Anda di halaman 1dari 20

COMPOUNDING DAN DISPENSING

PREEKLAMPSIA

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Fenny Khairunnisa 2805001
Aprila Desliana 2805002
Zahra Zaviar Camelia 2805003
Novi Nurriani 2805004
Putri Sefrianti 2805005
Fatma Zahra 2805006
Hartati Bawamenewi 2805007
Etika Nila Permata 2805008
Rici Anggria Sari 2805009
Putri Maqfira 2805010

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI INDONESIA
YAYASAN PERINTIS
PADANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Preeklamsia adalah timbulnya hipertensi disertai proitenuria dan edema


akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan
(Mansjoer, 2002). Preeklamsia-eklamsia merupakan salah satu penyebab
kematian ibu terbanyak di negara-negara berkembang, di samping perdarahan dan
infeksi. Tingginya preeklamsia-eklamsia di Negara-negara berkembang
dihubungkan dengan masih rendahnya status sosial ekonomi dan tingkat
pendidikan yang dimiliki kebanyakan masyarakat. Kedua hal tersebut sangat
terkait dan sangat berperan dalam menentukan tingkat penyerapan dan
pemahaman terhadap berbagai informasi/masalah kesehatan yang timbul baik
untuk dirinya ataupun lingkungannya (Ketut Sudaberata, 2001). Frekuensi
preeklamsia untuk tiap negara berbeda karena banyak faktor yang
memepengaruhinya. Dalam kepustakaan frekuensi dilaporkan berkisar 3-10 %.
Pada primigravida frekuensi preeklamsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan
multigravida, terutama multigravida muda. Diabetes melitus, mola hidatidosa,
kehamilan ganda, umur lebih dari 35 tahun dan obesitas merupakan faktor risiko
terjadinya preeklamsia (Hanifa Wiknjosastro, 2005).
Di indonesia, eklamsia di samping perdarahan dan infeksi masihmerupakan
sebab utama kematian ibu dan sebab utama kematian perinatal yang tinggi. Oleh
karena itu, diagnosis dini preeklamsia yang merupakan tingkat pendahuluan
eklamsia serta penangannya perlu segera dilaksanakan untuk mengurangi angka
kematian ibu dan anak (Hanifa Wiknjosastro, 2005).
Berdasarkan data dari RS Umum Dr. Kariadi Semarang periode 01 Januari
1993-31 Desember 1994 angka kejadian preeklamsia sebesar 4,49% dari 9.248
persalinan (Endang Lukitosari, 1996). Menurut Umi Salamah (2001, 25) terdapat
9,55% angka kejadian preeklamsia dari 3.693 persalinan pada tahun 2000.
Preeklamsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan
proteinuia yang timbul karena kehamilan. Sekitar 25 persen wanita yang
mengandung bayi pertama sedikit mengalami peningkatan tekanan darah pada
tiga bulan terakhir kehamilan (Oscar H. Simbolon, 1999). Jika tekanan darah ini
tidak dikendalikan akan timbul masalah atas ibu maupun bayinya. Tekanan darah
tinggi bisa merusak plasenta dan membahayakan suplai oksigen dan zat gizi pada
bayi (Trish, 2005:122). Karena buruknya nutrisi, pertumbuhan janin akan
terhambat, sehingga terjadi bayi dengan berat lahir yang rendah, prematur,
asfiksia, dan beresiko meninggal (Ketut Sudaberata, 2001).Berdasarkan hal ini,
maka pada makalah ini akan dibahas mengenai preeklamsia pada wanita hamil.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Preeklamsia


