Abstrak
Sindroma nefrotik idiopatik kasus baru terjadi pada 1-3 kasus per 100.000 anak tiap tahunnya.
Sekitar 85% dari kasus menunjukkan penurunan proteinuria secara menyeluruh setelah dilakukan
tatalaksana glukokortikoid. Pasien yang tidak mengalami penurunan proteinuria menyeluruh
dalam 4-6 minggu paska tatalaksana glukokortikoid mengalami sindroma nefrotik resisten
steroid (SRNS). Pada 10-30% pasien yang resisten steroid, terdeteksi adanya mutasi pada gen
yang berhubungan dengan podosit, sedangkan sisanya dianggap sebagai faktor imun dalam
sirkulasi yang tidak diketahui asalnya. Diagnosis dan tatalaksana SRNS merupakan tantangan
yang besar karena etiologi, yang heterogen, seringkali pemulihannya kurang baik dengan
pemberian tatalaksana imunosupresif lebih lanjut, dan komplikasi yang berat termasuk
berkembangnya penyakit ginjal stadium akhir dan rekurensi paska dilakukan transplantasi ginjal.
Sekelompok ahli yang terdiri dari ahli nefrologi pediatric dan ahli genetika ginjal dari Asosiasi
Nefrologi Pediatri Internasional (IPNA), ahli patologi ginjal, dan ahli nefrologi pasien dewasa
telah mengembangkan rekomendasi praktik klinis komprehensif untuk diagnosa dan tatalaksana
SRNS pada pasien anak. Kelompok tersebut melakukan ulasan literatur secara sistematis pada 9
pertanyaan PICO (Patient or Population covered, Intervention, Comparator, Outcome) yang
relevan secara klinis, merumuskan sebuah rekomendasi dan secara formal menyusunnya dalam
sebuah pertemuan konsensus, dengan masukan dari perwakilan pasien dan ahli gizi yang
berperan sebagai penasihat eksternal serta panitia pemungutan suara dari ahli nefrologi pediatri.
Rekomendasi mengenai penelitian juga disampaikan.
Kata kunci: Sindroma nefrotik resisten steroid; Anak-anak; Gagal ginjal kronis; Genetik;
Luaran; Pediatri; Tatalaksana imunosupresif
Pendahuluan
Sindroma nefrotik idiopatik (NS), ditandai dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, dan/atau
adanya edema, kasus baru terjadi pada sekitar 1-3 kasus per 100.000 anak berusia dibawah 16
tahun. Sekitar 85% kasus mengalami penurunan proteinuria secara menyeluruh setelah diberikan
tatalaksaan prednisolone/prednisone (PDN) oral setiap harinya pada dosis standar. Pasien yang
tidak mengalami penurunan setelah mendapatkan tatalaksana selama 4-6 minggu dianggap
sebagai NS resisten steroid (SRNS). Durasi dari PDN yang diperlukan sebelum pasien dianggap
sebagai resisten steroid masih menjadi bahan diskusi dan periode tatalaksana yang lebih lama (6-
8 minggu), demikian juga dengan pemberian tambahan infus metilprednisolon (MPDN) secara
intravena, telah dilaporkan.
Pada 10-30% pasien dengan SRNS yang bukan berasal dari bawaan, dapat terdeteksi adanya
mutasi pada gen yang berhubungan dengan podosit, sedangkan pada kasus sisanya dianggap
terdapat faktor dalam sirkulasi yang tidak diketahui. Perwujudan prinsip histopatologi pada
SRNS adalah glomerulosklerosis fokal dan segmental (FSGS), minimal change disease (MCD),
dan sklerosis mesangial difus. Tatalaksana umumnya mencakup penghambat sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAASi) dan penghambat kalsineurin (CNI) pada pasien degnan SRNS
yang bukan berasal dari bawaan. Dengan pendekatan ini, penurunan proteinuria menyeluruh atau
sebagian dapat tercapai pada 50-70% dari kasus.
