohol, dan narkotik (Warpani, 2002). Mabuk
yang disebabkan alkohol memiliki peranan penting terhadap terjadinya
kecelakaan lalu lintas pada pengendara. Oleh karena itu, pengendara dilarang
10

mengkonsumsi alkohol sebelum berkendara atau tubuhnya mengandung alkohol


ketika ingin berkendara.
f. Tidak tertib
Tidak tertib dalam berlalu lintas merupakan ketidakdisiplinan pengendara dalam
berkendara yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas. Tidak
tertibnya pengendara itu dapat disebabkan oleh perilaku berkendara yang buruk
dan kesadaran akan berlalu lintas dengan benar yang rendah, seperti melanggar
marka atau rambu lalu lintas, mendahului kendaraan lain melalui jalur kiri, dan
sebagainya. Data menunjukkan lebih dari 90% faktor utama penyebab
kecelakaan lalu lintas adalah manusia, yang sangat berkaitan erat dengan
perilaku manusia dalam tata tertib dan disiplin berlalu lintas (Kezia, 2012).
g. Tidak terampil
Berkendara sangat membutuhkan keterampilan, menurut Dahlia (2012) yang
dikutip oleh Marsaid (2013) menyebutkan bahwa faktor pengendara tidak
terampil merupakan pengendara yang tidak mampu mengendalikan
kendaraannya sehingga menimbulkan kecelakaan seperti tidak berjalan sesuai
jalurnya atau terlalu ke kanan, tidak menjaga jarak aman. Oleh karena itu dalam
berkendara diperlukan latihan dan pengalaman dalam berkendara sehingga
memiliki keterampilan alamiah menghadapi bermacam-macam situasi lalu
lintas.
h. Kecepatan tinggi
Kecepatan merupakan hal yang dapat dikontrol pengendara sesuai keinginannya,
menurut Simarmata (2008) yang dikutip oleh Marsaid (2013) kecepatan tinggi
akan meningkatkan peluang terjadinya kecelakaan dan tingkat keparahan dari
konsekuensi kecelakaan tersebut. Kecepatan yang lebih tinggi dari kecepatan
yang dimungkinkan atau diizinkan oleh kondisi lalu lintas dan jalan. Hal ini
memberikan pengertian bagi pengemudi dan sesungguhnya batas kecepatan
tidak akan diperlukan seandainnya pengemudi dapat menyesuaikan dengan
kondisi di lapangan tanpa adanya peraturan kecepatan.

2.5.2 Faktor Kendaraan


Kendaraan bermotor sebagai hasil produksi suatu pabrik, telah dirancang
dengan suatu nilai faktor keamanan untuk menjamin keselamatan bagi
11

pengendaranya. Kendaraan harus siap pakai, oleh karena itu kendaraan harus
dipelihara dengan baik sehingga semua bagian mobil berfungsi dengan baik, seperti
mesin, rem kemudi, ban, lampu, kaca spion dan sabuk pengaman. Kendaraan dapat
menjadi faktor penyebab kecelakaan apabila tidak dapat dikendalikan sebagaimana
mestinya yaitu sebagai akibat kondisi teknis yang tidak laik jalan ataupun
penggunaannya tidak sesuai ketentuan (Bina Marga, 2011). Faktor-faktor
kendaraan yang beresiko menimbulkan kecelakaan lalu lintas adalah:
a. Rem Blong
Rem merupakan komponen dari kendaraan yang berfungsi untuk memperlambat
laju atau memberhentikan kendaraan. Kendaraaan memiliki dua rem, yaitu rem
depan dan rem belakang. Rem depan lebih efektif dibandingkan rem belakang
bahkan pada jalan dengan permukaan yang licin. Teknik pengereman yang baik
adalah menggunakan kedua rem untuk memberhentikan atau mengurangi
kecepatan, lalu menurunkan transmisi kendaraan. Jarak terlalu dekat juga
mempengaruhi pengereman, jika pengendara kurang memperhatikan jarak
minimal dengan kendaraan di depan dan kecepatan kendaraannya maka jarak
pandang henti akan berkurang dan dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas
(Marsaid, 2013).
b. Ban Pecah
Ban pecah terjadi ketika pengendara sedang berkendara dengan kecepatan
tinggi, kondisi ban yang sudah tipis serta kondisi jalan yang kurang kondusif.
Kendaraan yang mengalami pecah ban akan menjadi sulit dikendalikan sehingga
beresiko tinggi terjadi kecelakaan. Selain itu, ban yang pecah mendadak pada
saat kendaraan melaju dapat menimbulkan kecelakaan beruntun, karena
kendaraan berhenti secara tiba-tiba tanpa memberi aba-aba agar kendaraan
dibelakangnya dapat menjaga jarak.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada ban yaitu tekanan ban dan kerusakan
ban. Kendala pada ban meliputi kurangnya tekanan udara dan ban pecah.
Kurangnya tekanan udara adalah kondisi dimana tekanan ban berkurang
walaupun sudah di pompa. Sedangkan ban pecah adalah kerusakan ban secara
tiba-tiba yang dapat disebabkan oleh ban yang tertusuk oleh paku, batu tajam
atau benda lainnya yang dapat melubangi ban. Tekanan ban harus diperhatikan
12

