Anda di halaman 1dari 77

LAPORAN

MINI PROJECT

EFEKIVITAS PENYULUHAN DALAM


PENINGKATAN PENGETAHUAN TUBERKULOSIS
PADA KADER DESA PANGKAH WETAN WILAYAH
KERJA PUSKESMAS UJUNGPANGKAH

Disusun oleh:
dr. Iko Rahmanda Novrationi

Pembimbing:
1.! Dr. Shinta Puspitasari
2.! dr. Dwi Puspitasari

PUSKESMAS UJUNG PANGKAH


KABUPATEN GRESIK-JAWA TIMUR
PROGRAM DOKTER INTERNSHIP
PERIODE NOVEMBER 2019 – NOVEMBER 2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabbil’alamin puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT

yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan penelitian yang berjudul ”Efekivitas Penyuluhan

Dalam Peningkatan Pengetahuan Tuberkulosis Pada Kader Desa Pangkah Wetan

Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah“.

Judul penelitian ini berawal dari keingintahuan penulis tentang efektivitas

pemberian penyuluhan dalam meningkatkan pengetahuan kader kesehatan desa

Pangkah Wetan wilayah kerja Puskesmas Ujungpangkah.

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang

efektivitas penyuluhan sehingga dapat dijadikan dasar acuan untuk program

health promotion dan dapat membantu dalam penemuan pasien terduga

Tuberkulosis. Kritik dan saran terhadap penyusunan penelitian ini sangat penulis

harapkan, sehingga nantinya dapat memberikan hasil yang lebih baik.

Demikian pengantar yang dapat peneliti sampaikan, semoga penelitian ini

dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Gresik, 14 Maret 2020

Penulis

i"
"
ii"

"

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ................................................................ 3
1.3
TujuanPenelitian .................................................................. 3
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................. 3
1.3.1 Tujuan Khusus ............................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 4
1.4.1 Manfaat Bagi Puskesmas ............................................ 4
1.4.2 Manfaat Bagi Masyarakat ........................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Profil Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik .......... 5
2.1.1 Data Geografi .............................................................. 5
2.1.2 Data Demografi ........................................................... 6
2.2 Tuberkulosis (TB) Paru........................................................ 6
2.2.1 Definisi........................................................................ 6
2.2.2 Epidemiologi ............................................................... 6
2.2.3 Faktor risiko ................................................................ 8
2.2.4 Penegakan diagnosis ................................................... 19
2.2.5 Tatalaksana ................................................................. 30
2.3 Konsep Pengetahuan ........................................................... 40
2.3.1 Pengertian Pengetahuan ............................................. 40
2.3.2 Faktor Pengetahuan .................................................... 40
2.3.3 Tingkat Pengetahuan ................................................... 41
2.3.4 Cara Mengukur Tingkat Pengetahuan ........................ 42
2.4 Konsep Kader Kesehatan ....................................................... 43
2.4.1 Definisi ....................................................................... 43
2.4.2 Kondisi Kerja Kader Kesehatan ................................. 44
2.4.3 Syarat Kader Kesehatan ............................................. 44
2.4.4 Peran Kader Kesehatan ............................................... 45
2.4.5 Pelatihan Kader Kesehatan ........................................ 47
BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Teori .................................................................... 48
3.2 Kerangka Konsep ................................................................. 48
3.3 Hipotesa ............................................................................... 49
3.4 Variabel Penelitian ............................................................... 49
3.4.1 Variabel Independent ............................................... 49
3.4.2 Variabel Dependent ................................................. 49
3.5 Definisi Operasional ............................................................ 49

"
"
iii"

"

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN


4.1 Desain Penelitian ................................................................. 51
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 51
4.3 Populasi dan Sampel ............................................................ 51
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ............................................... 52
4.5 Tahapan Penelitian ............................................................... 52
4.6 Rencana Manajemen dan Analisa Data ............................... 52
4.7 Etika Penelitian .................................................................... 55
4.8 Skema Tahapan Penelitian ................................................... 57
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Deskripsi Karakteristik Responden ..................................... 58
5.2 Distribusi Pengetahuan Kader ............................................. 58
5.3 Efektivitas Penyuluhan pada Pengetahuan .......................... 59
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Deskripsi Karakteristik Responden ..................................... 61
6.2 Efektivitas Peningkatan Pengetahuan.................................. 62
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan .......................................................................... 64
6.2 Saran .................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

"
"
BAB I
PENDAHULUAN

1.1! Latar Belakang

Tuberkulosis paru adalah infeksi bakteri akibat Mycobacterium

tuberkulosis, yang disebarkan melalui jalur udara. Setelah terkontaminasi,

Mycobacterium tuberculosis perlahan masuk ke paru-paru, ini merupakan infeksi

primer (Amin dkk, 2009). Mycobacterium tuberculosis dapat menyerang berbagai

organ, terutama paru-paru. Penyakit ini apabila tidak diobati atau pengobatan

tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian

(Infodatin,2018). Secara klinis, Tuberkulosis (TB) dikelompokkan menjadi dua

jenis, yaitu TB paru dan TB ekstra paru (Amin dkk, 2009). TB ekstra pulmoner

bisa berupa, meningitis TB, TB kelenjar getah bening, TB tulang belakang, dll

(WHO, 2010).

Berdasarkan data WHO 2017, diperkirakan ada sekitar 10,4 juta kejadian

kasus TB (kisaran, 8,8 juta sampai 12,2 juta), sampai 140 kasus per 100.000

penduduk selama tahun 2016. Lima negara yang menonjol memiliki jumlah kasus

kejadian terbanyak pada tahun 2016 (dalam urutan) ialah India, Indonesia, Cina,

Filipina dan Pakistan yang bersama-sama menyumbang 56% dari total global

(WHO, 2017). Dari data yang ada, Indonesia dimata dunia sudah menduduki

peringkat kedua dibawah India diatas Cina karena sejak 2015 berdasarkan hasil

surveilens yang menyatakan prevalensi TB mencapai 647 per 100.000 dan insiden

399, serta diprediksi akan mencapai 1 juta kasus pertahun (WHO, 2016).

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2017 ditemukan

jumlah kasus TB sebanyak 351.893 kasus, meningkat bila dibandingkan semua

1"
"
2"
"

kasus TB yang ditemukan pada tahun 2015 yang sebesar 330.729 kasus. Jumlah

kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat diprovinsi dengan jumlah penduduk yang

besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berdasarkan Dinas

Kesehatan (Dinkes) Jatim mencatat jumlah penderita TB Paru BTA (Basil Tahan

Asam) positif menembus angka 15.371 kasus. Sementara kasus TB di Jawa Timur

sebanyak 40 ribu orang. Dari data sementara, daerah penyumbang kasus TB

terbanyak ialah Surabaya (3.569), Jember (2.353), Sidoarjo (1.638), Malang

(1.385) dan Gresik (1.294) (Kominfo Jatim, 2016).

Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Gresik Tahun 2014, dari jumlah

penduduk 1.247.994 jiwa, laki-laki 617.764 jiwa, perempuan 630.230 jiwa,

jumlah seluruh kasus TB paru baru 1.467 kasus, laki-laki 845 kasus, perempuan

622 kasus. Jumlah kasus TB paru kasus baru BTA (+) sebanyak 736 kasus, laki-

laki 443 kasus, perempuan 293 kasus. Jumlah kasus TB Anak umur 0-14 tahun

jumlah kasus 95. Jumlah kematian akibat TB paru selama pengobatan adalah 26

orang. Jumlah kasus dan angka penemuan kasus TB paru BTA (+) menurut jenis

kelamin jumlah perkiraan kasus sebesar 6.091 orang. Jumlah TB paru BTA (+)

diobati sebesar 738 kasus laki-laki 401 kasus perempuan 337 kasus.

Hasil Analisis Masalah Kesehatan yang dilakukan di Kabupaten Gresik

pada tahun 2015 menunjukkan bahwa TB menjadi salah satu dari masalah

kesehatan yang membutuhkan penyelesaian. Permasalahan TB yang ditemukan

terkait dengan belum tercapainya target untuk angka temuan kasus Case

Detection Rate (CDR) yaitu sebesar 70%. Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan

Kabupaten Gresik angka CDR cenderung mengalami penurunan dari tahun

2012-2014, yaitu 64,19% (2012), 56,04% (2013), dan menjadi 55,13% (2014).

"
"
3"
"

Permasalahan TB paru yang ada memerlukan upaya pengendalian yang

memadai dan komprehensif melalui promosi, deteksi dini, pengobatan dan

rehabilitasi. Upaya tersebut perlu didukung dengan penyediaan data dan

informasi yang tepat dan akurat secara sistematis dan terus-menerus melalui

system surveilans yang baik. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan

suatu kegiatan yang dilakukan terus-menerus dan sistematis kegiatan

pengumpulan, analisis, dan interpretasi data, serta diseminasi informasi yang

dihasilkan.Hasil kegiatan surveilan s akan dapat digunakan sebagai masukan

untuk dapat mengurangi morbiditas, mortalitas serta meningkatkan derajat

kesehatan. Dengan system surveilans yang baik maka program pencegahan dan

pengendalian TB dapat berlangsung lebih efektif baik dalam hal perencanaan,

pengendalian, maupun monitoring dan evaluasi program.

1.2 Rumusan Masalah

1.!Apakah pemberian penyuluhan tentang Tuberkulosis dapat meningkatkan

efektivitas pengetahuan kader sebelum (pretest) dan setelah intervensi

(posttest) di Desa Sumberejo di wilayah kerja Puskesmas Pagak?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui adanya efektivitas peningkatan pengetahuan melalui

penyuluhan pada kader di Desa Pangkah Wetan di wilayah kerja

Puskesmas Ujungpangkah.

"
"
4"
"

1.3.2 Tujuan Khusus

1.! Mengetahui pemberian penyuluhan tentang Tuberkulosis dapat

meningkatkan efektivitas pengetahuan kader sebelum (pretest) dan

setelah intervensi (posttest) di Desa Pangkah Wetan di wilayah

kerja Puskesmas Ujungpangkah.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Puskesmas

Hasil penelitian diharapkan mampu membantu puskesamas dalam

meningkatkan pengetahuan kader untuk mengoptimalisasi program

penyakit TB paru terutama dalam menemukan pasien terduga TB dan

melakukan pencegahan penularan TB

1.4.2 Manfaat Bagi Masyarakat

Diharapkan kader dan masyarakat lebih meningkatkan sikap,

kewaspadaan dan kepatuhan terhadap perilaku-perilaku yang mendukung

pencegahan penularan, penemuan pasien TB dan saling memberi motivasi

untuk melakukan pengobatan hingga tuntas.

