Anda di halaman 1dari 70

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Pendidikan Profesi Dokter/ G1A220115/ April 2021

**Pembimbing dr. Monalisa, Sp.PD, FINASIM

Suspek Sistemik Lupus Eritematosus

Oleh:

Maulana, S. Ked
G1A220115

Pembimbing:

dr. Monalisa, Sp.PD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

Suspek Lupus Eritematosus Sistemik

Maulana, S.Ked

G1A220115

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan Jambi, April 2021

Pembimbing

dr. Monalisa, Sp.PD, FINASIM

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT sebab karena
rahmatnya, tugas Clinical Report Session (CRS) yang berjudul “Suspek Lupus
Eritematosus Sistemik” ini dapat terselesaikan. Tugas ini dibuat agar penulis dan
teman– teman sesama koass periode ini dapat memahami tentang gambaran kelainan
dari kasus ini. Selain itu juga sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Monalisa, Sp.PD, FINASIM
selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya pembimbing
dalam Case Report ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna,
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik kedepannya. Akhir
kata, semoga tugas referat ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah
informasi serta pengetahuan kita.

Jambi, April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan...................................................................................................1

BAB II Laporan Kasus...............................................................................................2

2.1 Identitas Pasien............................................................................................2

2.2 Anamnesis...................................................................................................2

2.3 Pemeriksaan Fisik Status Generalisata.......................................................4

2.4 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................10

2.5 Daftar Masalah..........................................................................................15

2.6 Diagnosis...................................................................................................15

2.7 Tatalaksana................................................................................................15

2.8 Prognosis...................................................................................................16

2.9 Follow Up..................................................................................................16

BAB III Tinjauan Pustaka........................................................................................20

3.1 Lupus Eritematosus Sistemik....................................................................21

3.2 Hipertiroid.................................................................................................53

BAB IV Analisa Kasus............................................................................................63

BAB V Kesimpulan.................................................................................................66

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Sistemic Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai


dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto antibodi patogen dan
kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang bermanifestasi
sebagai “lesi kulit seperti kupu-kupu” di wajah, perikarditis, kelainan ginjal, artritis,
anemia, dan gejala-gejala susunan saraf pusat. Sistemic Lupus Eritematosus
merupakan penyakit autoimun heterogen yang melibatkan banyak organ yang
berbeda dan menampilkan perjalanan klinis yang bervariasi. Diagnosis SLE
didasarkan pada temuan klinis khas kulit, sendi, ginjal dan sistem saraf pusat, serta
pada parameter serologis seperti antibodi antinuklear (ANA), khususnya antibodi
terhadap dsDNA.1
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,
dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:13. Belum terdapat data
epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia.
Manifestasi klinik dari LES beragam tergantung organ yang terlibat, dimana
dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan 1 2 klinis
yang kompleks, sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif,
terkendali ataupun remisi. Berdasarkan berat-ringannya gejala yang muncul, LES
dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat.1
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang
berbeda. Penyakit ini terutama mengenai perempuan diusia reproduksi dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik, dan hormonal serta
lingkungan diduga dalam patofisiologi SLE. Penyebab SLE masih belum diketahui.
Diduga penyakit ini diperantarai oleh respons imun abnormal yang berkaitan dengan
adanya berbagai antibodi dan kompleks imun di dalam plasma yang menyebabkan

1
efek-efek patologik yang terlihat pada lupus eritematosus. Penyebab respons ini
diyakini sebagai akibat dari proses autoimun, meskipun terdapat bukti adanya
pengaruh virus dan genetik. Etiologi lain yang diduga dapat menyebabkan SLE antara
lain induksi obat, genetik, dan virus.1
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi
remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit.
Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum
digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-
Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker
(imunosupresan) selain itu terdapat obat- obat yang lain seperti terapi hormon,
imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan transplantasi
sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan.2

2
BAB II

LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Umur : 30 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Bungan Raya, RT.12,Kel.Murni, Kec.Danau Sipin, Jambi
Pekerjaan : IRT
No RM : 968303
MRS : 3 Maret 2021
Tanggal Pemeriksaan : 10 Maret 2021

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Badan semakin lemas semenjak 2 minggu SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUD Raden Mattaher dengan keluhan badan lemas. Badan
lemas dirasakan sejak 2 minggu SMRS dan semakin hari semakin memberat sehingga
pasien tidak dapat beraktivitas seperti biasanya. Rasa lemas membaik dengan
beristirahat. Selain itu, pasien juga mengeluhkan muntah berisi air dan sedikit
makanan hingga 3 kali sehari. pasien merasa nyeri di ulu hati, namun tidak menjalar
sampai kebelakang, nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dan
nyeri berkurang setelah istirahat. BAB pasien diakui berwarna hitam padat tanpa
lendir ataupun darah. Keluhan disertai dengan penurunan nafsu makan dan penurunan
berat badan. Pasien mengaku mengalami penurunan berat badan mencapai 20 kg (65
kg menjadi 45 kg). Pasien mengeluhkan bengkak di kedua kakinya. Adanya nyeri
perut disangkal. Pasien juga mengeluhkan adanya bercak-bercak pada wajah, tangan
dan kaki. Pasien juga mengeluhkan jika terkena sinar matahari maka kulit wajah dan
tangan langsung berwarna merah. Demam disangkal, batuk (-), BAK tidak ada nyeri

3
(-). Pasien juga merasakan gugup, jantung berdebar-debar, mudah berkeringat
walaupun tidak melakukan aktivitas dan mudah lelah. Pasien juga suka dengan udara
dingin. Pasien juga mengeluhkan gemetar pada kedua tangan nya.
Sejak 1 bulan SMRS pasien mengeluhkan bengkak pada punggung
kaki dan terasa nyeri, keluhan dirasakan hilang timbul, terasa seperti ditusuk-tusuk.
Nyeri hanya dirasakan di punggung kaki dan tidak menjalar. Selain itu, Keluhan juga
disertai dengan adanya bercak-bercak kehitaman dan kulit bersisik pada wajah,
tangan dan kaki. Bercak-bercak tersebut tidak disertai dengan rasa gatal. BAK pasien
diakui warna kuning jernih, tidak ada darah. BAB pasien juga diakui tidak ada darah,
bentuk seperti biasa.

Riwayat penyakit dahulu


 Riwayat Sakit serupa (-)
 Riwayat Darah tinggi (-)
 Riwayat Diabetes Melitus (-)
 Riwayat Penyakit jantung (-)
 Riwayat Asma (-)
 Riwayat Alergi obat (-)
Riwayat penyakit dalam keluarga
- Riwayat keluhan seperti pasien (-)
- Riwayat penyakit ginjal (-)
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat kencing manis (-)
- Riwayat darah tinggi (-)
- Riwayat kanker (-)
Riwayat Pekerjaan & Sosial
- Pasien seorang Ibu Rumah Tangga
- Pasien BPJS kelas III

4
2.3 Pemeriksaan Fisik Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS : E4 M6 V5)
Vital Sign
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 93x/menit, reguler, kuat angkat
Respirasi : 21x/menit, reguler
Suhu aksila : 36,60C
SpO2 : 98%
Status Gizi
BB : 45 Kg
TB :157 cm
IMT : 18,25 (Underweight)
Kulit
Warna : sawo matang
Ikterus : (-)
Efloresensi : Papul
Jaringan Parut : (-)
Pertumbuhan Rambut : Normal, tidak mudah dicabut
Pertumbuhan Darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Suhu : 36,60C
Turgor : Kembali cepat, < 2detik
Lainnya : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kepala
Bentuk Kepala : Normocephal
Rambut : Hitam
Ekspresi : Tampak sakit sedang
Simetris Muka : Simetris

5
Mata
Kelopak : Cekung (-/-), edema (-/-), Exopthalmus
(-/-)
Konjungtiva : Konjungtiva anemis (+/+)
Sklera : Sklera Ikterik (-/-)
Pupil : Isokor (+/+), Diameter 3 mm (+/+), Reflek
cahaya langsung dan tak langsung (+/+)
Lensa : Normal
Gerakan : Normal
Lapangan Pandang : Normal
Hidung
Bentuk : Simetris
Sekret : (-)
Septum : Deviasi (-)
Selaput Lendir : (-)
Sumbatan : (-)
Pendarahan : (-)
Mulut
Bibir : Kering (-), Sianosis
(-)
Lidah : Atrofi papila lidah (-)
Gusi : Anemis (-)
Telinga
Bentuk : Simetris
Serumen : Minimal
Nyeri tekan tragus : Tidak ada
Pendengaran : Normal
Leher
JVP : 5+2 cmH2O