karena dapat menyebabkan ketidakseimbangan ban dan menimbulkan ancaman


ketika berkendara terutama dalam kecepatan tinggi. Adapun hal-hal lain yang
harus diperhatikan dalam memilih dan menggunakan ban adalah ukuran ban,
tipe ban, dan daya cengkeram ban pada jalan (Marsaid, 2013).
c. Kendaraan Selip
Menurut Silaban (2004) yang dikutip oleh Marsaid (2013) menyebutkan bahwa
berdasarkan hasil analisis didapatkan hubungan tidak bermakna antara
kendaraan selip dengan kejadian meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Data
ini mencerminkan bahwa selip bukan merupakan salah satu faktor utama
penyebab kecelakaan lalu lintas yang dapat menimbulkan korban meninggal,
tetapi ada faktor lain yang menyertai sebagai penyebab kecelakaan. Kecelakaan
karena selip sering kali berhubungan dengan pengereman dan kondisi jalan.
Mengerem dengan keras dan mendadak akan menyebabkan selip karena
perpindahan berat kendaraan secara mendadak dapat menyebabkan roda depan
mengunci.
Kondisi jalan yang basah dan licin juga berpengaruh terhadap kejadian selip, ban
akan kekurangan kemampuan menapak pada jalan basah atau permukaan yang
licin. Selain itu, kondisi jalan menikung juga beresiko menyebabkan selip, hal
ini dikarenakan pada saat menikung pengendara sepeda motor seringkali
berbelok disertai mengerem.
d. Lampu kendaraan
Lampu kendaraan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya kecelekaan lalu lintas bagi pengendara terutama pada malam hari.
Sesuai Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1993 pasal 41, mengungkapkan
kendaraan dengan atau tanpa kereta samping harus dilengkapi dengan lampu-
lampu dan pemantul cahaya yang meliputi:
1) Lampu utama
Lampu utama terbagi menjadi dua, yaitu lampu utama dekat dan lampu utama
jauh. Lampu utama berfungsi sebagai penerang utama bagi pengendara dan
sebagai penanda keberadaan bagi pengendara lain. Ketika berkendara lampu
utama dekat yang lebih sering dipergunakan, karena lampu utama jauh dapat
mengganggu penglihatan pengendara lain yang berlawanan arah. Lampu
13

utama jauh digunakan ketika berada pada jalanan sepi. Lampu utama dekat
dan jauh berwarna putih atau kuning, lampu harus dapat menerangi jalan
sekurang-kurangnya 40 meter ke depan untuk lampu utama dekat dan
sekurang-kurangnya 100 meter ke depan untuk lampu utama jauh.
2) Lampu indikator/sein
Lampu ini wajib dimiliki setian kendaraan yang letaknya sepasang di depan
kendaraan dan sepasang lagi dibelakang sepeda motor. Fungsinya adalah
sebagai penunjuk arah untuk memberitahu arah tujuan kita kepada
pengendara dibelakang kita atau kendaraan di depan kita, selain itu juga dapat
digunakan ketika akan berpindah jalur. Lampu ini berwarna putih atau kuning
tua dan berkelip-kelip, harus dapat dilihat pada malam hari maupun siang
hari.
3) Lampu rem
Lampu rem berfungsi untuk memberitahu pengendara lain di belakang agar
mengurangi kecepatan dan sebagai tanda bahwa kendaraan mengurangi laju
kecepatannya. Lampu ini harus berwarna merah terang tetapi tidak
menyilaukan pengendara dibelakangnya.
e. Kelebihan muatan
Kelebihan muatan adalah merupakan penggunaan kendaraan yang tidak sesuai
dengan ketentuan tata tertib muatan (Bina Marga, 2011). Berdasarkan Peraturan
Pemerintah RI No.55 tahun 2012 tentang kendaraan, pendistribusian barang dan
jasa kendaraan bermotor diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu, truk
merupakan pendistribusian barang. Bus, mobil dan sepeda motor merupakan
jasa pendistribusian manusia. Besarnya kebutuhan jasa angkutan publik untuk
pendistribusian barang dan jasa ini mendorong pertumbuhan kendaraan
bermotor untuk angkutan semakin besar pula. Membawa muatan barang yang
melebihi kapasitas beresiko menganggu kenyamanan dalam berkendara baik
bagi pengendara maupun orang lain yang juga melintas.

2.5.3 Faktor Jalan


Faktor jalan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya
kecelakaan lalu lintas. Kondisi jalan yang rusak, geometrik (alinyemen horizontal
dan vertikal), begitu juga tidak berfungsinya marka, rambu dan sinyal lalu lintas
14