Tatalaksana dari SRNS merupakan tantangan yang besar karena etiologi yang heterogen,
penurunan yang seringkali kurang baik setelah pemberian tatalaksana imunosupresif, dan
komplikasi yang mencakup toksisitas obat, infeksi, thrombosis, dan berkembangnya penyakit
ginjal stadium akhir (ESKD), dan rekurensi paska dilakukan transplantasi ginjal. Saat ini tidak
ada rekomendasi yang dikembangkan secara sistematis, berdasarkan bukti untuk diagnosis dan
tatalaksana pasien anak dengan SRNS, dengan pengecualian pada dokumen yang terfokus dari
panduan Glomerulonefritis KDIGO (Kidney Disease: Improving Global Outcome) [Penyakit
Ginjal: Meningkatkan Luaran secara Menyeluruh]. Karena itu, Asosiasi Nefrologi Pediatri
Internasional (IPNA) membentuk kelompok kerja rekomendasi praktik klinis (CPR) pada
Desember 2018 untuk mengembangkan CPR untuk diagnosis dan tatalaksana pasien anak
dengan SRNS. Rekomendasi penelitian di masa yang akan datang mengenai kunci pengukuran
luaran pada pasien dengan SRNS juga disampaikan.
Metode
Gambaran dari rancangan panduan
Kami telah mengikuti Pernyataan RIGHT (Reporting Items for practice Guidelines in
HealThcare) untuk Panduan Praktik. Tiga kelompok telah dibentuk: kelompok pemimpin inti,
kelompok ahli eksternal, dan panitia pemungutan suara. Kelompok inti terdiri dari 18 anggota
IPNA, yang mencakup ahli nefrologi pediatri, ahli genetika ginjal, ahli epidemiologi, ahli
nefrologi pasien dewasa, dan ahli patologi ginjal. Keahlian dan tanggung jawab dari masing-
masing anggota kelompok inti telah disajikan dalam Tabel Tambahan S1. Kelompok ahli
eksternal terdeiri dari 3 orang perwakilan pasien dan satu orang ahli gizi. Perwakilan pasien
mendiskusikan manuskrip yang diberikan oleh anggota kelompok inti dalam hubungan lokal
dengan orang tuanya, dan saran mereka yang akan dimasukkan ke dalam manuskrip. Panitia
pemungutan suara terdiri dari 23 orang ahli nefrologi pediatri termasuk 3-5 orang perwakilan
dari setiap Lembaga IPNA Regional dengan keahlian di bidang tatalaksana SRNS pada anak-
anak. Anggota kelompok pemungutan suara akan diberikan pertanyaan menggunakan kuisioner
elektronik untuk memberikan tingkat persetujuan dengan skala 5 poin (sangat tidak setuju, tidak
setuju, netral, setuju, sangat setuju) (metode Delphi). Untuk topik yang gagal mencapai tingkat
konsensus sebesar 70%, rekomendasinya akan dievaluasi kembali dan dimodifikasi oleh
kelompok inti dan kemudian akan diulas kembali oleh panitia pemungutan suara hingga tercapai
tingkat konsensus >70%.
Pencarian literatur
Dilakukan pencarian pada database PubMed untuk studi yang telah dipublikasikan hingga 15
September 2019; semua ulasan sistematis dari uji coba acak terkontrol (RCT) pada tatalaksana
dari SRNS pada anak-anak, RCT, uji coba prospektif tidak terkontrol, studi observasional, dan
daftar studi mengenai diagnosis dan tatalaksana pada pasien anak dengan SRNS, terbatas untuk
studi pada manusia dalam bahasa Inggris. Saat memungkinkan, meta analisis dari RCT yang
menggunakan rasio resiko dikutip dari ulasan sistematik Cochrane yang telah diperbarui
mengenai intervensi NS resisten steroid (SRNS) pada masa anak-anak. Keterangan lebih lanjut
dan ringkasan dari publikasi yang digunakan dalam CPR ini telah disajikan dalam materi
Tambahan (Tabel Tambahan S2-S5).
Sistem penilaian
Kami mengikuti sistem penilaian dari American Academy of Pediatrics (Gambar 1). Kualitas
dari bukti dinilai sebagai Tinggi (A), Menengah (B), Rendah (C), Sangat rendah (D), atau Tidak
dapat digunakan (X). Yang terakhir merukuk pada kondisi khusus dimana studi tidak dapat
dilakukan validasi karena keuntungan atau bahaya sangat mendominasi. Tulisan ini digunakan
untuk menilai kontraindikasi dari pengukuran terapeutik dan parameter keamanan. Kekuatan dari
rekomendasi ini dinilai sebagai kuat, menengah, lemah, atau dapat digunakan dengan panduan
dari penulis (saat tidak ada rekomendasi yang dapat dibuat).