6
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba
Kelenjar Limfonodi : Tidak teraba
Kaku kuduk : Tidak ada
Kelenjar
Pembesaran Kelenjar Submandibula : (-)
Pembesaran Kelenjar Submental : (-)
Pembesaran Kelenjar Jugularis Superior : (-)
Pembesaran Kelenjar Jugularis Inferior : (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba ICS V Linea axilaris anterior sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea axilaris anterior sinistra
Batas Kanan : ICS III Linea parasternal dextra
Batas Bawah : ICS IV Line parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Paru
Inspeksi : Pergerakan simetris kiri dan kanan, spider nevi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Stretchmark (-), Simetris, jaringan parut (-)
Auskultasi : Bising Usus (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+) regio episgastrium
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba, Ballotement (-)
Perkusi : Timpani, pekak alih (-), asites (-)

7
Punggung
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Fremitus taktil kanan =
kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Nyeri ketok CVA : -/-
Ekstremitas
Superior
Warna : Sawo
matang
Kuku :-
Tremor : (+/+)
Luka : (-/-)
Palmar eritem : (-/-)
Sensibilitas : (-/-)
Edema : (-/-)
Akral : Akral hangat, CRT < 2 detik pada dextra dan sinistra
Inferior
Warna : Sawo
matang
Kuku :-
Tremor : (-/-)
Luka : (-/-)
Palmar eritem : (-/-)
Sensibilitas : (-/-)
Edema : (+/+)
Akral : Akral hangat, CRT < 2 detik pada dextra dan sinistra

8
2.4 Pemeriksaan Penunjang

9
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin 3 Maret 2021
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Leukosit 5,32 4,0-10,0
Eritrosit L 3,40 4,0 – 5,0
Hemoglobin L 9,47 13,4 – 15,5
Hematokrit L 30,1 34,5 – 54
MCV 88,5 80 – 96
MCH 27,8 27 – 31
MCHC 31,4 32 – 36
Trombosit 197 150 – 440
PCT 0,145 0,150 – 0,400

Eletrolit 3 Maret 2021


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Kalium 3,16 Mmol/L 3,34 – 5,10
Natrium 138,2 Mmol/L 136 – 146
Chlorida 91,5 Mmol/L 98 – 106

Faal Hati 3 Maret 2021


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
SGOT H 508 u/l 15-37
SGPT H 197 u/l 14-63

Faal Ginjal 3 Maret 2021


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Ureum 34 mg/dl 10-50
Creatinin 0,9 mg/dl 0,7-1,5

Eletrolit 7 Maret 2021


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal

10
Kalium 3,22 Mmol/L 3,34 – 5,10
Natrium 141,1 Mmol/L 136 – 146
Chlorida 99,7 Mmol/L 98 – 106

Faal Hati 7 Maret 2021


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
SGOT H 255 u/l 15-37
SGPT H 155 u/l 14-63

Tiroid 8 Maret 2021


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
T4 160,26 nmol/L 60 - 120

Tiroid 9 Maret 2021


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
TSH 1,28 Uiu/Ml 0,25 - 5,0

Darah Rutin 11 Maret 2021


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Leukosit L 2,69 4,0-10,0
Eritrosit L 2,83 4,0 – 5,0
Hemoglobin L 8,24 13,4 – 15,5
Hematokrit L 25,6 34,5 – 54
MCV 90,4 80 – 96
MCH 29,1 27 – 31
MCHC 32,2 32 – 36
Trombosit 164 150 – 440
PCT L 0,130 0,150 - 0,400

Eletrolit 11 Maret 2021


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Kalium 3,99 Mmol/L 3,34 – 5,10
Natrium 143,0 Mmol/L 136 – 146
Chlorida 105,2 Mmol/L 98 – 106

11
Urine Rutin 13 Maret 2021
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Warna Kuning Kuning Muda
Kejernihan Keruh Jernih
pH 7 4 – 8.5
Berat Jenis 1.010 1.005 – 1.030
Protein +1 Negative
Glukosa Normal Normal
Keton Negative Negative
Bilirubin Negative Negative
Urobilinogen Normal Normal
Nitrit Negative Negative

Faal Hati 13 Maret 2021


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
SGOT H 251 u/l 15-37
SGPT H 190 u/l 14-63

Darah Rutin 13 Maret 2021


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Leukosit 4,27 4,0-10,0
Eritrosit L 2,90 4,0 – 5,0
Hemoglobin L 8,56 13,4 – 15,5
Hematokrit L 26,1 34,5 – 54
MCV 90,2 80 – 96
MCH 29,6 27 – 31
MCHC 32,8 32 – 36
Trombosit L 145 150 – 440
PCT 0,099 0,150 – 0,400

Hapusan Darah Tepi (13 Maret 2021)

Eritrosit Kesan jumlahnya berkurang, normokrom normositer


Leukosit Kesan jumlahnya cukup, tidak ditemukan blast cells
Trombosit Kesan jumlahnya berkurang

12
Kesan Gambaran darah tepi memberikan kesan suatu anemia normokrom
normositer dengan trombositopenia
Saran Ferritin, SI, TIBC, Hb, Elektroforesis, Ureum, Creatinin, Coomb
test, Urinalisa

Pemeriksaan Toraks (4 Maret 2021)

13
Hasil :
- Aorta dan mediastinum superior tak melebar
- Trakea ditengah
- Hilus tak melebar, corakan bronchovaskular baik
- Tak tampak infiltrat
- Kedua sinus costofrenicus lancip, diafragma baik
- Tulang-tulang dan jaringan lunak dinding dada baik

Kesan : Cor dan Pulmo normal

2.5 Daftar Masalah


• Lemas
• Muntah
• Nyeri ulu hati
• Anemia Normokrom Normositer
2.6 Diagnosis
Diagnosa Primer :
Suspek Sistemik Lupus Erimatosus
Diagnosa Sekunder :
Vomitus e.c Dispepsia + Anemia Normokrom Normositer e.c Penyakit Kronik +
Hipokalemia + Hipertiroid
Diagnosis Banding:
1. Artritis Rematoid

2. Melasma

2.7 Tatalaksana
 Nonfarmakologi
o Istirahat
o Diet lambung 2 bentuk lunak 3x / hari
o Observasi tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, respirasi)

14
o Pantau Hb dan Kalium.
o Edukasi :
 Jelaskan mengenai penyakit yang dialami pasien
 Jelaskan mengenai faktor resiko yang menyebabkan keluhan pasien
o Test ANA

 Farmakologi
 IVFD KAEN-3B  15 TPM
 IVFD Dextrose 5%  15 TPM
 PO. Propanolol 2x10 mg
 PO. Metilprednisolone 1x16 mg
 Inj. Omeprazole 1x20 mg
 PO. Thirozol 2x10 mg
 PO. Sukralfat 4x2 mg
 PO. KSR 1x1 mg
 PO. Vit B Complex 3x1 mg
 PO. Asam Folat 3x1 mg
 PO. Curcuma 3x1 mg

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

2.9 Follow Up
Tanggal S O A P
3 Maret Nyeri ulu KU: Lemah Vomitus profuse IVFD KAEN 3B 15
2021 hati GCS : 15 e.c Susp sirosis tpm
Mual Hb: 9,47 hepatis -Sukralfat 3x1

15
Lemas Alb : 3,3 DD :Hepatoma - Inj. Omeprazole 40
BAB hitam TD= 90/60 mg.
HR=115
RR=21
SpO2= 94%
T= 36,6

4 Maret Nyeri ulu KU: Lemah Vomitus profuse IVFD KAEN 3B 15


2021 hati TD= 120/70 e.c Susp sirosis tpm
Mual HR=115 hepatis -Curcuma 3x1
Muntah RR=21 + -KSR 1x1
SpO2= 97% Ketidakseimbangan -P.O asam folat 3x1
T= 36,6 Elektrolit mg tab.
- Inj. Omeprazole 40
GDS : 197 mg.
-Vit K 3x1
SGOT : 508
SGPT : 197
Protein total :
7,3
Albumin : 3,3
Ureum : 34
Kreatinin :0,9
Globulin : 4

5 Maret Lemas KU: Lemah Ketidakseimbangan IVFD KAEN 3B 15


2021 Muntah (-) TD= 110/70 elektrolit + tpm
Mual (-) HR=98 Hipokalemia -KSR 1x1
RR=24 -P.O asam folat 3x1
SpO2= 98% mg tab.
T= 36,1 - Inj. Omeprazole 40
Kalium : 3,16 mg
Chlorida : 91,5 -Vitamin B
Complex 3x1
-Sukralfat 3x1
6 Maret Lemas KU: Lemah Ketidakseimbangan IVFD KAEN 3B 15
2021 TD: 150/110 elektrolit + tpm
HR: 100 Hipokalemia -KSR 1x1
RR: 20 -P.O asam folat 3x1
SpO2: 97% mg tab.
T: 36,2 - Inj. Omeprazole 40
Kalium :3,16 mg