dengan optimal, harmonisasi rambu dan marka yang tidak baik dapat menyebabkan
kecelakaan lalu lintas (Djunaidi, 2017). Berikut adalah uraian mengenai faktor jalan
yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas pada pengendara:
a. Jalan berlubang
Menurut Bustan (2007) yang dikutip oleh Marsaid (2013) jalan berlubang adalah
kondisi dimana permukaan jalan tidak rata akibat adanya cekungan ke dalam
yang memiliki kedalaman dan diameter yang tidak berpola, ini disebabkan
sistem pelapisan yang kurang sempurna. Banyak jalan berlubang yang memiliki
diameter serta kedalaman yang cukup besar, hal ini sangat beresiko
menyebabkan sepeda motor kehilangan keseimbangan ketika melewatinya. Jika
pengendara kutang terampil menguasai keadaan, sepeda motor dapat oleng dan
terjatuh. Tingkat keparahan yang ditimbulkan akibat kecelakaan karena jalan
berlubang cukup parah bergantung pada model kecelakaan dan lubang yang ada.
b. Jalan rusak
Jalan rusak adalah kondisi dimana permukaan jalan tidak mulus yang disebabkan
karena jalan belum diaspal, jalan yang terdapat bebatuan, kerikil atau material
lain yang berada di permukaan jalan yang mengganggu ketika berkendara, dan
jalan aspal yang sudah mengalami kerusakan. Jalan yang rusak dapat
mengurangi kontrol dalam berkendara dan mengganggu keseimbangan
pengendara, untuk itu pengendara sebaiknya mengurangi kecepatannya ketika
melewati jalan dengan kondisi rusak (Dephub, 2006).
c. Jalan licin
Permukaan jalan yang licin dapat disebabkan oleh air hujan, namun ada juga
yang disebabkan oleh faktor lain seperti tumpahan minyak, lumpur, ataupun
tanah yang basah karena tersiram air hujan. Jika ditelaah lebih mendalam
kecelakaan yang disebabkan jalan yang basah/licin sebenarnya tidak berdiri
sendiri, hal ini berhubungan dengan beberapa faktor penyebab lainnya
contohnya faktor pengendara dan kondisi kendaraan terutama performa ban. Ban
yang permukaannya sudah halus atau tipis ketika bertemu dengan jalan yang
licin tidak akan menimbulkan gaya gesek antara ban dan jalan, sehingga beresiko
tinggi terpeleset (Kartika, 2009).
15

d. Tanpa marka/rambu
Jalan yang tidak memiliki marka jalan dan rambu lalu lintas sangat berpotensi
menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor. Marka
dan rambu jalan ini berguna untuk membantu pengaturan arus lalu lintas dan
memberitahu pengendara mengenai kondisi jalan dan peraturan di suatu jalan
(Kezia, 2012). Selain itu, marka dan rambu lalu lintas juga harus berfungsi dan
berkondisi baik agar pengendara dapat melihat dan mematuhi rambu dan marka
jalan di lingkungannya berkendara.
e. Tikungan tajam
Jalan yang memiliki tikungan tajam adalah jalan yang memiliki kemiringan
sudut belokan kurang dari atau lebih dari 180o. Untuk melewati kondisi jalan
tersebut dibutuhkan keterampilan dan teknis khusus dalam berkendara agar tidak
hilangnya kendali pada kendaraan yang berakibat jatuh dan menyebabkan
terjadinya kecelakaan lalu lintas. Jika kendaraan akan membelok sebaiknya
mengurangi laju kendaraan agar dapat berhati-hati (Kartika, 2009).
f. Tanjakan dan turunan
Sudut pandang pada tanjakan dan turunan yang tajam dapat menipu pemgemudi,
sehingga tanjakan adalah salah satu tempat rawan kecelakaan (Kezia, 2012).
Pada jalan-jalan tanjakan dan turunan, seringkali kendaraan – kendaraan berat
yang bergerak dengan kecepatan di bawah kecepatan rencana menjadi
penghalang kendaraan lain yang bergerak dengan kecepatan diatas kecepatan
rencana, jenis kendaran yang sering menjadi penghalang adalah jenis truk.
Kendaraan dengan kecepatan di atas kecepatan rencana juga seringkali
menimbulkan kecelakaan bagi pengendara baik yang sedang melalui tanjakan
maupun turunan jalan.

2.5.4 Faktor Lingkungan


Faktor lingkungan sangat mempengaruhi keselamatan lalu lintas, salah
satunya yaitu cuaca buruk. Cuaca buruk sangat mempengaruhi kelancaran arus lalu
lintas, bahkan dalam berbagai peristiwa kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh
cuaca buruk. Dalam cuaca buruk, misalnya hujan lebat atau berkabut yang
menyebabkan pandangan pengemudi sangat terbatas sehingga mudah sekali terjadi
kesalahan antisipasi. Di samping itu jalan juga dapat menjadi licin (Warpani, 2002).
16

Berikut adalah uraian mengenai faktor lingkungan yang dapat menyebabkan


terjadinya kecelakaan lalu lintas pada pengendara:
a. Hujan
Hujan dapat membawa pengaruh kepada hal-hal lain seperti jalan yang menjadi
licin, jarak pandang menjadi lebih pendek, dan jarak pengereman menjadi lebih
jauh. Cuaca buruk sangat mempengaruhi kelancaran arus lalu lintas, bahkan
dalam berbagai peristiwa, kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh cuaca buruk.
Dalam cuaca buruk, misalnya hujan lebat atau berkabut, pandangan pengemudi
sangat terbatas sehingga mudah sekali terjadi kesalahan antisipasi. Di samping
itu, jalan juga menjadi sangat licin, semuanya bisa dikembalikan pada faktor
manusia yakni kesadaran dan kehatihatiannya pada kondisi hujan dan jalanan
yang menjadi licin (Warpani, 2002).
b. Jalan gelap
Jalan gelap dapat disebabkan karena lampu penerangan di jalan yang tidak ada
atau tidak cukup penerangannya. Jalan yang gelap beresiko menyebabkan
terjadinya kecelakaan lalu lintas pada pengendara karena pengendara tidak dapat
melihat dengan jelas arah dan kondisi jalan serta lingkungan sekitarnya. Jalan
tanpa lampu penerang jalan akan sangat membahayakan dan minumbulkan
potensi tinggi untuk menyebabkan kecelakaan lalu lintas pada pengendara.
Kecelakaan dikarenakan lampu penerangan yang hanya berasal dari kendaraan
terkadang tidak cukup untuk menerangi jalan di depannya.
c. Kabut
Kabut yang diakibatkan oleh cuaca buruk merupakan salah satu faktor penyebab
kecelakaan lalu lintas. Kabut menyebabkan pandangan pengemudi sangat
terbatas sehingga mudah sekali terjadi kesalahan antisipasi (Warpani, 2002).

