Anda di halaman 1dari 34

Rekomendasi praktik klinis IPNA untuk diagnosis dan tatalaksana pasien anak dengan

sindroma nefrotik resisten steroid


Agnes Trautmann, Marina Vivarelli, Susan Samuel, Debbie Gipson, Aditi Sinha, Franz
Schaefer, Ng Kar Hui, Olivia Boyer, Moin A Saleem, Luciana Feltran, Janina Müller-Deile,
Jan Ulrich Becker, Francisco Cano, Hong Xu, Yam Ngo Lim, William Smoyer, Ifeoma
Anochie, Koichi Nakanishi, Elisabeth Hodson, Dieter Haffner, atas nama Asosiasi
Nefrologi Pediatri Internasional

Abstrak
Sindroma nefrotik idiopatik kasus baru terjadi pada 1-3 kasus per 100.000 anak tiap tahunnya.
Sekitar 85% dari kasus menunjukkan penurunan proteinuria secara menyeluruh setelah dilakukan
tatalaksana glukokortikoid. Pasien yang tidak mengalami penurunan proteinuria menyeluruh
dalam 4-6 minggu paska tatalaksana glukokortikoid mengalami sindroma nefrotik resisten
steroid (SRNS). Pada 10-30% pasien yang resisten steroid, terdeteksi adanya mutasi pada gen
yang berhubungan dengan podosit, sedangkan sisanya dianggap sebagai faktor imun dalam
sirkulasi yang tidak diketahui asalnya. Diagnosis dan tatalaksana SRNS merupakan tantangan
yang besar karena etiologi, yang heterogen, seringkali pemulihannya kurang baik dengan
pemberian tatalaksana imunosupresif lebih lanjut, dan komplikasi yang berat termasuk
berkembangnya penyakit ginjal stadium akhir dan rekurensi paska dilakukan transplantasi ginjal.
Sekelompok ahli yang terdiri dari ahli nefrologi pediatric dan ahli genetika ginjal dari Asosiasi
Nefrologi Pediatri Internasional (IPNA), ahli patologi ginjal, dan ahli nefrologi pasien dewasa
telah mengembangkan rekomendasi praktik klinis komprehensif untuk diagnosa dan tatalaksana
SRNS pada pasien anak. Kelompok tersebut melakukan ulasan literatur secara sistematis pada 9
pertanyaan PICO (Patient or Population covered, Intervention, Comparator, Outcome) yang
relevan secara klinis, merumuskan sebuah rekomendasi dan secara formal menyusunnya dalam
sebuah pertemuan konsensus, dengan masukan dari perwakilan pasien dan ahli gizi yang
berperan sebagai penasihat eksternal serta panitia pemungutan suara dari ahli nefrologi pediatri.
Rekomendasi mengenai penelitian juga disampaikan.

Kata kunci: Sindroma nefrotik resisten steroid; Anak-anak; Gagal ginjal kronis; Genetik;
Luaran; Pediatri; Tatalaksana imunosupresif

Pendahuluan
Sindroma nefrotik idiopatik (NS), ditandai dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, dan/atau
adanya edema, kasus baru terjadi pada sekitar 1-3 kasus per 100.000 anak berusia dibawah 16
tahun. Sekitar 85% kasus mengalami penurunan proteinuria secara menyeluruh setelah diberikan
tatalaksaan prednisolone/prednisone (PDN) oral setiap harinya pada dosis standar. Pasien yang
tidak mengalami penurunan setelah mendapatkan tatalaksana selama 4-6 minggu dianggap
sebagai NS resisten steroid (SRNS). Durasi dari PDN yang diperlukan sebelum pasien dianggap
sebagai resisten steroid masih menjadi bahan diskusi dan periode tatalaksana yang lebih lama (6-
8 minggu), demikian juga dengan pemberian tambahan infus metilprednisolon (MPDN) secara
intravena, telah dilaporkan.
Pada 10-30% pasien dengan SRNS yang bukan berasal dari bawaan, dapat terdeteksi adanya
mutasi pada gen yang berhubungan dengan podosit, sedangkan pada kasus sisanya dianggap
terdapat faktor dalam sirkulasi yang tidak diketahui. Perwujudan prinsip histopatologi pada
SRNS adalah glomerulosklerosis fokal dan segmental (FSGS), minimal change disease (MCD),
dan sklerosis mesangial difus. Tatalaksana umumnya mencakup penghambat sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAASi) dan penghambat kalsineurin (CNI) pada pasien degnan SRNS
yang bukan berasal dari bawaan. Dengan pendekatan ini, penurunan proteinuria menyeluruh atau
sebagian dapat tercapai pada 50-70% dari kasus.
Tatalaksana dari SRNS merupakan tantangan yang besar karena etiologi yang heterogen,
penurunan yang seringkali kurang baik setelah pemberian tatalaksana imunosupresif, dan
komplikasi yang mencakup toksisitas obat, infeksi, thrombosis, dan berkembangnya penyakit
ginjal stadium akhir (ESKD), dan rekurensi paska dilakukan transplantasi ginjal. Saat ini tidak
ada rekomendasi yang dikembangkan secara sistematis, berdasarkan bukti untuk diagnosis dan
tatalaksana pasien anak dengan SRNS, dengan pengecualian pada dokumen yang terfokus dari
panduan Glomerulonefritis KDIGO (Kidney Disease: Improving Global Outcome) [Penyakit
Ginjal: Meningkatkan Luaran secara Menyeluruh]. Karena itu, Asosiasi Nefrologi Pediatri
Internasional (IPNA) membentuk kelompok kerja rekomendasi praktik klinis (CPR) pada
Desember 2018 untuk mengembangkan CPR untuk diagnosis dan tatalaksana pasien anak
dengan SRNS. Rekomendasi penelitian di masa yang akan datang mengenai kunci pengukuran
luaran pada pasien dengan SRNS juga disampaikan.

Metode
Gambaran dari rancangan panduan
Kami telah mengikuti Pernyataan RIGHT (Reporting Items for practice Guidelines in
HealThcare) untuk Panduan Praktik. Tiga kelompok telah dibentuk: kelompok pemimpin inti,
kelompok ahli eksternal, dan panitia pemungutan suara. Kelompok inti terdiri dari 18 anggota
IPNA, yang mencakup ahli nefrologi pediatri, ahli genetika ginjal, ahli epidemiologi, ahli
nefrologi pasien dewasa, dan ahli patologi ginjal. Keahlian dan tanggung jawab dari masing-
masing anggota kelompok inti telah disajikan dalam Tabel Tambahan S1. Kelompok ahli
eksternal terdeiri dari 3 orang perwakilan pasien dan satu orang ahli gizi. Perwakilan pasien
mendiskusikan manuskrip yang diberikan oleh anggota kelompok inti dalam hubungan lokal
dengan orang tuanya, dan saran mereka yang akan dimasukkan ke dalam manuskrip. Panitia
pemungutan suara terdiri dari 23 orang ahli nefrologi pediatri termasuk 3-5 orang perwakilan
dari setiap Lembaga IPNA Regional dengan keahlian di bidang tatalaksana SRNS pada anak-
anak. Anggota kelompok pemungutan suara akan diberikan pertanyaan menggunakan kuisioner
elektronik untuk memberikan tingkat persetujuan dengan skala 5 poin (sangat tidak setuju, tidak
setuju, netral, setuju, sangat setuju) (metode Delphi). Untuk topik yang gagal mencapai tingkat
konsensus sebesar 70%, rekomendasinya akan dievaluasi kembali dan dimodifikasi oleh
kelompok inti dan kemudian akan diulas kembali oleh panitia pemungutan suara hingga tercapai
tingkat konsensus >70%.

Mengembangkan pertanyaan PICO


Kami mengembangkan pertanyaan PICO (Patient or Population covered, Intervention,
Comparator, Outcome) sebagai berikut: Populasi: Anak-anak (berusia >3 bulan dan < 18 tahun)
dengan SRNS; Intervensi dan Pembanding: pasien yang diberikan tatalaksana dibandingkan
dengan pasien yang tidak diberikan tatalaksana, tatalaksana lain, atau plasebo; Tujuan Luaran:
Kami membentuk rekomendasi ini dengan tujuan untuk diagnosis, tatalaksana, dan pemantauan
dari anak-anak dengan SRNS (termasuk kemanjuran untuk mencetuskan remisi dan efek
samping dari pengobatan).

Pencarian literatur
Dilakukan pencarian pada database PubMed untuk studi yang telah dipublikasikan hingga 15
September 2019; semua ulasan sistematis dari uji coba acak terkontrol (RCT) pada tatalaksana
dari SRNS pada anak-anak, RCT, uji coba prospektif tidak terkontrol, studi observasional, dan
daftar studi mengenai diagnosis dan tatalaksana pada pasien anak dengan SRNS, terbatas untuk
studi pada manusia dalam bahasa Inggris. Saat memungkinkan, meta analisis dari RCT yang
menggunakan rasio resiko dikutip dari ulasan sistematik Cochrane yang telah diperbarui
mengenai intervensi NS resisten steroid (SRNS) pada masa anak-anak. Keterangan lebih lanjut
dan ringkasan dari publikasi yang digunakan dalam CPR ini telah disajikan dalam materi
Tambahan (Tabel Tambahan S2-S5).

Sistem penilaian
Kami mengikuti sistem penilaian dari American Academy of Pediatrics (Gambar 1). Kualitas
dari bukti dinilai sebagai Tinggi (A), Menengah (B), Rendah (C), Sangat rendah (D), atau Tidak
dapat digunakan (X). Yang terakhir merukuk pada kondisi khusus dimana studi tidak dapat
dilakukan validasi karena keuntungan atau bahaya sangat mendominasi. Tulisan ini digunakan
untuk menilai kontraindikasi dari pengukuran terapeutik dan parameter keamanan. Kekuatan dari
rekomendasi ini dinilai sebagai kuat, menengah, lemah, atau dapat digunakan dengan panduan
dari penulis (saat tidak ada rekomendasi yang dapat dibuat).

Keterbatasan dari proses panduan


SRNS merupakan penyakit yang jarang terjadi. Oleh karena itu, ukuran dan jumlah dari beberapa
RCT cukup kecil dan kualitas metodologinya kurang baik sehingga sebagian besar rekomendasi
digolongkan kedalam tingkat lemah hingga menengah. Karena keterbatasan anggaran dari
inisiatif IPNA ini, perwakilan pasien dan ahli gizi hanya diikutsertakan sebagai ahli eksternal.

Rekomendasi praktik klinis


Definisi dan penyusunan diagnostik
Definisi

 Kami merekomendasikan kuantifikasi dari proteinuria dengan rasio protein/kreatinin


(UPCR) pada sampel urin pagi hari atau urin 24 jam minimal satu kali sebelum
menentukan pasien sebagai SRNS dan/atau memulai tatalaksana imunosupresi alternatif.
Kami menyarankan penggunaan batas nilai ini untuk penilaian respon selanjutnya
(tingkat A, rekomendasi kuat).
 Kami menyarankan pengunaan definisi yang terdaftar dalam Tabel 1 untuk diagnosis dan
tatalaksana SRNS (tingkat B, rekomendasi menengah).
 Kami menyerankan penggunaan “periode konfirmasi”, yang merupakan waktu antara 4
dan 6 minggu dari sejak dimulainya PDN oral dengan dosis standar, untuk emnilai respon
terhadap tatalaksana lebih lanjut dengan glukokortikoid dan memulai pemberian RAASi
(tingkat C, rekomendasi lemah). Kami juga merekomendasikan melakukan pemeriksaan
genetik dan/atau biopsi ginjal pada saat ini (tingkat B, rekomendasi menengah).
 Kami menyarankan penyerahan data histologis, klinis, dan genetik dari semua pasien
SRNS ke dalam daftar pasien dan database genetik untuk membantu meningkatkan
pemahaman kita mengenai penyakit dan tatalaksananya (belum dilakukan penilaian).