Preeklamsia adalah timbulnya hipertensi disertai proitenuria dan edema
akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan
(Mansjoer, dkk,2001). Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3
kehamilan tetap dapat tejadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidora
(Wiknjosastro,2005).
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain untuk
menegakkan diagnosis preeklamsia, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mm Hg
atau lebih diatas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mm Hg
atau lebih. Kenaikan tekanan diastolic sebenarnya lebih dapat dipercaya. Apabila
tekanan diastolik naik dengan 15 mm Hg atau lebih, atau menjadi 90 mm Hg atau
lebih, maka diagnosis hipertensi dapat dibuat. Penentuan tekanan darah dilakukan
minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat (Hanifa
Wiknjosastro,2005).
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam
jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta
pembengkakan kaki, jari tangan dan muka. Edema pretibial yang ringan sering
ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan
diagnosis preeklamsia. Kenaikan berat badan ½ Kg setiap minggu
dalamkehamilan masih dapat dianggap normal, tetapi bila kenikan 1 Kg seminggu
beberapa kali hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan pada timbulnya
preeklamsia (Hanifa Wiknjosastro, 2005).
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi
0,3g/liter dalamair kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1
atau 2 + atau 1 g/liter atau lebih dalam air kencing yang dikeluarkan dalam kateter
yang diambil minimal 2 kali dalam jarak 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih
lambat dari hipertensi dan kenaikan berat badan, karena itu harus dianggap
sebagai tanda yang cukup serius (Hanifa Wiknjosastro, 2005:208).
2.2 Faktor Resiko
a. Faktor maternal
1. Usia maternal
Usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20-30 tahun.
Komplikasi maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20
tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi pada
usia 20-29 tahun. Dampak dari usia yang kurang, dapat menimbulkan komplikasi
selama kehamilan. Setiap remaja primigravida mempunyai risiko yang lebih besar
mengalami hipertensi dalam kehamilan dan meningkat lagi saat usia diatas 35
tahun (Manuaba C, 2007).
2. Graviditas
Sekitar 85% hipertensi dalam kehamilan terjadi pada kehamilan pertama.
Jika ditinjau dari kejadian hipertensi dalam kehamilan, graviditas paling aman
adalah kehamilan kedua sampai ketiga (Muflihan, dkk., 2013).
3. Riwayat hipertensi
Riwayat hipertensi kronis yang dialami selama kehamilan dapat
meningkatkan risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan, dimana komplikasi
tersebut dapat mengakibatkan superimpose preeclampsi dan hipertensi kronis
dalam kehamilan (Manuaba, 2007).
4. Riwayat keluarga
Terdapat peranan genetik pada hipertensi dalam kehamilan. Hal tersebut
dapat terjadi karena terdapat riwayat keluarga dengan hipertensi dalam kehamilan
(Muflihan, dkk., 2013)
5. Tingginya indeks massa tubuh
Tingginya indeks massa tubuh merupakan masalah gizi karena kelebihan
kalori, kelebihan gula dan garam yang bisa menjadi faktor risiko terjadinya
berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi dalam
kehamilan, penyakit jantung koroner, reumatik dan berbagai jenis keganasan
(kanker) dan gangguan kesehatan lain. Hal tersebut berkaitan dengan adanya
timbunan lemak berlebih dalam tubuh (Muflihan, dkk., 2012).
6. Gangguan ginjal
Penyakit ginjal seperti gagal ginjal akut yang diderita pada ibu hamil dapat
menyebabkan hipertensi dalam kehamilan. Hal tersebut berhubungan dengan
kerusakan glomerulus yang menimbulkan gangguan filtrasi dan vasokonstriksi
pembuluh darah (Muflihan, dkk., 2012).
7. Kehamilan
Faktor kehamilan seperti molahilatidosa, hydrops fetalis dan kehamilan
ganda berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan. Preeklampsi dan
eklampsi mempunyai risiko 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda. Dari
105 kasus bayi kembar dua, didapatkan 28,6% kejadian preeklampsi dan satu
kasus kematian ibu karena eklampsi (Manuaba, 2007).

