Anda di halaman 1dari 51

s

CLINICAL REPORT SESSION (CRS)


*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A220011/Desember 2021
**Pembimbing/dr. Sulistyowati, Sp.An

GENERAL ANESTESI PADA PEMASANGAN VP SHUNT ATAS


INDIKASI HYDROCEPHALUS

Liana Ika Suwandy,S.Ked*

dr. Sulistyowati, Sp.An **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL REPORT SESSION (CRS)

GENERAL ANESTESI PADA PEMASANGAN VP SHUNT ATAS


INDIKASI HYDROCEPHALUS

Disusun Oleh :
Liana Ika Suwandy, S.Ked
G1A220011

Sebagai Syarat Dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Desember 2021

Pembimbing

dr. Sulistyowati, Sp.An

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Report
Session (CRS) yang berjudul “General Anastesi pada Pemasangan VP Shunt Atas
Indikasi Hydrocephalus” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Sulistyowati, Sp.An yang


telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah laporan


kasus ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakannya. Penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Desember 2021

Liana Ika Suwandy, S.Ked


BAB I
PENDAHULUAN

General anestesi atau anestesi umum yaitu meniadakan nyeri secara sentral
dan menghilangkan kesadaran secara reversible. Perhatian utama pada anestesi
umum adalah keamanan dan keselamatan pasien yang salah satunya ditentukan
oleh kestabilan pernapasan dan hemodinamik. Keuntungan teknik anestesi ini
adalah pasien tertidur selama pembedahan dan terbangun setelah di ruang
pemulihan sehingga dapat dilakukan tindakan pembedahan dengan optimal.

Hidrosefalus merupakan suatu kondisi dimana meningkatnya tekanan


intrakranial akibat akumulasi cairan serebro spinalis (CSS) pada sistem ventrikel
otak karena tidak seimbangnya produksi, aliran, dan penyerapan cairan. 1
Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur dan tidak ada perbedaan ras.
Hidrosefalus dapat disebabkan oleh kelainan kongenital dan didapat.2 Salah satu
kelainan didapat penyebab hidrosefalus adalah perdarahan intraventrikular.

Intraventricular Hemorrage (IVH) adalah perdarahan yang terjadi secara


langsung pada bagian atau substansi otak. Berdasarkan aspek etilogi perdarahan
tersebut dapat dibedakan menjadi perdarahan primer dan perdarahan sekunder.
Perdarahan primer merupakan perdarahan spontan pada orang dewasa yang
sebagian besar terjadi akibat hipertensi kronik. Hipertensi kronik dapat
menyebabkan pecahnya arterior sehingga terjadi perdarahan didalam ventrikel
otak. Perdarahan sekunder terjadi akibat trauma, tumor, dan akibat pengunaan
obat. Insidensi hidrosefalus kongenital sebesar 1 kasus per 1000 kelahiran hidup.
Di Amerika Serikat, kejadian hidrosefalus 0,5-4 per 1000 kelahiran. Berbeda
dengan hidrosefalus kongenital, hidrosefalus dewasa didapatkan kira-kira 40 %
dari seluruh kasus hidrosefalus. Prevelansi Hipertensi dan pengunaan alkohol
yang tinggi pada populasi di negara Jepang dapat meningkatkan insidensi
penyakit ini. 4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. JW

Umur : 61 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam

BB / TB : 65 kg/ 170 cm

Alamat : Sungai ulak merangin, Bangko


Ruangan : Bedah
Diagnosis : Hydrocephalus et causa IVH
Tindakan : VP Shunt
MRS : 12 Desember 2021

2.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama :
Muntah berulang sebanyak 10x sejak ± 4 jam SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Os dirujukan dari RS Kol Abunjani bangko dengan keluhan
muntah berulang sebanyak 10x sejak ± 4 jam SMRS. Keluarga os
mengatakan bahwa os awalnya mengeluhkan nyeri kepala seperti ditekan.
Nyeri kepala yang dirasakan semakin lama semakin memberat. Os sudah
pernah dilakukan pemasangan vp-shunt. Lalu pasien dirujuk ke RS Raden
Mattaher Provinsi Jambi untuk dilakukan revisi vp-shunt bersama dokter
SP.BS
Riwayat Penyakit Dahulu :

 Riwayat Hipertensi : Ada, tidak terkontrol

 Riwayat Asma : Tidak ada


 Riwayat DM : Tidak ada
 Riwayat Operasi : Ada

Riwayat Kebiasaan : Merokok (-), alkohol (-)

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakitsedang

Kesadaran : CM, E4M6V5

Tekanan Darah : 160/100 mmHg

Nadi : 89 x/i

RR : 22 x/i

Suhu : 36,8OC

Saturasi O2 : 99%

a. Kepala
Bentuk : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor, reflek cahaya (+/+)
Mulut : Gigi palsu (-), trismus (-), rahang bawah maju (-)

b. Leher
KGB : Tidak ada pembesaran
Kelenjar Tiroid : Tidak ada pembesaran
JVP : Tidak meningkat
Deviasi trakea : (-)
Mallampati : Grade I

c. Pulmo
Inspeksi : Simetris, ketinggalan gerak (-), deformitas (-)
Palpasi : Nyeri (-), krepitasi (-), fremitus taktil
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) di seluruh lapangan paru
d. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicular sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)

e. Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-)
Auskultasi : BU (+)
Palpasi : Massa (-), NT (-), Nyeri lepas (-), hepar, lien, dan
ginjal tidak teraba
Perkusi : Timpani

f. Ekstremitas
Akral : Hangat
Sianosis : (-)
Edema : (-)

g. Genitalia
Jenis kelamin laki-laki, anomaly (-)
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Darah Rutin (04/12/21)


Jenis Hasil Nilai Satuan
Rujukan
Hemoglobin 11.7 (L) 13.4-15.5 g/
d
L
Hematokrit 34.9 34.5-54 %
Eritrosit 4.25 4.0-5.0 x10 /uL
6

MCV 82.0 80- fL


96
MCH 27.6 27- p
31 g
MCHC 33.6 32-
36 g/dL
RDW 11.5 %
Trombosit 286. 150-
450 x103/uL
PCT 0.183 0.150- %
0.400
MPV 6.39 (L) 7.2- fL
11.1
PDW 18.8 (H) 9- fL
13
Leukosit 14.7 (H) 4.0-
10.0 x103/uL
Jenis Hasil Nilai Rujukan Satuan
Neutrofil 13.4 x103/uL
Limfosit 1.00 x103/uL
Monosit 0.341 x103/uL
Eosinofil 0.006 x103/uL
Basofil 0.015 x103/uL
Neutrofil% 90.7 (H) 50- %
70
Lymfosit% 6.79 (L) 18- %
42
Monosit% 2.32 2- %
11
Eosinofil% 0.041(L) 1-3 %
Basofil% 0.102 0-2 %




