Anda di halaman 1dari 21

PORTOFOLIO KASUS BEDAH

HERNIA INGUINALIS LATERALIS DEXTRA IREPONIBEL

Disusun oleh :
dr. Melissa Suta

Pembimbing:
dr. Abdul Hakam, Sp.B

Pendamping :
dr. Ani Ruliana

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSU AISYIYAH PONOROGO
2021
Portofolio Kasus
No. ID dan Nama Peserta : dr. Melissa Suta
No. ID dan Nama Wahana : RSU Aisyiyah Ponorogo
Topik : Kasus bedah : Hernia Inguinalis Lateralis Dextra Ireponibel
Tanggal (kasus): 26 Desember 2020
Nama Pasien: Tn. K / 77 th No RM: 498512
Tanggal Presentasi: Pendamping: dr. Ani Ruliana
Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan
pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Bayi Anak Lansia Bumil
Neonatus Remaja Dewasa
Deskripsi: Pasien datang ke IGD RSU Aisyiyah Ponorogo dengan benjolan besar
pada skrotum kanan
Tujuan: Mengoptimalkan penatalaksanaan kasus Hernia Inguinalis Lateralis
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
bahasan Pustaka
Cara Diskusi Presentasi & E-mail Pos
membahas diskusi

Data pasien Nama: Tn. K / 77 th No RM: 498512


Nama Klinik: RSU Telp: (-) Terdaftar 26 Desember
Aisyiyah Ponorogo 2021
Data utama untuk bahan diskusi

2
1. Diagnosis/ Gambaran Klinis/Laboratoris

ANAMNESIS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSU Aisyiyah Ponorogo dengan keluhan
benjolan besar pada skrotum kanan yang tidak dapat masuk kembali sejak 10
jam SMRS. Benjolan tersebut keluar setelah mengangkat berat saat bekerja.
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut bawah dan nyeri pada benjolan pada
skrotum kanan sejak 10 jam SMRS. Pasien menyangkal adanya mual,
muntah, maupun demam. Pasien masih dapat flatus namun jarang, dan BAB
terakhir 1 hari SMRS. BAK dalam batas normal, tidak harus mengejan dan
tidak menetes.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat benjolan pada skrotum kanan : (+) sejak 1 tahun SMRS,
benjolan sebelumnya dapat keluar masuk, umumnya benjolan keluar saat
pasien beraktivitas dan angkat-angkat.
Riwayat batuk lama : (+) sejak 5 tahun SMRS, terkadang kambuh
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat Diabetes Melitus : (-)
Riwayat Pengobatan
Pasien belum berobat terkait keluhan benjolan pada skrotum kanan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama.
Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang petani dan masih bekerja sampai saat ini.
Pasien sering mengangkat berat saat bekerja. Pasien dulunya merokok selama
±15 tahun, namun saat ini sudah berhenti. Pasien tidak mengonsumsi alkohol.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : GCS 456
Tanda Vital
Tekanan darah : 155/70 mmHg

3
Nadi : 62 x/ menit
Pernapasan : 18 x/menit
Suhu : 36,5oC
SpO2 : 98%

Status Generalis
Kepala & leher : Tidak didapatkan anemis, ikterus, sianosis maupun
dyspnea.
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo
Inspeksi : Simetris, bentuk normal, retraksi (-)
Palpasi : Dada mengembang simetris, fremitus raba dalam batas
normal
Perkusi : Sonor semua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonchi -/-
+/+ -/- -/-
+/+ -/- -/-

Abdomen : Flat, supel, BU (+) normal, hepar/lien tidak teraba, nyeri


tekan (+) regio inguinal dextra dan suprapubis.
Extremitas : Akral hangat kering merah, CRT <2 detik, tidak
didapatkan edema.

