PENDAHULUAN
I. 1 Latar belakang
Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih merupakan masalah kesehatan
di Indonesia dan juga mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan selama
kehamilan dan nifas.1 Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2015, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia
sebesar 305 per 100.000.3 Jumlah kematian ibu di kota Palembang tahun 2017
dilaporkan sebanyak 7 orang dari 27.876 kelahiran hidup, sedangkan AKB
tahun 2012 sebesar 29 per 1.000 kelahiran hidup.2
Penyebab kematian ibu terbesar di Indonesia disebabkan oleh perdarahan
(30,3%), hipertensi dalam kehamilan (27,1%), infeksi (7,3%), partus lama
(1,8%) dan abortus (1,6%). Preeklampsia adalah penyebab kematian kedua di
Indonesia.10 Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang
ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap
adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Sedangkan
eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau
nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma.4,8 Menurut WHO,
prevalensi preeklampsia di negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di
negara berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden preeklampsia di Indonesia
sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.4 Di RSUP Dr. Muhammad
Hoesin Palembang tercatat angka kejadian preeklampsia berat dan eklampsia
pada tahun 2013 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya tercatat 652
kasus (20,22%) dari total 3224 kelahiran yang dirawat inap. 5
Penanganan preeklampsia dan eklampsia di Indonesia masih beragam di
antara praktisi dan rumah sakit. Hal ini disebabkan bukan hanya karena
belum ada teori yang mampu menjelaskan patogenesis penyakit ini secara
jelas, namun juga akibat kurangnya kesiapan sarana dan prasarana di daerah. 4
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis perlu menguraikan permasalahan dan
penatalaksanaan preeklampsia dan eklampsia pada kehamilan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1.2 Epidemiologi
2.1.3 Etiologi
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum bisa diketahui secara
pasti. Namun banyak teori yang telah dikemukakan tentang terjadinya
hipertensi dalam kehamilan tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang
dianggap benar-benar mutlak.
Beberapa faktor resiko ibu terjadinya preeklamsia: 6
1. Paritas
Kira-kira 85% preeklamsi terjadi pada kehamilan pertama. Paritas 2-3
merupakan paritas paling aman ditinjau dari kejadian preeklamsia dan
risiko meningkat lagi pada grandemultigravida. Selain itu primi tua, lama
perkawinan ≥4 tahun juga dapat berisiko tinggi timbul preeklamsia.6
Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat (RR 2,91,
95% CI 1,28 - 6,61).
2. Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir dua kali lipat
pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih, baik pada primipara (RR
1,68 95% CI 1,23 - 2,29), maupun multipara (RR 1,96 95% CI 1,34 -
2,87). Usia muda tidak meningkatkan risiko preeklampsia secara
bermakna.
3
Robillard, dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia pada kehamilan
kedua meningkat dengan usia ibu (1,3 setiap 5 tahun pertambahan umur;
p<0,0001).
3. Riwayat hipertensi
Riwayat hipertensi adalah ibu yang pernah mengalami hipertensi sebelum
hamil atau sebelum umur kehamilan 20 minggu. Ibu yang mempunyai
riwayat hipertensi berisiko lebih besar mengalami preeklamsia, serta
meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal dan neonatal lebih
tinggi.
4. Riwayat Preeklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor
risiko utama. Menurut Duckit risiko meningkat hingga 7 kali lipat (RR
7,19 95% CI 5,85 - 8,83). Kehamilan pada wanita dengan riwayat
preeklampsia sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian
preeklampsia berat, preeklampsia onset dini, dan dampak perinatal yang
buruk.
5. Hiperplasentosis /kelainan trofoblast
Hiperplasentosis/kelainan trofoblas juga dianggap sebagai faktor
predisposisi terjadinya preeklamsia, karena trofoblas yang berlebihan
dapat menurunkan perfusi uteroplasenta yang selanjutnya mempengaruhi
aktivasi endotel yang dapat mengakibatkan terjadinya vasospasme, dan
vasospasme adalah dasar patofisiologi preeklamsia/eklampsia.
Hiperplasentosis tersebut misalnya: kehamilan multipel, diabetes melitus,
bayi besar, 70% terjadi pada kasus molahidatidosa.