2.3 Patofisiologi
Pada preeklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi
garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus.
Pada beberapa kasus, lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat
dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh
mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik sebagai usaha untuk mengatasi
tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi. Sedangkan kenaikan
berat badan dan edema yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan
dalam ruangan interstitial belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air
dan garam. Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi
perubahan pada glomerulus (Mochtar, 1998).
Prawirohardjo (2013), menjelaskan beberapa teori yang mengemukakan
terjadinya hipertensi dalam kehamilan diantaranya adalah :
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang
arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa uteri arkuarta dan memberi cabang arteri radialis. Arteri
radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi
cabang arteri spiralis. Kehamilan normal akan terjadi invasi trofoblas ke dalam
lapisan otot arteri spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut
sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan
sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan
memudahkan arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Keadaan ini akan
memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan
peningkatan tekanan darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke
janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat
menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini sering dinamakan dengan
remodeling arteri spiralis. Sebaliknya pada hipertensi dalam kehamilan tidak
terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks
sekitarrya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga
lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi dan terjadi kegagalan
remodeling arteri spiralis. Sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan
terjadi hipoksia dan iskemia plasenta.

b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel


Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan
yang disebut juga radikal bebas. Iskemia plasenta tersebut akan menghasilkan
oksidan penting, salah satunya adalah radikal hidroksil yang sangat toksis,
khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil
tersebut akan merusak membran sel yang mengandung banyak asam lemak tidak
jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak tersebut selain akan merusak
membran sel, juga akan merusak nukleus, dan protein sel endotel. Peroksida
lemak sebagai oksidan akan beredar diseluruh tubuh dalam aliran darah dan akan
merusak membran sel endotel. Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida
lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari
membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan
terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel.

c. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin


HLA-G (human leukocyte antigen protein G) merupakan prakondisi untuk
terjadinya invasi trofoblas kedalam jaringan desidua ibu, disamping untuk
menghadapi sel natular killer. HLA-G tersebut akan mengalami penurunan jika
terjadi hipertensi dalam kehamilan. Hal ini menyebabkan invasi desidua ke
trofoblas terhambat. Awal trimester kedua kehamilan perempuan yang
mempunyai kecendrungan terjadi pre-eklampsia, ternyata mempunyai proporsi
helper sel yang lebih rendah bila dibanding pada normotensif.

d. Teori adaptasi kardiovaskuler


Daya refrakter terhadap bahan konstriktor akanhilangjika terjadi hipertensi
dalam kehamilan, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-
bahan vasopresor. Artinya daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan
vasopresor hilang hingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan
vasopresor.

e. Teori Genetik
Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara
familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu
yang mengalami pre-eklampsia, 2,6% anak perempuannya akan mengalami
preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia.

f. Teori defisiensi gizi


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi
berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Misalnya seorang ibu yang
kurang mengkonsumsi minyak ikan, protein dan lain-lain.

g. Teori stimulus inflamasi


Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam
sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Plasenta
juga akan melepaskan debris trofoblas dalam kehamilan normal. Sebagai sisa-sisa
proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibar reaksi steress oksidatif. Bahan-
bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses
inflamasi. Proses apoptosis pada preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidatif,
sehingga terjadi peningkatan produksi debris apoptosis dan dan nekrotik trofoblas.
Makin banyak sel trofoblas plasenta maka reaksi stress oksidatif makin
meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan
ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar
dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal (Prawirohardjo, 2008).
Berdasarkan teori di atas, akan mengakibatkan terjadinya kerusakan
membran sel endotel. Kerusakan ini mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,
bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut dengan
disfungsi sel endotel. Apabila terjadi disfungsi sel endotel, maka akan terjadi
beberapa gangguan dalam tubuh, diantaranya adalah :
1. Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel
adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin
(PGE2) yang merupakan suatu vasodilator kuat.
2. Perubahan pada sel endotel kapiler glomerulus
3. Peningkatan permeabilitas kapiler
4. Peningkatan produksi bahan- bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO
(vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat.
5. Peningkatan faktor koagulasi
6. Agresi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agresi sel-sel trombosit ini untuk menutupi tempattempat di lapisan endotel
yang mengalami kerusakan. Terjadinya agresi trombosit akan memproduksi
tromboksan (TXA2) yang mana tromboksan tersebut merupakan suatu
vasokonstriktor kuat. Ibu hamil yang mengalami hipertensi akan terjadi
perbandingan kadar tromboksan (vasokonstriktor kuat) lebih tinggi dari pada
prostasiklin (vasodilator kuat), sehingga menyebabkan pembuluh darah
cendrung mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kenaikan tekanan darah.