Kesan:
● Leukositosis
● Anemia Normositik Normokrom

b. Kimia klinik (04/12/21)

Pemeriksaa Hasil Nilai Satuan


n
Rujuka
n
Faal Hati
SGOT 12 (L) 15-37
u/L
SGPT 19 14-63
u/L
Faal Ginjal
Ureum 42 (H) 15-39 mg/dl
Kreatinin 0.93 0.55-1.3 mg/dl
Elektrolit (04/12/2021)
Natrium 154 (H) 135-147 mmol/L
Kalium 4.21 3.5-5.0 mmol/L
Chlorida 101.7 95-105 mmol/L
Calcium ion+ 1.30 (H) 1.00- mmol/L
+ 1.15
Lainnya
GDS 95 <200 mg/dL
CT 5 1-6 menit
BT 3 5-15 menit

Kesan : hipernatremi, hiperkalsemia


2. Hasil Pemeriksaan EKG (13 desember 2021)

Kesan :
● Sinus rhytm

3. Hasil Pemeriksaan

Kesan :
● Tampak lesi hiperdens berdensitas pendarahan di thalamus
kanan dengan perifocal edema, mendesak dan menyempitkan
ventrikel lateralis kanan
● Terdapat pergeseran garis tengah ke sisi kiri sejauh +/- 0,4 cm.
● Tampak lesi hiperdens berdensitas pendarahan di intraventrikel
lateralis kanan kiri terutama sisi kanan (total estimasi volume
+/- 14,9 cc)
● Terdapat kalsifikasi prominen di basal ganglia bilateral dan
cerebellum sisi kanan kiri
● Ventrikel kanan kiri tampak melebar
● Sulci cerebri dan fissure Sylvi bilateral tampak melebar

2.5 KUNJUNGAN PRA ANESTESI

1. Pemantauan Status Fisik ASA : III Non-Emergency


2. Mallampati : Grade I
3. Persiapan Pra Anestesi :
- Informed consent keluarga
- Persiapan operasi :
● Siapkan PRC 1x250 cc
● Puasa 6 jam sebelum operasi
● Siapkan surat izin operasi

2.6 LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 08 Desember 2021


Nama : Tn.JW

Usia : 61 th

Jenis Kelamin : Laki-laki

TB/BB : 65 kg/ 170 cm

No. RM 979221

Ruangan : Bedah

Diagnosa : Hidrocephalus et causa IVH


Tindakan : VP Shunt
Operator : dr. Rhonaz PA, Sp.BS
Ahli Anestesi : dr. Sulistyowati, Sp.An

TINDAKAN ANESTESI

Diagnosis Pra Bedah : Hidrocephalus et causa IVH


Jenis Pembedahan : VP Shunt

Status Fisik ASA III

Jenis Anestesi : Anestesi umum

Pramedikasi : Midazolam 3 mg (IV)

Ondansetron 8 mg (IV)

Ketorolac 30 mg (IV)

Persiapan Alat

 Scope : Stetoskop dan laringoskop


 Tube : ETT no 7
 Airway : Oropharingeal airway (Goodle)
 Tape : Plester panjang 2 buah, pendek 2 buah
 Introducer : Mandrin
 Connetor : Penyambung pipa
 Suction : Suction

Anestesi Umum :

 Induksi intravena dengan Fentanil 5 μg dan induksi inhalasi dengan


Sevofluran 2%
 Intubasi dengan ETT no.7 dengan laringoskop blade lengkung
 Maintenance dengan Sevofluran dan O2

Pemeliharaan anestesi : Sevofluran dan O2

Posisi : Supine
Infus : Ringer Laktat

Status Fisik : ASA III

Induksi Mulai : 09.00 WIB

Operasi Mulai : 09.30 WIB

Operasi Selesai : 10.30 WIB

BB : 65 Kg

Durasi Operasi : 1 jam

Pasien Puasa : 6 jam

Medikasi :

 Fentanyl 100 mcg (IV)


 Propofol 100 mg (IV)
 Atracurium 30 mg (IV)

KEADAAN SELAMA OPERASI

Letak Penderita : Supine

Intubasi : Oral, tube no.7

Penyulit Intubasi : Tidak ada

Lama Anestesi : ± 1 jam

Jumlah Cairan :

Input

 IVFD RL 1000 cc

 Fentanyl 100 mcg : 2 cc


 Propofol 100 cc
 Atracurium 30 cc

Output

 Urine : ± 200 cc
 Perdarahan : ± 20 cc
 Cairan pus :-

Kebutuhan cairan pasien ini :

 Maintenance (M) : 2 cc x kgbb/jam = 130 cc/jam


 Pengganti Puasa (PP) : Puasa x Maintenance = 6 jam x 130 cc/jam
= 780 cc/jam
 Stres Operasi (SO) : 8 cc/kgbb/jam = 520 cc/jam
 Estimated Blood Volume : 75 cc x BB = 4875 cc
 Estimated Blood Loss : 20% x EBV = 975 cc
 Kebutuhan cairan selama operasi :
Jam I : ½ PP + SO + M = 1040 cc
Jam TD Na SpO Keterangan
RR di 2
08.4 135/8 22 92 99 ▪ Pasien masuk ke kamar operasi,
5 4 %
dan dipindahkan ke meja operasi
▪ Pemasangan alat monitoring,
tekanan darah, saturasi, nadi
▪ Diberikan cairan RL dan obat
premedikasi (Ondansetron 8mg,
Ketorolac 30mg, dan Tramadol
100mg)
09.0 132/8 1 72 99 ▪ Pasien dipersiapkan untuk induksi
0 1 7 %
▪ Dilakukan preoksigenisasi
menggunakan sungkup 3-5 menit
▪ Pasien diberikan analgesik
fentanyl 125 mcg, induksi dengan
propofol 160 mg, cek refleks bulu
mata. Kemudian pasien
dipasangkan sungkup dan mulai
di bagging, lalu diberikan
relaksan yaitu Atracurium 40 mg.
09.1 110/6 16 69 99 ▪ Setelah di bagging selama 5
5 8 %
menit, pasien di intubasi dengan
ETT no. 7,5
▪ Dilakukan auskultasi di kedua
lapang paru untuk memastikan
ETT terpasang dengan benar
▪ ETT dihubungkan dengan ventilator
▪ ETT difiksasi dengan plester
▪ Dipasang kateter no 16
▪ Operasi di mulai
09.3 101/6 16 68 99 ▪ ETT dihubungkan dengan
0 4 %
ventilator (TV 500ml, I:E ratio
1:2, RR 16x/mnt, PEEP 3)
▪ ETT difiksasi dengan plester/tape
▪ Dipasang kateter no 16
▪ Diberi sevoflurane 2% dan N2O
▪ Operasi di mulai
10.1 94/62 16 71 100
5 %