2.6 Metode Delphi


Metode Delphi adalah proses yang dilakukan dalam kelompok untuk
mensurvei dan mengumpulkan pendapat dari para ahli terkait topik tertentu. Metode
Delphi merupakan metode yang menyelaraskan proses komunikasi suatu grup
sehingga dicapai proses yang efektif dalam mendapatkan solusi masalah yang
kompleks (Marimin, 2004).
17

Pendekatan Delphi memiliki 3 grup yang berbeda yaitu pembuat keputusan,


staf dan responden. Pembuat keputusan akan bertanggung jawab terhadap keluaran
dari kajian Delphi. Sebuah grup kerja yang tersusun atas staf dan pembuat
keputusan bertugas mengembangkan dan menganalisis semua kuesioner,
mengevaluasi pengumpulan data dan merevisi kuesioner yang diperlukan. Grup staf
dipimpin oleh koordinator yang harus memiliki pengalaman dalam desain dan
mengerti metode Delphi serta mengenal topik masalah. Tugas staf koordinator
adalah mengontrol staf dalam pengetikan, mailing kuesioner, membagi dan proses
hasil serta penjadwalan pertemuan. Responden adalah orang yang ahli dalam
masalah dan siapa saja yang setuju untuk menjawab kuesioner.
Dalam buku Marimin (2004) tersebut, dijelaskan prosedur metode Delphi adalah
sebagai berikut:
a. Mengembangkan pertanyaan Delphi
Dimulai dengan membuat pertanyaan secara garis besar oleh pembuat
keputusan. Jika responden tidak mengerti, maka masukan pertanyaan tersebut
perlu diganti. Kunci dari langkah ini adalah mengembangkan pertanyaan
yang dapat dimengerti oleh responden.
b. Memilih dan kontak dengan responden
Responden sebaiknya diseleksi, sehingga responden yang dipilih mengetahui
permasalahan dan memiliki informasi yang tepat untuk dibagi.
c. Memilih jumlah responden
Ukuran jumlah responden bervariasi antara 10-15 partisipan.
d. Mengembangkan kuesioner dan test (1)
Kuesioner pertama dikirim kepada responden ahli untuk menanyakan
beberapa pendapat dan juga rekomendasinya secara garis besar.
e. Analisis Kuesioner (1)
Analisis kuesioner harus dihasilkan dalam ringkasan yang berisi bagian-
bagian yang diidentifikasi dan komentar dibuat dengan jelas dan dapat
dimengerti responden terhadap kuesioner (2).
f. Pengembangan kuesioner dan test (2)
Kuesioner (2) dikembangkan menggunakan ringkasan responden dari
kuesioner (1). Fokus dari kuesioner ini adalah untuk mengidentifikasi dan
18

mendiskusikan bagian yang diinginkan serta membantu partisipan


mengetahui masing-masing posisi dan bergerak menuju pendapat yang
akurat.
g. Analisis kuesioner (2)
Tujuan dari tahap ini adalah meringkas pendapat yang dibuat tentang masing-
masing bagian dan jika didapatkan informasi maka akan membantu
penyelesaian masalah.
h. Mengembangkan kuesioner dan test (3)
Kuesioner (3) didesain untuk mendorong masukkan proses Delphi.
i. Analisis kuesioner (3)
Analisis tahap ini mengikuti prosedur yang sama pada analisis kuesioner (2).
j. Menyiapkan laporan akhir
Laporan akhir harus meringkas tujuan dan proses hasil yang baik.

2.7 Metode Cut Off Point


Metode Cut Off Point merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi
kriteria yang relevan yang dilakukan oleh para responden dalam menilai setiap
kriteria dengan menggunakan skala, yaitu:
a. Jawaban Sangat Penting (very important) diberi nilai 3.
b. Jawaban Penting (somewhat important) ) diberi nilai 2.
c. Jawaban Tidak Penting (not important) ) diberi nilai 1.
Hasil dari analisis dengan Metode Cut off Point yang mempunyai nilai
kurang dari batas cut off tidak akan ikut untuk dianalisis dan dianggap
pengaruhnya tidak terlalu penting. Perhitungan nilai cut off menggunakan formula
(Maggie dan Tummala, 2001) dengan Rumus 2.1.