Definisi SRNS
Tatalaksana awal anak dengan NS idiopatik umumnya terdiri dari PDN oral sebesar 60
mg/m2/hari atau 2 mg/kg/hari (maksimal 60 mg/hari) selama 4-6 minggu, diikuti dengan 40
mg/m2 atau 1,5 mg/kg per dosis secara bergantian (QOD) selama 4-6 minggu. Setelah 4 minggu
pertama pemberian PDN oral dosis penuh, pasien anak dapat mencapai remisi menyeluruh
(UPCR ≤ 20 mg/mmol (2 mg/mg) atau hasil dipstick negatif atau samar pada tiga atau lebih
pemeriksaan secara berturut-turut), yang akan mengkonfirmasi SSNS. Jika didapatkan adanya
remisi parsial, karena faktanya hanya sebagian kecil dari anak-anak yang mengalami remisi
menyeluruh setelah diberikan tambahan waktu selama 2 minggu, maka “periode konfirmasi”
dimulai. Dalam waktu ini, respon lebih lanjut terhadap PDN oral harian dengan atau tanpa
pemberian 3 MPDN secara infus (500 mg/m2 atau 15 mg/kg), dan tetap diberikan RAASi
(Gambar 2). Jika tercapai remisi secara menyeluruh dalam 6 minggu, anak tersebut
dikategoriksan sebagai SSNS “respon lambat” dan ditatalaksana sebagai SSNS. Jika tidak
terdapat remisi setelah 6 minggu, diagnosis dari SRNS terkonfirmasi (Gambar 2). Kami
merekomendasikan melakukan biopsi ginjal dan juga mendapatkan hasil pemeriksaan genetik
(jika tersedia) sesegera mungkin, idealnya dalam periode konfirmasi 2 minggu. Jika hasil
pemeriksaan genetik tidak tersedia hingga akhir dari periode konfirmasi, kami menyarankan
untuk memulai tatalaksana dengan CNI dan melakukan penilaian ulang terhadap tatalaksana
setelah menerima hasil pemeriksaan genetik. Pada negara-negara dengan sumber daya yang
rendah dimana penilaian genetik dan/atau histopatologi tidak tersedia, maka dapat segera
memulai tatalaksana imunosuptesif dengan CNI. Jika CNI tidak tersedia secara intravena atau
oral, maka siklofosfamid (CPH) dapat dimulai (lihat pada bagian berikutnya). Keterangan
mengenai bukti dan dasar bukti untuk penjelasan tersebut disediakan dalam Materi Tambahan.
Biopsi ginjal
Biopsi ginjal dapat mengeksklusi diagnosis banding lainnya yang terdaftar diatas (seperti,
nefropati membranosa) dan konfirmasi dari podositopati primer (MCD, FSGS, atau DMS).
Selain itu, biopsi ginjal juga membantu deteksi dan penilaian dari atrofi tubuler, fibrosis
interstisial, dan glomerulosklerosis sebagai penanda prognostik. Karena itu, saat seorang anak
disebutkan mengalami SRNS, biopsi ginjal sebaiknya dilakukan berdasarkan standar saat ini
sebagaimana dijelaskan dalam Materi Tambahan untuk menentukan patologi yang mendasari
sebelum memulai tatalaksana dengan CNI, kecuali telah teridentifikasi bentuk monogenik yang
jelas dari SRNS yang diketahui tidak responsif terhadap imunosupresi. Hal ini terutama relevan
dalam kondisi dimana akses terhadap pemeriksaan genetik sangat terbatas.
Tatalaksana
Tatalaksana lini pertama non imunosupresif pada anak-anak dengan SRNS
Kami menyarankan dosis awal CsA sebesar 3-5 mg/kg/hari (maksimal dosis awal sebesar
250 mg/hari) diberikan secara oral dua kali sehari (tingkat B, rekomendasi lemah).
Kami menyarankan untuk titrasi dosis CsA minimal dengan interval per hari dengan
target kadar CsA terendah dalam seluruh darah antara 80 dan 120 ng/ml berdasarkan
pada pengujian yang divalidasi dengan spektrometri massa tandem (tingkat B,
rekomendasi lemah).