10.3 93/65 16 73 100 OPOPERASI SELESAI


0 %

2.7 KEADAAN PASCA ANESTESI

Masuk Jam : 10.55 WIB

Kesadaran : Compos mentis

GCS : E4V5M6

Tanda Vital

 Nadi : 80 x/menit
 RR : 22 x/menit
 SpO2 : 98%

Pernafasan : Baik

Steward Score :

 Pergerakan 2
 Pernafasan 2
 Kesadaran 2

Jumlah 6

2.8 INSTRUKSI POST ANESTESI


 Monitoring tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit
 Puasa sampai sadar penuh
 Tirah baring tanpa bantal
 Instruksi lain sesuai dr. Rhonaz PA, Sp.BS
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 GENERAL ANESTESI

3.1.1 Definisi

General anestesi adalah tindakan yang bertujuan untuk menghilangkan


nyeri, membuat tidak sadar dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversible
dan dapat di prediksi. Anestesia Umum Juga menyebabkan yang bersifat
anterograde yaitu hilagnya ingatan saat dilakukan pembiusan dan operasi
sehingga pada saat pasien sudah sadar, pasien tidak akan mengingat peristiwa
pembedahan yang baru saja dilakukan.2

3.1.2 Komponen dalam General Anestesi

Tiga pilar anestesi umum atau yang sering disebut dengan trias anestesi
meliputi hipnotik atau sedative yaitu membuat pasien tertidur atau mengantuk
(tenang), analgesia atau anti nyeri agar pasien tidak merasakan sakit, dan relaksasi
otot yang berguna untuk melumpuhkan otot-otot skelet.2,3

3.1.3 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi 2,3

Persiapan pra bedah yang kurang memadai merupakan factor penyumbang


sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesi. Dokter spesialis anestesiologi se
yogya nya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar ia dapat menyiapkan
pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar. Kadang-
kadang dokter spesialis anestesiologi mempunyai waktu terbatas untuk
menyiapkan pasien, sehingga persiapan kurang sempurna. Penundaan jadwal
operasi akan merugikan semua pihak, terutama pasien dan keluarganya. Tujuan
utama kunjungan pra anestesi ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Terjadinya kasus salah identitas dan salah operasi bukan cerita untuk
menakut-nakuti atau dibuat-buat, karena memang pernah terjadi diIndonesia.
Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokkan dengan gelang
identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis
bagian tubuh yang akan dioperasi.

a) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapatkan perhatian khusus, misalnya alergi, mual muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang
anestesi berikutnya dengan lebih baik. Kita harus pandai-pandai memilah
apakah cerita pasien termasuk alergi atau efek samping. Beberapa peneliti
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah di masa lampau
sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan
ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin uyang menimbulkan apnoe
berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya
dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang
mempengaruhi system kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk
mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk
mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alcohol juga harus
dicurigai akan adanya penyakit hepar.
b) Pemeriksaan Fisik
● Keadaan psikis : Gelisah,takut, kesakitan
● Keadaan gizi : Malnutrisi atau obesitas
● Tinggi dan berat badan : Untuk memperkirakan dosis obat,
terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan
sesudah pembedahan.
● Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
● Jalan nafas (airway) : Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui
adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan
fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi.

Gambar 3.1 Skor mallampati

● Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung


● Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
● Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia,
atau tanda regurgitasi.
● Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional. Pemeriksaan rutin lain
secara sistematik tentang keadaan umum tertentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
sistem organ tubuh pasien.

c) Pemeriksaan Penunjang
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang
mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat
untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan darah) dan urinalisis. Pada usia pasien di
atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.
d) Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan
yang tidak perlu harus dihindari.

e) Klasifikasi status fisik 5


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA).
Kalsifikasi fisik ini bukanlah alat prakiraan resiko anestesia, karena
dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping
pembedahan.

● ASA I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik,


biokimia. Contoh: Sehat, tidak obesitas (BMI di bawah 30), pasien
yang tidak merokok dengan toleransi olahraga yang baik.
● ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang. Contoh: Pasien tanpa keterbatasan fungsional dan penyakit
terkontrol dengan baik (misalnya, hipertensi yang diobati, obesitas
dengan BMI di bawah 35, peminum sering, atau perokok).
● ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktifitas rutin terbatas. Contoh: Pasien dengan beberapa
keterbatasan fungsional karena penyakit (misalnya, hipertensi atau
diabetes yang tidak diobati dengan baik, obesitas morbid, gagal
ginjal kronis, penyakit bronkospastik dengan eksaserbasi intermiten,
angina stabil, alat pacu jantung implan).
● ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktifitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat. Contoh: Pasien dengan keterbatasan
fungsional dari penyakit berat yang mengancam jiwa (misalnya,
angina tidak stabil, PPOK yang tidak terkontrol, CHF simtomatik,
infark miokard atau stroke baru-baru ini (kurang dari tiga bulan
yang lalu).
● ASA V : Seorang pasien sekarat yang diperkirakan tidak
akan bertahan hidup tanpa operasi. Pasien diperkirakan tidak akan
bertahan hidup lebih dari 24 jam berikutnya tanpa pembedahan—
contoh: aneurisma aorta perut yang pecah, trauma masif, dan
perdarahan intrakranial ekstensif dengan efek massa.
● ASA VI : Pasien mati otak yang organnya diambil dengan
maksud untuk ditransplantasikan ke pasien lain
● Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E 2

f) Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif
dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral 2 buku biru
selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. dewasa umumnya puasa
6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air
putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.
3.1.4 Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi


dilakukan, dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan, dan ketika pasien bangun
dari anestesi. 3Tujuan premedikasi sangat beragam yaitu untuk mengurangi
kecemasan/ ketakutan, memperlancar induksi dan anestesi, mengurangi sekresi
ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestesi, mengurangi mual dan
muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung,
mengurangi isi cairan lambung, dan mengurangi reflek yang membahayakan. 2,3

3.1.5 Keuntungan dan Kerugian General Anestesi

Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah
anestesia umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-waktu
dikonversikan menjadi anestesi umum. 3

