Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

Anestesi Umum Pada Epidural Hematoma

Pembimbing :
dr. Helen Yudi Irianto, Sp.An

Disusun oleh :
Vincent Vandestyo Chandra
406182102

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RSUD CIAWI BOGOR
PERIODE 14 OKTOBER – 17 NOVEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus :
ANESTESI UMUM PADA EPIDURAL HEMATOMA

Disusun oleh :
Vincent Vandestyo Chandra
406182102
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Anestesi RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Ciawi, 8 November 2019

dr. Helen Yudi Irianto, Sp.An


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang dilimpahkanNya,
sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan topik “Anestesi Umum
pada Epidural Hematoma”. Laporan kasus ini sebagai tugas akhir kepanitraan bagian anestesi
RSUD Ciawi sejak tanggal 14 Oktober 2019 – 17 November 2019. Selama proses kepanitraan
mulai dari awal hingga akhir, banyak sekali pengalaman yang didapatkan oleh penulis untuk
berkarir sebagai dokter di kemudian hari.
Selama proses penyusunan laporan ini penulis mengalami keterbatasan dalam
mengerjakannya. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang
telah mendukung keberhasilan penyusunan sajian kasus ini:
1. Direktur RSUD Ciawi yang atas kesempatan untuk mengkuti kegiatan kepaniteraan dan
mempelajari ilmu anesthesi.
2. dr. Helen Yudi Irianto, Sp. An, dr. Rudi Hartono, Sp.An, dan dr. R. Pracahyo Wibowo,
Sp.An. M. Kes atas waktu, bimbingan, dan ilmu selama kepaniteraan.
3. Seluruh dokter dan staf RSUD Ciawi serta teman seperjuangan yang telah membantu
penulis selama kepaniteraan di RSUD Cibinong.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembacanya.

Ciawi, 8 November 2019

Vincent Vandestyo Chandra


BAB 1
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Dudi Iskandar
Umur : 35 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status pernikahan : Sudah menikah
Alamat : KP Pasir Nangka
Agama : Islam
Suku : Sunda

II. ANAMNESIS (4 November 2019)


Keluhan Utama : nyeri pada kepala sejak 2 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh nyeri pada kepala selama 2 hari yang lalu. Pasien terbentur oleh
kelapa langsung pada kepalanya saat melintas di kebun sejak 2 hari yang lalu, tiba-tiba
ada buah kelapa jatuh, saat itu juga pasien mengalami muntah menyemprot, dan
penurunan kesadaran.
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat keluhan serupa : disangkal
 Riwayat operasi : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat darah tinggi : disangkal
 Riwayat kencing manis : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
Riwayat pengobatan :
Pasien sudah berobat ke RSUD Leuwitang dan mendapat rujukan untuk ke spesialis
bedah saraf. Pasien telah diberikan Omeprazole 1x 40mg, Manitol 6 x100cc, Paracetamol
drip 3x1gr

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Somnolen, GCS E2V3M5
Tanda-tanda vital :
 Tekanan darah : 113/72 mmHg
 HR : 100 kali/menit
 RR : 24 kali/menit
 Suhu : 36,1oC
 SpO2 : 99%
Data antropometri :
 Berat badan : 70 kg
 Tinggi badan : 170 cm
 IMT : 24,2 kg/m2 (normal)

STATUS GENERALIS
 Kepala : Tampak hematoma pada sisi parietal sinistra
 Mata : pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya +/+, CA -/-, SI -/-
 Hidung : bentuk hidung normal, simetris, septum deviasi -, sekret -
 Telinga : normotia, liang telinga lapang, discharge -/-, serumen -/-, sekret -/-, KGB
pre/retroaurikuler tidak teraba membesar
 Mulut : bibir kering -, sianosis -, stomatitis -, karies +, tonsil T1-T1 tidak hiperemis,
detritus -/-, uvula ditengah,, faring tidak hiperemis
 Leher
o Inspeksi : deviasi trakea tidak tampak, tidak tampak pembesaran kelenjar
tiroid, tidak ada bekas luka
o Palpasi : tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid
 Jantung
o Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : pulsasi ictus cordis tidak teraba
o Perkusi : batas jantung tidak melebar
o Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur -, gallop –
 Paru-paru
o Inspeksi : gerakan dada simetris saat inspirasi maupun ekspirasi, retraksi -
o Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri sama kuat
o Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
o Auskultasi : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
 Abdomen
o Inspeksi : tampak datar
o Auskultasi : bising usus +
o Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdeomen
o Palpasi : supel, nyeri tekan -
 Kulit : turgor kulit baik, tidak ada kelainan kulit
 Anus dan genital : tidak tampak kelainan
 Ekstremitas : akrat hangat, CRT < 2 detik
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil pemeriksaan laboratorium (2-5 November 2019)

NILAI
PARAMETER 02/11/2019 04/11/2019 05/11/2019 SATUAN
RUJUKAN

Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin 11,1 8,9 8,5 11,7 – 15,5 g/dl
Hematokrit 35 26,6 25,3 35 - 47 %
Leukosit 12,6 11.3 8,8 04-Nov 10^3/uL
Trombosit 229 150 123 150 – 440 10^3/uL
PT 11 9,3-11,4 detik
APTT 30 27-42 detik
GD Sewaktu 141 108 80 – 120 mg/dl
Ureum 34 38,1 10,0 – 50,0 null
Kreatinin 0,7 0,85 0,60 – 1,30 mg/dl
SGOT 20 10 0 – 35 U/L
SGPT 17 8 0 - 35 U/L
Albumin 2,76 3,34 3,50-5,50 g/dL
Natrium 134 135-145 mmol/L
Kalium 3,5 3,5-5,3 mmol/L
Chlorida 108 95-106 mmol/L

