Disusun Oleh :
Liana Ika Suwandy, S.Ked
G1A220011
Pembimbing
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Report
Session (CRS) yang berjudul “General Anastesi pada Pemasangan VP Shunt Atas
Indikasi Hydrocephalus” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Provinsi Jambi.
General anestesi atau anestesi umum yaitu meniadakan nyeri secara sentral
dan menghilangkan kesadaran secara reversible. Perhatian utama pada anestesi
umum adalah keamanan dan keselamatan pasien yang salah satunya ditentukan
oleh kestabilan pernapasan dan hemodinamik. Keuntungan teknik anestesi ini
adalah pasien tertidur selama pembedahan dan terbangun setelah di ruang
pemulihan sehingga dapat dilakukan tindakan pembedahan dengan optimal.
Nama : Ny. JW
Umur : 61 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
BB / TB : 65 kg/ 170 cm
2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Muntah berulang sebanyak 10x sejak ± 4 jam SMRS.
Nadi : 89 x/i
RR : 22 x/i
Suhu : 36,8OC
Saturasi O2 : 99%
a. Kepala
Bentuk : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor, reflek cahaya (+/+)
Mulut : Gigi palsu (-), trismus (-), rahang bawah maju (-)
b. Leher
KGB : Tidak ada pembesaran
Kelenjar Tiroid : Tidak ada pembesaran
JVP : Tidak meningkat
Deviasi trakea : (-)
Mallampati : Grade I
c. Pulmo
Inspeksi : Simetris, ketinggalan gerak (-), deformitas (-)
Palpasi : Nyeri (-), krepitasi (-), fremitus taktil
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) di seluruh lapangan paru
d. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicular sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
e. Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-)
Auskultasi : BU (+)
Palpasi : Massa (-), NT (-), Nyeri lepas (-), hepar, lien, dan
ginjal tidak teraba
Perkusi : Timpani
f. Ekstremitas
Akral : Hangat
Sianosis : (-)
Edema : (-)
g. Genitalia
Jenis kelamin laki-laki, anomaly (-)
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
●
●
●
●
Kesan:
● Leukositosis
● Anemia Normositik Normokrom
Kesan :
● Sinus rhytm
3. Hasil Pemeriksaan
Kesan :
● Tampak lesi hiperdens berdensitas pendarahan di thalamus
kanan dengan perifocal edema, mendesak dan menyempitkan
ventrikel lateralis kanan
● Terdapat pergeseran garis tengah ke sisi kiri sejauh +/- 0,4 cm.
● Tampak lesi hiperdens berdensitas pendarahan di intraventrikel
lateralis kanan kiri terutama sisi kanan (total estimasi volume
+/- 14,9 cc)
● Terdapat kalsifikasi prominen di basal ganglia bilateral dan
cerebellum sisi kanan kiri
● Ventrikel kanan kiri tampak melebar
● Sulci cerebri dan fissure Sylvi bilateral tampak melebar
Usia : 61 th
No. RM 979221
Ruangan : Bedah
TINDAKAN ANESTESI
Ondansetron 8 mg (IV)
Ketorolac 30 mg (IV)
Persiapan Alat
Anestesi Umum :
Posisi : Supine
Infus : Ringer Laktat
BB : 65 Kg
Medikasi :
Jumlah Cairan :
Input
IVFD RL 1000 cc
Output
Urine : ± 200 cc
Perdarahan : ± 20 cc
Cairan pus :-
GCS : E4V5M6
Tanda Vital
Nadi : 80 x/menit
RR : 22 x/menit
SpO2 : 98%
Pernafasan : Baik
Steward Score :
Pergerakan 2
Pernafasan 2
Kesadaran 2
Jumlah 6
3.1.1 Definisi
Tiga pilar anestesi umum atau yang sering disebut dengan trias anestesi
meliputi hipnotik atau sedative yaitu membuat pasien tertidur atau mengantuk
(tenang), analgesia atau anti nyeri agar pasien tidak merasakan sakit, dan relaksasi
otot yang berguna untuk melumpuhkan otot-otot skelet.2,3
Terjadinya kasus salah identitas dan salah operasi bukan cerita untuk
menakut-nakuti atau dibuat-buat, karena memang pernah terjadi diIndonesia.
Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokkan dengan gelang
identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis
bagian tubuh yang akan dioperasi.
a) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapatkan perhatian khusus, misalnya alergi, mual muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang
anestesi berikutnya dengan lebih baik. Kita harus pandai-pandai memilah
apakah cerita pasien termasuk alergi atau efek samping. Beberapa peneliti
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah di masa lampau
sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan
ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin uyang menimbulkan apnoe
berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya
dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang
mempengaruhi system kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk
mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk
mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alcohol juga harus
dicurigai akan adanya penyakit hepar.
b) Pemeriksaan Fisik
● Keadaan psikis : Gelisah,takut, kesakitan
● Keadaan gizi : Malnutrisi atau obesitas
● Tinggi dan berat badan : Untuk memperkirakan dosis obat,
terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan
sesudah pembedahan.
● Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
● Jalan nafas (airway) : Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui
adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan
fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi.
c) Pemeriksaan Penunjang
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang
mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat
untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan darah) dan urinalisis. Pada usia pasien di
atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.
d) Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan
yang tidak perlu harus dihindari.
f) Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif
dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral 2 buku biru
selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. dewasa umumnya puasa
6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air
putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.
3.1.4 Premedikasi
Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah
anestesia umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-waktu
dikonversikan menjadi anestesi umum. 3
Induksi Intravena
a) Barbiturat
Bekerja menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem
sirkulasi (perangsangan) di formasio retikularis. Contohnya pentothal atau
sodium thiopenthon ialah obat anestesi intravena yang bekerja cepat (short
acting). Barbiturat menghambat pusat pernafasan di medula oblongata.
Tidal volume menurun dan kecepatan nafas meninggi dihambat oleh
barbiturat tetapi tonus vascular meninggi dan kebutuhan oksigen badan
berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturat tidak menimbulkan
sensitisasi jantung terhadap katekolamin. (1 amp 500 mg atau 1000 mg)
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan
2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis
3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan
pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi
napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan
intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 .
Dosis rendah bersifat antianalgesia.6
b) Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) dikemas dalam cairan emulsi
lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml =
10 mg). suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis
bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena
total 4-
12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena
lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi
lebih
cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa
lebih baik .Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat.Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain. 3,7
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan
kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedatif yang
lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca
operasi yang minimal. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat.
Obat ini didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Propofol tidak
mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih
sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang
rendah propofol memiliki efek antiemetik. 7
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. 7
c) Ketamin
Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Kurang digemari karena sering menimbulkan
takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan
untuk mengurangi saliva diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus
1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam
cairan bening kepekatan 1% (1ml=10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (1ml =
100 mg). 6
d) Opioid
1. Midazolam
Obat induksi jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan
anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya cepat
dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat menimbulkan sedasi dan
induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5 mg/ml. Mula kerja 30
detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak pada IV 3-5 menit, IM
15-30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM. Konsentrasi plasma
maksimum dicapai dalam 30 menit. Midazolam menyebabkan
tekanan darah menurun, lebih rendah dari diazepam, penurunan
sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi
perifer.Efek depresi pernafasan minimal.Juga menurunkan
metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre
medikasi 0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-
0,4 mg/kgbb IV.8
2. Diazepam
Obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot, antikonvulsi
dan amnesia..Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi liver.
Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi diazepam kurang
memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya
lama. Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi
(menimbulkan sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama),
meringankan kecemasan, anxietas atau stress akut, dan prosedur
seperti berkurangnya ingatan, juga untuk induksi anestesia
terutama pada penderita dengan penyakit kardiovaskular.
Diazepam juga
digunakan untuk medikasi preanestetik dan untuk mengatasi
konvulsi. Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang
disertai nistagmus dan 9 bicara lambat, tetapi tidak berefek
analgesik. Dosis premedikasi 10-20mg IM, induksi 0,3-0,6
mg/kgBB IV. Anak- anak 0,1-0,2 mg/kgBB 1 jam sebelum
induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV tergantung indikasi
dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml. Injeksi dilakukan
secara lambat ± 0,5-1 ml/menit, karena pemberian terlalu cepat
dapat menimbulkan apnoe.
Induksi Inhalasi
a) N2O
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak
bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat
anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan
cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah.
Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot.
Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi
pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak
oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah
dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum
anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau
kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai
dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60%:40%, 70%:30%,
atau 50%:50%. 3,10
b) Halotan
Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas
kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon
klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan
aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia
hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak. Kebalikan dari
N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi
keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi. Kelebihan dosis
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan
inhibisi reflex baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat.
Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga meninggikan kadar gula
darah. 3,10
c) Enfluran
Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan.Efek depresi
nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih iritatif
dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi
terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan.3,10
d) Isofluran
Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi
meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini
dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan gangguan coroner.
e) Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia
inhalasi di samping halotan.Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,
jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.Belum ada
laporanMerupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia
inhalasi di samping halotan.Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,
jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada laporan
yang membahayakan terhadap tubuh manusia.
Efek Analgesia
a. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan
dengann reseptor morfin. Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid
sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih
terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus,
hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi reticular dan di korda
spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf
usus. Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat
(morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular. Penggolongan lain
menjadi natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik
(heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin,
fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).