4
Status Lokalis

Skrotum dextra : Hernia skrotalis ireponibel per magna, diameter ± 20


cm, slight hiperemis (+), nyeri tekan (+)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Rapid Test 26/12/2020 : Non reaktif
Darah Lengkap 26/12/2020
Hasil Satuan Nilai normal
Hemoglobin 13,5 g/dL 13,5 – 18
Leukosit 8.900 /mikroL 4.500 – 11.000
Trombosit 282.000 /mikroL 150.000 – 450.000
Hematokrit 37 % 35 – 47
Eritrosit 4,4 juta/mikroL 4,2 – 5,4
Hitung Jenis
Neutrofil 86 % 50 – 70
Limfosit 9 % 20 – 40
Monosit 5 % 2–8

Hemostasis 26/12/2020
Hasil Satuan Nilai normal
Masa 2 menit 1–5
Perdarahan
(BT)
Masa 8 menit 5 – 10
Pembekuan
(CT)

5
Kimia Klinik 26/12/2020
Hasil Satuan Nilai normal
Kreatinin 1,16 mg/dL 0 – 1,2
Ureum 39 mg/dL 18 – 49
BUN 18 mg/dL 8 – 22
Asam urat 2,1 mg/dL 2,6 – 6,0
AST/SGOT 33 U/L < 37
ALT/SGPT 10 U/L < 40
Glukosa 105 mg/dL < 200
Darah
Sewaktu

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Foto Thorax PA:
Jantung : ukuran, bentuk, dan posisi kesan baik
Aorta tak tampak kalsifikasi
Trakea di tengah
Paru tak tampak infiltrat, kalsifikasi, maupun nodul, hilus kanan kiri
normal, corakan bronchial baik
Hemidiafragma kanan kiri datar
Sinus costophrenicus kanan kiri tumpul
Soft tissue dan tulang baik
Kesimpulan : Emfisema pulmonum

6
2. Problem list
- Benjolan besar pada skrotum kanan yang tidak dapat masuk kembali
- Nyeri perut bawah dan nyeri pada benjolan pada skrotum kanan
- RPD : Riwayat benjolan pada skrotum kanan bisa keluar masuk (+),
riwayat batuk lama (+)
- Riwayat sosial : Pasien merupakan seorang petani dan sering mengangkat
berat saat bekerja.
- Abdomen : BU (+) N, nyeri tekan (+) inguinalis dextra dan suprapubis
- Status lokalis : Skrotum dextra : Hernia skrotalis ireponibel per magna,
diameter ± 20 cm, slight hiperemis (+), nyeri tekan (+)
- Foto thorax : Emfisema pulmonum
3. Assesment
Hernia Inguinalis Lateralis Dextra Ireponibel
4. Planning
Diagnosis: Darah lengkap, Hemostasis, Kimia klinik, Foto thorax
Terapi:
IVFD RL 20 tpm
Inj. Toramin 3 x 1 amp
Inj. Topazol 1 x1 amp
Inj. Furamin 2 x 1 amp
Tab. Diazepam 2 mg extra 1
Pasang DK
Monitoring:
Keluhan, tanda vital
Edukasi:
- Menjelaskan diagnosis penyakit kepada pasien
- Menjelaskan pemeriksaan yang akan dilakukan dan
pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan sebagai penegakan diagnosis
- Menjelaskan terapi yang diberikan pada pasien
- Menjelaskan kepada pasien mengenai prognosis dan komplikasi yang
dapat terjadi
- Menjelaskan efek samping pemberian obat

7
Perkembangan Pasien
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning
27 Desember Benjolan pada KU sedang Hernia - IVFD RL 20 tpm
2020 skrotum kanan, GCS 456 Inguinalis - Inj. Toramin 3 x 1 amp
tidak dapat TD 120/80, Lateralis - Inj. Topazol 1 x 1 amp
masuk, nyeri N 65, Dextra - Inj. Furamin 2 x 1 amp
(+) T 36,4 Ireponibel - Besok rencana operasi 
Skrotum Hernioraphy
dextra :
Hernia (+)
28 Desember Benjolan pada KU sedang Hernia - IVFD RL 20 tpm
2020 skrotum kanan, GCS 456 Inguinalis - Inj. Toramin 3 x 1 amp
Pre op tidak dapat TD 140/80, Lateralis - Inj. Pumpicel 1 x 1 amp
masuk, nyeri N 80, Dextra - Inj. Furamin 2 x 1 amp
(+) T 36,3 Ireponibel - Inj. Anbacim 2 g
Skrotum profilaksis
dextra :
Hernia (+)
28 Desember Nyeri pada KU sedang Post op - IVFD RL 20 tpm
2020 luka post GCS 456 hernioraphy - Inj. Toramin 1 amp
Post op operasi TD 110/65, - Inj. Ondansentron 1 amp
N 82, - Inj. Ranitidine 1 amp
T 36 - Inj. Asam traneksamat 1
Skrotum amp
dextra :
Jahitan
tertutup
kassa
29 Desember Nyeri pada KU cukup Post op - KRS
2020 luka post GCS 456 hernioraphy - Tab. Neurosanbe plus 3 x 1
operasi TD 120/75, - Caps. Lasgan 1 x 1
N 76, - Caps. Nutriflam Neo 1 x 1
T 36,3