Keuntungan General Anestesi

a) Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedurmedis


berlangsung.
b) Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapatakibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis.
c) Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
d) Memfasilitasi kontrol saluran napas, pernapasan, dan sirkulasi
e) Dapat digunakan dalam kasus-kasus sensitivitas terhadap agen anestesi
lokal
f) Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
Kerugian General Anestesi

a) Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi


tumpul dibawah anestesia umum.
b) Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit.
c) Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.
d) Risiko komplikasi pascabedah lebih besar
e) Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama
3.1.6 Induksi Anestesi

Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar


menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan
pembedahan. Sebelum memulai induksi anestesia sebaiknya disiapkan peralatan
dan obat-obatan yang diperlukan.

a) Scope : Stetoscope dan laryngoscope.


b) Tubes : pipa trakea yang dipilih bisa sesuai dengan usia, usia < 5
tahun tanpa balom dan usia > 5 tahun dengan balon.
c) Airway : oropharyngeal airway yang berfungsi untuk menahan
lidah pasien saat tidak sadar, untuk menjaga agar lidah tidak menutup jalan
napas
d) Tape : plester untuk memfiksasi orotracheal airway supaya tidak
terdorong atau terlepas
e) Introducer : mandrain atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik
berfungsi agar pipa trakea mudah untuk dimasukkan
f) Suction : penyedot lender. 3

Induksi Intravena

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah


terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
3,6

a) Barbiturat
Bekerja menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem
sirkulasi (perangsangan) di formasio retikularis. Contohnya pentothal atau
sodium thiopenthon ialah obat anestesi intravena yang bekerja cepat (short
acting). Barbiturat menghambat pusat pernafasan di medula oblongata.
Tidal volume menurun dan kecepatan nafas meninggi dihambat oleh
barbiturat tetapi tonus vascular meninggi dan kebutuhan oksigen badan
berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturat tidak menimbulkan
sensitisasi jantung terhadap katekolamin. (1 amp 500 mg atau 1000 mg)
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan
2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis
3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan
pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi
napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan
intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 .
Dosis rendah bersifat antianalgesia.6
b) Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) dikemas dalam cairan emulsi
lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml =
10 mg). suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis
bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena
total 4-
12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena
lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi
lebih
cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa
lebih baik .Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat.Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain. 3,7
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan
kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedatif yang
lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca
operasi yang minimal. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat.
Obat ini didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Propofol tidak
mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih
sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang
rendah propofol memiliki efek antiemetik. 7
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. 7
c) Ketamin
Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Kurang digemari karena sering menimbulkan
takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan
untuk mengurangi saliva diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus
1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam
cairan bening kepekatan 1% (1ml=10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (1ml =
100 mg). 6

d) Opioid
1. Midazolam
Obat induksi jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan
anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya cepat
dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat menimbulkan sedasi dan
induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5 mg/ml. Mula kerja 30
detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak pada IV 3-5 menit, IM
15-30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM. Konsentrasi plasma
maksimum dicapai dalam 30 menit. Midazolam menyebabkan
tekanan darah menurun, lebih rendah dari diazepam, penurunan
sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi
perifer.Efek depresi pernafasan minimal.Juga menurunkan
metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre
medikasi 0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-
0,4 mg/kgbb IV.8
2. Diazepam
Obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot, antikonvulsi
dan amnesia..Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi liver.
Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi diazepam kurang
memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya
lama. Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi
(menimbulkan sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama),
meringankan kecemasan, anxietas atau stress akut, dan prosedur
seperti berkurangnya ingatan, juga untuk induksi anestesia
terutama pada penderita dengan penyakit kardiovaskular.
Diazepam juga
digunakan untuk medikasi preanestetik dan untuk mengatasi
konvulsi. Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang
disertai nistagmus dan 9 bicara lambat, tetapi tidak berefek
analgesik. Dosis premedikasi 10-20mg IM, induksi 0,3-0,6
mg/kgBB IV. Anak- anak 0,1-0,2 mg/kgBB 1 jam sebelum
induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV tergantung indikasi
dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml. Injeksi dilakukan
secara lambat ± 0,5-1 ml/menit, karena pemberian terlalu cepat
dapat menimbulkan apnoe.

Induksi Inhalasi

Induksi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan inhalan


berupa gas. Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N2O,
halotan, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran. Agen ini dapat diberikan dan
diserap secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui
paruparu (alveoli). Mekanisme kerja obat inhalasi ditentukan oleh ambilan paru,
difusi gas dari paru ke darah dan distribusi ke organ. Sedangkan konsentrasi uap
obat anestetik dalam alveoli ditentukan oleh konsentrasi inspirasi, ventilasiObat
anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N2O, halotan, enfluran,
isofluran, desfluran, sevofluran. Agen ini dapat diberikan dan diserap secara
terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui paruparu (alveoli).
Mekanisme kerja obat inhalasi ditentukan oleh ambilan paru, difusi gas dari paru
ke darah dan distribusi ke organ. Sedangkan konsentrasi uap obat anestetik dalam
alveoli ditentukan oleh konsentrasi inspirasi, ventilasi alveolar, koefisien gas
darah, curah jantung, dan perfusi. 3,10

a) N2O
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak
bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat
anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan
cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah.
Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot.
Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi
pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak
oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah
dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum
anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau
kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai
dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60%:40%, 70%:30%,
atau 50%:50%. 3,10
b) Halotan
Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas
kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon
klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan
aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia
hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak. Kebalikan dari
N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi
keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi. Kelebihan dosis
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan
inhibisi reflex baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat.
Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga meninggikan kadar gula
darah. 3,10
c) Enfluran
Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan.Efek depresi
nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih iritatif
dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi
terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan.3,10
d) Isofluran
Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi
meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini
dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan gangguan coroner.
e) Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia
inhalasi di samping halotan.Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,
jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.Belum ada
laporanMerupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia
inhalasi di samping halotan.Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,
jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada laporan
yang membahayakan terhadap tubuh manusia.

3.1.7 Macam-Macam Obat Keseimbangan Anestesi

Efek Analgesia

Metoda penghilang nyeri, biasanya digunakan golongan opioid untuk nyeri


hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, non steroidal anti
inflammatory drugs) untuk nyeri sedang atau ringan. Metoda menghilangkan nyeri
dapat dengan cara sistemis (oral, rectal, transdermal, sublingual, subkutan,
intramuscular, intravena atau perinfus).12

a. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan
dengann reseptor morfin. Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid
sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih
terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus,
hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi reticular dan di korda
spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf
usus. Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat
(morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular. Penggolongan lain
menjadi natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik
(heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin,
fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).
● Morfin: Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan
golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long
acting).
● Petidin: Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang
formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek
klinik dan efek samping yang mendekati sama.
● Fentanil: Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan
100 x morfin. Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan
menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan
intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hamper sama
dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama
melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan
hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek
depresi napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-
3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit,

karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan


tidak untuk pasca bedah.