"
"
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Profil Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik

2.1.1 Data geografi

Batas wilayah Kecamatan Ujungpangkah dapat terlihat pada gambar 2.1,

dengan rincian sebagai berikut:

Gambar 2.1 Peta Kecamatan Ujungpangkah

•! Sebelah Utara : Laut Jawa

•! Sebelah Timur : Desa Pangkah Wetan

•! Sebelah Selatan : Desa Pangkah Wetan, Kebonagung, Gosari

•! Sebelah Barat : Desa Ngemboh dan Cangaan

5"
6

2.1.2 Data demografi

Berdasarkan data Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan Sosial

Kab.Gresik, Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin Kecamatan

Ujungpangkah:

•! Jumlah Penduduk: 51.066 jiwa

•! Laki-laki : 25.636 jiwa

•! Perempuan : 25.430 jiwa

2.2 Tuberkulosis (TB) Paru

2.2.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium tuberculosis (Kemenkes, 2016). TBditularkan melalui

udara (droplet nuclei) saat seorang pasien TB batuk dan percikan ludah yang

mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas (Arivany,

2017).

2.2.2 Epidemiologi

TB merupakan suatu penyakit infeksi kronik menular yang masih menjadi

masalah kesehatan masyarakat dan masih menjadi komitmen global dalam

penanggulannya.Kasus TB ini banyak ditemukan di negara berkembang seperti

Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah kasus baru terbanyak kedua di

dunia setelah India (WHO,2016).Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat

di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan

Jawa Tengah. Berdasarkan Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim, jumlah penderita TB

Paru BTA (Basil Tahan Asam) positif TB di Jawa Timur sebanyak 40 ribu orang
7

dengan daerah penyumbang kasus TB terbanyak ialah Surabaya(3.569), Jember

(2.353), Sidoarjo (1.638), Malang (1.385) dan Gresik (1.294) (Kominfo Jatim,

2016).

Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Gresik Tahun 2014, jumlah

seluruh kasus TB paru baru 1.467 dimana laki-laki 845 kasus, perempuan 622

kasus. Sedangkan jumlah kasus TB paru baru dengan BTA (+) sebanyak 736

kasus, laki-laki 443 kasus perempuan 293 kasus.Jumlah kasus TB Anak umur 0-

14 tahun terdapat 95 kasus.Jumlah kematian akibat TB paru selama pengobatan

adalah 26 orang.Jumlah TB paru BTA (+) diobati sebesar 738 kasus laki laki 401

kasus perempuan 337 kasus (Dinkes Gresik, 2014).Namun dari data yang

didapatkan, jumlah penderita TB semakin lama semakin meningkat.

Gresik memiliki beberapa kecamatan, diantaranya adalah kecamatan

Ujungpangkah.Berdasarkan hasil wawancara dari petugas pemegang program TB

di puskesmas Ujungpangkah, kasus TB paru baru semakin meningkat

dilingkungan kerja puskesmas.Desa yang memiliki kasus TB paru baru terbanyak

adalah pangkah wetan, pangkah kulon, banyuurip, karangrejo, tanjang awan,

ketapang lor dan ngemboh.Dari data pemegang program TB tahun 2019

didapatkan 414 kasus suspek TB. Setelah dilakukan pemeriksaan, didapatkan 60

kasus TB paru baru, dimana 47 orang terbukti dengan TB paru BTA(+) dan

sisanya terbukti dengan foto rontgen (+), TB kelenjar dan TB perut.

2.2.3 Faktor risiko

Terdapat beberapa faktor yang memicu berkembangnya penyakit TB pada

kelompok masyarakat. Media penularan melalui udara dapat mempercepat proses

penularan penyakit ini. Biasanya seorang penderita dapat menularkan pada saat
8

terjadi ekspirasi paksa seperti batuk, bersin, ketawa keras dan sebagainya. Tidak

semua orang yang sudah terkontaminasi atau terpapar dengan bakteri penyebab

TB akan menjadi sakit. Faktor-faktor yang erat hubungannyadengan terjadinya

infeksi basil TB adalah sumber penularan, jumlah basil, virulensi basil dan daya

tahan tubuh seseorang, dalam hal ini ketahanan tubuh sangat dipengaruhi oleh

faktor genetik, faali, jenis kelamin, usia dan faktor lingkungan (nutrisi, perumahan

dan pekerjaan). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian TB pada

kelompok masyarakat diantaranya, faktor predisposisi (status gizi, imunisasi, HIV,

diabetes melitus dan pendidikan), faktor pendukung (lingkungan rumah, sosial

ekonomi, fasilitas dan sarana kesehatan), faktor pendorong (gaya hidup dan

perilaku masyarakat) serta lainnya (umur dan jenis kelamin).

A.! Umur

Umur merupakan faktor resiko terhadap kejadian TB. Sekitar 75%

pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis

yaitu pada umur 15–50 tahun. Berdasarkan hasil penelitian pada semua

penderita TB yang menjalani pengobatan di Puskesmas Sedati didapatkan

bahwa penderita TB terbanyak pada usia 20-54 tahun (81,4%) yang

merupakan usia produktif, kemudian pada usia lebih dari 54 tahun (11,6%)

dan kurang dari 20 tahun (7%).

Pada usia produktif mayoritas orang banyak menghabiskan waktu dan

tenaga untuk bekerja, dimana tenaga banyak terkuras serta waktu istirahat

kurang sehingga daya tahan tubuh menurun ditambah lagi dengan

lingkungan kerja yang padat dan berhubungan dengan banyak orang yang
9

kemungkinan sedang menderita TB. Kondisi kerja seperti ini memudahkan

seseorang pada usia produktif lebih berpeluang terinfeksi TB.

B.! Jenis kelamin

Pada umumnya penderita TB lebih banyak terjadi pada laki-laki

dibandingkan pada perempuan. Berdasarkan hasil survei yang di lakukan

pada seluruh penderita TB di Kabupaten Karo didapatkan bahwa penderita

TB pada laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan yaitu

60,4% pada laki-laki dan 22% pada perempuan. Hal ini disebabkan karena

pada umumnyaseorang laki-laki dituntut bekerja lebih keras untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terutama yang berusia produktif,

bahkan terkadang masih ada yang bekerja meskipun sudah tua.

Dibandingkan dengan seorang perempuan yang pada umumnya terinfeksi

TB setelah persalinan akibat proses persalinan yang kurang bersih atau

terinfeksi HIV yang mengakibatkan kekebalan tubuh menurun. Angka

kejadian TB pada laki-laki cukup tinggi pada semua usia, tetapi pada

perempuan angka kejadian TB cenderung menurun setelah melampaui usia

subur. Selain itu, laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok

sehingga memudahkan terjangkitnya TB. Kebiasaan merokok meningkatkan

resiko untuk terinfeksi TB paru sebanyak 2,2 kali.

C.! Diabetes Mellitus dan HIV

Diabetes mellitus dapat mengganggu respons imun yang penting

untuk mengatasi proliferasi TB sehingga diabetes mellitus merupakan suatu

faktor resiko untuk TB.Diabetes mellitus juga sebagai suatu faktor resiko
10

independen untuk infeksi saluran pernafasan bawah.Frekuensi terjadinya TB

pada diabetes mellitus lebih tinggi dibanding dengan bakteri-bakteri

lainnya. Prevalensi TB paru pada diabetes mellitus meningkat 20 kali

dibanding non diabetes mellitus dan aktivitas bakteri penyebab TB

meningkat 3 kali pada diabetes mellitus berat dibanding diabetes mellitus

ringan. Selain itu, pasien dengan diabetes mellitus dan TB membutuhkan

masa yang lebih lama untuk respons terhadap terapi anti-TB.Pasien dengan

diabetes mellitus dan TB aktif juga lebih cenderung terjadinya multi-drug

resistant TB.

Infeksi HIV merupakan faktor resiko yang paling penting dalam

peningkatan kejadian TB.Penderita TB menular (dengan sputum BTA

positif) yang juga mengidap HIV merupakan penularan TB tertinggi.Infeksi

HIV menyebabkan terjadinya imunosupresi sehingga memungkinkan

terjadinya replikasi M. tuberculosis yang lebih luas pada paru-paru dan

berlanjut pada kondisi yang lebih buruk.

D.! Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan sebagai faktor predisposisi terhadap kejadian TB

di kelompok masyarakat.Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi

prilaku.Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin mudah

menerima informasi atau pengetahuan tentang TB.Seseorang dengan tingkat

pengetahuan yang memadai mempunyai dasar pengembangan daya nalar

dan merupakan jalan untuk memudahkan orang tersebut menerima motivasi.


11

E.! Sosial ekonomi

Kejadian TB biasanya berkaitan dengan faktor sosial ekonomi.

Menurut WHO (2011), 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok

sosial ekonomi rendah atau miskin. Kemiskinan (sosial ekonomi rendah)

merupakan keadaan yang mengarah pada kondisi kerja yang buruk,

perumahan yang terlalu padat, lingkungan yang buruk serta malnutrisi (gizi

buruk) karena kurangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan

hidup.Keadaan ini dapat menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh

sehingga memudahkan terjadinya infeksi TB.

Tingkat sosial ekonomi ditentukan oleh unsur-unsur seperti,

pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.Hal ini dapat mempengaruhi

berbagai aspek kehidupan termasuk pemeliharaan kesehatan.Tingkat sosial

ekonomi terutama penghasilan sangat berpengaruh pada pemenuhan

kebutuhan hidup seseorang dan keluarga. Sebuah keluarga dengan kondisi

perekonomian baik tentunya dapat memenuhi segala kebutuhan termasuk

kebutuhan akan kesehatan, sedangkan keluarga dengan ekonomi rendah

harus selektif dalam pengeluaran karena pada umumnya mereka lebih

mementingkan kebutuhan hidup sehari-hari sehingga hal-hal yang turut

mendukung kesehatan sering kali diabaikan. Hal ini yang memicu

munculnya penyakit di masyarakat termasuk TB.

