Anda di halaman 1dari 61

PORTOFOLIO KASUS BESAR

SOPT + TB KAT 2 + MENINGIOMA

Disusun oleh :
dr. Danny Randy Jordan

Pembimbing:
dr. Wiwik Kurnia Ilahi, Sp.P
dr. Lisa Puspitorini, Sp.S

Pendamping :
dr. Kurniati, Sp.KK
dr. Lisa Puspitorini, Sp.S

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD IBNU SINA KABUPATEN GRESIK
2020
Portofolio Kasus
No. ID dan Nama Peserta : dr. Danny Randy Jordan
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Ibnu Sina
Topik : Kasus Besar : SOPT + TB Kat 2 + Meningioma
Tanggal (kasus): 17 Juni 2020
Nama Pasien: Ny. IH / 48 th No RM: 308336
Tanggal Presentasi : Pendamping:
dr. Kurniati, Sp.KK
dr. Lisa Puspitorini, Sp.S
Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Neonatus
Deskripsi: Pasien dibawa ke IGD RSUD Ibnu Sina dengan keluhan sesak memberat sejak 1
hari SMRS
Tujuan: Mengoptimalkan penatalaksanaan kasus SOPT dengan TB Kat 2 dan Meningioma
Bahan bahasan Tinjauan Riset Kasus Audit
Pustaka
Cara Diskusi Presentasi & E-mail Pos
membahas diskusi

Data pasien Nama: Ny. IH / 48 th No RM: 308336


Nama Klinik: RSUD Ibnu Telp: (-) Terdaftar sejak 17 Juni 2020
Sina
Data utama untuk bahan diskusi
1. Diagnosis/ Gambaran Klinis/Laboratoris

KELUHAN UTAMA
Sesak napas yang memberat sejak 1 hari SMRS.

1
ANAMNESIS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke IGD dengan keluhan sesak napas sejak 7 hari memberat sejak 1 hari
SMRS, keluhan ini dirasakan setiap saat tanpa ada faktor yang memperberat. Sesak
tidak dipengaruhi oleh aktifitas fisik. Keluhan ini juga disertai penurunan kesadaran,
batuk berdahak dengan dahak kuning kental tanpa disertai darah dengan frekuensi
yang sering, mual tanpa disertai muntah, serta nafsu makan menurun. Keluarga pasien
merasa berat badan pasien berkurang semenjak 1 bulan terakhir. Selain itu, pasien
mengalami kelemahan sisi tubuh sebelah kiri sejak 2 bulan SMRS. Awalnya pasien
masih bisa mengangkat kedua lengan dan tungkai, namun keluhan semakin memberat
tiap hari dan saat ini hanya bisa digeser sedikit. BAB dan BAK masih dalam batas
normal. Tidak didapatkan keluhan demam, pandangan kabur/dobel, pelo, muka merot,
nyeri kepala, nyeri dada, jantung berdebar-debar, ataupun nyeri sendi.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Penyakit Paru
Pasien pernah menderita keluhan batuk lama pada tahun 2012 yang lalu dengan
diagnosis TB Paru. Pasien menjalani pengobatan TB selama 9 bulan dan dinyatakan
sembuh. Selanjutnya pasien berobat beberapa kali (14 Agustus 2018, 02 Januari 2020,
31 Januari 2020, dan 10 Maret 2020) ke klinik paru di RSUD Ibnu Sina Kab. Gresik
dengan diagnosis Sequalae TB.
Riwayat Penyakit Bedah
Pada tanggal 22 Oktober 2016, pasien berobat ke klinik bedah umum RSUD Ibnu
Sina Kab. Gresik dan didiagnosis curiga Tumor Mammae Dextra. Kemudian pasien
rutin berobat di klinik bedah selama 1 tahun dan dilakukan operasi mastektomi di
RSUD Ibnu Sina Kab. Gresik pada tanggal 12 Oktober 2017. Hasil PA pada tanggal
28 Oktober 2017 menunjukkan Tumor Phylloides Malignant. Setelah itu, pasien
masih rutin kontrol sampai terakhir kontrol pada tanggal 02 Januari 2020.
Riwayat Penyakit Saraf
Pada tanggal 11 Maret 2020, pasien berobat ke klinik saraf RSUD Ibnu Sina Kab.
Gresik dan didiagnosis curiga Tumor Cerebri, lalu dilakukan pemeriksaan CT-Scan
Kepala pada tanggal 13 Maret 2020, hasilnya curiga Tumor Intraserebri. Pada tanggal
13 April 2020, pasien datang ke IGD RSUD Ibnu Sina Kab. Gresik dengan keluhan
nyeri kepala, setelah diberi obat membaik lalu dipulangkan. Pasien kembali lagi pada

2
tanggal 14 April 2020 dengan keluhan nyeri kepala, batuk berdahak, dan kelemahan
sisi tubuh kiri, kemudian MRS di ruang Edelweis dengan diagnosis Tumor
Intracerebri + TB Paru Kat. 2. Pada tanggal 17 April 2020, pasien dirujuk ke RSUD
Dr. Soetomo untuk dilakukan pembedahan. Pada tanggal 28 Mei 2020, pasien
kembali MRS di ruang Edelweis dan dirawat beberapa hari, lalu dipulangkan. Pada
tanggal 17 Juni 2020, pasien datang ke IGD RSUD Ibnu Sina Kab. Gresik dengan
keluhan sesak napas.
Pasien menyangkal riwayat darah tinggi(-), sakit kencing manis(-), dan penyakit
jantung(-). Riwayat bersin-bersin di pagi hari, sesak napas, dan gatal-gatal
sebelumnya juga disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang menderita keluhan sesak, batuk, ataupun keganasan
sebelumnya.

Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien tidak merokok.

Riwayat Penggunaan KB
Pasien pernah menggunakan KB selama > 5 tahun.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Somnolen, GCS 345
Tekanan darah : 126/71 mmHg
Nadi : 145x/ menit
Pernapasan : 28x/menit
Suhu : 36,7 oC
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 157 cm
BMI : 18,3 (underweight)

3
Kepala & leher : Meningeal Sign (-), Anemia (-), Icterus (-), Cyanosis (-)
Dyspnea (+)
Thorax :
Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
Inspeksi : simetris, bentuk normal, retraksi (-),
Palpasi : dada mengembang simetris, fremitus raba dbn
Perkusi : sonor / redup
sonor / redup
sonor / redup
Auskultasi : vesikuler +/+, wheezing +/+, rhonchi -/+
+/+ -/+ -/+
+/+ -/+ -/+
Abdomen : flat, supel, BU (+) normal, hepar/lien tidak teraba.
Extremitas : akral hangat kering merah, CRT <2 detik, tidak didapatkan edema.
Neurologi : Nervus Cranialis :
N.II/III : Pupil bulat isokor diameter 3 mm/3mm
N.VII : Parese N.VII Sinistra tipe Central
Motorik : atas 5/2 bawah 5/2 (lateralisasi sinistra)
Sensorik : sulit dievaluasi
Autonomik : sulit dievaluasi
Costovertebra : dalam batas normal
Refleks fisiologis : Biseps +2/+2, Triceps +2/+2,
KPR +2/+2, APR +2/+2
Refleks patologis : Hoffman -/+, Tromner -/+
Babinski -/+, Chaddock -/+

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DARAH LENGKAP (17/06/2020)
Hasil Nilai Normal Hasil Nilai Normal
Hemogloblin 10.9 11.7 - 15.5 g% BUN 16.0 8 - 18 mg/dL
Leukosit 10.700 3600 - 11000 /uL SK 0.68 0.45 - 0.75 mg/dL
LED - 0 - 20 mm Na 139 135 - 147 mmol/L
PCV 34 35 - 47 % K 4.3 3.5 - 5.0 mmol/L
Trombosit 312.000 150000 - 450000 /uL Cl 109 95 - 105 mmol/L

4
MCV 76 80 - 100 um3 SGOT 20.5 0 - 35 UL
MCH 24 26 - 34 pg SGPT 15.0 0 - 35 u/L
MCHC 32 32 - 36 % GDA 206 < 200 mg/dL
Rapid Test IgM NR
IgM NR, IgG NR
COVID-19 IgG NR

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Foto CT-Scan Kepala dengan Contrast, MRI Kepala dengan Contrast, MR Angiography
Brain di RSUD Dr. Soetomo (12/05/2020) :
Kesimpulan : High Grade Astrocytoma

5
Foto Thorax PA (17/06/2020) :
Jantung : sulit dievaluasi
Paru : trakea tampak tertarik ke hemithorax sinistra, tampak fibrokalsifikasi pada pulmo
dextra dan destroyed lung sinistra. Kesimpulan TB lama aktif.

6
Foto CT-Scan Kepala (17/06/2020) :
Kesimpulan : Meningioma

PEMERIKSAAN TAMBAHAN
EKG (17/06/2020)
Ritme sinus 120 x/menit
Kesimpulan : Iskemia Anteroseptal + Inferior + Lateral tinggi

7
Problem list
Sesak napas sejak 1 hari yang lalu
Batuk berdahak dengan dahak kuning kental
Penurunan kesadaran
Kelemahan sisi tubuh sebelah kiri
Mual, nafsu makan menurun, BB menurun
Riw. TB Paru 8 tahun yang lalu
Riw. Ca Mammae D (Tumor Phylloides Malignant) dan dioperasi 3 tahun yang lalu
Riw. Tumor Serebri dan dioperasi 2 bulan yang lalu
Riw. Penggunaan KB > 5 tahun
Nadi 145 x/menit
Dyspnea (+) (RR 28 x/menit)
Parese N.VII Sinistra tipe Central
Motorik atas/bawah : 5/2/5/2 (lateralisasi sinistra)
Refles patologis sinistra +
Foto Thorax (17/06/2020) : TB lama aktif
Foto CT-Scan Kepala (17/06/2020) : Meningioma
Assesment
SOPT + Susp. TB Relaps + Meningioma
Plan
Diagnosis: MRI Kepala dengan Contrast, MR Angiography Brain
Terapi di bidang Paru :
• Seretide 2 x 1
• Inj. Aminofilin drip 2 amp / 24 jam
• Inj. Levofloxacin 1 x 500 mg
• Tab. Paracetamol 3 x 500 mg via NGT
• Tab. Codein 3 x 10 mg via NGT
• Diet TKTP 6 x 100 cc via NGT
Terapi di bidang Saraf :
• Inj. Metamizole 3 x 500 mg
• Inj. Omeprazole 2 x 20 mg
• Tab. Baclofen 1 x 10 mg via NGT

8
Monitoring
• Keluhan (sesak, mual, penurunan kesadaran, dan kelemahan sisi tubuh), tanda vital,
dan defisit neurologis
Edukasi :
- Menjelaskan diagnosis penyakit kepada pasien
- Menjelaskan pemeriksaan yang akan dilakukan dan pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan sebagai penegakan diagnosis
- Menjelaskan terapi yang diberikan pada pasien
- Menjelaskan kepada pasien mengenai prognosis dan komplikasi yang dapat terjadi
- Menjelaskan efek samping pemberian obat.