Bukti dan dasar bukti


Penilaian proteinuria
Definisi konvensional dari NS pada anak-anak adalah proteinuria > 40 mg/jam/m 2/hari atau rasio
protein kreatinin urin (UPCR) ≥ 200 mg/mmol (2 mg/mg) atau 3+ pada dipstick urin ditambah
dengan minimal salah satu dari hypoalbuminemia (< 30 g/l) atau edema. Analisis dipstick urin
sangat berguna untuk skrining dan pemantauan proteinuria di rumah, namun keputusan terapi
sebaiknya berdasarkan pada minimal satu kuantifikasi yang tepat dari proteinuria, contohnya,
UPCR pada sampel urin pagi hari, atau sampel urin 24 jam setelah tatalaksana selama ≥ 4
minggu dengan PDN dosis penuh. Sampel urin pagi hari lebih disarankan dibandingkan dengan
sampel urin yang diambil pada waktu yang acak untuk mengurangi pengaruh dari proteinuria
ortostatik. Karena hubungan yang linear antaara UPCR sewaktu dan protein urin 24 jam,
penentuan dari UPCR direkomendasikan. Jika terdapat pengukuran UPCR yang ≥ 200 mg/mmol
(2mg/mg), kemudian tatalaksana SRNS sebaiknya dimulai. Ekspresi semikuantitatif dari hasil
dipstick diberikan dalam Tabel Tambahan S6.

Definisi SRNS
Tatalaksana awal anak dengan NS idiopatik umumnya terdiri dari PDN oral sebesar 60
mg/m2/hari atau 2 mg/kg/hari (maksimal 60 mg/hari) selama 4-6 minggu, diikuti dengan 40
mg/m2 atau 1,5 mg/kg per dosis secara bergantian (QOD) selama 4-6 minggu. Setelah 4 minggu
pertama pemberian PDN oral dosis penuh, pasien anak dapat mencapai remisi menyeluruh
(UPCR ≤ 20 mg/mmol (2 mg/mg) atau hasil dipstick negatif atau samar pada tiga atau lebih
pemeriksaan secara berturut-turut), yang akan mengkonfirmasi SSNS. Jika didapatkan adanya
remisi parsial, karena faktanya hanya sebagian kecil dari anak-anak yang mengalami remisi
menyeluruh setelah diberikan tambahan waktu selama 2 minggu, maka “periode konfirmasi”
dimulai. Dalam waktu ini, respon lebih lanjut terhadap PDN oral harian dengan atau tanpa
pemberian 3 MPDN secara infus (500 mg/m2 atau 15 mg/kg), dan tetap diberikan RAASi
(Gambar 2). Jika tercapai remisi secara menyeluruh dalam 6 minggu, anak tersebut
dikategoriksan sebagai SSNS “respon lambat” dan ditatalaksana sebagai SSNS. Jika tidak
terdapat remisi setelah 6 minggu, diagnosis dari SRNS terkonfirmasi (Gambar 2). Kami
merekomendasikan melakukan biopsi ginjal dan juga mendapatkan hasil pemeriksaan genetik
(jika tersedia) sesegera mungkin, idealnya dalam periode konfirmasi 2 minggu. Jika hasil
pemeriksaan genetik tidak tersedia hingga akhir dari periode konfirmasi, kami menyarankan
untuk memulai tatalaksana dengan CNI dan melakukan penilaian ulang terhadap tatalaksana
setelah menerima hasil pemeriksaan genetik. Pada negara-negara dengan sumber daya yang
rendah dimana penilaian genetik dan/atau histopatologi tidak tersedia, maka dapat segera
memulai tatalaksana imunosuptesif dengan CNI. Jika CNI tidak tersedia secara intravena atau
oral, maka siklofosfamid (CPH) dapat dimulai (lihat pada bagian berikutnya). Keterangan
mengenai bukti dan dasar bukti untuk penjelasan tersebut disediakan dalam Materi Tambahan.

Definisi dari sindroma nefrotik resisten CNI


Dari anak-anak yang digolongkan kedalam SRNS tanpa penyebab genetik, sebagian besar akan
berespon terhadap CNI dalam waktu yang bervariasi (minggu hingga bulan). Anak-anak yang
awalnya mengalami SRNS yang berespon terhadap CNI selanjutnya dapat mengalami remisi
yang stabil dengan atau tanpa relaps yang jarang terjadi atau dapat mengalami SSNS sekunder.
Resistensi terhadap CNI ditetapkan saat anak-anak gagal untuk mencapai minimal remisi parsial
setelah minimal 6 bulan pemberian tatalaksana CNI yang diberikan pada dosis dan kadar darah
yang adekuat.

Definisi dari sindroma nefrotik resisten beberapa obat


Anak-anak yang resisten terhadap CNI dapat ditatalaksana dengan agen penghemat steroid
lainnya (lihat “Mengembangkan pertanyaan PIQO”; Gambar 2 dan Tabel Tambahan S2). Pasien
dengan SRNS dikategorikan sebagai “resisten beberapa obat” pada kondisi dimana tidak terjadi
remisi menyeluruh setelah 12 bulan menjalani tatalaksana dengan 2 agen penghemat steroid yang
berbeda secara mekanisme kerjanya (termasuk CNI) yang diberikan pada dosis standar.

Penentuan diagnostik awal pada anak dengan SRNS

 Kami merekomendasikan untuk mendapatkan riwayat keluarga yang teliti untuk


manifestasi ginjal dan diluar ginjal termasuk menanyakan mengenai ikatan kekerabatan.
Apakah penyakit ginjal terjadi pada anggota keluarga, usia saat pertama kali mengalami
penyakit ginjal, perjalanan klinis termasuk respon terhadap pengobatan, fungsi ginjal, dan
biopsi ginjal serta hasil pemeriksaan genetik sebaiknya didapatkan apabila
memungkinkan (tingkat A, rekomendasi kuat).
 Kami merekomendasikan pemeriksaan fisik yang teliti dari pasien termasuk pencarian
yang teliti mengenai manifestasi diluar ginjal seperti kelainan tulang, neurologis, mata,
telinga, dan urogenital, dan penyebab sekunder (terutama infeksi) dari NS (Tabel 2)
(tingkat A, rekomendasi kuat).
 Kami merekomendasikan bahwa hasil pemeriksaan darah, serum, dan urin yang terdaftar
dalam Tabel 2 sebaiknya dilakukan untuk mencari penyebab imunologis atau infeksi dari
SRNS dan untuk mengevaluasi derajat dari proteinuria, perkiraan GFR, dan histologi
ginjal (tingkat B, rekomendasi menengah).
 Kami menyarankan untuk menawarkan pemeriksaan urinalisis pada saudara kandung dari
pasien SRNS bahkan sebelum dilakukan pemeriksaan genetik (tingkat C, rekomendasi
menengah).

Bukti dan dasar bukti


Identifikasi dini dari bentuk genetik pada SRNS (terdaftar dalam Tabel 3) sangat penting, karena
pasien tersebut kemungkinan tidak mendapatkan keuntungan dari terapi imunosupresi dan
berpotensi membahayakan pasien itu sendiri. Penggambaran dari riwayat keluarga untuk
mengetahui bentuk bawaan dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mengidentifikasi gejala diluar
ginjal (disajikan dalam Tabel Tambahan S7) dari kondisi genetik sangat penting untuk
dilakukan. Terkadang, SRNS bisa disebabkan oleh infeksi, terutama infeksi cytomegalovirus
(CMV), human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis B, malaria, parvovirus B19, dan sifilis.
Penyebab lain dari SRNS adalah penyakit sel-sabit (sickle-cell), limfoma, nefropati membranosa,
membranoproliferatif glomerulonefritis, glomerulopati C3, IgA nefropati, lupus eritematosus
sistemik, sindroma Alport/glomerulopati kolagen IV, amiloidosis, dan mikroangiopati trombotik
(TMA). Pemeriksaan dari kondisi tersebut sebaiknya dipertimbangkan terutama pada pasien
yang datang dengan penurunan perkiraan GFR (eGFR) dan pemeriksaan tersebut termasuk
biopsi ginjal, pemeriksaan genetik, dan/atau penilaian komplemen C3, C4, antibodi antinuklear,
antibody anti streptococcus, dan ANCA. Selanjutnya pada perjalanan penyakit, eGFR yang
rendah dapat menandai perkembangan dari penyakit, gagal ginjal akut (AKI), atau toksisitas
obat. Ultrasound ginjal termasuk evaluasi Doppler membantu evaluasi abnormalitas kongenital
dari ginjal dan saluran kemih dan thrombosis vaskuler, yang mana juga dapat menjadi penyebab
dari proteinuria. Karena terdapat resiko terjadinya penyakit pada saudara kandung sebesar 25%
jika pasien memiliki SRNS autosomal resesif, maka urinalisis disarankan untuk saudara kandung
pasien.

Indikasi untuk pemeriksaan genetik dan biopsi ginjal

 Kami merekomenadasikan untuk melakukan pemeriksaan genetik, jika tersedia, pada


semua anak yang didiagnosa dengan SRNS primer (tingkat B, rekomendasi sedang).
 Kami menyarankan untuk memberikan prioritas pemeriksaan genetik pada kasus bawaan
(riwayat keluarga mengalami proteinuria/hematuria atau CKD yang tidak diketahui
penyebabnya), kasus dengan gejala diluar ginjal, dan pasien yang menjalani persiapan
untuk transplantasi ginjal (tingkat C, rekomendasi lemah).
 Kami merekomendasikan biopsi ginjal pada semua anak yang didiagnosa dengan SRNS,
kecuali pada kondisi dimana terdapat penyebab berupa infeksi atau keganasan yang jelas
atau kemungkinan pada pasien dengan kasus bawaan dan/atau sindromik atau penyebab
genetik dari SRNS (tingkat A, rekomendasi kuat).
 Kami merekomendasikan pemeriksaan genetik sebelum dilakukan biopsi ginjal pada
anak-anak dengan SRNS, terutama pada kasus prioritas (lihat di atas), asalkan hasilnya
akan tersedia (dalam beberapa minggu) (tingkat D, rekomendasi lemah).
 Kami tidak merekomendasikan melakukan pemeriksaan genetik pada pasien dengan
sensitivitas steroid pada awalnya yang selanjutnya mengalami resistensi steroid pada
perjalanan penyakit berikutnya (contohnya, resistensi steroid sekunder) (tingkat C,
rekomendasi menengah).

Bukti dan dasar bukti


Pemeriksaan genetik
Pemeriksaan genetik pada pasien SRNS (i) dapat memberikan diagnosis yang jelas kepada
pasien dan keluarga pasien, (ii) dapat menunjukkan bentuk dari SRNS yang sensitif terhadap
terapi (contohnya koenzim Q10), (iii) dapat menghindari kebutuhan untuk biopsi ginjal dan
dapat menyapih terapi imunosupresif secara dini, (iv) dapat memberikan konseling genetik
secara akurat, dan disampaikan dengan baik termasuk resiko rekurensi paska transplantasi, dan
(v) dapat memberikan diagnosis dan tatalaksana yang sesuai untuk manifestasi diluar ginjal.
Dengan teknologi whole exome sequencing (WES), 10-30% dari anak-anak saat ini terdiagnosa
dengan penyakit monogenik. Mutasi pada NPHS2, WT1, dan NPHS1 merupakan penyebab
genetik yang paling umum dari SRNS pada pasien di wilayah Eropa, bertanggung jawab
terhadap kasus penyakit genetik sebesar 42%, 16%, dan 13%, secara berurutan. Mutasi pada fen
NPHS2 menyebabkan SRNS pada sekitar 20-30% dari kasus Kaukasia sporadic. Kemungkinan
untuk mengidentifikasi kasus mutasi berbanding terbalik dengan usia saat dimulainya penyakit
dan meningkat baik dengan adanya riwayat penyakit pada keluarga atau adanya manifestasi
diluar ginjal, namun gen yang umumnya terlibat dalam satu populasi mungkin akan jarang
terlibat dalam populasi yang berbeda. Pada pasien dengan bentuk SRNS monogenik, tatalaksana
imunosupresif sebaiknya tidak diberikan karena terdapat bukti yang mendukung efektivitas yang
buruk dari tatalaksana ini.