Nilai Maksimum + Nilai Minimum


Nilai Cut Off = ................ (2.1)
2

Menurut Maggie dan Tummala (2001) yang dikutip oleh Setiawan (2016),
mengatakan bahwa untuk mengoptimalkan penggunaan metode Analytic Hierarchy
Process (AHP) perlu seleksi awal dari kriteria yang telah ditentukan untuk
memastikan tingkat kepentingan dari kriteria.
19

2.8 Metode Analytical Hierarcy Process (AHP)


Metode AHP dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty untuk
mengorganisasikan informasi dan judgment dalam memilih alternatif yang paling
penting. Dalam buku Saaty (1991) tersebut, dijelaskan bahwa metode ini adalah
sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan yang
kompleks. Menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan
dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-bagiannya, menata bagian
atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberi nilai numerik pada
pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel yang mana memiliki
prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi
tersebut. Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan yang kompleks
dengan analisis yang logis, ada tiga prinsip pemikiran analitik yaitu prinsip
menyusun suatu hirarki kriteria, prinsip menerapkan prioritas dan prinsip
konsistensi logis.
• Menyusun Hierarki
Pada umumnya manusia mempunyai kemampuan untuk mempersepsi benda
dan gagasan, mengidentifikasi dan mengkomunikasikan apa yang diamati
untuk memperoleh pengetahuan terinci, pikiran dalam menyusun realitas yang
kompleks ke dalam bagian yang menjadi elemen pokoknya, kemudian
menyusun bagian ini ke dalam bagian-bagiannya lagi, dan seterusnya secara
hierarkis.
• Menentukan Prioritas
Para perencana menetapkan hubungan elemen dari setiap tingkatan hierarki
dengan membandingkan elemen tersebut secara berpasangan. Hubungan dari
elemen tersebut diperoleh tingkat kepentingan yang lebih tinggi, hasil dari
pembandingan ini yaitu suatu prioritas atau relatif pentingnya suatu kriteria.

• Konsistensi Logis
Penggunaan pada prinsip ini yaitu proses Hierarki Analitik memasukkan baik
aspek kualitatif maupun kuantitatif suatu pemikiran, aspek kualitatif untuk
mendefinisikan persoalan dan hierarkinya, sedangkan aspek kuantitatif untuk
mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat.
20

Adapun abstraksi susunan hirarki keputusan pada metode AHP, seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 2.2.

Level 1 Fokus

Level 2 Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4

Level 3 Subkriteria Subkriteria Subkriteria Subkriteria

Sumber: Saaty, 1991


Gambar 2.2 Abstraksi Susunan Hierarki Keputusan

2.8.1 Langkah-Langkah dalam Metode Analytic Hierarchy Process (AHP)


Secara umum pengambilan keputusan dengan metode Analytic Hierarchy
Process (AHP) didasarkan pada langkah-langkah berikut:
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.
2. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan, dilanjutkan dengan
kriteria dan alternatif pilihan.
3. Membentuk matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan
kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan
atau kriteria yang setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan
pilihan atau judgment dari pembuat keputusan dengan menilai tingkat
kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya.
4. Membagi nilai dari setiap elemen di dalam matriks yang berpasangan dengan
nilai total dari setiap kolom.
5. Menghitung nilai Eigen Vector dan menguji konsistensinya, jika tidak
konsisten maka pengambilan data (preferensi) perlu diulangi.
6. Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hierarki.
7. Menghitung Eigen Vector dari setiap matriks perbandingan berpasangan.
Nilai Eigen Vector merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk
21

mensintesis pilihan dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat


hirarki terendah sampai pencapaian tujuan
8. Menguji konsistensi hierarki. Jika tidak memenuhi dengan CR < 0,1; maka
penilaian harus diulang kembali.

Rasio Konsistensi (CR) merupakan batas ketidak konsisten (inconsistency)


yang ditetapkan Saaty. Prioritas alternatif terbaik dari total rangking yang diperoleh
merupakan rangking yang dicari dalam Analytic Hierarchy Process (AHP).

2.8.2 Matrik Perbandingan Berpasangan


Konsep dasar AHP adalah penggunaan matriks pairwise comparasison
(matrik perbandingan berpasangan) untuk menghasilkan bobot relatif antar kriteria.
Matrik yang digunakan bersifat sederhana, memiliki kedudukan kuat untuk
kerangka konsistensi. Pendekatan dengan matrik mencerminkan aspek ganda dalam
prioritas yaitu mendominasi dan didominasi. Perbandingan dilakukan berdasarkan
pengambilan keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen
dibandingkan elemen lainnya. Skala perbandingan berpasangan didasarkan pada
nilai-nilai fundamental AHP dengan pembobotan dari nilai 1 sampai 9 seperti yang
terlihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Skala Matrik Perbandingan Berpasangan


Intensitas
Definisi Penjelasan
Kepentingan
Dua elemen
1 Kedua elemen sama pentingnya menyumbangnya sama
besar pada sifat itu
Pengalaman dan
Elemen yang satu sedikit lebih pertimbangan sedikit
3
penting dari pada yang lainnya menyokong satu elemen
atas yang lainnya
Pengalaman dan
Elemen yang esensial atau
pertimbangan dengan kuat
5 sangat penting daripada elemen
menyokong satu elemen atas
lainnya
elemen yang lainnya
Satu elemen dengan kuat
Satu elemen jelas lebih penting disokong, dan dominannya
7
dari elemen yang lainnya telah terlihat terlihat dalam
praktik
Dilanjutkan,
22