9
Perkembangan Pasien

Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning


18 Juni 2020 Sesak (+) berkurang, batuk KU cukup, GCS 456 SOPT + Susp. TB Relaps Observasi TTV
(+) mual (-) muntah (-) TD 104/64, N 100, + Meningioma Chest physiotherapy
T 37,5, RR 22 Planning dx TCM (cairan
lambung)
Inj. Levofloxacin 1 x 500 mg
Tab. Paracetamol 3 x 500 mg
via NGT
Tab. Codein 3 x 10 mg via
NGT
Diet TKTP 6 x 100 cc via NGT
19 Juni 2020 Sesak (+) berkurang, batuk KU cukup, GCS 456 SOPT + Susp. TB Relaps Observasi TTV
(+) berkurang, nyeri kepala TD 104/64, N 100, + Meningioma Terapi di bidang Paru :
(+), nafsu makan menurun T 36,8, RR 20 Chest physiotherapy
Hasil TCM : M. tuberculosis Inj. Levofloxacin 1 x 500 mg
(+) Tab. Paracetamol 3 x 500 mg
via NGT

10
Tab. Codein 3 x 10 mg via
NGT
Diet TKTP 6 x 100 cc via NGT
Terapi di bidang Saraf :
Inj. Metamizole 3 x 500 mg
Inj. Omeprazole 2 x 20 mg
Tab. Baclofen 1 x 10 mg via
NGT
20 Juni 2020 Sesak (+) berkurang, batuk KU cukup, GCS 456 SOPT + TB Kat. 2 + Observasi TTV
(+) berkurang, nyeri kepala TD 111/68, N 103, Meningioma Terapi di bidang Paru :
(-), nyeri punggung (+), nafsu T 36,7, RR 20 Inj. Streptomycin 1 x 500 mg
makan menurun IM
Inj. Levofloxacin stop
Terapi lain tetap
Terapi di bidang Saraf :
Tab. Eperisone HCl 2 x 50 mg
via NGT
Terapi lain tetap

11
21 Juni 2020 Sesak (+) berkurang, batuk KU cukup, GCS 456 SOPT + TB Kat. 2 + Observasi TTV
(+) berkurang, nyeri kepala TD 110/72, N 98, Meningioma Terapi di bidang Paru :
(-), nyeri punggung (+), nafsu T 36,5, RR 20 Terapi tetap
makan menurun Terapi di bidang Saraf :
Terapi tetap
22 Juni 2020 Sesak (+) berkurang, batuk KU cukup, GCS 456 SOPT + TB Kat. 2 + Observasi TTV
(+) berkurang, nyeri kepala TD 106/66, N 88, Meningioma Terapi di bidang Paru :
(-), nyeri punggung (-), nafsu T 36,5, RR 20 Terapi tetap
makan menurun Terapi di bidang Saraf :
Inj. Dexamethasone 3 x 1 amp.
Inj. Novalgin 3 x 1 amp.
Terapi lain tetap
23 Juni 2020 Sesak (+) berkurang, batuk KU cukup, GCS 456 SOPT + TB Kat. 2 + Observasi TTV
(+) berkurang, nyeri kepala TD 103/65, N 85, Meningioma Terapi di bidang Paru :
(-), nafsu makan menurun T 36,6, RR 20 Terapi tetap
Terapi di bidang Saraf :
Terapi tetap

12
24 Juni 2020 Sesak (+) berkurang, batuk KU cukup, GCS 456 SOPT + TB Kat. 2 + Observasi TTV
(+) berkurang, nyeri kepala TD 100/60, N 98, Meningioma Terapi di bidang Paru :
(-), nafsu makan menurun T 36,7, RR 18 Terapi tetap
Terapi di bidang Saraf :
Terapi tetap
25 Juni 2020 Tersedak setelah makan, KU lemah, GCS 345 Pneumonia Aspirasi + Observasi TTV
penurunan kesadaran (+), TD 68/36, N 88, SOPT + TB Kat. 2 + Syok Terapi di bidang Paru :
sesak (+), batuk (+), nyeri T 36,7, RR 22 Sepsis + Sepsis + O 2 NRM 10 lpm
kepala (-) Hasil lab. Darah Lengkap : Meningioma Loading NaCl 0,9% 500 cc
Hb : 10,8 g% Inj. Norepinephrine 100 μg
PCV : 35 % Inj. Ceftazidime 3 x 1 g
Leukosit : 12.500 /uL Terapi lain tetap
Trombosit : 658.000 /uL Terapi di bidang Saraf :
LED : 60 mm Terapi tetap
26 Juni 2020 Penurunan kesadaran (-), KU lemah, GCS 224 Pneumonia Aspirasi + Observasi TTV
sesak (+) berkurang, batuk TD 113/70, N 90, SOPT + TB Kat. 2 + Syok Terapi di bidang Paru :
(+) berkurang, nyeri kepala T 36,5, RR 20 Sepsis (membaik) + Sepsis Inj. Norepinephrine 50 μg
(-) + Meningioma tapering off

13
Tab. Methyl prednisolone 3 x
1/3 tab. Via NGT
Terapi lain tetap
Terapi di bidang Saraf :
Terapi tetap
27 Juni 2020 Penurunan kesadaran (+), KU lemah, GCS 346 Pneumonia Aspirasi + Observasi TTV
sesak (+) berkurang, batuk TD 100/68, N 99, SOPT + TB Kat. 2 + Syok Terapi di bidang Paru :
(+) berkurang, nyeri kepala T 36,4, RR 20 Sepsis (membaik) + Sepsis Terapi tetap
(-) + Meningioma Terapi di bidang Saraf :
Terapi tetap
28 Juni 2020 Penurunan kesadaran (+), KU lemah, GCS 356 Pneumonia Aspirasi + Observasi TTV
sesak (+) berkurang, batuk TD 98/67, N 102, SOPT + TB Kat. 2 + Syok Terapi di bidang Paru :
(+) berkurang, nyeri kepala T 36,6, RR 20 Sepsis (membaik) + Sepsis Terapi tetap
(-) + Meningioma Terapi di bidang Saraf :
Terapi tetap
29 Juni 2020 Penurunan kesadaran (-), KU cukup, GCS 456 SOPT + TB Kat. 2 + Observasi TTV
sesak (+) berkurang, batuk TD 108/77, N 107, Sepsis + Meningioma Terapi di bidang Paru :
(+) berkurang, nyeri kepala T 36,5, RR 20 O 2 Masker 6 lpm

14
(-) Inj. Norepinephrine stop
Terapi lain tetap
Terapi di bidang Saraf :
Terapi tetap
30 Juni 2020 Sesak (+) berkurang, batuk KU cukup, GCS 456 SOPT + TB Kat. 2 + Observasi TTV
(+) berkurang, nyeri kepala TD 105/65, N 82, Meningioma Terapi di bidang Paru :
(-) T 36,2, RR 20 Inj. Ceftazidime stop
Hasil lab. Darah Lengkap : Terapi lain tetap
Hb : 11,2 g% Terapi di bidang Saraf :
PCV : 34 % Tab. Asam mefenamat 3 x 500
Leukosit : 7.800 /uL mg via NGT
Trombosit : 313.000 /uL Inj. Dexamethasone stop
LED : 15 mm Inj. Metamizole stop
Inj. Omeprazole stop
Terapi lain tetap
01 Juli 2020 Sesak (+) berkurang, batuk KU cukup, GCS 456 SOPT + TB Kat. 2 + Observasi TTV
(+) berkurang, nyeri kepala TD 110/70, N 85, Meningioma Terapi di bidang Paru :
(-) T 36,4, RR 20 Terapi tetap

15
Terapi di bidang Saraf :
Terapi tetap
02 Juli 2020 Sesak (+) berkurang, batuk KU cukup, GCS 456 SOPT + TB Kat. 2 + Observasi TTV
(+) berkurang, nyeri kepala TD 105/78, N 80, Meningioma Terapi di bidang Paru :
(-) T 36,5, RR 20 Terapi tetap
Terapi di bidang Saraf :
Terapi tetap
03 Juli 2020 Sesak (+) berkurang, batuk KU cukup, GCS 456 SOPT + TB Kat. 2 + Observasi TTV
(+) berkurang, nyeri kepala TD 107/70, N 81, Meningioma Terapi di bidang Paru :
(-) T 36,5, RR 20 Terapi tetap
Terapi di bidang Saraf :
Terapi tetap
04 Juli 2020 Sesak (+) berkurang, batuk KU cukup, GCS 456 SOPT + TB Kat. 2 + Observasi TTV
(+) berkurang, nyeri kepala TD 102/66, N 67, Meningioma Terapi di bidang Paru :
(-) T 36,3, RR 20 Terapi tetap
Terapi di bidang Saraf :
Terapi tetap

16
05 Juli 2020 Sesak (-), batuk (+) KU cukup, GCS 456 SOPT + TB Kat. 2 + Observasi TTV
berkurang, nyeri kepala (-) TD 111/70, N 90, Meningioma Terapi di bidang Paru :
T 36,5, RR 20 Terapi tetap
Terapi di bidang Saraf :
Terapi tetap
06 Juli 2020 Sesak (-), batuk (+) KU cukup, GCS 456 SOPT (stabil) + TB Kat. 2 ACC KRS
berkurang, nyeri kepala (-) TD 120/75, N 80, + Meningioma Terapi di bidang Paru :
T 36,5, RR 20 Tab. Ciprofloxacin 2 x 500 mg
PO (puyer) (karena pemberian
inj. Streptomycin tidak
memungkinkan)
Tab. Rifampisin 300 mg +
Isoniazid 300 mg 1 x 1 (puyer)
Tab. Pirazinamide 500 mg +
Ethambutol 500 mg 1 x 1½
(puyer)
Terapi di bidang Saraf :
Tab. Methyl Prednisolone 2 x 8

17
mg PO (puyer)
Tab. Asam mefenamat 3 x 500
mg PO (puyer)
Tab. Baclofen 1 x 10 mg PO
(puyer)
Tab. Eperisone HCl 2 x 50 mg
PO (puyer)

18
TINJAUAN PUSTAKA

TUBERCULOSIS PARU & SINDROM OBSTRUKTIF PASCA TB

LATAR BELAKANG
Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis dan merupakan penyakit infeksi kronis yang
menjadi masalah kesehatan dan perhatian dunia. Diperkirakan sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi oleh bakteri ini, sehingga merupakan salah satu masalah
dunia. (Kementerian Kesehatan RI, 2016)
Menurut WHO (2017), angka prevalensi tuberkulosis paru di Indonesia 1,3
per 1000 penduduk. Penyakit ini merupakan penyebab kematian urutan ke tiga
setelah penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan. Selain itu sekitar 75%
penderita tuberkulosis paru adalah kelompok usia produktif secara ekonomis,
yaitu 15-50 tahun. Tuberkulosis paru juga memberikan dampak buruk lainnya
secara sosial bahkan kadang dikucilkan oleh masyarakat.
Tidak hanya tuberkulosis paru saja yang dapat meresahkan seluruh
penduduk dunia. Tuberkulosis paru ini juga meninggalkan gejala sisa yang
dinamakan Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) yang cukup
meresahkan. Gejala sisa akibat TB masih sering ditemukan pada pasien pasca TB
dalam praktik klinik. Gejala sisa yang paling sering ditemukan yaitu gangguan
faal paru dengan kelainan obstruktif yang memiliki gambaran klinis mirip
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Patogenesis timbulnya SOPT sangat
kompleks, dinyatakan pada penelitian terdahulu bahwa kemungkinan
penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang dipengaruhi oleh reaksi imun
seseorang yang menurun sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang
menimbulkan peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan yang berlangsung
lama ini menyebabkan gangguan faal paru yaitu sesak napas, batuk berdahak dan
batuk darah. (Aida, 2006) Penelitian lainnya menunjukkan bahwa puncak
terjadinya gangguan faal paru pada pasien pasca TB terjaadi dalam waktu 6 bulan
setelah diagnosis (Irawati, 2013).

19
Penyebaran dan penyembuhan TB masih belum tuntas walaupun obat dan
cara pengobatannya telah diketahui. SOPT dapat mengganggu kualitas hidup
pasien, serta berperan sebagai penyebab kematian sebesar 15% setelah durasi 10
tahun. Deteksi dini SOPT dengan uji faal paru pada pasien pasca TB berperan
untuk memperbaiki kualitas hidup pasien. (Irawati, 2013)

EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis adalah salah satu penyakit menular yang menjadi perhatian di
dunia. Dengan berbagai upaya pengendalian yang telah dilakukan, insidens dan
kematian akibat turberkulosis sudah menurun. Pada tahun 2014 tuberkulosis
diperkirakan menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan kematian 1,2 juta jiwa.
India, Indonesia dan China merupakan negara dengan penderita tuberkulosis
terbesar di dunia (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Tuberkulosis adalah salah satu dari sepuluh penyakit yang menyebabkan
angka kematian terbesar di dunia. Pada tahun 2015 jumlah penderita TB baru di
seluruh dunia sekitar 10,4 juta yaitu laki – laki 5,9 juta, perempuan 3,5 juta dan
anak – anak 1,0 juta. Diperkirakan 1.8 juta meninggal antara lain 1,4 juta akibat
TB dan 0,4 juta akibat TB dengan HIV (WHO, 2017).
Prevalensi SOPT di dunia belum diketahui secara pasti karena belum
ada penelitian yang dilakukan terkait hal tersebut. Akan tetapi, beberapa
penelitian telah dilakukan di Negara tertentu dan diketahui kejadian
SOPT hampir diderita oleh penderita Tuberkulosis. Penelitian Baig, Saeed dan
Khalil (2010) pada Journal of College of Physicians and Surgeons Pakistan
didapatkan dari 47 responden, 76,5% adalah laki – laki, dengan usia antara 24 –
65 tahun dengan prevalensi 56,4 %. Sedangkan pada wanita terjadi pada usia
33 – 59 tahun dengan prevalensi 44,2%.
Penelitian tentang SOPT di Indonesia juga masih sedikit dilakukan. Hasil
penelitian Aida (2006) menunjukkan bahwa kejadian SOPT di RSU Persahabatan
Jakarta yaitu sebesar 40%. Kejadian SOPT di RSU Dr. Soedarso Pontianak
didapatkan angka sebesar 37,4%. Dan terjadi pada usia lanjut 54,1% dari pada
golongan usia produktif 45,9%. Kejadian SOPT banyak ditemukan pada laki-laki
70,3% daripada perempuan 29,7%.