16
Chlorida :91,5 -Vitamin B
Complex 3x1
-Sukralfat 3x1
7 Maret Lemas KU: Lemah Ketidakseimbangan -IVFD KAEN 3B 15
2021 TD: 128/104 elektrolit + tpm
HR: 82 Hipokalemia - Thyrozol 2x10
RR: 25 - Propanolol 2x10
SpO2: 99% -Curcuma 3x1
T: 36 -Asam Folat 3x1
Kalium :3,16 -KSR 1x1
Chlorida :91,5
8 Maret Lemas KU: Lemah Suspek SLE -IVFD KAEN 3B 15
2021 Hiperperfusi TD: 100/60 Hipertiroid tpm
(+) HR: 98 Anemia Penyakit - Thyrozol 2x10
RR: 18 Kronik - Propanolol 2x10
SpO2:98% Hipokalemia -Curcuma 3x1
T: 36 Ketidakseimbangan -Asam Folat 3x1
Kalium :3,22 Elektrolit -KSR 1x1
SGOT : 255
SGPT : 155 R/ TSH,FT4
R/ ANA
Hiperpigmentas
i (+)
9 Maret Lemas KU: Lemah Suspek SLE - IVFD KAEN 3B
2021 TD: 100/70 Hipertiroid 15 tpm
HR: 103 Anemia Penyakit -Tirozol 2x10
RR: 19 Kronik -Propanolol 2x10
SpO2: 100 Hipokalemia -Metilprednisolone
T: 36,3 Ketidakseimbangan -Curcuma 1x1
T4 : 160,26 elektrolit
Na : 138,2 R/Konsul Kulit
Kalium : 3,16

10 Maret Lemas KU: Lemah Suspek SLE IVFD KAEN 3B 15


2021 TD: 105/70 Hipertiroid tpm
HR: 113 Anemia Penyakit -Curcuma 3x1
RR: 24 Kronik -KSR 1x1
SpO2:99% Hipokalemia -Tirozol 2x10
T: 36,1 Ketidakseimbangan -Propanolol 2x10
Na : 138,2 elektrolit -P.O asam folat 3x1
mg tab.
- Inj. Omeprazole 40

17
Kalium : 3,16 mg.

11 Maret Badan KU : Lemah Suspek SLE IVFD KAEN 3B 15


2021 Lemas TD: 120/70 Hipertiroid tpm
HR: 104 Anemia Penyakit -P.O asam folat 3x1
RR:22 Kronik mg tab.
SpO2: 99% Hipokalemia - Inj. Omeprazole 40
T: 36,1 Ketidakseimbangan mg
Hb : 8,24 elektrolit

12 Maret Lemas KU : Lemah Suspek SLE IVFD D5% 15 tpm


2021 TD: 110/60 Hipertiroid Metilprednisolon
HR: 100 Bisitopenia 1x16
RR:22 Peningkatan faal Thyrozol 1x10
SpO2: 98% hepar KSR 1x1
T: 36 Asam Folat 3x1
Na : 143 Omeprazole 1x1
Kalium : 3,99 Curcuma 3x1
Chlorida : 105,2
Hb : 8,24
Leukosit :
269.000
Trombosit :
164.000
T4 : 160
SGOT : 255
SGPT : 125
Protein urin (+)
13 Maret Lemas KU : Lemah Suspek SLE IVFD D5% 15 tpm
2021 TD: 120/70 Hipertiroid Thyrozol 1x10
HR: 102 Bisitopenia Metiprednisolone
RR:22 Peningkatan faal 1x16
SpO2: 97% hepar KSR 1x1
T: 36,6 Asam Folat 3x1
Hb : 8,56 Omeprazole 1x20
SGOT : 201
SGPT : 190

14 Maret Lemas KU : Lemah Suspek SLE IVFD D5% 15 tpm


2021 TD: 110/80 Hipertiroid Omeprazole 2x20
HR: 108 Vit B complex 3x1
RR:21 Sukralfat 3x1

18
SpO2: 99%
T: 37
GCS : 15

15 Maret Pasien PO.Omeprazol 2x20


2021 Pulang mg
PO.Asam Folat 3x1
mg
PO.Curcuma 3x1
mg
PO.Tirozol 1x5 mg
PO.Metilprednisolon
1x16 mg

19
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Lupus Eritematosus Sistemik


3.1.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks
imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.1
Sistemik lupus eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai
dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan
disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh4.
Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh.
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.
3.1.2 Etiologi
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang
paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor
predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:5
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk
autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko

20
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada
populasi umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa
kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA-DR2 (Human Leukosit
Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada
struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang
dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot
akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi
varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita
SLE.
2. Faktor Imunologi
Pada SLE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell)
akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur
maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali.
Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan
salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat
antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu

21
limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.

3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor risiko terjadinya SLE.

4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri
dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya
SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat.
Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin
sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui
peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada

22
gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.

3.1.3 Patogenesis
Etiopatogenesis dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti faktor
genetik,faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor
genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan risiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-
unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respon imun spesifik pada
kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta
dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen
(yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut
berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin. Studi
lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human
Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita
lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau
C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks
imun oleh sistem fagositosit mononuclear sehingga membantu terjadinya deposisi
jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis
sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi
ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity

23
dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar
UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang
peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta
mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya
kelainan pada inflamasi kulit.
Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan
bahwa perokok memiliki risiko tinggi terkena lupus,berhubungan dengan zat yang
terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik13, Pengaruh obat juga
memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya
yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu
peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus
rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.6
Faktor lainnya yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal.
Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian
menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormone estrogen dengan
sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan
produksi autoantibodi berlebihan pada pasien SLE. Autoantibodi pada lupus
kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-DNA). Selain itu,
terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan
fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti
oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan,
termasuk kulit dan ginjal.6

24
Secara lebih jelas patofisiologi SLE tersaji dalam bagan berikut ini:

Gambar 1. Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)14


Faktor lingkungan, seperti mikroba yang bersifat infektif, obat, dan zat kimia,
merupakan agen pemicu yang secara genetik dan hormonal dapat mempengaruhi
disregulasi sistem imun seseorang. Respon imun yang abnormal ini diakibatkan oleh
hiperaktivitas T helper tipe 2 dan fungsi sel B limfosit. Fungsi dari supresor T
limfosit, produksi sitokin, mekanisme clearance, serta mekanisme regulatori imun
lainnya juga bersifat abnormal sehingga gagal untuk menekan pembentukan
autoantibodi yang disebabkan hiperaktivitas B limfosit. Autoantibodi yang terbentuk
akibat disregulasi imun ini menimbulkan sifat patogenik, membentuk imun
kompleks, dan mengaktivasi komplemen yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan induk (APCs, antigen-presenting cells; TH2,T-helper type 2).

3.1.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat
dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan

25
klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode
aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai
LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak
terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan
nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh
manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya
akan memenuhi kriteria LES.

1. Manifestasi konstitusional1
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan ini sulit dinilai
karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan seperti pada anemia,
meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
perdnison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan
pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan ini
disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab
lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40 0C tanpa adanya bukti
infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya tidak disertai
menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal1
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling sering
terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi berupa nyeri otot
(myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis dimana tampak jelas
bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi Artritis
Rematoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada LES tidak

26
ditemukan adanya deformitas , kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan
sebagainya. Osteoporosis juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas
penyakit dan terapi steroid.
3. Manifestasi Kulit7
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas,
butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi
psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-
tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari,
gangren.
4. Manifestasi Paru7
Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang
interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonal, atau
perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut dan berlanjut secara
kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering dan
mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks
imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak.
Pneumonitis lupus ini memberikan respon baik terhadap pemberian streroid.
5. Manifestasi Kardiologis1,7
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat
berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.
Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,
interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung
kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia muda
dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang.
6. Manifestasi Renal1
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum
terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan ginjal