F.! Kepadatan (crowding)

Kepadatan penghuni rumah sangat mempengaruhi terjadinya

penularan penyakit terutama penyakit yang menular melalui udara seperti

TB. Semakin padat penghuni di dalam rumah maka perpindahan penyakit


12

akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang

menderita TB dengan BTA positif. Daerah perkotaan (urban) yang lebih

padat penduduknya lebih besar peluang terjadinya kontak dengan penderita

TB dibandingkan di daerah pedesaan (rural).Selain itu, perumahan yang

padat juga berkaitan dengan peningkatan kejadian TB.

Berdasarkan penelitian Atmosukarto dan Soewasti (2000), didapatkan

bahwa:

1.! Keluarga penderita TB mempunyai kebiasaan tidur dengan balita

mempunyai resiko terkena TB 2,8 kali dibanding dengan yang tidur

terpisah;

2.! Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi,

dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2–3 orang di

dalam rumahnya;

3.! Besar resiko terjadinya penularan untuk keluarga dengan penderita

lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding dengan keluarga yang hanya 1

orangpenderita TB.

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa

dinyatakan dalam m² per orang.Luas minimum per orang sangat relatif,

tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.Kepadatan

penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara

luas lantai dengan jumlah penghuni ≥10 m²/orang.

G.! Keadaan jendela dan ventilasi

Ruangan dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan

akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi


13

adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas

ventilasi rumahyang <10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat

kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan

bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi

penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan

peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan

cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan

menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-

bakteri patogen seperti M. tuberculosis. Fungsi kedua ventilasi adalah untuk

membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen

seperti M. tuberculosis, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus

menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selain itu,

luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan

terhalangngya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang

masuk ke dalam rumah, akibatnya basil TB yang ada di dalam rumah tidak

dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.

H.! Kelembaban

Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat

kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Kelembaban udara

yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-60%. Rumah yang

lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme

antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut

dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara.Selain itu, kelembaban yang

tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering


14

sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme.M.

tuberculosis seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan baik pada

lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80%

volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan

dan kelangsungan hidup sel bakteri.

I.! Suhu dan pencahayaan

Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi penguninya. Suhu

rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan

kehilangan panas tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan dengan

suhu lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan

menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena

infeksi terutama infeksi saluran nafas oleh agen yang menular.

M.tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang

initerdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat.M.tuberculosa

merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh baik pada suhu 25-40ºC, akan

tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 ºC.

Cahaya matahari mempunyai sifat membunuh bakteri terutama bakteri

M.tuberculosis.Bakteri ini dapat mati oleh sinar matahari langsung.Oleh

sebabitu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk sangat

berpengaruh terhadap kejadian TB. Kuman tuberkulosis dapat bertahan

hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari

sampai bertahun-tahun dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol,

karbol dan panas api. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai
15

resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang

dimasuki sinar matahari.

J.! Kebiasaan merokok

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian tidak disebutkan bahwa

kebiasaan merokok bukan merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian

TB, akan tetapi pola hidup seseorang dengan kebiasaan merokok dapat

memicu kemungkinan tertular TB. Sebanyak 71 responden yang

mempunyai kebiasaan merokok terdapat 64 orang (70,3%) yang menderita

TB. Hal ini dapat disebabkan karena orang-orang dengan kebiasaan

merokok beresiko lebih tinggi terhadap penyakit infeksi saluran pernafasan

atas (ISPA) dibandingkan dengan yang tidak merokok.

2.2.4 Penegakan diagnosis

A.! Klasifikasi

American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang

diambilberdasarkan aspek kesehatan masyarakat:

1.! Kelas 0 : Tidak pernah terpajan TB, tidak terinfeksi. Orang-orang

pada kelas ini tidak mempunyai riwayat terpajan dan tes

kulit tuberkulin menunjukkan hasil negatif (jika dilakukan)

2.! Kelas 1 : Terpajan TB, tidak ada bukti terinfeksi. Orang-orang pada

kelas ini mempunyai riwayat terpajan tuberkulosis, tetapi

tes tuberkulin menunjukkan hasil negatif. Tindakan yang

diambil untuknya tergantung pada derajat dan kebaruan

paparan M. tuberculosis, serta kekebalan tubuhnya. Jika


16

terpapar secara signifikan selama 3 bulan, tes tuberculin

lanjutan harus dilakukan 10 minggu setelah paparan

terakhir, dan sementara itu pengobatan terhadap

infeksituberculosis laten harus dipertimbangkan terutama

pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun dan penderita

infeksi HIV

3.! Kelas 2 : Infeksi TB laten, tidak timbul penyakit. Orang-orang pada

kelas 2 menunjukkan hasil tes tuberculin positif,

pemeriksaan radiologi dan bakteriologi negatif

4.! Kelas 3 : TB, aktif secara klinis. Kelas 3 mencakup semua pasien

dengan TB aktif secara klinis dengan prosedur diagnostik

telah selesai. Jika diagnosis masih tertunda, orang tersebut

harus diklasifikasikan sebagai tersangka tuberkulosis (kelas

5). Untuk masuk ke kelas 3, seseorang harus memiliki bukti

klinis, bakteriologis, dan/atau radiografi TB saat ini. Hal ini

dipastikan dengan isolasi M. tuberkulosis. Seseorang yang

menderita TB di masa lalu dan juga yang saat ini memiliki

penyakit aktif secara klinis termasuk dalam kelas 3.

Seseorang tetap di kelas 3 sampai pengobatan untuk episode

penyakit saat ini selesai

5.! Kelas 4 : TB tidak aktif secara klinis. Ditemukan radiografi yang

abnormal atau tidak berubah, dan reaksi tes kulit tuberkulin

positif, dan tidak ada bukti klinis


17

6.!Kelas 5 : Tersangka TB (diagnosis tertunda).

Seseorang termasuk dalam kelas ini ketika diagnosis TB sedang

dipertimbangkan. Seseorang seharusnya tidak tetap di kelas ini

selama lebih dari 3 bulan. Ketika prosedur diagnostik telah selesai,

orang tersebut harus ditempatkan pada salah satu kelas sebelumnya.

Perhimpunan dokter paru Indonesia mengelompokkan tuberkulosis

paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (Basil Tahan Asam/BTA), tipe

pasien dari pengobatan sebelumnya, dan TB ekstra paru. Klasifikasi TB

berdasarkan hasil BTA sebagai berikut:

1.! TB paru BTA (+), adalah :

a.! Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan

hasil BTA positif

b.! Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA

positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran

tuberkulosis aktif

c.! Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA

positif dan biakan positif

2.! TB paru BTA (-), adalah :

a.! Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,

gambaran klinis dan kelainan radologi menunjukkan TB

aktif.

b.! Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif

dan biakan M. Tuberculosis positif.


18

Klasifikasi berdasarkan tipe pasien dari riwayat pengobatan

sebelumnyayaitu:

1.! Kasus baru, yaitu pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan

untuk tuberkulosis atau sudah mendapakan obat-obat anti tuberkulosis

kurang dari satu bulan.

2.! Kasus pengobatan ulang:

a.! Kasus kambuh (relaps): pasien yang sebelumnya pernah

mendapatkan pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat

dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan

positif.

b.! Kasus gagal (smear positive failure): pasien yang menjalani

pengobatan ulang karena pengobatan sebelumnya gagal,

ditandai dengan sputum BTA-nya tetap positif setelah

mendapatkan obat anti tuberkulosis pada akhir bulan ke 5.

c.! Kasus defaulted atau drop out: pasien yang telah menjalani

pengobatan ≥1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan

berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya

selesai.

3.! Kasus kronik, yaitu pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah

pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.

4.! Kasus Bekas TB:

a.! Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan

gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif,


19

atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat

pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.

b.! Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah

mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada

perubahan gambaran radiologik.

Klasifikasi TB ekstraparu:

TB ekstraparu adalah TB yang menyerang organ tubuh lain selain

paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran

kencing dan lain-lain.

Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi

anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan

pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan

konsisten dengan TB ekstraparu aktif.

Gambar 2.2 Skema Klasifikasi Tuberkulosis


20

B.! Gejala klinis

1.! Gejala respiratori

Gejala respiratori berdasarkan Amin dan Asril (2009) yaitu:

a.! Batuk/Batuk darah

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3

minggu atau lebih.Batuk terjadi karena adanya iritasi pada

bronkus.Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang

keluar.Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian

setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan

sputum).Keadaan lanjut adalah batuk darah (hemoptisis).

Kavitas dapat menjadi sumber hemoptisis mayor.Menetapnya

arteri pulmonalis terminal didalam kavitas dapat menjadi sumber

perdarahan yang hebat (aneurisma Rasmussen).Penyebab perdarahan

lainnya adalah aspergiloma pada kavitas TB kronik.

b.! Sesak napas

Sesak napas akan dirasakan pada penyakit yang sudah lanjut,

yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

c.! Nyeri dada

Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura

sehingga menimbulkan pleuritis.Terjadi gesekan kedua pleura

sewaktu pasien menarik / melepaskan nafasnya.


21

2.! Gejala sistemik

Gejala sistemik yaitu (Amin dan Asril, 2009):

a.! Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza.Tetapi kadang-

kadang panas badan dapat mencapai 40-41°C.Serangan demam

pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul

kembali.Begitulahseterusnya, sehingga pasien tidak pernah merasa

terbebas dari serangan demam influenza.

b.! Malaise

Gejala malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia tidak

nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala,

meriang, nyeri otot, keringat malam, dan lain-lain.Gejala malaise ini

makin lama makin berat dan hilang timbul secara tidak teratur.

C.! Pemeriksaan fisik

Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung kelainan struktur

paru.Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior

terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus

inferior. Dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara

napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan

mediastinum (Amin dan Asril, 2009).

Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari

banyaknya cairan di rongga pleura.Pada perkusi ditemukan pekak, pada

auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang

terdapat cairan.Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah


22

bening, tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah

ketiak.Pembesaran kelenjar tersebut menjadi cold abcess (Amin dan Asril,

2009).