20
DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis) atau dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA)
yang sebagian besar menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh
lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2016). TB paru adalah suatu penyakit yang
menular yang disebabkan oleh bacil Mycobacterium tuberculosis yang
menimbulkan penyakit saluran pernafasan bagian bawah. Sebagian besar bakteri
M. tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan
selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer (Byrne et al.,
2015).
Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) adalah obstruksi jalan nafas
yang muncul setelah tuberkulosis (TB) akibat mekanisme imunologi selama
proses TB (Dheda et al., 2017). Pada sebagian penderita TB, secara klinik timbul
gejala sesak terutama pada aktivitas, gambaran radiologi menunjukkan gambaran
bekas TB (fibrotik, kalsifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan
gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok penderita
tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis (SOPT) (Domínguez et al., 2016).

ETIOLOGI
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacerium tuberkulosis, sejenis kuman
batang dengan ukuran panjang 1-4 /um dan tebal 0,3 – 0,6/um, sebagian besar
kuman terdiri atas lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah
yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam sehingga disebut Bakteri Tahan
Asam (BTA), kuman dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin, hal ini karena kuman bersifat dormant, yaitu kuman dapat aktif
kembali dan menjadikan tuberkulosis ini aktif lagi. Sifat lain adalah aerob, yaitu
kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi oksigennya. (Bahar, 2000)
Tuberkulosis ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi melalui udara.
Individu terinfeksi, melalui berbicara, batuk, bersin, tertawa atau bernyanyi,
melepaskan droplet besar (lebih besar dari 100 µ) dan kecil (1-5 µ). Droplet yang
besar menetap, sementara droplet yang kecil tertahan di udara dan terhirup oleh

21
individu yang rentan. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang TB aktif,
mempunyai resiko untuk tertular tuberkulosis, hal ini juga tergantung pada
banyaknya organisme yang terdapat di udara. (Singer-Leshinsky, 2016)

PATOFISIOLOGI
M. tuberculosis yang mencapai permukaan alveoli biasanya diinhalasi
sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil karena gumpalan yang
lebih besar cenderung tertahan di rongga hidung dan tidak menyebabkan penyakit.
Setelah berada di ruang alveolus di bagian bawah lobus atau bagian atas lobus
bakteri M. tuberculosis ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit
polimorfonuklear tampak pada tempat tadi dan mefagosit bakteri tetapi tidak
membunuh organisme tersebut. Sesudah hari pertama maka leukosit diganti oleh
makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala-
gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya
tanpa menimbulkan kerusakan jaringan paru atau biasa dikatakan proses dapat
berjalan terus dan bakteri terus difagosit tau berkembang biak di dalam sel.
Bakteri juga menyebar melalui kelenjar limfe regional. Makrofag yang mengalami
infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel
tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya berlangsung
10 – 20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relative
padat seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari
epilteloid dan fibroblast menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi
menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu
kapsul yang mengelilingi tuberkel. (Bahar, 2000)
Lesi primer paru – paru disebut focus ghon dan gabungan terserang kelenjar
limfe regional dan lesi primer dinamakan komplek ghon. Komplek ghon yang
mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang mengalami
pemeriksaan radiogram rutin. Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis
adalah pencairan di mana bahan cair lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan
kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke
percabangan treakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali pada bagian lain

22
dari paru atau bakteri M. tuberculosis dapat terbawa ke laring, telinga tengah atau
usus. Kavitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan
jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit
dan tertutup oleh jaringan parut yang tedapat dekat dengan perbatasan bronkus.
Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak mengalir melalui saluran yang
ada dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini tidak
dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan
dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar
melalui saluran limfe atau pembuluh darah (limfohematogen). Organisme yang
lolos dari kelenjar limfe akan mencapai aliran darah dalam jumlah lebih kecil
yang kadang – kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain
(ekstrapulmoner). Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Hal ini terjadi bila focus nekrotik
merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem
vaskuler dan tersebar ke dalam sistem vaskuler ke organ – organ tubuh. (Singer-
Leshinsky, 2016)

PATOGENESIS
TUBERCULOSIS PARU
M. tuberculosis terkandung di dalam droplet ketika penderita TB batuk,
bersin atau berbicara. Droplet akan meninggalkan organisme yang cukup kecil
untuk terdeposit di dalam alveoli ketika dihirup. Ketika berada di dalam alveoli,
sistem imun akan merespon dengan mengeluarkan sitokin dan limfokin yang
menstimulasi monosit dan makrofag. M. tuberculosis mulai berkembang biak di
dalam makrofag. Dari beberapa makrofag. Beberapa dari makrofag tersebut
meningkatkan kemampuan untuk membunuh organisme, sedangkan yang lainnya
dapat dibunuh oleh basil. Setelah 1 – 2 bulan pasca paparan, di paru – paru terlihat
lesi patogenik yang disebabkan oleh infeksi. (Hunter, 2018)
1. TB Primer
TB primer adalah penyakit TB yang timbul dalam 5 tahun pertama
setelah terjadinya infeksi bakteri M. tuberculosis untuk pertama kalinya
(infeksi primer). TB pada anak – anak umumnya adalah TB primer. Pada

23
seseorang yang belum pernah kemasukan bakteri M. tuberculosis, tes
tuberkulin negatif karena sistem imun seluler belum mengenal bakteri M.
tuberculosis. Bila orang ini terinfeksi M. tuberculosis segera difagositosis
oleh makrofag, bakteri M. tuberculosis tidak akan mati sedangkan
makrofagnya dapat mati. Dengan demikian bakteri ini dapat berkembang
biak secara leluasa selama 2 minggu pertama di alveolus paru dengan
kecepatan 1 bakteri menjadi 2 bakteri setiap 20 jam. Setelah 2 minggu
bakteri bertambah menjadi 100.000. sel - sel limfosit akan berkenalan
dengan M. tuberculosis untuk pertama kalinya dan akan menjadi limfosit T
yang tersensitisasi dan mengeluarkan berbagai jenis limfokin. Beberapa
jenis limfokin akan merangsang limfosit dan makrofag untuk membunuh M.
tuberculosis. Disamping itu juga terbentuk limfokin lain yaitu Skin
Reactivity Factor (SRF) yang menyebabkan timbulnya reaksi
hipersensivitas tipe lambat pada kulit berupa indurasi dengan diameter 10
mm atau lebih dikenal sebagai reaksi tuberculin (tes Mantoux). Adanya
konversi reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif belum tentu menjadi
indikator bahwa sudah ada kekebalan.
Makrofag tidak selamanya dapat membedakan kawan atau lawan
sehingga menimbulkan kerusakan jaringan dalam bentuk nekrosis/
pengkejuan dan disusul dengan likuifaks/ pencairan. Pada tahap ini bentuk
patologi TB ditemukan dalam proporsi yang tidak sama yaitu berupa
tuberkel-tuberkel yang berupa pengkejuan di tengah (sentral) yang
dikelilingi oleh sel-sel epiteloid (berasal dari sel-sel makrofag) dan sel-sel
limposit. M. tuberculosis dapat musnah dengan perlahan atau tetap
berkembang biak di dalam makrofag, tetap tinggal selama bertahun-tahun
sampai puluhan tahun.
Dalam waktu kurang dari 1 jam setelah masuk ke dalam alveoli,
sebagian M. tuberculosis akan terangkut oleh aliran limfa ke dalam kelenjar
limfa regional dan sebagian ikut masuk ke dalam aliran darah dan tersebar
ke organ lain. Perubahan seperti ini dialami oleh kelenjar – kelenjar limfa
serta organ yang sempat dihinggapi M. tuberculosis. Kombinasi tuberkel
dalam paru dan limfadenitis regional disebut kompleks primer.

24
2. TB Post Primer
TB post primer merupakan sindrom yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis pada yang pernah terinfeksi dan oleh
karenanya pasien sensitif terhadap tuberkulin. TBC paru post primer
biasanya terjadi akibat dari infeksi laten sebelumnya. Infeksi ini dapat
menimbulkan suatu gejala TBC bila daya tahan tubuh host menurun.
Mikroorganisme yang laten dapat berubah menjadi aktif dan menimbulkan
nekrosis. TBC sekunder progresif menunjukkan gambaran yang sama
dengan TBC primer progresif. Pemulihan spontan tidak dijumpai pada
tuberkulosis post primer dan pasien mungkin menular bagi orang lain
sebelum diterapi secara efektif. Tuberkulosis post primer biasanya terjadi
setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena
daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk.
Ciri khas tuberkulosis post primer adalah kerusakan paru yang luas dan
parah.

SINDROM OBSTRUKTIF PASCA TUBERCULOSIS


Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada Tuberkulosis paru sangat
kompleks. Pada penelitian terdahulu dikatakan akibat destruksi jaringan paru oleh
proses penyakit Tuberkulosis. Kemungkinan lain adalah reaksi imunologis
perorangan sehingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas
karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif. Peradangan
yang berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi
sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi
cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal
paru yang dapat dideteksi secara spirometri. (Aida, 2006)

MANIFESTASI KLINIS
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau bahkan
banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan
kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah demam, batuk/batuk darah, sesak

25
nafas, nyeri dada, dan malaise. Berikut penjelasan dari masing-masing keluhan
tersebut :
1. Demam
Biasanya subfebril meyerupai demam influenza. Tetapi kadangkadang
panas badan dapat mencapai 40-41oC. Serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.
2. Batuk/Batuk darah
Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk
kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif. Keadaan
yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang
pecah.
3. Sesak napas
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru
4. Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik/melepaskan napasnya.
5. Malaise
Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan,
badan makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dan
lain-lain.

DIAGNOSIS
Diagnosis TB secara teoritis berdasarkan atas (Depkes RI, 2009) :
a. Anamnesis
Anamnesa suspek TB dengan keluhan umum (malaise, anorexia, berat
badan turun, cepat lelah), keluhan karena infeksi kronik (keringat pada
malam hari), keluhan karena ada proses patologis di paru (batuk lebih dari 2
minggu, batuk bercampur darah, sesak nafas, demam dan nyeri dada).