2. Hasil Foto Polos Thorax AP/PA CR


Tidak tampak kelainan
3. Hasil CT Scan Kepala
Epidural Hematoma

V. RESUME
Pasien mengeluh nyeri pada bagian kepala sejak 2 hari yang lalu Pasien terbentur oleh
kelapa langsung pada kepalanya saat melintas di kebun sejak 2 hari yang lalu, tiba-tiba
ada buah kelapa jatuh, saat itu juga pasien mengalami muntah menyemprot, dan
penurunan kesadaran. Pasien sudah berobat ke RSUD Leuwitang dan mendapat rujukan
untuk ke spesialis bedah saraf. Pasien telah diberikan Omeprazole 1x 40mg, Manitol 6
x100cc, Paracetamol drip 3x1gr
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan benjolan pada bagian belakang kepala pasien dengan
disertai nyeri tekan.
Pada pemeriksaan darah, didapatkan penurunan hemoglobin dan hematokrit,
leukositosis, hipoalbumin, hiponatremi, dan hiperkalemi.
Pemeriksaan status fisik menurut ASA didapatkan ASA III.

VI. DIAGNOSA KERJA


ASA III

VII. PENGKAJIAN
a. Rencana Diagnostik
-
b. Rencana Terapi Farmakologis
ANESTESI UMUM
o Induksi
- Fentanyl 200 mcg IV
- Propofol 100 mg IV
- Atracurium 25 mg IV
o Maintenance
- Air : O2 : Isoflurance = 2:2:2
o Post-operative
- Ketorolac 30 mg IV
- Tramadol drip 100mg IV dalam 500cc RL
- Ondansentron 4 mg IV
o Airway : Intubasi – single lumen ETT no. 7,5 dengan balon
c. Evaluasi
 Tanda-tanda vital :
o TD 127/82 mmHg
o HR 97x/menit
o Respirasi terkontrol oleh ventilator
 Tidal volume 400, mL RR 12x/menit, FiO2 50%, SpO2 100%
 Alderete score  Total 9 ( Aktivitas 1, Respirasi 2, Tekanan darah 2,
Kesadaran 2, Saturasi oksigen 2)
-
ALDERETE SCORE
Kriteria Skor Kondisi
2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas dengan / tanpa
perintah
Aktivitas 1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan / tanpa
perintah
0 Tidak dapat menggerakkan semua ekstremitas
Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan bebas
1 Dispnea nafas dangkal atau terbatas
0 Apnea
Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia
1 TD 10 – 50 mm dari nilai pra-anestesia
0 TD 50 mm dari nilai pra-anestesia
Kesadaran 2 Sadar penuh
1 Bangun ketika dipanggil
0 Tidak berespon
Saturasi 2 Mampu mempertahankan satuwasi O2 > 92% dengan udara
O2 kamar
1 Memerlukan inhalasi O2 untuk mempertahankan saturasi
O2 > 90 %
0 Saturasi O2 > 90 % meski dengan suplemen O2
Score : 9
d. Edukasi
Menjelaskan kepada pasien resiko komplikasi dari anestesi umum:
 Nyeri pada luka operasi setelah efek anestesi
 Mual dan muntah
 Trauma pada gigi
 Nyeri pada tenggorokan dan laring
 Reaksi anafilaksis akibat obat-obat anestesi
 Kolaps kardiovaskular
 Depresi napas
 Peneumonitis aspirasi
 Hipotermi
 Kerusakan otak akibat hipoksia
 Trauma saraf
 Emboli
 Nyeri punggung
 Nyeri kepala
 Iatrogenik
 Kematian

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : malam
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanatiomam : dubia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa"
dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali
oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Obat yang digunakan dalam
menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini dibedakan dalam
anestetik umum dan anestetik lokal. Bergantung pada dalamnya pembiusan, anestetik
umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri atau efek
anesthesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal
hanya menimbulkan efek analgesia. Anestesi umum bekerja di Susunan Saraf Pusat,
sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada Serabut Saraf di Perifer. 2
Anestesi umum (General Anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum
(NU). Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko yang
tidak diinginkan dari pasien. (1)
Dengan anestesi umum, akan diperoleh triad (trias) anestesia, yaitu : 1
· Hipnosis (tidur)
· Analgesia (bebas dari nyeri)
· Relaksasi otot
Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran). Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu. Obat-obat
tertentu misalnya thiopental hanya menyebabkan tidur tanpa relaksasi atau analgesia,
sehingga hanya baik untuk induksi. Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena
anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka trias anestesi diperoleh
dengan menggabungkan berbagai macam obat. Eter menyebabkan tidur, analgesia dan
relaksasi, tetapi karena baunya tajam dan kelarutannya dalam darah tinggi sehingga agak
mengganggu dan lambat (meskipun aman) untuk induksi. Sedangkan relaksasi otot
didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant). Relaksasi otot diperlukan untuk
mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan
pembedahan. Obat-obat opium seperti morfin dan petidin akan menyebabkan analdesia
dengan sedikit perubahan pada tonus otot atau tingkat kesadaran. Kombinasi beberapa
teknik dan obat dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan ini dan kombinasi ini harus
dipilih yang paling sesuai untuk pasien.1

2. Stadium Anestesi
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa
analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3 dan
stdium 4 sampai henti napas dan henti jantung. 3
Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan
terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan
gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.Stadium ini berakhir dengan
ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba
bulu mata). 3
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan
pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+), pergerakan bola
mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya
reflekss menelan dan kelopak mata. 3
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga hilangnya
pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya
reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan
mudah. 3
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti
kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak
mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.3

3. Indikasi, Kontraindikasi Dan Tujuan Anestesi Umum


Indikasi anestesi umum diantaranya: 6
a) Operasi di sekitar kepala, leher, intra-torakal atau intra-abdomen
b) Pada bayi atau anak-anak
c) Pasien gelisah, tidak kooperatif atau disorientasi gangguan jiwa
d) Pembedahan lama
e) Pembedahannya luas atau ekstensif
f) Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal
g) Pasien yang memilih anestesi umum

Tidak ada kontraindikasi yang absolut untuk anestesi umum. Kontraindikasi relative
anestesi umum dilakukannya anestesi umum yaitu gangguan kardivaskular yang berat,
hipertensi berat atau tak terkontrol (diastolik >110 mmHg), diabetes tak terkontrol, infeksi
akut, sepsis. Kombinasi agen anestestik yang digunakan pada anestesi umum memiliki
beberapa tujuan, diantaranya: 6
 Analgesia (respon terhadap nyeri hilang)
 Amnesia (kehilangan memori atau tidak mengingat apa yang terjadi)
 Immobilitas (hilangnya refleks motorik)
 Kehilangan kesadaran
 Relaksasi otot skeletal

4. Kelebihan Dan Kekurangan Anestesi Umum


Kelebihan anestesi umum: 6
 Mengurangi kesadaran dan ingatan pasien selama operasi
 Memungkinkan relaksasi otot untuk jangka waktu yang lama
 Dapat mempertahankan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi yang adekuat
 Dapat digunakan pada pasien yang sensitif terhadap agen anestetik lokal
 Dapat dilakukan tanpa merubah posisi pasien dari posisi supine
 Dapat dengan mudah disesuaikan pada durasi yang tidak terduga atau lebih lama
 Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversible

Kerugian anestesi umum:6


 Membutuhkan perawatan yang lebih rumit dan biaya yang lebih besar
 Membutuhkan beberapa persiapan preoperatif
 Dapat menginduksi fluktuasi fisiologi yang membutuhkan intervensi aktif
 Berhubungan dengan komplikasi seperti mual, muntah, sakit tenggorokan, sakit
kepala, menggigil dan lamanya perbaikan psikomotorik

5. Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum


 Faktor respirasi

Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam paru-paru
(alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Kemudian zat
anestesika akan berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan
penghambat disfusi zat anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama
dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi hal
tersebut adalah:
 Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi konsentrasinya,
makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam alveolus.
 Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya
tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi. 7
 Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena
Factor-faktor yang mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan sebagian kembali
melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran darah
yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil dari alveolus, konsentrasi
alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai tingkat anesthesia yang adekuat. 7

 Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat anestesika,
kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar, ginjal. Organ-
organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat
anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak
menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran darah :
ligament dan tendon.7
 Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-beda. Untuk
menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration
atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa
sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesika tersebut. 7
6. Macam obat Anestesi Umum
Terlepas dari cara penggunaanya, suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus
memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai “Trias Anestesia”, yaitu efek
hipnotik, efek analgesia, dan efek relaksasi otot. Akan lebih baik lagi kalau terjadi juga
penekanan reflex otonom dan sensoris, seperti yang diperlihatkan oleh eter.2
Obat-obat tertentu misalnya thiopental hanya menyebabkan tidur tanpa relaksasi atau
analgesia, sehingga hanya baik untuk induksi. Hanya eter yang memiliki trias anestesia.
Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka trias anestesi
diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat. Eter menyebabkan tidur,
analgesia dan relaksasi, tetapi karena baunya tajam dan kelarutannya dalam darah tinggi
sehingga agak mengganggu dan lambat (meskipun aman) untuk induksi.
Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant). Relaksasi
otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah
tindakan pembedahan. Obat-obat opium seperti morfin dan petidin akan menyebabkan
analgesia dengan sedikit perubahan pada tonus otot atau tingkat kesadaran. Kombinasi
beberapa teknik dan obat dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan ini dan kombinasi
ini harus dipilih yang paling sesuai untuk pasien.1
a. Efek Analgesia
Metoda penghilang nyeri, biasanya digunakan golongan opioid untuk nyeri hebat dan
golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti inflammatory drugs)
untuk nyeri sedang atau ringan.
Metoda menghilangkan nyeri dapat dengan cara sistemis (oral, rectal, transdermal,
sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau perinfus). Cara yang sering digunakan
dan paling digemari ialah intramuscular opioid.
Metoda regional misalnya dengan epidural opioid (untuk dewasa morfin 1-6 mg, petidin
20-60 mg, fentanil 25-100ug) atau intraspinal opioid (untuk dewasa morfin 0,1-0,3 mg,
petidin 10-30 mg, fentanil 5-25 ug).
Kadang-kadang digunakan metoda infiltrasi pada luka operasi sebelum pembedahan
selesai misalnya pada sirkumsisi atau pada luka apendektomi.4
 OPIOID
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering digunakan dalam
anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan.
Malahan kadang-kadang digunakan untuk anesthesia narkotik total pada pembedahan
jantung. Opium ialah getah candu. Opiate ialah obat yang dibuat dari
opium. Narkotik ialah istilah tidak spesifik untuk semua obat yang dapat menyebabkan
tidur.8
Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan
sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic,
thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi reticular dan di korda spinalis yaitu
di substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan
polipeptida endogen (met-enkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor
morfin dan menghasilkan efek.Opioid digolongkan menjadi: 8
1. Agonis
Mengaktifkan reseptor.
Contoh: morfin, papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil,
sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
2. Antagonis
Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang
reseptor.
Contoh: nalokson, naltrekson.
3. Agonis-antagonis
Pentasosin, nalbufin, butarfanol, buprenorfin. 4

Klasifikasi Opioid
Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin),
tetapi penggolongan ini kurang popular. Penggolongan lain menjadi natural (morfin,
kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate
tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil). 8
Morfin
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah
dan lebih menguntungkan dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling
mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup
panjang (long acting).
Terhadap Sistem Saraf Pusat, mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.
Digolongkan depresi yaitu analgesi, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar
stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual-muntah, hiperaktif reflex spinal,
konvulsi, dan sekresi hormone antidiuretik (ADH).
Terhadap Sistem Jantung-Sirkulasi dosis besar merangsang vagus dan beralkibat
bradikardi, walaupun tidak mendepresi miokardium. Dosis terapetik pada dewasa sehat
normal tidur terlentang hamper tidak mengganggu sistem jantung-sirkulasi. Morfin
menyebabkan hipotensi ortostatik.
Terhadap Sistem Respirasi harus hati-hati, karena morfin dapat melepaskan
histamine, sehingga menyababkan konstriksi bronkus. Oleh sebab itu di indikasi-
kontrakan pada kasus asma dan bronchitis kronis.
Terhadap Sistem Saluran Cerna morfin menyababkan kejang otot usus, sehingga
terjadi konstipasi. Kejang sfingter Oddi pada empedu menyebabkan kolik, sehingga tidak
dianjurkan digunakan pada gangguan empedu. Kolik empedu menyerupai serangan
jantung, sehingga untuk membedakannya diberikan antagonis opioid.
Terhadap Sistem Ekskresi Ginjal, morfin dapat menyebabkan kejang sfingter
buli-buli yang berakibat retensio urin. 8
Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda
dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama.
Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut dalam air.
2. Metabolism oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat
dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang masih aktif memiliki sifat
konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari
10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan
dan takikardia.
4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi lebih
ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak ada
hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa. Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Dosis petidin intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang
tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena
iritasi. Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesia
spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg BB. 8

Fentanil
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100xmorfin. Lebih larut
dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah
suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hamper sama dengan
morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisiir
oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat
urin.
Efek depresi napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-3
ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.
Dosis besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan
pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot
punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. 8

Sufentanil
Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat dari
fentanil. Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya 0,1-0,3 mg/kgBB. 8
Alfentanil
Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya sangat besar.
Mula kerjanya cepat. Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB. 8

Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor
mu dan kelamahan analgesinya 10-20% disbanding morfin. Tramadol dapat
diberikan dengan dosis maksimal 400 mg per hari. 8

 ANTAGONIS
Nalokson
Naloksom ialah antagonis murni opioid dan bekerja ada reseptor mu, delta, kappa,
dan sigma. Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapat morfin akan terlihat laju
napas meningkat, kantuk menghilang, pupil mataa dilatasi, tekanan darah kalu
sebelumnya rendah akan meningkat.
Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir
pembedahan dengan dosis dicicil 1-2 ug/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit,
sampai ventilasi dianggap baik. Dosisi lebih dari 0,2 mg jarang digunakan. Dosis
intramuscular 2x dosis intravena.pada keracunan opioid nalokson dapat diberikan per-
infus dosis 3-10ug/kgBB.
Untuk depresi napas neonates yang ibunya mendapat opioid berikan nalokson 10
ug/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit. Biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg
diencerkan sampai 10 ml, sehingga tiap ml mengandung 0,04 mg. 9

Naltrekson
Naltrekson merupakan antagonis opioid kerja panjang yang biasanya diberikan
per oral, pada pasien dengan ketergantungan opioid. Waktu paro plasma 8-12 jam.
Pemberian per oral dapat bertahan sampai 24 jam. Naltrekson per oral 5 atau 10 mg dapat
mengurangi pruritus, mual muntah pada analgesia epidural saat persalinan, tanpa
menghilangkan efek analgesinya. 9
 Efek Relaksasi Otot
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anesthesia umum
inhalasi, melakukan blockade saraf regional dan memberikan pelumpuh otot. Pendalaman
anesthesia beresiko depresi napas dan depresi jantung, blockade saraf terbatas
penggunaannya.
Anesthesia tidak perlu dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar, analgesinya dapat
diberikan opioid dosis tinggi dan otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian pelumpuh
otot. Ketiga kombinasi ini dikenal sebagai trias anesthesia “the triad of anesthesia” dan
ada yang memasukkan ventilasi kendali.
Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan sambungan
ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf-otot. Pelumpuh otot disebut juga
sebagai obat blockade neuro-muskular.
Akibat rangsang terjadi depolarisasi pada terminal saraf. Influks ion kalsium
memicu keluarnya asetil-kolin sebagai transmitter saraf. Asetilkolin saraf akan
menyeberang dan melekat pada reseptor nikotinik-kolinergik di otot. Kalau jumlahnya
cukup banyak, maka akan terjadi depolarisasi dan lorong ion tebuka, ion natrium, dan
kalsium masuk dan ion kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat
dihidrolisa oleh asetilkolin-esterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan
kolin, sehingga lorong tertutup kembali terjadilah repolarisasi. 9
a) Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerjanya seperti asetil-
kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada
di celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul
relaksasi otot lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah suksinil-kolin
(diasetil-kolin) dan dekametonium.
Di dalam vena suksinil-kolin dimetabolisir oleh kolin-esterase-plasma, pseudo-
kolin-esterase, menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin)
dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase. 9
Dampak samping suksini ialah :
1. Nyeri otot pasca pemberian.
Nyeri otot dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot nondepolarisasi dosis kecil
sebelumnya. Dapat terjadi mialgia sampai 90%, dan mioglobinuria.
2. Peningkatan tekanan intraocular.
Akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri otot.
3. Penigkatan tekanan intracranial.
4. Peningkatan tekanan intragastrik.
5. Peningkatan kadar kalium plasma.
6. Aritmia jantung
Berupa bradikardi atau ‘ventricular premature beat’.
7. Salviasi
Akibat efek muskarinik.
8. Alergi, anafilaksis
Akibat efek muskarinik. 9

