Pembimbing :
dr. Helen Yudi Irianto, Sp.An
Disusun oleh :
Vincent Vandestyo Chandra
406182102
Laporan Kasus :
ANESTESI UMUM PADA EPIDURAL HEMATOMA
Disusun oleh :
Vincent Vandestyo Chandra
406182102
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Anestesi RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang dilimpahkanNya,
sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan topik “Anestesi Umum
pada Epidural Hematoma”. Laporan kasus ini sebagai tugas akhir kepanitraan bagian anestesi
RSUD Ciawi sejak tanggal 14 Oktober 2019 – 17 November 2019. Selama proses kepanitraan
mulai dari awal hingga akhir, banyak sekali pengalaman yang didapatkan oleh penulis untuk
berkarir sebagai dokter di kemudian hari.
Selama proses penyusunan laporan ini penulis mengalami keterbatasan dalam
mengerjakannya. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang
telah mendukung keberhasilan penyusunan sajian kasus ini:
1. Direktur RSUD Ciawi yang atas kesempatan untuk mengkuti kegiatan kepaniteraan dan
mempelajari ilmu anesthesi.
2. dr. Helen Yudi Irianto, Sp. An, dr. Rudi Hartono, Sp.An, dan dr. R. Pracahyo Wibowo,
Sp.An. M. Kes atas waktu, bimbingan, dan ilmu selama kepaniteraan.
3. Seluruh dokter dan staf RSUD Ciawi serta teman seperjuangan yang telah membantu
penulis selama kepaniteraan di RSUD Cibinong.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembacanya.
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Dudi Iskandar
Umur : 35 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status pernikahan : Sudah menikah
Alamat : KP Pasir Nangka
Agama : Islam
Suku : Sunda
STATUS GENERALIS
Kepala : Tampak hematoma pada sisi parietal sinistra
Mata : pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya +/+, CA -/-, SI -/-
Hidung : bentuk hidung normal, simetris, septum deviasi -, sekret -
Telinga : normotia, liang telinga lapang, discharge -/-, serumen -/-, sekret -/-, KGB
pre/retroaurikuler tidak teraba membesar
Mulut : bibir kering -, sianosis -, stomatitis -, karies +, tonsil T1-T1 tidak hiperemis,
detritus -/-, uvula ditengah,, faring tidak hiperemis
Leher
o Inspeksi : deviasi trakea tidak tampak, tidak tampak pembesaran kelenjar
tiroid, tidak ada bekas luka
o Palpasi : tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid
Jantung
o Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : pulsasi ictus cordis tidak teraba
o Perkusi : batas jantung tidak melebar
o Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur -, gallop –
Paru-paru
o Inspeksi : gerakan dada simetris saat inspirasi maupun ekspirasi, retraksi -
o Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri sama kuat
o Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
o Auskultasi : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
Abdomen
o Inspeksi : tampak datar
o Auskultasi : bising usus +
o Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdeomen
o Palpasi : supel, nyeri tekan -
Kulit : turgor kulit baik, tidak ada kelainan kulit
Anus dan genital : tidak tampak kelainan
Ekstremitas : akrat hangat, CRT < 2 detik
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil pemeriksaan laboratorium (2-5 November 2019)
NILAI
PARAMETER 02/11/2019 04/11/2019 05/11/2019 SATUAN
RUJUKAN
Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin 11,1 8,9 8,5 11,7 – 15,5 g/dl
Hematokrit 35 26,6 25,3 35 - 47 %
Leukosit 12,6 11.3 8,8 04-Nov 10^3/uL
Trombosit 229 150 123 150 – 440 10^3/uL
PT 11 9,3-11,4 detik
APTT 30 27-42 detik
GD Sewaktu 141 108 80 – 120 mg/dl
Ureum 34 38,1 10,0 – 50,0 null
Kreatinin 0,7 0,85 0,60 – 1,30 mg/dl
SGOT 20 10 0 – 35 U/L
SGPT 17 8 0 - 35 U/L
Albumin 2,76 3,34 3,50-5,50 g/dL
Natrium 134 135-145 mmol/L
Kalium 3,5 3,5-5,3 mmol/L
Chlorida 108 95-106 mmol/L
V. RESUME
Pasien mengeluh nyeri pada bagian kepala sejak 2 hari yang lalu Pasien terbentur oleh
kelapa langsung pada kepalanya saat melintas di kebun sejak 2 hari yang lalu, tiba-tiba
ada buah kelapa jatuh, saat itu juga pasien mengalami muntah menyemprot, dan
penurunan kesadaran. Pasien sudah berobat ke RSUD Leuwitang dan mendapat rujukan
untuk ke spesialis bedah saraf. Pasien telah diberikan Omeprazole 1x 40mg, Manitol 6
x100cc, Paracetamol drip 3x1gr
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan benjolan pada bagian belakang kepala pasien dengan
disertai nyeri tekan.