Biopsi ginjal
Biopsi ginjal dapat mengeksklusi diagnosis banding lainnya yang terdaftar diatas (seperti,
nefropati membranosa) dan konfirmasi dari podositopati primer (MCD, FSGS, atau DMS).
Selain itu, biopsi ginjal juga membantu deteksi dan penilaian dari atrofi tubuler, fibrosis
interstisial, dan glomerulosklerosis sebagai penanda prognostik. Karena itu, saat seorang anak
disebutkan mengalami SRNS, biopsi ginjal sebaiknya dilakukan berdasarkan standar saat ini
sebagaimana dijelaskan dalam Materi Tambahan untuk menentukan patologi yang mendasari
sebelum memulai tatalaksana dengan CNI, kecuali telah teridentifikasi bentuk monogenik yang
jelas dari SRNS yang diketahui tidak responsif terhadap imunosupresi. Hal ini terutama relevan
dalam kondisi dimana akses terhadap pemeriksaan genetik sangat terbatas.

Pemeriksaan dan konseling genetik

 Kami merekomendasikan analisis panel gen secara komprehensif (contohny, panel


pengurutan generasi berikutnya untuk mencakup semua gen SRNS yang telah diketahui
saat ini, yang mana merupakan pendekatan yang paling efektif secara biaya untuk
pemeriksaan genetik saat ini) (gen terdaftar dalam Tabel 3) kecuali fenotip klinis
menunjukkan adanya kondisi spesifik, yang mana pada kasus tersebut kami lebih
menyarankan untuk dilakukan analisis gen tunggal (tingkat B, rekomendasi menengah).
 Kami menyarankan untuk menentukan patogenisitas dari variasi genetik yang
teridentifikasi berdasarkan pada panduan dari American College of Medical Genetics.
Analisis pemisahan keluarga dapat dilakukan pada kasus tertentu (tingkat B, rekomendasi
menengah).
 Kami merekomendasikan konseling genetik untuk pasien dan keluarganya untuk
membantu mereka menginterpretasikan baik temuan genetik yang sudah diduga maupun
temuan genetik yang tidak terduga (tingkat B, rekomendasi menengah).

Bukti dan dasar bukti


Kami merekomendasikan melakukan pemeriksaan genetik berdasarkan standar saat ini. Hal ini
mencakup konfirmasi dari patogenik atau kemungkinan jenis patogenik dengan pengurutan
Sanger. Pada kasus dimana tidak terdapat mutasi kausatif yang ditemukan pada panel gen
tersebut, pengurutan eksom secara menyeluruh atau pengurutan genom secara manyeluruh dapat
dipertimbangkan, terutama jika kecurigaan terhadap etiologi sangat tinggi. Ketelitian dan
keahlian dibutuhkan dalam menginterpretasi jenis dengan signifikansi yang tidak diketahui.
Tanpa konseling genetik, pasien dan keluarganya mungkin tidak memahami kepentingan dari
temuan genetik.

Skrining adanya infeksi

 Kami merekomendasikan evaluasi untuk tuberkulosis subklinis berdasarkan pada


panduan yang spesifik terhadap negara tertentu (contohnya, radiografi thoraks, tes
tuberculin, pengujian quantiferon), jika secara klinis dicurigai, atau pada kasus yang
tinggal dalam atau riwayat bepergian ke area endemik (tingkat C, rekomendasi
menengah).
 Kami menyarankan pemeriksaan hepatitis B, C, sifilis, dan HIV: (i) untuk mengeksklusi
penyebab sekunder dari NS dan (ii) sebelum dilakukan pemberian terapi imunosupresi,
terutama rituximab, karena endemisitas dari infeksi tersebut pada beberapa negara
(tingkat C, rekomendasi lemah).

Bukti dan dasar bukti


Berdasarkan pada prevalensi penyakit yang spesifik terhadap negara tertentu dan penilaian resiko
individu, evaluasi untuk infeksi yang menyebabkan bentuk sekunder dari SRNS sebaiknya
dilakukan.

Tatalaksana
Tatalaksana lini pertama non imunosupresif pada anak-anak dengan SRNS

 Kami merekomendasikan memulai RAASi dengan angiotensin converting enzyme


inhibitors (ACEi) atau angiotensin receptor blockers (ARBs) saat diagnosis SRNS
ditegakkan (Gambar 2) (tingkat B, rekomendasi menengah).
 Kami menyarankan untuk mengkuantifikasi perubahan pada proteinuria dalam sampel
urin pagi hari setelah memulai terapi RAASi (tingkat D, rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan untuk menargetkan dosis maksimal yang disetujui yang tertera pada
Tabel S8 sebagaimana yang dapat ditoleransi (tingkat C, rekomendasi lemah).
 ACEi atau ARBs sebaiknya digunakan dengan penuh perhatian pada pasien dengan CKD
tahap 4, dan sebaiknya tidak dimulai atau sebaiknya dihentikan pada kasus dengan
penurunan volume intravaskuler, gagal ginjal akut (AKI), hiperkalemia, atau sering
mengalami muntah/diare (tingkat X, rekomendasi kuat).
 Kami menyarankan penggunaan RAASi dengan metabolisme non ginjal (contohnya,
ramipril dan ARBs) karena mereka tidak terkumpul pada kondisi gagal ginjal (tingkat D,
rekomendasi lemah).
 Pada wanita usia remaja, kontrasepsi sebaiknya dipastikan untuk menghindari efek
teratogenik dari RAASi (tingkat X, rekomendasi kuat).

Bukti dan dasar bukti


Pada pasien dengan CKD, hambatan RAAS dengan ACEi atau ARBs menurunkan tekanan
intraglomerular, memperlambat perkembangan dari CKD, dan mengurangi proteinuria. Kami
merekomendasikan untuk menargetkan dosis maksimal yang disetujui sebagaimana dosis
tersebut dapat ditoleransi karena efek antiproteinuria yang bergantung pada dosis dari ACEi
diperkirakan dapat menurunkan proteinuria sebesar 30%. Remisi menyeluruh telah dilaporkan
pada anak-anak dengan SRNS setelah menjalani terapi dengan ACEi atau ARBs tanpa
pengobatan tambahan selain PDN. Karena itu, pada anak yang telah dikonfirmasi atau
kecurigaan mengalami SRNS, tatalaksana ini dapat dimulai sejak 4 minggu paska pemberian
PDN dimulai, pada waktu yang disebut dengan periode konfirmasi. Namun, ACEi/ARBs dapat
meningkatkan resiko kejadian AKI, terutama pada pasien dengan CKD tingkat lanjut atau
penurunan volume intravaskuler. Tatalaksana kombinasi dengan ACEi dan ARBs tidak
direkomendasikan karena dapat meningkatkan resiko efek samping termasuk AKI dan kematian.
Agen dengan metabolisme non ginjal sebaiknya lebih dipilih karena tidak terakumulasi pada
CKD (Tabel S8). Kontrasepsi sangat penting pada wanita usia remaja untuk menghindari fetopati
RAAS blocker.

Tatalaksana imunosupresif lini pertama pada anak-anak dengan SRNS


 Kami merekomendasikan bahwa CNI (siklosporin atau takrolimus) sebaiknya menjadi
terapi imunosupresif lini pertama pada anak-anak dengan SRNS dan dimulai sejak saat
diagnosis terkonfirmasi (Gambar 2) (tingkat B, rekomendasi menengah).
 Kami menyarankan penurunan tatalaksana PDN secara perlahan saat diagnosis SRNS
ditegakkan dan menghentikan terapi PDN setelah 6 bulan (tingkat D, rekomendasi
lemah).
 Kami merekomendasikan untuk menahan atau menunda tatalaksana CNI pada pasien
dengan eGFR < 30 ml/menit/1,73 m2, AKI, dan/atau hipertensi tidak terkontrol (tingkat
X, rekomendasi kuat).
 Kami merekomendasikan untuk menahan tatalaksana CNI dan menghentikan tatalaksana
PDN pada pasien yang terbukti mengalami SRNS bentuk monogenik (tingkat B,
rekomendasi menengah).
 Saat CNI tidak tersedia atau tidak terjangkau, kami menyarankan untuk menggunakan
siklofosfamid (CPH) [secara intravena atau per oral] dengan atau tanpa steroid dosis
tinggi (tingkat D, rekomendasi lemah).
 Kami merekomendasikan untuk mengedukasi pasien dan keluarga pasien agar waspada
mengenai kemungkinan efek samping dari pengobatan imunosupresi sebagaimana tersaji
dalam Tabel 4 (tingkat X, rekomendasi kuat).

Bukti dan dasar bukti


Penghambat kalsineurin
Penggunaan CNI sebagai terapi lini pertama pada anak-anak dengan SRNS telah dinilai dalam 8
RCT yang membandingkan kemanjuran dari siklosporin (CsA) dengan plasebo, tanpa
tatalaksana, MPDN intravena, MMF dengan deksametason, atau takrolimus (TAC), dan CsA
atau TAC dengan CPH intravena, terhadap luaran dari “jumlah pasien yang mengalami remisi
menyeluruh atau sebagian” (Tabel Tambahan S2). CsA dibandingkan dengan plasebo, tanpa
terapi, atau MPDN intravena menunjukkan luaran yang lebih baik (~ 75% dibandingkan dengan
22%) terlepas dari hasil histopatologi (rasio resiko 3,50 (95% CI 1,04 – 9,57)). Tidak terdapat
perbedaan pada luaran saat TAC dibandingkan dengan CsA (rasio resiko 1,05 [95% CI 0,87 –
1,25]). CsA atau TAC lebih efektif dibandingkan dengan CPH intravena (78% dibandingkan
dengan 40%; rasio resiko 1,98 [95% CI 1,23 - 3,13]). CsA dibandingkan dengan MMF yang
dikombinasi dengan deksametason memiliki efektivitas yang serupa (46% dibandingkan dengan
33%; rasio resiko 1,38 [95% CI 0,9 – 2,10]). TAC lebih edektif dibandingkan dengan MMF
dalam mempertahankan remisi (90% dibandingkan dengan 45%; rasio resiko 2,01 [95% CI 1,32
– 3,07]). Saat CsA dibandingkan dengan plasebo, tanpa tatalaksana, atau MPDN, tidak terdapat
perbedaan yang terdeteksi dalam jumlah pasien yang mengalami ESKD namun angka
kejadiannya sangat kecil. Saat CNI dibandingkan dengan CPH intravena, terdapat peningkatan
kejadian efek samping yang serius dengan pemberian CPH, namun tidak terdapat perbedaan
dalam nefrotoksisitas persisten atau kematian. Tidak terdapat perbedaan yang terdeteksi dalam
perbandingan antara CsA, MMF + deksametason, atau TAC dalam hal luaran dari ESKD, atau
penurunan 50% dari eGFR.
Tatalaksana dengan CIN tidak disarankan pada pasien dengan penurunan eGFR, AKI, dan/atau
hipertensi tidak terkontrol karena memiliki efek nefrotoksik. Namun, pada pasien dengan CKD
kronis dan tidak terdapat pilihan lain untuk mengontrol penyakit, CNI dapat memperbaiki
proteinuria dan kelangsungan hidup ginjal jangka panjang.
Pasien dengan SRNS yang tidak menunjukkan minimal remisi sebagian terhadap pemberian CNI
setelah 6 bulan dapat dikategorikan sebagai resisten CNI, dan pasien yang tidak berespon
terhadap pemberian CNI ditambah agen lainnya yang memiliki mekanisme berbeda setelah
pemberian terapi selama 12 bulan berturut-turut dapat dikategorikan sebagai resisten beberapa
obat (lihat pada bagian sebelumnya). Jika bentuk monogenik dari SRNS diketahui tidak berespon
terhadap imunosupresi yang teridentifikasi pada pasien dan tidak berespon terhadap
imunosupresi yang sebelumnya telah terjadi pada pasien, maka imunosupresi sebaiknya tidak
dilanjutkan. Kami menyarankan bahwa pasien dalam kategori tersebut tetap tidak diberikan
imunosupresi namun tetap melanjutkan terapi RAASi hingga pasien mencapai CKD tahap lanjut
dan hingga tidak dapat mentoleransi lagi terapi RAASi (Gambar 2).

