Anda di halaman 1dari 11

Disusun Oleh:

Erina Nur Mahmudah (2017-102)


Olivia Enggar Pramita (2017-133)

Kelompok F-29
RSUD Kabupaten Jombang
SMF ILmu Penyakit Obstetri dan Gynekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang
2018

Landasan Teori Intra Uterin Fetal Death (IUFD)

1.1 Definisi

WHO dan American College of Obstetricians and Gynecologist mengungkapkan yang

termasuk kematian janin adalah kematian janin intra uterin dengan berat janin 500 gram atau

lebih. Menurut United States National Center for Health Statistic, kematian janin atau fetal

death dibagi menjadi : 1. Early Fetal Death yaitu kematian janin yang terjadi pada usia

kehamilan kurang dari 20 minggu. 2. Intermediate Fetal Death yaitu kematian janin yang

berlangsung antara usia kehamilan 20-27 minggu. 3. Late Fetal Death yaitu kematian janin

yang berlangsung pada usia lebih dari 28 minggu. WHO dan American College of

Obstetricians and Gynecologist mengungkapkan yang termasuk kematian janin adalah

kematian janin intra uterin dengan berat janin 500 gram atau lebih.

1.2 Etiologi

a) Kausa Janin

Dari 25 – 40% kasus kematian janin, penyebab terseringnya adalah karena faktor janin itu sendiri. Kausa

pada janin tersebut mencakup cacatgenetik atau malformasi kongenital mayor, infeksi janin, gestasi

multipel,dan cacat lahir non kromosom. Malformasi kongenital mayor merupakan adanya kelainan

kromosomautosom. Beberapa dari kelainan tersebut antara lain neural-tube defect ,hidrosefalus,
penyakit jantung kongenital, hidrops dan lain-lain. Malformasi kongenital mayor ini merupakan kelainan

genetis yang mengancam hidup janin dan mengganggu kerja organ-organ vital.

Infeksi janin merupakan kausa yang konsisten dengan tingkatkegawatdaruratan janin. Semakin parah

morbiditas dan virulensi dari infeksiyang diderita janin, semakin buruk kemungkinan janin untuk dapat

hidup didalam uterus. Beberapa infeksi janin yang dapat membahayakan janin antaralain infeksi TORCH

(CMV, Toxoplasma, Rubella), malaria, infeksi Streptococcusgrup A dan Streptococcus grup B,

Salmonelosis atau demamtifoid, hingga gangguan pembekuan darah dan syok. dan Parovirus B19

merupakan salah satu agen palingteratogenik yang diketahui. Sekitar 80% wanita hamil terinfeksi rubella

danruam selama 12 minggu akan mengalami infeksi kongenital, usia 13-14 minggu berjumlah 54 %, dan

pada akhir trimester kedua sebanyak 25%.Adanya infeksi virus Rubella dan Parovirus ini akan

menyebabkan gangguantumbuh kembang janin intra uterin yang berakibat pada

kegagalanperkembangan jantung, defek susunan syaraf pusat, ikterus, hepatitis,hambatan pertumbuhan

janin, trombositopenia, anemia, dan lain-lain.Sitomegalovirus lebih banyak menyebabkan infeksi dan

kecacatan perinataldibandingkan dengan hambatan perkembangan dan pertumbuhan janin intrauterin.

Infeksi CMV menyebabkan mikrosefalus, retardasi mental-motorik,defisit sarafsensori,

hepatosplenomegali, anemia hemolitik, hingga sindromaanti-fosfolipid

Toksoplasmosis akut merupakan penyulit sekitar 1-5 dari 1000 kehamilan. Setidaknya pada wanita

hamil, keguguran atau lahirnya bayihidup dengan tanda-tanda kecacatan akibat toksoplasmosis

kongenital rentanterjadi. Gejala dan tanda klinis yang didapatkan berupa berat lahir rendah,anemia,

ikterus, hepatosplenomegali, kalsifikasi intrakranial, limfadenopati,rasa lelah, nyeri otot, bahkan hingga

retardasi mental.