D.! Pemeriksaan penunjang

Gambar 2.3 Pemeriksaan Tuberkulosis Paru

E.! Pemeriksaan bakteriologi

1.! Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannya

kuman BTA, diagnosis TB sudah dapat dipastikan.Disamping itu

pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap

pengobatan.Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum,

terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif.Dalam hal

ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan

minum air sebanyak ±2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk.Dapat


23

juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik selama 20-30

menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi

diambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho

alveolarlavage) (Amin dan Asril, 2009).

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya

ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain

diperlukan 5000 kuman dalam 1 mL sputum. Kuman berbentuk batang yang

ramping (diameter kurang dari 0,5 µm), kadang melengkung, sering

bermanik-manik polikromatik, seringkali tampak pada specimen klinis

sebagai pasangan atau kelompok beberapa organisme yang terletak bersisian

(Sylvia et al, 2005).

Gambar 2.4 Sputum BTA

Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok

yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.

Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :

a.! Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa,


24

b.! Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens

(pewarnaan khusus),

c.! Pemeriksaan dengan biakan (kultur),

d.! Pemeriksaan terhadap resistensi obat.

Pemeriksaan dengan mikroskoskop fluoresens dengan sinar ultraviolet

walaupun sensitifitasnya tinggi sangat jarang dilakukan,karena pewarnaan

yang dipakai (auramin-rhodamin) dicurigai bersifat karsinogenik (Amin dan

Asril, 2009).

Pewarnaan yang lebih pasti adalah dengan karbofluksin, pewarnaan ini

membutuhkan pembacaan yang teliti dengan mikroskop imersi minyak,

basilus tuberkulosa dapat dilihat dengan pembesaran 1000 kali.

Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman

sputum dalam medium biakan, koloni kuman TB mulai tampak.Bila setelah

8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan

negatif.Medium biakan telur yang sering dipakai yaitu Lowenstein Jensen,

Kudoh atau Ogawa.Sementara medium biakan agar adalah Middle Brook

(PDPI, 2006).

Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat

kuman BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif.Ini terjadi pada

fenomena dead bacilli, atau non culturable bacilli yang disebabkan

keampuhan panduan obat anti tuberculosis jangka pendek yang cepat

mematikan kuman BTA.panduan obat anti tuberkulosis jangka pendek yang

cepat mematikan kuman BTA (Amin dan Asril, 2009).


25

F.! Pemeriksaan radiologi

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang

praktis untuk menemukan lesi TB serta memberikan keuntungan seperti

pada TB anak-anak dan TB milier. Pada kedua hal ini diagnosis dapat

diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan

sputum selalu negatif (Amin dan Asril, 2009).

Pemeriksaan standar adalah foto toraks posterior-anterior. Gambaran

yang dicurigai sebagi lesi tuberkulosis aktif adalah (PDPI, 2006):

1.! Pada segmen apikal dan posterior lobus atas paru serta segmen

superior lobus bawah paru ditemukan berupa bercak-bercak seperti

awan/nodular.

2.! Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula

berdinding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat

menebal.

3.! Bayangan bercak milier, berupa bercak-bercak halus yang

umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.

4.! Efusi pleura unilateral atau bilateral.

Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB inaktif adalah (PDPI,

2006):

1.! Fibrotik, terlihat bayangan yang bergaris-garis,

2.! Kalsifikasi, terlihat seperti bercak-bercak padat dengan densitas

tinggi,
26

3.! Schwarte atau penebalan pleura.

Gambaran radiologis lain yang sering menyertai TB paru adalah

bayangan hitam radio-lusen di pinggir paru atau pleura (pneumotoraks) dan

atelektasis yang terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang

dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.

Gambar 2.5 Rontgen Toraks Tuberkulosis Paru

Berdasarkan luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan

pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut (Amin dan Asril, 2009):

1.! TB minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada

satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya, tidak melebihi

satu lobus paru.

2.! Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan

diameter tidaklebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus

tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak

lebih dari sepertiga bagian paru.


27

3.! Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang

melebihkeadaan pada moderately advanced tuberculosis.

G.! Tes tuberkulin intradermal (Mantoux)

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai utuk membantu menegakkan

diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Teknik standar tes

Mantoux adalah dengan menyuntikkan tuberkulin PPD (Purified

ProteinDerivative) sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 T.U. tuberkulin

secaraintrakutan, pada sepertiga atas permukaan volar atau dorsal lengan

bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Jarum dipegang dengan

permukaan miring diarahkan ke atas dan ujungnya dimasukkan ke bawah

permukaan kulit. Akan terbentuk satu gelembung berdiameter 6-10 mm

yang menyerupai gigitan nyamuk bila dosis 0,1 ml disuntikkan dengan tepat

dan cermat (Sylvia et al, 2005).

Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu

antara 48-72 jam sesudah penyuntikan dan reaksi harus dibaca dalam

periode tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi lengan bawah

sedikit ditekuk.Hanyaindurasi (pembengkakan yang teraba) dan bukan

eritem yang bernilai (Sylvia et al, 2005)

Menurut Amin dan Asril (2009), hasil tes mantoux ini dibagi dalam:

1.! Indurasi berdiameter 0-5 mm : Mantoux negatif

2.! Indurasi berdiameter 6-9 mm : hasil meragukan

3.! Indurasi berdiameter 10-15 mm : Mantoux positif

4.! Indurasi berdiameter > 15 mm : Mantoux positif kuat


28

5.! Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantous ± 5 mm, dinilai positif

Gambar 2.6 Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)

Tes Mantoux hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang

atau pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium

bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya.Dasar tes

tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Biasanya hampir seluruh

pasien TB memberikan reaksi Mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan

tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi

Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak dijumpai daripada positif

palsu. Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu)

yakni (Amin dan Asril, 2009):

1.! Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis.

2.! Penyakit sistemik berat (Sarkoidosi, LE),

3.! Penyakit eksantematous dengan panas yang akut : morbili, cacar air,

poliomielitis,

4.! Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit Hodgkin.

5.! Pemberian kortikosteroid yang lama,

6.! Usia tua, malutrisi, uremia, penyakit keganasan.


29

H.! Pemeriksaan penunjang lain

1.! Pemeriksaan Histopatologi Jaringan (PDPI, 2006)

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan

diagnosis tuberkulosis.Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau

otopsi, yaitu:

a.! Biopsi aspirasi dengan jarum halum (BJH) kelenjar getah bening

(KGB),

b.! Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum Abram, Cope

dan Veen Silverman),

c.! Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy / TBLB) dengan

bronkoskopi,

d.! Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru yang dicurigai

tuberkulosis.

e.! Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil dua sediaan, satu sediaan

dimasukkan ke dalam larutan salin dan di kirim ke laboratorium

mikrobiologi untuk dikultur, serta sediaan yang kedua difiksasi

untukpemeriksaan histologi.

2.! Pemeriksaan Darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang

spesifik untuk TB. Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah

leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenispergeseran ke kiri.

Jumlah limfosit masih dibawah normal.Laju endap darah mulai

meningkat.Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal,


30

dan jumlah limfosit masih tinggi.Laju endap darah mulai turun ke arah

normal lagi (Amin dan Asril, 2009).

2.2.5 Tatalaksana

A. Tujuan pengobatan

1.! Menyembuhkan, mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas pasien.

2.! Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.

3.! Mencegah kekambuhan TB.

4.! Mengurangi penularan TB kepada orang lain.

5.! Mencegah terjadinya resistensi obat dan penularannya.

B.! Prinsip-prinsip terapi:

1.! Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi

dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai

dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan monoterapi.

2.! Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose

Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.

3.! Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.

4.! Setiap praktisi yang mengobati pasien TB mengemban tanggung jawab

kesehatan masyarakat.

5.! Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah

diobati harus diberikan paduan obat lini pertama.

6.! Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai diperlukan

suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien (patient centered


31

approach) dan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT: Directly

ObservedTreatment) oleh seorang pengawas menelan obat.

7.! Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator

penilaian terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada akhir

tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan.

8.! Rekaman tertulis tentang pengobatan, respon bakteriologis dan efek

samping tercatat dan tersimpan.

Tabel 2.1 Dosis Obat Anti-Tuberkulosis KDT/FDC

Berat Fase Intensif Fase Lanjutan

Badan Harian Harian 3x/minggu Harian Harian

30-37 2 2 2 2 2

38-54 3 3 3 3 3

55-70 4 4 4 4 4

>71 5 5 5 5 5

Tabel 2.2 DosisObat TB berdasarkan Berat Badan (BB)Rekomendasi Dosis

dalam mg/kgBB

Obat Harian 3x/minggu

INH 5 (4-6) max 300 mg/hr 10 (8-12) max 900 mg/dosis

Rifampisin 10 (8-12) max 600 mg/hr 10 (8-12) max 600 mg/dosis

Pirazinamid 25(20-30) max 1600 mg/hr 35(30-40) max 2400 mg/dosis


32

15 (15-20) max 1600 30 (25-35) max 2400


Etambutol
mg/hr mg/dosis

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal dan tahap

lanjutan.

1.! Tahap awal menggunakan paduan obat rifampisin, isoniazid, pirazinamid,

dan etambutol.

a.! Pada tahap awal pasien mendapat obat yang terdiri dari 4 jenis obat

(rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol), diminum setiap hari

dandiawasi secara langsung untuk menjamin kepatuhan minum obat dan

mencegah terjadinya kekebalan obat.

b.! Bila pengobatan tahap awal diberikan secara adekuat, daya penularan

menurun dalam kurun waktu 2 minggu.

c.! Pasien TB paru BTA positif sebagian besar menjadi BTA negatif

(konversi) setelah menyelesaikan tahap awal. Setelah terjadi konversi pengobatan

dilanjutkan dengan tahap lanjut.

2.! Tahap lanjutan menggunakan panduan obat riampisin dan isoniazid

a.! Pada tahap lanjutan pasien mendapat 2 jenis obat (rifampisin dan

isoniazid), namun dalam jangka waktu yang lebih lama (minimal 4

bulan).

b.! Obat dapat diminum secara intermitten yaitu 3x/minggu (obat program)

atau tiap hari (obat non program)

c.! Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan.