Agen alkilasi dan pengaturan sumber daya yang sedikit


Saat dibandingkan dengan PDN/plasebo, CPH tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam
luaran berupa remisi menyeluruh (rasio resiko 1,06 95% CI 0,61 – 1,87). Secara keseluruhan,
36% anak-anak dengan terapi CPH dibandingkan dengan 35% yang diberikan PDN mengalami
remisi menyeluruh. Tingkat remisi yang serupa juga tercatat pada pasien yang menerima CPH
secara intravena atau oral (masing-masing ~ 50%). Respon terhadap CPH yang dilaporkan dalam
beberapa studi observasional dapat mengindikasikan beberapa hal yang tumpeng tindih antara
SSNS dan SRNS. Studi yang lebih lama juga melibatkan anak-anak dengan NS monogenik,
karena pemeriksaan genetik tidak tersedia secara luas untuk pasien sebelum tahun 2000 – 2010
sehingga menyebabkan tingkat respon yang rendah terhadap CPH. CPH dapat dicoba untuk
menginduksi remisi dalam kondisi sumber daya yang terbatas, namun harus dihentikan jika tidak
terdapat respon. Karena chlorambucil tidak dievaluasi dalam RCT apapun, kami tidak
menyarankan untuk penggunaannya.

Penjadwalan, pemantauan, dan intervensi tambahan dari CNI

 Kami menyarankan dosis awal CsA sebesar 3-5 mg/kg/hari (maksimal dosis awal sebesar
250 mg/hari) diberikan secara oral dua kali sehari (tingkat B, rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan untuk titrasi dosis CsA minimal dengan interval per hari dengan
target kadar CsA terendah dalam seluruh darah antara 80 dan 120 ng/ml berdasarkan
pada pengujian yang divalidasi dengan spektrometri massa tandem (tingkat B,
rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan dosis awal TAC sebesar 0,1-0,2 mg/kg/hari (maksimal dosis awal
sebesar 5 mg/hari) diberikan secara oral dua kali sehari (tingkat B, rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan titrasi dosis TAC dengan target kadar terendah antara 4 dan 8 ng/ml.
Kami juga menyarankan interval titrasi minimal 3 hari (tingkat B, rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan pemantauan kadar terendah CsA/TAC minimal mingguan hingga
kadar target tercapai, dan kemudian setiap 1-3 bulan bersamaan dengan kreatinin serum
sebagai parameter keamanan (tingkat D, rekomendasi lemah) (Tabel 2).
 Kami merekomendasikan untuk mengurangi dosis CNI atau menghentikan pemberian
CNI jika eGFR menurun dibawah 30 ml/menit/1,73 m2 (tingkat X, kuat).

Bukti dan dasar bukti


Walaupun pemantauan CsA pada 2 jam paska pemberian dosis (C2) merupakan titik waktu
tunggal yang paling akurat untuk menilai tingkat terapeutik, kadar target C2 pada pasien SRNS
masih belum ditegakkan atau digunakan secara luas untuk penggunaan rutin. Sebagai gantinya,
pengukuran kadar CsA darah terendah bersamaan dengan spektrometri massa direkomendasikan.
Pemeriksaan tersebut memberikan bacaaan yang lebih rendah dibandingkan dengan
immunoassay, yang telah digunakan sebelumnya. Rentang kadar CsA yang dilaporkan dalam
RCT sangat bervariasi. Studi yang lebih baru menggunakan kadar CsA tang lebih rendah (yang
terendah sebesar 80-150 ng/ml), dengan dosis awal memulai sebesar 5-6 mg/kg/hari. Karena,
bahkan kadar CsA terendah yang rendah juga dapat berhubungan dengan nefrotoksisitas jangka
panjang pada anak-anak dengan NS, kami menyarankan untuk menargetkan kadar CsA terendah
sebesar 80-120 ng/ml, walaupun kadar yang lebih tinggi bisa jadi lebih efektif namun harus
dianalisis bersamaan dengan kreatinin serum sebagai parameter keamanan. CsA dengan dosis
yang tinggi (kadar C2 > 600 ng/ml) menunjukkan peningkatan resiko terjadinya nefrotoksisitas
CsA terutama saat diberikan secara kombinasi dengan ACEi/ARBs pada anak-anak dengan
SDNS. Kadarnya harus dipantau setiap minggu hingga mencapai kondisi yang stabil dan
kemudian dipantau setiap 1-3 bulan.

Durasi tatalaksana CNI

 Kami menyarankan jangka waktu minimal tatalaksana selama 6 bulan untuk menentukan
respon terhadap CNI (tingkat B, rekomendasi lemah).
 Kami merekomendasikan bahwa CNI sebaiknya dihentikan apabila tidak tercapai remisi
sebagian pada 6 bulan (tingkat B, rekomendasi menengah).
 Jika tercapai remisi menyeluruh, dosis CNI sebaiknya dikurangi hingga mencapai dosis
terendah yang dibutuhkan untuk mempertahankan remisi. Kami juga menyarankan untuk
mempertimbangkan penghentian CNI setelah 12-24 bulan pada pasien tersebut untuk
mengurangi resiko terjadinya nefrotoksisitas (tingkat C, rekomendasi lemah). Ppada
pasien tersebut, dapat dipertimbangkan untuk mengganti terapi ke MMF untuk
meminimalisir nefrotoksisitas dan mempertahankan remisi (lihat pada bagian
berikutnya).
 Jika terjadi relaps setelah penghentian CNI, kami menyarankan untuk memulai terapi
CNI dari awal pada pasien untuk uji coba, diberikan bersamaan dengan PDN oral dosis
tinggi selama 4 minggu. Selain itu juga dapat dipertimbangkan untuk memberikan terapi
ini bergantian dengan MMF (tingkat C, rekomendasi lemah).
 Jika remisi sebagian tercapai, kami merekomendasikan untuk melanjutkan CNI pada
dosis yang sama minimal selama 12 bulan (tingkat C, rekomendasi lemah).

Bukti dan dasar bukti


Karena resiko terjadinya nefrotoksisitas dan efek samping yang berhubungan dengan
imunosupresi jangka panjang (lihat Tabel 4), CNI sebaiknya dihentikan setelah 6 bulan jika tidak
tercapai remisi sebagian. Jika tercapai remisi menyeluruh, kami menyarankan untuk
mempertimbangkan penghentian CNI setelah 12-24 bulan. Lihat “Tatalaksana relaps” untuk
terapi relaps.

Mycophenolate mofetil

 Jika imunosupresi dipertimbangkan pada anak dengan SRNS dan eGFR < 30
ml/menit/1,73 m2, kami lebih menyarankan penggunaan MMF dibandingkan dengan CNI
karena resiko nefrotoksisitas dari CNI (tingkat C, rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan untuk mempertimbangkan penggunaan MMF untuk mempertahankan
remisi pada anak-anak dengan SRNS yang mengalami remisi setelah pemberian CNI jika
mereka mengalami relaps yang sensitif steroid (tingkat C, rekomendasi lemah).
 Pada pasien dengan SRNS yang telah mencapai remisi menyeluruh pada terapi CNI
selama minimal 12 bulan, kami menyarankan untuk mempertimbangkan pergantian obat
menjadi MMF sebagai agen imunosupresi alternatif dibandingkan dengan melanjutkan
CNI (tingkat C, rekomendasi lemah).

Bukti dan dasar bukti


Jika imunosupresi dipertimbangkan pada anak-anak dengan SRNS dan eGFR < 30 ml/menit/1,73
m2, kemudian MMF dapat digunakan untuk menghindari nefrotoksisitas CNI. CsA tidak lebih
baik dalam mencapai remisi saat dibandingkan dengan MMF yang dikomvinasi dengan
deksametason (45% dibandingkan dengan 33%). Saat seorang anak dengan SRNS mencapai
remisi setelah terapi CNI namun setelah itu mengalami relaps sensitif steroid, kemudian
berdasarkan pada RCT yang mengevaluasi MMF pada SSNS relaps, MMF dapat digunakan
untuk mempertahankan remisi. Alasan untuk berubah menjadi protokol imunosupresi bebas CNI
adalah untuk menghindari toksisitas CNI jangka panjang. Protokol perubahan dari CNI ke MMF
berhasil diberikan pada anak-anak dengan SRNS setelah rata-rata 1,7 tahun menjalani terapi CNI
dengan pemantauan obat reguler. Namun, dalam sebuah RCT yang mempejalari perubahan dari
TAC ke MMF menunjukkan bahwa obat ini kurang baik untuk mempertahankan remisi pada
pasien yang mencapai remisi dengan TAC. Kami menyarankan dosis awal MMF sebesar 120
mg/m2 per hari, dan melakukan pemantauan obat terapeutik pada pasien SRNS dengan target
paparan asam mikofenolat (AUC) > 50 µg X jam/ml berdasarkan pada hasil dari pasien SSNS.

Ulangi biopsi ginjal

 Jika terdapat penurunan eGFR yang tidak dapat dijelaskan atau peningkatan pada
proteinuria saat follow-up, kami menyarankan untuk mempertimbangkan biopsi ginjal
ulang untuk menilai nefrotoksisitas CNI (tingkat C, rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan untuk mempertimbangkan biopsi ginjal pada pasien yang mengalami
paparan CNI jangka panjang (> 2 tahun) atau saat pasien mengulang terapi CNI untuk
kali kedua (tingkat C, rekomendasi lemah).

Bukti dan dasar bukti


Penurunan eGFR yang tidak dapat idjelaskan atau peningkatan pada proteinuria mungkin
disebabkan oleh perkembangan penyakit atau toksisitas obat, terutama pada pasien dengan
tatalaksana CNI jangka panjang. Akhirnya akan ditopang oleh adanya hyalinisasi arteriol dan
vakuolisasi otot polos, kolaps glomerular iskemik, hyperplasia apparatus juxtaglomerular,
fibrosis interstitial (striped), dan atrofi tubular pada mikroskop cahaya, dan kerusakan
mitokondria pada mikroskop elektron transmisi.

Intervensi bersamaan dengan glukokortikoid

 Kami tidak merekomendasikan tatalaksana PDN rutin dalam jangka waktu yang panjang
(> 6 bulan) bersamaan dengan CNI dan RAASi (tingkat C, rekomendasi menengah).
 Kami menyarankan penurunan dosis PDN secara perlahan setelah dimulainya pemberian
CNI seperti berikut ini: 40 mg/m2 setiap hari selama 4 minggu, 30 mg/m 2 setiap hari
selama 4 minggu, 20 mg/m2 setiap hari selama 4 minggu, 10 m2 setiap hari selama 8
minggu, dan setelah itu tidak dilanjutkan (tingkat D, rekomendasi lemah).
Bukti dan dasar bukti
Prednison digunakan sebagai terapi bersama pada beberapa RCT. Dosis dan durasi dari PDN
bervariasi dari 1 mg/kg/hari setiap hari selama 6 bulan hingga 0,3 mg/kg/hari selama 6 bulan.
Tidak terdapat bukti bahwa tatalaksana jangka panjang dengan PDN oral memberikan
keuntungan pada pasien dengan SRNS namun dapat menyebabkan toksisitas steroid; dengan
demikian, kami menyarankan penurunan bertahap dari PDN menggunakan regimen yang telah
disarankan diatas. PDN dapat diturunkan lebih cepat terutama pada pasien yang mengalami
toksisitas glukokortikoid. Namun, hal ini tidak berlaku terhadap proporsi pasien SRNS yang
mencapai remisi menyeluruh dengan CNI dan selanjutnya digolonhkan kedalam pasien SDNS.
Pasien tersebut dapat ditatalaksana sesuai dengan PDN oral dosis rendah pada hari yang
bergantian.

Pendekatan lini kedua

 Pasien dengan SRNS yang gagal untuk mencapai minimal remisi sebagian dengan CNI
(dan yang tidak memiliki penyakit genetik atau syndrome) sebaiknya dilakukan
pendekatan untuk ikut serta dalam uji klinis yang mengevaluasi kemungkinan terapi baru
untuk SRNS (belum dilakukan penilaian).
 Jika uji klinis tidak tersedia, penggunaan rituximab mungkin dapat dipertimbangkan
(tingkat C, rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan pemberian dua infus rituximab dengan dosis sebesar 375 mg/m 2 tiap
kali infus dengan tujuan untuk menurunkan jumlah hitung sel CD19 dibawah 5 per
mikroliter atau 1% (umumnya 1-2 infus dalam 2 minggu) (tingkat C, rekomendasi
lemah).
 Rituximab sebaiknya tidak diberikan pada kondisi dimana terdapat tuberkulosis, hepatitis
B, atau infeksi virus JC. Pada kasus kecurigaan klinis dan latar belakang endemik, pasien
sebaiknya menjalani skrining dengan foto polos dada, uji kulit atau darah pada pasien
tuberkulosis, serologi HBsAg pada kasus peningkatan enzim liver, dan pemeriksaan
cairan spinal dalam kasus gejala neurologis yang nunjukkan adanya infeksi virus JC
sebelum mendapatkan rituximab (tingkat X, rekomendasi kuat).
 Pada pasien resisten-rituximab atau intoleransi rituximab, penggunaan ofatomumab dan
terapi pemurnian darah ekstra corporeal seperti pertukaran plasma, immune adsprbtion,
atau apheresis lemah dapat dipertimbangkan (tingkat C, rekomendasi lemah).