Dosis Awal Dosis Durasi Efek samping


(mg/kg) Rumatan (menit)
(mg/kg)
Nondepol long-acting
1. D-tubikurarin (tubarin) 0.40-0.60 0.10 30-60 Histamine +, hipotensi, natural
2. Pnkuronium 0.08-0.12 0.15-0.020 30-60 Vagolitik, takikardi, tensi ≥
3. Metakurin 0.20-0.40 0.05 40-60 Histamine -, hipotensi
4. Pipekuronium 0.05-0.12 0.01-0.015 40-60 Kardiovaskular stabil
5. Doksakurium 0.02-0.08 0.005-0.010 45-60 Kardiovaskular stabil
6. Alkurium (alloferin) 0.15-0.30 0.05 40-60 Vagolitik, takikardia
Nondepol intermediate
acting 4-6 0.5 30-60 Histamine-+, hipotensi
1. Gallamin (flaxedil) 0.5-0.6 0.1 20-45 Aman untuk hepar, ginjal
2. Atrakurium 0.1-0.2 0.015-0.02 25-45
(tracurium) 0.6-1.0 0.10-0.15 30-60
3. Vekuronium 0.15-0.20 0.02 30-45 Isomer atrakurium
(norcuron)
4. Rokuronium
(esmeron)
5. Cistacuronium
Nondepol short-acting
1. Mivakurium 0.20-0.25 0.05 10-15 Histamine +, hipotensi
(mivacron) 1.5-2.0 0.3-0.5 15-30
2. Ropacuronium
Depol short-acting
1. Suksinilkolin 1.0 3-10 Lihat teks
(scolin)
2. Dekametonium
b) Pelumpuh Otot Non-Depolarisasi
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan
reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi
asetil-kolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot nondepolarisasi
digolongkan menjadi :
1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurin, atrakurium, doksakurium,
mivakurium.
2. Steroid : pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin : alkuronium.
Berdasarkan lama kerja, pelumpuh otot non-depolarisasi dibagi menjadi kerja
panjang, sedang, dan pendek. Gallamin ada yang memasukkan sebagai panjang yang
lainnya kerja sedang.
Tabel 2. Pelumpuh Otot ("Penuntun Praktis Anestesiologi”, halaman 68)
Pilihan pelumpuh otot :
1. Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium
2. Gangguan faal hati : atrakurium
3. Miasternia gravis : jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
4. Bedah singkat : atrakurium, rokuronium, mivakuronium
5. Kasus obstetri : semua dapat digunakan, kecuali gallamin

 PENAWAR PELUMPUH OTOT

Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot


mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja.
Asetilkolinesterase yang paling sering digunakan ialah neostigmine (prostigmin),
piridostigmin dan edrophonium. Physostigmine (eserin) hanya untuk penggunaan per-
oral.
Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg, edrophonium
0,5-1,0 mg/kg dan fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg. penawar pelumpuh otot bersifat
muskarinik menyebabkan hipersalifasi, keringatan, bradikardia, kejang bronnkus,
hipermotilitas usus, dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai oleh
obat vagolitik seperti atropine dosis 0,01-0,02 mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg
sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa.10

7. PERSIAPAN DAN PENILAIAN PRA ANESTESIA


I. Persiapan Tindakan Anestesi
§ Dokter anestesi memberi salam kepada pasien dan memperkenalkan dirinya.
§ Memeriksa identitas pasien, bila perlu: tanggal lahir, jenis dan lokasi operasi (misalnya,
lutut kanan).
§ Bertanya mengenai kapan pasien makan terakhir kali.
§ Memeriksa mulut dan keadaan gigi (dalam keadaan terbuka).
§ Memasang alat monitor standar: EKG, oksimetri nadi, pengukur tekanan darah yang tidak
invasive, jalan masuk melalui vena, bila perlu: pengukur tekanan darah arteri.
Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. 10
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien
menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara
(anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya,
adakah penyakit – penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat. Kemudian pada
pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi – geligi, tindakan buka mulut, ukuran
lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan pula hasil pemeriksaan laboratorium atas
indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb,
leukosit, masa pendarahan, masa pembekuan), radiologi, EKG.

Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan
status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).

ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.

ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit
bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien batu ureter dengan hipertensi sedang
terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.

ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan
karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan septisemia,
atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.

ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya. Contohnya : Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.

ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak.
Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena ruptur
hepatik.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan


tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE

Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi lambung


karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung
dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam, bayi 3 – 4 jam. Pada pembedahan
darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau
dengan cara lain yaitu menetralkan asam lambung dengan memberikan antasida
(magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus
dalam keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk
dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin
pembedahan secara tertulis (informed concent). 10

II. Penilaian Pra-Bedah


Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokan dengan gelang identitas
yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis bagian tubuh yang
akan dioperasi.
1) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapatkan anesthesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca
bedah, sehingga kita dapat merancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi
nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk
mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi
sputum. Kebiasaan minum alcohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar. 4
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher
pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh
pasien. 4
3) Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit
yang walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil
(Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien
diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. 4
4) Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu harus
dihindari. 4

5) Klasifikasi Status Fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah
yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini
bukan alat prakiraan risiko anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat
dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
- Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
- Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Termasuk juga semua pasien yang berusia >80 tahun.
- Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas rutin terbatas.
- Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan aktivitas-
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupan setiap saat
- Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan-
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada bedah cito atau emergensi biasanya dicantumkan huruf E. 4

6) Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien
yang mengalami anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anesthesia harus dipantangkan diri masukan
oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anesthesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-
4 jam. Air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dan
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.
III. Premedikasi
Premedikasi merupakan tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam rangka
pelaksanaan anestesia dengan tujuan sebagai berikut: 4
i. Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu menghilangkan rasa cemas,
member ketenangan, membuat amnesia, mencegal mual ataupun muntah serta bebas
dari nyeri.
ii. Mengurangi dosis dari anestesia
iii. Memudahkan dan memperlancar induksi
iv. Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar
v. Menekan reflek-refleks yang tidak dinginkan
Pada umumnya premedikasi tidak diberikan terkecuali pasien terlalu gelisah
ataupun sulit dikendalikan. Premedikasi akan memerpanjang masa pulih. Obat
premedikasi yang umumnya diberikan adalah sulfat atropin, terutama bila memakai
eter atau ketamin yang menambah produksi sekresi jalan napas. Narkotika tidak
diberikan karena memperpanjang masa pulih dan menyebabkan mual atau muntah
pasca bedah.
Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk premedikasi adalah: 4
 Antimuskarinik
Hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus yang ditimbulkan oleh anestesi
inhalasi dapat mengganggu pernapasan selama anestesia. Atropine 0,4-0,6 mg IM
dapat mencegah hipersekresi ini 10-15 menit setelah penyuntikan. Efek ini
berlangsung selama ± 90 menit. Dosis obat ini tidaklah cukup untuk mencegah
perubahan kardiovaskular akibat rangsangan parasimpatis, berupa hipotensi dan
bradikardia, yang disebabkan oleh manipulasi sinus karotikus atau pemberian
berulang suksinilkolin IV. Untuk keadaan ini diperlukan dosis IV 1,5-2 mg pada
dewasa dan 0,02 mg/kgBB pada anak
 Analgetik narkotik
Morfin dapat digunakan untuk mengurangi cemas dan ketegangan pasien,
mengurangi nyeri. Teknik anestesi berimbang dapat membuat dampak buruk morfin
yaitu memperpanjang waktu pemulihan dan depresi kardiovaskular, dapat diatasi,
dan mual, muntah serta nyeri paska bedah dapat dikurangi. Morfin 8-10 mg yang
diberikan IM biasanya sudah cukup untuk tujuan tersebut, sedangkan dosis 0,01-0,2
mg/kg IV sudah cukup untuk menimbulkan analgesia. Dalam dosis berimbang
dengan N2O diperlukan morfin sampai 3 mg/kgBB, sedangkan apabila digunakan
anestetik inhalasi lainnya dianjurkan dosis tidak lebih dari 1-2 mg/kgBB.

Opioid lain yang biasa digunakan sebagai premedikasi, sesuai dengan urutan
kekuatannya adalah sulfentanil (1000 kali), remifentanil (300 kali), fentanil (100
kali), alfentanil (15 kali), morfin (1 kali) dan meperidin (0,1 kali). Pemilihan
penggunaan analgesik opioid didasarkan pada lama kerja karena semuanya dapat
memberikan efek analgesia dan efek samping sama. Berdasarkan lama kerjanya,
analgesik opioid dibedakan atas opioid dengan lama kerja singkat misalnya
remifentanil (10 menit), dan opioid lama kerja sedang misalnya sulfentanil (15
menit), alfentanil (20 menit) dan fentanil (30 menit). Dosis fentanil pada dewasa 3-
6 mcg/kgBB atau 1-3 mcg/kgBB pada anak

 Barbiturat

Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital) biasanya diberikan untuk sedasi


dam untuk mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat diberikan
secara oral atau IM. Dosis dewasa 100-150 mg dan 1 mg/kgBB pada anak di atas 6
bulan. Keuntungan dari pemakaian barbiturate adalah masa pemulihan tidak
diperpanjang dan efek depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi
serta jarang menyebabkan mual dan muntah

 Benzodiazepine

Golongan benzodiazepine yang lebih dianjurkan dibandingkan opioid dan


berbiturat. Pada dosis biasa, obat tersebut tidak menambah depresi napas akibat
opioid. Opioid menyebabkan tidur, amnesia retrograde dan dapat mengurangi rasa
cemas. Penggunaan benzodiazepine untuk premedikasi berbeda dosis dengan
induksi, diazepam oral 0,2-0,5 mg/kgBB, midazolam intramuscular 0,07-0,15
mg/kgBB serta lorazepam oral 0,05 mg/kgBB
 Neuroleptik
Kelompok obat neuroleptik digunakan untuk mengurangi mual dan muntah
akibat anestetik pada masa induksi maupun pemulihan, misalnya droperidol yang
biasa digunakan bersama fentanil. Kualitas sedasinya pun lebih baik daripada
kualitas sedasi yang ditimbulkan bila menggunakan morfin saja. Golongan fenotiazin
seperti klorpromazin atau prometazin juga dapat mengurangi muntah, tetapi
penggunaannya dibatasi oleh adanya efek hipotensi intraoperatif dan takikardi.

8. INDUKSI DAN RUMATAN ANESTESIA


I. INDUKSI ANESTESI UMUM
Induksi adalah usaha membawa / membuat kondisi pasien dari sadar ke stadium
pembedahan (stadium III Skala Guedel). Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari
sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan
pembedahan.
Ko-induksi adalah setiap tindakan untuk mempermudah kegiatan induksi anestesi.
Pemberian obat premedikasi di kamar bedah, beberapa menit sebelum induksi anestesi
dapat dikategorikan sebagai ko-induksi.
Untuk persiapan induksi anesthesia sebaiknya kita ingat kata STATICS:
S = Scope Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung, Laringo-Scope.
Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T = Tubes Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5
tahun dengan balon (cuffed).
A = Airway Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah tidak menyumbat jalan napas.
T = Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I = Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokakkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C= Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia.
S = Suction Penyedot lender, ludah dan lain-lainnya.4
·
Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara / rute :
1) Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi bolus disuntikan dalam
kecepatan 30-60 detik. Selama induksi anesthesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan
darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien
yang kooperatif.
Induksi intravena dapat dikerjakan secara full dose maupun sleeping dose.
Induksi intravena sleeping dose yaitu pemberian obat induksi dengan dosis tertentu
sampai pasien tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya di bawah dari full
dose ataupun maximal dose.
Induksi sleeping dose dilakukan terhadap pasien yang kondisi fisiknya lemah
(geriatri, pasien pre-syok). 11
2) Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara
induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau dewasa
yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2.
Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N20 : O2 = 3 : 1 aliran >
4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol % sampai konsentrasi yang dibutuhkan.
Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang
dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk. Walaupun
langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti dengan halotan
konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-
sifat : tidak berbau menyengat / merangsang, baunya enak, cepat membuat pasien
tertidur. 11
3) Induksi Intramuskular
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin (ketalar) yang
dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur. 11
4) Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi yang menggunakan tiopental atau midazolam.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh,
tidak ada gerakan pada kelopak mata.
Induksi, pemeliharaan dan pulih dari anestesia umum pada eter lambat. Sehingga stadium
anestesia yang disusun oleh Guedel pasien napas spontan dapat terlihat jelas.
Stadium I : Analgesia
Mulai induksi sampai mulai tidak sadar.
Stadium II : Eksitasi, delirium
Mulai tidak sadar sampai mulai napas teratur otomatis. Pada stadium ini pasien batuk,
mual-muntah, henti napas dan lain-lainnya.
Stadium III : Anestesia bedah
Mulai napas otomatis sampai mulai napas berhenti.
Plana 1. Mulai napas otomatis sampai gerak bola mata berhenti.
Plana 2. Mulai gerak bola mata berhenti sampai napas torakal lemah.
Plana 3. Mulai napas torakal lemah sampai napas torakal berhenti.
Plana 4. Mulai napas torakal berhenti sampai napas diafragma berhenti.
Stadium IV : Intoksikasi
Mulai paralisis diafragma sampai henti jantung atau meninggal. 11

TANDA REFLEKS PADA MATA


Refleks pupil
Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila anestesinya dangkal,
midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan baik/ stadium yang paling
baik untuk dilakukan pembedahan, midriasis maksimal menandakan pasien mati.
Refleks bulu mata
Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi. Apabila saat dicek
refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium 1.
Refleks kelopak mata
Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan untuk
memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita tarik palpebra
atas ada respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah masuk stadium 1
ataupun 2. 11
Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon saat kita beri
rangsangan cahaya. 11

TEKNIK ANESTESI UMUM

a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan

Indikasi :

· Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)

· Keadaan umum baik (ASA I – II)

· Lambung harus kosong12

Prosedur :

· Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik


· Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)

· Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang) efek
sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
· Induksi
· Pemeliharaan12
b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal tube)
kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi lama, sulit mempertahankan airway
(operasi di bagian leher dan kepala) 12

Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn durasi
singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS12

Teknik Intubasi

1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap


2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)
3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala
sedikit ekstensi → mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit,
menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau angkat
epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas ( alat
resusitasi ) 12
Klasifikasi Mallampati :

Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :


c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)

Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol


pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah operasi selesai
pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya.

· Teknik sama dengan diatas

· Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)

· Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya. 12

Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan tak
akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan
lainnya. 12

9. RUMATAN ANESTESIA
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara mengatur
konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat tinggi maka akan
dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat rendah, maka akan
didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk
itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman
anestesi.13
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena
(anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anesthesia yaitu tidur ringan (hipnosis)
sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-
50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan
udara+O2 atau N20+O2. 13
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah
halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau sovofluran 2-4
vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted) atau dikendalikan
(controlled). 13
10. MEMPERTAHANKAN ANESTESI DAN PENGAKHIRAN ANESTESI
I. Mempertahankan Anestesi
§ Pemantauan yang minimal harus dilakukan selama operasi: EKG, pengukuran tekanan
darah yang tidak invasive, oksimetri nadi, kapnometri, gas napas, pengukuran gas
anestesi.
§ Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan opioid (misalnya,
remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi (misalnya 0,5 MAC Desfluran) atau
sebagai anestesi intravena total (TIVA) dengan opioid dan propofol.
§ Segera rencanakan terapi nyeri pasca-operasi, bila perlu, pemberian analgetik non-steroid
(misalnya 30 mg/kg metamizol) dan pemberian opioid kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg
piritramid).
§ Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :
1. Peningkatan tekanan darah.
2. Peningkatan frekuensi denyut jantung.
3. Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.
4. Terdapat pergerakan.
5. Berkeringat.5

II. Pengakhiran Anestesia


o Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi berakhir (pada
penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah kulit dijahit).
o FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.
o Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
o Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan telah kembali
(antagonisasi dari relaksasi otot).
o Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di dalam ruangan
pasca-bedah.
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot
1. Cegukan (hiccup).
2. Dinding perut kaku.
3. Ada tahanan pada inflasi paru. 4
11. SKOR PEMULIHAN PASCA ANESTESI

Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang


menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu untuk
menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di
observasi di ruang Recovery room (RR).
Aldrete Score

A. Nilai Warna

 Merah muda, 2
 Pucat, 1
 Sianosis, 0

B. Pernapasan

 Dapat bernapas dalam dan batuk, 2


 Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
 Apnoea atau obstruksi, 0

C. Sirkulasi

 Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2


 Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
 Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0

D. Kesadaran

 Sadar, siaga dan orientasi, 2


 Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
 Tidak berespons, 0

E. Aktivitas

 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2


 Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
 Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
Steward Score (anak-anak)
A. Pergerakan
 Gerak bertujuan 2
 Gerak tak bertujuan 1
 Tidak bergerak 0
B. Pernafasan
 Batuk, menangis 2
 Pertahankan jalan nafas 1
 Perlu bantuan 0
C. Kesadaran
 Menangis 2
 Bereaksi terhadap rangsangan 1
 Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pemeriksaan, pasien tersebut diduga mengalami Epidural


hematoma. Teknik anestesi yang dipilih adalah anestesi umum. Menurut penelitian,
kombinasi ini lebih menstabilkan hemodinamik dan perfusi pada daerah operasi, dan
menurunkan penggunaan analgesik opioid. Selain itu, pasien juga lebih cepat bangun dari
anestesi dan rasa nyeri yang dirasakan lebih berkurang dibandingkan hanya dengan
anestesi umum. Manajemen airway yang dipilih adalah intubasi atas dasar waktu yang
dibutuhkan untuk operasi cukup lama (2,5 jam) dan tidak ditemukan penyulit untuk
dilakukannya intubasi. Digunakan single lumen spiral ETT untuk intubasi.
Pada tahap pre-anestesi dilakukan pemeriksaan salah satunya LEMON:
 Look externally : tidak ditemukan adanya kelainan anatomi kepala dan leher.
 Pada pasien evaluasi 3-3-2-1 dapat dilakukan.
 Malampati Score yaitu 1-2
 Obstruksi : tidak ditemukannya benda asing, stridor, gargling
 Neck mobility : tidak terdapat limitasi dari mobilitas leher pasien
Kesimpulannya, pemeriksaan pasien dengan LEMON tidak terdapat kesulitan dalam
pemasangan intubasi.
Pada pasien ini, obat yang digunakan untuk induksi secara intravena yaitu fentanyl
200 mcg, ketamine 80 mg, propofol 30 mg, dan atracurium 25 mg. Propofol dapat
menyebabkan penurunan tensi dan penurunan aktivitas simpatik sehingga menyebabkan
vasodilatasi. Propofol ini memiliki keuntungan dalam sedikitnya kejadian post operative
nausea and vomiting (PONV) pada prosedur rawat jalan. Waktu paruh (propofol) yaitu
24-72 jam.
Dosis propofol 2-2,5 mg/kgBB. Jadi dosis yang seharusnya diberikan adalah
dalam kisaran 60-250 mg. Akan tetapi, dosis yang diberikan adalah 30mg. menurut
penelitian, pada pasien dengan syok pendarahan dan dalam resusitasi kristaloid,
konsentrasi obat di otak lebih tinggi daripada pada orang normal. Oleh karena itu dosis
diturunkan 10-20% dari dosis normal (0,1-0,4 mg/kgBB). Dosis induksi yang cepat
menimbulkan efek sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit
tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf pusat. Sebagian besar propofol terikat
dengan albumin (96-97%). Dosis induksi propofol dapat menyebabkan pasien
kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP,
dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek
analgetik. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB), pemulihan kesadaran dapat
berlangsung cepat. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan
konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan
intraokular sebanyak 35%.
Fentanil merupakan obat dari golongan opioid yang banyak digunakan dalam
bidang anestesi, dimana kekuatannya 100 kali dibandingkan dengan morfin. Fentanil
bekerja pada reseptor spesifik di otak dan medulla spinalis untuk menurunkan rasa nyeri
dan respons emosional terhadap nyeri. Waktu paruh fentanil berkisar antara 3-4 jam dan
dapat memanjang hingga 7-8 jam pada beberapa pasien. Fentanil dimetabolisir oleh hati
dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi, metabolit dapat didapatkan di darah dalam 1-2
menit setelah pemberian. Dosis 1-3µg/kgBB memiliki efek analgetik yang hanya
berlangsung 30 menit, karena itu hanya digunakan dalam pembedahan dan tidak untuk
pasca bedah. Dosis besar 50-150µg/kgBB digunakan untuk induksi dan pemeliharaan
anestesi dengan kombinasi dengan benzodiazepine dan anestetik inhalasi dosis rendah
pada bedah jantung selain itu juga dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin
plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol. Dosis fentanyl yang digunakan sudah
sesuai dengan dosis yang dianjurkan.
Atracrium digunakan sebagai muscle relaxant, termasuk dalam golongan non-
depolarisasi. Atracrium bekerja dengan cara menghalangi asetilkolin menempati celah
saraf otot sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Berdasarkan lama kerja, tracrium
termasuk dalam pelemas otot kerja sedang sehingga dibutuhkan waktu sekitar 3-5 menit
hingga obat bekerja. Karena menggunakan pelumpuh otot non-depolarisasi maka
diperlukan penawar. Penawar yang digunakan prostigmin sehingga ditambahkan sulfas
atropine untuk mengurangi efek dari prostigmin dimana dapat menyebabkan
hipersalivasi, bradikardia serta hipermotilitas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi. EGC, Jakarta , 1994
2. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology). Alih
Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995
3. Muhiman, M., Thaib M. R., dan Sunatrio S. 2004. Anestesiologi Edisi pertama. Jakarta:
Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
4. Latief SA, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI. Jakarta, 2010
5. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. EGC, Jakarta, 2010
6. Zuhardi, T.B, Anestesi untuk pembedahan darurat dalam Majalah Cermin Dunia
Kedokteran no. 33, 1984 : 3-5
7. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia 2009.
8. Soenarjo,Sp. An., Djatmiko, H, Sp.An. 2010. Anestesiologi. FK UNDIP
9. American Society of Anesthesiologists (ASA). 2011. Continuum of Depth of Sedation
Definition of General Anesthesia and Levels of Sedation/Analgesia. ASA Web site.
Tersedia di http://www.asahq.org/publicationsAndServices/standards /20.pdf. Diakses
pada tanggal 7 Maret 2016.
10. Crowder, M. S. et al. 2014. Mechanism of Anesthesia and Consciousness. Dalam Clinical
Anesthesia 7th Edition, Paul G Barash et al (editor). USA : Lipincott Williams and
Wilkins.
11. Butterworth John F et al. 2013. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology. Edisi 5.
USA: Mc. Graw Hill. Hlm.
12. Zunilda DS dan Elysabeth. 2011. Anestetik Umum. Dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi
5, Sulistia et al. (editor). Jakarta: FKUI. Hlm.
13. Singh J, Kharbuja K, Tandukar A. Comparison of the Single Breath Vital Capacity
Technique with the Tidal Volume Technique. Journal of Nepal Paediatric Society. 2019.
38(2):84-89.

Anda mungkin juga menyukai