Pada pemeriksaan darah, didapatkan penurunan hemoglobin dan hematokrit,
leukositosis, hipoalbumin, hiponatremi, dan hiperkalemi.
Pemeriksaan status fisik menurut ASA didapatkan ASA III.
VII. PENGKAJIAN
a. Rencana Diagnostik
-
b. Rencana Terapi Farmakologis
ANESTESI UMUM
o Induksi
- Fentanyl 200 mcg IV
- Propofol 100 mg IV
- Atracurium 25 mg IV
o Maintenance
- Air : O2 : Isoflurance = 2:2:2
o Post-operative
- Ketorolac 30 mg IV
- Tramadol drip 100mg IV dalam 500cc RL
- Ondansentron 4 mg IV
o Airway : Intubasi – single lumen ETT no. 7,5 dengan balon
c. Evaluasi
Tanda-tanda vital :
o TD 127/82 mmHg
o HR 97x/menit
o Respirasi terkontrol oleh ventilator
Tidal volume 400, mL RR 12x/menit, FiO2 50%, SpO2 100%
Alderete score Total 9 ( Aktivitas 1, Respirasi 2, Tekanan darah 2,
Kesadaran 2, Saturasi oksigen 2)
-
ALDERETE SCORE
Kriteria Skor Kondisi
2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas dengan / tanpa
perintah
Aktivitas 1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan / tanpa
perintah
0 Tidak dapat menggerakkan semua ekstremitas
Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan bebas
1 Dispnea nafas dangkal atau terbatas
0 Apnea
Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia
1 TD 10 – 50 mm dari nilai pra-anestesia
0 TD 50 mm dari nilai pra-anestesia
Kesadaran 2 Sadar penuh
1 Bangun ketika dipanggil
0 Tidak berespon
Saturasi 2 Mampu mempertahankan satuwasi O2 > 92% dengan udara
O2 kamar
1 Memerlukan inhalasi O2 untuk mempertahankan saturasi
O2 > 90 %
0 Saturasi O2 > 90 % meski dengan suplemen O2
Score : 9
d. Edukasi
Menjelaskan kepada pasien resiko komplikasi dari anestesi umum:
Nyeri pada luka operasi setelah efek anestesi
Mual dan muntah
Trauma pada gigi
Nyeri pada tenggorokan dan laring
Reaksi anafilaksis akibat obat-obat anestesi
Kolaps kardiovaskular
Depresi napas
Peneumonitis aspirasi
Hipotermi
Kerusakan otak akibat hipoksia
Trauma saraf
Emboli
Nyeri punggung
Nyeri kepala
Iatrogenik
Kematian
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : malam
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanatiomam : dubia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa"
dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali
oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Obat yang digunakan dalam
menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini dibedakan dalam
anestetik umum dan anestetik lokal. Bergantung pada dalamnya pembiusan, anestetik
umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri atau efek
anesthesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal
hanya menimbulkan efek analgesia. Anestesi umum bekerja di Susunan Saraf Pusat,
sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada Serabut Saraf di Perifer. 2
Anestesi umum (General Anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum
(NU). Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko yang
tidak diinginkan dari pasien. (1)
Dengan anestesi umum, akan diperoleh triad (trias) anestesia, yaitu : 1
· Hipnosis (tidur)
· Analgesia (bebas dari nyeri)
· Relaksasi otot
Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran). Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu. Obat-obat
tertentu misalnya thiopental hanya menyebabkan tidur tanpa relaksasi atau analgesia,
sehingga hanya baik untuk induksi. Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena
anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka trias anestesi diperoleh
dengan menggabungkan berbagai macam obat. Eter menyebabkan tidur, analgesia dan
relaksasi, tetapi karena baunya tajam dan kelarutannya dalam darah tinggi sehingga agak
mengganggu dan lambat (meskipun aman) untuk induksi. Sedangkan relaksasi otot
didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant). Relaksasi otot diperlukan untuk
mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan
pembedahan. Obat-obat opium seperti morfin dan petidin akan menyebabkan analdesia
dengan sedikit perubahan pada tonus otot atau tingkat kesadaran. Kombinasi beberapa
teknik dan obat dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan ini dan kombinasi ini harus
dipilih yang paling sesuai untuk pasien.1
2. Stadium Anestesi
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa
analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3 dan
stdium 4 sampai henti napas dan henti jantung. 3
Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan
terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan
gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.Stadium ini berakhir dengan
ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba
bulu mata). 3
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan
pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+), pergerakan bola
mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya
reflekss menelan dan kelopak mata. 3
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga hilangnya
pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya
reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan
mudah. 3
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti
kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak
mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.3
Tidak ada kontraindikasi yang absolut untuk anestesi umum. Kontraindikasi relative
anestesi umum dilakukannya anestesi umum yaitu gangguan kardivaskular yang berat,
hipertensi berat atau tak terkontrol (diastolik >110 mmHg), diabetes tak terkontrol, infeksi
akut, sepsis. Kombinasi agen anestestik yang digunakan pada anestesi umum memiliki
beberapa tujuan, diantaranya: 6
Analgesia (respon terhadap nyeri hilang)
Amnesia (kehilangan memori atau tidak mengingat apa yang terjadi)
Immobilitas (hilangnya refleks motorik)
Kehilangan kesadaran
Relaksasi otot skeletal
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam paru-paru
(alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Kemudian zat
anestesika akan berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan
penghambat disfusi zat anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama
dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi hal
tersebut adalah:
Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi konsentrasinya,
makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam alveolus.
Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya
tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi. 7
Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena
Factor-faktor yang mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan sebagian kembali
melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran darah
yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil dari alveolus, konsentrasi
alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai tingkat anesthesia yang adekuat. 7
Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat anestesika,
kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar, ginjal. Organ-
organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat
anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak
menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran darah :
ligament dan tendon.7
Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-beda. Untuk
menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration
atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa
sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesika tersebut. 7
6. Macam obat Anestesi Umum
Terlepas dari cara penggunaanya, suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus
memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai “Trias Anestesia”, yaitu efek
hipnotik, efek analgesia, dan efek relaksasi otot. Akan lebih baik lagi kalau terjadi juga
penekanan reflex otonom dan sensoris, seperti yang diperlihatkan oleh eter.2
Obat-obat tertentu misalnya thiopental hanya menyebabkan tidur tanpa relaksasi atau
analgesia, sehingga hanya baik untuk induksi. Hanya eter yang memiliki trias anestesia.
Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka trias anestesi
diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat. Eter menyebabkan tidur,
analgesia dan relaksasi, tetapi karena baunya tajam dan kelarutannya dalam darah tinggi
sehingga agak mengganggu dan lambat (meskipun aman) untuk induksi.
Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant). Relaksasi
otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah
tindakan pembedahan. Obat-obat opium seperti morfin dan petidin akan menyebabkan
analgesia dengan sedikit perubahan pada tonus otot atau tingkat kesadaran. Kombinasi
beberapa teknik dan obat dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan ini dan kombinasi
ini harus dipilih yang paling sesuai untuk pasien.1
a. Efek Analgesia
Metoda penghilang nyeri, biasanya digunakan golongan opioid untuk nyeri hebat dan
golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti inflammatory drugs)
untuk nyeri sedang atau ringan.
Metoda menghilangkan nyeri dapat dengan cara sistemis (oral, rectal, transdermal,
sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau perinfus). Cara yang sering digunakan
dan paling digemari ialah intramuscular opioid.
Metoda regional misalnya dengan epidural opioid (untuk dewasa morfin 1-6 mg, petidin
20-60 mg, fentanil 25-100ug) atau intraspinal opioid (untuk dewasa morfin 0,1-0,3 mg,
petidin 10-30 mg, fentanil 5-25 ug).
Kadang-kadang digunakan metoda infiltrasi pada luka operasi sebelum pembedahan
selesai misalnya pada sirkumsisi atau pada luka apendektomi.4
OPIOID
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering digunakan dalam
anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan.
Malahan kadang-kadang digunakan untuk anesthesia narkotik total pada pembedahan
jantung. Opium ialah getah candu. Opiate ialah obat yang dibuat dari
opium. Narkotik ialah istilah tidak spesifik untuk semua obat yang dapat menyebabkan
tidur.8
Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan
sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic,
thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi reticular dan di korda spinalis yaitu
di substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan
polipeptida endogen (met-enkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor
morfin dan menghasilkan efek.Opioid digolongkan menjadi: 8
1. Agonis
Mengaktifkan reseptor.