Bukti dan dasar bukti


Studi observasional menunjukkan remisi menyeluruh pada ~ 30% dari pasien yang ditatalaksana
dengan rituximab sebagai terapi SRNS resisten beberapa obat. Namun, rituximab tidak lebih baik
saat dibandingkan dengan protokol tatalaksana termasuk pertukaran plasma dan
immunoadsorption. Pada ssebagian besar studi, pasien dengan SRNS resisten beberapa obat
menerima rituximab dengan dosis sebesar 375 mg/m 2 tiap kali infus, dan 1-2 infus dilakukan
selama 2 minggu umumnya cukup untuk menurunkan jumlah hitung sel CD19 dibawah 5
mikroliter atau 1% dari jumlah limfosit. Pada pasien yang mencapai remisi sebagian atau
menyeluruh, proteinuria dan hitung sel B pada sampel urin pagi hari sebaiknya dilakukan
pemantauan dan sebaiknya diberikan rituximab kedua saat proteinuria meningkat dalam jumlah
yang besar setelah pemulihan jumlah sel B (jumlah hitung sel CD19 > 5 tiap mikroliter atau 1%
dari jumlah hitung limfosit). Kontraindikasi pemberian rituximab termasuk hepatitis B,
tuberkulosis, dan infeksi virus JC. Profilaksis kotrimoksazol dan penyelesaian jadwal vaksinasi
sesuai usia direkomendasikan (lihat bagian Profilaksis Antibiotik dan Vaksinasi). Kadar IgG
serum sebaiknya dipantau setelah tatalaksana rituximab karena ditemukan jumlahnya rendah
pada ~ 30% dari pasien.
Pada beberapa studi pediatric kecil, kasus resisten rituximab atau intoleransi rituximab begitu
juga dengan pasien tanpa tatalaksana awal rituximab dilaporkan mengalami remisi menyeluruh
dengan agen penurun sel CD20 alternatif yaitu ofatumumab. Ofatumumab diberikan dalam dua
studi pada dosis awal sebesar 300 mg/1,73 m2 (maksimal 300 mg) diikuti dengan 5 dosis
mingguan sebesar 2000 mg/1,73 m2 (maksimal 2000 mg) dan satu kasis melaporkan sebesar 750
mg/1,73 m2.
Berbagai macam terapi farmakologis dan ekstrakorporeal telah digunakan secara eksperimental
pada pasien dengan SRNS resisten beberapa obat. Remisi sebagian atau menyeluruh telah
diobservasi pada laporan kasus individu atau pada beberapa kasus dengan rangkaian kecil pasien
yang menerima plasmaparesis, pertukaran plasma, immunoadsorption, apheresis lemak,
abatacept penghambat B7-1, dan galaktosa oral. Inklusi dari pasien dalam uji coba klinis yang
menguji obat-obatan ini dan terapi baru lainnya sangat didorong (studi yang saat ini sedang
berjalan terdaftar dalam tautan berikut ini: https://kidneyhealthgateway.com/trials-research/).

Menghentikan imunosupresi pada pasien yang tidak responsif

 Kami merekomendasikan bahwa skrining untuk semua gen podositopati yang diketahui
sebaiknya ditawarkan untuk memungkinkan keputusan terhadap imunosupresi lebih
lanjut (tingkat X, rekomendasi kuat).
 Kami merekomendasikan konseling pasien dan orang tua pasien mengenai resiko yang
tinggi dari perkembangan penyakit menjadi ESKD pada pasien dengan SRNS bentuk
herediter dan/atau SRNS resisten beberapa obat (tingkat X, rekomendasi kuat).
 Kami merekomendasikan untuk tidak melanjutkan terapi imunosupresi yang tidak efektif,
dan melanjutkan tatalaksana non imunosupresif, termasuk RAASi dan tatalaksana
pendukung lainnya (tingkat X, rekomendasi kuat).
 Pada pasien dengan penyakit non genetik, kami menyarankan untuk mencari pilihan
terapi baru yang tersedia yang saat ini sedang dinilai dalam uji coba klinis (tingkat X,
rekomendasi kuat.).
 Pada pasien dengan defek bawaan yang mencapai remisi sebagian atau menyeluruh
dengan imunosupresi, kami menyarankn tindakan berikut ini:
Varian genetik sebaiknya diulas kembali untuk mengkonfirmasi apakah gen tersebut
patogenik atau kemungkinan patogenik (tingkat A, rekomendasi kuat).
Keputusan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan imunosupresi sebaiknya mengikuti
hasil konseling orang tua mengenai keuntungan yang diharapkan dari remisi (penurunan
gejala; kemungkinan perkembangan penyakit yang lebih rendah) dibandingkan dengan
kemungkinan resiko yang dapat terjadi (toksisitas yang berkaitan dengan terapi; infeksi)
dan biaya dari terapi (tingkat A, rekomendasi kuat).

Bukti dan dasar bukti


Tidak adanya respon berkaitan dengan perkembangan penyakit yang cepat menuju ESKD. Pada
pasien dengan SRNS bentuk genetik, tingkat yang rendah dari respon meyeluruh (2,7-3,0%) atau
sebagian (10,8-16%) terhadap imunosupresi telah dilaporkan. Pasien dengan SRNS bentuk
genetik yang berkembang menjadi ESKD lebih sering dibandiingkan dengan pasien tanpa defek
bawaan (71-74% dibandingkan dengan 4-29%) dan menunjukkan nilai medial kelangsungan
hidup ginjal yang lebih pendek (45-48 bulan dibandingkan dengan 58-205 bulan). Karena
kemungkinan adanya bahaya dan keuntungan, kami menyarankan untuk menghentikan
imunosupresi pada pasien SRNS monogenik yang tidak responsif. Pada pasien dengan defek
pada jalur COQ, pemberian suplementasi COQ10 dapat dipertimbangkan. Sementara
probabilitas respon terhadap terapi eksperimental menunjukkan hasil yang rendah pada pasien
dengan penyakit yang resisten beberapa obat, terapi dapat dipertimbangkan kembali setelah
melakukan konseling langsung dengan pasien dan orang tua pasien mengenai kemungkinan
keuntungan yang rendah, dan kemungkinan toksisitas dengan terapi tersebut.

Tindakan tambahan untuk mengurangi gejala dan kontrol edema


Garam

 Kami menyarankan bahwa asupan garam berlebihan sebaiknya dihindari pada anak-anak
dengan SRNS (Tabel S11) (tingkat C, rekomendasi lemah).
 Saat tersedia, ahli gizi sebaiknya memberikan saran kepada pasien dan keluarga pasien
mengenai makanan rendah garam yang sesuai dan makanan tinggi garam yang sebaiknya
dihindari (tingkat D, rekomendasi lemah).
Cairan

 Kami tidak merekomendasikan restriksi cairan rutin pada pasien SRNS (tingkat C,
rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan asupan cairan seimbang dengan mempertimbangkan luaran urin,
status volume cairan, dan natrium serum (tingkat C, rekomendasi lemah).

Diuretik

 Kami menyarankan mempertimbangkan tatalaksana dengan loop diuretik (seperti,


furosemid) pada pasien dengan edema berat. Pada pasien dengan edema refrakter,
tambahan berupa metolazone, thiazide, atau diuretik penghemat kalium juga dapat
dipertimbangkan (tingkat C, rekomendasi menengah).
 Diuretik sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan tanda-tanda kekurangan cairan
intravaskuler termasuk pemanjangan waktu isi kapiler, takikardi, hipotensi, dan oligouria
karena beresiko mengalami thrombosis dan AKI (tingkat X, rekomendasi kuat).

Infus albumin

 Kami menyarankan tatalaksana pasien yang mengalami edema refrakter (efusi


perikardial/pleura, edema anasarka, edema genital) dan/atau hipovolemia simptomatik
atau dengan krisis prerenal (oligouria karena penurunan volume intravaskuler) dengan
infus albumin manusia (tingkat C, rekomendasi menengah).
 Kami menyarankan dosis awal dari 20-25% albumin sebesar 0,5-1 g/kg berat badan yang
diberikan secara intravena selama 4-8 jam, dan ditambahkan dengan furosemide (1-2
mg/kg diberikan secara intravena) saat dilakukan infus albumin dan/atau akhir dari infus
albumin (tingkat C, rekomendasi lemah).
 Anak-anak yang menerima infus albumin sebaiknya diawali dengan melakukan
pemantauan tekanan darah dan denyut nadi setiap 30 menit, dan infus diperlambat atau
dihentikan jika mengalami gejala yang mengarah pada kelebihan cairan vaskuler (tingkat
X, rekomendasi kuat).

Protein

 Bukti yang ada tidak cukup untuk merekomendasikan peningkatan asupan protein pada
pasien SRNS (belum dilakukan penilaian).

Bukti dan dasar bukti


Edema berat pada NS dapat berhubungan baik dengan kontraksi volume intravascular (“pasien
yang kekurangan cairan”) atau volume berlebihan (“pasien dengan kelebihan cairan”). Karena
itu, semua tindakan harus disesuaikan berdasarkan derajat dari edema dan status volume
intravaskuler. Indikator klinis untuk penurunan volume intravaskuler adalah vasokonstriksi
perifer (pemanjangan waktu pengisian kapiler), takikardi, hipotensi, dan oligouria, pada kondisi
dimana terjadi retensi natrium dalam urin (ekskresi natrium fraksional (FeNa) < 0,2%).
Sebaliknya, hipertensi dan FeNa > 0,2% menunjukkan bahwa pasien mengalami kelebihan
cairan.

Garam
Berdasaekan pada hipotesis pembentukan edema “kekurangan cairan” dan “kelebihan cairan”
dalam NS idiopatik diperkirakan berhubungan dengan retensi garam dan/atau hilangnya ekskresi
dari garam. Akibatnya, restriksi makanan yang ketat dengan asupan natrium < 2 mEq/kg/hari (<
35 mg/kg/hari) disarankan untuk anak-anak dengan NS. Namun, restriksi natrium dalam jumlah
besar tampaknya tidak sesuai pada anak-anak dan mungkin tidak dibutuhkan pada banyak
pasien. Karena itu, daripada diberikan batas atas, kami merekomendasikan menghindari asupan
garam berlebihan tergantung pada derajat dari edema (Tabel Tambahan S11). Hal ini umumnya
membutuhkan saran diet – dari ahli gizi.

Cairan
Restriksi cairan secara umum hingga dua pertiga dari cairan pemeliharaan telah disarankan pada
anak-anak dengan NS. Namun, hal ini dapat menyebabkan pasien, yang telah mengalami
kekurangan volume cairan intravaskuler (“pasien yang kekurangan cairan”) walaupun terdapat
edema yang terjadi secara bersamaan, beresiko untuk mengalami hipovolemia simptomatik.
Karena itu, kami tidak merekomendasikan restriksi cairan rutin pada pasien SRNS. Sebagai
gantinya, kami menyarankan asupan cairan seimbang yang mempertimbangkan luaran urin,
status volume, dan natrium serum (natrium serum yang rendah menunjukkan adanya kelebihan
cairan). Pasien sebaiknya menghindari makanan yang asin, sebagaimana makanan tersebut dapat
meningkatkan rasa haus (Tabel Tambahan S11).