2.4 Gejala Klinis Preeklamsia


Pada preeklamsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subjektif. Pada
preeklamsia berat didapatkan sakit kepala didaerah frontal, skotorna, diplopia,
penglihatan kabur nyeri didaerah epigastrium, mual dan muntah-muntah. Gejala-
gejala ini sering ditemukan pada preeklamsia yang meningkat dan merupakan
petunjuk bahwa eklamsia akan timbul. Tekanan darah pun meningkat lebih tinggi,
edema menjadi lebih umum dan proteinuria bertambah banyak (Hanifa
Wiknjosastro, 2005:287-288) Hipertensi karena kehamilan dan preeklamsia
ringan sering ditemukan tanpa gejala, kecuali meningkatnya tekanan darah.
Prognosis menjadi lebih buruk dengan terdapatnya proteinuria (Abdul Bari
Saifuddin,2002).
2.5 Macam-Macam Preeklampsia
Menurut Prawirohardjo (2008), preeklampsia dibagi menjadi beberapa
golongan yaitu:
a. Preeklampsia ringan, bila disetai keadaan sebagai berikut:
- Tekanan darah >140/90 mmHg atau kenaikan diastolik 30 mmHg atau
lebih atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih pada usia kehamilan 20
minggu dengan riwayat tekanan darah sebelumnya normal.
- Proteinuria ≥300 mg/24 jam atau >1 + dipstik.
b. Preeklampsia berat,bila disetai keadaan sebagai berikut:
- Tekanan darah >160/110 mmHg dan tekanan diastolik >110 mmHg
- Proteinuria 5 gr per liter atau lebih dalam 24 jam atau 4+ dalam
pemeriksaan kualitatif
- Oliguri, yaitu jumlah urine <500 cc per 24 jam
- Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di
epigastrium
- Terdapat edema paru dan sianosis hati
- Pertumbuhan janin terhambat
c. Eklampsia
Pada umumnya gejala eclampsia didahului dengan semakin memburuknya
preeklampsia. Apabila keadaan ini tidak dikenali dan diobati segera maka akan
timbul kejang terutama pada saat persalinan. Eklampsia merupakan keadaan
langka yang tidak dapat terjadi mendadak tanpa didahului preeklampsia, yang
ditandai dengan terjadinya kejang. Kejang biasanya didahului adanya peningkatan
intensitas pre-eklmpsia, gejala majemuk yang bertambah, mata yang berputar-
putar, kedutan, dan pernapasan yang tidak teratur.

2.6 Diagnosis (POGI, 2016)


Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan
sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20
minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja,
kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan
gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin
tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:
a. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
b. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya.
c. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
d. Edema Paru
Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
e. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV).