Kami menyarankan dosis awal TAC sebesar 0,1-0,2 mg/kg/hari (maksimal dosis awal
sebesar 5 mg/hari) diberikan secara oral dua kali sehari (tingkat B, rekomendasi lemah).
Kami menyarankan titrasi dosis TAC dengan target kadar terendah antara 4 dan 8 ng/ml.
Kami juga menyarankan interval titrasi minimal 3 hari (tingkat B, rekomendasi lemah).
Kami menyarankan pemantauan kadar terendah CsA/TAC minimal mingguan hingga
kadar target tercapai, dan kemudian setiap 1-3 bulan bersamaan dengan kreatinin serum
sebagai parameter keamanan (tingkat D, rekomendasi lemah) (Tabel 2).
Kami merekomendasikan untuk mengurangi dosis CNI atau menghentikan pemberian
CNI jika eGFR menurun dibawah 30 ml/menit/1,73 m2 (tingkat X, kuat).
Kami menyarankan jangka waktu minimal tatalaksana selama 6 bulan untuk menentukan
respon terhadap CNI (tingkat B, rekomendasi lemah).
Kami merekomendasikan bahwa CNI sebaiknya dihentikan apabila tidak tercapai remisi
sebagian pada 6 bulan (tingkat B, rekomendasi menengah).
Jika tercapai remisi menyeluruh, dosis CNI sebaiknya dikurangi hingga mencapai dosis
terendah yang dibutuhkan untuk mempertahankan remisi. Kami juga menyarankan untuk
mempertimbangkan penghentian CNI setelah 12-24 bulan pada pasien tersebut untuk
mengurangi resiko terjadinya nefrotoksisitas (tingkat C, rekomendasi lemah). Ppada
pasien tersebut, dapat dipertimbangkan untuk mengganti terapi ke MMF untuk
meminimalisir nefrotoksisitas dan mempertahankan remisi (lihat pada bagian
berikutnya).
Jika terjadi relaps setelah penghentian CNI, kami menyarankan untuk memulai terapi
CNI dari awal pada pasien untuk uji coba, diberikan bersamaan dengan PDN oral dosis
tinggi selama 4 minggu. Selain itu juga dapat dipertimbangkan untuk memberikan terapi
ini bergantian dengan MMF (tingkat C, rekomendasi lemah).
Jika remisi sebagian tercapai, kami merekomendasikan untuk melanjutkan CNI pada
dosis yang sama minimal selama 12 bulan (tingkat C, rekomendasi lemah).
Mycophenolate mofetil
Jika imunosupresi dipertimbangkan pada anak dengan SRNS dan eGFR < 30
ml/menit/1,73 m2, kami lebih menyarankan penggunaan MMF dibandingkan dengan CNI
karena resiko nefrotoksisitas dari CNI (tingkat C, rekomendasi lemah).
Kami menyarankan untuk mempertimbangkan penggunaan MMF untuk mempertahankan
remisi pada anak-anak dengan SRNS yang mengalami remisi setelah pemberian CNI jika
mereka mengalami relaps yang sensitif steroid (tingkat C, rekomendasi lemah).
Pada pasien dengan SRNS yang telah mencapai remisi menyeluruh pada terapi CNI
selama minimal 12 bulan, kami menyarankan untuk mempertimbangkan pergantian obat
menjadi MMF sebagai agen imunosupresi alternatif dibandingkan dengan melanjutkan
CNI (tingkat C, rekomendasi lemah).
Jika terdapat penurunan eGFR yang tidak dapat dijelaskan atau peningkatan pada
proteinuria saat follow-up, kami menyarankan untuk mempertimbangkan biopsi ginjal
ulang untuk menilai nefrotoksisitas CNI (tingkat C, rekomendasi lemah).
Kami menyarankan untuk mempertimbangkan biopsi ginjal pada pasien yang mengalami
paparan CNI jangka panjang (> 2 tahun) atau saat pasien mengulang terapi CNI untuk
kali kedua (tingkat C, rekomendasi lemah).
Kami tidak merekomendasikan tatalaksana PDN rutin dalam jangka waktu yang panjang
(> 6 bulan) bersamaan dengan CNI dan RAASi (tingkat C, rekomendasi menengah).