Diuretik
Tatalaksana edema berat pada anak-anak dengan NS menggunakan diuretik saja merupakan hal
yang aman dan efektif pada kondisi volume yang berlebihan (“pasien dengan kelebihan cairan”),
sedangkan tatalaksana yang agresif dengan diuretik menyebabkan resiko terjadinya hipovolemia
intravaskuler, AKI, dan thrombosis pada pasien “kekurangan cairan”. Karena itu, kami
menyarankan untuk mempertimbangkan tatalaksana dengan diuretik (lebih baik menggunakan
loop diuretik) pada pasien dengan edema berat hanya saat kekurangan volume intravaskuler telah
dieksklusi berdasarkan pada indicator klinis yang telah disebutkan diatas. Terapi kombinasi
dengan metolazone, thiazide, atau diuretik penghemat kalium termasuk amiloride bloker kanal
natrium epitel dan spironolakton antagonis aldosterone dapat meningkatkan diuresis saat
dibandingkan dengan pemberian loop diuretik saja dan sebaiknya dipertimbangkan pada pasien
dengan edema refrakter. Namun, pasien perlu dipantau secara teliti untuk menghindari
hipokalemia atau hiperkalemia berat, penurunan volume, dan alkalosis. Karena furosemide
memiliki waktu kerja yang singkat (f ½ 6 jam) dan bioavailabilitas oral yang sangat bervariasi
(10-100%), sebaiknya furosemide diberikan minimal dua kali sehari dengan dosis oral atau
secara intravena jika respon terhadap diuretik buruk.

Infus Albumin
Infus albumin yang dikombinasi dengan loop diuretik dapat meningkatkan diuresis melalui
perbaikan tekanan onkotik dan hemodinamik ginjal pada pasien dengan edema refrakter berat,
terutama jika diberikan pada “pasien yang kekurangan cairan”. Namun, infus albumin ini hanya
bekerja sementara, dan berhubungan dengan kejadian reaksi alergi, gagal napas, dan gagal
jantung kongestif, terutama saat diberikan terlalu cepat, digunakan pada “pasien dengan
kelebihan cairan”, dan pasien dengan oligouria. Karena itu, harus dilakukan penilaian yang teliti
dari status volume intravaskuler dan luaran urin pasien. Dosis yang mencapai 1 g/kg yang
diberikan albumin sebesar 20-25% selama jangka waktu minimal 4 jam diperkirakan aman.
Kami menyarankan untuk membatasi infus albumin pada pasien dengan edema berat (efusi
pericardial/pleura, edema anasarka, edema genital), hipovolemia simptomatik, atau dengan krisis
prerenal. Menambahkan furosemide di tengah dan/atau di akhir dari infus dapat meningkatkan
respon diuretik.

Asupan Protein
Hipoalbuminemia berhubungan dengan beberapa komplikasi pada SRNS termasuk thrombosis
dan resiko AKI, namun tidak terdapat bukti bahwa terjadi peningkatan asupan protein oral yang
memperbaiki kadar albumin atau luaran pasien.

Rekomendasi untuk gaya hidup

 Kami merekomendasikan dukungan aktivitas fisik dan nutrisi yang sehat pada anak-anak
dengan SRNS dan beradaptasi dengan kemampuan pasien serta stadium dari CKD. Kami
merekomendasikan untuk menyarankan pasien berhenti merokok (tingkat C, rekomendasi
menengah).
Bukti dan dasar bukti
Pasien dengan SRNS mengalami peningkatan resiko untuk mengalami penyakit kardiovaskuler
dan gangguan kesehatan tulang. Karena itu, aktivitas fisik regular; berhenti merokok,
penggunaan vape, atau penggunaan zat; dan nutrisi yang sehat sebagaimana direkomendasikan
pada masyarakat umum. Nutrisi sebaiknya dipandu oleh ahli gizi yang menyarankan asupan
energi yang adekuat dan menghindari asupan tinggi garam (lihat pada bagian sebelumnya) atau
asupan fosfor dan beradaptasi terhadap usia anak atau tinggi usia pada anak yang pendek, dan
stadium dari CKD. Lebih disarankan untuk makan makanan buatan rumah dengan menggunakan
bahan-bahan yang segar dibandingkan dengan makanan kaleng, makanan beku, atau makanan
kemasan (Tabel S11), karena akhirnya memiliki kadar garam dan fosfor anorganik yang lebih
tinggi yang mana dapat diabsorbsi oleh usus hingga 100%.

Pemantauan dan tatalaksana komplikasi dari NS


Pemantauan dan komplikasi

 Kami merekomendasikan pemantauan komplikasi dari NS persisten dan efek samping


pengobatan (lihat Tabel 4) (tingkat B, rekomendasi menengah).

Bukti dan dasar bukti


Komplikasi yang berhubungan dengan penyakit termasuk infeksi, hipogammaglobulinemia,
hiperlipidemia, hipertensi, hipotiroid, thromboemboli vena, defisiensi vitamin D, kegagalan
pertumbuhan, obesitas, malnutrisi, AKI, dan CKD. Kemungkinan efek samping dari pengobatan
telah disajikan dalam Tabel 4, dan parameter luaran utama untuk penggunaan dalam
catatan/studi telah disajikan dalam Tabel Tambahan S9.

Intervensi – pencegahan dan tatalaksana


Hipogammaglobulinemia – pengganti immunoglobulin

 Kami menyarankan bahwa penggantian immunoglobulin dapat dipertimbangkan pada


kasus dengan kadar IgG serum yang rendah dan infeksi rekuren dan/atau berat (tingkat D,
rekomendasi lemah).

Bukti dan dasar bukti


Argumen terhadap penggantian IgG rutin pada pasien dengan kadar IgG yang rendah mencakup
(a) hilangnya urin secara cepat setelah diberikan infus, (b) persiapan immunoglobulin komersial
yang mengandung titer IgG yang rendah terhadap bakteri terutama bertanggung jawab terhadap
terjadinya episode sepsis (staphylococcus, streptococcus, bakteri gram negatif), dan (c) biaya
yang tinggi. Dengan demikian kami menyarankan untuk mempertimbangkan profilaksis
penggantian IgG seperti pada kasus hipogammaglobulinemia sekunder lainnya pada pasien yang
datang dengan infeksi rekuren dan/atau berat.

Profilaksis antibiotik

 Kami tidak merekomendasikan profilaksis antibiotik secara rutin pada anak-anak dengan
SRNS (tingkat C, rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan profilaksis antibiotik dengan kotrimoksazol pada pasien yang
ditatalaksana dengan rituximab dalam jangka waktu 3 hingga 6 bulan bergantung pada
pemulihan sel B dan pengobatan imunosupresif pendukung (tingkat C, rekomendasi
lemah).

Bukti dan dasar bukti


Walaupun 60% dari kematian yang berhubungan dengan NS disebabkan oleh karena infeksi,
tidak terdapat bukti untuk merekomendasikan profilaksis antibiotik pada anak-anak dengan
SRNS. Tiga puluh hingga 50/5 dari infeksi disebabkan oleh infeksi pneumokokus, dengan
sisanya disebabkan oleh bakteri gram negatif terutama E. coli. Diperkirakan bahwa 110 anak
perlu ditatalaksana selama 1 tahun untuk mencegah 1 peritonitis pneumokokal. Karena mortalitas
pneumonia Pneumocystis jirovecii yang sangat tinggi, kami menyarankan untuk memberikan
kotrimoksazol pada pasien dengan terapi rituximab dalam jangka waktu 3 hingga 6 bulan
bergantung pada pemulihan sel B dan penggunaan pengobatan imunosupresi pendukung.
Pemberian dosis profilaksis kotrimoksazol direkomendasikan sebesar 5-10 mg TMP/kg/hari atau
150 TMP/m2/hari pada bayi (minimal berusia 4 minggu) dan anak-anak, diberikan sebagai dosis
tunggal atau dibagi menjadi dua dosis setiap 12 jam 3 kali dalam satu minggu (bisa pada hari
berturut-turut atau bergantian) dengan dosis TMP maksimal sebesar 320 mg/hari. Dosis oral
pada remaja adalah sebesar 80 hingga 160 mg TMP setiap harinya atau 160 mg TMP 3 kali
dalam tiap minggunya. Sementara penurunan dosis 50% dari kotrimoksazol diperlukan saat
eGFR < 30 ml/m2/menit, penggunaan kotrimoksazol tersebut tidak direkomendasikan dengan
eGFR < 15 ml/m2/menit. Dalam kasus tersebut, sebagai pilihan alternatif dapat diberikan
profilaksis pentamidin teraerosolisasi, namun bukti yang ada masih belum cukup untuk
membuktikan kemanjuran dari obat tersebut.
Vaksinasi

 Kami merekomendasikan untuk mengulasi status vaksinasi anak pada saat onset penyakit
dan menyelesaikan semua vaksinasi tanpa penundaan, terutama untuk bakteri yang
berkapsul (pneumokokus, meningokokus, Haemophilus influenzae) dan, jika
memungkinkan, virus varicella zoster (tingkat A, rekomendasi kuat).
 Kami menyarankan pemberian vaksin influenza yang telah diinaktivasi setiap tahun
(tingkat A, rekomendasi kuat).
 Kami merekomendasikan untuk mengikuti panduan vaksinasi nasional dalam
memberikan vaksin inaktif dan vaksin yang dilemahkan pada pasien yang mengalami
penurunan sistem imun (tingkat A, rekomendasi kuat).
 Vaksin hidup sebaiknya tidak diberikan pada pasien SRNS yang menjalani pengobatan
imunosupresi harian termasuk CNI, MMF, dan PDN (tingkat X, rekomendasi kuat).

Pencegahan infeksi varicella

 Kami menyarankan untuk menatalaksana pasien yang rentan (contohnya, pasien yang
tidak diimunisasi varicella atau imunisasi varicella kurang dan terpapar terhadap cacar
air) dengan immunoglobulin varicella zoster (VZIG) (tingkat A, rekomendasi kuat).
 Jika VZIG tidak tersedia, kami menyarankan tatalaksana dengan acyclovir oral (10 mg/kg
empat kali sehari selama 7 hari) dalam 7-10 hari paska paparan (tingkat C, rekomendasi
menengah).
 Kami merekomendasikan vaksin varicella sebaiknya diberikan pada pasien yang tidak
diimunisasi saat mengalami remisi dan tidak sedang menjalani pengobatan imunosupresi
(tingkat A, rekomendasi kuat).

Bukti dan dasar bukti


Infeksi varicella dapat membahayakan nyawa pada anak-anak dengan SRNS. Food and Drug
Administration (FDA) menyetujui pemberian VZIG untuk mengurangi gejala cacar air pada
pasien yang rentan, contohnya, yang tidak diimunisasi dan tidak memiliki riwayat cacar air.
VZIG sebaiknya diberikan sesegera mungkin hingga 10 hari paska paparan. Sayangnya, VZIG
tidak selalu siap tersedia di sebagian besar negara. Dua studi kecil pada 52 anak-anak
imunokompeten dan satu studi pada 8 anak dengan penyakit ginjal yang mendapatkan
kortikosteroid menyarankan bahwa pemberian acyclovir dapat menurunkan resiko terjadinya
cacar air saat diberikan dalam 7-10 hari paska paparan dan dilanjutkan selama 7 hari. Saat
mengalami remisi dan tidak sedang menjalani pengobatan imunosupresi, vaksin varicella
sebaiknya diberikan pada pasien dan keluarga pasien yang belum diimunisasi.
Pencegahan thrombosis

 Kami merekomendasikan untuk memobilisasi pasien sebanyak mungkin dan tidak


memasang akses vena sentral, kecuali untuk kebutuhan yang spesifik dan sementara
(tingkat X, rekomendasi kuat).
 Masih belum ada cukupp bukti untuk merekomendasikan pemberian profilaksis
antikoagulan rutin untuk anak-anak dengan SRNS dan tanpa riwayat atau resiko
thrombosis sebelumnya (belum dilakukan penilaian).
 Kami menyarankan pemberian antikoagulan pencegahan dengan heparin berat molekul
rendah atau antikoagulan oral pada pasien dengan riwayat kejadian thromboemboli vena
sebelumnya, dan pertimbangan tatalaksana untuk pasien dengan faktor resiko tambahan
(pasien dengan akses vena sentral, memiliki predisposisi thrombofilik bawaan, penyakit
akut yang dirawat inap, infeksi atau resiko dehidrasi) (tingkat C, rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan untuk melakukan skrining thrombofilik pada pasien SRNS dengan
faktor resiko tambahan termasuk akses vena sentral, proteinuria nefrotik persisten,
riwayat keluarga memiliki predisposisi thrombofilik (Tabel 2) (tingkat C, rekomendasi
lemah).