27
pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal. Komplikasi pada ginjal
merupakan salah satu komplikasi yang serius pada penderita LES sebab akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita LES. Pada saat ini harapan
hidup selama 15 tahun penderita LES dengan nefritis berkisar 80%, sedangkan
ditahun 60an harapan hidupnya selama 5 tahun hanya 50 %, walaupun kita sudah
mengalami kemajuan yang berarti dalam memberikan terapi akan tetapi insidensi
terjadinya progresifitas gagal ginjal masih cukup tinggi hal ini karena seringkali
kita mengalami kesulitan mengidentifikasi penderita LES yang mengenai ginjal
secara klinik, karena seringkali komplikasi nefritis lupus terjadi secara diam-diam
dan gejala dini sering tidak terdeteksi. Yang paling mencolok keterlibatan ginjal
pada penderita LES yakni berupa adanya protein uria atau silinder eritrosit atau
granular pada pemeriksaan sedimen urin, bahkan pada keadaan yang lebih ringan
dijumpai hematuri-piuria tanpa gejala, sedangkan pada keadaan yang lanjut dapat
terjadi kenaikan serum ureum-kreatinin dan hipertensi.
Hal yang penting pada nefritis lupus didapatkan proteinuria dan silinder urin
dengan berbagai derajatnya adalah gambaran yang paling dominan pada nefritis
lupus. Secara umum apabila pasien yang belum mendapat terapi jumlah
proteinuria < 1 gram/hari dengan hematuria dan tidak adanya silinder urin dikenal
sebagai nefritis mesangial. Dikatakan glomerulopati membraneus bila proteinuria
disertai silinder urin dengan berbagai variasi-nya. Nefritis proliferatif bila yang
disebut belakangan disertai dengan hipertensi. Untuk lebih jelasnya biopsi ginjal
diperlukan mengetahui seberapa jauh ginjal terl ibat, derajat kerusakan ginjalnya
dan prognosisnya serta untuk mendapatkan penanganan yang lebih tepat. Di
bawah ini beberapa keadaan yang memerlukan biopsi ginjal pada kasus LES
antara lain bila: 1). bila sedimen urin didapatkan nefritis (hematuria glomeruler
dan silinder cosf (+), 2). hematuria glomerular dan proteinuria > 500 mg
/hari,3.hematuria glomerular dan proteinuria 300 - 500 mg /hari dengan C3 yang
rendah dan Anti ds DNA yang tinggi. Diagnosis nefritis lupus umumnya
didasarkan atas kriteria World Health Organizotion (WHO) yangmana penilaian

28
berdasarkan gambaran histologi dan lokasi atau tempat komplek imun, akan tetapi
saat ini digunakan kriteria yang lebih baru oleh lnternatioanal Society of
Nephrology (lSN) dan Renol Pathology Society (RPS) ada perbedaan penting pada
klasifikasi yang baru berusaha melakukan stratifikasi lesi proliferatif fokal dan
difus (klas lll dan IV).

Tabel 3.1. Klasifikasi Lupus Nefritis2


Kelas Kriteria
Kelas I  lesi minimal mesangial nefritis lupus
 glomeruli normal dengan mikroskop cahaya tetapi bila dilihat dengan
imunofluorosensi adanya deposit kompleks imun di mesangial.
Kelas II  lesi proliferatif mesangial nefritis lupus
 murni hiperselularitas mesangial dengan berbagai derajat atau adanya
ekspansi matrik mesangial, dengan mikroskop cahaya didapat deposit
 kompleks imun pada mesangial, mungkin adanya sedikit terisolasi deposit
kompleks imun di sub epitel atau sub endotel yang dapat terlihat dengan
imunofluorosensi atau elektron mikroskop dan tak terlihat dengan
mikroskop cahaya

Kelas III  lesi fokal nefritis lupus


 aktif atau inaktif fokal, segmental atau global endo kapiler atau ekstra
kapiler glomerulonefritis yang melibatkan kurang dari 50% dari seluruh
glomeruli, khususnya didapat deposit komplek imun di sub endotelial yang
bersifat fokal dengan atau tidak perubahan mesangial.
Klas lll (A)
lesi aktif bersifat proliferatif fokal nefritis lupus
Klas lll (A/C)
lesi aktif dan kronik proliferatif fokal dan sklerosis nefritis lupus
Klas lll (C)

29
lesi kronik tidak aktif dengan glomerulus yang meng-alami sikatrik
(jaringan parut), sklerosis fokal nefritis lupus
Kelas IV  lesi difus nefritis lupus
 lesi difus aktif atau tidak aktif, segmental, atau endokapilerglobal atau
ekstra kapiler glomerulo-nefritis yang melibatkan >50% dari seluruh
glomeruli dengan ciri khasnya endapan komplek imun yang difus di sub
endotelial dengan atau tanpa perubahan mesangial. Klas ini dibagi
menjadi difus segmengtal (lV-S) nefritis lupus bila melibatkan >50 % lesi
glomeruli yang bersifat lesi segmental dan lesi difus global (lV-G) nefritis
lupus bila melibatkan >50 % lesi glomeruli yang bersifat global.
 Klas lV-S (A)
lesi aktif difus -segmental proliferatif nefritis lupus
 Klas lV-G (A)
lesi aktif difus -global proliferatif nefritis lupus
 Klas lV-S (A/C):
o aktif dan lesi kronik difus -segmental proliferatif dan sklerosing
o nefritis lupus
o aktif dan lesi kronik difus -global proliferatif dan sklerosing
o nefritis lupus
 Klas lV-S (C)
lesi kronik tidak aktif dengan glomerulus yang mengalami
sikratrik (parut) dengan difus segmental sklerosing nefritis
lupus
 Klas lV-G (C)
lesi kronik tidak aktif dengan glomerulus yang mengalami
sikratrik (parut)dengan difus global sklerosing nefritis lupus
Kelas V  lesi membraneus nefritis lupus
 global atau segmental deposit kompleks imun pada lapisan sub

30
epitelialdengan kerusakan yang sesuai dengan mikroskop cahaya dan
dengan imunofluorosensi atau dengan mikroskop elektron dengan atau
tanpa perubahan mesangial deposit imun komplek secara global atau
segmental padanlapisan sub epitelial atau kerusakannya dengan
mikroskop cahaya, mikroskop elektron dan imunofluorosensi tanpa
perubahan mesangial klas V nefritis lupus mungkin terjadi dengan
kombinasi dengan klas lll atau klas lV yang mana kasusnya didiagnosis
secara bersamaan.
Kelas VI Sklerosis yang lanjut nefritis lupus > 90 % glomeruli yang terlibat
mengalami secara sklerosing secara global tanpa aktivitas residual (sisa)

7. Manifestasi Gastrointestinal1,7
Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, secara
klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric valkulitis,
inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati. Dapat berupa
hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis aseptik.
Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi
terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.

8. Manifestasi Hemopoetik8
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia
hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus.
Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada
LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran
trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi LES
setelah ditemukan gambaran LES yang lain.

31
9. Manifestasi Susunan Saraf9
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan
antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan
serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan
pada 10% kasus.
Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga
dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak
memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang
spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya
infark atau perdarahan.

3.1.5 Diagnosis
Klasifikasi SLE mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh American College
of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi pada tahun 1997.
Diagnosis SLE ditegakkan apabila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria tersebut.
Meskipun tujuan awal kriteria ini digunakan untuk mengklasifikasikan penyakit,
tetapi kemudian kriteria ini berkembang luas sebagai kriteria diagnostik pada
berbagai situasi klinik. Sejak itu, kriteria ACR mengalami revisi (pada tahun 1982
dan 1997).

Tabel 3.2 : Kriteria Diagnosis SLE menurut American College of Rheumatology,


revisi tahun 1997
Kriteria untuk Kelainan Kulit

1. Ruam Malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada


(butterfly rash) daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat

32
Nasolabial

Plak eritema menonjol dengan keratotik dan


Ruam/ lesi
2. sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat
diskoid
ditemukan parut atrofik

Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal


3. Fotosensitifitas terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis
pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa

Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri


4. Ulkus mulut
dan dilihat oleh dokter pemeriksa

Kriteria Sistemik

Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih


5. Artritis sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak
atau efusi

Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction


Serositis
rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau
Pleuritis
6. terdapat bukti efusi pleura.Terbukti dengan 

Perikarditis rekaman EKG atau pericardial friction rub atau


terdapat bukti efusiperikardium.

a..  Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau


>3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif.
7. Gangguan renal
Silinder seluler : – dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.

8. Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-


neurologi obatan atau gangguan metabolik ( misalnya
uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).ataub. Psikosis yang bukan disebabkan
oleh obat-obatan atau gangguan metabolik

33
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-
seimbangan elektrolit).

Kriteria Laboratorium

a. Anemia hemolitik dengan retikulosisataub.


Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebihatauc. Limfopenia
Kelainan
9. <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
hematologik
lebihatau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa
disebabkan oleh obat-obatan

a. Anti-DNA: antibodi terhadap native


DNA dengan titer yang abnormalataub. Anti-Sm:
terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Smatauc. Temuan positif terhadap antibodi
antifosfolipid yang didasarkan atas: 1) kadar
Kelainan serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG
10.
imunologik atau IgM, 2) Tes lupus antikoagulan positif
menggunakan metoda standard, atau 3) hasil tes
serologi positif palsu terhadap sifilis paling tidak
selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test
imobilisasi Treponema pallidum atau tes
fluoresensi absorpsi antibodi treponema.

11. Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear


antinuklearpositif berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau
(ANA) pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang
diketahui berhubungan dengan sindroma lupus

34
yang diinduksi obat.

The Systemic Lupus Collaborating Clinics mengajukan kriteria SLICC untuk SLE
berdasarkan pemahaman terbaru mengenai autoantibodi dan pentingnya peran
komplemen. Dalam kriteria SLICC, biomarker memegang peran penting dan berguna
untuk membedakan SLE dari penyakit lainnya dan untuk keperluan monitoring
aktivitas penyakit. Pada tahun 2012, Petri dan Magder mempublikasikan validasi
kriteria SLICC untuk klasifikasi SLE. Berdasarkan kriteria SLICC, pasien harus
memenuhi sekurangnya 4 dari 17 kriteria, termasuk sekurangnya terdapat satu kriteria
klinis dan satu kriteria imunologis. Kriteria SLICC dibandingkan dengan kriteria
ACR mempunyai sensitivitas lebih tinggi dan spesifisitas yang setara.

Tabel 3.3: Kriteria Klasifikasi SLE berdasarkan SLICC Tahun 2012

Classify a patient as having SLE if


a) The patient satisfies four of the criteria, including at least one clinical criterion and one
immunologic criterion or
b) The patient has biopsy-proven nephritis compatible with SLE and with ANA or anti-dsDNA
antibodies
CLINICAL CRITERIA
1. Acute Cutaneous Lupus malar rash (do not count if malar discoid), Bullous lupus, Toxic
Lupus epidermal necrolysis variant of SLE, Maculopapular lupus rash. Photosensitive
lupus rash (in the absence of dermatomyositis). Subacute cutaneous lupus
(nonindurated psoriaform and/or annular polycyclic lesions that resolve without
scarring, occasionally with post- inflammatory dyspigmentation or
telangiectasias)
2.Chronic Cutaneous Classical discoid rash-localised (above the neck) or generalised (above and
Lupus below the neck). Hypertrophic (verrucous)lupus.
Lupus panniculitis (profundus). Mucosal lupus. Lupus erythematosus tumidus,
Chillblains lupus, Discoid Lupus-lichen planus overlap.

35
3.Oral ulcers Palate, Buccal, Tongue or Nasal ulcers (in the absence of other causes, such as
vasculitis, Behcets, infection (herpes), IBD, reactive arthritis, and acidic foods)
4.Non-scarring alopecia Diffuse thinning or hair fragility with visible broken hairs (in the absence of
other causes such as alopecia areata, drugs, iron deficiency and androgenic
alopecia)
5.Synovitis involving Characterized by swelling or effusion or tenderness in 2 or more joints and thirty
>2 joints minutes or more of morning stiffness.
6.Serositis Typical pleurisy for more than 1 day or pleural effusions or pleural rub.
Typical pericardial pain (pain with recumbency improved by sitting forward) for
more than 1 day or pericardial effusion
Or pericardial rub or pericarditis by ECG (in the absence of other causes, such as
infection, uremia, and Dressier’s pericarditis)
7.Renal manifestations Urine protein/creatinine (or 24 hr urine protein) representing 500 mg of protein in
24 hr or red blood cell casts
8.Neurological Seizures, psychosis, Mononeuritis multiplex (in the absence of other known
Manifestations causes such as primary vasculitis), myelitis, peripheral or cranial neuropathy (in
the absence of other known causes such as primary vasculitis, infection and
diabetes mellitus), acute confusional state (in the absence of other causes,
including toxic-metabolic, uremia,
drug)
9.Hemolytic anemia
10.Leucopenia/ Leucopenia <4000mm3 at least once (in the absence of other known causes such
Lymphopenia as Felty’s, drugs, and portal hypertension)
Lymphopenia <1000mm3 at least once (in the absence of other known causes
such as corticosteroids, drugs and infection)
11.Thrombocytopenia <100,000mm3 at least once (in the absence of other known causes such as drugs,
portal hypertension, and TTP)
IMMUNOLOGICAL CRITERIA
1.ANA Above the reference range of the laboratory
2.Anti-dsDNA Above laboratory reference range, except ELISA: twice above laboratory
reference range
3.Anti-Sm

36
4.Anti Lupus anticoagulant, False positive RPR, Medium or high titre anticardiolipin
Phispholipid (IgA, IgG or IgM) and beta 2-glycoprotein I (IgA, IgG or IgM)
Antibody
5.Low Complement Low C3, C4 or CH50
6.Direct Coombs Test In the absence of haemolytic anemia
Criteria are cumulative and need not be present concurrently
Petri M, Orbai AM, Alarcon GS, Gordon C, Merrill JT, Fortin FR et. al. Derivation and validation of the
Systemic Lupus International Collaborating Clinics classification criteria for systemic lupus erythematosus.
Arthritis Rheum 2012.

Tabel 3.4 Kriteria Klasifikasi EULAR/ACR


(European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology)
 Riwayat titer ANA-IF positif ≥1:80 (atau positif dengan metode
pemeriksaan lainnya yang ekuivalen) diperlukan untuk memasukkan
pasien ke dalam klasifikasi LES
 Untuk setiap kriteria, skor tidak dihitung jika terdapat kemungkinan
penyebab selain LES (seperti infeksi, keganasan, obat, rosacea, penyakit
endokrin, penyakit autoimun lainnya).
 Kemunculan satu kriteria minimal satu kali sudah dianggap cukup.
 Kriteria tidak perlu terjadi bersamaan.
 Minimal terdapat satu kriteria klinis.
 Dalam setiap domain, hanya kriteria dengan skor tertinggi yang dihitung
untuk skor total.
Domain klinis Poin
Domain konstitusional
- Demam 2
Domain kulit

37
- Nonscarring alopesia 2
- Ulkus oral 2
- Lupus kutaneus subakut atau discoid 4
- Lupus kutaneus akut 6
Domain artritis
- Sinovitis pada minimal 2 sendi atau nyeri sendi pada minimal 2 sendi, 6
dan kekakuan sendi minimal 30 menit
Domain neurologi
- Delirium 2
- Psikosis 3
- Kejang 5
Domain serositis
- Efusi pleura atau perikardium 5
- Perikarditis akut 6
Domain hematoogik
- Leukopenia 3
- Trombositopenia 4
- Hemolisis autoimun 4
Domain ginjal
- Proteinuria >0,5 g/24 jam 4
- Lupus nefritis kelas II atau V 8
- Lupus nefritis kelas III atau IV 10
Domain imunologi Poin
Domain antibody antifosfolipid
- IgG antikardiolipin >40 GPL atau IgG anti-B2GP1 >40 unit atau 2
antikoagulan lupus
Domain protein komplemen
- C3 rendah atau C4 rendah 3
- C3 rendah dan C4 rendah 4

38
Domain imunologi Poin
Domain antibody yang sangat spesifik
- Antibodi anti-dsDNA 6
- Antibodi anti-Smith 6
Keterangan : pasien dimasukkan dalam klasifikasi LES jika skor total ≥10 dengan
minimal satu kriteria klinis.
3.1.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus
Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil
pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)
meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin
tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu,
hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria,
hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel
darah merah pada urin.
2. Pemeriksaan imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LES
adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada
LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan
tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai
gambaran klinis menyerupa LES misalnya infeksi krnis (tuberkulosis), penyakit
autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid,
tiroiditis autoimun) , keganasan atau pada orang normal. Jika hasil tes ANA
negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit
reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan berubah, mungkin
diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika

39
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan
menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak
sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis LES dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang
bukan LES.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis LES sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya
LES. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% - 30% pasien LES, tes ini jarang
dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk
LES, dan dapat digunakan untuk diagnosis LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih
spesifik untuk LES. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak
menyingkirkan diagnosis.11

3.1.7 Derajat Berat Ringannya Penyakit


Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama
menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan
efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan
untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya
gambaran tingkat keparahan LES.
Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa11 :

1. Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah:


a. Secara klinis tenang

40
b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.
2. Kriteria LES derajat sedang adalah:
a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II) \
b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
c. Serositis mayor
3. Kriteria LES derajat berat dan dapat membahayakan jiwa:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri
koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru,
pneumonitis, emboli paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.