2.7 Penegakkan Diagnosis Preeklampsia Berat


Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklampsia, dan jikagejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi
kondisi pemberatan preeklampsiaatau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria
gejala dan kondisi yang menunjukkankondisi pemberatan preeklampsia atau
preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :
a. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan
yang sama
b. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
c. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
d. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau
adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
e. Edema Paru
f. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
g. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta:
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan absent or
reversed end diastolic velocity (ARDV)
2.8 Pencegahan preeklamsia
Pencegahan preeklampsi ini dilakukan dalam upaya untuk mencegah
terjadinya preeklampsi pada wanita hamil yang memiliki resiko terjadinya
preeklampsi. Menurut Prawirohardjo (2008), pencegahan dapat dilakukan dengan
2 cara yaitu:
a. Pencegahan non medikal
Yaitu pencegahan dengan tidak memberikan obat, cara yang paling sederhana
yaitu dengan tirah baring. Kemudian diet, ditambah suplemen yang
mengandung:
- Minyak ikan yang kaya akan asam lemak tidak jenuh, seperti omega-3
dan PUFA.
- Antioksidan berupa vitamin C, vitamin E, dan sebagainya. c) Elemen
logam berat seperti zinc, magnesium, dan kalium.
b. Pencegahan dengan medikal
Pemberian diuretik tidak terbukti mencegah terjadinya hipertensi bahkan
memperberat terjadinya hipovolemia. Sehingga dapat diberikan kalsium 1.500-
2.000 mg/hari, selain itu dapat pula diberikan zinc 200 mg/hari, atau magnesium
365 mg/hari. Obat trombolitik yang dianggap dapat mencegah preeklampsi adalah
aspirin dosis rendah rata-rata <100 mg/hari atau dipiridamole, dan dapat juga
diberikan obat anti oksidan misalnya vitamin C, atau Vitamin E.

2.9 Penatalaksanaan dan Terapi Preeklamsi


Tujuan dasar penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit
preeklamsia adalah (Cunningham, 2005) :
a. Terminasi kehamilan dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan janinnya
b. Lahirnya bayi yang kemudian dapat berkembang
c. Pemulihan sempurna kesehatan ibu
Penanganan preeklampsia Ringan berdasarkan buku pedoman pengelolaan
hipertensi dalam kehamilan di Indonesia Tahun 2005 (POGI, 2005).
Ibu hamil dengan preeklampsia ringan dapat dilakukan rawat inap maupun
rawat jalan. Pada rawat jalan ibu hamil dianjurkan banyak istirahat (tidur miring
ke kiri). Pada umur kehamilan diatas 20 minggu tidur dengan posisi miring dapat
menghilangkan tekanan rahim pada vena kava inferior yang mengalirkan darah
dari ibu ke janin, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah
curah jantung. Hal ini berarti pula meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital.
Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan laju filtrasi glomerolus dan
meningkatkan diuresis sehingga akan meningkatkan ekskresi natrium,
menurunkan reaktivitas kardiovaskuler, sehingga mengurangi vasospasme.
Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah ke rahim,
menambah oksigenasi plasenta dan memperbaiki kondisi janin dan rahim. Pada
preeklampsia tidak perlu dilakukan retriksi garam jika fungsi ginjal masih normal.
Diet yang mengandung 2 g natrium atau 4-6 g NaCl (garam dapur) adalah cukup.
Diet diberikan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam secukupnya.
Tidak diberikan obat-obatan diuretik, antihipertensi dan sedatif (Prawirohardjo,
2008).
Pada keadaan tertentu ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat
di rumah sakit yaitu dengan kriteria bila tidak ada perbaikan yaitu tekanan darah,
kadar proteinuria selama lebih dari 2 minggu dan adanya satu atau lebih gejala
dan tanda preeklampsia berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin, berupa
pemeriksaan USG dan Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan
jumlah cairan amnion (Prawirohardjo, 2008).
Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilan. Menurut Williams,
kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 sampai ≤37 minggu. Pada umur
kehamilan <37 minggu bila tanda dan gejala tidak memburuk, kehamilan dapat
dipertahankan sampai aterm tapi jika umur kehamilan >37 minggu persalinan
ditunggu sampai timbul onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan
induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan dan tidak menutup
kemungkinan dapat dilakukan persalinan secara spontan (Prawirohardjo, 2008).
Penanganan preeklampsia berat berdasarkan buku pedoman pengelolaan
hipertensi dalam kehamilan di Indonesia Tahun 2005 (POGI, 2005).
Pengelolaan preeklampsia berat mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit organ yang
terlibat dan saat yang tepat untuk persalinan. Penderita preeklampsia berat harus
segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tidur miring ke kiri.
Pengelolaan cairan pada preeklampsia bertujuan untuk mencegah terjadinya
edema paru dan oliguria. Diuretikum diberikan jika terjadi edema paru dan payah
jantung (Anonim, 2005). Diuretikum yang dipakai adalah furosemid. Pemberian
diuretikum secara rutindapat memperberat hipovolemi, memperburuk perfusi
utero-plasenta, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.
Antasida digunakan untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak
kejang dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung (Prawirohardjo, 2008).
Pemberian obat antikejang pada preeklampsia bertujuan untuk mencegah
terjadinya kejang (eklampsia). Obat yang digunakan sebagai antikejang antara lain
diazepam, fenitoin, MgSO4. Berdasarkan buku Pedoman Diagnosis dan Terapi
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun 2007, antikejang yang digunakan
adalah MgSO4 yaitu dengan pemberian dosis awal 8 gram IM (4 gram bokong
kanan dan 4 gram bokong kiri) dengan dosis lanjutan setiap 6 jam diberikan 4
gram (Anonim, 2007). Saat ini magnesium sulfat tetap menjadi pilihan pertama
untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia. Pemberian magnesium sulfat
dapat menurunkan risiko kematian ibu dan didapatkan 50% dari pemberiannya
menimbulkan efek flusher (rasa panas). Syarat pemberian MgSO4 yaitu reflek
patella normal, frekuensi pernapasan >16 kali per menit, harus tersediaantidotum
yaitu Kalsium Glukonat 10% (1 gram dalam 10 cc) diberikan intravena 3 menit.
Pemberian MgSO4 harus dihentikan jika Terjadi intoksikasi maka diberikan
injeksi Kalsium Glukonat 10% (1 gram dalam 10 cc) dan setelah 24 jam pasca
persalinan (Anonim, 2007). Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4
maka bisa diberikan tiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam atau
fenitoin (Prawirohardjo, 2008).
Penentuan batas tekanan darah untuk pemberian antihipertensi masih
bermacam-macam, menurut POGI Antihipertensi diberikan jika desakan darah
≥180/110 mmHg atau MAP ≥126. Jenis antihipertensi yang diberikan adalah
nifedipine 10-20 mg peroral, dosis awal 10 mg, diulangi setelah 30 menit, dosis
maksimumnya 120 mg dalam 24 jam. Desakan darah diturunkan secara bertahap,
a) penurunan awal 25% dari desakan sistolik, b) desakan darahditurunkan
mencapai <160/105 mmHg atau MAP <125 (POGI, 2005).