26
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan memeriksa fungsi pernafasan
antara lain frekuensi pernafasan, jumlah dan warna dahak, frekuensi batuk
serta pengkajian nyeri dada. Pengkajian paru – paru terhadap konslidasi
dengan mengevaluasi bunyi nafas, fremitus serta hasil pemeriksaan perkusi.
c. Tes Tuberkulin
Tes ini bertujuan untuk memeriksa kemampuan reaksi hipersensivitas tipe
lambat yang mencerminkan potensi sistem imun seseorang khususnya
terhadap M. tuberculosis. Pada seseorang belum terinfeksi M. tuberculosis,
sistem imunitas seluler tentunya belum terangsang untuk melawan M.
tuberculosis maka tes tuberkulin hasilnya negatif. Sebaliknya bila seseorang
pernah terinfeksi M. tuberculosis dalam keadaan normal sistem imun ini
sudah terangsang secara efektif 3 – 8 minggu setelah infeksi primer dan tes
tuberkulin menjadi positif.
d. Foto Rontgen Paru
Foto rontgen paru memegang peranan penting karena berdasar letak, bentuk,
luas dan konsistensi kelainan dapat diduga adanya lesi TB. Foto rontgen
paru dapat menggambarkan secara objektif kelainan anatomic paru dan
kelainan – kelainan bervariasi mulai dari bintik kapur, garis fibrotic, bercak
infiltrate, penarikan trakea, kavitas. Kelainan ini dapat berdiri sendiri atau
ditemukan bersama – sama.
e. Pemeriksaan Serologi
Berbeda dengan tes tuberkulin, tes serologi menilai Sistem Imunitas
Humoral (SIH) khususnya kemampuan produksi antibodi dari kelas IgG
terhadap sebuah antigen dalam M. tuberculosis. Bila seseorang belum
pernah terinfeksi M. tuberculosis, SIH- nya belum diaktifkan maka tes
serologi negatif. Sebaliknya bila seseorang sudah pernah terinfeksi M.
tuberculosis, SIH- nya sudah membentuk IgG tertentu sehingga hasil tes
akan positif.
f. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi meliputi pemeriksaan dahak, sekret bronkus dan
bahan aspirasi cairan pleura. Pemeriksaan dahak antara lain pemeriksaan

27
mikroskopis, kultur dan tes resistensi. Tentunya nilai tertinggi pemeriksaan
dahak adalah hasil kultur yang positif, yakni yang tumbuh adalah M.
tuberculosis yang sesungguhnya. Namun kultur ini tidak dapat dilakukan di
semua laboratorium di Indonesia dan pemeriksaan ini cukup mahal dan
memakan waktu yang lama sekitar 3 minggu. Oleh sebab itu pemeriksaan
dahak secara mikroskopis sudah dianggap cukup untuk menentukan
diagnosis TB dan sudah dibenarkan pemberian pengobatan dalam rangka
penyembuhan penderita TB.
Dalam upaya pengendalian TB secara nasional maka diagnosis TB paru
untuk orang dewasa ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis
yaitu pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat. Apabila
pemeriksaan secara bakterilogis negatif maka penegakkan diagnosis TB dengan
pemeriksaan foto toraks. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja karena foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang spesifik pada TB paru dan tidak dibenarkan mendiagnosis TB
dengan tes tuberkulin saja. Berikut alur diagnosis TB menurut Kemenkes RI,
2016 :

Gambar 1. Alur diagnosis TB untuk fasilitas Kesehatan tanpa TCM

28
Gambar 2. Alur diagnosis TB untuk fasilitas Kesehatan dengan TCM

TATALAKSANA
TUBERCULOSIS PARU
Penatalaksanaan dari TB dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pencegahan,
pengobatan dan penemuan penderita (active case finding). (Depkes RI, 2009)
a. Pencegahan TB Paru
Pencegahan TB paru dilakukan dengan pemeriksaan terhadap individu yang
bergaul erat dengan penderita TB paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi
tes tuberkulin, klinis dan radiologis. Bila tes positif, maka pemeriksaan
radiologis diulang 6 dan 12 bulan mendatang. Selain itu, dilakukan
pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi tertentu yang
disebut mass chest X-ray. Pemeriksaan ini dilakukan misalnya kepada
karyawan rumah sakit, penghuni rumah tahanan, atau siswasiswi asrama.
Jika hasil negatif maka akan diberikan vaksinasi BCG sebagai pencegahan,
namun jika hasilnya positif atau pada kasus bayi yang menyusui dari ibu
dengan BTA positif, maka akan diberikan kemoprofilaksis dengan
menggunakan INH 5mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan

29
menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit.
Selain pemeriksaan tersebut, tentunya pencegahan yang sangat diperlukan
adalah informasi dan edukasi tentang penyakit TB kepada masyarakat.
Dengan memberikan edukasi yang benar, diharapkan masyarakat lebih
mengetahui tentang pencegahan TB dan juga pengobatan.
b. Pengobatan TB Paru
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan (4-7 bulan). Untuk program nasional pembatasan TB paru,
WHO menganjurkan panduan obat sesuai dengan kategori penyakit.
Kategori tersebut didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan dalam
program. Kategori dalam pengobatan penyakit TB dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Kategori I (TB Kasus Baru)
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan
sputum negatif tetapi memiliki kelainan paru yang luas, TB usus, TB
saluran perkemihan, dan sebagainya. Dimulai dengan fase 2 HRZS (E)
obat diberikan setiap hari selama dua bulan. Jika setelah dua bulan
pengobatan, sputum menjadi negatif, maka dilanjutkan dengan fase
lanjutan. Jika setelah dua bulan, hasil sputum tetap positif, maka fase
intensif diperpanjang 2-4 minggu setelah fase intensif pertama, kemudian
dilanjutkan dengan fase lanjutan tanpa melihat hasil sputum berikutnya.
2. Kategori II (TB Kasus Relaps)
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.
Fase intensif HRZES-1 HRZE. Bila setelah fase intensif sputum berubah
menjadi negative, maka diteruskan ke fase lanjutan. Bila setelah
pengobatan selama tiga bulan sputum tetap positif, maka pengobatan
dihentikan 2-3 hari. Kemudian uji resistensi lalu pengobatan diteruskan
dengan fase lanjutan.
3. TB Resisten Obat
TB Resisten obat adalah TB yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis yang telah mengalami kekebalan terhadap
OAT.

30
Resistensi terhadap Obat Anti Tuberculosis (OAT)
Hasil surveilans global menjelaskan bahwa mycobacterium tuberculosis
yang resisten terhadap OAT telah menyebar dan menjadi ancaman terhadap
program pengendalian TB di berbagai negara. Kegagalan pada pengobatan akan
menyebabkan lebih banyak OAT yang resisten terhadap kuman mycobacterium
tuberculosis. Kegagalan ini tidak hanya merugikan pasien tetapi juga
meningkatkan penularan pada masyarakat. Resistensi OAT adalah suatu
fenomena akibat pengobatan penderita TB yang tidak adekuat. Faktor penyebab
resistensi OAT terhadap kuman mycobacterium tuberculosis antara lain: 1). faktor
mikrobiologik, diantaranya resistensi yang natural, didapat, amplifier effect,
virulensi kuman, atau tertular kuman yang telah MDR; 2). Faktor klinik,
diantaranya pengobatan yang tidak lengkap, kualitas obat yang kurang baik, obat
tidak dapat diserap dengan baik misalkan rifampisin yang diminum sebelum
makan atau pada saat diare, ketersediaan obat yang tidak adekuat, kurangnya
pengawasan terhadap pengobatan dan dosis obat yang tidak tepat. (Lange et al.,
2018)
Secara umum resistensi terhadap obat anti tuberculosis dibagi menjadi:
a. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan.
b. Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada
riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau tidak.
c. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat
pengobatan OAT minimal 1 bulan.
Kategori resistensi obat anti TB adalah sebagai berikut:
a. Mono-resistance : kekebalan terhadap salah satu obat OAT
b. Poly-resistance : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid dan rifampisin.
c. Multidrug resistance (MDR) : kekebalan terhadap minimal 2 (dua) obat anti
TB yang paling poten, yaitu INH dan Rifampisin secara bersama sama atau
disertai resisten terhadap obat anti TB lini pertama lainnya seperti
etambutol, streptomisin dan pirazinamid. Kekebalan terhadap sekurang-
kurangnya isoniazid dan rifampicin.

31
d. Extensive drug resistance (XDR) : TB MDR disertai dengan kekebalan
terhadap obat anti TB lini kedua yaitu golongan fluorokuinolon dan
setidaknya satu obat anti TB lini kedua suntikan seperti kanamisin,
amikasin atau kapreomisin.

Pada awalnya, pengobatan standar untuk pasien TB RO hanya ada satu


pilihan dengan lama pengobatan selama 20-24 bulan. Kemudian perkembangan
pengobatan TB RO di Indonesia semakin maju setelah WHO mengeluarkan
secara resmi rekomendasi pengobatan jangka pendek untuk pasien TB RO,
dimana lama pengobatan pasien TB RO hanya 9 – 11 bulan. Indonesia mulai
mempersiapkan implementasi paduan jangka pendek untuk pasien TB RO sejak
2016 dan pasien pertama yang diobati dengan paduan jangka pendek pada bulan
September 2017. Berikut alur pengobatan pasien dengan TB RO :

Gambar 3. Alur pengobatan TB Resisten Obat

Panduan pengobatan TB RO :
1. Panduan Jangka Pendek
4-6 Km – Mfx – Eto (Pto) – H (DT) – Cfz – E – Z / 5 Mfx – Cfz – E – Z

32
Tahap awal selama 4 – 6 bulan dan tahap lanjutan selama 5 bulan.
2. Panduan Individual
Pasien TB RO yang tidak dapat diberikan paduan jangka pendek akan
mendapatkan paduan individual. Paduan individual terdiri dari setidaknya 5
obat efektif yaitu 4 obat inti lini kedua ditambah pirazinamid (Z). Lama
pengobatan yakni 20 – 24 bulan. Cara pemilihan panduan individual :
o 1 obat dari grup A
o 1 obat dari grup B
o Sisanya dari grup C, D2 atau D3 sampai terpenuhi sejumlah 5 obat
efektif

Gambar 4. Pilihan obat panduan individual

SINDROM OBSTRUKTIF PASCA TB


Pada sebagian bekas penderita TB, masih mengeluhkan batuk bahkan
timbul sesak bertahun-tahun kemudian (SOPT). Gejala ini terjadi karena adanya
kerusakan paru yang permanen, gangguan menetap restriktif dan sebagian
obstruktif pada spirometri. Biasanya penderita SOPT ini ireversibel pada

33
pemberian obat bronkodilator dan bahkan dengan kortikosteroid (Sarkar et al,
2017). Namun, SOPT termasuk dalam penyakit obstruksi paru yang gejalanya
mirip dengan PPOK, maka pemberian terapi mirip dengan PPOK. Terapi SOPT
diberikan sesuai kausa. Pilihan terapi untuk SOPT, adalah:
1. Bronkodilator:
a. golongan antikolinergik : ipratropium bromida (0,5mg)
b. golongan agonis β-2 : salbutamol (2,5mg)
c. kombinasi : ipratropium bromida (0,5mg) dengan salbutamol (2,5mg) 
nebulasi
d. golongan xantin : aminofilin (200mg)
2. Anti inflamasi : prednison atau metilprednisolon
3. Antioksidan : N-acetyl cystein
4. Antibiotika (hanya diberikan jika terdapat infeksi) : golongan β-lactam dan
makrolid
5. Terapi oksigen
6. Rehabilitasi medik

KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan dalam masa pengobatan ataupun setelah selesai pengobatan. Beberapa
komplikasi dini yang mungkin timbul adalah batuk berdarah, pneumotoraks, luluh
paru, gagal napas, gagal jantung dan efusi pleura (Romanowski et al., 2019). Ada
pula komplikasi lanjut yang dapat timbul berupa obstruksi jalan napas yang dapat
menyebabkan SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan
parenkim berat yang dapat menyebabkan fibrosis paru, korpulmonal, amiloidosis,
karsinoma paru, sindroma gagal napas dewasa (ARDS).