Tabel 2.2 Skala Matrik Perbandingan Berpasangan (Lanjutan)


Bukti yang menyokong
Elemen yang satu mutlak lebih elemen yang satu atas yang
9 penting dari elemen (Absolutely lain memiliki tingkat
more importance) penegasasan tertinggi yang
mungkin menguatkan
Nilai-nilai antara diantara dua Kompromi diperlukan
2,4,6,8
pertimbangan yang berdekatan antara dua pertimbangan

Sumber: Saaty, 1991

2.8.3 Penggabungan Pendapat Responden


Pada dasarnya metode AHP dapat digunakan untuk mengolah data dari satu
responden ahli. Namun dalam pelaksanaannya penilaian kriteria dan alternatif
dilakukan oleh beberapa ahli multi-disiplioner. Konsekuensinya pendapat beberapa
ahli tersebut perlu dicek konsistensinya satu persatu. Pendapat yang konsisten
kemudian digabungkan dengan menggunakan rata-rata geometrik. Berikut adalah
persamaan untuk menggabungkan beberapa pendapat responden ahli seperti pada
Rumus 2.2.

𝐴𝐺 = 𝑛√𝐴1 × 𝐴2 × … × 𝐴𝑛 ........................................ (2.2)

dengan:
AG = rata-rata geometrik
n = jumlah responden
Ai = penilaian oleh responden ke-i

2.8.4 Perhitungan Bobot Elemen


Perhitungan bobot elemen dilakukan dengan menggunakan suatu matrik. Bila
dalam suatu sub sistem operasi terdapat “ ” elemen operasi yaitu elemen-elemen
operasi A1, A2, A3, … , An maka hasil perbandingan secara berpasangan elemen-
elemen tersebut akan membentuk suatu matrik pembanding. Perbandingan
berpasangan dimulai dari tingkat hirarki yang paling tinggi, dimana suatu kriteria
digunakan sebagai dasar pembuatan perbandingan. Bentuk matrik perbandingan
berpasangan bobot elemen seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.3.
23

Tabel 2.3 Bobot Elemen Perbandingan Berpasangan


……… A1 A2 ……… An
A1 A11 A12 ……… A1n
A2 A21 A22 ……… A2n
......... ……… ……… ……… ………
An An1 An2 ……… Ann

Sumber: Saaty, 1991

Bila elemen A dengan parameter I, dibandingkan dengan elemen operasi A


dengan parameter j, maka bobot perbandingan elemen operasi Ai berbanding Aj
dilambangkan dengan Aij seperti pada Rumus 2.3.

Aij = Ai/Aj, dimana: i,j = 1,2,3,…n ............................. (2.3)

Matriks perbandingan berpasangan (pairwise comparison matrik), dapat


digambarkan menjadi matrik perbandingan preferensi seperti diperlihatkan pada
Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Matriks Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan


......... W1 W2 ……… Wn
W1 W1/W1 W1/W2 ……… W1/Wn
W2 W2/W1 W2/W2 ……… W2/Wn
......... ……… ……… ……… ………
Wn Wn/W1 Wn/W2 Wn/Wn

Sumber: Saaty, 1991

Nilai Wi/Wj dengan I,j = 1,2, … n diperoleh dengan melibatkan responden


yang memiliki kompetensi dalam permasalahan yang dianalisis. Matrik
perbandingan preferensi tersebut diolah dengan melakukan perhitungan pada tiap
baris tersebut dengan menggunakan Rumus 2.4.

𝑛
𝑊𝑖 = √(𝑎𝑖1 × 𝑎𝑖2 × 𝑎𝑖3, … × 𝑎𝑖𝑛)................................... (2.4)

Matrik yang diperoleh merupakan Eigen Vector yang juga merupakan bobot
kriteria. Bobot kriteria atau Eigen Vector adalah (Xj), seperti pada Rumus 2.5.
24

𝑊𝑖
𝑋𝑗 = (∑ 𝑊𝑖)................................................... (2.5)

dengan nilai Eigen Vector terbesar (λmaks), seperti pada Rumus 2.6.

λmaks = aij.Xj ................................................... (2.6)

Penyimpangan terhadap konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi


(CI), seperti Rumus 2.7.
λ𝑚𝑎𝑘𝑠 −𝑛
𝐶𝐼 = ................................................... (2.7)
𝑛−1

dengan: λmaks : nilai eigen vector maksimum


n : ukuran matrik

Matrik random dengan skala penilaian 1 sampai 9 beserta kebalikannya


sebagai Random Index (RI). Dengan Random Index (RI) setiap ordo matrik seperti
pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Random Indeks
Ordo
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Matrik
RI 0 0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49

Sumber: Saaty, 1991

Perbandingan antara CI dan RI untuk suatu matrik didefinisikan sebagai Ratio


Konsistensi atau Consitency Ratio (𝐶𝑅) seperti pada Rumus 2.8. Untuk model AHP
matrik perbandingan dapat diterima jika nilai ratio konsisten tidak lebih dari 10%
atau sama dengan 0,1.
𝐶𝐼
𝐶𝑅 = 𝑅𝐼 ≤ 0,1 (𝑂𝐾)................................................... (2.8)