Jenis antihipertensi lain yang dapat diberikan adalah:


a. Hidralazin: dimulai dengan 5 mg intravena atau 10 mg intramuskuler,
jikatekanan darah tidak terkontrol diulangi tiap 20 menit, jika tidak berhasil
dengan 20 mg dosis 1 kali pakai secara intravena atau 30 mg intramuskuler
dipertimbangkan penggunaan obat lain. Mekanismekerjanya dengan
merelaksasi otot pada arteriol sehingga terjadi penurunan tahanan perifer. Jika
diberikan secara intravena efeknya terlihat dalam 5-15 menit. Efek
sampingnya adalah sakit kepala, denyut jantung cepat danperasaan gelisah,
hidralazin termasuk dalam kategori C (keamananpenggunaannya pada wanita
hamil belum ditetapkan).
b. Labetalol: termasuk dalam beta bloker, mekanismenya menurunkantahanan
perifer dan tidak menurunkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. Obat
ini dapat diberikan secara peroral maupun intravena yangdimulai dengan 20
mg secara intravena, jika efek kurang optimal diberikan40 mg 10 menit
kemudian, penggunaan maksimal 220 mg, jika levelpenurunan tekanan darah
belum dicapai obat dihentikan dandipertimbangkan penggunaan obat lain,
“dihindari pemberian Labetaloluntuk wanita dengan asma atau gagal jantung
kongestif” (Anonim, 2000),jika diberikan secara intravena efeknya terlihat
dalam 2-5 menit danmencapai puncaknya setelah 15 menit, obat ini bekerja
selama 4 jam (Roeshadi, 2006). Labetalol termasuk dalam kategori C
(keamanannyapada wanita hamil belum ditetapkan).
c. Beta-bloker (Atenolol, Metoprolol, Nadolol, Pindolol, Propranolol), obat-
obattersebut berhubungan dengan peningkatan insiden dari kemunduran
intrauterine fetalgrowth dan tidak direkomendasikan untuk penggunaan
jangka panjang pada kehamilan, dosis Propranolol biasa digunakan
>160mg/hari (Saseen dan Carter, 2005).
Terapi non farmakologi dalam penanganan hipertensi ini dapat dilakukan
mengubah gaya hidup seperti berikut :
- Dianjurkan untuk memodifikasi gaya hidup, termasuk penurunan berat badan
- Melakukan diet makanan mengadopsi metode DASH (Dietary Approaches to
Stop Hypertension)
- Mengurangi asupan natrium hingga lebih kecil sama dengan 2,4 g/hari (6
g/hari Nacl),
- Melakukan aktivitas fisik seperti aerobik
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Preeklamsia adalah timbulnya hipertensi disertai proitenuria dan edema
akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan. Penatalaksanaan dari preeklamsia tergantung dari ringan atau beratnya
preeklamsia.