Bukti dan dasar bukti


Sebesar 3% insidensi dari kejadian thromboemboli telah dilaporkan pada anak-anak dengan NS
(diringkas dalam [158-160]). Faktor resiko termasuk hiperkoagulabilitas yang berhubungan
dengan penyakit, predisposisi thrombofilik yang mendasari, infeksi, dan tatalaksana, seperti,
akses vena sentral. Pada semua anak dengan SRNS, pemeriksaan koagulasi dasar (dicantumkan
dalam Tabel 2) sebaiknya dilakukan saat pemeriksaan awal. Kami menyarankan untuk
memperluas skrining thrombofilik pada pasien dengan resiko tinggi (kejadian thrombotik
sebelumnya atau predisposisi thrombotik bawaan yang diketahui) dengan melakikan skrining
untuk defisiensi protein antikoagulan bawaan (seperti, protein C, protein S, dan antithrombin)
dan polimorfisme nukleotid tunggal pada prothrombin (faktor II G20210A) dan gen faktor V
(faktor V G1691A). Kami juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan antikoagulasi
pencegahan dengan heparin berat molekul rendah pada pasien SRNS yang memiliki resiko
thrombotik tinggi untuk jangka waktu yang pendek, dengan antagonis vitamin K untuk jangka
panjang.

Tatalaksana hiperlipidemia atau dyslipidemia

 Kami menyarankan untuk mempertimbangkan tatalaksana penurunan kadar lemak yang


bergantung terhadap usia pada anak dengan NS resisten beberapa obat yang persisten dan
LDL-kolesterol puasa persisten (> 130 mg/dl; 3,4 mmol/l) (tingkat C, rekomendasi
lemah).
Bukti dan dasar bukti
Hiperlipidemia/dislipidemia berkepanjangan akan menimbulkan komplikasi pada NS persisten
dan merupakan faktor resiko untuk morbiditas kardiovaskuler, namun data untuk memandu
tatalaksana antihiperlididemia pada anak-anak dengan NS sangat sedikit. Studi tidak terkontrol
pada anak-anak dengan NS menunjukkan penurunan pada kadar LDL dan kolesterol total sebesar
30-40% menggunakan kombinasi dari statin dan perubahan gaya hidup, namun sebuah RCT
pada anak-anak dengan SRNS menunjukkan tidak ada penurunan yang signifikan pada kadar
lemak. Karena morbiditas kadriovaskuler yang tinggi yangberhubungan dengan dislipidemia,
kami menyarankan untuk mempertimbangkan tatalaksana penurun kadar lemak pada anak-anak
dengan SRNS dan kadar LDL-kolesterol persisten > 130 mg/dl (3,4 mmol/l), dimulai dengan
perubahan gaya hidup, termasuk modifikasi diet, peningkatan aktivitas fisik, dan kontrol berat
badan. Tidak terdapat bukti untuk merekomendasikan penggunaan statin penurun kadar lemak
pada NS. Beberapa ahli menyarankan untuk mempertimbangkan statin saat LDL-kolesterol
puasa secara persisten > 160 mg/dl (4,1 mmol/l) atau sebelumnya (> 130 mg/dl (3,4 mmol/l)),
apabila terdapat faktor resiko kardiovaskuler tambahan.

Suplementasi kalsium, magnesium, dan vitamin D

 Kami menyarankan pemberian kalsium oral jika terdapat hipokalsemia berdasarkan pada
kadar kalsium terionisasi dan/atau kadar kalsium yang telah dikoreksi dengan albumin
(tingkat C, rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan suplementasi dengan kolekalsiferol atau ergokalsiferol jika kadar 2-
OH-vitamin D rendah (< 30 ng/mL) (tingkat C, rekomendasi menengah).
 Kami menyarankan pemberian magnesium oral apabila terdapat hipomagnesemia
simptomatik (tingkat D, rekomendasi lemah).

Bukti dan dasar bukti


Anak-anak dengan SRNS mengalami kehilangan protein yang mengikat vitamin D melalui urin
dan 25-dihydroxyvitamin D dan dapat mengalami defisiensi vitamin D yang menyebabkan
terjadinya hipokalsemia, hiperparatiroidisme, dan gangguan mineralisasi tulang. Suplementasi
vitamin D pada pasien tersebut sangat efektif, dan direkomendasikan seperti pada pasien CKD
lainnya. Tatalaksana CNI dapat menyebabkan hipomagnesemia yang menyebabkan kram pada
kaki. Pemberian magnesium oral akan menghindari episode hipomagnesemia simptomatik.

Penggantian hormon tiroid


 Kami merekomendasikan penggantian levotiroksin (T4) apabila terjadi hipotiroid (tingkat
A, rekomendasi kuat).

Bukti dan dasar bukti


Hipotiroid pada anak-anak dengan SRNS merupakan akibat dari hilangnya protein yang
mengikat tiroksin melalui urin. Karena itu, kadar TSH dan T4 bebas sebaiknya dipantau secara
rutin pada pasien dengan proteinuria berat yang persisten (Tabel 2). Untuk anak-anak dengan
kadar TSH > 10 mU/l dan kadar T4 bebas yang rendah, kami merekomendasikan tatalaksana
dengan levotiroksin (T4). Pada anak-anak asimptomatik dengan peningkatan TSH 4,5-10 mU/l
dan kadar T4 bebas yang normal, fungsi tiroid dapat dipantau secara berkala dan indikasi untuk
tatalaksana dievaluasi kembali.

Tatalaksana hipertensi dan komplikasi yang berhubungan dengan CKD

 Kami merekomendasikan tatalaksana hipertensi dan komplikasi yang berhubungan


dengan CKD seperti anemia, asidosis metabolik, dan hiperparatiroid, berdasarkan pada
panduan yang digunakan saat ini (tingkat A, rekomendasi kuat).

Bukti dan dasar bukti


Anak-anak dengan SRNS mengalami peningkatan resiko yang signifikan untuk mengalami
penyakit kardiovaskuler. Seperti pada semua anak dengan CKD, tekanan darah tinggi (> 95
persentil usia-jenis kelamin dan tinggi badan spesifik) sebaiknya ditatalaksana dengan target
nilai tekanan darah < 75 persentil pada anak yang tidak mengalami proteinuria, dan < 50
persentil pada anak dengan proteinuria. Komplikasi lain yang berhubungan dengan CKD
sebaiknya ditatalaksana berdasarkan pada panduan yang digunakan saat ini.

Diagnosis, pencegahan, dan tatalaksana dari SRNS relaps pada ginjal


Pencegahan relaps

 Tidak ada parameter klinis atau histologis pada presentasi klinis awal yang tersedia untuk
memperkirakan relaps dari SRNS (belum dilakukan penilaian).

Bukti dan dasar bukti


Masih belum diketahui sampai derajat mana pengobatan harus mulai diturunkan perlahan atau
dihentikan saat tercapai remisi. Relaps dapat terjadi hingga 70% dari pasien yang berespon
terhadap terapi CNI setelah penghentian pada 6 atau 12 bulan. Kami merekomendasikan untuk
melanjutkan terapi imunosupresi dengan CNI atau MMF setelah remisi selama jangka waktu
minimal 1 tahun. Penurunan bertahap dari CNI/MMF daripada menghentikan secara mendadak
dapat mencegah terjadinya relaps dini.

Tatalaksana relaps
Relaps pada tatalaksana CNI

 Kami merekomendasikan kepatuhan pasien terhadap CNI sebaiknya dipantau dengan


menggunakan kadar dalam aliran serum berdasarkan pada jadwal pemantauan yang
terdaftar dalam Tabel 2 (tingkat C, rekomendasi menengah).
 Kami menyarankan pemberian PDN oral 60 mg/m2 setiap hari hingga tercapai remisi atau
jangka waktu maksimal selama 4 minggu, yang selankutnya dilakukan penurunan secara
bertahap saat remisi tercapai (tingkat C, rekomendasi lemah).
 Pada kasus dimana tidak terdapat respon, relaps yang sering terjadi, atau efek samping
dari pengobatan, kami merekomendasikan untuk mengikuti protokol SRNS refrakter
(lihat “Pendekatan lini kedua”) (belum dilakukan penilaian).

Relaps paska penghentian tatalaksana imunosupresi

 Kami menyarankan pemberian PDN oral (60 mg/m 2 setuap hari) hingga tercapai remisi
atau jangka waktu maksimal selama 4 minggu, yang selanjutnya dilakukan penurunan
secara bertahap saat tercapai remisi. Sebagai alternatif, kami menyarankan untuk
memulai kembali agen imunosupresi, yang mana dapat mencegah terjadinya relaps
(tingkat D, rekomendasi lemah).
 Pada kasus dimana tidak terdapat respon menyeluruh dalam 4 minggu, sering terjadi
relaps, atau efek samping dari pengobatan, kami merekomendasikan untuk mengikuti
protokol SRNS refrakter (lihat “Pendekatan lini kedua”) (belum dilakukan penilaian).

Bukti dan dasar bukti


SRNS relaps dan peran dari steroid
Beberapa studi menunjukkan efektivitas dari PDN pada SRNS relaps pada dosis sebesar 2
mg/kg/hari untuk menginduksi remisi dengan perubahan pada PDN harian, diikuti dengan
penurunan dosis secara bertahap hingga akhir dari bulan ke 6. MPDN intravena juga efektif
dalam menginduksi remisi pada pasien yang mengalami relaps. Memulai kembali pengobatan
non glukokortikoid yang mana efektif pada pasien tertentu juga dapat dipertimbangkan.

Tatalaksana anak-anak dengan ESKD


Pasien yang menjalani dialisis

 Kami merekomendasikan bahwa ekskresi protein urin sebaiknya diukur sebelum


dilakukan transplantasi pada pasien dengan sisa fungsi ginjalnya untuk memfasilitasi
pangawasan rekurensi yang akurat paska transplantasi (tingkat A, rekomendasi kuat).
 Kami merekomendasikan bahwa perkiraan resiko rekurensi setelah transplantasi ginjal
sebaiknya didiskusikan dengan keluarga pasien yang direncanakan menjalani terapi
pengganti ginjal (tingkat A, rekomendasi kuat).
 Jika transplantasi dilakukan sebelum terjadi resolusi dari NS pada kondisi ESKD, kami
menyarankan untuk mempertimbangkan nefrektomi medis atau operasi nefrektomi
sebelum dilakukan transplantasi (tingkat D, rekomendasi lemah).

Bukti dan dasar bukti


Persiapan untuk transplantasi idealnya membutuhkan resolusi dari NS untuk meminimalisir
resiko terjadinya thromboemboli vena dan memperbaiki akurasi dari pemantauan untuk rekurensi
paska transplantasi. Jika resolusi yang adekuat dari proteinuria tidak terjadi setelah dimulainya
dialisis berdasarkan pada protein urin 24 jam, kami menyarankan untuk mempertimbangkan
nefrektomi medis atau operasi nefrektomi. Namun, keuntungan dari sisa fungsi ginjal dan luaran
urin dalam memfasilitasi dialisis juga harus dipertimbangkan.

Pemilihan penerima transplan

 Kami merekomendasikan bahwa pemeriksaan genetik dilakukan sebelum transplantasi


untuk memberikan informasi mengenai resiko rekurensi SRNS (tingkat B, rekomendasi
menengah).
 Kami merekomendasikan transplantasi ginjal untuk ditawarkan pada anak-anak dengan
ESKD yang disebabkan oleh SRNS terlepas dari SRNS disebabkan oleh penyebab
genetik atau non genetik (tingkat B, rekomendasi menengah).
 Kami menyarankan bahwa resiko dan keuntungan dari transplantasi berulang pada pasien
dengan riwayat rekurensi SRNS sebaiknya didiskusikan antara kelompok transplantasi
dan dengan pasien serta keluarga pasien untuk merencanakan transplantasi ulang (tingkat
A, rekomendasi kuat).
Bukti dan dasar bukti
Faktor yang berhubungan dengan rekurensi SRNS paska transplantasi adalah bentuk non genetik
dibandingkan dengan bentuk monogenik dari SRNS (rekurensi sebesar 24% dibandingkan
dengan 0% pada studi kohort yang dilakukan di Brazil dan 50% dibandingkan dengan 7% pada
studi kohort yang dilakukan di Eropa); resistensi dibandingkan dengan sensitivitas steroid awal
(OR 30, 95% CI 6,6 – 135,9); waktu untuk terjadinya ESKD < 48 bulan dibandingkan dengan >
48 bulan (OR 11,7, 95% CI 1,53 – 89,1) dan persentase glomerulosklerosis < 55% pada saat
biopsi ginjal (OR 16, 95% CI 1,45 – 1,76). Anak-anak dengan riwayat rekurensi SRNS sebelum
dilakukan transplantasi memiliki kemungkinan > 80% untuk terjadinya rekurensi pada
transplantasi selanjutnya. Remisi menyeluruh dan sebagian telah dilaporkan dalam 63% dan 8%
pasien dengan NS rekuren paska transplantasi dengan persentase kelangsungan hidup allograft
dalam 10 tahun sebesar 50%.