3.1.8 Penatalaksanaan LES Secara Umum


1. Edukasi
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan
dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru
terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita

41
atau dengan membentuk kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk
membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami
fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu
banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk selalu
menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau
payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi
terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita LES juga harus
menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik,
penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa.
Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan
menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama
penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang
merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau dapat
mencetuskan eksaserbasi akut LES dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus.
Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama
kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif
yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan
tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif.
Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis
tinggi dan imunosupresan lainnya.12
2. Terapi Konservatif
a) Athritis, athralgia dan myalgia1

42
Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan
analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus
diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya agar
tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem
gastrointestinal, hepar dan ginjal haru diperhatikan, misalnya dengan
memeriksa kreatinin serum secara berkala.
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak memberikan
respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria,
misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini
tidak memberikan efek yang baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin
lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan
evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina.
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat
dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria,
dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis
tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15
mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada
penderita LES.
b) Lupus Kutaneus1
Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas.
Eksaserbasi akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar
ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-kadang juga sinar fluoresensi.
Penderita fotosensitivitas harus berlindung terhadap paparan sinar-sinar
tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan,
menghindari paparan langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian besar
sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung
PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap
sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah

43
mandi atau berkeringat.
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat
dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus hati-
hati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat
menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi teleangiektasis dan fragilitas. Untuk
kulit muka dianjurkan penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah
dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan dan lengan
dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason
valerat dan triamsinolon asetonid. Untuk lesi hipertrofik, misalnya di daerah
palmar dan plantar pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan
tinggi, misalnya betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid
berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti
dengan yang berkekuatan lebih rendah.
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik
lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek
sunsblocking, antiinflamasi dan imunosupresan. Pada penderita yang resisten
terhadap antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid
sistemik. Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus
diskoid, vaskulitis dan lesi LES berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem
hematopoetik adalah methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan anemia
hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam LES di kulit.
c) Kelelahan dan Keluhan Sistemik1
Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita
LES, demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga dapat
timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan
demam dapat juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus
bersikap simpati dalam mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak
memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu istirahat dan mengatur
jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan aktivitas

44
penyakit LES dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.
d) Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan
tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan
salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis
rendah (15 mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid
sistemik untuk mengontrol penyakitnya.
4. Terapi Agresif
a) Kortikosteroid12
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan
LES. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping,
kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai
antiin•lamasi dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang digunakan juga
bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini
maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam
menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada
LES yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk LES yang
aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang
berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral. Pulse terapi
kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa,
induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini ini biasanya diberikan
intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon diberikan selama 3 hari
berturut-turut.

Tabel 3.5 Terminologi Pembagian Kortikosteroid


Dosis rendah < 7.5 mg prednison atau setara perhari
Dosis sedang >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari
Dosis tinggi >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari

45
Dosis sangat >100 mg prednison atau setara perhari
tinggi
Terapi pulse >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau
beberapa hari
b) Sparing Agen Kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan
menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol penyakit
dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agent ini adalah
siklofosfamid azatioprin, siklosporin dan metrotrexate.13
1) Siklofosfamid1, Indikasi siklofosfamid pada LES :
 Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid
sparing agent).
 Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis
tinggi.
 Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka
lama atau berulang.
 Glomerulonefritis difus awal.
 LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
 Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin
serum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
 LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl
0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24
jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada
terapi LES. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1
bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian
siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan
memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan penurunan
fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai

46
500-750 mg/m2.14
Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus
dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis
siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan
jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid
yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus ditingkatkan 10% pada
pemberian berikutnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan
muntah, alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan
fungsi ovarium dan azoospermia.

2) Azatioprin1
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan
sebagai alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3
mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral. Obat ini dapat diberikan
selama 6-12 bulan pada penderita LES, setelah penyakitnya dapat
dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis
azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah
penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik.
Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik,
peningkatan enzim hati dan mencetuskan keganasan.
3) Siklosporin1
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan
LES adalah Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini
dapat digunakan pada LES baik tanpa manifestasi renal maupun
dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan
tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila kadar
kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum
pemberian siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan.15,16

47
Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan LES dapat dilihat dibawah
ini

Keterangan :
TR : Tidak respon CYC : Siklofosfamid
RS : Respon sebagian AZA : Azatioprin
RP : Respon penuh MP : Metilprednisolon
OAINS : Obat anti inflamasi non steroid NPLES: Neuropsikiatri LES
KS : Kortikosteroid setara prednisolon

48
Tabel 3.6 Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada SLE

49
50
3.1.10 Komplikasi
Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa
psikosis, epilepsi, sindroma otak organik, periferal dan cranial neuropati, transverse
myelitis, stroke. Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari obat
kortikosteroid. Perbedaan antara keduanya dapat diketahui dengan menurunkan atau
menaikkan dosis steroid. Psikosis lupus membaik bila dosis steroid dinaikkan, dan
pada psikosis steroid membaik bila dosisnya diturunkan.
Komplikasi  renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik. Manifestasi
yang paling sering berupa proteinuria. Histopatologi lesi renal bervariasi mulai
glomerulonefritis fokal sampai glomerulonfritis membranoploriferatif difus.
Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan asimtomatik sampai progresif dan
mematikan. Karena kasus yang ringan semakin sering dideteksi, insidens yang
bermakna semakin menurun. Ada 2 macam kelainan patologis pada renal berupa
nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan

51
manifestasi terberat. Klinis berupa sebagai sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal
kronik.16

3.1.11 Prognosis
Prognosis penderita bervariasi setiap individunya, mulai dari SLE ringan
sampai SLE berat. Semakin berat derajat keparahannya, maka semakin rendah angka
survivalnya. Meskipun pengobatan SLE telah meningkatkan angka survivalnya
dengan tercapainya remisi yang komplit berdasarkan gejala klinis dan laboratozrium
yang menunjukkan penyakit tidak aktif lagi. Harus tetap dilakukan pengontrolan
karena dapat terjadi flare pada 65% populasi pasien.
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik,
banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus
yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal,
tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat
dikendalikan. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis
yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-
paru, jantung dan ginjal yang berat.1

3.2 Hipertiroid
A. Definisi
Hipertiroid didefinisikan sebagai tingginya kadar hormon tiroid yang
disebabkan oleh peningkatan sintesis dan sekresi hormon tiroid dari kelenjar
tiroid.18

Istilah "tirotoksikosis", disisi lain, digunakan untuk menggambarkan


"kelebihan hormon tiroid", dan dapat disebabkan oleh peningkatan sintesis
hormon tiroid dalam kelenjar tiroid (hipertiroidisme), tetapi juga dapat terjadi
tanpa adanya hipertiroidisme, misalnya, pada pasien dengan kebocoran hormon
tiroid dari kelenjar tiroid (tiroiditis) atau pada pasien dengan kelebihan asupan
hormon tiroid.18

52
B. Epidemiologi
Prevalensi kasus hipertiroidisme di Indonesia berkisar 6.9% (Indonesian Basic
Health Research Data, 2007) dan di Amerika Serikat, prevalensi keseluruhan
hipertiroidisme adalah 1,2% dan 0,8% di Eropa. Hipertiroidisme meningkat
berdasarkan umur dan lebih sering mengenai wanita. Perbandingan rasio antara
wanita dan laki-laki adalah 8:1 manifestasi muncul pada dekade ketiga dan
keempat dalam kehidupan.19

Pada beberapa keadaan gejala dan tanda hipertiroid sangat jelas, dan secara
pemeriksaan fisik saja sudah segera dapat ditegakkan adanya tirotoksikosis.
Pada umumnya untuk mendiagnosis adanya tirotoksikosis dan menentukan
penyebabnya diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh,
cermat, teliti, dibantu dengan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
laboratorium kadar TSHs dan FT4, terkadang T3 total.19

C. Etiologi
Penyebab tersering hipertiroidisme adalah penyakit Graves. Penyakit Graves
adalah suatu penyakit autoimun ketika tubuh secara salah menghasilkan
Thyroid Stimulating Imunnoglobulin (TSI) yang juga dikenal dengan Long-
Acting Thyroid Stimulator (LATS), suatu antibody yang sasarannya adalah
reseptor TSH di sel tiroid.17
Penyebab hipertiroidime antaralain:
1. Tiroid
a. Grave Disease
b. Adenoma toksik
c. Toksik nodular goiter
d. McCune-Albrigth
e. Tiroiditis sub akut