33

Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program Nasional

Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut :

1.! Kategori 1 : 2RHZE/4H3R3

Artinya pengobatan tahap awal selama 2 bulan diberikan tiap hari dan

tahap lanjutan selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu.Jadi lama

pengobatan seluruhnya 6 bulan.

2.! Kategori 2 : 2RHZES/HRZE/5H3R3E3

Diberikan pada TB paru pengobatan ulang (TB kambuh, gagal

pengobatan, putus berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal pengobatan

selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan streptomisin,

dan 1 bulan RHZE. Pengobatan tahap awal diberikan setiap hari.Tahap

lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, 3 kali seminggu.Jadi lama

pengobatan 8 bulan.

3.! OAT sisipan : RHZE

Apabila pemeriksaan dahak masih positif (belum konversi) pada akhir

pengobatan tahap awal kategori 1 maupun kategori 2, maka diberikan

pengobatan sisipan selama 1 bulan dengan RHZE.

C.! Konseling dan Edukasi

1.! Memberikan informasi pada pasien dan keluarga tentang penyakit TB.

2.! Pengawasan ketaatan minum obat dan kontrol secara teratur.

3.! Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan.

D.! Kriteria Rujukan

1.! Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) tapi tidak menunjukkan perbaikan

setelah pengobatan dalam jangka waktu tertentu


34

2.! Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/meragukan)

3.! Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah jangka waktu tertentu

4.! TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid)

5.! Suspek TB-MDR harus dirujuk kepusat rujukan TB-MDR.

E.! Kriteria Hasil Pengobatan

1.! Sembuh : pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan

pemeriksaan apusan dahak ulang (followup), hasil negatif pada fototoraks

AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

2.! Pengobatan lengkap : pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara

lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada

fototoraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

3.! Meninggal : pasien meninggal dalam masa pengobatan karena sebab

apapun.

4.! Putus obat (default) : pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau

lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

5.! Gagal : pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif pada bulan ke lima atau selama pengobatan.

6.! Pindah (transfer out) : pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan

pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

2.2.6 Pencegahan

A. Penularan TB

Penularan penyakit ini melalui inhalasi droplet khususnya yang

didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang
35

mengandung BTA positif.Pada waktu batuk atau bersin, penderita

menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan Dahak).Orang

dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran

pernapasan.Dalam 1 tahun, 1 penderita TB BTA positif menularkan 10-15

orang. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui

pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh

lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, salura

napas,atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya (Raviglion

MC et al, 2001).

Risiko mendapat infeksi Mycobacterium tuberculosis ditentukan

terutama oleh faktor-faktor eksogen (Aditama et al, 2006).

1.! Kontak dengan penderita BTA positif (seberapa dekat dan seberapa

lama)

2.! Lingkungan tempat kontak (lingkungan yang padat dan ventilasi

ruangyang buruk)

Sedangkan faktor-faktor endogen:

1.! Daya tahan tubuh

2.! Usia

3.! Penyakit penyerta (infeksi HIV, silikosis, limfoma, leukemia,

malnutrisi, gagal ginjal kronis, diabetes melitus, orang dengan terapi

imunosupresif dan hemophilia)


36

Gambar 2.7 Faktor risiko kejadian tuberculosis paru (Bahar dan Amin, 2007)

B.! Pencegahan

Pencegahan adalah kunci untuk menghentikan transmisi penularan

TB.Pencegahan ini terdiri dari diagnosis dini dan pengobatan TB aktif untuk

menghentikan infeksi, pencegahan penularan dari orang yang

terpajan.Vaksinasi dengan vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) sebagian

besar dinilai tidak efektif dalam mencegah transmisi. Namun vaksin yang

lebih kuat akan berpotensi menyebabkan perubahan besar dalam

pengelolaan dan pencegahan penularan TB.

1.! Pencegahan profilaksis

Penularan TB sangat rentan terjadi di lokasi yang tertutup dan

memiliki akses ventilasi yang buruk.Lokasi yang berisiko tinggi untuk

penularan adalah kepadatan tinggi lingkungan tempat tinggal seperti

rumah sakit, klinik, penjara atau asrama pelajar.Penularan dalam

lingkungan kelembagaan seperti rumah sakit dapat dikurangi dengan

menerapkan kebijakan pengendalian infeksi yang efektif yang mencakup

perlindungan administrasi promotif, preventif dan kuratif (Sosa et al,

2019).
37

2.! Vaksin

Satu-satunya vaksin yang saat ini tersedia untuk TB adalah vaksin

bacillus Calmette-Guerin (BCG) yang dikembangkan oleh serial

Mycobacterium bovis dan diperkenalkan pada tahun 1921.BCG adalah

vaksin yang paling banyak digunakan di dunia tetapi ukuran

efektivitasnya sangat bervariasi, antara 0 dan 80%.Namun, penelitian

secara konsistenmenunjukkan efek perlindungan terhadap TB anak yang

paling parah, termasuk meningitis TB.Meta-analisis dari semua

penelitian yang diterbitkan menghasilkan perkiraan 50% untuk efektifitas

secara keseluruhan dan kemanjuran 80% dalam mencegah meningitis

TB.BCG tidak boleh diberikan kepada orang yang terinfeksi HIV.

Beberapa teori telah diusulkan untuk perbedaan dalam efektivitas yang

diamati, termasuk penggunaan berbagai jenis BCG, variasi dalam

paparan awal terhadap mikobakteri non-TB sebelum vaksinasi, variasi

genetik induk dan variasi genetik patogen tetapi tidak satu pun dari teori

ini memiliki bukti pendukung yang kuat saat ini (Nutall et al, 2011).

Mengingat beban besar kasus TB global dan penghalang utama

untuk eliminasi yang dihadirkan oleh reservoir 'diam' dari individu

yangterinfeksi secara laten, vaksin TB yang efektif akan menjadi

kemajuan besar dalam pertempuran untuk memberantas TB. Namun,

korelasikekebalan protektif pada TB tidak dipahami yang merupakan

rintangan utama untuk mengembangkan vaksin yang efektif. Kandidat

vaksin paling maju untuk vaksin TB primer, MVA85A, gagal

menunjukkan efektifitas apa pun dalam uji coba pada bayi yang tidak
38

terinfeksi HIV yangditerbitkan pada 2013. Namun uji coba ini harus

memberikan data berharga untuk memandu pengembangan calon vaksin

baru lebih lanjut (Tameris et al, 2013).

Beberapa cara utama untuk mencegah penularan TB mencakup tiga

pendekatan berbeda untuk pengembangan vaksin TB, yang

dikenalsebagai Prime, boost atau imunoterapi. Strategi alternatif yang

juga dieksplorasi adalah vaksinasi pasca infeksi. Jenis vaksin yang saat

ini sedang dikembangkan meliputi (Kaumann et al, 2014):

a.! Modifikasi vaksin BCG (BCG rekombinan),

b.! Meningkatkan BCG dengan bahan pembantu,

c.! Penggabungan ekspresi antigen TB ke dalam vektor vaksin

d.! Membunuh seluruh sel atau ekstrak.

C.! Program pengendalian TB

Program nasional yang telah dilakukan pemerintah melalui

kementrian kesehatan yaitu melalui program TOSS TBC (Temukan dan

Obati Sampai Sembuh TBC). Salah satu pendekatan untuk menemukan,

mediagnosis, mengobati, dan menyembuhkan pasien TBC, untuk

menghentikan penularan TBC di masyarakat. Langkah-langkah TOSS TBC

juga perlu diketahui, yaitu:

1.! Temukan gejala di masyarakat

2.! Obati TBC dengan tepat dan cepat


39

3.! Pantau pengobatan TBC sampai sembuh.

Gambar 2.8 Etika batuk dalam media promosi kesehatan program nasional TOSS

Gambar 2.9 Media promosi kesehatan program nasional TOSS TBC

(Kemenkes, 2018)
40

2.3 Konsep Pengetahuan

2.3.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui panca indera manusia, yakni: indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmojo, 2008).

2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

1)! Umur

Cara berpikir logis berkembang secara bertahap. Menurut

Santrock, (2007), kemampuan kognitif seseorang berdasarkan usia

dapat dikategorikan dalam periode bayi, anak, remaja, dewasa dan

lanjut usia. Masing-masing periode memberikan dampak pada cara

berpikir individu dalam merespon stimulus yang diberikan sehingga

berdampak pada pengetahuan yang terbentuk.

2)! Tingkat Pendidikan

Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang

berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan,

perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik,

dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat.

Menurut Notoatmodjo (2008), pendidikan kesehatan pada hakikatnya

adalah suatu kegiatan atau usaha untuk menyampaikan pesan

kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu. Dengan


41

harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut, masyarakat, kelompok

atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang

lebih baik. Akhirnya pengetahuan tersebut diharapkan dapat

berpengaruh terhadap perilakunya. Dengan kata lain, dengan adanya

pendidikan tersebut dapat membawa akibat terhadap perubahan

perilaku sasaran. Untuk mencapai tujuan pendidikan yakni perubahan-

perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu proses

pendidikan, materi, pendidik dan alat bantu dalam proses pendidikan.

3)! Media Massa

Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat

kabar, majalah dan lain-lain, mempunyai pengaruh besar dalam

pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian

informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-

pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan pengetahuan dan

opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal

memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap

hal tersebut. (Azwar, 2005).

2.3.3 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang tercakup di dalam domain kognitif terdiri

dari 6 tingkatan yaitu:

1.! Tahu (know)

Mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,

termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali


42

sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu merupakan

tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2.! Memahami (comprehension)

Suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang

objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar.

3.! Aplikasi (application)

Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari

pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

4.! Analisis (analysis)

Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

kedalam komponen komponen, tetapi masih di dalam satu struktur

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5.! Sintesis (syntesis)

Menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru.

6.! Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau terhadap suatu materi atau obyek. (Notoatmodjo, 2008).

2.3.4 Cara Mengukur Tingkat Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara

yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diketahui dari subyek
43

penelitian atau responden, pengetahuan yang ingin kita ukur dapat

disesuaikan dengan tingkat tersebut diatas (Notoatmodjo, 2008).