Infeksi Streptococcus grup A saat ini sudah jarang dijumpai. Walaudemikian, infeksi ini tergolong

infeksi yang berat karena menimbulkan syok dan sangat toksik, sehingga berakibat pada kematian ibu –
janin. Infeksi Streptococcus grup B berperan dalam menyebabkan gangguan hasilkehamilan

(persalinan preterm, ketuban pecah dini, korioamnionitis, dansepsis nifas). Oleh karena itu, infeksi

Streptococcus merupakan infeksi yangcukup berbahaya bagi kelangsungan hidup janin di dalam

uterus. Penyakit sistemik lain yang menimbulkan kematian janin sekaliguskematian maternal antara lain

malaria, demam tifoid, demam berdarahdengue, gangguan pembekuan darah, dan syok. Semua

gangguan sistemik ini membutuhkan adanya penanganan yang lebih komprehensif untuk ibuhamil,

dengan mempertimbangkan konsultasi pada ahli-ahli penyakit dalamyang kompeten.

b) Kausa Maternal

Kasus kematian janin yang diakibatkan oleh faktor maternal ternyatahanya memiliki peranan yang

kecil. Beberapa penyakit dari ibu yang mempunyai kausa tersering berupa hipertensi dan diabetes pada

kehamilan.Penyakit-penyakit lain seperti autoantibodi, SLE, penyakit rhesus merupakansebab yang jarang

jumlah kejadiannya. Pada intinya, kasus kematian janinyang disebabkan oleh kausa ibu diakibatkan oleh

adanya gangguan sistemik pada ibu, dimana gangguan sistemik tersebut mengganggu perfusi darah dariibu

ke janin. Penyebab lainnya sepertipenurunan alfa feto protein, cukup memberikan arti yang besar

dalammenimbulkan kematian janin, walaupun kejadian tersebut bersifat jarang ditemukan.

Mekanisme inkompatibilitas Rhesus darah antar orang tua mempunyaiperan dalam IUFD.

Golongan darah Rhesus yang berbeda tersebutmemberikan suatu bentuk autoantibodi pada tubuh janin,

sehingga berakibatpada hiperkoagulitas darah dan reaksi autoimun janin. Hampir semua kasusibu hamil

dengan inkompatibilitas Rhesus berakibat pada kematian janin.

Hipertensi dalam kehamilan terbagi menjadi tiga jenis yaitu hipertensigestasional, pre-eklampsia,

dan eklampsia. Ketiga jenis hipertensi kehamilan ini merupakan bagian yang berurutan, sesuai dengan

tingkat keparahan.Hipertensi gestasional merupakan peningkatan tekanan darah mencapai140/90 mmHg

atau lebih untuk pertama kali selama kehamilan, tetapi belummengalami proteinuria. Hipertensi gestasional
yang memberat akan menyebabkan terjadinya pre-eklampsia. Pre-eklampsia adalah sindromspesifik

kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel disertai dengan

adanya kombinasi antara hipertensi danproteinuria yang nyata selama kehamilan. Bila pre-eklampsia

tidak segeraditangani dengan baik, akan menimbulkan stadium pre-eklampsia berat yangakhirnya

mengakibatkan eklampsia. Eklampsia adalah terjadinya kejang grand mal pada seorang wanita dengan

preeklampsia yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain. Hipertensi kehamilan sejatinya mengakibatkan

vasospasme daniskemia dalam pembuluh darah ibu. Pada hipertensi gestasional, terjadipeningkatan curah

jantung yang bermakna. Hal ini mengakibatkan adanya peningkatan afterload jantung. Hal ini akan

semakin parah bila mencapaitahap pre-eklampsia, dimana terjadi peningkatan resistensi perifer

akibatvasospasme yang berlebihan dan berakibat pada penurunan

mencolokccurah jantung. Bila keadaan ini terus dibiarkan, maka akan mengganggu perfusiu

tero-plasenta dan mengakibatkan hipoksia janin. Hal ini akan berakibatpada kematian janin. Gejala dan

tanda untuk masing-masing tipe hipertensi kehamilanhampir mempunyai gambaran yang sama, terutama

pada keluhan nyerikepala dan epigastrium. Pada hipertensi gestasional, dapat dikenali adanyanyeri

kepala, nyeri epigastrium, dan peningkatan tekanan darah yang nyata.Pre-eklampsia berat ditegakkan

dengan adanya ekskresi protein urin dalam24 jam sebesar 2 gram atau lebih, dan proteinuria 2+ atau lebih

yangmenetap. Sedangkan pre-eklampsia ringan ditemukan proteinuria 1+ atautidak ada sama sekali, dan

merupakan kelanjutan dari hipertensi gestasional.