53
f. Tiroiditis limfositik kronik
2. Hipofisis
a. Adenoma hipofisis
b. Hipofisis resisten terhadap T4
3. Lain-lain
a. Eksogen
b. Iodine Induced Hyperthyoidism

c. hCG

D. Patofisiologi
Hipertiroidisme disebabkan oleh adanya Thyroid Stimulating
Imunnoglobulin (TSI) suatu antibodi yang sasarannya adalah reseptor TSH di
sel tiroid. TSI merangsang sekresi dan pertumbuhan tiroid mirip dengan yang
dilakukan oleh TSH. Namun, tidak seperti TSH, TSI tidak dipengaruhi inhibisi
umpan-balik negatif hormon tiroid sehingga sekresi dan pertumbuhan tiroid
berlanjut tanpa kendali.17

Gambar 3.1 Peran TSI pada penyakit Graves17


Akibat peningkatan tersebut, pada pasien hipertiroid terjadi peningkatan laju
metabolisme basal (LMB). Peningkatan produksi panas yang terjadi
menyebabkan keringat berlebihan dan intoleransi panas. Berat tubuh biasanya

54
turun karena tubuh menggunakan bahan bakar dengan kecepatan abnormal
cepat. Terjadi penguraian neto simpanan karbohidrat, lemak, dan protein.
Berkurangnya protein otot yang terjadi menyebabkan kelemahan. Berbagai
kelainan kardiovaskular berkaitan dengan hip ertiroidisme, baik oleh efek
langsung hormon tiroid maupun oleh interaksinya dengan katekolamin.
Kecepatan denyut dan kekuatan kontraksi dapat meningkat sedemikian besars
ehingga individu mengalami palpitasi (jantung berdebar-debar). Efek pada SSP
ditandai oleh peningkatan berlebihan kewaspadaan mental hingga ke titik ketika
pasien mudah tersinggung, tegang, cemas, dan sangat emosional.

Gambar 3.2 Patofisologi Hipertioroidisme19


E. Gejala dan Tanda
Hipertiroid/ penyakit Graves memiliki gejala-gejala patoknomonik sebagai
ciri khas atau tanda khusus. Beberapa gejala patognomonik yang menyertai
yaitu:
a. Eksoftalmus
Eksoftalmus disebabkan karena limfosit sitotoksik dan antibodi sitotoksik yang
bersintesis dengan antigen serupa seperti TSH reseptor yang ditemukan di
orbital fibroblast, otot orbital, dan jaringan tyroid. Sitokin yang berasal dari

55
limfosit yang disintesis menyebabkan inflamasi di orbital fibroblast dan otot
ekstraokular, dan hasilnya adalah pembengkakan pada otot orbital.20

Gambar 3.3 Eksoftalmus19


Pada hipertiroidisme imunogenik, eksoftalmus dapat ditambahkan terjadi akibat
peningkatan hormone tiroid, penonjolan mata dengan diplopia, aliran air mata
yang berlebihan, dan peningkatan fotofobia juga terjadi. Penyebabnya terletak
pada reaksi imun terhadap antigen retrobulbar yang tampaknya sama dengan
reseptor TSH. Akibatnya terjadi pembengkakan otot mata, infiltrasi limfosit,
akumulasi asam mukopolisakarida, dan peningkatan jaringan ikat retrobulbar.21
b. Tremor
Berbeda dengan tremor yang biasa tejadi pada penyakit Parkinson, tremor pada
penyakit Graves merupakan tremor lembut, bukan tremor kasar. Tremor halus
terjadi dengan frekuensi 10-15 x/detik, dan dianggap sebagai efek dari
bertambahnya kepekaan sinaps saraf pengatur tonus otot di daerah medulla.19
c. Gejala Lain19,20
- Nafsu makan meningkat, tetapi berat badan turun
Tingginya kadar hormon tiroid menyebabkan terjadinya peningkatan
metabolisme pada tubuh. Sehingga, tubuh memerlukan asupan makanan yang
lebih banyak untuk megimbanginya.
- Berat badan turun
Peningkatan metabolisme yang terjadi karena banyaknya hormon tiroid
membuat tbuh menggunakan senyawa-senyawa glukagonik yang ada di dalam
otot untuk membentuk glukosa melalui proses glukoneogenesis. Karena diambil

56
dari otot, maka pemakaian senyawa glukogenik secara terus-menerus dapat
mengurangi massa otot sehingga berat badan pun bisa mengalami penurunan.
- Berdebar-debar
Peningkatan kadar triiodotironin (T3) sebagai salah satu hormon tiroid dapat
merangsang saraf simpatis yang berkaitan dengan hormon-hormon yang
dibentuk medulla suprarenal, yaitu epinephrin dan norepinephrin. Kedua
hormon tersebut dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung dengan cara
menstimulasi α dan β reseptor, terutama β reseptor yang berada di membran
plasma otot jantung.
- Peningkatan frekuensi buang air kecil dengan konsistensi normal
Hormon tiroid berperan dalam meningkatkan kecepatan sekresi getah
pencernaan dan pergerakan saluran cerna, sehingga hipertiroidisme seringkali
menyebabkan diare.

F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada hipertiroid dapat ditemukan dua kelompok gambaran utama, yaitu
tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya dapat juga tidak tampak. Tiroidal
dapat berupa goiter karena hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme
akhibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala hipertiroidisme dapat
berupa hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang meningkat seperti pasien
mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat berlebih, berat badan
menurun sementara nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan
kelemahan atau atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal dapat ditemukan seperti
oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang terbatas pada tungkai bawah
biasanya.19,20
Skoring penyakit hipertiorid dapat digunakan berdasarkan gejala dan
keluhan yang di alami pasien dengan menggunakan skoring Index Wayne. Pada
index Wayne di dapatkan range skoring +45 hingga –25 dimana jika skor >19 ,

57
maka dapat dikatakan hipertiroid toxic sedangkan jika skor <11 maka dapat
dikatakan euthiroid. Sedangkan kondisi dimana skoring 11 hingga 19 katakakan
kondisi equivocal. Penggunaan awal index wayne ditujukan untuk membantu
menegakkan diagnosis hipertiroid dengan kondisi keterbatasan pemeriksaan
lengkap lebih lanjut.18

Gambar 3.4 Indeks Wayne19


Pada anamnesis riwayat keluarga dan penyakit turunan, pada hipertiroid
perlu juga mengonfirmasi apakah ada riwayat keluarga yang memiliki penyakit
yang sama atau memiliki penyakit yang berhubungan dengan autoimun.19
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat jelas manifestasi ekstratiroidal yang
berupa oftalmopati yang ditemukan pada 50-80% pasien yang ditandai dengan
mata melotot, fissura paplebra melebar, kedipan berkurang, lid lag
(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan
konvergensi. Pada manifestasi tiroidal dapat ditemukan goiter difus,
eksoftalmus, palpitasi, suhu badan meningkat, dan tremor.21
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakkan diagnosis adalah
pemeriksaan kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau FT41 (free thyroxine index),
pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi anti tiroglobulin dan antimikrosom,

58
penguruan kadar TSH serum, test penampungan yodium radiokatif (radioactive
iodine uptake) dan pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning).14
4. Gold Standar Diagnosis

Gold standard yang digunakan dalam klinis adalah serum TSH dan FT4.21

Gambar 3.5 Pemeriksaan Penunjang21

G. Tatalaksana
1. Farmakologis
Hipertiroid dapat diberikan obat antitiroid golongan tionamid. Obat anti
tiroid yang sering dipakai dari golongan thionamide adalah propylthiouracyl
(PTU), methimazole (MMI) dan carbimazole (CBZ). Golongan thionamide
menghambat kopling iodiotironin dan mengurangi biosintesis hormone tiroid.
Mekanisme kerja PTU dengan menghambat perubahan T4 menjadi T3 di
jaringan tepi obat anti tiroid merupakan pilihan pengobatan lini pertama dan
pengobatan jangka pendek pada kasus Grave disease sebelum terapi RAI atau
Tiroidektomi.19
Dosis awal MMI biasanya di mulai dengan 10-30 mg pemberian sekali
sehari tergantung dengan tingkat keparahan hipertiroid (CBZ 14-40 mg/hari)
dan PTU dengan dosis 100 mg setiap 8 jam. Pemeriksaan fungsi tes hormone

59
tiroid sebaikya di ulang lagi 3-4 minggu sejak awal treatment dan penurunan
dosis di lakukan berdasarkan level serum FT4 dan T3.19
Pada suatu studi, penggunaan propanolol (20-40 mg setiap 6 jam) bertujuan
untuk menurunkan gejala-gejala hipertiroidisme yang diakibatkan peningkatan
kerja dari β-adrenergic seperti palpitasi dan tremor. Propanolol juga dikatakan
dapat menurunkan perubahan T4 ke T3 di jaringan perifer sehingga dapat
menurunkan jumlah hormone yang dalam bentuk aktif.19
2. Nonfarmanologis