Pengukuran pengetahuan menggunakan skala ordinal yang

dikategorikan dalam bentuk tingkatan. Sedangkan pengelompokkan

pengetahuan dikategorikan baik bila skor lebih dari atau sama dengan

80%, cukup bila skor 61% - 79% dan kurang bila skor dibawah atau

sama dengan 60% (Notoatmodjo, 2008).

2.4 Konsep Kader Kesehatan

2.4.1 Definisi Kader Kesehatan

Kader adalah istilah umum yang dipergunakan untuk tenaga-

tenaga yang berasal dari masyarakat, dipilih oleh masyarakat dan

bekerja bersama masyarakat dan untuk masyarakat secara sukarela

(Mantra, 2004). Kader kesehatan adalah seorang yang karena

kecakapannya atau kemampuannya diangkat, dipilih dan atau ditunjuk

untuk memimpin pengembangan kesehatan disuatu tempat atau desa

(Depkes, 2008).

Kader kesehatan masyarakat adalah laki-laki atau wanita yang

dipilih oleh masyarakat dan dilatih untuk menangani masalah-masalah

kesehatan perseorangan maupun masyarakat serta untuk bekerja dalam

hubungan yang amat dekat dengan tempat-tempat pemberian

pelayanan kesehatan (Rahaju, 2005).

Para kader kesehatan masyarakat itu seyogyanya memiliki latar

belakang pendidikan yang cukup sehingga memungkinkan mereka


44

untuk membaca, menulis dan menghitung secara sederhana (Rahaju,

2005).

2.4.2 Kondisi Kerja Kader Kesehatan

Kader kesehatan masyarakat bertanggung jawab terhadap

masyarakat setempat serta pimpinan-pimpinan yang ditunjuk oleh

pusat-pusat pelayanan kesehatan. Diharapkan mereka dapat

melaksanakan petunjuk yang diberikan oleh para pembimbing dalam

jalinan kerja dari sebuah tim kesehatan (Rahaju, 2005).

Para kader kesehatan masyarakat itu mungkin saja bekerja

secara full-time atau part-time (bekerja penuh atau hanya memberikan

sebagian dari waktunya) di bidang pelayanan kesehatan, mereka itu

tidak dibayar dengan uang atau bentuk lainnya oleh masyarakat

setempat atau oleh Pusat Kesehatan Masyarakat. Seperti contoh yang

terdapat di kecamatan Wajak Kabupaten Malang, para kader kesehatan

masyarakat tidak dibayar dengan bentuk uang (Rahaju, 2005).

2.4.3 Syarat Menjadi Kader Kesehatan

Syarat agar bisa menjadi kader kesehatan adalah :

1.! Setiap warga desa setempat laki-laki maupun perempuan yang bisa

membaca dan menulis huruf latin

2.! Mempunyai waktu luang

3.! Memiliki kemampuan dan mau bekerja sukarela dan tulus ikhlas

(Rahaju, 2005).
45

2.4.4 Peran Kader Kesehatan

Seperti yang sudah dijelaskan, buku ini sejak semula tidak

dibuat secara khusus untuk satu Negara (The Community Health

Worker adalah terbitan WHO dan berbahasa Inggris) karena itulah

didalamnya juga tidak dijelaskan tentang tugas-tugas yang harus

dilaksanakan seorang kader kesehatan masyarakat ini, akan amat

bervariasi dan berbeda-beda pula antara satu tempat di banding tempat

lainnya atau antara satu negara dibandingkan negara lainnya (Rahaju,

2005).

Tugas-tugas mereka itu akan meliputi pelayanan kesehatan dan

pembangunan masyarakat, tetapi yang harus mereka lakukan itu

seyogyanya terbatas pada bidang-bidang atau tugas-tugas yang pernah

diajarkan pada mereka. Mereka harus benar-benar menyadari tentang

keterbatasan yang mereka miliki. Mereka tidak dapat diharapkan

mampu menyelesaikan semua masalah-masalah yang dihadapinya,

namun benar-benar diharapkan bahwa mereka akan mampu

menyelasaikan masalah-masalah umum yang terjadi di masyarakat dan

amat mendesak untuk diselesaikan (Rahaju, 2005).

Kiranya perlu ditekankan bahwa para kader kesehatan

masyarakat itu tidaklah bekerja dalam suatu ruangan yang tertutup,

namun mereka itu bekerja dan berperan sebagai seorang pelaku dari

sebuah sistem kesehatan karena itulah mereka harus dibina, dituntun

serta didukung oleh para pembimbing yang lebih terampil dan

berpengalaman. Mereka harus mampu mengetahui tentang kapan dan


46

dimana memperoleh petunjuk, mereka juga harus mampu merujuk dan

mencari bantuan bagi seorang penderita yang benar-benar sedang

menderita atau mencarikan pengobatan bagi seorang penderita yang

cara-cara penanganannya dan pengobatannya di luar kemampuannya

(Rahaju, 2005).

Dalam buku ini seringkali diperlihatkan tentang seorang kader

kesehatan masyarakat yang diperintahkan untuk mencari saran-saran

dari seorang pembimbingnya atau pimpinannya atau malahan

mengirimkan penderita ke Puskesmas atau rumah sakit, hal ini benar-

benar memperlihatkan bahwa seorang kader kesehatan masyarakat

tidak dapat melakukan semuanya secara sendirian. Tentang hal ini

tidak pernah dapat ditekankan bahwa mutu pelayanan yang diberikan

oleh seorang kader kesehatan itu tergantung pada keterampilan dan

dedikasi dari masing-masing individu, namun juga tergantung pada

mutu pelatihan yang pernah didapatnya, pengamatan terhadap

ketrampilan mereka di lapangan maupun dukungan kepercayaan yang

diberikan kepada mereka, jaringan komunikasi yang diberikan kepada

mereka,jaringan komunikasi yang baik (melalui pos, alat angkutan,

absensi, undangan dan sebagainya), namun juga tergantung pada

sistem yang memungkinkan dilakukannya rujukan penderita, misalnya

ke Puskesmas, ke rumah sakit, ke Poliklinik swasta dan lain-lainnya

(Rahaju, 2005).
47

2.4.5 Pelatihan Kader

Hal ini tergantung pada tugas-tugas mereka, masalah yang

dihadapinya, tingkat pembangunan yang sudah dicapai oleh

masyarakat setempat serta tingkat pendidikan terakhir mereka. Bagi

para kader kesehatan masyarakat yang bekerja di pedesaan, mungkin

saja lama pelatihan yang mereka butuhkan adalah selama 6 (enam)

hingga 8 (delapan) minggu, tetapi mungkin saja akan lebih lama lagi

dari yang telah diperkirakan. Tentu saja pelatihan itu harus amat

praktis dan seyogyanya juga dilakukan di wilayah pelayanan kesehatan

itu diberikan serta tempat dimana mereka bertempat tinggal dan akan

bekerja. Bila dimungkinkan, seyogyanya para pembimbing memegang

peranan utama dalam program pelatihan yang diselenggarakan ini

(Rahaju, 2005).

Selanjutnya program-program pengawasan atau pengamatan

yang dilakukan harus meliputi pengadaan pendidikan lanjutan, latihan

di tempat atau latihan di tengah-tengah masyarakat, latihan

keterampilan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) atau di

tempat-tempat lainnya lagi (Rahaju, 2005).


!
!

BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 KerangkaTeori

Menurut Kemenkes 2016 mengatakan bahwa: Upaya untuk faktor predisposisi atau
mengembangkan koordinasi dan jejaring kerja kemitraan antara yang mempermudah
pemerintah dan pemangku kepentingan untuk Penanggulangan terjadinya perilaku
TB seseorang!

•! Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia


•! Meningkatkan kemampuan kewaspadaan dini TB Pengetahuan kader
!

Edukasi kepada kader: Penyuluhan tentang TB

Peningkatan pengetahuan dan kewaspadaan penyakit TB oleh kader


kesehatan
Gambar 3.1 Kerangka Teori menurut L. Green (1980) dalam Notoadmodjo (2007), Nisa
(2016), Kemenkes RI (2016).

3.2 Kerangka Konsep

Pengetahuan kader terkait pasien terduga Tuberkulosis


(Pre-test)
Penyuluhan terkait
penemuan pasien Intervensi
terduga
Tuberkulosis
Pengetahuan kader terkait pasien terduga Tuberkulosis
(Post-test)

Penemuan pasien terduga


TB

Gambar 3.2 Kerangka Konsep

48!
!
49!
!

3.3!Hipotesa Penelitian
Dalam penelitian ini hipotesa yang dirancang oleh peneliti adalah pemberian
penyuluhan tentang Tuberkulosis dapat meningkatkan pengetahuan kader sebelum
(pretest) dan setelah intervensi (posttest) di desa Pangkah Wetan di wilayah kerja
Puskesmas Ujungpangkah.

3.4 Variabel Penelitian


3.4.1!Variabel Independent
Variabel Independent atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah
pemberian pengetahuan dengan penyuluhan tentang Tuberkulosis.
3.4.2!Variabel Dependent
Variabel Dependent atau variabel terikat dalam penelitian ini adalah
pengetahuan kader desa Pangkah Wetan di wilayah kerja Puskesmas
Ujungangkah.
3.5! Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi operasional
Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional

Variabel Bebas

Pemberian Pengaruh yang !! Pemberian - -


penyuluhan ditimbulkan oleh materi dengan
adanya penyuluhan Power point,
bagi kader kesehatan materi diambil
untuk mengetahui dari buku
sejauh mana tingkat pedoman TB
keberhasilan yang Nasional oleh
dicapai. Penyuluhan Kemenkes
meliputi pengertian 2016
& faktor resiko,
tanda & gejala, !! absensi
penemuan pasien kehadiran
terduga TB,
penularan, serta
!! Menggunakan
pencegahan TB
metode SAP

Variabel Terikat

Pengetahuan Hasil pengetahuan Assessment Jumlah soal 15 Ordinal


mengenai kader tentang berupa soal buah. Jawaban
penyakit TB yaitu pretest dan dari tiap point
50!
!

tuberkulosis hasil kompilasi dari posttest. pertanyaan


beberapa pertanyaan menggunakan
Assessment
tentang TB Paru skala binomial
merupakan
yang terdiri dari 5 yaitu:
adaptasi dari
indikator mencakup penelitian
pengertian & faktor 1 = benar
Subagyo, dkk
resiko, tanda & (2014) 0 = salah
gejala, penemuan
pasien terduga TB, Dikategorikan
penularan, serta menjadi:
pencegahan TB - baik, nilai
sebelum dan setelah 80%-100%
diberi penyuluhan. - cukup, nilai
61%-79%
(Subagyo dkk,
2014)
!
!