Kami menyarankan penurunan dosis PDN secara perlahan setelah dimulainya pemberian
CNI seperti berikut ini: 40 mg/m2 setiap hari selama 4 minggu, 30 mg/m 2 setiap hari
selama 4 minggu, 20 mg/m2 setiap hari selama 4 minggu, 10 m2 setiap hari selama 8
minggu, dan setelah itu tidak dilanjutkan (tingkat D, rekomendasi lemah).
Bukti dan dasar bukti
Prednison digunakan sebagai terapi bersama pada beberapa RCT. Dosis dan durasi dari PDN
bervariasi dari 1 mg/kg/hari setiap hari selama 6 bulan hingga 0,3 mg/kg/hari selama 6 bulan.
Tidak terdapat bukti bahwa tatalaksana jangka panjang dengan PDN oral memberikan
keuntungan pada pasien dengan SRNS namun dapat menyebabkan toksisitas steroid; dengan
demikian, kami menyarankan penurunan bertahap dari PDN menggunakan regimen yang telah
disarankan diatas. PDN dapat diturunkan lebih cepat terutama pada pasien yang mengalami
toksisitas glukokortikoid. Namun, hal ini tidak berlaku terhadap proporsi pasien SRNS yang
mencapai remisi menyeluruh dengan CNI dan selanjutnya digolonhkan kedalam pasien SDNS.
Pasien tersebut dapat ditatalaksana sesuai dengan PDN oral dosis rendah pada hari yang
bergantian.
Pasien dengan SRNS yang gagal untuk mencapai minimal remisi sebagian dengan CNI
(dan yang tidak memiliki penyakit genetik atau syndrome) sebaiknya dilakukan
pendekatan untuk ikut serta dalam uji klinis yang mengevaluasi kemungkinan terapi baru
untuk SRNS (belum dilakukan penilaian).
Jika uji klinis tidak tersedia, penggunaan rituximab mungkin dapat dipertimbangkan
(tingkat C, rekomendasi lemah).
Kami menyarankan pemberian dua infus rituximab dengan dosis sebesar 375 mg/m 2 tiap
kali infus dengan tujuan untuk menurunkan jumlah hitung sel CD19 dibawah 5 per
mikroliter atau 1% (umumnya 1-2 infus dalam 2 minggu) (tingkat C, rekomendasi
lemah).
Rituximab sebaiknya tidak diberikan pada kondisi dimana terdapat tuberkulosis, hepatitis
B, atau infeksi virus JC. Pada kasus kecurigaan klinis dan latar belakang endemik, pasien
sebaiknya menjalani skrining dengan foto polos dada, uji kulit atau darah pada pasien
tuberkulosis, serologi HBsAg pada kasus peningkatan enzim liver, dan pemeriksaan
cairan spinal dalam kasus gejala neurologis yang nunjukkan adanya infeksi virus JC
sebelum mendapatkan rituximab (tingkat X, rekomendasi kuat).
Pada pasien resisten-rituximab atau intoleransi rituximab, penggunaan ofatomumab dan
terapi pemurnian darah ekstra corporeal seperti pertukaran plasma, immune adsprbtion,
atau apheresis lemah dapat dipertimbangkan (tingkat C, rekomendasi lemah).
Kami merekomendasikan bahwa skrining untuk semua gen podositopati yang diketahui
sebaiknya ditawarkan untuk memungkinkan keputusan terhadap imunosupresi lebih
lanjut (tingkat X, rekomendasi kuat).
Kami merekomendasikan konseling pasien dan orang tua pasien mengenai resiko yang
tinggi dari perkembangan penyakit menjadi ESKD pada pasien dengan SRNS bentuk
herediter dan/atau SRNS resisten beberapa obat (tingkat X, rekomendasi kuat).
Kami merekomendasikan untuk tidak melanjutkan terapi imunosupresi yang tidak efektif,
dan melanjutkan tatalaksana non imunosupresif, termasuk RAASi dan tatalaksana
pendukung lainnya (tingkat X, rekomendasi kuat).
Pada pasien dengan penyakit non genetik, kami menyarankan untuk mencari pilihan
terapi baru yang tersedia yang saat ini sedang dinilai dalam uji coba klinis (tingkat X,
rekomendasi kuat.).
Pada pasien dengan defek bawaan yang mencapai remisi sebagian atau menyeluruh
dengan imunosupresi, kami menyarankn tindakan berikut ini:
Varian genetik sebaiknya diulas kembali untuk mengkonfirmasi apakah gen tersebut
patogenik atau kemungkinan patogenik (tingkat A, rekomendasi kuat).