Pada terapi nonfarmakologi, penderita hipertiroid dapat diedukasi untuk diet


tinggi kalori dengan memberikan kalori 2600-3000 kalori per hari baik dari
makanan main dari suplemen, konsumsi protein tinggi 100-125 gr (2,5 gr/kg
BB) per hari untuk mengatasi proses pemecahan protein jaringan seperti susu
dan telur, olah raga teratur, serta mengurangi rokok, alkohol, dan kafein yang
dapat meningkatkan kadar metabolisme.19

60
BAB IV
ANALISA KASUS

Sebuah kasus atas nama Ny.N usia 30 tahun diantar keluarga ke RSUD Raden
Mattaher pada tanggal 3 Maret 2021 Diagnosis pasien ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
didapatkan keluhan utamanya adalah badan yang semakin lemas dua minggu SMRS.
Badan lemas semakin hari semakin memberat sehingga pasien tidak dapat
beraktivitas seperti biasanya. Kurangnya sel darah merah seringkali menjadi
penyebab badan lemas. Hal ini didukung dengan hasil nilai HB Ny. N 8,56 mg/dl.
Angka ini menunjukkan kesan Anemia. Anemia adalah defisiensi jumlah sel darah
merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) yang dikandungnya.
Akibatnya, pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah dan sel jaringan
terbatas oksigen dalam jumlah yang tidak cukup ke jaringan perifer yang ditandai
oleh menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah di
bawah normal.
Klasifikasi anemia berdasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin dalam
sel dibedakan menjadi anemia sel-makrositik (besar), normositik (normal), dan
mikrositik (kecil) dan kandungan hemoglobin hipokromik (warna pucat) dan
normokromik (warna normal). Pada Ny. N didapatkan anemia berupa normositik
normokromik karena nilai MCV dan MCH normal. Pada pasien ini terjadi anemia
diduga karena penyakit kronis. Hal ini ditandai dengan rasa lelah dan penurunan berat
badan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis. Penyakit kronis yang
terjadi karena adanya inflamasi kronis seperti sistemik lupus eritematosus yang

61
terjadi pada pasien. Anemia pada pasien ini dikoreksi dengan asam folat.Pada pasien
terjadi pansitopenia (anemia, leukopenia, trombositopenia) yang disebabkan
kegagalan sumsum tulang untuk memproduksi komponen darah / akibat kerusakan
komponen darah tepi di darah tepi / akibat maldistribusi komponen darah.
Selain itu pasien juga kehilangan kalium (hipokalemia) untuk itu dikoreksi
dengan rehidrasi menggunakan IVFD KAEN-3B yang memiliki kalium 20 mEq serta
ditambah dengan suplemen kalium tablet. Pasien mengalami perbaikan hipokalemia
pada hari kesembilan perawatan. Namun, pemberian kalium harus selalu dipantau
karena dapat terjadi hiperkalemia hingga aritmia jantung. Dengan menggunakan
rumus koreksi kalium yaitu delta kalium x 0,3 x BB ((4 – 3,22 ) x 0,3 x 45 ) = 10,53.
Selain badan lemas pasien juga mengeluhkan nyeri di ulu hati, nyeri semakin
sering dirasakan, nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dan nyeri
berkurang setelah istirahat. Pasien juga mengeluhkan muntah berisi air dan sedikit
makanan hingga 3 kali sehari. Nyeri yang dirasakan karena terjadi peningkatan
sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di
perut. Muntah yang dialami pasien dapat menyebabkan hilangnya cairan dalam tubuh
sehingga terjadi dehidrasi. Dehidrasi merupakan suatu keadaan penurunan total air di
dalam tubuh karena hilangnya cairan secara patologis, asupan air tidak adekuat atau
kombinasi keduanya. Kondisi lemas juga merupakan gejala dari dehidrasi. Ditemukan
protein pada urin pasien ini bisa disebabkan karena kekurangan cairan atau dehidrasi
yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke ginjal dimana jika GFR menurun
maka akan meningkatkan difusi protein ke dalam tubulus karena darah mengalir
lambat sehingga darah terlalu lama di glomerulus. Sehingga menjadi komplikasi pada
ginjal yaitu nefritis lupus dengan manifestasi paling sering yaitu proteinuria.
Selain badan lemas pasien juga mengeluhkan penurunan berat badan yang drastis
yaitu dari berat badan pasien yang sebelumnya 65 kg menjadi 45 kg. Pasien
mengeluhkan bengkak di kedua kakinya. Pasien juga mengeluhkan adanya bercak-
bercak pada wajah, tangan dan kaki. Pasien juga mengeluhkan jika terkena sinar
matahari maka kulit wajah dan tangan langsung berwarna merah. Hal ini menunjukan

62
adanya proses inflamasi yang sedang berlangsung serta terjadinya penurunan berat
badan karena gangguan hati pada pasien.
Selain itu pasien juga merasakan gugup, jantungnya berdebar-debar, mudah
berkeringat walaupun tidak melakukan aktivitas dan selalu merasa lelah. Namun
pasien suka dengan udara dingin. Pasien juga mengeluhkan gemetar pada kedua
tangan nya. Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan dan penurunan berat
badan. Hal ini sesuai dengan teori berdasarkan indeks wayne dalam menegakkan
diagnosis hipertiroid.

63
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien Ny.N berusia 30 tahun datang ke RSUD Raden Mattaher
dengan keluhan badan lemas, muntah yang berisi air dan makanan yg dikonsumsi,
nyeri ulu hati, BAB hitam, dan penurunan berat badan. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan konjungtiva anemis, bercak pada wajah,tangan dan kaki, nyeri tekan pada
ulu hati, bercak pada wajah,tangan dan kaki, dan bengkak pada kedua kaki. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan Hb menurun (Anemia), Kalium menurun
(Hipokalemi), SGOT dan SGPT meningkat, T4 meningkat dan Protenuria

64
DAFTAR PUSTAKA

1. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan


pengelolaan lupus eritematosus sistemik; 2019.
2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit
dalam Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014
3. Asad, A. Zohaib, S. Systemic Lupus Erythematosus: An Overview of the
Disease Pathology and Its Management. NCBI; 2018.
4. Annagret, K. Gisela, B. The Diagnosis and Treatment of Systemic Lupus
Erythematosus; NCBI; 2015.
5. Roberts, A. Systemic lupus erythematosus an update on treat to target. Journal of the
american academy of Pas; 2015.
6. Chaim, P. Robertom C. Systemic lupus erythematosus. Journal of immunology
research; 2015.
7. Zeineb, Z. Mouna, M. Immunological and clinical characteristics of systemic lupus
erythematosus: A series from Morocco; 2018.
8. Huneif, M. Diagnosis and management of systemic lupus erythematosus: a report;
2017.
9. Yanih, I. Quality of life in patient with systemic lupus erythematosus; 2016.
10. Anindito, B. Rudy, H. Validity and realibility of lupus quality of life questionnaire in
patients with systemic lupus erythematosus in Indonesia. Indonesian journal of
rheuumatology; 2016.
11. Bernard, T. Nancy, J. Systemic lupus erythematosus diagnosis and management.
British society of rheumatology; 2017.
12. Gordon, C. The british society for rheumatology for management of systemic lupus
erythematosus in adults. Rheumatology; 2018.
13. Li, H. Lin, S. Diagnostic valueof serum complement C3 and C4 levels in chines
patients with systemic lupus erythematosus. Clin rheumatol; 2015.
14. Fanouriakis, A. Alunno, A. 2019 update of the EULAR recommendations for the
management of systemic lupus erythematosus. Ann rheum dis; 2019.
15. Mok, K. Theurapeutic monitoring of the immunomudulating drugs in systmeic lupus
erythematosus. Clin Immunol; 2017.
16. Touma, Z. Urowitz, M. Systemic lupus erythematosus basic. Elsevier; 2016.
17. Sherwood L. Introduction to human physiology. 8th edition. New Zealand:
Cengage Learning. 2013.

65
18. Deswita F, Puspitasari D. Penyakit tiroid pada kehamilan: diagnosis dan
manajemen. Medula. 2019;9(1):186-191.
19. Srikadi N, Suwidnya I. Hipertiroidisme Graves Disease;Case Report. Jurnal
Kedokteran rafelsia. 2020;6(1):30-35.
20. Gardner, David G, Dolores Shoback. Basic and Clinical Endocrinology.
Jakarta: Sagung Seto. 2007.
21. Schteingart, D.E. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam Huriawati H., Natalia S.,
Pita W., Dewi A.M (Editors). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Dalam. Penerbit Buku Kedokteran: EGC. 2006: 1225-36.

66

Anda mungkin juga menyukai