Diabetes mellitus tipe 2 lebih merupakan faktor penyulit medistersering pada kehamilan. Pasien

dipisahkan menjadi golongan yangmengidap diabetes sebelum hamil (overt ), dan yang mengidap saat

hamil(gestasional). Diabetes gestasional mengisyaratkan bahwa gangguan inidipicu oleh kehamilan, yang

mungkin terjadi akibat perubahan-perubahanfisiologis pada metabolisme glukosa. Keadaan ini dapat

menimbulkan efek bagi ibu dan janin. Efek yang akan dialami janin adalah makrosomia disertaitrauma lahir
karena distosia bahu. Hal ini disebabkan oleh karenapengendapan lemak yang berlebihan di bahu dan

badan. Hiperinsulinemia janin yang disebabkan oleh hiperglikemia ibu pun akhirnya akan

merangsang pertumbuhan somatik yang berlebihan. Berkaitan dengankematian janin, dugaan kematian

janin oleh karena diabetes gestasional masih merupakan permasalahan yang belum ditemukan secara

pastibagaimana teori terjadinya. Kemungkinan paling besar adalah adanya trauma janin saat lahir

akibat distosia bahu atau diabetes dipandang sebagai pemicuhipertensi pada kehamilan yang

akhirnya menimbulkan pre-eklampsia dan eklampsia

Ruptur uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat dilampauinya daya regang

miometrium. Penyebab ruptur uteri ini antara lain danya diproporsi janin dan panggul, partus macet, atau

adanya partustraumatik, dimana terjadi trauma mekanis yang kuat yang dapat merobek miometrium uterus

(Suparman, 2003). Penilaian klinis pada rupture uterineini berbeda antara pada uterus normal dengan pada

uterus bekas sectiocaesarea. Penilaian klinis rupture uteri pada uterus normal diawali olehadanya

lingkaran konstriksi (bald’s ring) hingga umbilicus atau diatasnya,nyeri hebat pada perut bagian bawah,

hilangnya kontraksi uterus gravidusyang normal, perdarahan pervaginam, dan syok (Cunningham,

2005).Biasanya, penyebab utama dari ruptura uteri pada uterus normal adalahkarena partus yang macet,

trauma atau kecelakaan pada ibu, dan lain-lain. Sedangkan pada uterus bekas sectio caesarea, terjadi

gejala nyeri yang khas, perdarahan bertambah sedikit dari normal, dan bradikardiapada janin. Ruptur

tersebut terjadi sebelum atau pada fase laten persalinan,dan pada fase aktif / kala II bila insisi transversal

SBR. Adanya ruptura uteriini secara otomatis akan mengakibatkan adanya perdarahan mendadak padaibu

dan trans-plasenta, sehingga berakibat pada perdarahan janin yang masif dan kematian janin.

c) Kausa Plasenta

Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinyasebelum janin lahir. Beberapa

jenis perdarahan akibat solusio plasentabiasanya merembes di antara selaput ketuban dan uterus kemudian
loloskeluar yang menyebabkan perdarahan eksternal. Solusio plasenta terbagimenjadi solusio plasenta totalis

dan parsialis. Solusio plasenta diawali perdarahan ke dalam desidua basalis. Desiduakemudian terpisah,

meninggalkan satu lapisan tipis yang melekat keendometrium. Akibatnya, proses ini pada tahap paling awal

akanmemperlihatkan pembentukan hematom desidua yang menyebabkanpemisahan, penekanan, dan

destruksi plasenta di dekatnya. Hal inimengakibatkan berkurangnya perfusi darah ke janin melalui plasenta

danberakibat pada kematian janin.