Keputusan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan imunosupresi sebaiknya mengikuti
hasil konseling orang tua mengenai keuntungan yang diharapkan dari remisi (penurunan
gejala; kemungkinan perkembangan penyakit yang lebih rendah) dibandingkan dengan
kemungkinan resiko yang dapat terjadi (toksisitas yang berkaitan dengan terapi; infeksi)
dan biaya dari terapi (tingkat A, rekomendasi kuat).
Kami menyarankan bahwa asupan garam berlebihan sebaiknya dihindari pada anak-anak
dengan SRNS (Tabel S11) (tingkat C, rekomendasi lemah).
Saat tersedia, ahli gizi sebaiknya memberikan saran kepada pasien dan keluarga pasien
mengenai makanan rendah garam yang sesuai dan makanan tinggi garam yang sebaiknya
dihindari (tingkat D, rekomendasi lemah).
Cairan
Kami tidak merekomendasikan restriksi cairan rutin pada pasien SRNS (tingkat C,
rekomendasi lemah).
Kami menyarankan asupan cairan seimbang dengan mempertimbangkan luaran urin,
status volume cairan, dan natrium serum (tingkat C, rekomendasi lemah).
Diuretik
Infus albumin
Protein
Bukti yang ada tidak cukup untuk merekomendasikan peningkatan asupan protein pada
pasien SRNS (belum dilakukan penilaian).
Garam
Berdasaekan pada hipotesis pembentukan edema “kekurangan cairan” dan “kelebihan cairan”
dalam NS idiopatik diperkirakan berhubungan dengan retensi garam dan/atau hilangnya ekskresi
dari garam. Akibatnya, restriksi makanan yang ketat dengan asupan natrium < 2 mEq/kg/hari (<
35 mg/kg/hari) disarankan untuk anak-anak dengan NS. Namun, restriksi natrium dalam jumlah
besar tampaknya tidak sesuai pada anak-anak dan mungkin tidak dibutuhkan pada banyak
pasien. Karena itu, daripada diberikan batas atas, kami merekomendasikan menghindari asupan
garam berlebihan tergantung pada derajat dari edema (Tabel Tambahan S11). Hal ini umumnya
membutuhkan saran diet – dari ahli gizi.
Cairan
Restriksi cairan secara umum hingga dua pertiga dari cairan pemeliharaan telah disarankan pada
anak-anak dengan NS. Namun, hal ini dapat menyebabkan pasien, yang telah mengalami
kekurangan volume cairan intravaskuler (“pasien yang kekurangan cairan”) walaupun terdapat
edema yang terjadi secara bersamaan, beresiko untuk mengalami hipovolemia simptomatik.
Karena itu, kami tidak merekomendasikan restriksi cairan rutin pada pasien SRNS. Sebagai
gantinya, kami menyarankan asupan cairan seimbang yang mempertimbangkan luaran urin,
status volume, dan natrium serum (natrium serum yang rendah menunjukkan adanya kelebihan
cairan). Pasien sebaiknya menghindari makanan yang asin, sebagaimana makanan tersebut dapat
meningkatkan rasa haus (Tabel Tambahan S11).
Diuretik
Tatalaksana edema berat pada anak-anak dengan NS menggunakan diuretik saja merupakan hal
yang aman dan efektif pada kondisi volume yang berlebihan (“pasien dengan kelebihan cairan”),
sedangkan tatalaksana yang agresif dengan diuretik menyebabkan resiko terjadinya hipovolemia
intravaskuler, AKI, dan thrombosis pada pasien “kekurangan cairan”. Karena itu, kami
menyarankan untuk mempertimbangkan tatalaksana dengan diuretik (lebih baik menggunakan
loop diuretik) pada pasien dengan edema berat hanya saat kekurangan volume intravaskuler telah
dieksklusi berdasarkan pada indicator klinis yang telah disebutkan diatas. Terapi kombinasi
dengan metolazone, thiazide, atau diuretik penghemat kalium termasuk amiloride bloker kanal
natrium epitel dan spironolakton antagonis aldosterone dapat meningkatkan diuresis saat
dibandingkan dengan pemberian loop diuretik saja dan sebaiknya dipertimbangkan pada pasien
dengan edema refrakter. Namun, pasien perlu dipantau secara teliti untuk menghindari
hipokalemia atau hiperkalemia berat, penurunan volume, dan alkalosis. Karena furosemide
memiliki waktu kerja yang singkat (f ½ 6 jam) dan bioavailabilitas oral yang sangat bervariasi
(10-100%), sebaiknya furosemide diberikan minimal dua kali sehari dengan dosis oral atau
secara intravena jika respon terhadap diuretik buruk.