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1! Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan Quasi Eksperiment Design (eksperimen semu) dengan
rancangan One Group Pretest-posttest Design dimana akan dijelaskan
perbedaan efektifitas peningkatan pengetahuan sebelum dan setelah
intervensi.

4.2! Tempat Dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2019 di Desa Pangkah Wetan,
Kecamatan Ujungpangkah, Kabupaten Gresik sebagai tempat pemberian
penyuluhan Tuberkulosis kepada kader.

4.3! Populasi dan Sampel


a.! Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kader kesehatan di desa
Pangkah Wetan yang dibawahi oleh Puskesmas Ujungpangkah yang
masih aktif yaitu sebanyak 55 orang. Kader tersebut berkontribusi di
posyandu balita, posyandu lansia, taman posyandu, desa siaga, dan
poskestren desa Sumberejo.
b.!Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah kader kesehatan di desa Pangkah
Wetan dimana jumlah sampel sama dengan populasi yaitu sebanyak 55
orang.
c.! Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode total sampling. Total sampling adalah teknik
pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi.
Menurut Sugiyono, apabila jumlah populasi kurang dari 100 maka
seluruh populasi dijadikan sampel penelitian (Sugiyono, 2005).

51!
!
52!
!

4.4!Kriteria Inklusi dan Eksklusi


4.4.1! Kriteria inklusi
1.!Kader yang aktif dalam kegiatan.
2.!Pendidikan kader minimal tamatan SD/MI dengan pendidikan tersebut
kader diharapkan mempunyai kemampuan yang cukup untuk dapat
mengelola kegiatan penemuan pasien terduga TB.
3.!Kader merupakan penduduk dan bertempat tinggal di Desa Pangkah
Wetan.
4.!Kader yang bersedia menjadi responden.
4.4.2! Kriteria eksklusi
1.!Kader yang tidak aktif dalam kegiatan.
2.!Kader yang tidak datang dan tidak mengikuti penyuluhan tentang TB.
3.!Kader yang tidak bersedia menjadi responden.

4.5!Tahapan Penelitian
Adapun tahap-tahap dari pelaksanaan penelitian ini adalah:
1.! Mengumpulkan data kader kesehatan di Desa Pangkah Wetan tahun 2019
sebagai populasi sasaran.
2.! Mengumpulkan kader kesehatan di Desa Pangkah Wetan.
3.! Mempersiapkan materi penyuluhan tentang Tuberkulosis.
4.! Melakukan pre-test sebelum dilakukan intervensi berupa penyuluhan.
5.! Melakukan post-test setelah dilakukan intervensi berupa penyuluhan.
6.! Pengolahan dan analisa data.

4.6! Rencana Manajemen dan Analisa Data


4.6.1!Sumber Data danTeknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara peneliti untuk mengumpulkan
data yang akan dilakukan dalam penelitian (Hidayat, 2007). Data yang diperoleh
terdiri dari:
53!
!

1.! Data Primer


Data primer merupakan data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti
dari yang sebelumnya tidak ada serta tujuannya disesuaikan dengan
keperluan penelitian (Rizkia, 2012). Data primer penelitian ini diperoleh
secara langsung dari hasil pendataan kader kesehatan Desa Pangkah Wetan
menggunakan formulir biodata dan pengisian surat persetujuan, Assessment
pre-test dan post-test.
2.! Data Sekunder.
Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan sendiri oleh pihak
lain dan data sudah ada (Rizkia, 2012). Data sekunder diperoleh dari
instansi kesehatan yang terkait yaitu data dari Puskesmas Ujungpangkah
Kabupaten Gresik. Selain itu data juga diperoleh melalui studi pustaka dan
data berbasis elektronik.
4.6.2!Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh
peneliti dalam mengumpulkan data (Sastroasmoro, 2008). Penelitian ini
menggunakan instrumen berupa Assessment (daftar pertanyaan tertutup)
yaitu responden hanya perlu memberi tanda terhadap alternatif jawaban
yang dipilih. Selain itu, record di puskesmas Ujungpangkah tentang rujukan
terduga TB dari kader dan wawancara juga digunakan sebagai instrument
dalam penelitian ini.
Instrumen yang digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan
tentang penemuan pasien terduga TB menggunakan metode Guttman
(Shaughenessy dkk, 2007). Hal yang diukur adalah tingkat pengetahuan
kader kesehatan tentang pengertian & faktor resiko, tanda & gejala,
penemuan pasien terduga TB, penularan, serta pencegahan TB dengan
Assessment yang terdiri dari 15 item pertanyaan dalam bentuk soal. Metode
penilaian pengetahuan adalah :
54!
!

Tabel 4.1 Skor Penilaian Pengetahuan tentang Penemuan Pasien Terduga TB


Jawaban Favourable Unfavourable
Benar 1 0
Salah 0 1

Tabel 4.2 Indikator Kuesioner Pengetahuan tentang Penemuan Pasien Terduga TB


Nomor Soal
Indikator Jumlah
Favourable Unfavourable
Mempunyai pengetahuan tentang
1. pengertian & faktor resiko penyakit 2,4 1,3,5 5
Tuberkulosis
Mempunyai pengetahuan tentang tanda /
2. 6,7,10 8,9 5
gejala penyakit Tuberkulosis
Mempunyai pengetahuan tentang pasien
3. yang terduga menderita penyakit 12 11,14 3
Tuberkulosis
Mempunyai pengetahuan tentang
4. 13 15 2
penularan dan pencegahan penyakit
Tuberkulosis
Jumlah 7 8 15

4.6.3!Pengolahan dan Analisa Data


Sebelum dilakukan analisis data perlu dilakukan pengolahan data terlebih
dahulu. Tahapan-tahapan pengolahan dan analisis data yaitu sebagai berikut:
1.! Editing
Editing adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk meneliti kembali
kelengkapan jawaban yang telah ada pada formulir dan lembar observasi
bila ada kekurangan atau ketidaksesuaian dapat langsung dilengkapi dan
disempurnakan.
2.! Coding
Coding adalah kegiatan mengubah data berbentuk kalimat atau huruf
menjadi data angka atau bilangan. Pemberian kode angka pada atribut
variabel ini untuk memudahkan dalam pengumpulan dan pengelompokan
data.
3.! Entry data
Entry data adalah kegiatan memasukan data ke dalam program atau
software komputer untuk selanjutnya dilakukan pengolahan data.
55!
!

4.! Tabulating
Data yang didapat dari lapangan kemudian diolah dengan mentabulasikan
dan kemudian dipindahkan ke dalam tabel yang sesuai dengan kebutuhan
analisa.
5.! Cleaning data
Cleaning data bertujuan memeriksa kemungkinan adanya kesalahan kode
atau ketidaklengkapan yang terjadi saat pemasukan data kemudian
dilakukan pembetulan atau koreksi.
6.! Analisis Data
Analisa statistik seluruh teknis pengolahan data dianalisis secara
komputerisasi menggunakan Software Statistical Product and Service
Solution 22 PS (SPSS 22).
a.! Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian.
Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan variabel penelitian yang
disajikan dalam distribusi frekuensi dalam bentuk persentase dari tiap
variabel (Rikwidigdo, 2010).
b.! Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk menentukan keeratan hubungan antara
dua variabel (Rikwidigdo, 2010). Pada penelitian ini dilakukan uji
pendahuluan yaitu Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk
mengetahui distribusi data tersebut normal atau tidak sehingga dapat
ditentukan analisis yang akan digunakan selanjutya (Raharjo, 2015).
Data yang berdistribusi uji paramentrik pairing t-test. Namun bila tidak
berdistribusi normal maka data diuji dengan non-parametrik seperti
Wilcoxon Sign-Rank test, Mann Whitney U test dan Kruskall-Wallis H
test (Raharjo, 2015).

4.7 Etika Penelitian


Pada penelitian ini, nilai untuk tetap menjunjung tinggi etika penelitian
menjadi salah satu tidak adanya intervensi dari pihak manapun. Standar etika
56!
!

dalam melakukan penelitian menurut Hidayat dan Nursalam, antara lain (Hidayat,
2007; Nursalam, 2008):
1.! Right to Self-Determination (hak untuk ikut atau tidak menjadi responden)
Responden harus diperlakukan secara manusiawi dan berhak memutuskan
apakah mereka bersedia menjadi subjek maupun tidak, tanpa adanya sangsi.
2.! Anonimity (tanpa nama)
Jaminan untuk tidak menyebutkan nama dan menerangkan sumber data atau
responden dalam penelitian.
3.! Informed Consent
Pernyataan persetujuan antara peneliti dengan responden yang ditandai
dengan pemberian tanda tangan pada surat persetujuan.
4.! Confidentiality (Kerahasiaan)
Kerahasiaan merupakan salah satu bentuk jaminan kepada responden,
apabila yang bersangkutan tidak bersedia untuk diberiahukan segala
informasi tentang responden yang bersangkutan.
5.! Right to Full Disclosure (hak mendapatkan jaminan dari perlakuan yang
diberikan)
Responden berhak mendapatkan penjelasan secara rinci serta
bertanggungjawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada responden.
57!
!

4.8 Skema Tahapan Penelitian

Populasi sasaran
Kader desa Pangkah Wetan, wilayah kerja Ujungpangkah (n=55)
!

!
Sampling
! Total sampling
Kriteria Inklusi
! & Eksklusi!
Sampel (n=38 orang)
!

! Desain Penelitian
Quasi Eksperiment Design, One Group Pretest-posttest Design!
!
Pretest untuk kader
! kesehatan
!
!
! Pengetahauan kader dalam penemuan pasien terduga TB

! !
Intervensi: Penyuluhan kader
!
!
! Posttest untuk kader
kesehatan
Peningkatan pengetahauan kader! dalam penemuan pasien terduga TB
!
Gambar 4.1 Skema Tahapan Penelitian

Keterangan:
Yang tidak diteliti :
Yang diteliti :
!