2.9 Metode Technique for Order Pereference by to Ideal Solution (TOPSIS)


TOPSIS digunakan sebagai salah satu metode dalam memecahkan masalah
multikriteria. Dalam bukunya menurut Marbun dan Sinaga (2018) metode TOPSIS
memberikan sebuah solusi dari sejumlah alternatif dengan alternatif terbaik dan
alternatif terburuk yang ada dalam alternatif-alternatif masalah. Metode ini
menggunakan jarak untuk melakukan perbandingan tersebut.
25

TOPSIS akan merangking alternatif berdasarkan prioritas nilai kedekatan


relatif suatu alternatif terhadap solusi ideal positif. Alternatif-alternatif yang telah
dirangking kemudian dijadikan sebagai referensi bagi pengambil keputusan untuk
memilih solusi terbaik yang diinginkan. Metode ini banyak digunakan untuk
menyelesaikan pengambilan keputusan secara praktis. Hal ini disebabkan
konsepnya sederhana dan mudah dipahami, komputasinya efisien, dan memiliki
kemampuan mengukur kinerja relatif dari alternatif-alternatif keputusan.
Nilai solusi ideal negatif dan solusi ideal positif dari setiap kriteria ditentukan,
dan setiap alternatif dipertimbangkan dari informasi tersebut. Solusi ideal positif
didefinisikan sebagai jumlah dari seluruh nilai terbaik yang dapat dicapai untuk
setiap atribut, sedangkan solusi ideal negatif terdiri dari seluruh nilai terburuk yang
dicapai untuk setiap atribut.

Berikut adalah langkah-langkah dari metode TOPSIS:


1. TOPSIS dimulai dengan membangun sebuah matriks keputusan. Matriks
keputusan X mengacu terhadap m alternatif yang akan dievaluasi berdasarkan
n kriteria. Matriks keputusan X dapat dilihat pada persamaan 2.9.

𝑎1 𝑥11 … 𝑥1𝑛
𝑋= … ( … … … )....................................... (2.9)
𝑎𝑚 𝑥𝑚1 … 𝑥𝑚𝑛
dengan:
- a1 (i = 1, 2, 3, …, m) adalah alternatif-alternatif yang mungkin
- xj (j = 1, 2, 3, …, n) adalah atribut dimana performansi alternatif diukur
- xij adalah performansi alternatif ai dengan acuan atribut xj

2. Membuat matriks keputusan yang ternormalisasi


Persamaan yang digunakan untuk mentransformasikan setiap elemen xij
terbentuk dari Rumus 2.10.

𝑥𝑖𝑗
𝑟𝑖𝑗 = ................................................... (2.10)
√∑𝑚
𝑖=1 𝑥𝑖𝑗
2

dengan:
- i = 1,2,3,...,m; dan j = 1,2,...,n
- rij adalah elemen dari matriks keputusan yang ternormalisasi R.
26

- xij adalah elemen matriks dari keputusan X

3. Membuat matriks keputusan yang ternormalisasi terbobot.


Dengan bobot wi = (w1, w2, w3, …, wn) dimana wj adalah bobot dari kriteria ke-
j dan ∑𝑛𝑗=1 𝑤𝑗 = 1 maka normalisasi bobot matriks V seperti pada Rumus 2.11.

𝑣𝑖𝑗 = 𝑤𝑗 × 𝑟𝑖𝑗 ................................................... (2.11)

dengan:
- vij adalah elemen dari matriks keputusan yang ternormalisasi terbobot V
- wij adalah bobot dari kriteria ke-j
- rij adalah elemen dari matriks keputusan yang ternormalisasi R

4. Menentukan matriks solusi ideal positif dan solusi ideal negatif.


Solusi ideal positif dinotasikan A+, sedangkan solusi ideal negatif dinotasikan
A-. Berikut ini adalah persamaannya, seperti pada Rumus 2.12 dan Rumus
2.13.

𝐴+ = {(max 𝑣𝑖𝑗 | 𝑗 ∈ 𝐽), (min 𝑣𝑖𝑗 | 𝑗 ∈ 𝐽′), 𝑖 = 1,2,3, … , 𝑚}

= (𝑣1+ , 𝑣2+ , 𝑣3+ … 𝑣𝑛+ )............................................................... (2.12)

𝐴− = {(max 𝑣𝑖𝑗 | 𝑗 ∈ 𝐽), (min 𝑣𝑖𝑗 | 𝑗 ∈ 𝐽′), 𝑖 = 1,2,3, … , 𝑚}

= (𝑣1− , 𝑣2− , 𝑣3− … 𝑣𝑛− )............................................................... (2.13)

dengan:
- J = {j = 1,2,3, …,n dan J merupakan himpunan kriteria keuntungan (benefit
criteria)}
- J’ = {j = 1,2,3, …,n dan J’ merupakan himpunan kriteria biaya (cost
criteria)}
- vij adalah elemen dari matriks keputusan yang ternormalisasi terbobot V
- 𝑣+
𝑗 (𝑗 = 1, 2, 3, … , 𝑛) adalah elemen matriks solusi ideal positif