Infus Albumin
Infus albumin yang dikombinasi dengan loop diuretik dapat meningkatkan diuresis melalui
perbaikan tekanan onkotik dan hemodinamik ginjal pada pasien dengan edema refrakter berat,
terutama jika diberikan pada “pasien yang kekurangan cairan”. Namun, infus albumin ini hanya
bekerja sementara, dan berhubungan dengan kejadian reaksi alergi, gagal napas, dan gagal
jantung kongestif, terutama saat diberikan terlalu cepat, digunakan pada “pasien dengan
kelebihan cairan”, dan pasien dengan oligouria. Karena itu, harus dilakukan penilaian yang teliti
dari status volume intravaskuler dan luaran urin pasien. Dosis yang mencapai 1 g/kg yang
diberikan albumin sebesar 20-25% selama jangka waktu minimal 4 jam diperkirakan aman.
Kami menyarankan untuk membatasi infus albumin pada pasien dengan edema berat (efusi
pericardial/pleura, edema anasarka, edema genital), hipovolemia simptomatik, atau dengan krisis
prerenal. Menambahkan furosemide di tengah dan/atau di akhir dari infus dapat meningkatkan
respon diuretik.
Asupan Protein
Hipoalbuminemia berhubungan dengan beberapa komplikasi pada SRNS termasuk thrombosis
dan resiko AKI, namun tidak terdapat bukti bahwa terjadi peningkatan asupan protein oral yang
memperbaiki kadar albumin atau luaran pasien.
Kami merekomendasikan dukungan aktivitas fisik dan nutrisi yang sehat pada anak-anak
dengan SRNS dan beradaptasi dengan kemampuan pasien serta stadium dari CKD. Kami
merekomendasikan untuk menyarankan pasien berhenti merokok (tingkat C, rekomendasi
menengah).
Bukti dan dasar bukti
Pasien dengan SRNS mengalami peningkatan resiko untuk mengalami penyakit kardiovaskuler
dan gangguan kesehatan tulang. Karena itu, aktivitas fisik regular; berhenti merokok,
penggunaan vape, atau penggunaan zat; dan nutrisi yang sehat sebagaimana direkomendasikan
pada masyarakat umum. Nutrisi sebaiknya dipandu oleh ahli gizi yang menyarankan asupan
energi yang adekuat dan menghindari asupan tinggi garam (lihat pada bagian sebelumnya) atau
asupan fosfor dan beradaptasi terhadap usia anak atau tinggi usia pada anak yang pendek, dan
stadium dari CKD. Lebih disarankan untuk makan makanan buatan rumah dengan menggunakan
bahan-bahan yang segar dibandingkan dengan makanan kaleng, makanan beku, atau makanan
kemasan (Tabel S11), karena akhirnya memiliki kadar garam dan fosfor anorganik yang lebih
tinggi yang mana dapat diabsorbsi oleh usus hingga 100%.
Profilaksis antibiotik
Kami tidak merekomendasikan profilaksis antibiotik secara rutin pada anak-anak dengan
SRNS (tingkat C, rekomendasi lemah).
Kami menyarankan profilaksis antibiotik dengan kotrimoksazol pada pasien yang
ditatalaksana dengan rituximab dalam jangka waktu 3 hingga 6 bulan bergantung pada
pemulihan sel B dan pengobatan imunosupresif pendukung (tingkat C, rekomendasi
lemah).
Kami merekomendasikan untuk mengulasi status vaksinasi anak pada saat onset penyakit
dan menyelesaikan semua vaksinasi tanpa penundaan, terutama untuk bakteri yang
berkapsul (pneumokokus, meningokokus, Haemophilus influenzae) dan, jika
memungkinkan, virus varicella zoster (tingkat A, rekomendasi kuat).
Kami menyarankan pemberian vaksin influenza yang telah diinaktivasi setiap tahun
(tingkat A, rekomendasi kuat).