6. Genetik
Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan
secara familial jika dibandingkan dengan genotip janin. Adanya riwayat
preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko sebanyak 3.6 kali lipat (RR
3,6 95% CI 1,49 – 8,67). Karena biasanya kelainan genetik juga dapat
mempengaruhi penurunan perfusi uteroplasenta yang selanjutnya
mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat menyebabkan terjadinya
4
vasospasme yang merupakan dasar patofisiologi terjadinya
preeklamsi/eklamsi.
7. Obesitas
Obesitas adalah adanya penimbunan lemak yang berlebihan di dalam
tubuh. Obesitas merupakan masalah gizi karena kelebihan kalori,
biasanya disertai kelebihan lemak dan protein hewani, kelebihan gula dan
garam yang kelak bisa merupakan faktor risiko terjadinya berbagai jenis
penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung
koroner, reumatik dan berbagai jenis keganasan (kanker) dan gangguan
kesehatan lain. Obesitas meningkatkan risiko preeklampsia sebanyak 2,
47 kali lipat (95% CI, 1,66 – 3,67), sedangkan wanita dengan IMT
sebelum hamil > 35 dibandingkan dengan IMT 19-27 memiliki risiko
preeklampsia 4 kali lipat (95% CI, 3,52-5,49).
2.1.4 Patogenesis
5
dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan
peningkatan aliran darah pada utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke
janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat
menjamin pertumbuhna janin dengan baik. Proses ini dinamakan
“remodeling arteri spiralis”.
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada
lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot
arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokontriksi, dan terjadi
kegagalan “remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah utero
plasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak
iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat
menjelaskan patogenesis hipertensi dalam kehamilan selanjutnya.
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
a. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi
dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”,
dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami
iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal bebas).
Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima molekul yang
mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan
penting yang dihasilkan iskemia plasenta adalah radikal hidroksil
yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel
pembuluh darah. Produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses
normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan
tubuh. Adanya radikal bebas dalam darah, maka hipertensi dalam
kehamilan disebut “toxaemia”. Radikal hidroksil akan merusak
membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jernih
menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak
membran sel, juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel.
Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis,
selalu diimbangi dengan produksi antioksidan.
6
b. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,
khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan,
misalnya vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan menurun,
sehingga terjadi dominan kadar oksidan peroksida lemak yang relatif
tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat
toksik ini akan beredar di seluruh tubuh melalui aliran darah dan akan
merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah
mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung
berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam
lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap
oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida
lemak.
c. Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi
kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel
endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan
terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel
endotel. Keadaan ini disebut “disfungsi endotel” (endothelial
disfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi :
Ganggguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu
fungsi endotel adalah memproduksi prostaglandin, yaitu
menurunnya produksi prostasiklin (PGE2) suatu vasodilator
kuat.
Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang
mengalami kerusakan. Agregasi trombosit ini adalah untuk
menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan
(TXA2) suatu vasokontriktor kuat. Dalam keadaan normal
perbandingan kadar protasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar
prostasiklin (vasodilator). Pada preeklampsi kadar tromboksan
7
lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi
vasokonstriksi, maka terjadi kenaikan tekana darah.
Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus
(glomerular endotheliosis).
Peningkatan permeabilitas kapiler.
Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu
endotelin. Kadar vasodilator menurun, sedangkan endotelin
(vasokontriksi) meningkat.
Peningkatan faktor koagulasi.
8
G. Berkurangnya HLA-G di desidua didaerah plasenta, menghambat
invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar
jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga mepermudah
terjadinya reaksi inflamasi kemungkinan terjadi immune-maladaptation
pada preeklampsia. Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang
mempunyai kecenderungan terjadi preeklampsia, ternyata mempunyai
proporsi sel yang lebih rendah di banding pada normotensif.
4. Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hamil normal pembulu darah refrakter tehadap bahan-bahan
vasopresor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap
rangsangan bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang
lebih tinggi untuk menimbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan
normal terjadinya refrakter pembuluh daerah terhadap bahan vasopresor
adalah akibat dilindungi oleh adanya sitensis prostaglandin pada sel
endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya rafrakter
terhadap bahan vasopresor akan hilang bila diberi prostaglandin sintensa
inhibitor (bahan yang menghambat produksi prostaglandin).
Prostaglandin ini di kemudian hari ternyata adalah prostasiklin. Pada
hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap
bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap
bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi peka terhadap
bahan vasopresor. Banyak peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam
kehamilan sudah terjadi pada trimester I (pertama). Peningkatan kepekaan
pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah
dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat
dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
9
pemeriksaan kadar enzim hati, hitung trombosit, kadar kreatinin serum,
protein total, reduksi bilirubin, sedimen pada urin 24 jam. Pada wanita yang
telah didiagnosis preeklampsia, harus dilakukan juga pemeriksaan kadar
albumin serum, LDH, apus darah tepi, serta waktu perdarahan dan
pembekuan serta untuk mengetahui keadaan janin perlu dilakukan
pemeriksaan USG. Semua pemeriksaan ini harus dilakukan sesering mungkin
untuk memantau progresifitas penyakit.11
10
6. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas
abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson).
7. Edema paru dan sianosis
8. Pertumbuhan janin intrauterine terhambat
9. Adanya sindroma HELLP
2.1.7 Tatalaksana.8
Preeklampsia Ringan
1. Rawat jalan:
a. Banyak istirahat (baring/tidur miring)
b. Makan cukup protein, rendah karbohidrat, rendah lemak dan
garam
c. Sedativa ringan: fenobarbital 3x 30-60 mg/ p.o
d. Roborantia (vitamin dan mineral): vitamin E, vitamin C,
kalsium, aspilet
e. Pemeriksaan laboratorium:
Hb, hematocrit, trombosit
Asam urat darah
Urin lengkap
Fungsi hati dan ginjal
11
2. Penderita baru dirawat :
a. Setelah 2 minggu pengobatan rawat jalan tidak menunjukkan
adanya perbaikan gejala preekalmsia
b. Kenaikan berat badan iby > 1 kg/minggu selama 2 kali
berturut-turut
c. Timbul salah satu atau lebih tanda-tanda preekalmsia berat
3. Evaluasi:
a. Untuk ibu
Pemeriksaan fisik yang diperlukan
Pitting edema dan BB pada pagi hari
Tentukan indeks gestosis tiap 12 jam pada pagi dan
sore hari
Tekanan darah tiap 6 jam
Pemantuan urin tiap 3 jam
b. Untuk plasenta secara teoritis diperlukan pemeriksaan
hormon plasenta dan laktogen dan estriol
c. Untuk janin:
Fetal well being: USG, FHM, amnioskopi
Fetal maturity: USG, amniosentesis
d. Persalinan
Penderita preeklampsia ringan yang mencapai
normotensi selama perawatan, persalinannya ditunggu
sampai 40 minggu
Penderita preeklampsia ringan yang tekanan darahnya
turun selama perawatan tetapi belum mencapai
normotensif terminasi kehamilan dilakukan pada
kehamilan 37 minggu
12
Preeklampsia Berat
1. Aktif (aggressive management) : berarti kehamilan segera
diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan
medikamentosa.
a. Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu/lebih
keadaan berikut :
Ibu
Umur kehamilan ≥37 minggu
Adanya tanda-tanda/gejala-gejala Impending
Eclampsia
Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :
6 jam setelah pengobatan medisinal terjadi
kenaikan TD.
24 jam setelah pengobatan medisinal gejala tidak
berubah.
Janin
Adanya tanda-tanda fetal distress
Adanya pertumbuhan janin terhambat dalam rahim
Laboratorik: Adanya tanda-tanda “sindroma
HELLP” khususnya menurunnya trombosit dengan
cepat.13
b. Pengobatan Medisinal
Segera MRS
Tirah baring miring ke satu sisi (kiri)
Infus D5 : RL = 2:1 (60-125 ml/jam)
Antasida
Diet : cukup protein, rendah karbohidrat, lemak
dan garam
Obat anti kejang : Magnesium Sulfat (MgSO4)
o Dosis awal 8 g MgSO4 (20 ml 40%) I.M = 4g
bokong kanan 4 g bokong kiri
13
o Dosis ulangan = tiap 6 jam diulangi 4 g MgSO4
(10 ml 40%) I.M.
Syarat pemberian MgSO4 :
o Tersedia Kalsium glukonas 1 g = 10 ml 10% I.V
pelan selama 3 menit.
o Refleks patella (+) kuat.
o Pernapasan > 16x/menit tanpa tanda-tanda distress
pernapasan.
o Produksi urin > 100 ml dalam 4 jam sebelumnya (0,5
ml/kgBB/jam)
Dihentikan bila :
o Adanya tanda-tanda intoksikasi.
o Setelah 24 jam pasca persalinan.
o 6 jam pasca persalinan normotensif, selanjutnya
dengan luminal 3 x 30 – 60 mg.
c. Antihipertensi diberikan atas indikasi :
Tekanan darah sistolik > 160 mmHg, diastolik > 110
mmHg.
Preparat :
Clonidine (Catapres) 1 ampul = 0,15 mg/ml 1 amp +
10 ml NaCl fls/aquades masukkan 5 ml I.V pelan → 5
menit, 5 menit kemudian TD diukur, jika tidak turun
berikan sisanya ( 5 ml pelan I.V 5 menit). Pemberian
obat dapat diulang tiap 4 jam sampai TD normotensif.
Nifedipine = 4 x 10 mg (p.o) sampai diastolic 90 –
100 mmHg.
Hidralazin (Apresolin) 1 ampul = 20 mg, 1 ampul
diencerkan → I.V pelan melalui karet infus, dapat
diulangi setelah 20 – 30 menit.
14
Lain-lain :
Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal > 38,5
o
C dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin
atau alkohol atau xylomidon 2 cc IM.
Antibiotik diberikan atas indikasi. Diberikan
ampicillin 1 gr/6 jam/IV/hari.
Analgetik bila penderita kesakitan atau gelisah karena
kontraksi uterus. Dapat diberikan petidin HCL 50-75
mg sekali saja, selambat-lambatnya 2 jam sebelum
janin lahir.
d. Pengobatan Obstetrik
Cara terminasi kehamilan yang belum inpartu :
i. Induksi persalinan :
- Amniotomi
- Tetesan oksitosin dengan syarat nilai Bishop 5 atau
lebih dan dengan fetal heart monitoring.
ii. Seksio sesaria bila :
- Fetal assesment jelek
- Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai
Bishop kurang dari 5) atau adanya kontraindikasi
tetesan oksitosin.
- 12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum
masuk fase aktif.
- Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan
terminasi dengan seksio sesaria.
15
- Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi
pembukaan lengkap maka dilakukan seksio sesaria
(bila perlu dilakukan tetesan oksitosin).
Kala II
Pada persalinan per vaginam maka kala II
diselesaikan dengan partus buatan vakum
ekstraksi/forcep ekstraksi. Amniotomi dan tetesan
oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit
setelah pemberian pengobatan medisinal. Pada
kehamilan <37 minggu, bila keadaan memungkinkan,
terminasi ditunda 2 kali 24 jam untuk maturasi paru
janin dengan memberikan kortikosteroid.
16
Lebih dari 24 jam tidak ada perbaikan maka perawatan
konservatif dianggap gagal dan dilakukan terminasi.
c. Penderita Boleh Pulang Bila :
Penderita sudah mencapai perbaikan dengan keluarnya
penderita dari kategori preeklampsia berat, perawatan
dilanjutkan sampai 3 hari.
Bila selama 3 hari keadaan tetap baik, maka penderita
bisa dipulangkan.
Eklampsia
Prinsip pengobatan:
Mengentikan dan mencegah kejang
Memperbaiki keadaan umum ibu/janin seoptimal mungkin
Mencegah komplikasi
Terminasi kehamilan/persalinan dengan trauma seminimal
mungkin pada ibu
1. Obat untuk anti kejang
a. MgSO4
Dosis awal: 4 g 20% i.v perlahan selama 3 menit atau
lebih. Disusul 8 g 40% i.m terbagi pada bokong kanan
dan kiri
Dosis ulangan: tiap 6 jam diberikan 4 g 40% i.m
diteruskan sampai 24 jam paska persalinan atau 24
jam bebas kejang
Apabila ada kejang lagi, diberikan 2 gr MgSO4 20%
i.v perlahan. Pemberian i.v ulangan ini hanya 1 kali
pemberian, apabila timbul kejang berikan pentotal 5
mg/kgBB/i.v perlahan
Bila terdapat tanda-tanda keracunan MgSO4,
diberikan antidotum Glukonas kalsikus 10 g%, 10 ml
i.v perlahan selama 3 menit.
17
b. Apabila sudah diberikan pengobatan diazepam diluar
maka pemberian MgSO4 harus diperhatikan terutama jika
ada kelainan jantung
c. Perawatan jika terjadi kejang
Kamar isolasi yang cukup terang
Pasang sedep lidah ke dalam mulut
Kepala direndahkan
Oksigenasi yang cukup
Fiksasi badan ditempat tidur harus cukup longgar
2. Memperbaiki keadaan umum ibu
Infus D5%
Pasang CVP untuk:
Pemantauan keseimbangan cairan
Pemberian kalori (dextrose 10%)
Koreksi keseimbangan asam-basa
Koreksi keseimbangan elektrolit
3. Mencegah komplikasi
Obat-obat antihipertensi
Diberikan pada penderita-penderita dengan tekanan
darah 160/110 mmHg atau lebih yaitu nifedipin,
catapres, hidralazin
Diuretika
Hanya diberikan atas indikasi seperti edema paru-
paru dan kelainan fungsi ginjal
Kardiontika
Diberikan atas indikasi seperti ada tanda-tanda
payah jantung, edema paru-paru, nadi lebih dari 120
x/menit.
4. Terminasi kehamilan/persalinan
Stabilisasi 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan
dibawah ini:
18
Setelah kejang terakhir
Setelah pemberian anti kejang terakhir
Setelah pemberian anti hipertensi terakhir
Penderita mulai sadar
Untuk yang koma tentukan skor tanda vital
2.1.8 Komplikasi.8
A. Ibu
CVD
Gagal jantung/edema paru
Gagal ginjal
Solutio plasenta
Ablasio retina
DIC
HELLP syndrome
Psikose post partum
B. Janin
IUGR
Gawat janin
Janin mati.13
2.1.10 Prognosis.8
Preeklampsia
Dubia ad bonam.
Preeklampsia berat
Tergantung indeks gestosis, semakin tinggi indeks gestosis maka
semakin buruk prognosisnya.
19
INDEKS GESTOSIS
0 1 2 3
Edema sesudah tidak ada Pretibial Umum -
istirahat
Proteinuria (% < 0,5 0,5 – 2 + 2–5+ >5+
Esbach)
Tekanan darah < 140 140 – 160 160 -180 > 180
sistolik
Tekanan darah < 90 90 – 100 100 - 110 > 110
diastolik
Indeks gestosis
Interpretasi Skor :
Ringan : 1-4
Sedang : 5-7
Berat : 8-11
Eklampsia
Ditentukan berdasarkan kriteria Eden:
1. Koma yang lama (5 jam atau lebih)
2. Nadi 120 x/menit
3. Suhu > 39 oC
4. Tekanan darah > 200 mmHg
5. Konvulsi > 10 kali
6. Proteinuria > 10 g
7. Tidak ada edema, edema menghilang
8. Kegagalan sistem kardiovaskular:
Edema pulmonal
Sianosis
Rendah atau menurunnya tekanan darah
Rendahnya tekanan nadi
9. Elektrolit imbalance
10. Kegagalan dalam pengobatan:
20
Untuk menghentikan kejang
Untuk menghasilkan urine 30 ml/jam atau 750
ml/24 jam
Untuk menurunkan hemodilusi dengan menurunkan
nilai Hematokrit (Ht) samoai dengan 10%
Jika dijumpai satu atau lebih dari gejala tersebut , prognosis ibu
buruk .
21
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Preeklampsia adalah kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya
inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Eklampsia
merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia, yang disertai dengan
kejang menyeluruh dan koma. Etiologi dan patofisiologi masih belum
diketahui secara pasti. Tatalaksana yang diberikan dapat berupa manajemen
aktif dan konservatif. Prognosis preeklampsia berat bergantung pada indeks
gestosis dan eklampsia berdasarkan kriteria Eden semakin tinggi indeks
maka semakin buruk prognosisnya.
22
DAFTAR PUSTAKA
23