● Morfin: Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan
golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long
acting).
● Petidin: Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang
formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek
klinik dan efek samping yang mendekati sama.
● Fentanil: Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan
100 x morfin. Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan
menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan
intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hamper sama
dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama
melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan
hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek
depresi napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-
3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit,
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi, serta mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.6
a) Pra Operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti
pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan
cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap
kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b) Intra Operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
● Ringan : 4 ml/kgbb/jam
● Sedang : 6 ml/kgbb/jam
● Berat : 8 ml/kgbb/jam
3.1.9 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan
batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya. 12
Nilai warna
kulit
Merah muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
Pernapasan
Sirkulasi
Aktivitas
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Tidak bergerak 0
Pernapasan
Batuk, menangis 2
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
3.2 Hidrosefalus
3.2.1 Definisi
Hidrosefalus adalah pelebaran ventrikel otak disertai peningkatan tekanan
intrakranial akibat meningkatnya jumlah cairan serebrospinal (CSS). Hidrosefalus
terjadi karena 3 hal yaitu obstruksi aliran CSS di sistem ventrikel otak, absorbsi
CSS di vili arakhnoid yang menurun dan produksi CSS di pleksus koroid yang
abnormal.14
3.2.2 Etiologi
Hidrosefalus terjadi karena gangguan sirkulasi likuor di dalam sistem
ventrikel atau oleh produksi likuor yang berlebihan. Hidrosefalus terjadi bila
terdapat penyumbatan aliran likuor pada salah satu tempat, antara tempat
pembentukan likuor dalam sistem ventrikel dan tempat absorpsi dalam ruang
subarakhnoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS di bagian
proksimal sumbatan. Tempat yang sering tersumbat dan terdapat dalam klinis
adalah foramen Monro, foramen Luschka dan Magendi, sisterna magna dan
sisterna basalis. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada
bayi dan anak:14
3.2.3 Klasifikasi
Hydrocephalus dapat di klasifikasikan berdasarkan :14
1. Berdasarkan usia
4. Berdasarkan Etiologi
a. Kongenital
a) Stenosis akuaduktus serebri
Mempunyai berbagai penyebab. Kebanyakan disebabkan oleh infeksi
atau perdarahan selama kehidupan fetal; stenosis kongenital sejati
adalah sangat jarang. (Toxoplasma/T.gondii, Rubella/German measles,
X- linked hidrosefalus).14
b) Sindrom Dandy-Walker
Malformasi ini melibatkan 2-4% bayi baru lahir dengan hidrosefalus.
Etiologinya tidak diketahui. Malformasi ini berupa ekspansi kistik
ventrikel IV dan hipoplasia vermis serebelum. Hidrosefalus yang terjadi
diakibatkan oleh hubungan antara dilatasi ventrikel IV dan rongga
subarachnoid yang tidak adekuat; dan hal ini dapat tampil pada saat
lahir, namun 80% kasusnya biasanya tampak dalam 3 bulan pertama.
Kasus semacam ini sering terjadi bersamaan dengan anomali lainnya
seperti agenesis korpus kalosum, labiopalatoskhisis, anomali okuler,
anomali jantung, dan sebagainya.
c) Malformasi Arnold-Chiari
Anomali kongenital yang jarang dimana 2 bagian otak yaitu batang otak
dan cerebelum mengalami perpanjangan dari ukuran normal dan
menonjol keluar menuju canalis spinalis
d) Aneurisma vena Galeni
Kerusakan vaskuler yang terjadi pada saat kelahiran, tetapi secara
normal tidak dapat dideteksi sampai anak berusia beberapa bulan. Hal
ini terjadi karena vena Galen mengalir di atas akuaduktus Sylvii,
menggembung dan membentuk kantong aneurisma. Seringkali
menyebabkan hidrosefalus.
b. Didapat (Acquired)
a) Stenosis akuaduktus serebri (setelah infeksi atau perdarahan)
3.2.4 Patofisiologi
Hidrosefalus pada bayi (sutura masih terbuka pada umur kurang dari 1
tahun) didapatkan gambaran :15
● Kepala membesar
● Sutura melebar
● Fontanella kepala prominen
● Mata kearah bawah (sunset phenomena)
● Perkusi kepala : “cracked pot sign” atau seperti semangka masak.
● Vena – vena dikulit kepala melebar
● Sakit kepala
● Kesadaran menurun
● Gelisah
● Mual, muntah proyektil
● Hiperfleksi seperti kenaikan tonus anggota gerak
● Gangguan perkembangan fisik dan mental
● Papil edema; ketajaman penglihatan akan menurun dan lebih lanjut dapat
mengakibatkan kebutaan bila terjadi atrofi papila N.II.