Pemilihan donor transplan

 Kami merekomendasikan kandidat pemberi donor allograft (apabila masih hidup)


menjalani pemeriksaan genetik sebagai bagian dari evaluasi pada kondisi SRNS genetik
jika tersedia (tingkat X, rekomendasi kuat).
 Kami merekomendasikan kandidat donor dengan varian patogenik atau kemungkinan
patogenik pada gen yang dominan, dengan atau tanpa gejala, untuk dieksklusi sebagai
kemungkinan pemberi donor (tingkat X, rekomendasi kuat).
 Karier heterozigot dari varian genetik SRNS resesif dapat dipertimbangkan sebagai
kemungkinan donor, setelah konseling genetik (kecuali untuk karier dengan variasi
patologis COL4A5, COL4A3, dan COL4A4).
 Variasi karier asimptomatik yang belum diketahui secara signifikan dapat
dipertimbangkan sebagai donor transplan setelah dilakukan evaluasi menyeluruh dan
konseling dimana pilihan donasi organ lainnya tidak tersedia (tingkat C, rekomendasi
lemah).
 Kami merekomendasikan bahwa perkiraan resiko rekurensi dan kegagalan allograft
prematur dapat dimasukkan kedalam pertimbangan kandidat donor (tingkat A,
rekomendasi kuat).

Bukti dan dasar bukti


Pemberi donor yang masih hidup dalam konteks penyakit ginjal genetik sebaiknya mengikuti
evaluasi donor yang rinci, ulasan yang teliti dari pola penyakit bawaan, dan konseling serta
pemeriksaan genetik. Sementara riwayat keluarga memiliki penyakit ginjal genetik dengan
bentuk autosomal resesif (AR) tidak dipertimbangkan sebagai kontraindikasi untuk pemberi
donor ginjal yang masih hidup, data follow up jangka panjang masih kurang. Pada kasus dimana
SRNS terjadi setelah terdapat penyakit bawaan autosomal dominan (AD), pemberi donor yang
masih hidup dengan riwayat keluarga mengalami AD maka tidak disarankan untuk menjadi
donor. Jika masih belum jelas apakah kandidat donor memiliki penyakit ginjal genetik dan
apakah penyakit tersebut dapat menyebabkan CKD, donor sebaiknya hanya dilakukan setelah
menginformasikan kandidat penerima donor mengenai resiko dari pemberian donasi jika
penyakit tersebut suatu saat akan muncul.
Karier hemizigot (ibu dan saudara perempuan) dari defek COL4A5 sebaiknya disarankan untuk
tidak menjadi donor ginjal, karena mereka diketahui dapat menyebabkan terjadinya ESKD.
Saran serupa sebaiknya diberikan pada donor dengan defek heterozigot patogenik pada gen
COL4A lainnya (COL4A3 dan COL4A4). Selain itu, resiko terhadap donor yang membawa
mutasi heterozigot NPHS2 dapat dimodifikasi oleh varian seperti R229Q, yang mana dianggap
memiliki varian dominan negatif yang secara teoritis dapat menimbulkan resiko terhadap donor.
Pemeriksaan termasuk evaluasi dari proteinuria dan hematuria yang dilakukan sebagai bagian
dari penilaian donor sebaiknya diinterpretasikan dengan pertimbangan khusus dalam kondisi
SRNS bawaan. Jika evaluasi genetik dari kemungkinan pemberi donor hasilnya normal namun
riwayat keluarganya positif, donasi hanya dapat dilanjutkan setelah diberikan informed consent
yang jelas dan menyeluruh.

Menerima donor hidup untuk transplantasi ginjal dari sudut pandang resiko terjadinya
rekurensi

 Baik pemberi donor yang masih hidup atau sudah meninggal semuanya didorong untuk
menjadi donor pada pasien dengan SRNS non genetik yang menerima allograft
pertamanya (tingkat B, rekomendasi menengah).

Bukti dan dasar bukti


Proporsi pasien serupa dengan rekurensi telah diobservasi pada allograft yang masih hidup dan
yang telah meninggal (10-50% dibandingkan dengan 3-45%), namun kelangsungan hidup
allograft lebih baik pada allograft yang berasal dari donor hidup dengan FSGS rekuren
dibandingkan dengan allograft yang berasal dari donor yang telah meninggal.

Menunda transplantasi dari pasien yang sebelumnya telah menjalani transplantasi

 Kami merekomendasikan untuk tidak menyarankan donor hidup untuk penerima yang
telah mengalami rekurensi penyakit pada transplantasi pertamanya (tingkat B,
rekomendasi menengah).
 Transplan dari donor yang telah meninggal dapat ditawarkan pada kemungkinan
penerima dengan riwayat kehilangan allograft sebelumnya karena rekurensi dari NS,
terutama jika dialisis sulit untuk menopang, atau berhubungan dengan kejadian yang
mengancam nyawa, infeksi yang serius, pertumbuhan yang buruk, dan/atau kualitas
hidup yang rendah (tingkat C, rekomendasi lemah).

Bukti dan dasar bukti


Transplantasi sebaiknya tidak ditunda pada pasien SRNS, karena hal ini tidak menurunkan resiko
rekurensi. Rekurensi pada allograft pertama mengindikasikan 60-80% resiko rekurensi pada
allograft selanjutnya. Strategi yang digunakan untuk menatalaksana penyakit rekuren (CNI dosis
tinggi, MPDN intravena, rituximab; dan terapi ekstrakorporeal) menginduksi remisi pada ~60%
dari kasus. Sementara hanya sedikit laporan yang menyarankan bahwa diagnosis awal dan terapi
agresif dari penyakit rekuren dapat menghasilkan luaran yang sebanding dengan allograft tanpa
rekurensi. Karena itu, transplan berulang dari donor yang masih hidup tidak disarankan dalam
kondisi rekurensi penyakit SRNS sebelumnya dan transplantasi dari donor yang telah meninggal,
dibandingkan dengan dialisis, dianggap sesuai secara etik.

Pencegahan rekurensi setelah transplantasi ginjal

 Tidak terdapat bukti yang cukup untuk merekomendasikan strategi intervensi untuk
pencegahan rekurensi pada anak-anak yang menjalani transplantasi ginjal pertama (belum
dilakukan penilaian).
 Kami menyarankan plasmaparesis profilaksis atau immunoadsorption atau apheresis
lemak dan rituximab perioperatif untuk digunakan pada anak-anak dengan riwayat
kehilangan allograft karena rekurensi NS sebelum dilakukan transplantasi (tingkat C,
rekomendasi lemah).

Bukti dan dasar bukti


Tidak terdapat strategi pencegahan yang terbukti dapat menurunkan kemungkinan terjadinya
rekurensi pada pasien SRNS yang menjalani transplantasi ginjal pertama. Strategi pencegahan
untuk rekurensi SRNS terutama pada, SRNS non genetik dengan riwayat rekurensi SRNS pada
laporan kasus dan rangkaian kecil yang melibatkan 8 pasien. Mereka melibatkan plasmaparesis
profilaksis tiga kali dalam seminggu selama 2 minggu, diawali 1 minggu sebelum dilakukan
transplantasi dari donor hidup atau dalam 1 hari sebelum dilakukan transplantasi dari donor yang
telah meninggal dengan pertukaran volume plasma 1,5 kali dan pemberian rituximab perioperatif
atau langsung setelah transplantasi dengan atau tanpa dosis kedua paska hari transplantasi.
Rekurensi transplantasi

 Kami merekomendasikan pengawasan untuk rekurensi diawali pada hari transplantasi


ginjal dengan memantau UPCR, dilanjutkan setiap hari selama rawat inap transplantasi
pertama, dan kemudian dilanjutkan secara berkala (contohnya, mingguan selama 4
minggu, bulanan selama 1 tahun, dan setelahnya empat tahun sekali) (tingkat C,
rekomendasi menengah).
 Kami menyarankan pada pasien yang mengalami anuria sebelumnya, UPCR paska
transplantasi ≥ 100 mg/mmol (1 mg/mg) dapat mengindikasikan adanya rekurensi dini,
infeksi, atau diagnosis lainnya dan membutuhkan evaluasi (tingkat C, rekomendasi
lemah).
 Kami menyarankan pada pasien dengan proteinuria yang sering terjadi pada saat
transplantasi, peningkatan UPCR ≥ 100 mg/mmol (1 mg/mg) dapat mengindikasikan
adanya rekurensi dini, infeksi, dan diagnosis lainnya dan membutuhkan evaluasi (tingkat
C, rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan bahwa onset dini dari nekrosis tubular akut (ATN) atau graft yang
tidak berfungsi/disfungsi sebaiknya dianggap sebagai tanda awal dari rekurensi (tingkat
C, rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan bahwa biopsi allograft tidak dibutuhkan untuk mendiagnosa
rekurensi yang cepat dari NS seperti yang telah dijelaskan dalam Tabel 1, namun biopsi
allograft direkomendasikan untuk eksklusi diagnosis banding pada kondisi proteinuria
subnefrotik, rekurensi setelah 48 jam, atau pada kondisi fungsi graft yang tertunda
(tingkat B, rekomendasi menengah).
 Kami menyarankan bahwa evaluasi diagnostik mendahului penyesuaian dari terapi
imunosupresi pada kondisi rekurensi NS lambat (≥ 3 bulan paska transplantasi) termasuk
pemeriksaan infeksi, serologi antibodi spesifik donor, dan histopatologi termasuk
mikroskop elektron (tingkat B, rekomendasi menengah).

Bukti dan dasar bukti


Sindroma nefrotik dapat muncul kembali paling cepat dalam 24 jam setelah transplantasi dan
diindikasikan dengan rasio UPCR ≥ 100 mg/mmol (1 mg/mg) pada pasien yang sebelumnya
mengalami anuria (Tabel 1). Onset dini dari nekrosis tubular akut (ATN) atau graft tidak
berfungsi/disfungsi sebaiknya dianggap sebagai tanda awal dari rekurensi transplantasi.
Diagnosis dari rekurensi FSGS dapat disimpulkan pada biopsi ginjal dengan diffuse foot process
effacement pada kondisi dimana tidak terdapat temuan histopatologi lainnya, bahkan jika tidak
ada skar glomerulus yang menunjukkan FSGS. Proteinuria onset lambat atau mendadak
membutuhkan biopsi ginjal untuk eksklusi dari diagnosis banding termasuk TMA de novo dan
penolakan yang dimediasi oleh antibodi dengan glomerulopati transplan karena keduanya dapat
menunjukkan gejala FSGS sekunder.

Tatalaksana rekurensi

 Kami merekomendasikan untuk mengimplementasikan terapi spesifik rekurensi NS


sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan (tingkat X, rekomendasi kuat).
 Kami menyarankan pemberian peningkatan dosis dari CNI, infus MPDN intravena,
dan/atau plasmaparesis (atau imunoadsorption) dengan atau tanpa rituximab (tingkat C,
rekomendasi lemah).
 Kami menyarankan untuk memulai RAASi saat tidak terjadi remisi menyeluruh yang
tercapai setelah dilakukan terapi untuk rekurensi (tingkat X, rekomendasi lemah).
Bukti dan dasar bukti
Strategi yang digunakan untuk menatalaksana penyakit rekuren termasuk CNI dosis tinggi,
MPDN intravena, rituximab, dan pemurnian darah ekstrakorporeal menginduksi remisi dalam
~60% rekurensi transplantasi. Kami menyarankan pada pasien, yang ditatalaksana dengan
menggunakan rituximab, untuk diberikan rituximab dosis kedua (sebesar 375 mg/m2) pada
kondisi dimana terjadi penurunan sel B tidak lengkap dan/atau rekurensi dari proteinuria.

Anda mungkin juga menyukai