Kami merekomendasikan untuk mengikuti panduan vaksinasi nasional dalam
memberikan vaksin inaktif dan vaksin yang dilemahkan pada pasien yang mengalami
penurunan sistem imun (tingkat A, rekomendasi kuat).
Vaksin hidup sebaiknya tidak diberikan pada pasien SRNS yang menjalani pengobatan
imunosupresi harian termasuk CNI, MMF, dan PDN (tingkat X, rekomendasi kuat).
Kami menyarankan untuk menatalaksana pasien yang rentan (contohnya, pasien yang
tidak diimunisasi varicella atau imunisasi varicella kurang dan terpapar terhadap cacar
air) dengan immunoglobulin varicella zoster (VZIG) (tingkat A, rekomendasi kuat).
Jika VZIG tidak tersedia, kami menyarankan tatalaksana dengan acyclovir oral (10 mg/kg
empat kali sehari selama 7 hari) dalam 7-10 hari paska paparan (tingkat C, rekomendasi
menengah).
Kami merekomendasikan vaksin varicella sebaiknya diberikan pada pasien yang tidak
diimunisasi saat mengalami remisi dan tidak sedang menjalani pengobatan imunosupresi
(tingkat A, rekomendasi kuat).
Kami menyarankan pemberian kalsium oral jika terdapat hipokalsemia berdasarkan pada
kadar kalsium terionisasi dan/atau kadar kalsium yang telah dikoreksi dengan albumin
(tingkat C, rekomendasi lemah).
Kami menyarankan suplementasi dengan kolekalsiferol atau ergokalsiferol jika kadar 2-
OH-vitamin D rendah (< 30 ng/mL) (tingkat C, rekomendasi menengah).
Kami menyarankan pemberian magnesium oral apabila terdapat hipomagnesemia
simptomatik (tingkat D, rekomendasi lemah).
Tidak ada parameter klinis atau histologis pada presentasi klinis awal yang tersedia untuk
memperkirakan relaps dari SRNS (belum dilakukan penilaian).
Tatalaksana relaps
Relaps pada tatalaksana CNI
Kami menyarankan pemberian PDN oral (60 mg/m 2 setuap hari) hingga tercapai remisi
atau jangka waktu maksimal selama 4 minggu, yang selanjutnya dilakukan penurunan
secara bertahap saat tercapai remisi. Sebagai alternatif, kami menyarankan untuk
memulai kembali agen imunosupresi, yang mana dapat mencegah terjadinya relaps
(tingkat D, rekomendasi lemah).
Pada kasus dimana tidak terdapat respon menyeluruh dalam 4 minggu, sering terjadi
relaps, atau efek samping dari pengobatan, kami merekomendasikan untuk mengikuti
protokol SRNS refrakter (lihat “Pendekatan lini kedua”) (belum dilakukan penilaian).
Menerima donor hidup untuk transplantasi ginjal dari sudut pandang resiko terjadinya
rekurensi
Baik pemberi donor yang masih hidup atau sudah meninggal semuanya didorong untuk
menjadi donor pada pasien dengan SRNS non genetik yang menerima allograft
pertamanya (tingkat B, rekomendasi menengah).
Kami merekomendasikan untuk tidak menyarankan donor hidup untuk penerima yang
telah mengalami rekurensi penyakit pada transplantasi pertamanya (tingkat B,
rekomendasi menengah).
Transplan dari donor yang telah meninggal dapat ditawarkan pada kemungkinan
penerima dengan riwayat kehilangan allograft sebelumnya karena rekurensi dari NS,
terutama jika dialisis sulit untuk menopang, atau berhubungan dengan kejadian yang
mengancam nyawa, infeksi yang serius, pertumbuhan yang buruk, dan/atau kualitas
hidup yang rendah (tingkat C, rekomendasi lemah).
Tidak terdapat bukti yang cukup untuk merekomendasikan strategi intervensi untuk
pencegahan rekurensi pada anak-anak yang menjalani transplantasi ginjal pertama (belum
dilakukan penilaian).
Kami menyarankan plasmaparesis profilaksis atau immunoadsorption atau apheresis
lemak dan rituximab perioperatif untuk digunakan pada anak-anak dengan riwayat
kehilangan allograft karena rekurensi NS sebelum dilakukan transplantasi (tingkat C,
rekomendasi lemah).
Tatalaksana rekurensi