PROGNOSIS
Prognosis tuberkulosis (TB) tergantung pada diagnosis dini dan
pengobatan. Tuberkulosis extra-pulmonary membawa prognosis yang lebih
buruk. Seorang yang terinfeksi kuman TB memiliki 10% risiko dalam hidupnya
jatuh sakit karena TB. Namun penderita gangguan sistem kekebalan tubuh,

34
seperti orang yang terkena HIV, malnutrisi, diabetes, atau perokok, memiliki
risiko lebih tinggi jatuh sakit karena TB. Rekurensi pengidap TB yang mendapat
terapi DOT (Directly Observed Treatment) berkisar 0-14%. Di negara-negara
dengan angka TB yang tinggi, rekurensi biasanya terjadi setelah pengobatan
tuntas, hal ini cenderung dikarenakan oleh reinfeksi daripada relaps. (WHO,
2017)
Prognosis buruk terdapat pada penderita TB extra pulmonary, gangguan
kekebalan tubuh, lanjut usia, dan riwayat terkena TB sebelumnya. Prognosis baik
bila diagnosis dan pengobatannya dilakukan sedini mungkin. (Singer, 2016)

MENINGIOMA

LATAR BELAKANG
Tumor otak merupakan penyebab kematian kedua setelah stroke dalam
kelompok penyakit neurologis. Diperkirakan sekitar 11.000 orang meninggal
akibat tumor otak primer setiap tahunnya di Amerika Serikat. (Wiemels et al.,
2010) Tumor susunan saraf pusat ditemukan sebanyak 10% dari neoplasma
seluruh tubuh, dengan 80% diantaranya terjadi di intrakranial dan 20% di medulla
spinalis. Di Amerika Serikat terdapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap
tahun (McFaline-Figueroa and Lee, 2018).
Menurut World Health Organization (WHO) meningioma adalah tumor
otak primer yang berasal dari sel meningothelial (arachnoid) leptomeningen.
Tumor ini dapat terjadi dimana saja sepanjang lokasi sel arachnoid, biasanya
menempel pada permukaan dalam duramater dan umumnya tumbuh lambat
(McFaline-Figueroa and Lee, 2018). Meningioma adalah tumor otak primer yang
paling sering didiagnosa yaitu sebesar 33,8% dari seluruh tumor otak primer. Di
Amerika Serikat, insiden meningioma yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan
patologi diperkirakan sebesar 97,5 per 100.000 jiwa. Namun jumlah ini
diperkirakan lebih rendah dari yang sebenarnya karena adanya sebagian
meningioma yang tidak dioperasi. Sedangkan di Inggris, insiden meningioma
diperkirakan sebesar 5,3 per 100.000 jiwa dan tetap stabil selama 12 tahun ini
(Wiemels, 2010).

35
Meskipun umumnya meningioma bersifat jinak dan tidak memiliki banyak
variasi penyimpangan secara genetik, namun lokasi tumor dapat mengakibatkan
kondisi serius dan mematikan (Wiemels, 2010). Lokasi meningioma dapat
menyebabkan gejala klinik yang bervariasi dan sangat menentukan prognosis
serta pilihan terapi, terutama reseksi bedah. Mayoritas meningioma ditemukan di
daerah supratentorial, umumnya di sepanjang sinus vena dural, antara lain daerah
convexity, parasagital, dan di daerah sayap sphenoid (Murase et al., 2020).
Meningioma bersifat unik dibandingkan dengan tumor SSP lainnya. Pada
meningioma dengan gambaran histopatologik suatu lesi maligna, tidak terlihat
dari gejala klinik yang dirasakan oleh pasien. Pada meningioma gambaran
histopatologiknya jinak memiliki risiko rekurensi 2,3-7% setelah dilakukan
pengangkatan semua tumor (in toto). Oleh karena itu perilaku biologis sel tumor
dan risiko rekurensi tidak dapat diprediksi hanya dari gambaran histopatologik
saja (Murase et al., 2020).

EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian meningioma di dunia 24-30% dari tumor primer
intrakranial, di Italia 13 per 100.000 penduduk, Caucasian 3,78 per 100.000
penduduk, Hispanis 3,45 per 100.000 penduduk (McGuire, 2016). Frekuensi
kejadian meningioma menurut jenis kelamin di Norway 1,5 per 100.000
penduduk laki-laki dan 2,8 per 100.000 penduduk perempuan (McGuire, 2016).
Data dari Central Brain Tumor Registry of the United States (CBTRUS) Tahun
2004-2006 didapatkan 3,76 per 100.000 penduduk laki-laki dan 8,44 per 100.000
penduduk perempuan setiap tahunnya (Butowski, 2015).
Tumor ini mewakili 20% dari semua neoplasma intrakranial dan 12 % dari
semua tumor medulla spinalis. Meningioma biasanya jinak, tetapi bisa kambuh
setelah diangkat. Tumor ini lebih sering ditemukan pada wanita dan biasanya
muncul pada usia 40-60 tahun dengan usia puncak 40-44 tahun. Insiden
meningioma akan meningkat dengan bertambahnya usia, terutama usia diatas 65
tahun dan lebih banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki (Butowski,
2015). Meningioma dapat juga terjadi pada anak-anak dan bersifat lebih agresif
(Buerki et al., 2018). Paling banyak meningioma tergolong jinak (benign) dan

36
10% maligna. Meningioma maligna dapat terjadi pada wanita dan laki-laki,
meningioma benign lebih banyak terjadi pada wanita. (Bondy et al., 2008)

ETIOLOGI
Para ahli tidak memastikan apa penyebab tumor meningioma, namun
beberapa teori telah diteliti dan sebagian besar menyetujui bahwa kromosom yang
jelek yang meyebabkan timbulnya meningioma. Para peneliti sedang mempelajari
beberapa teori tentang kemungkinan asal-usul meningioma. Di antara 40% dan
80% dari meningiomas berisi kromosom 22 yang abnormal pada lokus gen
neurofibromatosis 2 (NF2). NF2 merupakan gen supresor tumor pada 22Q12,
ditemukan tidak aktif pada 40% meningioma sporadik. Pasien dengan NF2 dan
beberapa non-NF2 sindrom familial yang lain dapat berkembang menjadi
meningioma multiple, dan sering terjadi pada usia muda. Di samping itu, deplesi
gen yang lain juga berhubungan dengan pertumbuhan meningioma. (McFaline-
Figueroa, 2018)
Kromosom ini biasanya terlibat dalam menekan pertumbuhan tumor.
Penyebab kelainan ini tidak diketahui. Meningioma juga sering memiliki salinan
tambahan dari platelet diturunkan faktor pertumbuhan (PDGFR) dan epidermis
reseptor faktor pertumbuhan (EGFR) yang mungkin memberikan kontribusi pada
pertumbuhan tumor ini. Sebelumnya radiasi ke kepala, sejarah payudara kanker,
atau neurofibromatosis tipe 2 dapat resiko faktor untuk mengembangkan
meningioma. Multiple meningioma terjadi pada 5% sampai 15% dari pasien,
terutama mereka dengan neurofibromatosis tipe 2. Beberapa meningioma
memiliki reseptor yang berinteraksi dengan hormon seks progesteron, androgen,
dan jarang estrogen. Ekspresi progesteron reseptor dilihat paling sering pada
meningioma yang jinak, baik pada pria dan wanita. Fungsi reseptor ini belum
sepenuhnya dipahami, dan demikian, sering kali menantang bagi dokter untuk
menasihati pasien perempuan mereka tentang penggunaan hormon jika mereka
memiliki sejarah suatu meningioma. Meskipun peran tepat hormon dalam
pertumbuhan meningioma belum ditentukan, peneliti telah mengamati bahwa
kadang-kadang mungkin meningioma tumbuh lebih cepat pada saat kehamilan.
(McFaline-Figueroa, 2018)

37
ANATOMI
Meningen adalah suatu selaput jaringan ikat yang membungkus enchepalon
dan medulla spinalis. Terdiri dari duramater, arachnoid dan piamater, yang
letaknya berurutan dari superficial ke profunda. Bersama-sama, araknoid dan
piamater disebut leptomening. (C et al., 2018)
Duramater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih, terdiri
dari lamina meningialis dan lamina endostealis. Pada medulla spinalis lamina
endostealis melekat erat pada dinding kanalis vertebralis, menjadi endosteum
(periosteum), sehingga di antara lamina meningialis dan lamina endostealis
terdapat spatium ekstraduralis (spatium epiduralis) yang berisi jaringan ikat
longgar, lemak dan pleksus venosus. Pada enchepalon lamina endostealis melekat
erat pada permukaan interior kranium, terutama pada sutura, basis krania dan tepi
foramen occipitale magnum. (C et al., 2018) Lamina meningialis mempunyai
permukaan yang licin dan dilapisi oleh suatu lapisan sel, dan membentuk empat
buah septa, yaitu:
1. Falx cerebri
2. Tentorium cerebella
3. Falx cerebella
4. Diaphragma sellae
Antara duramater dan arachnoid terdapat spatium subdural yang berisi
cairan limf. Arachniod adalah suatu selubung tipis, membentuk spatium subdurale
dengan duramater. (C et al., 2018)
Arachnoid bersama-sama dengan piamater disebut leptomeningens. Kedua
lapisan ini dihubungkan satu sama lain oleh trabekula arachnoideae. Antara
arachnoid dan piamater terdapat spatium subarachnoideum yang berisi liquor
cerebrospinalis. Arachnoid yang membungkus basis serebri berbentuk tebal
sedangkan yang membungkus facies superior cerebri tipis dan transparan.
Arachnoid membentuk tonjolan-tonjolan kecil disebut granulation arachnoidea,
masuk kedalam sinus venosus, terutama sinus sagitallis superior. (C et al., 2018)
Lapisan di sebelah profunda, meluas ke dalam girus cerebri dan diantara
folia cerebri. Membentuk tela chorioidea venticuli. Dibentuk oleh serabut-serabut
retikularis dan elastis, ditutupi oleh pembuluh-pembuluh darah serebral. Piamater

38
terdiri dari lapisan sel mesodermal tipis seperti endothelium. Berlawanan dengan
arachnoid, membran ini ini menutupi semua permukaan otak dan medulla
spinalis. (C et al., 2018)

PATOFISIOLOGI
Seperti banyak kasus neoplasma lainnya, masih banyak hal yang belum
diketahui dari meningioma. Tumor otak yang tergolong jinak ini secara
histopatologis berasal dari sel pembungkus arakhnoid (arakhnoid cap cells) yang
mengalami granulasi dan perubahan bentuk. Patofisiologi terjadinya meningioma
sampai saat ini masih belum jelas. (Wiemels, 2010)

KLASIFIKASI
WHO mengembangkan sistem klasifikasi untuk beberapa tumor yang telah
diketahui, termasuk meningioma. Tumor diklasifikasikan melalui tipe sel dan
derajat pada hasil biopsi yang dilihat di bawah mikroskop. Penatalaksanaannya
pun berbeda-beda di tiap derajatnya. (Murase et al., 2020)
a. Grade I
Meningioma tumbuh dengan lambat, jika tumor tidak menimbulkan gejala,
mungkin pertumbuhannya sangat baik jika diobservasi dengan MRI secara
periodik. Jika tumor semakin berkembang, maka pada akhirnya dapat
menimbulkan gejala, kemudian penatalaksanaan bedah dapat
direkomendasikan. Kebanyakan meningioma grade I diterapi dengan
tindakan bedah dan observasi yang berkelanjutan.
b. Grade II
Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini tumbuh
lebih cepat dibandingkan dengan grade I dan juga mempunyai angka
kekambuhan yang lebih tinggi. Pembedahan adalah penatalaksanaan awal
pada tipe ini. Meningioma grade II biasanya membutuhkan terapi radiasi
setelah pembedahan.
c. Grade III
Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut meningioma
malignan atau meningioma anaplastik. Meningioma malignan terhitung

39
kurang dari 1 % dari seluruh kejadian meningioma. Pembedahan adalah
penatalaksanaan yang pertama untuk grade III diikuti dengan terapi radiasi.
Jika terjadi rekurensi tumor, dapat dilakukan kemoterapi.

Meningioma juga diklasifikasikan ke dalam subtipe berdasarkan lokasi dari


tumor (Murase et al., 2020) :
a. Meningioma falx dan parasagital (25% dari kasus meningioma). Falx adalah
selaput yang terletak antara dua sisi otak yang memisahkan hemisfer kiri
dan kanan. Falx cerebri mengandung pembuluh darah besar. Parasagital
meningioma terdapat di sekitar falx.
b. Meningioma Convexitas (20%). Tipe meningioma ini terdapat pada
permukaan atas otak.
c. Meningioma Sphenoid (20%) Daerah Sphenoidalis berlokasi pada daerah
belakang mata. Banyak terjadi pada wanita.
d. Meningioma Olfactorius (10%). Tipe ini terjadi di sepanjang nervus yang
menghubungkan otak dengan hidung.
e. Meningioma fossa posterior (10%). Tipe ini berkembang di permukaan
bawah bagian belakang otak.
f. Meningioma suprasellar (10%). Terjadi di bagian atas sella tursica, sebuah
kotak pada dasar tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitari.
g. Spinal meningioma (kurang dari 10%). Banyak terjadi pada wanita yang
berumur antara 40 dan 70 tahun. Akan selalu terjadi pada medulla spinalis
setingkat thorax dan dapat menekan spinal cord. Meningioma spinalis dapat
menyebabkan gejala seperti nyeri radikuler di sekeliling dinding dada,
gangguan kencing, dan nyeri tungkai.
h. Meningioma Intraorbital (kurang dari 10%). Tipe ini berkembang pada atau
di sekitar mata cavum orbita.
i. Meningioma Intraventrikular (2%). Terjadi pada ruangan yang berisi cairan
di seluruh bagian otak.