Dosis besar 50-150 ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia


dan pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan
anestetik kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah
dengan pelumpuh otot.12
● Sufentanil: Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek
pulihnya lebih cepat dari fentanil. Kekuatan analgesinya kira-kira
5- 10 kali fentanil. Dosisnya 0,1-0,3 mg/kgBB.
● Alfentanil: Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-
muntahnya sangat besar. Mula kerjanya cepat.Dosis analegesinya
10-20 ug/kgBB.
● Tramadol: Analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor
mu dan kelamahan analgesinya 10-20% dibanding morfin.
Tramadol dapat diberikan dengan dosis maksimal 400 mg per
hari.12

Efek Muscle Relaxan

Relaksan otot adalah obat yang mengurangi ketegangan otot dengan


bekerja pada saraf yang menuju otot (misalnya kurare, suksinilkolin). Berdasarkan
perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot dapat
dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh
otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan
singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau
aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I
depolarisasi' blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi.13

a. Muscle relaxan golongan depolarizing


Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah
sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup
lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi
yang
diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin
(diasetilkolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin
dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi
suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin)
dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase.13
b. Muscle relaxan golongan non-depolarizing
Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya,
sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Farmakokinetik obat pelumpuh
otot nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat intravena. Rerata
obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan
inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat
(klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah'
anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada
farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh
anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik seperti
dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot
yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu
dengan adanya anestesi volatile. Bila volume distribusi menurun akibat
peningkatan ikatan protein' dehidrasi' atau perdarahan akut' dosis obat
yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi
nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak
dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan
sebagai injeksi cepat intravena.13

c. Penawar pelumpuh otot


Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan
adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4
mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang
hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh
otot
bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan,
bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur
sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti atropine (dosis
0,01- 0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3
mg pada dewasa).13

3.1.8 Terapi Cairan

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi, serta mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.6

Pemberian cairan operasi dibagi menjadi :

a) Pra Operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti
pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan
cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap
kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b) Intra Operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
● Ringan : 4 ml/kgbb/jam
● Sedang : 6 ml/kgbb/jam
● Berat : 8 ml/kgbb/jam

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10


% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila
perdarahan lebih dari 10% maka dapat dipertimbangkan pemberian
plasma/ koloid/ dekstran.
c) Pasca Operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.6

3.1.9 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan
batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya. 12

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan


perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete
dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak,
tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa.
Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.12

Tabel 3.1 Aldrete score (dewasa)

Nilai warna
kulit
Merah muda 2

Pucat 1

Sianosis 0

Pernapasan

Bernapas dalam, batuk 2

Bernapas dangkal, dispneu 1


Apneu/ obstruksi 0

Sirkulasi

Perbedaan TD < 20% TD awal 2

Perbedaan TD 20-50% TD awal 1

Perbedaan TD > 50% TD awal 0

Aktivitas

Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2

2 ekstremitas dapat digerakkan 1

Tidak dapat digerakkan 0

Jika total skor > 8, maka pasien dapat dipindahkan ke ruangan.

Tabel 3.2 Steward score (anak-anak)

Pergerakan

Gerak bertujuan 2

Gerak tidak bertujuan 1

Tidak bergerak 0

Pernapasan

Batuk, menangis 2

Pertahankan jalan napas 1

Perlu bantuan 0

Kesadaran
Menangis 2

Bereaksi terhadap rangsangan 1

Tidak ada reaksi 0

Jika total skor > 5, maka pasien dapat dipindahkan ke ruangan.

3.2 Hidrosefalus

3.2.1 Definisi
Hidrosefalus adalah pelebaran ventrikel otak disertai peningkatan tekanan
intrakranial akibat meningkatnya jumlah cairan serebrospinal (CSS). Hidrosefalus
terjadi karena 3 hal yaitu obstruksi aliran CSS di sistem ventrikel otak, absorbsi
CSS di vili arakhnoid yang menurun dan produksi CSS di pleksus koroid yang
abnormal.14
3.2.2 Etiologi
Hidrosefalus terjadi karena gangguan sirkulasi likuor di dalam sistem
ventrikel atau oleh produksi likuor yang berlebihan. Hidrosefalus terjadi bila
terdapat penyumbatan aliran likuor pada salah satu tempat, antara tempat
pembentukan likuor dalam sistem ventrikel dan tempat absorpsi dalam ruang
subarakhnoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS di bagian
proksimal sumbatan. Tempat yang sering tersumbat dan terdapat dalam klinis
adalah foramen Monro, foramen Luschka dan Magendi, sisterna magna dan
sisterna basalis. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada
bayi dan anak:14

3.2.3 Klasifikasi
Hydrocephalus dapat di klasifikasikan berdasarkan :14
1. Berdasarkan usia

a. Hidrosefalus tipe kongenital / infantil ( bayi )


b. Hidrosefalus tipe juvenile / adult ( anak-anak / dewasa ) .
2. Proses Terbentuknya Hydrocephalus
● Hydrocephalus Akut, yaitu hydrocephalus yang tejadi secara
mendadak yang diakibatkan oleh gangguan absorbsi CSS (Cairan
Serebrospinal).
● Hydrocephalus Kronik, yaitu hydrocephalus yang terjadi setelah
cairan CSS mengalami obstruksi beberapa minggu.
3. Berdasarkan Anatomi / tempat obstruksi CSS
a. Hidrosefalus tipe obstruksi / non komunikans.
Terjadi bila CSS otak terganggu (Gangguan di dalam atau pada sistem
ventrikel yang mengakibatkan penyumbatan aliran CSS dalam sistem
ventrikel otak), yang kebanyakan disebabkan oleh kongenital : stenosis
akuaduktus Sylvius (menyebabkan dilatasi ventrikel lateralis dan ventrikel
III. Ventrikel IV biasanya normal dalam ukuran dan lokasinya). Yang agak
jarang ditemukan sebagai penyebab hidrosefalus adalah sindrom Dandy-
Walker, Atresia foramen Monro, malformasi vaskuler atau tumor bawaan.
Radang (Eksudat, infeksi meningeal). Perdarahan/trauma (hematoma
subdural). Tumor dalam sistem ventrikel (tumor intraventrikuler, tumor
parasellar, tumor fossa posterior).14
b. Hidrosefalus tipe komunikans.
Terjadi karena proses berlebihan atau gangguan penyerapan (Gangguan di
luar sistem ventrikel). Penyebab Hidrosefalus tipe komunikans antara lain :
a) Perdarahan akibat trauma kelahiran menyebabkan perlekatan lalu
menimbulkan blokade villi arachnoid.
b) Radang meningeal
c) Kongenital :
- Perlekatan arachnoid/sisterna karena gangguan pembentukan.
- Gangguan pembentukan villi arachnoid
- Papilloma plexus choroideus

4. Berdasarkan Etiologi
a. Kongenital
a) Stenosis akuaduktus serebri
Mempunyai berbagai penyebab. Kebanyakan disebabkan oleh infeksi
atau perdarahan selama kehidupan fetal; stenosis kongenital sejati
adalah sangat jarang. (Toxoplasma/T.gondii, Rubella/German measles,
X- linked hidrosefalus).14

b) Sindrom Dandy-Walker
Malformasi ini melibatkan 2-4% bayi baru lahir dengan hidrosefalus.
Etiologinya tidak diketahui. Malformasi ini berupa ekspansi kistik
ventrikel IV dan hipoplasia vermis serebelum. Hidrosefalus yang terjadi
diakibatkan oleh hubungan antara dilatasi ventrikel IV dan rongga
subarachnoid yang tidak adekuat; dan hal ini dapat tampil pada saat
lahir, namun 80% kasusnya biasanya tampak dalam 3 bulan pertama.
Kasus semacam ini sering terjadi bersamaan dengan anomali lainnya
seperti agenesis korpus kalosum, labiopalatoskhisis, anomali okuler,
anomali jantung, dan sebagainya.
c) Malformasi Arnold-Chiari
Anomali kongenital yang jarang dimana 2 bagian otak yaitu batang otak
dan cerebelum mengalami perpanjangan dari ukuran normal dan
menonjol keluar menuju canalis spinalis
d) Aneurisma vena Galeni
Kerusakan vaskuler yang terjadi pada saat kelahiran, tetapi secara
normal tidak dapat dideteksi sampai anak berusia beberapa bulan. Hal
ini terjadi karena vena Galen mengalir di atas akuaduktus Sylvii,
menggembung dan membentuk kantong aneurisma. Seringkali
menyebabkan hidrosefalus.

b. Didapat (Acquired)
a) Stenosis akuaduktus serebri (setelah infeksi atau perdarahan)

Infeksi oleh bakteri Meningitis, menyebabkan radang pada


selaput (meningen) di sekitar otak dan spinal cord. Hidrosefalus
berkembang ketika jaringan parut dari infeksi meningen menghambat
aliran CSS dalam ruang subarachnoid, yang melalui akuaduktus pada
sistem ventrikel atau mempengaruhi penyerapan CSS dalam villi
arachnoid. Jika saat itu tidak mendapat pengobatan, bakteri meningitis
dapat menyebabkan kematian dalam beberapa hari. Tanda-tanda dan
gejala meningitis meliputi demam, sakit kepala, panas tinggi,
kehilangan nafsu makan, kaku kuduk.

Pada kasus yang ekstrim, gejala meningitis ditunjukkan dengan


muntah dan kejang. Dapat diobati dengan antibiotik dosis tinggi.14
b) Herniasi tentorial akibat tumor supratentorial
c) Hematoma intraventrikuler
Jika cukup berat dapat mempengaruhi ventrikel, mengakibatkan darah
mengalir dalam jaringan otak sekitar dan mengakibatkan perubahan
neurologis. Kemungkinan hidrosefalus berkembang sisebabkan oleh
penyumbatan atau penurunan kemampuan otak untuk menyerap CSS.14
d) Tumor (ventrikel, regio vinialis, fosa posterior)
Sebagian besar tumor otak dialami oleh anak-anak pada usia 5-10
tahun. 70% tumor ini terjadi dibagian belakang otak yang disebut fosa
posterior. Jenis lain dari tumor otakyang dapat menyebabkan
hidrosefalus adalah tumor intraventrikuler dan kasus yang sering 11
terjadi adalah tumor plexus choroideus (termasuk papiloma dan
carsinoma). Tumor yang berada di bagian belakang otak sebagian besar
akan menyumbat aliran CSS yang keluar dari ventrikel IV. Pada banyak
kasus, cara terbaik untuk mengobati hidrosefalus yang berhubungan
dengan tumor adalah menghilangkan tumor penyebab sumbatan.14
e) Abses/granuloma
f) Kista arakhnoid
Kista adalah kantung lunak atau lubang tertutup yang berisi cairan. Jika
terdapat kista arachnoid maka kantung berisi CSS dan dilapisi dengan
jaringan pada membran arachnoid. Kista biasanya ditemukan pada
anak- anak dan berada pada ventrikel otak atau pada ruang
subarachnoid. Kista subarachnoid dapat menyebabkan hidrosefalus non
komunikans dengan cara menyumbat aliran CSS dalam ventrikel
khususnya ventrikel III. Berdasarkan lokasi kista, dokter bedah saraf
dapat menghilangkan dinding kista dan mengeringkan cairan kista. Jika
kista terdapat pada tempat yang tidak dapat dioperasi (dekat batang
otak), dokter dapat memasang shunt untuk mengalirkan cairan agar bisa
diserap. Hal ini akan menghentikan pertumbuhan kista dan melindungi
batang otak.
5. Berdasarkan proses penyakitnya
o Acquired, yaitu hydrocephalus yang disebabkan oleh infeksi yang mengenai
otak dan jaringan sekitarnya termasuk selaput pembungkus otak (meninges).
o Ex-Vacuo, yaitu kerusakan otak yang disebabkan oleh stroke atau cedera
traumatis yang mungkin menyebabkan penyempitan jaringan otak atau
athrophy.
Selain klasifikasi diatas, terdapat hidrosefalus tekanan normal; sesuai
konvensi, sindroma hidrosefalik termasuk tanda dan gejala peninggian TIK,
seperti kepala yang besar dengan penonjolan fontanel. Akhir-akhir ini,
dilaporkan temuan klinis hidrosefalus yang tidak bersamaan dengan
peninggian TIK. Diagnosis hidrosefalus tekanan normal jika ventrikel
otaknya mengalami pembesaran, tetapi hanya sedikit atau tidak ada
peningkatan tekanan dalam ventrikel.14
Pada dewasa dapat timbul “hidrosefalus tekanan normal” akibat dari :
a) Perdarahan subarachnoid,
b) meningitis,
c) trauma kepala
d) idiopathic.

3.2.4 Patofisiologi

Secara teoritis hidrosefalus terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme


yaitu obstruksi aliran CSS di sistem ventrikel otak, absorbsi CSS di vili arakhnoid
yang menurun dan produksi CSS di pleksus koroid yang abnormal. Sebagai
konsekuensi dari tiga mekanisme diatas adalah peningkatan tekanan intrakranial
sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme
terjadinya dilatasi ventrikel masih belum dipahami dengan jelas, namun hal ini
bukanlah hal yang sederhana sebagaimana akumulasi akibat dari
ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi
ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat selama
perkembangan hidrosefalus.
Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari: 15
1. Kompensasi sistem serebrovaskular
2. Redistribusi dari CSS atau cairan ekstraseluler atau keduanya dalam
susunan sistem saraf pusat.
3. Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gangguan
viskoelastisitas otak, kelainan turgor otak).
4. Hilangnya jaringan otak
5. Pembesaran volume tengkorak (pada penderita dengan usia muda)
akibat adanya regangan abnormal pada sutura kranial.
3.2.5 Manifestasi klinis

Hidrosefalus pada bayi (sutura masih terbuka pada umur kurang dari 1
tahun) didapatkan gambaran :15

● Kepala membesar
● Sutura melebar
● Fontanella kepala prominen
● Mata kearah bawah (sunset phenomena)
● Perkusi kepala : “cracked pot sign” atau seperti semangka masak.
● Vena – vena dikulit kepala melebar

Gejala pada dewasa:

● Sakit kepala
● Kesadaran menurun
● Gelisah
● Mual, muntah proyektil
● Hiperfleksi seperti kenaikan tonus anggota gerak
● Gangguan perkembangan fisik dan mental
● Papil edema; ketajaman penglihatan akan menurun dan lebih lanjut dapat
mengakibatkan kebutaan bila terjadi atrofi papila N.II.
Hidrosefalus tekanan normal
Hidrosefalus ini dicirikan dengan trias demensia, gangguan berjalan dan
inkontinensia urin.Hal ini terutama pada penderita dewasa.Gangguan berjalan
dicirikan oleh berjalan lambat, langkah pendek dengan pengurangan ketinggian
langkah dan ataksia dimana kaki diletakkan di permukaan jalan dengan kekuatan
yang bervarisasi. Pada saat mata tertutup akan tampak jelas keidakstabilan postur
tubuh. Tremor dan gangguan gerakan halus jari-jari tangan akan mengganggu
tulisan tangan penderita.
3.2.6 Pemeriksaan penunjang

● CT Scan
Pada hidrosefalus obstruktif CT scan sering menunjukkan adanya
pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas
ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak yang besar.
Ventrikel IV sering ukurannya normal dan adanya penurunan densitas
oleh karena terjadi reabsorpsi transependimal dari CSS.
Pada hidrosefalus komunikan gambaran CT scan menunjukkan
dilatasi ringan dari semua sistem ventrikel termasuk ruang
subarakhnoid di proksimal dari daerah sumbatan.
Keuntungan CT scan :

● Gambaran lebih jelas


● Non traumatik
● Menentukan prognosis
● Penyebab hidrosefalus dapat diduga

Gambaran CT Scan normal dan pelebaran ventrikel :

Gambar : Otak normal Gambar : Pelebaran ventrikel


a. MRI
Dengan menggunakan MRI pada pasien hidrosefalus, kita dapat
melihat adanya dilatasi ventrikel dan juga dapat menentukan penyebab
dari hidrosefalus tersebut.Jika terdapat tumor atau obstruksi, maka dapat
ditentukan lokasi dan ukuran dari tumor tersebut.Selain itu pada MRI
potongan sagital akan terlihat penipisan dari korpus kalosum.

Gambar : MRI potongan sagital pada hidrosefalus nonkomunikans akibat


obstruksi pada foramen Luschka dan magendie.

3.2.7 Penatalaksanaan
A. Non operatif

Terapi medikamentosa seperti pemberian asetazolamid (dosis 30-50


mg/kgBB/hari) atau furosemid (dosis 1 mg/kgBB/hari) dapat dipakai sementara
sambil menunggu tindakan bedah.15 Pada keadaan akut dapat diberikan manitol.
Diuretik dan kortikosteroid dapat diberikan walaupun hasinya kurang
memuaskan.14

B. Operatif

Penatalaksanaan dilakukan pada hidrosefalus yang disertai peningkatan


tekanan intraventrikuler. Penatalaksanaan utama adalah tindakan bedah berupa
pemasangan pirau ventrikuloperitoneal (VP-shunt), drainase eksterna ventrikel
atau endoscopic third ventriculostomy. Tujuan dari shunt pada pasien hidrosefalus
adalah untuk mengalihkan aliran CSS ke daerah lain dari tubuh, di mana ia dapat
diserap. Tekanan intrakranial ini untuk kembali ke tingkat normal dan
meningkatkan gejala klinis. Prosedur ini melibatkan menempatkan kateter
proksimal dalam ventrikel melalui otak atau ruang subaraknoid lumbal, untuk
mengalirkan CSS. Kateter ini terhubung ke satu arah katup yang mengontrol CSS
drainase dan biasanya ditempatkan terhadap tengkorak, di bawah kulit. Cairan
kemudian mengalir melalui kateter distal yang mengumpulkan kelebihan cairan
dan mengalir ke dalam rongga peritoneum (shunt ventriculoperitoneal), atrium
kanan (shunt ventriculoatrial).
BAB IV
ANALISA KASUS

Dalam kasus ini, berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien datang


dengan keluhan utama muntah berulang sebanyak 10x sejak 4 jam SMRS.
Keluarga os mengatakan bahwa sebelumnya mengeluhkan sakit kepala seperti
ditekan yang semakin lama semakin memberat. Os saat ini berusia 61 tahun. Hal
ini menjadi pertimbangan untuk menyingkirkan kelainan kongenital/bawaan.

Diagnosis hidrosefalus ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan CT scan.