Contoh: morfin, papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil,
sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
2. Antagonis
Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang
reseptor.
Contoh: nalokson, naltrekson.
3. Agonis-antagonis
Pentasosin, nalbufin, butarfanol, buprenorfin. 4
Klasifikasi Opioid
Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin),
tetapi penggolongan ini kurang popular. Penggolongan lain menjadi natural (morfin,
kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate
tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil). 8
Morfin
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah
dan lebih menguntungkan dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling
mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup
panjang (long acting).
Terhadap Sistem Saraf Pusat, mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.
Digolongkan depresi yaitu analgesi, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar
stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual-muntah, hiperaktif reflex spinal,
konvulsi, dan sekresi hormone antidiuretik (ADH).
Terhadap Sistem Jantung-Sirkulasi dosis besar merangsang vagus dan beralkibat
bradikardi, walaupun tidak mendepresi miokardium. Dosis terapetik pada dewasa sehat
normal tidur terlentang hamper tidak mengganggu sistem jantung-sirkulasi. Morfin
menyebabkan hipotensi ortostatik.
Terhadap Sistem Respirasi harus hati-hati, karena morfin dapat melepaskan
histamine, sehingga menyababkan konstriksi bronkus. Oleh sebab itu di indikasi-
kontrakan pada kasus asma dan bronchitis kronis.
Terhadap Sistem Saluran Cerna morfin menyababkan kejang otot usus, sehingga
terjadi konstipasi. Kejang sfingter Oddi pada empedu menyebabkan kolik, sehingga tidak
dianjurkan digunakan pada gangguan empedu. Kolik empedu menyerupai serangan
jantung, sehingga untuk membedakannya diberikan antagonis opioid.
Terhadap Sistem Ekskresi Ginjal, morfin dapat menyebabkan kejang sfingter
buli-buli yang berakibat retensio urin. 8
Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda
dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama.
Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut dalam air.
2. Metabolism oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat
dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang masih aktif memiliki sifat
konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari
10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan
dan takikardia.
4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi lebih
ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak ada
hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa. Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Dosis petidin intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang
tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena
iritasi. Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesia
spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg BB. 8
Fentanil
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100xmorfin. Lebih larut
dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah
suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hamper sama dengan
morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisiir
oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat
urin.
Efek depresi napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-3
ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.
Dosis besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan
pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot
punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. 8
Sufentanil
Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat dari
fentanil. Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya 0,1-0,3 mg/kgBB. 8
Alfentanil
Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya sangat besar.
Mula kerjanya cepat. Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB. 8
Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor
mu dan kelamahan analgesinya 10-20% disbanding morfin. Tramadol dapat
diberikan dengan dosis maksimal 400 mg per hari. 8
ANTAGONIS
Nalokson
Naloksom ialah antagonis murni opioid dan bekerja ada reseptor mu, delta, kappa,
dan sigma. Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapat morfin akan terlihat laju
napas meningkat, kantuk menghilang, pupil mataa dilatasi, tekanan darah kalu
sebelumnya rendah akan meningkat.
Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir
pembedahan dengan dosis dicicil 1-2 ug/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit,
sampai ventilasi dianggap baik. Dosisi lebih dari 0,2 mg jarang digunakan. Dosis
intramuscular 2x dosis intravena.pada keracunan opioid nalokson dapat diberikan per-
infus dosis 3-10ug/kgBB.
Untuk depresi napas neonates yang ibunya mendapat opioid berikan nalokson 10
ug/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit. Biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg
diencerkan sampai 10 ml, sehingga tiap ml mengandung 0,04 mg. 9
Naltrekson
Naltrekson merupakan antagonis opioid kerja panjang yang biasanya diberikan
per oral, pada pasien dengan ketergantungan opioid. Waktu paro plasma 8-12 jam.
Pemberian per oral dapat bertahan sampai 24 jam. Naltrekson per oral 5 atau 10 mg dapat
mengurangi pruritus, mual muntah pada analgesia epidural saat persalinan, tanpa
menghilangkan efek analgesinya. 9
Efek Relaksasi Otot
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anesthesia umum
inhalasi, melakukan blockade saraf regional dan memberikan pelumpuh otot. Pendalaman
anesthesia beresiko depresi napas dan depresi jantung, blockade saraf terbatas
penggunaannya.
Anesthesia tidak perlu dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar, analgesinya dapat
diberikan opioid dosis tinggi dan otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian pelumpuh
otot. Ketiga kombinasi ini dikenal sebagai trias anesthesia “the triad of anesthesia” dan
ada yang memasukkan ventilasi kendali.
Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan sambungan
ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf-otot. Pelumpuh otot disebut juga
sebagai obat blockade neuro-muskular.
Akibat rangsang terjadi depolarisasi pada terminal saraf. Influks ion kalsium
memicu keluarnya asetil-kolin sebagai transmitter saraf. Asetilkolin saraf akan
menyeberang dan melekat pada reseptor nikotinik-kolinergik di otot. Kalau jumlahnya
cukup banyak, maka akan terjadi depolarisasi dan lorong ion tebuka, ion natrium, dan
kalsium masuk dan ion kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat
dihidrolisa oleh asetilkolin-esterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan
kolin, sehingga lorong tertutup kembali terjadilah repolarisasi. 9
a) Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerjanya seperti asetil-
kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada
di celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul
relaksasi otot lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah suksinil-kolin
(diasetil-kolin) dan dekametonium.
Di dalam vena suksinil-kolin dimetabolisir oleh kolin-esterase-plasma, pseudo-
kolin-esterase, menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin)
dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase. 9
Dampak samping suksini ialah :
1. Nyeri otot pasca pemberian.
Nyeri otot dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot nondepolarisasi dosis kecil
sebelumnya. Dapat terjadi mialgia sampai 90%, dan mioglobinuria.
2. Peningkatan tekanan intraocular.
Akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri otot.
3. Penigkatan tekanan intracranial.
4. Peningkatan tekanan intragastrik.
5. Peningkatan kadar kalium plasma.
6. Aritmia jantung
Berupa bradikardi atau ‘ventricular premature beat’.
7. Salviasi
Akibat efek muskarinik.
8. Alergi, anafilaksis
Akibat efek muskarinik. 9
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan
status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit
bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien batu ureter dengan hipertensi sedang
terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan
karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan septisemia,
atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya. Contohnya : Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.
ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak.
Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena ruptur
hepatik.
6) Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien
yang mengalami anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anesthesia harus dipantangkan diri masukan
oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anesthesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-
4 jam. Air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dan
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.
III. Premedikasi
Premedikasi merupakan tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam rangka
pelaksanaan anestesia dengan tujuan sebagai berikut: 4
i. Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu menghilangkan rasa cemas,
member ketenangan, membuat amnesia, mencegal mual ataupun muntah serta bebas
dari nyeri.
ii. Mengurangi dosis dari anestesia
iii. Memudahkan dan memperlancar induksi
iv. Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar
v. Menekan reflek-refleks yang tidak dinginkan
Pada umumnya premedikasi tidak diberikan terkecuali pasien terlalu gelisah
ataupun sulit dikendalikan. Premedikasi akan memerpanjang masa pulih. Obat
premedikasi yang umumnya diberikan adalah sulfat atropin, terutama bila memakai
eter atau ketamin yang menambah produksi sekresi jalan napas. Narkotika tidak
diberikan karena memperpanjang masa pulih dan menyebabkan mual atau muntah
pasca bedah.
Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk premedikasi adalah: 4
Antimuskarinik
Hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus yang ditimbulkan oleh anestesi
inhalasi dapat mengganggu pernapasan selama anestesia. Atropine 0,4-0,6 mg IM
dapat mencegah hipersekresi ini 10-15 menit setelah penyuntikan. Efek ini
berlangsung selama ± 90 menit. Dosis obat ini tidaklah cukup untuk mencegah
perubahan kardiovaskular akibat rangsangan parasimpatis, berupa hipotensi dan
bradikardia, yang disebabkan oleh manipulasi sinus karotikus atau pemberian
berulang suksinilkolin IV. Untuk keadaan ini diperlukan dosis IV 1,5-2 mg pada
dewasa dan 0,02 mg/kgBB pada anak
Analgetik narkotik
Morfin dapat digunakan untuk mengurangi cemas dan ketegangan pasien,
mengurangi nyeri. Teknik anestesi berimbang dapat membuat dampak buruk morfin
yaitu memperpanjang waktu pemulihan dan depresi kardiovaskular, dapat diatasi,
dan mual, muntah serta nyeri paska bedah dapat dikurangi. Morfin 8-10 mg yang
diberikan IM biasanya sudah cukup untuk tujuan tersebut, sedangkan dosis 0,01-0,2
mg/kg IV sudah cukup untuk menimbulkan analgesia. Dalam dosis berimbang
dengan N2O diperlukan morfin sampai 3 mg/kgBB, sedangkan apabila digunakan
anestetik inhalasi lainnya dianjurkan dosis tidak lebih dari 1-2 mg/kgBB.