40
MANIFESTASI KLINIS
Gejala meningioma dapat bersifat umum (disebabkan oleh tekanan tumor
pada otak dan medulla spinalis) atau bisa bersifat khusus (disebabkan oleh
terganggunya fungsi normal dari bagian khusus dari otak atau tekanan pada
nervus atau pembuluh darah). Secara umum, meningioma tidak bisa didiagnosa
pada gejala awal. (Shaikh et al., 2018)
Gejala umumnya, seperti :
• Sakit kepala, dapat berat atau bertambah buruk saat beraktifitas atau pada
pagi hari.
• Perubahan mental.
• Kejang.
• Mual muntah.
• Perubahan visus, misalnya pandangan kabur.

Gejala dapat pula spesifik terhadap lokasi tumor :


• Meningioma Falx dan Parasagittal : nyeri tungkai.
• Meningioma Convexitas : kejang, sakit kepala, defisit neurologis fokal,
perubahan status mental
• Meningioma Sphenoid : kurangnya sensibilitas wajah, gangguan lapangan
pandang, kebutaan, dan penglihatan ganda.
• Meningioma Olfactorius : kurangnya kepekaan penciuman, masalah visus.
• Meningioma Fossa Posterior : nyeri tajam pada wajah, mati rasa, dan
spasme otot-otot wajah, berkurangnya pendengaran, gangguan menelan,
gangguan gaya berjalan.
• Meningioma Suprasellar : pembengkakan diskus optikus, masalah visus.
• Spinal Meningioma : nyeri punggung, nyeri dada dan lengan.
• Meningioma Intraorbital : penurunan visus, penonjolan bola mata.
• Meningioma Intraventrikular : perubahan mental, sakit kepala, pusing.

41
DIAGNOSIS

Umumnya pada banyak pasien, tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan


radiografi. Foto polos kepala dapat memberikan gambaran kalsifikasi karena ada
meningioma pada dasar tulang kepala dengan bentuk yang konveks. Meningioma
dapat mengakibatkan reaktif hiperostosis yang tidak berhubungan dengan ukuran
tumor. Osteolisis jarang mengakibatkan meningioma yang jinak dan maligna.
(Makhdoomi et al., 2019)

Pemeriksaan foto polos kepala sebagai penunjang penyakit meningioma


masih memiliki derajat kepercayaan yang tinggi. Gambaran yang sering terlihat
plak yang hiperostosis, dan bentuk sphenoid , dan pterion. (Makhdoomi et al.,
2019)

Kalsifikasi tanpa adanya tumor pada foto polos kepala dapat menunjukkan
hasil false-negatif pada meningioma. Banyak pasien dengan meningioma otak
dapat ditegakkan secara langsung dengan menggunakan CT atau MRI.
(Makhdoomi et al., 2019)
a. Foto Polos Otak
Hiperostosis adalah salah satu gambaran mayor dari meningioma pada foto
polos. Foto polos diindikasikan untuk tumor pada meninx. Tampak erosi
tulang dan dekstruksi sinus sphenoidales, kalsifikasi dan lesi litik pada
tulang tengkorak. Pembesaran pembuluh darah meninx menggambarkan
dilatasi arteri meninx yang mensuplai darah ke tumor. Kalsifikasi terdapat
pada 20-25% kasus dapat bersifat fokal maupun difus.
b. Computed Tomography (CT scan)
CT-scan kontras dan CT-scan tanpa kontras memperlihatkan paling banyak
meningioma. Tampak gambaran isodens hingga hiperdens pada foto
sebelum kontras, dan gambaran peningkatan densitas yang homogen pada
foto kontras. Tumor juga memberikan gambaran komponen kistik dan
kalsifikasi pada beberapa kasus. Edema peritumoral dapat terlihat dengan
jelas. Perdarahan dan cairan intratumoral sampai akumulasi cairan dapat
terlihat. CT-scan memiliki kelebihan untuk menggambarkan meningioma.
Invasi sepanjang dura serebri sering muncul akibat provokasi dari respon
osteoblas, yang menyebabkan hiperostosis. Gambaran CT-scan paling baik

42
untuk menunjukkan kalsifikasi dari meningioma; dapat dilihat pada gambar-
gambar berikut. Penelitian histologi membuktikan bahwa proses kalsifikasi
> 45% adalah meningioma.

Gambar 5. CT-scan nonkontras menunjukkan meningioma fossa media


Massa kalsifikasi melekat pada anterior tulang petrous kanan. Terlihat
kalsifikasi berbentuk cincin dan punctata. Tidak terlihat adanya edema.

Gambar 6. Perbedaan lokasi kalsifikasi


Dua kasus berbeda. A, B. CT-scan menunjukkan kalsifikasi
meningioma dari lobus parietal. C, D. CT-scan nonkontras potongan axial
menunjukkan massa kalsifikasi yang homogen melekat pada tulang parietal
kanan. Jaringan lunak tumor banyak terlihat pada bagian posterior.
Penyebab kalsifikasi minor lain pada hemisfer serebri kiri disebabkan oleh
penyakit parasit. Gambaran MRI potongan coronal T2 menunjukkan deposit
kalsium (seperti bintang) yang dikelilingi jaringan solid. Pada kasus ini
tidak terlihat edema. CT-scan efektif menunjukkan hiperostosis, destruksi

43
tulang, erosi pada perlekatan dura. Hiperostosis sering terlihat 15-20% pada
pasien. Lihat gambar berikut.

Gambar 7. Meningioma otak lobus frontalis


Gambaran CT-Scan tanpa zat kontras menunjukkan sebuah
meningioma maligna di lobus frontal yang muncul seperti massa dengan
densitas tinggi. Kavitas kistik bisa berupa nekrosis tumor, perdarahan yang
lama, degenaratif kistik atau CSF yang terjebak. Edema dan pergeseran
Midline ke bagian kiri anterior juga dapat terlihat.

Gambar 8. CT-Scan tanpa kontras menunjukkan meningioma maligna di lobus frontal.


Dapat terlihat peningkatan densitas dan massa yang homogen dan
perselubungan yang berbentuk cincin.

44
Gambar 9. Meningioma maligna pada lobus frontal
CT-scan pada frontal internal cerebri dan gambaran diploik
menunjukkan erosi dan infiltrasi tulang. CT-scan dapat menunjukkan
perdarahan tumor akut dan pelebaran pembuluh darah pada kalvarium.
Massa yang homogen dengan densitas yang sama mengelilingi otak dapat
25-33% adalah meningioma. Densitas meningioma lebih tinggi dibanding
otak. Meningioma dapat menimbulkan edema yang luas, nekrosis dan
jarang terjadi perdarahan. Edema tidak terjadi pada 50% pasien karena
pertumbuhan yang lambat, tetapi dapat meluas. Edema lebih dominan
terjadi di lapisan white matter, dan mengakibatkan penurunan densitas.
Lihat gambar berikut.

Gambar 10. CT-scan non kontras menunjukkan isodensitas sphenoid-wing meningioma.


CT-scan non kontras menunjukkan isodensitas sphenoid-wing
meningioma. Fissura Sylvii kiri kolaps sebagian.

45
Gambar 11. CT-scan menunjukkan meningioma isodensitas spenoid
Massa meningioma terlihat setelah diberi injeksi zat kontras secara
intravena. Zat kontras pada CT-Scan akan menunjukkan tumor dengan
densitas sedang sampai kuat; dapat dilihat pada gambar-gambar dibawah.

Gambar 12. Meningioma pada lobus parietal


CT-scan dengan kontras menunjukkan lingkaran, peningkatan desitas,
dan massa unilobus. Perlekatan massa pada bagian dura serebral, sehingga
adanya terlihat edema yang jelas pada otak.

Gambar 13. Meningioma lobus parietal

46
Injeksi pada arteri meningeal media menunjukkan adanya
perkumpulan tumor. Vaskularisasi yang meningkat dapat di lihat di
posterior dari massa. Vena drainase tidak terlihat. Periperal kistik dapat
mengakibatkan cairan serebrospinal terperangkap yang dapat dilihat pada
gambaran berikut.

Gambar 14. Potongan coronal meningioma otak pada CT-scan dengan zat kontras
Terdapat massa yang berbatas tegas dengan peningkatan densitas di
sepanjang tentorium. Penumpukan cairan serebrospinal, edema subtle,
hemodensitas, dan dilatasi ventrikel. Komponen-kompenen kistik pada
meningioma dapat terlihat di dalam tumor atau antara tumor dengan
jaringan otak, oleh karena itu disebut CSF yang terjebak.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan pencitraan yang sangat baik digunakan untuk mengevaluasi
meningioma. MRI memperlihatkan lesi berupa massa, dengan gejala
tergantung pada lokasi tumor berada. Kelebihan MRI dalam memberikan
gambaran meningioma adalah resolusi 3 dimensi. Kemampuan MRI untuk
membedakan tipe dari jaringan ikat, kemampuan multiplanar, dan
rekonstruksi 3D. Dapat dilihat pada gambar berikut.

47
Gambar 15. Meningioma Parasagital
A. MRI nonkontras potongan sagital T1 menunjukkan massa dural
yang padat dengan invasi dan kompresi terhadap korteks parietal. B. MRI
dengan zat kontras potongan sagittal T1 menunujukkan perlekatan sebagian
tumor. C. Potongan Koronal T2 menunjukkan massa padat yang
menunjukkan jaringan padat. Gambaran ini menunjukkan meningioma
fibroblastik. D. MRI potongan axial T1 dengan zat kontras menujukkan
hiperintensitas yanr terletak di sumsum tulang.

Gambar 16. Meningioma otak


A. Nonkontras angio-MRI lateral menunjukkan oklusi sinus sagital
ssuperior akibat invasi oleh meningioma. B. MRI rekonstruksi menunjukkan
obstruksi vena-venas sagital dan memperlihatkan tumor dalam 3D.
MRI dapat memperlihatkan vaskularisasi tumor, pembesaran arteri,
dan invasi sinus venos, dan hubungan antara tumor dengan dengan
sekeliilingnya. Kelebihan lain dapat melihat area juxtasellar dan fossa
posterior dan kadang dapat menunjukkan hubungan penyebaran penyakit
melalui CSF. Kemampuan multiplanar adalah kemampuan untuk
memvisualisasikan kontak tumor dengan meningen, kapsul tumor, dan

48
kontras pada meningeal dapat memperjelas tumor. Dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 17. MRI nonkontras menunjukkan meningioma parasagital


Gambaran homogen menunjukkan massa yang bulat dengan kapsul
tipis. Tumor terletak pada dura sagitalis kiri. Massa tampak mendorong
trigonum ventrikel.

Gambar 18. MRI nonkontras potongan axial menunjukkan parasagital meningioma


Gambar T1 menunjukkan homogenitas, panjang T1 dan massa dilapisi
kapsul. Tumor melekat pada falx serebri bagian kiri. Massa terlihat di
sepanjang girus serebri.

49
Gambar 19. Multiple meningioma
A. Sagittal T1 menunjukkan fossa posterior dan meningioma parietal.
B Gadolinium pada Sagittal T1 menunjukkan pengkontrasan massa. C. T2
coronal menunjukkan penampilan intensitas rendah dari massa posterior
setelah embolisasi endovaskular.