8
Skrotum
dextra :
Jahitan
tertutup
kassa

9
Tinjauan Pustaka
Hernia Inguinalis

1. Anatomi Regio Inguinalis (Omar dan Moffat, 2004)


Kanalis inguinalis adalah saluran yang berjalan oblik (miring) dengan panjang 4
cm dan terletak 2 - 4 cm diatas ligamentum inguinale. Ligamentum Inguinale
merupakan penebalan bagian bawah aponeurosis muskulus oblikus eksterna yang
terletak mulai dari SIAS sampai ke ramus superior tulang pubis.
Dinding yang membatasi kanalis inguinalis adalah:
a. Anterior : dibatasi oleh aponeurosis muskulus oblikus eksternus dan 1/3
lateralnya muskulus oblikus internus.
b. Posterior : dibentuk oleh aponeurosis muskulus transversus abdominis
yang bersatu dengan fasia transversalis dan membentuk dinding posterior
di bagian lateral. Bagian medial dibentuk oleh fasia transversa dan konjoin
tendon, dinding posterior berkembang dari aponeurosis muskulus
transversus abdominis dan fasia transversal.
c. Superior : dibentuk oleh serabut tepi bawah muskulus oblikus internus dan
muskulus transversus abdomnis dan aponeurosis
d. Inferior : dibentuk oleh ligamentum inguinale dan lakunare bagian ujung
atas dari kanalis inguinalis adalah internal inguinal ring. Ini merupakan
defek normal dan fasia transversalis dan berbentuk huruf “U” dan “V” dan
terletak di bagian lateral dan superior. Batas cincin interna adalah pada
bagian atas muskulus transversus abdominis, iliopubik tract dan
interfoveolar (Hasselbach) ligament dan pembuluh darah epigastrik
inferior di bagian medial.
Dalam kanalis inguinalis pria terdapat duktus deferens, tiga arteri, tiga nervus,
dan tiga lapisan fasia. Tiga arteri tersebut adalah arteri spermatika interna, arteri
diferential dan arteri spermatika eksterna, lalu plexus vena pampiniformis, dan tiga
nervus tersebut adalah cabang genital dari nervus genitofemoral, nervus ilioinguinalis
dan serabut simpatis dari plexus hipogastrik. Sedangkan, tiga lapisan fasia yang
terdapat di dalam kanalis inguinalis yaitu: fasia spermatika eksterna yang merupakan
lanjutan dari fasia innominate, lapisan kremaster yang berlanjut dari serabut-serabut

10
muskulus oblikus internus dan fasia otot, serta fasia spermatika interna yang
merupakan perluasan dari fasia transversalis.
Aponeurosis muskulus oblikus eksternus di bawah linea arkuata (douglas),
bergabung dengan aponeurosis muskulus oblikus internus dan transversus abdominis
yang membentuk lapisan anterior rektus abdominis. Aponeurosis ini membentuk tiga
struktur anatomi di dalam kanalis inguinalis berupa ligamentum inguinale, lakunare
dan refleksi ligamentum inguinale (Colles).

Gambar 1 Anatomi Regio Inguinalis

11
Ligamentum lakunare terletak paling bawah dari ligamentum inguinale dan
dibentuk dari serabut tendon oblikus eksternus yang berasal dari daerah sias.
Ligamentum ini membentuk sudut <45 derajat sebelum melekat pada ligamentum
pektineal. Ligamentum ini membentuk pinggir medial kanalis femoralis.
Ligamentum pektineal (Cooper) merupakan ligamentum yang tebal dan kuat,
serta terbentuk dari ligamentum lakunare dan aponeurosis muskulus obliqus internus,
transversus abdominis dan muskulus pektineus. Ligamentum ini terfiksir ke
periosteum dari ramus superior pubis dan ke bagian lateral periosteum tulang ilium.
Refleksi ligamentum inguinale (Colles) merupakan ligamentum yang dibentuk
dari serabut aponeurosis yang berasal dari crus inferior cincin externa yang meluas ke
linea alba.
Pada kanalis inguinalis, juga terdapat suatu sruktur anatomis berbentuk segitiga
yang disebut sebagai Trigonum Hasselbach. Dasar dari Trigonum Hasselbach
dibentuk oleh pekten pubis dan ligamentum pektinea. Segitiga ini dibatasi oleh :
a. Supero-lateral : pembuluh darah epigastrika inferior
b. Medial : bagian lateral rektus abdominis
c. Inferior : ligamentum inguinale

2. Definisi
Hernia adalah penonjolan suatu kantong peritoneum, suatu organ atau lemak
praperitoneum melalui cacat kongenital atau akuisita (dapatan). Hernia terdiri atas
cincin, kantong, dan isi hernia. Semua hernia terjadi melalui celah lemah atau
kelemahan yang potensial pada dinding abdomen yang dicetuskan oleh peningkatan
tekanan intraabdomen yang berulang atau berkelanjutan (Sabiston, 2010).
Hernia inguinalis adalah kondisi prostrusi (penonjolan) organ intestinal masuk
ke rongga melalui defek atau bagian dinding yang tipis atau lemah dari cincin
inguinalis. Materi yang masuk lebih sering adalah usus halus, tetapi bisa juga
merupakan suatu jaringan lemak atau omentum (Erickson, 2009).

3. Epidemiologi
Hernia inguinalis merupakan hernia yang mempunyai angka kejadian yang
paling tinggi. Sekitar 75% dari seluruh hernia terjadi di regio inguinalis, 50%
merupakan hernia inguinalis indirek dan 25% adalah hernia inguinal direk (Sabiston,
2010).

12
4. Klasifikasi
Hernia inguinalis dibagi menjadi 2, yaitu hernia inguinalis direk dan hernia
inguinalis indirek.
a. Hernia Inguinalis Direk
Hernia inguinalis direk disebut juga hernia inguinalis medialis. Hernia ini
keluar melalui dinding inguinal posteromedial dari vasa epigastrika
inferior di daerah yang dibatasi Trigonum Hasselbach (Mansjoer, 2000).
Hernia inguinalis direk jarang terjadi pada perempuan, dan sebagian
bersifat bilateral. Hernia ini sering terjadi pada laki-laki lanjut usia dengan
kelemahan otot dinding abdomen (Snell, 2006).
b. Hernia Inguinalis Indirek
Hernia inguinalis indirek disebut juga hernia inguinalis lateralis, diduga
disebabkan oleh adanya defek kongenital. Defek kongenital tersebut
berupa kantong hernia. Kantong hernia merupakan sisa prosesus vaginalis
peritonei yaitu sebuah kantong peritoneum yang menonjol keluar, yang
pada janin berperan dalam pembentukan kanalis inguinalis. Oleh karena
itu kantong hernia masuk kedalam kanalis inguinalis melalui anulus
inguinalis internus yang terletak di sebelah lateral vasa epigastrika inferior,
menyusuri kanalis nguinalis dan keluar ke rongga perut melalui anulus
inguinalis eksternus. Hernia inguinalis indirek lebih banyak terjadi
dibandingkan hernia inguinalis direk, dan lebih sering pada pria daripada
wanita. Hernia ini lebih sering dijumpai pada sisi kanan (Mansjoer, 2000).
Berdasarkan sifatnya, hernia diklasifikasikan menjadi 4, yaitu (Sjamsuhidajat
dan Karndihardja, 2010).:
a. Hernia Reponibel
Hernia reponibel merupakan hernia dengan isi hernia yang dapat keluar-
masuk. Usus keluar ketika berdiri atau mengejan, dan masuk lagi ketika
berbaring atau bila didorong masuk ke dalam perut. Selama hernia masih
reponibel, tidak ada keluhan nyeri atau obstruksi usus.
b. Hernia Ireponibel
Hernia ireponibel merupakan hernia dengan isi hernia yang tidak dapat
direposisi kembali ke dalam rongga perut. Biasanya disebabkan oleh
pelekatan isi kantong kepada peritoneum kantong hernia.
c. Hernia Inkarserata