Opioid lain yang biasa digunakan sebagai premedikasi, sesuai dengan urutan
kekuatannya adalah sulfentanil (1000 kali), remifentanil (300 kali), fentanil (100
kali), alfentanil (15 kali), morfin (1 kali) dan meperidin (0,1 kali). Pemilihan
penggunaan analgesik opioid didasarkan pada lama kerja karena semuanya dapat
memberikan efek analgesia dan efek samping sama. Berdasarkan lama kerjanya,
analgesik opioid dibedakan atas opioid dengan lama kerja singkat misalnya
remifentanil (10 menit), dan opioid lama kerja sedang misalnya sulfentanil (15
menit), alfentanil (20 menit) dan fentanil (30 menit). Dosis fentanil pada dewasa 3-
6 mcg/kgBB atau 1-3 mcg/kgBB pada anak
Barbiturat
Benzodiazepine
Indikasi :
Prosedur :
· Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang) efek
sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
· Induksi
· Pemeliharaan12
b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal tube)
kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi lama, sulit mempertahankan airway
(operasi di bagian leher dan kepala) 12
Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn durasi
singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS12
Teknik Intubasi
Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan tak
akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan
lainnya. 12
9. RUMATAN ANESTESIA
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara mengatur
konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat tinggi maka akan
dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat rendah, maka akan
didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk
itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman
anestesi.13
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena
(anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anesthesia yaitu tidur ringan (hipnosis)
sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-
50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan
udara+O2 atau N20+O2. 13
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah
halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau sovofluran 2-4
vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted) atau dikendalikan
(controlled). 13
10. MEMPERTAHANKAN ANESTESI DAN PENGAKHIRAN ANESTESI
I. Mempertahankan Anestesi
§ Pemantauan yang minimal harus dilakukan selama operasi: EKG, pengukuran tekanan
darah yang tidak invasive, oksimetri nadi, kapnometri, gas napas, pengukuran gas
anestesi.
§ Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan opioid (misalnya,
remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi (misalnya 0,5 MAC Desfluran) atau
sebagai anestesi intravena total (TIVA) dengan opioid dan propofol.
§ Segera rencanakan terapi nyeri pasca-operasi, bila perlu, pemberian analgetik non-steroid
(misalnya 30 mg/kg metamizol) dan pemberian opioid kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg
piritramid).
§ Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :
1. Peningkatan tekanan darah.
2. Peningkatan frekuensi denyut jantung.
3. Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.
4. Terdapat pergerakan.
5. Berkeringat.5
A. Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
B. Pernapasan
C. Sirkulasi
D. Kesadaran
E. Aktivitas
1. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi. EGC, Jakarta , 1994
2. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology). Alih
Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995
3. Muhiman, M., Thaib M. R., dan Sunatrio S. 2004. Anestesiologi Edisi pertama. Jakarta:
Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
4. Latief SA, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI. Jakarta, 2010
5. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. EGC, Jakarta, 2010
6. Zuhardi, T.B, Anestesi untuk pembedahan darurat dalam Majalah Cermin Dunia
Kedokteran no. 33, 1984 : 3-5
7. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia 2009.
8. Soenarjo,Sp. An., Djatmiko, H, Sp.An. 2010. Anestesiologi. FK UNDIP
9. American Society of Anesthesiologists (ASA). 2011. Continuum of Depth of Sedation
Definition of General Anesthesia and Levels of Sedation/Analgesia. ASA Web site.
Tersedia di http://www.asahq.org/publicationsAndServices/standards /20.pdf. Diakses
pada tanggal 7 Maret 2016.
10. Crowder, M. S. et al. 2014. Mechanism of Anesthesia and Consciousness. Dalam Clinical
Anesthesia 7th Edition, Paul G Barash et al (editor). USA : Lipincott Williams and
Wilkins.
11. Butterworth John F et al. 2013. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology. Edisi 5.
USA: Mc. Graw Hill. Hlm.
12. Zunilda DS dan Elysabeth. 2011. Anestetik Umum. Dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi
5, Sulistia et al. (editor). Jakarta: FKUI. Hlm.
13. Singh J, Kharbuja K, Tandukar A. Comparison of the Single Breath Vital Capacity
Technique with the Tidal Volume Technique. Journal of Nepal Paediatric Society. 2019.
38(2):84-89.