Gambar 20. Maligna dan multiple meningioma


Seorang lelaki kulit putih, 47 tahun dibedah dengan Gamma Knife
karena meningioma conveks, diikuti dengan pembedahan mikro untuk
mengangkat tumor pada tahun 2001. A, B. 4 tahun yang lalu. Desember
2005, MRI menunjukkan sebuah massa sisa di paretal dan occipital. Sinus
sigmoid kiri tersumbat. C, D. Sebuah meningioma kecil pada frontal kanan
juga dioperasi radiologi pada waktu yang sama. Edema dan peningkatan
intensitas setelah injeksi gadolinium.
d. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi dapat memberikan gambaran lokasi dari intratumoral
hemorrhage, perubahan kista yang terdapat di bagian dalam dan luar massa
tumor, kalsifikasi, invasi parenkim oleh meningioma maligna, dan massa

50
lobus atau multi lobules yang hanya dapat digambarkan dengan
ultrasonografi. (McFaline-Figueroa, 2018)
e. Angiografi
Umumnya meningioma merupakan tumor vascular. Dan dapat
menimbulkan gambaran “spoke wheel appearance”. Selanjutnya arteri dan
kapiler memperlihatkan gambaran vascular yang homogen dan prominen
yang disebut dengan mother and law phenomenon.
Magnetic resonance angiography (MRA) merupakan pemeriksaan
penunjang yang berkembang dari ilmu angiografi klasik, yang belakangan
ini merupakan alat diagnostik yang kuat untuk mengetahui embolisasi dan
perencanaan untuk operasi. Agiografi masih bisa digunakan jika terjadi
embolisasi akibat tumor.
Meningioma mendapat asupan makanan oleh meningeal branches dari
arteri carotid internal dan external. Basal meningiomas pada anterior dan
fossa cranial media dan meningioma pada tulang sphenoid umumnya
mendapat vaskularisasi dari arteri carotid interna. Meningioma
supratentorial divaskularisasikan dari arteri carotid interna dan eksternal.
Angiografi dapat menunjukkan peta distribusi arterial yang berguna
untuk persiapan preoperasi embolisasi. Lihat gambar berikut.

Gambar 21. Parasellar meningioma


Angiografi proyeksi lateral dari arteri carotid menunjukkan mutipel
tumor yang opaque dengan dikelilingi pembuluh darah. Terlihat carotid
supraclinoid sirkumferensial.

51
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan meningioma tergantung dari lokasi dan ukuran tumor itu
sendiri. Terapi meningioma masih menempatkan reseksi operatif sebagai pilihan
pertama. Beberapa faktor yang mempengaruhi operasi removal massa tumor ini
antara lain lokasi tumor, ukuran dan konsistensi, vaskularisasi dan pengaruh
terhadap sel saraf, dan pada kasus rekurensi, riwayat operasi sebelumnya dan atau
radioterapi. Lebih jauh lagi, rencana operasi dan tujuannya berubah berdasarkan
faktor resiko, pola, dan rekurensi tumor. Tindakan operasi tidak hanya
mengangkat seluruh tumor tetapi juga termasuk dura, jaringan lunak, dan tulang
untuk menurunkan kejadian rekurensi.

Rencana preoperatif
Pada pasien dengan meningioma supratentorial, pemberian antikonvulsan
dapat segera diberikan, deksametason diberikan dan dilindungi pemberian H2
antagonis beberapa hari sebelum operasi dilaksanakan. Pemberian antibiotik
perioperatif digunakan sebagai profilaksis pada semua pasien untuk organisme
stafilokokkus, dan pemberian cephalosporin generasi III yang memiliki aktifitas
terhadap organisem pseudomonas, serta pemberian metronidazol (untuk
organisme anaerob) ditambahkan apabila operasi direncanakan dengan
pendekatan melalui mulut, sinus paranasal, telinga, atau mastoid. (Buerki et al.,
2018)

Klasifikasi Simptom dari ukuran reseksi pada meningioma intrakranial :


• Grade I : Reseksi total tumor, perlekatan dural dan tulang abnormal
• Grade II : Reseksi total tumor, koagulasi dari perlekatan dura
• Grade III : Reseksi total tumor, tanpa reseksi atau koagulasi dari perlekatan
dura atau mungkin perluasan ekstradural (misalnya sinus yang terserang
atau tulang yang hiperostotik)
• Grade IV : Reseksi parsial tumor
• Grade V : Dekompresi sederhana (biopsi)

52
Radioterapi
Penggunaan external beam irradiation pada meningioma semakin banyak
dipakai untuk terapi. External beam irradiation dengan 4500-6000 cGy
dilaporkan efektif untuk melanjutkan terapi operasi meningioma reseksi subtotal,
kasus-kasus rekurensi baik yang didahului dengan operasi sebelumnya ataupun
tidak. Pada kasus meningioma yang tidak dapat dioperasi karena lokasi yang sulit,
keadaan pasien yang buruk, atau pada pasien yang menolak dilakukan operasi,
external beam irradiation masih belum menunjukkan keefektifitasannya. Teori
terakhir menyatakan terapi external beam irradiation tampaknya akan efektif
pada kasus meningioma yang agresif (atypical, maligna), tetapi informasi yang
mendukung teori ini belum banyak dikemukakan. (Aoyama et al., 2006)
Efektifitas dosis yang lebih tinggi dari radioterapi harus dengan
pertimbangan komplikasi yang ditimbulkan terutama pada meningioma. Saraf
optikus sangat rentan mengalami kerusakan akibat radioterapi. Komplikasi lain
yang dapat ditimbulkan berupa insufisiensi pituitari ataupun nekrosis akibat
radioterapi. (Buerki et al., 2018)

Radiasi Stereotaktik
Terapi radiasi tumor menggunakan stereotaktik pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1960an menggunakan alat Harvard proton beam. Setelah itu
penggunaan stereotaktik radioterapi ini semakin banyak dilakukan untuk
meningioma. Sumber energi yang digunakan didapat melalui teknik yang
bervariasi, yang paling sering digunakan adalah sinar foton yang berasal dari Co
gamma (gamma knife) atau linear accelerators (LINAC) dan partikel berat
(proton, ion helium) dari cyclotrons. Semua teknik radioterapi dengan stereotaktik
ini dapat mengurangi komplikasi, terutama pada lesi dengan diameter kurang dari
2,5 cm 12. Steiner dan koleganya menganalisa pasien meningioma yang diterapi
dengan gamma knife dan diobservasi selama 5 tahun. Mereka menemukan sekitar
88% pertumbuhan tumor ternyata dapat dikontrol. Kondziolka dan kawan-kawan
memperhitungkan pengontrolan pertumbuhan tumor dalam 2 tahun pada 96 %
kasus. Baru-baru ini peneliti yang sama melakukan studi dengan sampel 99 pasien
yang diikuti selama 5 hingga 10 tahun dan didapatkan pengontrolan pertumbuhan

53
tumor sekitar 93 % kasus dengan 61 % massa tumor mengecil. Kejadian defisit
neurologis baru pada pasien yang diterapi dengan stereotaktik tersebut
kejadiannya sekitar 5 %. (Aoyama et al., 2006)

Kemoterapi
Modalitas kemoterapi dengan regimen antineoplasma masih belum banyak
diketahui efikasinya untuk terapi meningioma jinak maupun maligna. Kemoterapi
sebagai terapi ajuvan untuk rekuren meningioma atipikal atau jinak baru sedikit
sekali diaplikasikan pada pasien, tetapi terapi menggunakan regimen kemoterapi
(baik intravena atau intraarterial cis-platinum, decarbazine (DTIC) dan
adriamycin) menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, walaupun regimen
tersebut efektifitasnya sangat baik pada tumor jaringan lunak. Laporan dari
Chamberlin pemberian terapi kombinasi menggunakan cyclophosphamide,
adriamycin, dan vincristine dapat memperbaiki angka harapan hidup dengan rata-
rata sekitar 5,3 tahun. Pemberian obat kemoterapi lain seperti hydroxyurea sedang
dalam penelitian. Pertumbuhan sel pada meningioma dihambat pada fase S dari
siklus sel dan menginduksi apoptosis dari beberapa sel dengan pemberian
hydroxyurea. Dan dilaporkan pada satu kasus pemberian hydroxyurea ini
memberikan efek pada pasien-pasien dengan rekurensi dan meningioma yang
tidak dapat direseksi. Pemberian Alfainterferon dilaporkan dapat memperpanjang
waktu terjadinya rekurensi pada kasus meningioma yang agresif. Dilaporkan juga
terapi ini kurang menimbulkon toksisitas dibanding pemberian dengan
kemoterapi.
Pemberian hormon antogonis mitogen telah juga dilakukan pada kasus
dengan meningioma. Preparat yang dipakai biasanya tamoxifen (anti estrogen)
dan mifepristone (anti progesteron). Tamoxifen (40 mg/m2 2 kali/hari selama 4
hari dan dilanjutkan 10 mg 2 kali/hari) telah digunakan oleh kelompok onkolologi
Southwest pada 19 pasien dengan meningioma yang sulit dilakukan reseksi dan
refrakter. Terdapat pertumbuhan tumor pada 10 pasien, stabilisasi sementara
pertumbuhan tumor pada 6 pasien, dan respon minimal atau parsial pada tiga
pasien.

54
Pada dua studi terpisah dilakukan pemberian mifepristone (RU486) 200mg
perhari selama 2 hingga 31 bulan. Pada studi yang pertama didapatkan 5 dari 14
pasien menunjukkan perbaikan secara objektif yaitu sedikit pengurangan massa
tumor pada empat pasien dan satu pasien gangguan lapang pandangnya membaik
walaupun tidak terdapat pengurangan massa tumor; terdapat pertumbuhan ulang
pada salah satu pasien tersebut. Pada studi yang kedua dari kelompok Netherlands
dengan jumlah pasien 10 orang menunjukkan pertumbuhan tumor berlanjut pada
empat pasien, stabil pada tiga pasien, dan pengurangan ukuran yang minimal pada
tiga pasien. Tiga jenis obat tersebut sedang dilakukan penelitian dengan jumlah
sampel yang lebih besar pada meningioma tetapi sampai sekarang belum ada
terapi yang menjadi prosedur tetap untuk terapi pada tumor ini.

PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis meningioma adalah baik, karena pengangkatan
tumor yang sempurna akan memberikan penyembuhan yang permanen. Pada
orang dewasa survivalnya relatif lebih tinggi dibandingkan pada anak-anak,
dilaporkan survival rate lima tahun adalah 75%. Pada anak-anak lebih agresif,
perubahan menjadi keganasan lebih besar dan tumor dapat menjadi sangat besar.
Pada penyelidikan pengarang-pengarang barat lebih dari 10% meningioma akan
mengalami keganasan dan kekambuhannya tinggi. (Buerki et al., 2018)
Sampai saat ini, meningioma dipandang sebagai tumor jinak, dan bila
letaknya mudah dapat diangkat seluruhnya. Degenerasi keganasan tampak bila
ada invasi dan kerusakan tulang tumor tidak berkapsul pada saat operasi invasi
pada jaringan otak. Angka kematian (mortalitas) meningioma sebelum operasi
jarang dilaporkan, dengan kemajuan teknik dan pengalaman operasi para ahli
bedah maka angka kematian post operasi makin kecil. Diperkirakan angka
kematian post operasi selama lima tahun (1942–1946) adalah 7,9% dan (1957–
1966) adalah 8,5%. Sebab-sebab kematian menurut laporan-laporan yang
terdahulu yaitu perdarahan dan edema otak. (Buerki et al., 2018)