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca diperlukan untuk
penulisan makalah yang lebih untuk untuk selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Booth, Trish. 2005. Tanya Jawab Seputar Kehamilan. Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Populer.
Cunningham, F.G. 2005. Hypertensive Disorder In Pregnancy in Williams
Obstetri 22nd Ed. New York: Medical Publishing Division.
Indriani, Nanien. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Preeklampsia/Eklampsia pada Ibu Bersalin di Rumah Sakit Umum Daerah
Kardinah Kota Tegal tahun 2011. Jurnal Kesehatan Wiraraja Medika,
49(125): 39-45.
Lukitosari, Endang.1996. Pengelola Penderita Preeklamsia-Eklamsia di RSUP
Dr. Kariadi Semarang. Karya Ilmiah Fakultas Kedokteran UNDIP.
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Pertama.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Manuaba, Ida Bagus Gde., I.A.C. Manuaba., I. B. G. F. Manuaba. 2007.
Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC.
Muflihan, Fajar Alfa., M. Sudiat., R. Basuki. 2013. Analisis Faktor-Faktor Resiko
Terjadinya Preeklamsia Berat di RSUD Tugurejo Tahun 2011. Tesis.
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang.
POGI. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis Dan Tata
Laksana Pre Eklamsia. Semarang: Himpunan Kedokteran Feto Maternal.
POGI. 2005. Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia
Edisi 2. Semarang: Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI.
Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Retnowati, Indah dan Asid Dwi Astuti. 2010. Hubungan Penerapan Program
Pernencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) oleh Ibu Hamil
dengan Upaya Pencegahan Komplikasi Kehamilan di Puskesmas Sidorejo
Kidul Salatiga. Jurnal Kebidanan, 2(02): 39-51.
Salamah, Umi. 2001. Hubungan Antara Derajat Preeklamsia-Eklamsia dengan
Kadar Natrium Darah Ibu di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Karya Ilmiah
Fakultas Kedokteran UNDIP.
Saseen, J, dan Carter, B.L. 2005. Essential Hypertension in: Applied
Therapeutics: The Clinical Use of Drug. 8th Edition Koda-Kimble MA et al
eds. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Simbolon, Oscar H. 2002. Seri Kesehatan Tekanan Darah. Jakarta: PT Dian
Rakyat.
Sudhaberata, Ketut. 2001. Profil Penderita Preeklamsia-Eklamsia di RSU
Tarakan, Kaltim. http://72.14.203.104/search?q=cache:UJ0tXa1szMOJ:
www.tempo.co.id/medika/arsip/022001/art2.htm+preeklamsia&hl=en&ct=c
lnk&cd=3&Ir=lang_id. diakses pada tanggal 24 Februari 2019.
Syaifuddin, Abdul Bari dkk. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Wiknjosastro, Hanifa dkk. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai