Anda di halaman 1dari 54

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Komplikasi kehamilan tetap menjadi pendorong utama morbiditas dan


mortalitas, yang memengaruhi kesehatan ibu dan anak-anaknya dalam jangka
pendek dan panjang. kurangnya pemahaman rinci tentang jalur yang terlibat
dalam patologi dan patogenesis kehamilan, serta terbatasnya pilihan
prognostik, diagnostik dan pengobatan yang efektif.1
Angka kematian ibu di negara berkembang diperkirakan mencapai 100
sampai 1.000 lebih per 100.000 kelahiran hidup, angka ini menunjukkan nilai
yang lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian ibu di negara maju
yang berkisar antara 7 sampai 15 per 100.000 kelahiran hidup 75% dari seluruh
angka kejadian kematian pada ibu hamil yang terjadi didunia diantaranya
diakibatkan oleh perdarahan pasca melahirkan, infeksi, hipertensi selama masa
kehamilan (preeklampsia dan eklampsia) dan aborsi. Preeklampsia dan
eklampsia menjadi penyumbang 14% dari seluruh angka kejadian tersebut.
Jumlah ini setara dengan 50.000 - 75.000 ibu hamil disetiap tahunnya.2
Preeklampsia adalah kondisi yang mengancam jiwa yang sering muncul
dengan tanda dan gejala tidak spesifik. Dokter darurat harus menyadari
hubungan antara preeklampsia berat dan komplikasi visual, dengan gejala
klinis berupa hipertensi dan proteinuria yang timbul karena kehamilan akibat
vasospasme dan aktivasi endotel saat usia kehamilan di atas 20 minggu.
Preeklampsia merupakan salah satu penyulit dalam kehamilan yang
menyebabkan sakit berat, kecacatan jangka panjang, serta kematian pada ibu,
janin dan neonatus. Kehamilan yang disertai preeklampsia tergolong kehamilan
yang berisiko tinggi karena preeklampsia merupakan penyebab dari 30% - 40%
kematian maternal dan 30% - 50% kematian perinatal.3,4
Ada banyak faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia,
seperti primigravida, hiperplasentosis, usia ibu yang ekstrem (kurang dari 20
tahun dan lebih dari 35 tahun), riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklamsia,
2

penyakit ginjal, diabetes mellitus, hipertensi kronik yang sudah diderita


sebelum hamil (preeklampsia superimposed) dan obesitas.5,6,7
Preeklampsia lebih sering terjadi pada primigravida dibandingkan
dengan multigravida. Dari seluruh primigravida, 7,6% didiagnosis menderita
preeklampsia. Primigravida mempunyai risiko yang lebih besar untuk
mengalami preeklampsia karena pada primigravida mekanisme imunologik
dalam pembentukan blocking antibody terhadap antigen plasenta oleh HLA-G
(human leukocyte antigen G) belum sempurna dibandingkan dengan
multigravida.5
Wanita yang hamil pada usia ekstrem (< 20 tahun atau > 35 tahun)
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami preeklampsia dibandingkan
dengan wanita yang hamil pada usia reproduksi (20 – 35 tahun). Ibu hamil
yang berusia < 20 tahun dan > 35 tahun cenderung mengalami preeklampsia
berat dibandingkan dengan ibu hamil yang berusia 20 tahun sampai 35 tahun.5,7
Ibu hamil pada usia < 20 tahun mempunyai risiko terjadi preeklampsia
3,58 kali lebih besar dibandingkan ibu hamil yang berusia 20-35 tahun. Hal ini
terjadi karena fisik dan psikis pada seorang wanita yang usianya terlalu muda
belum siap dalam menghadapi kehamilan dan persalinan. Wanita usia > 35
tahun mempunyai risiko untuk menderita hipertensi kronik yang akan berlanjut
menjadi superimposed preeklampsia ketika sedang hamil.8
Penelitian yang telah di lakukan sebelumnya menurut data yang
didapatkan dari Rekam Medis RSUP. DR. M. Djamil, Padang pada tahun 2011
penderita Preeklampsia yang dirawat di instalasi rawat inap obstetri yaitu 119
orang, tahun 2012 sebanyak 120 orang, tahun 2013 sebanyak 187 orang. Pada
tahun 2014 dari 561 orang ibu hamil yang dirawat inap di instalasi rawat inap
obstetri RSUP DR. M. Djamil Padang 112 orang (20,14%) diantaranya
mengalami preeklampsia.
Hasil analisis didapatkan nilai OR (Odds Ratio) sebesar 4,886 yang
berarti ibu hamil yang berumur <20 tahun dan >35 tahun berisiko 4,886 kali
berisiko untuk terkena preeklampsia diban- dingkan dengan ibu hamil yang
berumur antara 20-35 tahun. Berdasarkan data yang di jelaskan di atas, peneliti
3

tertarik untuk melihat karakteristik ibu dan luaran janin pada pasien
preeklampsia berat di RSUD Raden Mattaher Jambi tahun 2015-2016.
Dan di dapatkan hasil survey data awal di Ruang Rekam Medik di
RSUD Raden Mattaher Jambi tercatat bahwa jumlah kasus pasien
preeklampsia tahun 2015 terdapat 22 kasus, kemudian pada tahun 2016
terdapat 26 kasus preeklampsia jadi total jumlah kasus pasien pada tahun 2015-
2016 tercatat sebanyak 48 kasus preeklamsia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah “Karakteristik ibu dan luaran janin pada pasien
preeklampsia berat di RSUD Raden Mattaher Jambi tahun 2015-2016”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui Karakteristik Ibu dan Luaran Janin Pada Pasien
Preeklamsia Berat di RSUD Raden Mattaher Jambi tahun 2015 –2016.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui prevalensi kejadian preeklampsia di RSUD Raden
Mattaher Jambi pada tahun 2015-2016.
2. Mengetahui gambaran karakteristik ibu yang mengalami
preeklampsia berdasarkan (Usia ibu, Usia gestasi, Gravida).
3. Mengetahui gambaran luaran janin pada kasus ibu yang mengalami
preeklampsia (APGAR skor, Berat lahir bayi, Riwayat gemeli).
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Instansi Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data kasus kejadian
preeklampsia di bagian obstetri dan ginekologi RSUD Raden Mattaher Jambi
serta mampu menambah informasi tentang gambaran faktor risiko terhadap ibu
dan luaran janin pada pasien preeklamsia berat.
4

1.4.2 Bagi Peneliti


Menambah pengetahuan dan wawasan peniliti dalam melakukan
penelitian serta kesempatan penerapan ilmu yang telah diperoleh selama
mengikuti pendidikan dan hasil penelitian ini dijadikan sebagai tugas akhir
dalam memperoleh pendidikan kedokteran.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Manfaat penelitian ini bagi masyarakat khususnya ibu hamil yaitu
memberi informasi tentang gambaranfaktor risiko dan luaran janin pada pasien
preeklamsia berat sehingga bisa membantu masyarakat untuk mencegah
terjadinya preeklampsia sedini mungkin.
1.4.4 Bagi Penelitian Lainnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan
bagi peneliti lain, untuk dijadikan sebagai bahan dasar atau bahan penelitian
selanjutnya serta untuk menunjukkan kesesuaian antara teori kedokteran yang
ada dengan hasil penelitian yang didapat.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Preeklampsia
2.1.1 Defenisi
Preeklampsia adalah sindroma yang terjadi pada masa kehamilan yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah mencapai 140 mmHg pada
tekanan sistolik (greater systolic) atau 90 mmHg pada tekanan diastolik
(greater diastolic) dan dijumpai protein dalam urin sebesar 300 mg atau lebih
dalam spesimen urin 24 jam atau 300 mg/dL dalam spesimen urin yang
diambil secara acak yang terjadi setelah 20 minggu usia kehamilan.9
2.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan tinjauan data yang diterbitkan oleh WHO, gangguan
hipertensi pada kehamilan mencapai 16% dari semua angka kejadian
kematian ibu di negara maju, persentase ini hampir mendekati angka kejadian
kematian ibu di Amerika Latin dan Karibia yang mencapai 26%. Di beberapa
daerah di Indonesia Angka kematian ibu yang tertinggi sebagian besar
disebabkan oleh eklampsia, yang merupakan manifestasi dari keadaan
preeklampsia yang semakin memberat. Berdasarkan data dari The United
States National Hospital Discharge Survey, tingkat preeklampsia meningkat
sebesar 25%, Sedangkan, angka kejadian eklampsia cenderung menurun
sebesar 22%. Meskipun angka kematian ibu karena gangguan hipertensi
kurang umum di negara – negara berpenghasilan tinggi (negara maju),
Namun penyakit dengan tingkat morbiditas berat lainya, seperti gagal ginjal,
stroke, gangguan neurologis permanen, disfungsi jantung atau henti jantung,
gangguan pernapasan, koagulopati, dan disfungsi hati, menunjukkan angka
kejadian yang cukup tinggi, yang di khawatirkan dapat memicu terjadinya
preeklampsia pada masa kehamilan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan
di salah satu rumah sakit oleh Health Care America Corporation, juga
disebutkan bahwa preeklampsia merupakan penyebab kedua terbanyak
masuknya Ibu hamil ke ICU (Intensive Care Unit) rumah sakit setelah
penyebab utama terbanyak adalah Perdarahan pada kehamilan.10
6

2.1.3 Etiologi
Penyebab pasti terjadinya preeklampsia belum diketahui, akan tetapi
terdapat beberapa teori yang menjelaskan penyebab terjadinya preeklampsia,
diantaranya adalah, ketidakseimbangan Tromboksan A2 (vasokonstriktor dan
agregator platelet) dengan prostasiklin (vasodilator), terjadi Invasi trofoblas
yang abnormal pada arteri spiralis, peningkatan sensitifitas dinding otot arteri
terhadap Angiotensin II, sirkulasi berlebih Soluble Fms-like Tyrosine Kinase
1 (sFlt1) yang mengikat Placental Growth Factor (PlGF) dan Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF), yang diduga memiliki peran yang dapat
menyebabkan terjadinya preeklampsia.11
2.1.4 Patofisiologi
Dalam beberapa tahun terakhir, lahir konsep terbaru tentang usia
kehamilan saat munculnya klinis preeklampsia. Diklasifikasikan berdasar
waktu terjadi nya onset penyakit : tipe dini (early onset) preeklampsia yang
terjadi sebelum atau saat usia kehamilan 34 minggu dan tipe lambat (late
onset) preeklampsia yang terjadi pada usia kehamilan 34 minggu atau lebih.
Konsep tipe dini dan tipe lambat telah diterima secara luas bahwa hal tersebut
merupakan dua bentuk pre- eklampsia yang mempunyai etiologi yang
berbeda. Berdasarkan adanya perbedaan patofisiologi yang mendasari
terjadinya preeklampsia berat di bagi menjadi 2 yaitu tipe dini dan lambat
yang kemudian akan mempengaruhi luaran maternal dan perinatal.
Plasentasi yang abnormal dilaporkan sebagai patofisiologi utama
dalam mekanisme preeklampsia tipe dini, sedangkan predisposisi risiko
kardiovaskuler atau metabolik yang menyebabkan kerusakan endotel dan
respon inflamasi yang berlebihan tampaknya lebih berperan dalam
patofisiologi preeklampsia tipe lambat. Perbedaan ini telah didukung oleh
analisis temuan patologis pada plasenta dan faktor-faktor yang beredar dalam
sirkulasi maternal.12
7

2.1.5 Faktor Risiko


Melalui pendekatan safe motherhood terdapat peran determinan yang
dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi kehamilan seperti preeklampsia/
eklampsia yang menjadi faktor utama yang menyebabkan angka kematian ibu
tinggi disamping perdarahan dan infeksi persalinan. Determinan tersebut
dapat dilihat melalui determinan proksi/dekat (proximate determinants),
determinan antara (intermediate determinants), dan determinan kontekstual
(Contextual determinants).
1. Determinan proksi/dekat
Wanita yang hamil memiliki risiko untuk mengalami komplikasi
preeklampsia berat, sedangkan wanita yang tidak hamil tidak memiliki
risiko tersebut.
2. Determinan intermediat
Yang berperan dalam determinan intermediat antara lain:
1) Status reproduksi
a. Faktor usia
usia merupakan faktor risiko yang mempengaruhi
preeklampsia pada ibu hamil, pada usia tersebut alat reproduksi
wanita telah berkembang dengan berfungsi secara maksimal.
Sebaliknya pada wanita dengan usia <20 tahun atau > 35 tahun
kurang baik untuk hamil maupun melahirkan karena kehamilan
pada usia ini memiliki risiko tinggi terjadi keguguran, atau
kegagalan persalinan, bahkan bisa menyababkan kematian. Pada
wanita dengan usia < 20 tahun perkembangan organ-organ
reproduksi dan fungsi fisiologisnya belum optimal serta belum
tercapai emosi dan kejiwaan yang cukup matang dan akhirnya
akan mempengaruhi janin yang dikandungnya. Hal ini akan
meningkatkan terjadinya gangguan kehamilan dalam bentuk
preeklampsia dan eklampsia akibat adanya gangguan sel
endotel, selain itu preeklampsia juga terjadi pada usia > 35 tahun
diduga akibat hipertensi yang diperberat oleh kehamilan.13
8

b. Paritas
Dari kejadian delapan puluh persen semua kasus

hipertensi pada kehamilan, 3 – 8 persen pasien terutama pada

primigravida, pada kehamilan trimester kedua.Catatan statistik

menunjukkan dari seluruh incidence dunia, dari 5%-8% pre-

eklampsia dari semua kehamilan, terdapat 12% lebih


dikarenakan oleh primigravida. Faktor yang mempengaruhi pre-
eklampsia frekuensi primigravida lebih tinggi bila dibandingkan
dengan multigravida, terutama primigravida muda.
Persalinan yang berulang-ulang akan mempunyai banyak
risiko terhadap kehamilan, telah terbukti bahwa persalinan
kedua dan ketiga adalah persalinan yang paling aman. Pada The
New England Journal of Medicine tercatat bahwa pada
kehamilan pertama risiko terjadi preeklampsia 3,9% , kehamilan
kedua 1,7%, dan kehamilan ketiga 1,8%.13
c. Kehamilan ganda
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi
pada kehamilan ganda dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6%
preeklampsia dan satu kematian ibu karena eklampsia. Dari hasil
pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor penyebabnya ialah
dislensia uterus. Dari penelitian Agung Supriandono dan
Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus
preeklampsia berat mempunyai jumlah janin lebih dari satu,
sedangkan pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai
jumlah janin lebih dari satu. 13
d. Faktor genetika
Terdapat bukti bahwa pre-eklampsia merupakan

penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan


9

pada anak wanita dari ibu penderita pre-eklampsia.Atau

mempunyai riwayat pre- eklampsia/eklampsia dalam keluarga.

Faktor ras dan genetik merupakan unsur yang penting

karena mendukung insiden hipertensi kronis yang mendasari.

Kami menganalisa kehamilan pada 5.622 nulipara yang

melahirkan di Rumah Sakit Parkland, dan 18% wanita kulit

putih, 20% wanita Hispanik serta 22% wanita kulit hitam

menderita hipertensi yang memperberat kehamilan. Insiden

hipertensi dalam kehamilan untuk multipara adalah 6,2% pada


kulit putih, 6,6% pada Hispanik, dan 8,5% pada kulit hitam,
yang menunjukkan bahwa wanita kulit hitam lebih sering
terkena penyakit hipertensi yang mendasari. Separuh lebih dari
multipara dengan hipertensi juga mendrita proteinuria dan
karena menderita superimposed preeclampsia. Kecenderungan
untuk preekalmpsia-eklampsia akan diwariskan.saudara, anak,
cucu dan menantu perempuan dari wanita penderita eklampsia
yang melahirkan menyimpulkan bahwa preeklampsia –
eklampsia bersifat sangat diturunkan, dan bahwa model gen-
tunggal dengan frekuensi 0,25 paling baik untuk menerangkan
hasil pengamatan ininamun demikian, pewarisan multifaktorial
juga dipandang mungkin saja terjadi.13
2) Status Keluarga
a) Riwayat preeklampsia
Hasil penelitian Agung Supriandono dan Sulchan
Sofoewan menyebutkan bahwa terdapat 83 (50,9%) kasus
preeklapmsia mempunyai riwayat preeklapmsia, sedangkan
pada kelompok kontrol terdapat 12 (7,3%) mempunyia riwayat
preeklampsia berat.13
10

b) Riwayat hipertensi
Salah satu faktor predisposing terjadinya pre-eklampsia

atau eklampsia adalah adanya riwayat hipertensi kronis, atau

penyakit vaskuler hipertensi sebelumnya, atau hipertensi

esensial.

Sebagian besar kehamilan dengan hipertensi esensial


berlangsung normal sampai cukup bulan. Pada kira-kira
sepertiga diantara para wanita penderita tekanan darahnya tinggi
setelah kehamilan 30 minggu tanpa disertai gejala lain. Kira-kira
20% menunjukkan kenaikan yang lebih mencolok dan dapat
disertai satu gejala preeklampsia atau lebih, seperti edema,
proteinuria, nyeri kepala, nyeri epigastrium, muntah, gangguan
visus (Supperimposed preeklampsia), bahkan dapat timbul
eklampsia dan perdarahan otak.13
c) Riwayat penderita diabetes militus
Hasil penelitian Agung Supriandono dan Sulchan
sofoewan menyebutkan bahwa dalam pemeriksaan kadar gula
darah sewaktu lebih dari 140 mg % terdapat 23 (14,1%) kasus
preeklampsia, sedangkan pada kelompok kontrol (bukan
preeklampsia) terdapat 9 (5,3%).13
d) Status gizi
Kegemukan disamping menyebabkan kolesterol tinggi
dalam darah juga menyebabkan kerja jantung lebih berat, oleh
karena jumlah darah yang berada dalam badan sekitar 15% dari
berat badan, maka makin gemuk seorang makin banyak pula
jumlah darah yang terdapat di dalam tubuh yang berarti makin
berat pula fungsi pemompaan jantung. Sehingga dapat
menyumbangkan terjadinya preeklampsia.13
e) Stres / Cemas
11

Meskipun dibeberapa teori tidak pernah disinggung


kaitannya dengan kejadian preeklampsia, namun pada teori stres
yang terjadi dalam waktu panjang dapat mengakibatkan
gangguan seperti tekanan darah.Manifestasi fisiologi dari stres
diantaranya meningkatnya tekanan darah berhubungan dengan:

1. Kontriksi pembuluh darah reservoar seperti kulit, ginjal


dan organ lain
2. Sekresi urin meningkat sebagai efek dari norepinefrin
3. Retensi air dan garam meningkat akibat produksi
mineralokortikoid sebagai akibat meningkatnya volume
darah
4. Curah jantung meningkat.13
3) Perilaku hidup sehat
a. Pemeriksaan antenatal
Preeklapmsia dan eklampsia merupakan komplikasi
kehamilan berkelanjutan, oleh karena itu melalui antenatal care
yang bertujuan untuk mencegah perkembangan preeklampsia,
atau setidaknya dapat mendeteksi diagnosa dini sehingga dapat
mengurangi kejadian kesakitan. Pada tingkat permulaan
preeklampsia tidak memberikan gejala-gejala yang dapat
dirasakan oleh pasien sendiri, maka diagnosa dini hanya dapat
dibuat dengan antepartum care. Jika calon ibu melakukan
kunjungan setiap minggu ke klinik prenatal selama 4-6 minggu
terakhir kehamilannya, ada kesempatan untuk melekukan tes
proteinuria, mengukur tekanan darah, dan memeriksa tanda-
tanda udema. Setelah diketahui diagnosa dini perlu segera
dilakukan penanganan untuk mencegah masuk kedalam
eklampsia.
12

Disamping faktor-faktor yang sudah diakui, jelek


tidaknya kondisi ditentukan juga oleh baik tidaknya antenatal
care. Dari 70% pasien primigrafida yang menderita
preeklampsia, 90% nya mereka tidak melaksanakan atenatal
care. 13

b. Penggunaan alat kontrasepsi


Pelayanan KB mampu mencegah kehamilan yang tidak di
inginkan, sehingga menpunyai kontribusi cukup besar terhadap
kematian ibu terkomplikasi, namun perkiraan kontribusi
pelayanan KB terhadap kematian yang disebabkan oleh
komplikasi obstetri lainnya, antra lain eklampsia yaitu 20%.13
3. Determinan kontekstual
a. Tingkat pendidikan
Teori pendidikan mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu
kegiatan atau usaha untuk meningkatkan kepribadian, sehingga
proses perubahan perilaku menuju kepada kedewasaan dan
penyempurnaan kehidupan manusia. Semakin banyak pendidikan
yang didapat seseorang, maka kedewasaannya semakin matang,
mereka dengan mudah untuk menerima dan memahami suatu
informasi yang positif. Kaitannya dengan masalah kesehatan, dari
buku safe motherhood menyebutkan bahwa wanita yang mempunyai
pendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan
dirinya. Hasil penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan
menyebutkan bahwa 80 (49,7) kasus preeklampsia berat mempunyai
pendidikan kurang dari 12 tahun, dibanding 72 (44,2%) kasus bukan
preeklampsia berat berpendidikan kurang dari 12 tahun. 13
b. Faktor sosial ekonomi
Hal ini sering disampaikan bahwa kehidupan sosial ekonomi

berhubungan dengan angka kenaikan preeklampsia. Beberapa ahli

menyimpulkan bahwa wanita dengan keadaan sosial ekonomi yang


13

lebih baik akan lebih jarang menderita preeklampsia, bahkan setelah


faktor ras turut dipertimbangkan. Tanpa mempedulikan hal tersebut,
preeklampsia yang diderita oleh wanita dari kelarga mampu tetap
saja bisa menjadi berat dan membahayakan nyawa seperti halnya
eklampsia yang diderita wanita remaja di daerah kumuh. Status
sosial mempunyai risiko yang sama, tetapi kelompok masyarakat
yang miskin biasanya tidak mampu untuk membiayai perawatan
kesehatan sebagai mana mestinya. Bahkan orang miskin tidak
percaya dan tidak mau menggunakan fasilitas pelayanan medis
walupun tersedia. Mereka itulah yang mempunyai risiko untuk
mengalami eklampsia. Pasien yang miskin dengan pemeriksaan
antenatal yang kurang atau tidak sama sekali merupakan faktor
predisposisi terjadinya pre-eklampsia/ eklampsia.13
c. Pekerjaan
Aktifitas pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi kerja otot
dan peredaran darah. Begitu juga bila terjadi pada seorang ibu hamil,
dimana peredaran darah dalam tubuh dapat terjadi perubahan seiring
dengan bertambahnya usia kehamilan akibat adanya tekanan dari
pembesaran rahim. Semakin bertambahnya usia kehamilan akan
berdampak pada konsekuensi kerja jantung yang semakin bertambah
dalam rangka memenuhi kebutuhan selama proses kehamilan. Oleh
karenanya pekerjaan tetap dilakukan, asalkan tidak terlalu berat dan
melelahkan seperti pegawai kantor, administrasi perusahaan atau
mengajar. Semuanya untuk kelancaran peredaran darah dalam tubuh
sehingga mempunyai harapan akan terhindar dari preeklamsia. 13
2.1.6 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi Preeklampsia
Preeklampsia mempunyai karakteristik adanya ketidak seimbangan
angiogenik yang dapat memicu kerusakan pada plasenta dan kerusakan
sistemik yang menyebabkan disfungsi endotel yang akan bermanifestasi
menjadi beberapa gejala preeklampsia.
14

Soluble Fms-Like Tyrosine Kinase-1 (sFlt-1) disintesis oleh sel


sitotrophoblas dan berhubungan dengan penurunan angiogenesis pada ibu,
janin, dan kultur sel endotel. Kadar sFlt-1 meningkat 5 kali lebih tinggi pada
preeklampsia berat dibandingkan dengan preeklampsia ringan. Meningkatnya
sFlt-1 dapat digunakan sebagai prediktor terjadinya preeklampsia berat.
Peran sFlt-1 dalam patogenesis preeklampsia mempunyai nilai prediktif dan
implikasi diagnostik yang penting karena kadarnya mulai meningkat pada
trimester 2 yang kemudian menjadi preeklampsia. Meningkatnya sFlt-1 2 – 4
kali dapat terjadi pada 4 – 5 minggu sebelum manifestasi preeklampsia.
Dalam kehamilan normal kadar sFlt-1 menurun pada usia kehamilan 8 – 12
minggu sampai 16 – 20 minggu dan mulai meningkat secara bertahap pada
usia kehamilan 20 – 30 minggu. Peningkatan sFlt-1 lebih cepat pada usia
kehamilan 35 – 39 minggu dan kembali ketingkat normal setelah melahirkan.
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) memiliki peranan yang
penting dalam patogenesis preeklampsia. Meskipun total VEGF sedikit
meningkat pada preeklampsia tetapi VEGF terikat oleh sFlt-1 yang
mengakibatkan VEGF yang beredar menjadi rendah. Meningkatnya sFlt-1
akan menyebabkan VEGF bebas yang beredar dalam sirkulasi menjadi
rendah/ berkurang.14
2.1.7 Diagnosis
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, preeklampsia didefenisikan
sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan atau diatas 20 minggu
usia kehamilan disertai gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi
saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan preeklampsia, harus
didapatkan gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut.4
The American College of Obstetrics dan Gynecologists 'Task Force
on Hypertension in Pregnancy’ pada tahun 2013 telah menerbitkan kriteria
terbaru untuk mendiagnosis preeklampsia. Kriteria ini dapat membantu kita
membedakan antara preeklampsia dengan gangguan hipertensi lain pada
masa kehamilan, seperti hipertensi kronis dan hipertensi gestasional.
15

Tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau diastolik ≥90 mmHg setelah
20 minggu usia kehamilan pada dua kali pemeriksaan setidaknya setelah 4
jam secara terpisah pada ibu hamil dengan tekanan darah normal sebelumya
atau dengan tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau diastolik ≥110 mmHg
pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang
sama. Diserta dengan proteinuria ≥300 mg dalam 24 jam atau rasio protein
terhadap kreatinin ≥0,3 mg protein / mg kreatinin atau dipstick +1/+2/+3.
Jika tidak dijumpai adanya proteinuria, amati adanya hipertensi
dengan onset baru dari salah satu keadaan berikut:
1. Trombositopenia  : trombosit < 100.000/mikroliter
2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya\
3. Gangguan liver  : peningkatan konsentrasi transaminase2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik atau regio kanan atas adomen
4. Edema paru
5. Didapatkan gejala neurologis yaitu stroke, nyeri kepala, gangguan visus
6. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan absent or reversed end diastolic velocity  (ARDV).15
2.1.8 Penatalaksanaan
Terdapat perbedaan antara penatalaksanaan hipertensi pada kehamilan
dan hipertensi diluar kehamilan. Kebanyakan kasus hipertensi diluar
kehamilan merupakan hipertensi esensial yang bersifat kronis. Terapi
hipertensi di luar kehamilan ditunjukkan untuk mencegah komplikasi jangka
panjang, seperti stroke dan infark miokard. Sedangkan, hipertensi pada
kehamilan biasanya dapat kembali normal saat setelah bayi lahir, sehingga
terapi tidak ditujukan untuk pencegahan komplikasi jangka panjang.
Preeklampsia berisiko menjadi eklampsia, sehingga diperlukan penurunan
tekanan darah yang cepat pada preeklampsia berat. Selain itu, preeklampsia
juga dapat melibatkan komplikasi multisystem dan disfungsi endotel,
16

meliputi kecenderungan protrombotik, penurunan volume intravaskuler, dan


peningkatan permeabilitas endotel.12
Preeklampsia onset dini (<34 minggu) memerlukan penggunaan obat
antihipertensi secara hati-hati. Selain itu, diperlukan tirah baring dan
monitoring baik terhadap ibu maupun bayi. Pasien preeklampsia biasanya
sudah mengalami deplesi volume intravaskuler, sehingga lebih rentan
terhadap penurunan tekanan darah yang terlalu cepat, Hipotensi dan
penurunan aliran uteroplasenta perlu diperhatikan karena iskemi plasenta
merupakan hal pokok dalam patofisiologi terjadinya preeklampsia. Selain itu,
menurunkan tekanan darah tidak mengatasi proses primernya, tujuan utama
terapi antihipertensi adalah untuk mengurangi risiko yang dapat terjadi pada
ibu, yang meliputi abrupsi plasenta, hipertensi urgensi yang memerlukan
rawat inap, dan kerusakan organ target (komplikasi serebrovaskuler dan
kardiovaskuler). Risiko kerusakan organ target meningkat jika kenaikan
tekanan darah terjadi secara tiba - tiba pada ibu hamil yang sebelumnya
memiliki tekanan darah yang normal.
Tekanan darah ≥170/110 mmHg dapat merusak endotel secara
langsung. Pada tekanan darah ≥180/120 mmHg hingga ≥190/130 mmHg
dapat terjadi kegagalan autoregulasi serebral yang meningkatkan risiko
perdarahan serebral. Selain itu, risiko abrupsi plasenta dan asfiksia juga
meningkat akibat terjadinya penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dan
mendadak dapat menyebabkan perfusi uteroplasenta yang dapat
menyebabkan terjadinya hipoksia pada janin.
Obat antihipertensi yang dapat digunakan pada penanganan hipetensi
berdasarkan derajat hipertensi, adalah sebagai berikut :
a. Hipertensi Ringan – Sedang
Guideline European Society of Hypertension (ESH) / European
Society of Cardiology (ESC) terbaru merekomendasikan pemberian
terapi dengan obat antihipertensi jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg
atau diastolik ≥90 mmHg pada wanita dengan hipertensi gestasional
(dengan atau tanpa proteinuria), hipertensi kronis superimposed
17

hipertensi gestasional, hipertensi dengan kerusakan target organ subklinis


atau adanya gejala selama masa kehamilan.
b. Hipertensi Berat
European Society of Cardiology (ESC), merekomendasikan jika
tekanan darah sistolik ≥170 mmHg atau diastolik ≥110 mmHg pada
wanita hamil, diklasifikasikan sebagai suatu keadaan yang emergensi dan
merupakan indikasi untuk dilakukannya rawat inap. Terapi farmakologis
dengan Labetalol intravena, Metildopa oral, atau Nifedipin sebaiknya
segera diberikan. Obat pilihan untuk preeklampsia dengan edema paru
adalah Nitrogliserin (gliseril trinitrat), infus intravena dengan dosis 5
μg/menit dan ditingkatkan bertahap tiap 3-5 menit hingga dosis maksimal
100 μg/menit. Furosemid intravena dapat digunakan untuk venodilatasi
dan diuresis (20-40 mg bolus intravena selama 2 menit), dan dapat
diulang 40-60 mg setelah 30 menit jika respon diuresis kurang adekuat.
Morfin intravena 2-3 mg dapat diberikan untuk venodilator dan
ansiolitik. Edema paru berat memerlukan ventilasi mekanik. Magnesium
sulfat mempunyai efek anti kejang dan vasodilator. Magnesium sulfat
merupakan agen pencegahan eklampsia paling efektif, dan obat lini
pertama untuk terapi kejang pada eklampsia. Selain itu,
direkomendasikan untuk profilaksis eklampsia pada wanita dengan
preeklampsia berat.
Hipertensi sering menetap pasca persalinan pada pasien dengan
hipertensi antenatal atau preeklampsia. Tekanan darah sering tidak stabil
pada beberapa hari pasca persalinan. Tujuan terapi adalah untuk
mencegah terjadinya hipertensi berat. Obat antihipertensi antenatal
sebaiknya diberikan kembali setelah persalinan dan dapat dihentikan
dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah tekanan darah
normal. Tekanan darah biasanya normal kembali dalam 2-8 minggu.
Hipertensi yang menetap setelah 12 minggu pasca persalinan mungkin
menunjukkan hipertensi kronis yang tidak terdiagnosis atau adanya
hipertensi sekunder. Evaluasi pasca persalinan perlu dilakukan pada
18

pasien preeklampsia onset dini, preeklampsia berat atau recurrent, atau


pada pasien dengan proteinuria yang menetap perlu dipikirkan
kemungkinan penyakit ginjal, hipertensi sekunder, dan trombofilia
(misalnya sindrom antibodi antifosfolipid). Wanita yang mengalami
hipertensi gestasional mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami hipertensi di kemudian hari. Sebuah penelitian menunjukkan,
setelah melakukan follow up selama 7 tahun pada 223 wanita yang
mengalami eklampsia, didapatkan bahwa risiko paling tinggi adalah pada
wanita yang mengalami hipertensi pada masa kehamilan sebelum 30
minggu. Wanita dengan hipertensi gestasional juga mengalami resistensi
insulin lebih tinggi.
Wanita preeklampsia memiliki risiko penyakit kardiovaskuler lebih
tinggi bahkan hingga bertahun-tahun pasca persalinan, serta mempunyai
risiko lebih besar terjadinya disfungsi dan hipertrofi ventrikel kiri yang
asimptomatik dalam 1-2 tahun pasca persalinan. Risiko kematian karena
penyakit kardio-serebrovaskuler juga dua kali lebih besar pada wanita
dengan riwayat preeklampsia. Wanita dengan riwayat preeklampsia onset
sebelum 34 minggu atau preeklampsia yang disertai persalinan prematur
mempunyai risiko kematian karena penyakit kardiovaskuler 4-8 kali
lebih besar dibandingkan wanita dengan kehamilan normal.
2.1.9 Komplikasi
Masalah terapi intensif gestosis tetap mendesak di bidang
kebidanan. Di sini, baik gestosis dan pembedahan dapat menjadi agen
yang membuat stres yang menyebabkan reaksi pasti dari sistem endokrin.
Selain itu, komplikasi dibawah ini juga merupakan komplikasi
yang biasanya terjadi pada preeklampsia berat dan eklampsia.16
1) Solusio Plasenta
Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut
dan lebih sering terjadi pada preeklampsia. Solusio plasenta adalah
terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan plasenta maternal dari
tempat implantasinya sebelum waktunya. Perdarahan tidak dapat
19

berhenti dikarenakan uterus yang sedang mengandung tidak mampu


berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria spiralis yang terputus.
2) Hemolisis
Penderita dengan gejala preeklampsia berat kadang-kadang
menunjukkan gejala klinis hemolisis yang dikenal dengan ikterus.
Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan salah satu tanda
telah terjadinya kerusakan sel hati atau destruksi eritrosit.
3) Perdarahan Otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.
4) Gangguan Fungsi Pengelihatan
Kehilangan fungsi pengelihatan untuk sementara, yang
berlangsung selama kurang lebih satu minggu dapat terjadi pada
penderita preeklampsia. Perdarahan kadang – kadang juga terjadi
pada retina. Hal ini merupakan tanda gawat akan terjadi apopleksia
serebri.
5) Edema Paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan
karena brokopneumonia sebagai akibat aspirasi. Pada beberapa kasus
dapat ditemukan adanya abses paru.
6) Nekrosis Hati
Nekrosis hati pada penderita preeklampsia atau eklampsia
merupakan akibat dari vasospasme arteriol. Kelainan ini diduga menjadi
tanda untuk eklampsia. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan
pemeriksaan faal hati, terutama pada enzim-enzimnya.
7) Sindroma HELLP (Haemolysis Elevated Liver Enzymes and Low
Platelets)
Merupakan kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati,
hepatoseluler (peningkatan enzim di hati yaitu SGOT (serum glutamic
oxaloacetic transaminase) dan SGPT (serum glutamic pyruvic
transaminase), gejala subjektif (cepat lelah, mual, muntah dannyeri
20

epigastrium), terjadinya hemolisis akibat kerusakan membrane eritrosit


oleh radikal bebas asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh dan
trombositopenia.
8) Kelainan Fungsi Ginjal
Kelainan ini berupa glomerular endotheliosis, yang terjadi akibat
adanya pembengkakan pada sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa
kelainan struktur yang lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul adalah
anuria dan gagal ginjal
9) Komplikasi Lain
Lidah tergigit, trauma dan fraktur akibat kejang kejang pada
keadaan eklampsia, pneumonia aspirasi dan DIC (disseminated
intravascular coagulation). Prematuritas, Dismaturitas dan Kematian
Janin Intra-Uterin Lainnya juga dapat terjadi.
2.2 Luaran Neonatal sebagai komplikasi preeklampsia
2.2.1 Asfiksia Neonatorum
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mendefinisikan asfiksia
neonatorum sebagai keadaan dimana adanya kegagalan napas secara spontan
dan teratur pada neonatus saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang
ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis.17
Menurut American Academy of Pediatrics (AAP) dan American
College of Obstetrics and Gynaecology (ACOG), asfiksia merupakan suatu
keadaan yang disebabkan oleh kurangnya oksigenpada udara respirasi, yang
ditandai dengan: 18

1. Asidosis (pH <7,0) pada darah arteri umbilikalis


2. Nilai APGAR setelah menit ke-5 tetap 0-3
3. Manifestasi neurologis pada periode bayi baru lahir (kejang, hipotoni, koma,
ensefalopati hipoksik iskemik)
4. Terjadi disfungsi sistem multiorgan segera pada periode bayi baru lahir.
Neonatus yang mengalami asfiksia neonatorum bisa memiliki riwayat
seperti gangguan lahir, lahir tidak bernapas dengan adekuat, dan riwayat
21

ketuban bercampur mekonium. Temuan klinis yang didapat pada neonatus


dengan asfiksia neonatorum dapat berupa lahir tidak bernapas/megap-megap,
denyut jantung <100x/menit, kulit sianosis atau pucat dan tonus otot yang
melemah. Secara klinis dapat digunakan skor APGAR pada menit ke-1, 5 dan
10 untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan derajat asfiksia secara cepat.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis gas darah, yaitu pada
neonatus dengan asfiksia neonatorum didapatkan PaO2<50 mmH2O,
PaCO2>55 mmH2O dan pH <7,3.19,20
Sistem penilaian APGAR merupakan alat klinis yang berguna untuk
mengidentifikasi neonatus yang membutuhkan resusitasi serta menilai
efektivitas setiap tindakan resuitasi. Terdapat lima karakteristik yang mudah
diidentifikasi, yaitu denyut jantung, usaha bernapas, tonus otot, refleks
iritabilitas, dan warna dinilai dan diberi angka 0 hingga 2.22

Tabel 2.1. Sistem Skor APGAR21


Tanda 0 poin 1 poin 2 poin
Denyut jantung Tidak ada <100 denyutper 100 denyut
menit per menit
Usaha bernapas Tidak ada Lambat, tak teratur Baik,
menangis
Tonus otot Lunak Beberapa Gerakan aktif
ekstremitas fleksi
Refleks Tidak ada Menyeringai Menangis
iritabilitas (grimace) aktif
Warna Biru, pucat Badan berwarna Merah muda
merah muda, alat seluruhnya
gerak biru

Skor Apgar merupakan sebuah sistem skoring cepat berdasarkan


respons fisiologis terhadap proses kelahiran dan merupakan metode yang baik
untuk menentukan keperluan resusitasi bayi baru lahir. Bayi cukup bulan
dengan adaptasi kardio-pulmoner normal seharusnya memiliki nilai 8 sampai 9
pada menit pertama dan kelima. nilai Apgar 4 sampai 7 menunjukkan perlunya
22

pengawasan khusus untuk menentukan apakah status bayi akan membaik dan
untuk memastikan apakah ada kondisi patologis yang menyebabkan nilai
Apgar yang rendah. Apabila nilai Apgar 0 sampai 3 menunjukkan bahwa
adanya henti jantung-paru atau kondisi bradikardia berat, hipoventilasi atau
depresi susunan saraf pusat.22
Skor Apgar menit pertama menunjukkan bahwa kebutuhan resusitasi
dibutuhkan segera. Skor menit kelima dan khususnya perubahan dalam skor
antara menit pertama dan kelima merupakan indeks efektivitas yang berguna
terhadap upaya resusitasi yang akan dilakukan. Skor Apgar menit kelima juga
memiliki makna prognostik untuk kelangsungan hidup bayi karena
kelangsungan hidup bayi baru lahir berkaitan erat dengan kondisi bayi di ruang
bersalin. Skor Apgar menit kelima yang rendah mampu memprediksi kematian
neonatus pada bayi kurang bulan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sistem
skor Apgar sesuai untuk memprediksi kelangsungan hidup bayi pada saat ini
dan telah digunakan hampir 50 tahun lalu.21
Kondisi yang dapat berkontribusi pada terjadinya asfiksia janin atau
neonatal berkaitan dengan kehamilan risiko tinggi. Penyakit ibu yang
mengganggu perfusi uteroplasenta (hipertensi kronik, preeklampsi dan diabetes
melitus) membuat janin berisiko mengalami asfiksia intrauterin. Pada bayi
yang sangat prematur dengan berat lahir kurang dari 1000 g mungkin memiliki
paru yang sukar mengembang meskipun tidak terdapat kelainan lainnya.
Kurangnya compliance dinding dada dan surfaktan menyebabkan gangguan
pertukaran udara retraksi, hipoksia, dan apnea.22
Asfiksia pada bayi baru lahir dapat diakibatkan oleh dua faktor yaitu
terdiri dari faktor ibu, faktor janin dan faktor persalinan/kelahiran. Faktor ibu
yaitu infeksi (korioamnionitis), eklampsia, penyakit kronik ibu seperti
hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit paru, dan diabetes
melitus. Faktor janin yang dapat mengakibatkan asfiksia neonatorum adalah
keadaan seperti prematuritas, bayi kecil menurut usia kehamilan, gawat janin,
kelainan bawaan, bayi kembar, dan inkompatibilitas golongan darah. Faktor
persalinan kelahiran yang berhubungan adalah polihidramnion,
23

oligohidramnion, perdarahan pranatal (plasenta previa, solusio plasenta) dan


adanya kelainan his, selain itu juga kelahiran dengan ekstraksi forsep atau
vakum dan partus lama (>24 jam) juga merupakan faktor risiko terjadinya
asfiksia neonatorum.18
Indeks massa tubuh ibu pada awal kehamilan sangat terkait dengan
massa lemak yang mencakup massa lemak viseral. Plasenta rentan terhadap
pertambahan lipid pada keadaan obesitas. Penelitian sebelumnya telah
mengamati bahwa obesitas pada ibu berhubungan dengan peningkatan
kolesterol total, LDL, VLDL, trigliserida, dan HDL yang lebih rendah.
Plasenta dari wanita obesitas diamati mempunyai lipid 50% lebih banyak dari
pada plasenta dari wanita kurus. Kadar trigliserida yang berlebihan dapat
meningkatkan terjadinya lipotoksisitas, peradangan, dan stres oksidatif pada
plasenta yang dapat mengganggu morfologi plasenta, proliferasi sel, dan
angiogenesis. Hal ini menyebabkan terjadinya disfungsi plasenta yang
kemudian dapat mengganggu kondisi kesehatan janin di uterus.23
Wanita hamil dianjurkan untuk senam hamil secara teratur. Paparan
sinar matahari pagi bermanfaat bagi proses pembentukan vitamin D. Pada ibu
hamil kebutuhan vitamin D sangat diperlukan dikarenakan sangat diperlukan
bagi proses pertumbuhan tulang terutama bagi janin yang dikandung.24
2.2.2 Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Bayi berat lahir rendah (BBLR) didefinisikan sebagai bayi dengan
berat lahir kurang dari 2500 g dan merupakan komponen terbanyak dari
penyebab kematian neonatal dan bayi. Walaupun BBLR hanya merupakan
6% sampai 7% dari seluruh kelahiran yang ada, BBLR menyebabkan lebih
dari 7% dari kematian neonatal. Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT)
merupakan penyebab utama BBLR di negara berkembang, sementara di
negara maju disebabkan oleh prematuritas.22
Klasifikasi BBLR dapat dibagi berdasarkan derajatnya dan usia
gestasinya. Berdasarkan derajatnya, BBLR diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok, antara lain :
24

1. Berat bayi lahir rendah (BBLR) atau low birth weight


(LBW) yaitu bayi dengan berat badan lahir 1500 – 2499 gram.
2. Berat bayi lahir sangat rendah (BBLSR) atau very low
birth weight (VLBW) yaitu bayi yang memiliki berat badan lahir 1000 –
1499 gram.
3. Berat bayi lahir ekstrem rendah (BBLER) atau extremely
low birth weight (ELBW) dengan berat badan bayi saat lahir kurang dari
1000 gram.
Berdasarkan usia gestasinya, BBLR diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok, yaitu :
1. Bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK) atau disebut Small for
Gestational Age (SGA), merupakan bayi yang lahir dengan keterlambatan
pertumbuhan intrauterin dengan kondisi berat badan terletak di bawah
persentil ke-10 dalam grafik pertumbuhan intrauterin.
2. Bayi sesuai untuk masa kehamilan (SMK) atau disebut Appropriate for
Gestational Age (AGA), yaitu bayi yang lahir dengan berat badan untuk
masa kehamilan yang berat badannya terletak antara persentil ke-10 dan
ke-90 dalam grafik pertumbuhan intrauterin.
3. Bayi besar untuk masa kehamilan (BMK) atau disebut Large for
Gestational Age (LGA), yaitu bayi yang lahir dengan berat badan lebih
besar untuk masa kehamilan dan memiliki berat badan yang tertelak di atas
persentil ke-90 dalam grafik pertumbuhan intrauterin. 25,26
Berdasarkan pengertian di atas, bayi BBLR dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu :
1. Prematuritas murni
Masa gestasinya <37 minggu dan berat badannya sesuai dengan
berat badan untuk masa gestasi itu atau biasa disebut bayi kurang bulan-
sesuai masa kehamilan (BKB-SMK).
2. Dismaturitas
Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya
untuk masa gestasi itu. Berarti bayi mengalami retardasi pertumbuhan
25

intrauterine dan merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilan


(KMK).27
Faktor yang mempengaruhi terjadinya berat badan lahir rendah pada
bayi adalah sebagai berikut :
A. Prematuritas murni
1. Faktor ibu
a. Penyakit
Penyakit yang berhubungan langsung dengan kehamilan
adalah toksemia gravidarum, perdarahan antepartum, trauma fisis,
dan psikologis. Penyebab lainnya adalah diabetes mellitus,
penyakit jantung, bacterial vaginosis, chorioamnionitis, dan juga
tindakan operatif yang dapat menjadi faktor etiologi prematuritas.
b. Usia
Angka kejadian prematuritas tertinggi adalah pada ibu
hamil yang berusia di bawah 20 tahun dan pada multi gravida yang
jarak antar kelahirannya terlalu dekat (<2 tahun). Bayi prematur
juga sering ditemukan pada ibu-ibu yang sebelumnya telah
melahirkan lebih dari 4 anak. Kejadian terendah adalah pada usia
antara 26-35 tahun.
c. Keadaan sosial ekonomi
Kejadian tertinggi terjadi pada golongan sosial ekonomi yang
rendah. Hal ini disebabkan oleh keadaan gizi yang kurang baik dan
pengawasan antenatal yang kurang.
2. Faktor janin
Faktor janin yang mempengaruhi terjadinya prematuritas
adalah hidramnion, gawat janin, kehamilan ganda, eritroblastosis
umumnya akan mengakibatkan BBLR. 28
B. Dismaturitas
Penyebab dismaturitas adalah setiap keadaan yang menganggu
pertukaran zat antara ibu dan janin (gangguan suplai makanan pada
janin). Dismaturitas dihubungkan dengan keadaan medik yang
26

menggangu sirkulasi dan insuffisiensi plasenta, pertumbuhan dan


perkembangan janin, atau kesehatan umum dan nutrisi ibu.27
Secara garis besar, BBLR dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
maternal dan faktor janin. Faktor maternal yang mempengaruhi kejadian
BBLR adalah usia ibu saat hamil (<20 tahun atau >35 tahun dan jarak
persalinan dengan kehamilan terlalu pendek), keadaan ibu (riwayat
BBLR sebelumnya, bekerja terlalu berat, sosial ekonomi, status gizi,
perokok, menggunakan obat terlarang, alkohol), dan ibu dengan masalah
kesehatan (anemia berat, preeklamsia, infeksi selama kehamilan)
sedangkan dari faktor bayi (cacat bawaan dan infeksi selama dalam
kandungan).29
Janin dari ibu yang kelebihan berat badan atau obesitas bisa
terkena konsekuensi dari tingkat trigliserida dan tekanan darah ibu yang
lebih tinggi, kadar HDL-cholesterol dan adiponektin yang rendah dan
status vitamin D yang rendah. Obesitas pada ibu ini dikaitkan dengan
berat badan lahir bayi pada penelitian observasional sebelumnya yaitu:
trigliserida yang tinggi dan HDL yang rendah dikaitkan dengan berat
lahir yang lebih besar; tekanan darah tinggi dikaitkan dengan berat lahir
rendah; status vitamin D rendah dikaitkan dengan berat lahir rendah; dan
kadar adiponektin rendah dikaitkan dengan berat lahir yang lebih besar.30
Obesitas pada ibu hamil dapat berhubungan dengan terjadinya
peningkatan stress oksidatif pada plasenta. Hal ini diakibatkan oleh kadar
trigliserida yang berlebihan pada keadaan obesitas dapat meningkatkan
terjadinya lipotoksisitas, peradangan, dan stres oksidatif pada plasenta
yang dapat mengganggu morfologi plasenta, proliferasi sel, dan
angiogenesis. Hal ini menyebabkan terjadinya disfungsi plasenta yang
kemudian dapat mengganggu kondisi kesehatan janin di uterus. Pada
keadaan disfungsi plasenta, pembuluh darah akan mengalami
vasokonstriksi yang dapat menyebabkan pasokan oksigen dan nutrisi
untuk janin berkurang. Vasokonstriksi yang menimbulkan efek langsung
untuk janin adalah vasokonstriksi pada arteriola spiralis desidua yang
27

berakibat menurunnya aliran darah ke plasenta. Hipoperfusi sirkulasi


uteroplasental ini menyebabkan suplai oksigen dan nutrisi ke janin
menurun, hal ini mengakibatkan pertumbuhan seluruh tubuh dan organ
janin tersebut terbatas dan tidak optimal sehingga saat lahir beratnya
akan rendah.21,23
2.2.3 Hipoglikemia
Hipoglikemia pada neonatus dapat didefinisikan sebagai kondisi
dimana glukosa plasma di bawah 30 mg/dL (1.65 mmol/L) dalam 24 jam
pertama kehidupan dan kurang dari 45 mg/dL (2.5 mmol/L) setelahnya
Definisi lain dari hipoglikemia adalah kondisi glukosa plasma di bawah
45 mg/dL pada bayi aterm ataupun bayi premature.24
Hipoglikemia pada bayi dapat disebabkan oleh berbagai defek
hormonal dan metabolik. Hipoglikemia paling sering ditemukan pada
periode neonatal awal, sering disebabkan karena simpanan energi yang
tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik yang besar pada
bayi prematur atau bayi kecil masa kehamilan.
Insulin yang tidak tersupresi pada kondisi hipoglikemia dapat
ditemukan pada bayi dan jarang ditemukan setelah periode neonatal.
Situasi ini lebih sering ditemukan pada bayi dari ibu diabetes dan
obesitas Obesitas pada ibu hamil berhubungan dengan keadaan bayi pada
saat lahir, yaitu hipoglikemia, jaundice, dan gangguan pernafasan bayi.
Selama intrauterin bayi ini terpapar dengan kadar glukosa darah yang
tinggi menyebabkan hiperplasia sel beta janin. Kondisi hiperinsulinemia
ini bersifat transien dan biasanya berlangsung selama beberapa jam atau
hari. Apapun penyebabnya, hiperinsulinemia pada neonatus ditandai
dengan berat badan bayi besar masa kehamilan. Hipoglikemia biasanya
berat dan sering timbul pada 1 sampai 3 jam setelah makan. Kebutuhan
glukosa meningkat, dua atau tiga kali kebutuhan basal yaitu 6-8
mg/kg/menit. Diagnosis hiperinsulinemia ditegakkan jika kadar insulin
serum lebih dari 5 mU/mL saat episode hipoglikemia.22,32
28

Tanda dan gejala hipoglikemia terjadi akibat depresi langsung


sistem saraf pusat (SSP) karena kekurangan substrat energi dan respons
adrenergik ontraregulatori terhadap kadar glukosa darah yang rendah
dengan mensekresi katekolamin untuk mengatasi hipoglikemia. Berbeda
dengan anak yang lebih besar, bayi biasanya tidak menunjukkan gejala
adrenergik. Gejala dan tanda neuroglikopenik pada bayi tidak spesifik,
meliputi jitteriness (gerakan yang menyerupai kejang), sianosis, apnea,
hipotermia,hipotonia, kesulitan makan, letargi, dan kejang. Namun,
beberapa bayi yang telah terdiagnosis hipoglikemia dapat asimptomatik
Kegagalan untuk mendeteksi dan menatalaksana hipoglikemia berat
berkepanjangan dapat menyebabkan morbiditas serius jangka panjang,
termasuk retardasi mental dan kejang non-hipoglikemik.22,24
2.2.4 Kelainan Kongenital
Neural Tube Defect (NTD) merupakan salah satu kelainan
bawaan yang paling umum pada neonatus di seluruh dunia. Neural tube
defect merupakan suatu kelainan kongenital yang terjadi akibat
kegagalan penutupan lempeng saraf (neural plate) yang terjadi pada
minggu ketiga hingga keempat masa gestasi. Kelainan yang terjadi pada
NTD biasanya mengenai meningen, vertebra, otot, dan kulit.21
Spina bifida dan anencephaly merupakan kelainan tabung saraf
yang paling umum, kelainan ini terjadi pada 1 dari 1.000 kehamilan di
Amerika Serikat, 1 dari 100 kelahiran di China utara dan 8 dari 1.000
kehamilan di Inggris. Bayi yang baru lahir di seluruh dunia diperkirakan
sebesar 300.000 atau lebih akan terjadi NTD setiap tahunnya.34
NTD dapat diakibatkan oleh beberapa faktor risiko seperti status
gizi, obesitas dan diabetes, penggunaan suplemen asam folat dan atau
fortifikasi, kehadiran toksik di lingkungan dan genetik. Obesitas dan
diabetes pada ibu hamil sudah diakui sebagai faktor risiko NTD. Ibu
yang hamil dengan keadaan obesitas dan diabetes diduga akan
mengalami gangguan pada proses penutupan tabung saraf pada janin.
Penyebab NTD terkait diabetes dapat ditentukan dari kompleksitas
29

lingkungan, meskipun hiperglikemia saja sudah cukup untuk


menyebabkan NTD pada embrio tikus. Neural tube defect diduga terjadi
akibat dari peningkatan stres oksidatif, yang diatur oleh ekspresi gen
seperti Pax3, dan pengaturan gen apoptosis sel neuroepithelial. Pada
penelitian yang dilakukan, hasil observasi menunjukkan bahwa obesitas
dan DM pada masa kehamilan merupakan faktor resiko terjadinya NTD.
Seseorang yang mengalami obesitas cenderung memiliki kadar
glukosa yang lebih tinggi dibandingkan seseorang dengan status gizi
normal. Ibu yang berisiko melahirkan anak dengan NTD adalah ibu
dengan BMI lebih besar dari 29 kg/m 2, hal ini menunjukkan bahwa
adanya pengaruh antara obesitas dengan NTD. Kadar glukosa yang tinggi
pada saat kehamilan akan mengakibatkan terganggunya proses
pertumbuhan embrio yaitu saat penutupan tabung saraf yang terjadi pada
usia kehamilan 4 minggu dan akan mengakibatkan pertumbuhan janin
yang abnormal.
Melalui penelitian yang telah dilakukan, beberapa gen sangat
mempengaruhi hubungan NTD dengan faktor obesitas dan diabetes
mellitus. Penelitian sebelumnya telah meneliti terdapat 23 rantai tunggal
nukleotida yang polimorfik yang mengkode 9 gen yaitu ADRB3, ENPP1,
FTO, LEP, PPARG, PPARGC1A, SLC2A2, TCF7L2, dan UCP2. Gen
ini adalah gen yang mengakibatkan gangguan regulasi glukosa pada
seseorang yang obesitas yang nantinya akan mengakibatkan
terganggunya proses organogenesis pada embrio yang paling sering
mengakibatkan NTD.35
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan risiko kelainan
kongenital sehubungan dengan obesitas pada ibu. Kelainan tersebut
antara lain defek tabung saraf, defek jantung, abnormalitas saluran cerna,
omfalokel, orofacial cleft dan kelainan kongenital lainnya pada sistem
saraf pusat. Dari beberapa penelitian menunjukkan risiko terjadinya
defek tabung saraf meningkat seiring dengan peningkatan BMI
dibandingkan dengan BMI normal. Proses terjadinya kelainan kongenital
30

tersebut belum sepenuhnya dipahami patofisiologinya, akan tetapi


diperkirakan sehubungan dengan kadar hiperglikemia pada ibu yang
memicu radikal bebas sehingga agen vasokonstriktor seperti tromboksan
meningkat berbanding terbalik dengan agen vasodilator seperti
prostasiklin yang menurun, akibatnya aliran darah terganggu termasuk
disini adalah berkurangnya asupan nutrisi terlebih saat organogenesis.
Menurut percobaan yang telah dilakukan pada hewan menunjukkan
bahwa nutrisi yang berlebih seperti glukosa dan asam amino dapat
bersifat embriotoksis dimana keadaan tersebut dapat memicu oksigen
reaktif terhadap protein, lemak dan DNA di mitokondria sehingga terjadi
oksidasi dan kerusakan pada sel.36,37
Wanita yang melahirkan bayi dengan kelainan jantung
menunjukkan tingginya kadar kolesterol total, LDL kolesterol,
apolipoprotein B, ratio kolesterol total/HDL. Tingginya kadar kolesterol
berbanding lurus dengan peningkatan BMI. Oksidasi LDL kolesterol
yang tinggi dapat menginduksi apoptosis dan mempengaruhi endothelial
growth factor pembuluh darah yang merupakan faktor penting dalam
regulasi pembentukan endokardial.38
2.2.5 Stillbirth
Menurut The American College of Obstetrician and
Gynecologists (ACOG), definisi stillbirth adalah bayi lahir tanpa adanya
tanda-tanda kehidupan seperti tidak ada pernafasan, detak jantung,
denyut nadi pada tali pusat, serta tidak adanya gerakan sadar dari otot,
sedangkan WHO mendefinisikan stillbirth sebagai bayi lahir tanpa
adanya tanda-tanda kehidupan pada usia gestasi 28 minggu atau lebih.
Faktor risiko terjadinya stillbirth adalah faktor ras, nulliparitas, dan
obesitas pada kehamilan, intrauterine growth restriction (IUGR),
merokok dan obat-obatan.
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa peningkatan indeks
massa tubuh pada saat kehamilan berhubungan dengan kejadian stillbirth,
akan tetapi patofisiologi yang menjelaskan peningkatan risiko terjadinya
31

hal tersebut hingga saat ini belum jelas. Kemungkinan penyebabnya


adalah penyakit yang berhubungan dan ditimbulkan oleh obesitas seperti
diabetes mellitus dan hipertensi yang merupakan faktor risiko terjadinya
stillbirth. Walaupun penyakit yang bisa timbul akibat obesitas telah
dikontrol (preeklamsia dan diabetes mellitus gestasional), obesitas tetap
menjadi faktor risiko terjadinya kejadian stillbirth. Hal ini dapat terjadi
karena keadaan obesitas pada kehamilan dapat meningkatkan terjadinya
gangguan perfusi uteroplasenta (disfungsi plasenta) sehingga janin
kekurangan oksigen dibandingkan dengan wanita hamil dengan indeks
massa tubuh normal.
Risiko terjadinya stillbirth pada wanita hamil dengan obesitas 2-5
kali lebih tinggi dibandingkan wanita dengan indeks massa tubuh normal.
Risiko stillbirth pada obesitas meningkat seiring dengan pertambahan
usia kehamilan. Studi ini menunjukkan bahwa obesitas kelas III pada ibu
hamil memiliki risiko terjadinya stillbirth 1,5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan obesitas kelas I dan juga menyatakan bahwa wanita
hamil dengan status overweight, obesitas kelas I, dan obesitas kelas II
memiliki risiko stillbirth pada usia kehamilan 30-42 yang stabil, berbeda
pada wanita hamil dengan status obesitas kelas III yang risikonya
meningkat cepat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan.39,40

2.3 Kerangka Teori


Berdasarkan tujuan pustaka di atas, maka dapat dibentuk kerangka teori
penelitian ini sebagai berikut:

PREEKLAMPSIA
32

FAKTOR RISIKO

DERTERMINAN DETERMINAN
INTERMEDIET DETERMINAN KONTEKSTUAL
PROKSI
A. Status reproduksi A. Pendidikan
1. Faktor usia B. Social dan ekonomi
2. Paritas C. Pekerjaan
3. Kehamilan ganda
4. Faktor genetik
B. Status keluarga
1. Riwayat preeklampsia
2. Riwayat hipotensi KOMPLIKASI
3. Diabetes melitus
4. Status gizi
5. Stress/cemas
RISIKO PADA LUARAN NEONATAL
C. Prilaku hidup 1. Asfiksia neonatorum
1. Antenatal care
IBU
1. Hipertensi 2. BBLR
2. KB 3. Kelainan kongenital
2. Proteinuria
3. Edema 4. Stillbirth
4. Peningkatan kadar asam
urat serum

Bagan 2.1 Kerangka Teori.

2.4 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori di atas, maka dapat dibentuk kerangka


konsep penelitian ini sebagai berikut:
33

Faktor risiko pada


ibu selama
kehamilan
Preeklampsia Prevalensi
preeklampsia
Hasil luaran janin

Bagan 2.2 Kerangka Konsep

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
34

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat


deskriptif dengan pendekatan retrospektif dan menggunakan data skunder,
yaitu dengan melihat dan mencatat kembali data dari rekam medik di RSUD
Raden Mattaher Jambi tahun 2015-2016.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Bagian Rekam Medik RSUD Raden
Mattaher Jambi.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada Juni-November 2019
3.3 Subjek Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh hasil kejadian beresiko pada
pasien preeklampsia berat di RSUD Raden Mattaher Jambi tahun 2015-2016.
3.3.2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan di teliti dan
dianggap mewakili keseluruhan populasi. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah total sampling, dimana jumlah sampel sama dengan
jumlah populasi.
3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria Inklusi
Seluruh pasien yang terdiagnosis preeklampsia berat di RSUD Raden
Mattaher Jambi priode Januari 2015 – Desember 2016 yang telah didiagnosis
oleh dokter spesialis obstetri dan ginekologi.
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:
1. Pasien yang tidak memiliki rekam medik lengkap

3.4 Cara Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik total sampling yaitu
jumlah sampel sama dengan jumlah populasi.
35

3.5 Defenisi Oprasional Variabel


Tabel 3.1 Defenisi operasional variabel
Defenisi Skala
No Variabel Cara pengukuran Hasil Ukur
Oprasional Ukur
1. Prevalensi Angka kejadian Melihat catatan rekam 1. Kriteria Nominal
preeklampsia di medik pasien dan preeklampsia:
RSUD Raden menganalisis Tekanan darah ( 
Mattaher Jambi preeklampsia dengan 140 mmHg atau
pada tahun rumus diastolik  90
2015-2016. mmHg setelah 20
P=Σ Px Preeklamsia
x 100 %
Σ Px rawat inap minggu usia
kehamilan)
2. Usia Ibu Lama waktu Melihat catatan rekam 1. Usia beresiko, Ordinal
hidup yang medik pasien (Remaja < 20
dimulai sejak tahun atau
pasien Dewasa akhir
dilahirkan >35 th).
sampai di rawat 2. Usia tidak
beresiko (Dewasa
awal 20-35 tahun.

3. Usia Adalah usia Melihat catatan rekam 1. Usia gestasi < Ordinari
Gestasi gestasi pada saat medik pasien 37minggu
ibu melakukan (Preterm)
persalinan 2. Usia gestasi 37-42
dengan lama minggu (Aterm)
waktu 3. Usia gestasi > 42
mempertahanka minggu (Post
n kehamilan term)
4. Gravida Jumlah Melihat catatan rekam 1. Primipara (Hamil Ordinal
kehamilan yang medik pasien pertama kali)
menghasilkan 2. Multipara (Hamil
36

janin yang 2-4 kali)


mampu hidup di 3. Grandemultipara
luar janin (Hamil > 5 kali)
(28 minggu)

5. APGAR Apgar score Melihat catatan rekam 1. Asfiksia Berat Ordinal


memiliki nilai medik dengan (APGAR Score 0-3)
tertentu untuk mengukur 2. Asfiksia Ringan
menunjukan 1. Appearance (APGAR Score 4-6)

kondisi bayi (Warna Kulit) 3. Normal

yang baru lahir 2. Pulse (APGAR Score 7-10)

(Denyut Jantung)
3. Grimace
(Ransangan)
4. Activity
(Kontraksi Otot
5. Respiration
(Pernapasan)
6. Berat Pengukuran Melihat catatan rekam 1.BBLN
Lahir Bayi berat badan lahir medik pasien 2500-4000gr
bayi 2.BBLR 1500-
2499gr
3. BBLSR
1000-1499gr

7. Gemeli Istilah medis Melihat catatan rekam 1. Gemeli Nominal


yang berarti medik pasien 2. Tidak Gemeli
kehamilan
kembar

3.6 Instrumen Penelitian


37

Instrumen penelitian atau alat yang digunakan dalam penelitian ini


adalah data rekam medik pasien dengan preeklampsia berat tahun 2015-2016.
3.7 Pengumpulan Data
Data yang diambil adalah data skunder yang berupa catatan rekam
medik pasien yang diambil dari Ruang Rekam Medik RSUD Raden Mattaher
Jambi.
3.8 Pengolahan dan Analisis Data
3.8.1 Pengolahan Data
Pengolahan data pada penelitian ini mencakup:
1. Editing
Langkah ini dimaksud untuk melakukan kegiatan pengecekan
terhadap kelengkapan data yang telah dicatat di lembar observasi
2. Coding
Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf
menjadi data berbentuk angka/bilangan. Kegunaan data coding
adalah untuk mempermudah saat entry data.
3. Processing
Langkah selanjutnya adalah memproses data agar data yang sudah
di entry dapat dianalisis. Processing dilakukan dengan cara meng-
entry data ke paket program komputer.
4. Cleaning
Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan
kembali data yang suda di-entry, apakah ada kesalahan atau tidak.

3.8.2 Analisis Data


Data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis dengan
menggunakan program komputer. Analisis yang akan dilakukan adalah
analisis univariat. Dari analisis ini diperoleh gambaran distribusi atau
distribusi frekuensi masing-masing variabel penelitian yang meliputi variabel
dependen yaitu variabel preeklampsia berat dan variabel independent terdiri
38

dari faktor risiko ibu yang meliputi usia ibu, usia gestasi, paritas, kriteria
diagnosis pasien preeklampsia berat.
3.9 Etika Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti terlebih dahulu meminta izin kepada
RSUD Raden Mattaher Jambi untuk melakukan penelitian di RSUD Raden
Mattaher Jambi. Kemudian pengambilan data di RSUD Raden Mattaher
Jambi dengan menjaga kerahasian nama (anonymity) dan kerahasiaan
informasi yang diperoleh (confidentiality)

3.10 Alur Penelitian

Mendapat izin penelitian

Pengambilan data di Bagian Rekam Medik


RSUD Raden Mattaher

Pengumpulan dan pengolahan data

Pelaporan hasil penelitian

Analisis data

Bagan 3.1 Alur penelitian.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

.1 Hasil Penelitian
Penelitian mengenai faktor risiko dan luaran janin pada pasien
preeklampsia berat di RSUD Raden Mattaher Jambi telah di laksanakan pada
39

bulan Mei-September 2019. Terdapat 48 kasus preeklamsia pada tahun 2015-2016


dimana pasien preeklampsia tahun 2015 terdapat 22 kasus, kemudian pada tahun
2016 terdapat 26 kasus preeklampsia.
Penyajian data hasil penelitian ini merupakan analisis univariat. Analisis
univariat untuk melihat secara umum variabel yang diteliti baik variabel dependen
dengan mendeskripsikan hasil penelitian berdasarkan variabel yang diteliti dalam
bentuk table distribusi.

4.1.1 Angka Kejadian Preeklampsia di RSUD Raden Mattaher Jambi


Tabel 4.1 Angka kejadian preeklampsia di RSUD Raden Mattaher Jambi
Frekuensi
Pasien Rawat
Tahun Frekuensi kasus Persen
No Inap di Bangsal
Preeklampsia
Obgyn
(f) (%)

1 2015 22 1.257 1,75

2 2016 26 1.309 1,98

Total 48 2.566 3,73

Berdasarkan tabel 4.1, diketahui bahwa angka kejadian Preeklampsia pada


tahun 2015 yaitu sebanyak 22 kasus (46%), tahun 2016 yaitu sebanyak 26 kasus
(54%). Sementara jumlah pasien yang di rawat untuk semua kasus Obgyn pada
tahun 2015 adalah 1257 kasus dan pada tahun 2016 adalah 1309 kasus .

4.1.2 Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia ibu


Tabel 4.2 Distribusi sampel penelitian berdasarkan usia ibu

Kasus
No Usia (tahun) Frekuensi Persen
(f) (%)
40

1 Beresiko 14 29
2 Tidak Beresiko 34 71

Total 48 100

Berdasarkan tabel 4.2, diketahui bahwa distribusi usia pada kelompok


kasus terbanyak adalah kategori usia tidak beresiko sebanyak 34 orang (71%),
sedangkan usia beresiko sebanyak 14 orang (29%).

4.1.3 Karakteristik Sampel Berdasasrkan Berdasarkan Usia Gestasi


Tabel 4.3 Distribusi sampel penelitian berdasarkan usia gestasi

Frekuensi Persen
No Usia Gestasi
(f) (%)

1 Preterm 20 41

2 Aterm 28 59

3 Posterm 0 0

Total 48 100

Berdasarkan tabel 4.3, diketahui bahwa distribusi usia gestasi pada


kelompok kasus terbanyak adalah usia gestasi aterm yaitu sebanyak 28 orang
(59%), yang paling sedikit adalah usia gestasi preterm yaitu sebanyak 20 orang
(41%), dan tidak terdapat sampel dengan usia gestasi > 42 minggu postterm.

4.1.4 Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Gravida


Tabel 4.4 Distribusi sampel penelitian berdasarkan gravida

Kasus
Frekuens
No Gravida Persen
i
(f) (%)
41

1 Primigravida 25 52
Multigravida 23 48
2
Grandemultipara 0 0
3

Total 48 100

Berdasarkan tabel 4.4, diketahui bahwa distribusi gravida pada kelompok


kasus terbanyak adalah primigravida yaitu sebanyak 25 orang (52%), dan
multigravida yaitu sebanyak 23 orang (48%) sedangkan untuk kasus
grandemultipara tidak ditemukan pada pasien rawat inap di bangsal obgyn.

4.1.5 Karakteristik Sampel Berdasarkan APGAR Score


Tabel 4.5 Distribusi sampel penelitian berdasarkan APGAR Score

Frekuensi Persen
No Riwayat Penyakit Penyerta
(f) (%)

1 Asfiksia Berat 0 0

2 Asfiksia Ringan 9 18

3 Normal 39 82

Total 48 100
Berdasarkan tabel 4.5, diketahui bahwa pada kelompok kasus Apgar score
terbanyak yaitu normal sebanyak 39 bayi (82%), yang paling sedikit yaitu asfiksia
ringan sedang sebanyak 9 bayi (18%) dan tidak terdapat sampel pada asfiksia
berat.

4.1.6 Karakteristik Berdasarkan Berat Lahir Bayi

Tabel 4.6 Distribusi sampel penelitian berdasarkan Berat lahir bayi

No Riwayat Penyakit Penyerta Frekuensi Persen


42

(f) (%)

1 Berat Bayi Lahir Normal 38 80

2 Berat Bayi Lahir Rendah 10 20

3 Berat Bayi Lahir Sangat Rendah 0 0

Total 48 100
Berdasarkan tabel 4.6, diketahui bahwa pada kelompok kasus berat badan
bayi lahir terbanyak yaitu Berat Bayi Lahir Normal (BBLN) sebanyak 38 bayi
(80%), yang paling sedikit yaitu Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 10
bayi (20%), dan tidak terdapat sampel penelitian pada Berat Bayi Lahir Sangat
Rendah (BBLSR).

4.1.7 Karakteristik Berdasarkan Riwayat Gameli

Tabel 4.7 Distribusi sampel penelitian berdasarkan Riwayat Gameli

Frekuensi Persen
No Riwayat Penyakit Penyerta
(f) (%)

1 Gemeli 2 4

2 Tidak Gemeli 46 96

Total 48 100
Berdasarkan tabel 4.7, diketahui bahwa terdapat 2 kasus gemeli (bayi
kembar) yaitu sebanyak 2 orang (4%) sedangkan yang tidak gemeli (tidak
kembar) adalah sebanyak 46 orang (96%).

4.2 Pembahasan
.2.1 Angka Kejadian Preeklampsia di RSUD Raden Mattaher Jambi
Berdasarkan data dari Rekam Medik di RSUD Raden mattaher jambi, pada
tahun 2015 terdapat 22 kasus preeklampsia dan di tahun 2016 terdapat 26 kasus
preeklampsia sedangkan untuk jumlah keseluruhan pasien rawat inap pada tahun
43

tahun 2015 adalah 1257 kasus dan pada tahun 2016 adalah 1309 kasus . Hal ini
dapat dilihat bahwa jumlah pasien preeklampsia memiliki angka kejadian yang
cukup tinggi. Dimana setiap tahunnya pasien preeklampsia di RSUD Raden
Mattaher Jambi terus mengalami peningkatan.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Indriani N, angka kejadian persalinan
dengan komplikasi preeklampsia di RSUD Kardinah Kota Tegal pada tahun 2015
sebanyak 5,45% dari semua persalinan yang ada. 40 Dari penelitian Andriani C,
dkk yang dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil Padang, dilaporkan bahwa angka
kejadian preeklampsia pada tahun 2011 mencapai 137 kasus untuk preeklampsia
berat, dan 35 kasus untuk preeklampsia ringan. Angka ini terus mengalami
peningkatan hingga tahun 2012, yaitu sekitar 187 kasus untuk preeklampsia berat
dan ringan.41
4.2.2 Karakteristik Sampel Berdasasrkan Usia
Penelitian ini sejalan yang dilakukan oleh Lombo G.E dkk, yang dilakukan
di RSUP Prof Dr. R. D. Kandou Manado bahwa usia ibu yang terdiagnosis
preeklampsia paling banyak adalah usai 20-35 tahun yaitu sebanyak 44 orang
(73,4%).44 Penelitian ini juga sama dengan penelitian Juliantari K.B dkk, bahwa
usia wanita yang mengalami preeklampsia adalah usia 20-35 tahun yaitu sebanyak
76 orang (70,37%).47 Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
Denantika O dkk, yang dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012-
2013 bahwa ibu yang berusia < 20 dan > 35 tahun mempunyai kecenderungan
untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan ibu yang berusia 20 –35
tahun.46 Menurut penelitian Rozikhan yang dilakukan di Rumah Sakit Dr.
Soewondo Tegal Tahun 2007 yaitu usia ibu yang terdiagnosis preeklampsia paling
banyak adalah usia 20-35 tahun sebanyak 78 orang (78,0%).8

Penelitian ini tidak sesuai dengan teori dimana usia maternal yang
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami preeklampsia-eklampsia adalah
kelompok usia <20 tahun dan >35 tahun. Usia kehamilan <20 tahun memiliki
keadaan alat reproduksi belum siap untuk menerima kehamilan sehingga
meningkatkan terjadinya keracunan kehamilan dalam bentuk preeklampsia dan
usia ibu >35 tahun berisiko untuk terjadinya preeklampsia karena pada usia ini
44

terjadi peningkatan kerusakan endotel vaskular karena proses penuaan dan


terjadinya obstruksi pada lumen arteriolar oleh aterosis.46
4.2.3 Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia Gestasi
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Telaumbanua J.R yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan bahwa usia
gestasi ibu hamil yang terbanyak adalah aterm (37-42 minggu) yaitu sebanyak 37
orang (59,7%).49 Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Karima N.M yang dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil Padang bahwa usia gestasi
terbanyak yaitu aterm (37-42 minggu) sebanyak 48 orang (64,8%).50
Secara teori artinya penelitian mengenai karakteristik pasien preeklampsia
berdasarkan usia gestasi ini sesuai dengan apa yang terdapat di tinjauan pustaka
bahwa preeklampsia umum terjadi pada kehamilan triwulan ketiga dan semakin
meningkat menjelang aterm.5
4.2.4 Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Gravida
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Artikasari K yang dilakukan
di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2011 juga terdapat gravida yang paling
banyak yaitu primigravida dari 60 responden terdapat 35 orang (29,2%).42 Juga
sejalan dengan penelitian Rindawati H dkk, di RSUD Dr. moewardi Surakarta
periode April-Juni 2013 yaitu gravida wanita hamil yang mengalami preeklampsia
paling banyak adalah primigravida yaitu 38 orang (43,7%).43 Penelitian ini juga
sejalan dengan penelitian Lombo G dkk, bahwa gravida ibu hamil yang
mengalami preeklampsia yang paling banyak adalah primigravida yaitu sebanyak
37 orang (61,6%).44
Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Khuzaiyah dkk,
yang dilakukan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan tahun
2016 yaitu gravida wanita hamil yang mengalami preeklampsia dari 32 responden
paling banyak adalah multigravida sebanyak 16 orang45
Berdasarkan teori primigravida mempunyai resiko yang lebih besar untuk
mengalami preeklampsia karena pada primigravida mekanisme imunologik dalam
pembentukan blocking antibody terhadap antigen plasenta oleh HLA-G (human
leukocyte antigen G) belum sempurna dibandingkan dengan multigravida.46
45

4.2.5 Karakteristik Sampel Berdasarkan APGAR Score


Dari hasil analisis univariat menunjukkan distribusi apgar score terbanyak
yaitu normal sebanyak 39 bayi (82%), yang paling sedikit yaitu asfiksia ringan
sedang sebanyak 9 bayi (18%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putra
A.N.E dkk, yang dilakukan di RSU Islam Harapan Anda Tegal bahwa nilai apgar
score pada bayi yang paling banyak yaitu normal (7-10) yaitu sebanyak 22 bayi
(45,0%).52 Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Ike Johan Prihatini, dkk di VK IRD RSUD Dr. Soetomo Surabaya dimana
proporsi bayi yang normal (7-10) adalah 281 bayi (74,9%) dan yang mengalami
asfiksia ringan sedang yaitu sebanyak 94 bayi (25,0%).51
Hal ini terjadi dikarenakan hanya sedikit terdapatnya sampel berat bayi
lahir rendah, karena salah satu faktor asfiksia neonatrum adalah berat bayi lahir
rendah, usia ibu yang berisiko, serta adanya hipertensi dalam kehamilan. Oleh
karena itu bayi dengan asfiksia neonatrum dapat dicegah sejak awal kehamilan ibu
dengan memperbaiki asupan nutrisi pada ibu hamil, kontrol antenatel secara
teratur, dan proses persalinan yang aman oleh petugas kesehatan.51
4.2.6 Karakteristik Berdasarkan Berat Lahir Bayi
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zuliana
A, yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2015 bahwa distribusi
berat badan bayi lahir terbanyak yaitu Bayi Berat Lahir Normal (BBLN) sebanyak
47 bayi (56,6%).53 Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Annisa S, yang dilakukan di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-
2012 bahwa distribusi berat badan bayi lahir terbanyak yaitu Bayi Berat Lahir
Normal (BBLN) sebanyak 39 bayi (66,7%).54
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah ditulis, diketahui bahwa
preeklampsia dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pada bayi.
Komplikasi pada bayi yang berasal dari ibu dengan PEB dapat juga diakibatkan
oleh adanya kelainan invasi trofoblas dari kedua arteri desidua ibu sehingga akan
menyebabkan penurunan perfusi plasenta dan iskemia plasenta relatif yang akan
berakibat pada terjadinya asfiksia neonatorum pada bayi.45 Menurut peneliti,
46

BBLR tidak hanya berkaitan dengan berkurangnya aliran darah ke janin, namun
akibat berbagai faktor seperti usia ibu, status kesehatan ibu, genetika, serta hal ini
juga bisa disebabkan karena faktor luar lain semisalnya stats gizi ibu dimana bisa
diketahui dari indeks massa tubuh ibu, yang mengakibatkan bayinya cukup gizi
pada masa kehamilannya.55
4.2.7 Karakteristik Berdasarkan Gameli
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian karima NM di RSUP Dr. M
Djamil Padang dimana pada tahun 2015 jumlah janin tunggal pada ibu
preeklampsia lebih banyak 70 pasien dibandingkan dengan jumlah janin ganda 4
pasien.55 Penelitian Sutrimah di RS Roemani Muhammadiyah Semarang
mendapatkan jumlah janin tunggal pada ibu preeklampsia lebih banyak 31 pasien
di bandingkan jumlah janin ganda 1 pasien56
Penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
preeklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda dari 105 kasus
kembar dua didapat 28,6% preeklampsia. Hal tersebut disebabkan karena
terjadinya dislensia uterus.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan kesimpulan
sebagai berikut:
47

1. Pravelensi kejadian preeklampsia di RSUD Raden Mattaher Jambi tahun 2015


sebanyak 22 pasien (46%) dan tahun 2016 sebanyak 26 pasien (54%), sementara
jumlah pasien yang di rawat untuk semua kasus Obgyn pada tahun 2015 adalah 1257
pasien (1,75%) dan pada tahun 2016 adalah 1309 pasien (1,98%).
2. Karakteristik ibu yang mengalami preeklampsia usia ibu 20-35 tahun
sebanyak (71%), usia gestasi kasus terbanyak yaitu Aterm dimana diukur pada
lama waktu ibu mempertahankan usia kehamilan (59%), berdasarkan Gravida
terdapat kasus tebanyak pada primigravida yaitu sebanyak (52%).
3. Faktor risiko ibu yang mengalami preeklampsia berdasarkan APGAR skor
normal 82%, Berat Lahir Bayi Normal 80%, Gemeli janin tunggal 96%.

5.2 Saran
1. Bagi instansi kesehatan
Meningkatkan kualitas kinerja tenaga medis dalam menangani pasien
preeklampsia semaksimal mungkin, sehingga dapat memperkecil atau mencegah
terjadinya komplikasi. Selain itu, pengisian rekam medis hendaknya dilakukan
dengan lebih teliti, lengkap dan dengan tulisan yang jelas, sehingga isi rekam
medis tersebut dapat digunakan dengan baik dan akurat untuk kepentingan
pemeriksaan selanjutnya maupun dalam menunjang penelitian berikutnya.
2. Bagi masyarakat
Bagi masyarakat khususnya ibu hamil agar lebih peduli terhadap kesehatan
diri sendiri dan kehamilannya, yaitu dengan mengikuti program-program dari
pemerintah ataupun instansi kesehatan lainnya dalam usaha pelayanan kesehatan,
misalnya dengan mengikuti penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran dalam
melakukan antenatal care secara teratur dan terarah sehingga risiko preeklampsia
dapat ditangani sedini mungkin.
3. Bagi peneliti lainnya
Hasil penelitian ini dapat menjadi pembanding bagi penelitian selanjutnya
dalam hal mengetahui karakteristik preeklampsia dengan metode lain, dengan
populasi yang lebih luas serta lebih memperhatikan variabel lain yang belum
diperhatikan dalam penelitian ini.
4. Bagi Institusi FKIK
48

Diharapkan hasil penelitian ini dapat meningkatkan referensi khususnya


tentang kejadian preeklampsia dan dapat digunakan sebagai acuan untuk
menambah pengetahuan mahasiswa agar dapat menginformasikan pengetahuan
tersebut kepada masyarakat.
49

DAFTAR PUSTAKA

1. Tong W, Giussani DA. Preeclampsia link to


gestational hypoxia. Journal of Developmental Origins of Health and Disease.
Cambridge University Press; 2019;10(3):322–33.
2. Hasnah. 2003. Penelusuran kasus-kasus
kegawatdaruratan obstetric yang berakibat kematian maternal (Studi Kasus di
RSUD Purworejo, Jawa Tengah). Makara Kesehatan. 7(2): 39. http://
repository. ui.ac. id/ dokumen/ lihat/56.pdf Diakses pada tanggal 20 Maret
2019).
3. Chenkin J, Heslop CL, Atlin CR, Romano M, Jelic
T. Bilateral Retinal Detachments Caused by Severe Preeclampsia Diagnosed
with Point-of-Care Ultrasound. CJEM. Cambridge University Press;
2016;18(5):395–8.
4.  Bastani P, Kobra H, Hossein N. Risk factors for
preeclampsia in multigravida woman. Research Journal of Biological
Sciences. 2008;3(1):148-153. 
5. Cunningham FG, Leveno KJ, Hauth JC, Bloom SL,
Rouse DJ, Spong CY. Williams obstetric 23rdEdition. New York : McGraw-
hill Companies; 2010. 
6. Serrano NC. Immunologi and genetic of
preeclampsia. Clinical & Developmental Immunology. 2006;13(2-4):197.
7. Elioutine DV, Rassoha TN, Marshalov DV,
Danshina EA. Endogenous Intoxication in Women with Preeclampsia.
Prehospital and Disaster Medicine. Cambridge University Press;
2001;16(S1):S24–S24.
8. Rozikhan. Faktor-faktor risiko terjadinya
preeklampsia berat di rumah sakit Dr. H. Soewondo Kedal (tesis). Semarang:
Universitas Diponegoro; 2017. . 
9. Jeelani R, Bluth MH. Reproductive function and
pregnancy. In: McPherson RA, Pincus MR, eds. Henry's Clinical Diagnosis
50

and Management by Laboratory Methods. 23rd ed. St Louis, MO: Elsevier;


2017:chap 25.
10. Jeyabalan A. Epidemiology of preeclampsia: impact
of obesity. National Institutess of Health. 2014;71:1-14. 
11. Myrtha, R. (2015). Penatalaksanaan Tekanan Darah
pada Preeklampsia, 42(4), 262–266. Retrieved from
http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_227Penatalaksanaan Tekanan Darah
pada Preeklampsia.pdf
12. Ornaghi s, Tyurmorezova A, Alergi P, et al.
Influencing Factor for Late onset preeclampsia. Journal of Maternal-Fetal and
Neonatal Medicine. 2013;26(13):1299-302.
13. Sri Sulistyowati et al., Faktor Angiogenik Soluble
FMS-Like Tyrosine Kinase-1 dan Vascular Endothelial Growth Factor pada
Ibu Hamil 8 – 20 Minggu dengan Risiko Preeklampsia.
14. Subanrate. Luke B, Keith L, Lopez-Zeno JA, Witter
FR, Saquil E. A Case-Control Study of Maternal Gestational Weight Gain
and Newborn Birthweight and Birthlength in Twin Pregnancies Complicated
by Preeclampsia. Acta geneticae medicae et gemellologiae: twin research.
Cambridge University Press; 1993;42(1):7–15
15. Wibowo, N. et al. (2016) ‘Diagnosis dan
Tatalaksana Preeklampsia’, Pogi, pp. 6–9
16. Elioutine D, Sadchikov DV, Arkhangelsky SM,
Shanina NY, Sadchikova GD. Verification Criterion of Preeclampsia:
Creation of Autoantibodies. Prehospital and Disaster Medicine. Cambridge
University Press; 2001;16(S1):S26–S26
17. Kosim, M. S., Yunanto, A., Dewi, R., Sarosa, G. I.,
Usman, A. 2008. Buku Ajar Neonatologi. Edisi 1, Cetakan Pertama. Ikatan
Dokter Anak Indonesia, hal. 103-104, 108-109.
18. Aurora, S., Snyder, E. Y. 2004. Perinatal asphyxia.
Dalam: Cloherty, J. P, Eichenwald, E. C, Stark, A. R., penyunting. Manual of
neonatal care. Edisi 5. Philadelphia: William & Willkins, hal. 536-555.
51

19. Mohan, P. V. 2000. Renal insult in asphyxia


neonatorum. Indian Ped. 37: 1102-1106.
20. Cunningham, F. G., Kenneth, J. L., Steven, L. B.,
John, C. H., Dwight, J. R., Catherine, Y. S. 2012. Obstetri Williams. Cetakan
23. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 619-621.
21. Marcdante, Karen J, Kliegman, R. M., Jenson, H.
B., Behrman, R. E. 2014. Ilmu Kesehatan Anak Esensial Nelson. Edisi 6.
Jakarta: EGC, hal. 239, 244-246, 690-692.
22. Zhu, T., Tang, J., Zhao, F., Qu, Y., & Mu, D. 2015.
Association between maternal obesity and offspring Apgar score or cord pH:
a systematic review and meta-analysis. Scientific Reports. 5: 183-186.
23. Gomella, T. L., Cunningham, M. D, Eyal, F. G.
2009. Neonatology Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases,
and Drugs. Edisi 6. McGraw-Hill, hal. 313-314, 626.
24. Mulyani, S., & Mekeama, L. (2019). Hubungan
Senam Hamil Terhadap Kadar Vitamin D Pada Ibu Hamil Hamil di
Puskesmas Rawasari Kota Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas
Jambi|JIITUJ|, 3(2), 156-161. 
25. Wiknjosastro, H., Saifuddin, A. B. 2002. Ilmu
Kebidanan. Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
hal. 771-783.
26. Arifuddin, J., Palada, P. BBLR-LBW. 2004.
Perinatologi dan Tumbuh Kembang. Jakarta: FKUI, hal. 9-11.
27. Behrman, R. E., Kliegman, R. M. 2004. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi 17. California: Saunders, hal. 550-558.
28. Departemen Kesehatan RI. 2011. Kumpulan Buku
Acuan Kesehatan Bayi Baru Lahir. Bakti Husada. Jakarta, hal. 10.
29. Tyrrell, J., Richmond, R. C., Palmer, T. M.,
Feenstra, B., Rangarajan, J., Metrustry, S., Freathy, R. M. 2016. Genetic
evidence for causal relationships between maternal obesity-related traits and
birth weight. JAMA. 315(11): 1129–1140. 
52

30. Najafian, M., Cheraghi, M. 2012.Occurrence of


fetal macrosomia rate and its maternal and neonatal complications: 5-year
cohort study. ISRN Obstetrics and Gynecology. 2012: 10-14. 
31. Ali, S. H., Ishtiaque, S. 2014. Fetal macrosomia; its
maternal and neonatal complications. Professional Med J. 21(3): 421-426. 
32. Rowlands, I., Graves, N., de Jersey, S., McIntyre,
H.D., Callaway, L. 2010. Obesity in pregnancy: outcomes and economics.
Seminars in fetal & neonatal medicine. 15: 94–99.
33. Lorenzo D, Cynthia A, Muin J, David J. 2013.
Neural-tube defects: medical progress. NEJM. 341(20): 1509-1519.
34. Chris, M., David, E. C. C., Joel, G. R., Marian, J.
V., Philip, R. W. 2005. Greater maternal weight and the ongoing risk of
neural tube defects after folic acid flour fortification. Lippincott Williams and
Wilkins. 105(2): 261-5.
35. Kither, H., Whitworth, M. K. 2012. The
implications of obesity on pregnancy. Obstetrics, Gynecology and
Reproductive Medicine 22. Elsevier. 12: 362-367.
36. Stotland, N. E. Maternal Nutrition. 2009. Creasy
and Resnik’s maternal-fetal medicine: principles and practice. Edisi 6.
Elsevier. 10: 143-147. 
37. Balsells, M., García-Patterson, A., Corcoy, R. 2012.
Miscarriage and Malformations.Maternal Obesity in Pregnancy.Springer. 6:
76-93.
38. WHO. 2015. Obesity and overweight [report].
WHO Media centre. (http://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/obesity-and-overweight, Diakses 24 Juli 2018).
39. Yao, R., Park, B. Y., Caughey, A. B. 2017. The
effects of maternal obesity on perinatal outcomes among those born small for
gestational age. The Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine. 30(12):
1417-1422.
53

40. Indriani N. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang


Berhubungan dengan Preeklampsia/Eklampsia Pada Ibu Bersalin di Rumah
Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal Tahun 2011. Skripsi Sarjana
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia. 
41. Andriani C, Lipoeto N.I, Utama B.I. 2016.
Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kejadian Preeklampsia di RSUP Dr.
M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas 5(1).
42. Artikasari K. 2009. Hubungan antara Primigravida
dengan Angka Kejadian Preeklampsia/Eklampsia di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta Periode 1 Januari – 31 Desember 2008. Skripsi Sarjana
Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta. 
43. Hertin, Rindawati. 2016. The relationship between
gravida with the incidence of preeclampsia. 4th Asian Academic Society
International Conference (AASIC). 
44. Lombo G.E, Wagey F.W, Mamengko L.S. 2017.
Karakteristik Ibu Hamil dengan Preeklampsia di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado. Jurnal Kedokteran Klinik (JKK), Volume 1 No 3.
45. Khuzaiyah S, Anies, Sri W. 2016. Karakteristik Ibu
Hamil Preeklampsia. Jurnal Ilmiah Kesehatan (JIK) Vol IX, No 2.
46. Denantika O, Serudji J, Revilla G. 2015. Hubungan
Status Gravida dan Usia Ibu Terhadap Kejadian Preeklampsia di RSUP Dr.
M. Djamil Padang tahun 2012-2013. Jurnal Kesehatan Andalas 4(1).
47. Juliantri K.B, Sanjaya N.H. 2017. Karakteristik
Pasien Ibu Hamil dengan Preeklampsia di RSUP Sanglah Denpasar Tahun
2015. E-Jurnal Medika, Vol.6 No.4;(1-9)
48. Telaumbanua J.R. 2013. Keluaran Maternal dan
Perinatal Pada Kasus-Kasus Preeklampsia di RSUP H. Adam Malik Medan
Periode Januari 2011-desember 2012. Skripsi Sarjana Kedokteran, Fakultas
Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
54

49. Karima N.M, Machmud R, Yusrawati. 2015.


Hubungan Faktor Resiko Kejadian Pre-Eklampsia Berat di RSUP Dr. M.
Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas 4(2). 
50. Putra A.N.E, Hasibuan H.S, Fitriyati Y. 2014.
Hubungan Persalinan Preterm Pada Preeklampsia Berat dengan Fetal
Outcome di RSU Islam Harapan Anda Tegal. Jurnal Kedokteran Klinik
Indonesia (JKKI), Vol 6, No 3.
51. Prihatini IJ dkk. 2012. Hubungan Antara
Preeklampsa dengan Kejadian BBLR dan Asfiksia Neonatrum di VK IRD
RSUD DR. Soetomo Surabaya.
52. Zuliana A. 2017. Hubungan Berat Bayi Lahir
Rendah Pada Ibu Hamil yang Menderita Preeklampsia dan Tidak
Preeklampsia di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015. Skripsi Sarjana
Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
53. Annisa S. 2013. Hubungan Derajat Preeklampsia
dengan Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di RSU Dr. Pirngadi
Medan Tahun 2011-2012. Skripsi Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sumatera Utara. 
54. Tintyarza AG. 2013. Hubungan
Preeklampsia/Eklampsia dengan Kejadian Berat Badan Lahir Rendah pada
Bayi di RSUD R.A Kartini Jepara. (naskah publikasi). Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
55. Karima NM. 2015. Hubungan Faktor Resiko dengan
Kejadian Preeklampsia Berat di RSUP Dr. Mdjamil Padang. Universitas
Andalas.
56. Sutrimah 2015 Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Preeklampsia pada Ibu Hamil di Rumah Sakit Roemani
Muhammadiyah Semarang.

Anda mungkin juga menyukai