55
PEMBAHASAN

Berdasarkan data pasien, pasien merupakan seorang perempuan dengan usia


48 tahun di mana berdasarkan penelitian rentang usia paling sering adalah antara
33-59 tahun, hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor. Faktor imunitas
merupakan salah satu pendukung pasien ini untuk terinfeksi TB berulang karena
pasien memiliki riwayat keganasan, yakni tumor otak di mana penyakit ini
menyebabkan pasien untuk tirah baring lama. Efek yang ditimbulkan oleh tirah
baring lama, yaitu daya imunitas yang menurun dan sulitnya pasien untuk
mengeluarkan dahak. Salah satu sistem pertahanan tubuh pada saluran
pernapasan, yaitu dengan mengekskresikan lendir yang bertujuan membungkus
benda asing yang masuk dalam saluran pernapasan, kemudian mengeluarkannya
dalam bentuk batuk atau bersin. Apabila fungsi pertahanan ini terganggu, pasien
akan lebih mudah terkena penyakit infeksi saluran pernapasan karena
mikroorganisme penyebab penyakit lebih mudah untuk masuk.
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas sejak 7 hari memberat
sejak 1 hari SMRS. Sesak tidak diperberat dengan aktifitas ataupun tidak
membaik dengan perubahan posisi. Tidak ada riwayat penyakit jantung, ginjal
ataupun alergi sebelumnya. Diketahui bahwa pasien memiliki riwayat TB 8 tahun
yang lalu dengan pengobatan tuntas, serta pasien juga beberapa kali berobat ke
klinik Paru dengan keluhan sesak napas. Dari hasil pemeriksaan fisik, perkusi
didapatkan suara redup di paru kiri dan auskultasi didapatkan suara rhonchi dan
wheezing pada paru kiri. Kemudian dari hasil pemeriksaan foto rontgen thorax,
didapatkan fibrokalsifikasi di kedua paru bagian apex yang menandakan riwayat
TB lama dan destroyed lung kiri. Selain itu, hasil TCM pasien juga terkonfirmasi
secara bakterilogis. Temuan klinis tersebut mendukung diagnosis Sindrom
Obstruksi Pasca Tuberculosis (SOPT).
Selain keluhan sesak, pasien juga mengeluhkan kelemahan sisi tubuh
sebelah kiri sejak 2 bulan yang lalu. Pasien diketahui memiliki riwayat penyakit
ca mammae dan high grade astrocytoma sebelumnya. Pada pemeriksaan
neurologis, didapatkan paresis N. VII tipe sentral, hemiparese sinistra spastik, dan
refleks patologis (+) pada sisi kiri. Pada hasil pemeriksaan CT-Scan kepala tanpa

56
kontras, didapatkan kecurigaan tumor serebri yang mengarahkan ke meningioma.
Temuan klinis tersebut mendukung diagnosis meningioma. Tetapi masih perlu
dilakukannya pemeriksaan penunjang tambahan, seperti MRI dengan kontras dan
MR Angiography untuk lebih memastikan diagnosis.
Beberapa faktor risiko terjadinya meningioma pada pasien adalah jenis
kelamin pasien, usia, riwayat penggunaan KB lama (>5th) dan riwayat ca
mammae sebelumnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa meningioma
lebih sering terjadi pada pasien dengan jenis kelamin perempuan dengan usia 40-
60 tahun, sedangkan glioma lebih sering terjadi pada laki-laki. Beberapa
penelitian menghubungan insidensi penggunaan kontrasepsi hormonal dan ca
mammae dengan meningioma. Pasien yang menggunakan kontrasepsi hormonal
>10 tahun secara signifikan memiliki risiko 12.31 kali lebih tinggi untuk
menderita meningioma di kemudian hari. (Wahyuhadi, Heryani dan Basuki, 2018)
Selain itu, pasien dengan ca mammae juga memiliki kemungkinan yang besar
untuk menderita meningioma. Hal ini terbukti secara signifikan oleh beberapa
penelitian, di mana semakin lama waktu setelah terdiagnosis ca mammae akan
meningkatkan risiko terjadinya meningioma. (Anic et al., 2014; Drewes et al.,
2020)
Sampai saat ini, belum ditemukan penelitian yang menghubungkan SOPT
dengan kejadian meningioma maupun sebaliknya. Tetapi pada kasus ini, kondisi
pasien dengan meningioma akan memperburuk SOPT karena pasien harus
berbaring lama di rumah sakit untuk menjalani berbagai pemeriksaan dan apabila
pasien dilakukan operasi, lamanya proses penyembuhan pasca operasi juga
menjadi faktor yang memengaruhi prognosis dari SOPT.

57
DAFTAR PUSTAKA

Aida, N. (2006). Patogenesis Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis. Jakarta:


Bagian Pulmonogi FKUI.
Anic, G.M., Madden, M.H., Nabors, L.B., Olson, J.J., LaRocca, R.V., Thompson,
Z.J., Pamnani, S.J., Forsyth, P.A., Thompson, R.C., and Egan, K.M. (2014).
Reproductive factors and risk of primary brain tumors in women. Journal of
neuro-oncology, 118(2), pp. 297–304.
Aoyama, H., Shirato, H., Tago, M., Nakagawa, K., Toyoda, T., Hatano, K.,
Kenjyo, M., Oya, N., Hirota, S., Shioura, H., Kunieda, E., Inomata, T.,
Hayakawa, K., Katoh, N. and Kobashi, G. (2006). Stereotactic Radiosurgery
Plus Whole-Brain Radiation Therapy vs Stereotactic Radiosurgery Alone
for Treatment of Brain Metastases. JAMA, 295(21), p.2483.
Bahar, A., (2000). ‘Tuberkulosis Paru’ in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 715 – 727.
Baig, I.M., Saeed, W., Khalil, K.F.. Post-tuberculous chronic obstructive
pulmonary disease. J Coll Physicians Surg Pak, 20(8), pp.542-544.
Bondy, M.L., Scheurer, M.E., Malmer, B., Barnholtz-Sloan, J.S., Davis, F.G.,
Il’yasova, D., Kruchko, C., McCarthy, B.J., Rajaraman, P., Schwartzbaum,
J.A., Sadetzki, S., Schlehofer, B., Tihan, T., Wiemels, J.L., Wrensch, M.,
Buffler, P.A. and Brain Tumor Epidemiology Consortium (2008). Brain
tumor epidemiology: consensus from the Brain Tumor Epidemiology
Consortium. Cancer, 113(7 Suppl), pp.1953–68.
Buerki, R.A., Horbinski, C.M., Kruser, T., Horowitz, P.M., James, C.D. and
Lukas, R.V. (2018). An overview of meningiomas. Future Oncology
(London, England), 14(21), pp.2161–2177.
Butowski, N.A. (2015). Epidemiology and Diagnosis of Brain
Tumors. CONTINUUM: Lifelong Learning in Neurology, 21, pp.301–313.
Byrne, A.L., Marais, B.J., Mitnick, C.D., Lecca, L. and Marks, G.B. (2015).
Tuberculosis and chronic respiratory disease: a systematic
review. International journal of infectious diseases : IJID : official
publication of the International Society for Infectious Diseases, 32, pp.138–
46.
C, E., Vilensky, J.A., Carmichael, S.W., Lee, K.S., Netter, F.H. and Machado,
C.A.G. (2018). Netter’s concise radiologic anatomy. Philadelphia, Pa:
Elsevier.
Departemen Kesehatan RI. (2009). Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Paru. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Dheda, K., Gumbo, T., Maartens, G., Dooley, K.E., McNerney, R., Murray, M.,
Furin, J., Nardell, E.A., London, L., Lessem, E., Theron, G., van Helden, P.,
Niemann, S., Merker, M., Dowdy, D., Van Rie, A., Siu, G.K.H.,
Pasipanodya, J.G., Rodrigues, C., Clark, T.G., Sirgel, F.A., Esmail, A., Lin,
H.-H., Atre, S.R., Schaaf, H.S., Chang, K.C., Lange, C., Nahid, P.,
Udwadia, Z.F., Horsburgh, C.R., Churchyard, G.J., Menzies, D., Hesseling,
A.C., Nuermberger, E., McIlleron, H., Fennelly, K.P., Goemaere, E.,
Jaramillo, E., Low, M., Jara, C.M., Padayatchi, N. and Warren, R.M.
(2017). The epidemiology, pathogenesis, transmission, diagnosis, and

58
management of multidrug-resistant, extensively drug-resistant, and
incurable tuberculosis. The Lancet Respiratory Medicine, 5(4), pp.291–360.
Domínguez, J., Boettger, E.C., Cirillo, D., Cobelens, F., Eisenach, K.D.,
Gagneux, S., Hillemann, D., Horsburgh, R., Molina-Moya, B., Niemann, S.,
Tortoli, E., Whitelaw, A. and Lange, C. (2016). Clinical implications of
molecular drug resistance testing for <I>Mycobacterium tuberculosis</I>: a
TBNET/RESIST-TB consensus statement. The International Journal of
Tuberculosis and Lung Disease, 20(1), pp.24–42.
Drewes, A.M., Møller, M.E., Hertzum-Larsen, R., Engholm, G. and Storm, H.H.
(2020). Risk of primary brain tumour after breast cancer. Endocrine
Connections, 9(1), pp.28–33.
Hunter, R.L. (2018). The Pathogenesis of Tuberculosis: The Early Infiltrate of
Post-primary (Adult Pulmonary) Tuberculosis: A Distinct Disease
Entity. Frontiers in Immunology, 9.
Irawati, A. (2013). Naskah Publikasi Kejadian Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis di RSU Dr. Soedarso Pontianak. Thesis. Pontianak: Fakultas
kedokteran Universitas Tanjung Pura.
Kemenkes RI. (2016). Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta:
Pusat Data dan Informasi Kementrian Republik Indonesia.
Lange, C., Chesov, D., Furin, J., Udwadia, Z. and Dheda, K. (2018). Revising the
definition of extensively drug-resistant tuberculosis. The Lancet Respiratory
Medicine, 6(12), pp.893–895.
Lange, C., Dheda, K., Chesov, D., Mandalakas, A.M., Udwadia, Z. and
Horsburgh, C.R. (2019). Management of drug-resistant tuberculosis. The
Lancet, 394(10202), pp.953–966.
Maile, E.J., Barnes, I., Finlayson, A.E., Sayeed, S. and Ali, R. (2016). Nervous
System and Intrakranial Tumour Incidence by Ethnicity in England, 2001–
2007: A Descriptive Epidemiological Study. PLOS ONE, 11(5),
p.e0154347.
Makhdoomi, R., Mubeen, B., Nayil, K., Rafiq, D., Kirmani, A., Salim, O.,
Mustafa, F., Aimen, A., Khursheed, S., Bashir, S., Shafi, S. and Ramzan, A.
(2019). Clinicopathological characteristics of meningiomas: Experience
from a tertiary care hospital in the Kashmir Valley. Asian Journal of
Neurosurgery, 14(1), p.41.
McFaline-Figueroa, J.R. and Lee, E.Q. (2018). Brain Tumors. The American
Journal of Medicine, 131(8), pp.874–882.
McGuire, S. (2016). World Cancer Report 2014. Geneva, Switzerland: World
Health Organization, International Agency for Research on Cancer, WHO
Press, 2015. Advances in nutrition (Bethesda, Md.), 7(2), pp.418–419.
Murase, M., Tamura, R., Kuranari, Y., Sato, M., Ohara, K., Morimoto, Y.,
Yoshida, K. and Toda, M. (2020). Novel histopathological classification of
meningiomas based on dural invasion. Journal of Clinical Pathology,
p.jclinpath-2020-206592.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indoneisa Nomor 67 tahun 2016 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis.
Romanowski, K., Baumann, B., Basham, C.A., Ahmad Khan, F., Fox, G.J. and
Johnston, J.C. (2019). Long-term all-cause mortality in people treated for

59
tuberculosis: a systematic review and meta-analysis. The Lancet Infectious
Diseases, 19(10), pp.1129–1137.
Sarkar, M., Srinivasa, Madabhavi, I. and Kumar, K. (2017). Tuberculosis
associated chronic obstructive pulmonary disease. The Clinical Respiratory
Journal, 11(3), pp.285–295.
Shaikh, N., Dixit, K. and Raizer, J. (2018). Recent advances in
managing/understanding meningioma. F1000Research, 7, p.490.
Singer-Leshinsky, S. (2016). Pulmonary tuberculosis. Journal of the American
Academy of Physician Assistants, 29(2), pp.20–25.
Wahyuhadi, J., Heryani, D. dan Basuki, H. (2018). Risk of meningioma
associated with exposure of hormonal contraception. A case control
study. Majalah Obstetri & Ginekologi, 26(1), p.36.
Wiemels, J., Wrensch, M. and Claus, E.B. (2010). Epidemiology and etiology of
meningioma. Journal of Neuro-Oncology, 99(3), pp.307–314.
World Health Organization. (2017). Global Tuberculosis Report 2017. Geneva:
World Health Organization.
World Health Organization. (2018). Global Tuberculosis Report 2018. Geneva:
World Health Organization.

60

Anda mungkin juga menyukai