Hidrosefalus tekanan normal
Hidrosefalus ini dicirikan dengan trias demensia, gangguan berjalan dan
inkontinensia urin.Hal ini terutama pada penderita dewasa.Gangguan berjalan
dicirikan oleh berjalan lambat, langkah pendek dengan pengurangan ketinggian
langkah dan ataksia dimana kaki diletakkan di permukaan jalan dengan kekuatan
yang bervarisasi. Pada saat mata tertutup akan tampak jelas keidakstabilan postur
tubuh. Tremor dan gangguan gerakan halus jari-jari tangan akan mengganggu
tulisan tangan penderita.
3.2.6 Pemeriksaan penunjang
● CT Scan
Pada hidrosefalus obstruktif CT scan sering menunjukkan adanya
pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas
ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak yang besar.
Ventrikel IV sering ukurannya normal dan adanya penurunan densitas
oleh karena terjadi reabsorpsi transependimal dari CSS.
Pada hidrosefalus komunikan gambaran CT scan menunjukkan
dilatasi ringan dari semua sistem ventrikel termasuk ruang
subarakhnoid di proksimal dari daerah sumbatan.
Keuntungan CT scan :
3.2.7 Penatalaksanaan
A. Non operatif
B. Operatif
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi sekitar 15 menit sebelum dilakukan
operasi. Berdasarkan teori, tindakan premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam
sebelum induksi bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesia diantaranya untuk meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar
induksi anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan
jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan
amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang
membahayakan. Tindakan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan
general anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan
rumatan inhalasi. Induksi pada pasien ini dengan injeksi Fentanil 100 mcg dan
propofol 100 mg, serta pemasangan ETT no.7.
Berdasarkan teori, induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anestesi. Pada pasien ini diberikan fentanil 100 mcg, dimana berdasarkan teori
golongan opioid (morfin, petidin, fentanyl dan sufentanil) untuk induksi diberikan
dalam dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestsia opioid
digunakan fentanyl dosis induksi 100 mcg. Dosis pada pasien ini sudah tepat.
Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 1040 cc selama operasi, terdiri dari
jumlah cairan pengganti puasa 780 cc, maintenance 130 cc, stress operasi 520 cc.
Cairan yang telah masuk RL sebanyak 1000 cc, Fentanyl 100 mcg : 2 cc, Propofol
100 cc, Atracurium 30 cc. Kebutuhan cairan pada pasien ini cukup terpenuhi.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang ini
pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak berdekatan
dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang memerlukan
pembedahan ulang tidakakan mengalami kesulitan. Pada saat di RR, dilakukan
monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi oksigen,
EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena
kesakitan atau karena hipoksia (TD turun, nadi cepat, misalnya karena hipovolemik).
Bila kesakitan harus diberikan analgetik namun jika gelisah karena hipoksia harus
diobati sebabnya, misalnya dengan menambah cairan elektrolit (RL), koloid, darah.
Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar penuh. Pasien hendaknya jangan dikirim
keruangan sebelum sadar, tenang, reflek jalan nafas sudah aktif, tekanan darah, nadi
dalam batas normal. Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete
lebih dari 8. Pasien pindah dan dibawa ke ruang rawat bangsal bedah pada jam 11.00
WIB.
BAB V
KESIMPULAN
1. Morgan GE., Michail MS., Muray MJ. Clinical anesthesiology. 5th ed.
New York: Lange; 2013.
2. Elliott J, Smith M. The acute management of intracerebral hemorrhage: a
clinical review. Anesth Analg. 2010
3. Soenarto, R.F. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care FKUI. Jakarta; 2012.
4. Yu, H., & Wu, D. Effects of different methods of general anesthesia on
intraoperative awareness in surgical patients. Medicine; 2017
5. Doyle DJ, Goyal A, Bansal P, Garmon EH. American Society of
Anesthesiologists Classification. 2021 Jul 7. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan–. PMID: 28722969.
6. Brash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C.
Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA : Lippincott Williams
& Wilkins; 2009
7. International Journal of Anesthesiology & Pain Medicine. MedPub; 2015
8. Mahmoud, M., & Mason, K. P. Recent advances in intravenous anesthesia
and anesthetics; 2018.
9. Yao, FF. Yao & Artusio’s Anestheiology 7th Edition. NewYork: Wolters
Kluwer. 2012
10. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2002. Hal 29-69
11. Tsim, P. Howatson, A. Basic science breathing systems in anesthesia.
World Federation of Society of Anaesthesiologists; 2016.
12. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2002. Hal 74-83
13. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2002. Hal 64-69
14. Harsono, Editor. Perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia.
Hidrosefalus: Buku Ajar Neurologi Klinik. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press; 2005. Hal. 209-16.
15. Sivagnanam M. and Neilank K., Hydrocephalus: An Overview, Wayne
State University. USA