13
Hernia inkaserata merupakan hernia dengan isi hernia terjepit oleh cincin
hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke
dalam rongga perut. Akibatnya terjadi gangguan pasase usus. Penderita
umumnya akan mengalami gangguan obstruksi usus, seperti kesulitan
flatus dan BAB.
d. Hernia Strangulata
Hernia strangulate merupakan hernia dengan isi hernia terjepit oleh cincin
hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke
dalam rongga perut, sehingga menyebbakan gangguan vaskularisasi. Hal
ini menyebabkan nyeri hebat di tempat hernia, suhu tubuh meninggi, dan
leukositosis.

5. Etiologi
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab
yang didapat (Schwartz, 2000) Hernia inguinalis lebih banyak terjadi pada lelaki
daripada perempuan. Berbagai faktor penyebab berperan dalam pembentukan pintu
masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh
kantong dan isi hernia. Selain itu, diperlukan faktor yang dapat mendorong isi hernia
melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar. Pada orang sehat terdapat tiga
mekanisme yang dapat mencegah terjadinya hernia inguinalis, yaitu kanalis inguinalis
yang berjalan miring, adanya struktur otot oblikus internus abdominis yang menutup
anulus inguinalis internus ketika berkontraksi, dan adanya fasia transversa yang kuat
sehingga menutupi trigonum hasselbach yang umumnya hampir tidak berotot
(Sjamsuhidajat dan Karndihardja, 2010).
Proses mekanisme ini meliputi saat otot abdomen berkontraksi terjadi
peningkatan intraabdomen lalu m. oblikus internus dan m. tranversus berkontraksi,
serabut otot yang paling bawah membentuk atap mioaponeurotik pada kanalis
inguinalis. Konjoin tendon yang melengkung meliputi spermatic cord yang
berkontraksi mendekati ligamentum inguinale sehingga melindungi fasia
transversalis. Kontraksi ini terus bekerja hingga ke depan cincin interna dan berfungsi
menahan tekanan intraabdomen (Sjamsuhidajat dan Karndihardja, 2010).
Kontraksi m.transversus abdominis menarik dan meregang crura anulus
internus, iliopubic tract, dan fasia transversalis menebal sehingga cincin menutup
seperti spincter (Shutter Mechanism). Pada saat yang sama m. oblikus eksternus

14
berkontraksi sehingga aponeurosisnya yang membentuk dinding anterior kanalis
inguinalis menjadi teregang dan menekan cincin interna pada dinding posterior yang
lemah. Gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hernia
(Sjamsuhidajat dan Karndihardja, 2010).

6. Faktor Resiko
a. Usia
Usia adalah salah satu penentu seseorang untuk mengalami hernia
inguinalis, sebagaimana pada hernia inguinalis direk lebih sering pada
laki-laki usia tua yang telah mengalami kelemahan pada otot dinding
abdomen (Sabiston, 2010). Sebaliknya pada dewasa muda yang berkisar
antara 20-40 tahun yang merupakan usia produktif, hernia umumnya lebih
jarang terjadi.
b. Pekerjaan
Pekerjaan yang dapat menimbulkan risiko terjadinya hernia inguinalis
ialah pekerjaan fisik yang dilakukan secara terus-menerus sehingga dapat
meningkatan tekanan intraabdominal. Pekerjaan fisik tersebut contohnya
adalah buruh, petani, supir antar kota, dan atlet. Aktivitas (khususnya
pekerjaan) yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen
memberikan predisposisi besar terjadinya hernia inguinalis pada pria.
Apabila terjadi pengejanan pada aktivitas fisik maka proses pernapasan
terhenti sementara menyebabkan diafragma berkontraksi sehingga
meningkatkan kedalaman rongga torak, pada saat bersamaan juga
diafragma dan otot-otot dinding perut dapat meningkatkan tekanan
intraabdomen sehingga terjadi dorongan isi perut dinding abdomen ke
kanalis inguinalis (Ruhl dan Everhart, 2007).
c. Batuk Kronis
Proses batuk terjadi didahului inspirasi maksimal, penutupan glotis,
peningkatan tekanan intratoraks lalu glotis terbuka dan dibatukkan secara
eksplosif untuk mengeluarkan benda asing yang ada pada saluran
respiratorik. Inspirasi diperlukan untuk mendapatkan volume udara
sebanyakbanyaknya sehingga terjadi peningkatan intratorakal. Selanjutnya
terjadi penutupan glotis yang bertujuan mempertahankan volume paru
pada saat tekanan intratorakal besar. Pada fase ini terjadi kontraksi otot

15
ekspirasi karena pemendekan otot ekspirasi sehingga selain tekanan
intratorakal yang meninggi, intraabdomen pun ikut tinggi. Apabila batuk
berlangsung kronis maka terjadilah peningkatan tekanan intraabdominal
yang dapat menyebabkan terbuka kembali kanalis inguinalis dan
menimbulkan defek pada kanalis inguinalis sehingga timbulnya hernia
inguinalis (Widdicombe, 2007).
d. Obesitas
Obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi
lemak pada jaringan adiposa. Obesitas tidak hanya berupa kondisi dengan
jumlah simpanan kelebihan lemak, namun juga distribusi lemak di seluruh
tubuh. Pada orang yang obesitas terjadi kelemahan pada dinding abdomen
yang disebabkan dorongan dari lemak pada jaringan adiposa di dinding
rongga perut sehingga menimbulkan kelemahan jaringan rongga dinding
perut dan terjadi defek pada kanalis inguinalis (WHO, 2000). Pada
obesitas faktor risiko lebih besar apabila sering terjadi peningkatan
tekanan intraabdomen, misalnya: mengejan, batuk kronis, dan kerja fisik.

7. Patofisiologi (Mansjoer, 2000).


Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal pada fetus. Pada bulan ke-8 dari
kehamilan, terjadinya desensus testikulorum melalui kanalis inguinalis. Penurunan
testis itu akan menarik peritoneum ke daerah skrotum sehingga terjadi tonjolan
peritoneum yang disebut dengan prosesus vaginalis peritonea. Bila bayi lahir
umumnya prosesus ini telah mengalami obliterasi, sehingga isi rongga perut tidak
dapat melalui kanalis tersebut. Tetapi dalam beberapa hal sering belum menutup,
karena testis yang kiri turun terlebih dahulu dari yang kanan, maka kanalis inguinalis
yang kanan lebih sering terbuka. Dalam keadaan normal, kanal yang terbuka ini akan
menutup pada usia 2 bulan. Bila prosesus terbuka sebagian, maka akan timbul
hidrokel. Bila kanal terbuka terus, karena prosesus tidak berobliterasi maka akan
timbul hernia inguinalis lateralis kongenital. Biasanya hernia pada orang dewasa ini
terjadi karena lanjut usia, karena pada umur yang tua otot dinding rongga perut dapat
melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan jaringan tubuh mengalami
proses degenerasi. Pada orang tua kanalis tersebut telah menutup, namun karena
daerah ini merupakan lokus minoris resistansi, maka pada keadaan yang
menyebabkan tekanan intraabdominal meningkat seperti, batuk kronik, bersin yang

16
kuat dan mengangkat barangbarang berat dan mengejan, maka kanal yang sudah
tertutup dapat terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis lateralis karena
terdorongnya sesuatu jaringan tubuh dan keluar melalui defek tersebut. Akhirnya
menekan dinding rongga yang telah melemas akibat trauma, hipertropi prostat, asites,
kehamilan, obesitas, dan kelainan kongenital.

8. Manifestasi Klinis
Sebagian besar hernia inguinalis adalah asimtomatik, dan kebanyakan
ditemukan pada pemeriksaan fisik rutin dengan palpasi benjolan pada annulus
inguinalis superfisialis atau suatu kantong setinggi annulus inguinalis profundus
(Sabiston, 2010).
Pada umumnya keluhan pada orang dewasa berupa benjolan di lipat paha yang
timbul pada waktu mengedan. Batuk atau mengangkat benda berat, dan menghilang
waktu istirahat baring. Pada bayi dan anak-anak adanya benjolan yang hilang timbul
di lipat paha biasanya diketahui oleh orang tua. Jika hernia terjadi pada anak atau
bayi, gejalanya terlihat anak sering gelisah, banyak menangis, dan kadang-kadang
perut kembung, harus dipikirkan kemungkinan terjadi hernia strangulata. Pada
inspeksi diperhatikan keadaan asimetri pada kedua sisi lipat paha, skrotum atau labia
dalam posisi berdiri dan berbaring. Pasien diminta mengedan atau batuk sehingga
adanya benjolan atau keadaan asimetri dapat dilihat. Palpasi dilakukan dalam keadaan
ada benjolan hernia, di raba konsistensinya dan dicoba mendorong apakah benjolan
dapat direposisi. Setelah benjolan tereposisi dengan jari telunjuk atau jari kelingking
pada anak-anak. Cincin hernia dapat diraba, dan berupa anulus inguinalis yang
melebar (Sjamsuhidajat dan Karndihardja, 2010).
Gambaran klinis yang penting dalam penilaian hernia inguinalis meliputi tipe,
penyebab, dan gambaran. Hernia inguinais direct, isi hernia tidak terkontrol oleh
tekanan pada cincin internal, secara khas menyebabkan benjolan ke depan pada lipat
paha, tidak turun ke dalam skrotum. Hernia inguinalis indirect, isi hernia dikontrol
oleh tekanan yang melewati cincin internal, seringkali turun ke dalam skrotum (Grace
dan Borley, 2006).

9. Tatalaksana
Prinsip pengobatan operative pada hernia inguinalis adalah sebelum dilakukan
tindakan operasi pada pasien hernia, terlebih dahulu juga harus memperbaiki faktor
yang memperburuk hernia (batuk kronis, obstruksi prostat, tumor kolon, ascites)

17
(Doherty dan Way, 2006). Tujuan dari semua perbaikan hernia adalah untuk
menghilangkan kantong peritoneal (pada hernia inguinalis indirek) dan untuk
menutupi defek pada fasia di dinding inguinal. Perbaikan tradisional didekati jaringan
asli menggunakan jahitan permanen. Operasi pada Hernia Inguinalis dibedakan
menjadi 3, yaitu:
a. Herniotomi
Herniotomi adalah tindakan membuka kantong hernia, memasukkan
kembali isi kantong hernia ke rongga abdomen, serta mengikat dan
memotong kantong hernia. Herniotomi dilakukan pada anak-anak
dikarenakan penyebabnya adalah proses kongenital dimana prossesus
vaginalis tidak menutup (Sjamsuhidajat dan Karndihardja, 2010).
b. Herniorafi
Herniorafi adalah membuang kantong hernia di sertai tindakan bedah
plastik untuk memperkuat dinding perut bagian bawah di belakang kanalis
inguinalis. Herniorafi dilakukan pada orang dewasa karena adanya
kelemahan otot atau fasia dinding belakang abdomen (Muttaqin dan Sari,
2011).
c. Hernioplasti
Hernioplasti adalah tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan
memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis (Muttaqin dan Sari,
2011).

10. Komplikasi (Sjamsuhidajat dan Karndihardja, 2010)


Komplikasi hernia bergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia, isi
hernia dapat tertahan dalam kantong hernia pada hernia reponibel. Hal ini dapat
terjadi kalau isi hernia terlalu besar, misalnya terdiri atas omentum, organ
ekstraperitoneal. Di sini tidak timbul gejala klinis kecuali berupa benjolan. Isi hernia
dapat pula terjepit oleh cincin hernia sehingga terjadi hernia inkaserata yang
menimbulkan gejala obstruksi usus yang sederhana. Bila cincin hernia sempit, kurang
elastis, atau lebih kaku seperti pada hernia femoralis dan hernia obturatoria, maka
lebih sering terjadi jepitan parsial. Jarang terjadi inkaserasi retrograd, yaitu dua
segmen usus terjepit didalam kantong hernia dan satu segmen lainnya berada dalam
rongga peritoneum seperti huruf “W”. Jepitan cincin hernia akan menyebabkan
gangguan perfusi jaringan isi hernia. Pada permulaan, terjadi bendungan vena

18
sehingga terjadi edema organ atau struktur di dalam hernia dan transudasi ke dalam
kantong hernia. Timbulnya edema yang menyebabkan jepitan cincin hernia makin
bertambah sehingga akhirnya peredaran darah jaringan terganggu (strangulasi). Isi
hernia menjadi nekrosis dan kantong hernia akan berisi transudat berupa cairan
serosanguinus. Apabila isi hernia terdiri atas usus, dapat terjadi perforasi yang
akhirnya dapat menimbulkan abses lokal, fistel atau peritonitis jika terjadi hubungan
dengan rongga perut.

19
Pembahasan Kasus

Tn. K, 77 tahun, datang dengan keluhan benjolan besar pada skrotum kanan
yang tidak dapat masuk kembali sejak 10 jam SMRS. Benjolan tersebut keluar
setelah pasien mengangkat berat saat bekerja. Pasien mengeluhkan nyeri perut
bawah dan nyeri pada benjolan pada skrotum kanan sejak 10 jam SMRS. Pasien
sebelumnya memiliki riwayat benjolan pada skrotum kanan sejak 1 tahun SMRS,
dapat keluar masuk. Pasien juga memiliki riwayat batuk lama yang terkadang
kambuh sejak 5 tahun SMRS.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan adanya nyeri tekan abdomen pada regio
inguinal dextra dan suprapubis. Pada skrotum dextra, didapatkan hernia skrotalis
ireponibel per magna, diameter ± 20 cm, slight hiperemis (+), nyeri tekan (+).
Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan darah menunjukkan hasil dalam
batas normal. Sedangkan, pemeriksaan foto thorax menunjukkan gambaran
emfisema pulmonum.
Dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat
disimpulkan bahwa pasien mengalami Hernia Inguinalis Lateralis Dextra Ireponibel,
dengan faktor resiko berupa riwayat batuk lama (Emfisema pulmonum) dan
kebiasaan mengangkat berat.
Pasien mendapatkan terapi berupa tindakan operatif Hernioraphy, serta
pemberian Inj. Toramin 3x1, Inj. Topazol 1x1, Inj. Furamin 2x1.
Satu hari post operasi, pasien diperbolehkan pulang dan diberikan terapi
berupa Neurosanbe plus 3x1, Lasgan 1x1, dan Nutriflam Neo 1x1.

20
Daftar Pustaka

Doherty, G.M. dan Way, L.W., 2006. Current Surgical Diagnosis and Treatment, 12th
edition. McGraw-Hill. U.S.A
Erickson, K.M., 2009. Abdominal Hernias. Emedicine Speciaties General Surgery
Abdomen. U.S.A. (http://emedicine.medscape.com/ article/189563-
overview#a0103 diakses tanggal 17 Februari 2021).
Grace, P.A. dan Borley, N.R., 2006. At Glance Ilmu Bedah. Erlangga. Jakarta.
Indonesia.
Mansjoer, A., 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta.
Indonesia.
Muttaqin, A. dan Sari, K., 2011. Gangguan Gastrointestinal. Salemba Medika.
Jakarta. Indonesia.
Omar, F. dan Moffat, D., 2004. At Glance Anatomi. Erlangga. Jakarta. Indonesia.
Ruhl, C.E. dan Everhart, J.E., 2007. Risk Factor for Inguinal Hernia among Adults in
The US Population. America Journal Of Epidemiology. U.S.A.
(http://aje.oxfordjournals.org/co ntent/165/10/1154.full).
Sabiston, D.C., 2010. Buku Ajar Bedah. EGC. Jakarta. Indonesia.
Schwartz, 2000. Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. Indonesia
Sjamsuhidajat, R. dan Karndihardja, W., 2010. Dinding Perut, Hernia,
Retroperitoneum, dan Omentum. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. EGC. Jakarta.
615-629.
Snell, R.S., 2006. Anatomi Klinik. EGC. Jakarta. Indonesia.
WHO, 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva.
Widdicombe, J., 2003. Cough: Causes, Mechanism, and Theraphy. Blackwell
Publishing. Massachusetts. U.S.A.

21

Anda mungkin juga menyukai