Berdasarkan usia pasien yaitu 61 tahun, maka hidrosefalus pada pasien adalah
hidrosefalus adult. Berbeda dengan proses penyakitnya, yaitu tipe Ex-Vacuo, yaitu
kerusakan otak yang disebabkan oleh stroke yang mungkin menyebabkan
penyempitan jaringan otak atau athrophy. Hal ini didukung dengan riwayat pasien
menderita hipertensi ± 10 tahun, tidak terkontrol, Tekanan darah tertinggi yang
diketahui 225/120 mmHg. Hal ini menjadi salah satu penyebab timbulnya
perdarahan intravetrikuler yang mengarah ke hidrosefalus.
Penatalaksanaan hidrosefalus pada pasien ini yaitu dengan pemasangan
VP Shunt. Tujuan dari shunt pada pasien hidrosefalus adalah untuk mengalihkan
aliran CSS ke daerah lain dari tubuh, dimana ia dapat diserap. Tekanan
intrakranial ini untuk kembali ke tingkat normal dan meningkatkan gejala klinis.
Prosedur ini melibatkan menempatkan kateter proksimal dalam ventrikel melalui
otak atau ruang subaraknoid lumbal, untuk mengalirkan CSS. Kateter ini
terhubung ke satu arah katup yang mengontrol CSS drainase dan biasanya
ditempatkan terhadap tengkorak, di bawah kulit. Cairan kemudian mengalir
melalui kateter distal yang mengumpulkan kelebihan cairan dan mengalir ke
dalam rongga peritoneum (shunt ventriculoperitoneal), atrium kanan (shunt
ventriculoatrial), atau rongga pleura.
Pada saat kunjungan pra anestesi (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang), tidak didapatkan keluhan atau riwayat sakit lain selain
sakit yang diderita saat ini. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, ada
keterbatasan aktivitas fisik, dan Ct-Scan didapatkan kepala
pendarahan inntraventrikuler (+).
Sehingga status fisik pada pasien ini adalah ASA 3. Hal ini sesuai teori bahwa
ASA 3 adalah dimana pasien dengan penyakit sistemik sedang berat dan
malampati grade 1. Sebelum jadwal operasi dilaksanakan, dipuasakan 6 jam
sebelum operasi dan mempersiapkan SIO. Sebagai obat premedikasi pada pasien
ini yaitu: Ondansetron 8 mg; Ondansetron diberikan sebagai profilaksis anti mual
dan muntah, Midazolam 3 mg; Midazolam diberikan untuk memberikan suasana
nyaman bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut, sehingga pasien
menjadi tidak peduli dengan lingkungannya.

Pada pasien ini diberikan obat premedikasi sekitar 15 menit sebelum dilakukan
operasi. Berdasarkan teori, tindakan premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam
sebelum induksi bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesia diantaranya untuk meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar
induksi anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan
jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan
amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang
membahayakan. Tindakan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan
general anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan
rumatan inhalasi. Induksi pada pasien ini dengan injeksi Fentanil 100 mcg dan
propofol 100 mg, serta pemasangan ETT no.7.
Berdasarkan teori, induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anestesi. Pada pasien ini diberikan fentanil 100 mcg, dimana berdasarkan teori
golongan opioid (morfin, petidin, fentanyl dan sufentanil) untuk induksi diberikan
dalam dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestsia opioid
digunakan fentanyl dosis induksi 100 mcg. Dosis pada pasien ini sudah tepat.
Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 1040 cc selama operasi, terdiri dari
jumlah cairan pengganti puasa 780 cc, maintenance 130 cc, stress operasi 520 cc.
Cairan yang telah masuk RL sebanyak 1000 cc, Fentanyl 100 mcg : 2 cc, Propofol
100 cc, Atracurium 30 cc. Kebutuhan cairan pada pasien ini cukup terpenuhi.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang ini
pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak berdekatan
dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang memerlukan
pembedahan ulang tidakakan mengalami kesulitan. Pada saat di RR, dilakukan
monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi oksigen,
EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena
kesakitan atau karena hipoksia (TD turun, nadi cepat, misalnya karena hipovolemik).
Bila kesakitan harus diberikan analgetik namun jika gelisah karena hipoksia harus
diobati sebabnya, misalnya dengan menambah cairan elektrolit (RL), koloid, darah.
Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar penuh. Pasien hendaknya jangan dikirim
keruangan sebelum sadar, tenang, reflek jalan nafas sudah aktif, tekanan darah, nadi
dalam batas normal. Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete
lebih dari 8. Pasien pindah dan dibawa ke ruang rawat bangsal bedah pada jam 11.00
WIB.
BAB V
KESIMPULAN

Seorang laki-laki berusia 61 tahun datang dengan muntah berulang


sebanyak 10x sejak 4 jam SMRS, dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosa dengan Hidrocephalus et causa IVH
dengan status ASA III, dan diputuskan untuk operasi pemasangan VP Shunt. Dari
jenis tindakan dan kondisi pasien diputuskan dilakukan anestesi umum dengan
fentanyl 100 mcg (IV), propofol 100 mg (IV), atracurium 30 mg (IV) dan tidak
terjadi hambatan dalam operasi dan selesai dalam waktu 1,5 jam. Tidak terjadi
hambatan dan kelainan yang membutuhkan penganan serius selama pasien
diruangan pemulihan. Secara umum, pelaksanaan operasi dan penanganan
anestesi pada kasus ini berlangsung dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE., Michail MS., Muray MJ. Clinical anesthesiology. 5th ed.
New York: Lange; 2013.
2. Elliott J, Smith M. The acute management of intracerebral hemorrhage: a
clinical review. Anesth Analg. 2010
3. Soenarto, R.F. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care FKUI. Jakarta; 2012.
4. Yu, H., & Wu, D. Effects of different methods of general anesthesia on
intraoperative awareness in surgical patients. Medicine; 2017
5. Doyle DJ, Goyal A, Bansal P, Garmon EH. American Society of
Anesthesiologists Classification. 2021 Jul 7. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan–. PMID: 28722969.
6. Brash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C.
Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA : Lippincott Williams
& Wilkins; 2009
7. International Journal of Anesthesiology & Pain Medicine. MedPub; 2015
8. Mahmoud, M., & Mason, K. P. Recent advances in intravenous anesthesia
and anesthetics; 2018.
9. Yao, FF. Yao & Artusio’s Anestheiology 7th Edition. NewYork: Wolters
Kluwer. 2012
10. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2002. Hal 29-69
11. Tsim, P. Howatson, A. Basic science breathing systems in anesthesia.
World Federation of Society of Anaesthesiologists; 2016.
12. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2002. Hal 74-83
13. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2002. Hal 64-69
14. Harsono, Editor. Perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia.
Hidrosefalus: Buku Ajar Neurologi Klinik. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press; 2005. Hal. 209-16.
15. Sivagnanam M. and Neilank K., Hydrocephalus: An Overview, Wayne
State University. USA

Anda mungkin juga menyukai