- 𝑣−
𝑗 (𝑗 = 1, 2, 3, … , 𝑛) adalah elemen matriks solusi ideal negatif
27

5. Menghitung Separasi (Jarak antara nilai setiap alternatif dengan matriks solusi
ideal positif dan matriks solusi ideal negatif).
S+ adalah jarak alternatif dari solusi ideal positif diperlihatkan pada Rumus
2.14.
2
𝑆𝑖+ = √∑𝑛𝑗=1(𝑣𝑖𝑗 − 𝑣𝑗+ ) ........................................... (2.14)

S- adalah jarak alternatif dari solusi ideal negatif diperlihatkan pada Rumus
2.15.
2
𝑆𝑖− = √∑𝑛𝑗=1(𝑣𝑖𝑗 − 𝑣𝑗− ) ........................................... (2.15)

dengan:
- i = 1, 2, 3, ..., m.
- vij adalah elemen dari matriks keputusan yang ternormalisasi terbobot V
- 𝑣+
𝑗 adalah elemen matriks solusi ideal positif

- 𝑣−
𝑗 adalah elemen matriks solusi ideal negative

6. Menghitung kedekatan relatif terhadap solusi ideal positif.


Kedekatan relatif dari setiap alternatif terhadap solusi ideal positifdapat
dihitung dengan persamaan pada Rumus 2.16.

𝑆−
𝑐𝑖 + = 𝑆 −+𝑆
𝑖
+ , 0 ≤ 𝑐𝑖
+
≤ 1...................................... (2.16)
𝑖 𝑖

dengan :
- i = 1, 2, 3, ..., m
- c+ adalah kedekatan relatif dari setiap alternatif terhadap solusi ideal
positif, Si+ adalah jarak antara alternatif ke-i dari solusi ideal positif dan Si-
adalah jarak antara alternatif ke-i dari solusi ideal negative

2.10 Studi Terdahulu


Untuk mengetahui keaslian penelitian, perlu adanya hasil penelitian
terdahulu yang terkait dengan penelitian ini. Adapun penelitian terdahulu dalam
menggunakan metode AHP serta penelitian faktor penyebab kecelakaan lalu lintas,
antara lain:
28

Tabel 2.6 Studi Terdahulu


No. Nama, Tahun Judul Bentuk Tulisan Hasil Penelitian

1. Achmad Strategi Penanganan  Metode AEK Berdasarkan hasil analisis


Djunaidi Titik Rawan  Metode AHP dengan metode AHP yaitu
(2017) Kecelakaan Ruas Jalan manusia merupakan faktor
SP. Penyandingan – penyebab utama kecelakaan
Pematang Panggang lalu lintas (66,8%), Jalan
Jalur Lintas Timur (12,78%), lingkungan (11,33%)
Sumatera Selatan dan kendaraan (9,21%).

2. Asep Setiawan Penentuan Skala  Metode Dephi Berdasarkan hasil analisis


(2016) Prioritas Penanganan  Metode Cut menggunakan kombinasi
Ruas Jalan Provinsi Di Off Point metode Delphi dan Cut Off
Kabupaten Purwakarta  Metode AHP Point terdapat kriteria yang
dianggap kurang berpengaruh
dalam penentuan prioritas
penanganan jalan yaitu faktor
kepadatan penduduk, faktor
tata guna lahan dan faktor
kebijakan eksekutif. Dengan
menggunakan metode AHP
didapat hasil pembobotan
faktor kriteria yaitu faktor
kondisi jalan (68,7%), faktor
volume lalu lintas (18,3%) dan
faktor ekonomi (13,0%).

3. Endah Kajian Prioritas  Metode AHP Bobot kriteria berdasarkan hasil


Shaummah Pemeliharaan Jalan Di  Metode analisis dengan metode AHP
Kota Bandung TOPSIS yaitu kondisi jalan (43,6%),
Menggunakan Metode volume lalu lintas (42,3%) dan
AHP dan TOPSIS drainase (14,0%). Dengan
menggunakan metode TOPSIS,
prioritas jalan yang diperoleh
dalam pemeliharaan jalan di
Kota Bandung yaitu jalan
Soekarno Hatta (77,70%)
Dilanjutkan,
29

Tabel 2.6 Studi Terdahulu (Lanjutan)

No. Nama, Tahun Judul Bentuk Tulisan Hasil Penelitian

4. Umi Kajian Terhadap Faktor  Metode Berdasarkan hasil analisis terdapat


Enggarsari, – Faktor Penyebab pendekatan 5 faktor penyebab kecelakaan lalu
Nur Kecelakaan Lalu Lintas yuridis empiris lintas yaitu faktor kesalahan lalu
Khalimatus Dalam Upaya Perbaikan lintas, faktor pengemudi, faktor
Sa’diyah Pencegahan Kecelakaan jalan, faktor kendaraan bermotor
(2017) Lalu Lintas dan faktor alam

5. Rinaldy Bagus Kajian Faktor – Faktor  Metode Cut Berdasarkan hasil analisis
Rajasa (2017) Penyebab Kecelakaan Off Point menggunakan metode Cut Off Point
Lalu Lintas Di Kota  Metode ANP terdapat kriteria yang dianggap
Bandung kurang berpengaruh dalam
penyebab kecelakaan lalu lintas
yaitu faktor lingkungan. Dari hasil
analisis menggunakan metode ANP
didapat pembobotan kriteria yaitu
manusia (63,1%), kendaraan
(20,1%) dan jalan (16,8%).

Anda mungkin juga menyukai