Pada beberapa kasus, arteri spiralis desidua mengalami ruptur sehinggamenyebabkan hematom retro

plasenta, yang sewaktu membesar semakinbanyak pembuluh darah dan plasenta yang terlepas. Karena

masih teregangoleh hasil konsepsi, uterus tidak dapat berkontraksi untuk menjepitpembuluh darah yang

robek yang memperdarahi tempat implantasi plasenta.Darah yang keluar dapat memisahkan selaput

ketuban dari dinding uterusdan akhirnya muncul sebagai perdarahan eksternal atau tetap dalam uterus.Hal

inilah yang membedakan antara solusio plasenta parsialis dengan totalis. Klinis solusio plasenta ringan

hingga berat punberbeda. Pada solusio plasenta ringan, terjadi ruptur sinus marginalis yangmenyebabkan

perdarahan pervaginam warna merah hitam dan agak tegang dengan bagian janin masih teraba. Solusio

plasenta sedang terjadi sakit perutterus menerus, nyeri tekan, bagian janin sukar diraba, BJA sukar

dirabadengan stetoskop biasa, dan terjadi kelainan pembekuan darah. Solusio plasenta berat merupakan

gejala terberat dengan pelepasansolusio plasenta lebih dari duapertiga luas, uterus tegang seperti papan,

nyerihebat, dan ibu-janin tiba-tiba mengalami syok hingga meninggal.

Infark plasenta merupakan kelainan plasenta yang tersering. Infark plasenta terjadi karena akibat dari

sumbatan pasokan vaskuler ibu, yaitusirkulasi antarvilus. Secara histopatologis terdapat gambaran

degenerasifibrinoid trofoblas, kalsifikasi, dan infark iskemik akibat oklusi arteri spiralis. Secara umum,

etiologi dari infark plasenta ini terjadi karenapenuaan trofoblas yang mengalami perubahan, dan gangguan

sirkulasiuteroplasenta. Sinsisium yang mengalami penuaan mengalami degenerasi sinsisium. Sinsisium


yang terurai tersebut kemudian langsung terpajandengan darah ibu, sehingga menyebabkan bekuan darah

pada vilus-vilus.Dari sini, terbentuklah trombosis arteri vilus pada janin dan bahkan berakibatpada kalsifikasi

plasenta. Pembentukan trombosis dan kalsifikasi inimengakibatkan gangguan sirkulasi darah ke janin yang

berakibat kematian janin. Gambaran infark plasenta ini dapat ditegakkan denganpemeriksaan

Patologi Anatomi dan Ultrasonografi.

1.3 Patofisiologi

Menurut Sastrowinata (2005), kematian janin dalam pada kehamilan yang telah lanjut, maka

akan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut :

a) Rigor mortis (tegang mati) berlangsung 2,5 jam setelah mati kemudian lemas kembali.

b) Stadium maserasi I : timbulnya lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh ini mula-mula terisi cairan

jernih, tetapi kemudian menjadi merah coklat.

c) Stadium maserasi II : timbul lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah

coklat. Terjadi 48 jam setelah anak mati.

d) Stadium maserasi III : terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan janin sangat

lemas dan hubungan antara tulang-tulang sangat longgar edema di bawah kulit.

1.4 Komplikasi

Menurut Norwitz (2008), sekitar 20-25% dari ibu yang mempertahankan janin yang telah

mati selama lebih dari 3 minggu maka akan mengalami koagulopati intravaskuler diseminata

(Disseminated Intravascular Coagulopathy atau DIC) akibat adanya konsumsi faktorfaktor

pembekuan darah secara berlebihan

1.5 Diagnosis

Diagnosis kematian janin dalam rahim meliputi :


1) Gejala jika kematian janin terjadi terjadi di awal kehamilan, mungkin tidak akan

ditemukan gejala kecuali berhentinya gejala-gejala kehamilan yang biasa dialami (mual,

sering berkemih, kepekaan pada payudara). Di usia kehamilan selanjutnya, kematian

janin harus dicurigai jika janin tidak bergerak dalam jangka waktu yang cukup lama.

2) Tanda-tanda ketidakmampuan mengidentifikasi denyut jantung janin pada kunjungan

ANC (antenatal care) setelah usia gestasi 12 minggu atau tidak adanya pertumbuhan

uterus dapat menjadi dasar diagnosis.

3) Pada pemeriksaan laboratorium terjadi penurunan kadar gonadotropin korionik manusia

(Human Chorionic Gonadotropin atau HCH) mungkin dapat membantu diagnosis dini

selama kehamilan.

4) Pada pemeriksaan radiologis. Secara historis, foto rontgen abdominal digunakan untuk

mengkonfirmasi IUFD. Tiga temuan sinar X yang dapat menunjukkan adanya kematian

janin meliputi penumpukan tulang tengkorak janin (tanda spalding), tulang punggung

janin melengkung secara berlebihan dan adanya gas didalam janin. Meskipun demikian,

foto rontgen sudah tidak digunakan lagi. USG saat ini merupakan baku emas untuk

mengkonfirmasi IUFD dengan mendokumentasikan tidak adanya aktifitas jantung janin

setelah usia gestasi 6 minggu. Temuan sonografi lain mencakup edema kulit kepala dan

maserasi janin

1.4 Terapi

Janin yang mati dalam rahim sebaiknya segera dikeluarkan secara:

1) Lahir spontan: 75% akan lahir spontan dalam 2 minggu.

2) Persalinan anjuran :
a) Dilatasi serviks dengan batang laminaria Setelah dipasang 12-24 jam kemudian

dilepas dan dilanjutkan dengan infus oksitosin sampai terjadi pengeluaran janin dan

plasenta.

b) Dilatasi serviks dengan kateter folley.

 Untuk umur kehamilan > 24 minggu.

 Kateter folley no 18, dimasukan dalam kanalis sevikalis diluar kantong amnion.

Diisi 50 ml aquades steril.

 Ujung kateter diikat dengan tali, kemudian lewat katrol, ujung tali diberi beban

sebesar 500 gram.

 Dilanjutkan infus oksitosin 10 u dalam dekstrose 5 % 500 ml, mulai 8 tetes/menit

dinaikkan 4 tetes tiap 30 menit sampai his adekuat.

c) Infus oksitosin

 Keberhasilan sangat tergantung dengan kematangan serviks, dinilai dengan Bishop

Score, bila nilai = 5 akan lebih berhasil

 Dipakai oksitosin 5-10 u dalam dekstrose 5 % 500 ml mulai 8 tetes / menit dinaikan

4 tetes tiap 15 sampai his adekuat

d) Induksi prostaglandin

 Dosis : Pg-E 2 diberikan dalam bentuk suppositoria 20 mg, diulang 4-5 jam. Pg-E 2

diberikan dalam bentuk suntikan im 400 mg. Pg-E 2,5 mg/ml dalam larutan NaCL

0.9 %, dimulai 0,625 mg/ml dalam infus.

 Kontra Indikasi: asma, alergi dan penyakit kardiovaskuler.


DAFTAR PUSTAKA

Nybo Andersen AM, Hansen KD, Andersen PK, et al. 2014. Advanced paternal ageand risk of fetal death: a cohort

study. Am J Epidemiol.;160(12):1214-22 (on-line)

Silver RM. 2017. Fetal death.Obstet Gynecol. Jan 2017;109(1):153-67.

Smith, G., etc. 2014. Second-Trimester Maternal Serum Levels of Alpha-Fetoproteinand the Subsequent Risk of

Suddent Infant Death Syndrome. The New EnglandJournal of Medicine : 351 ; 978-86 (on-line).

Suparman, E., etc. 2013. Management of Placental Abruption and Incomplet UterineRuptue caused by Accidental

Trauma of Abdomen. Cermin Dunia Kedokteran,no.139, edisi Kebidanan dan Kandungan (on-line).

Weiss HB, Songer TJ, Fabio A. 2016. Fetal deaths related to maternalinjury. JAMA;286(15):1863-8 (on-line).

Gomez Ponce de Leon R, Wing DA. 2009. Misoprostol for termination of pregnancywith intrauterine fetal

demise in the second and third trimester of pregnancy - asystematic review. Contraception; 79(4):259-71

(on-line).

Anda mungkin juga menyukai