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1! Deskripsi Karakteristik Responden

Pada tabel 5.1 menunjukkan karakteristik responden, pada penelitian ini usia

terbanyak merupakan kelompok kader dengan usia 31-40 tahun (35,3%), jenis kelamin

wanita (100%), dengan pendidikan responden terbanyak yaitu tamat SD (50,0%).

Pekerjaan responden terbanyak yaitu kader sebagai ibu rumah tangga (94,1%).!

Tabel 5.1 Karakteristik Responden


Karateristik Responden n (%)
Usia (n=38)
21-30 tahun 7 (18,4)
31-40 tahun 27 (71,1)
> 50 tahun 4 (10,5)
Jenis Kelamin (n=38)
Pria 0 (0)
Wanita 38 (100)
Pendidikan (n=38)
SMA 32 (84,2)
Perguruan tinggi 6 (15,8)
Pekerjaan (n=38)
Ibu Rumah tangga 32 (84,2)
Guru 5 (13,2)
Perangkat Desa 1 (2,6)
Total 38 (100)

5.2! Distribusi Pengetahuan Kader

5.2.1! Distribusi Pengetahuan Sebelum dan Setelah Penyuluhan

Distribusi pengetahuan kader sebagai responden sebelum (pretest) dan setelah

penyuluhan (postest) tentang TB Paru di desa Pangkah Wetan wilayah kerja Puskesmas

Ujungangkah adalah sebagai berikut

58!

!
59!

Tabel 5.2 Pengetahuan Kader Sebelum (pretest) dan Setelah Penyuluhan (postest)
Pengetahuan (n=38) Pretest Postest
n (%) n (%)
Kurang 0 (0) 0 (0)
Cukup 21 (55,3) 18 (47,4)
Baik 17 (44,7) 20 (52,6)
Total 38 (100) 38 (100)

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa sebelum diberikan penyuluhan, kader

yang memiliki pengetahuan cukup (55,3%) tentang TB merupakan persentase

terbanyak. Sedangkan persentase terbanyak setelah diberikan penyuluhan terdapat pada

kader dengan pengetahuan baik (52,6%).

5.2.2! Distribusi Peningkatan Pengetahuan

Distribusi peningkatan pengetahuan kader sebagai responden adalah sebagai

berikut :

Tabel 5.3 Distribusi Peningkatan Pengetahuan


Peningkatan n (%) Keterangan Peningkatan
Pengetahuan (n=34) Pengetahuan
Postest > pretest 18 (47,4) Tidak meningkat
Postest ≤ pretest 20 (52,6) Meningkat
Total 38 (100)

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa dari 38 responden yang diberikan

penyuluhan, pengetahuan kader lebih banyak yang nilai postestnya meningkat (52,6%)

dibandingkan dengan nilai postest yang tidak meningkat (47,4%).

5.3! Efektivitas Penyuluhan pada Pengetahuan Kader

Pada Sub bab ini akan diuji dan dilakukan analisis ada tidaknya peningkatan

pengetahuan antara sebelum dan sesudah pemberian perlakuan pada sekelompok sampel

yang sama.
60!

Tabel 5.5 Analisis perbedaan sebelum dan sesudah penyuluhan menggunakan Uji T Test
Frekuensi Sig (2-failed)
Posttest Posttest
<pretest >pretest
(n) (n)
Pengetahuan 20 18 0,000

Sebelum data dianalisis, dilakukan uji normalitas dan didapatkan sebaran data

normal sebesar 0,09. Analisis menggunakan uji T test independent setelah dilakukan uji

normalitas menunjukkan hasil yang signiikan (P ≥ 0,05) yang berarti Ho ditolak atau

menerima Ha. Sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan Pengetahuan sebelum

dan setelah diberikan penyuluhan yang berhubung secara signifikan atau dengan kata

lain terdapat pengaruh pemberian penyuluhan terhadap tingkat efektivitas pengetahuan

kader di wilayah tersebut.


61#

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1!Deskripsi Karateristik Responden

Berdasarkan analisa data karakteristik responden, didapatkan lebih dari

50% responden pada penelitan ini berusia dibawah 40 tahun. Pada usia ini kader

berada pada tingkat produktifitas dan kemapanan yang baik sehingga kader

diharapkan dapat bekerja dengan optimal. Menurut Zulkifli, pada hakekatnya

tidak ada persyaratan usia tertentu untuk dipilh menjadi kader, tetapi sebaiknya

pemilihan kader harus berada pada usia produktif. Sedangkan untuk jenis

kelamin, Semua kader kesehatan di wilayah kerja Pangkah Wetan Puskesmas

Ujungpangkah berjenis kelamin perempuan, sebenarnya juga tidak ada syarat

khusus jenis kelamin untuk menjadi kader tetapi karena tugas-tugas atau kegiatan

yang dikerjakan bertempat di posyandu, maka secara umum lebih banyak

perempuan yang bersedia menjadi kader dibanding laki-laki (Zulkifli, 2003).

Sebagian besar pendidikan responden adalah lulusan SMA sedangkan

sisanya perguruan tinggi. Berdasarkan himbauan wajib belajar 9 tahun, kader

telah memenuhi kualifikasi tersebut. Angka tersebut mencerminkan bahwa secara

garis besar tingkat pendidikan kader di Pangkah Wetan wilayah kerja Puskesmas

Ujungpangkah baik. Secara teoritis dijelaskan bahwa tingkat pendidikan

berpengaruh secara langsung terhadap pengetahuan dan kecakapan kader.

61#

#
62#

Jika dilihat dari latar belakang pekerjaan, pekerjaan yang paling banyak

adalah sebagai ibu rumah tangga. Salah satu syarat untuk menjadi kader

kesehatan adalah mempunyai waktu luang, seorang ibu rumah tangga diyakini

memiliki waktu luang dibandingkan dengan pekerjaan yang lainnya.

6.2!Efektivitas Peningkatan Pengetahuan Kader

Pengetahuan kader tentang TB paru adalah pemahaman kader tentang

pengertian, cara penularan, tanda / gejala, dan cara pencegahan TB Paru.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara yang menyatakan

tentang isi materi yang ingin diketahui dari subyek penelitian atau responden,

pengetahuan yang ingin kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkat tersebut diatas

(Notoatmodjo, 2008). Pada penelitian ini, pengukuran pengetahauan telah

dilakukan sesuai dengan teori yakni melalui wawancara mengguanakan kuesioner

yang berisi materi tentang penemuan pasien terduga TB.

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 5.2-1 dapat dilihat bahwa dari 38

responden sebelum diberikan intervensi, 21 orang (55,3%) memiliki pengetahuan

cukup, sedangkan 17 orang (44,7%) lainnya memiliki pengetahuan baik. Hal ini

mungkin dikarenakan sebelumnya para responden sudah pernah melihat dan

mendengarkan informasi tentang TB paru. Sedangkan pada Tabel 5.2-2 dapat

dilihat bahwa setelah dilakukannya intervensi, 18 orang (47,4%) memiliki

pengetahuan cukup, sedangkan 20 orang (52,6%) lainnya memiliki pengetahuan

baik. Hal ini mungkin dikarenakan pemberian intervensi berupa penyuluhan

tentang pasien terduga TB berpengaruh terhadap peningkatan pengetahauan


63#

responden, dimana responden melihat dan mendengarkan saat dilakukan

penyuluhan. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori menurut Notoatmojo,

yang menyatakan bahwa pengetahauan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi

setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu yang

sebagian besar diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmojo, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian yang tersaji pada Tabel 5.2-3 dapat dilihat

bahwa hanya 20 orang (52,6%) yang mengalami peningkatan pengetahuan dan 18

orang (47,4%) lainnya tidak mengalami peningkatan pengetahuan setelah

pemberian intervensi. Hasil dari penelitian ini sesuai dengan penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Megawati yang menyatakan bahwa terdapat

peningkatan pengetahauan setelah kader mendapatkan intervensi (Megawati,

2018). Selain itu, hal ini juga sesuai dengan penelitian dari Raharjo, menyatakan

bahwa dengan pemberian penyuluhan tentang TB paru dapat meningkatkan

pengetahauan kader tentang TB paru (Raharjo, 2015).


!

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1! Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyimpulkan

bahwa pemberian penyuluhan tentang TB kepada kader efektiv untuk

meningkatkan pengetahuan kader sebelum (pretest) dan setelah intervensi

(posttest) di desa Pangkah Wetan di wilayah kerja Puskesmas Ujungpangkah.

7.2! Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyarankan bahwa

perlu dilakukan pemberian pengetahuan atau pelatihan yang berulang-ulang

kepada kader kesehatan serta observasi jangka panjang dalam mengopimalkan

program TB puskesmas Ujungpangkah

64!
!
DAFTAR PUSTAKA

Aditama TY, et al. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di


Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006.

Amin,ZulkiflidanAsrilBahar.TuberkulosisParudalamBukuAjarIlmu
PenyakitDalamEdisikelimaJilidIII.Jakarta:PusatPenerbitanIlmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia, 2009; h. 2230-472.

Arivany, Puteri Febriana. 2017. Pengetahuan Suspek Tb Paru Dalam Melakukan


Pemeriksaan Sputum Di Puskesmas Kamoning, Jurnal Berkala
Epidemiologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2017, Hlm. 75-84.

Atmosukarto dan Soewasti S. 2000. Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalam


Penyebaran Tuberkulosis. Media Litbang Kesehatan 9(4) : 20-25.

Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid . Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. 988-993.

Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penangulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Depkes RI, 2008. Buku Paket Pelatihan Kader Kesehatan. Pusat promosi
kesehatan. Jakarta

Dinas Kesehatan Kota Gresik. 2014. Profil Kesehatan Kota Gresik Tahun 2014,
Gresik: Dinas Kesehatan Kota Gresik.

Dinkes Propinsi Jawa Tengah., 2008. Profil Propinsi Jawa Tengah 2008.
Semarang: Dinkes Propinsi Jateng

Kaufmann SH, Lange C, Rao M, Balaji KN, Lotze M, Schito M, et al. Progress in
tuberculosis vaccine development and host-directed therapies-a state of the
art review. Lancet Respiratory Medicine. 2014;2(4):301–320.
KementerianKesehatanRepublik Indonesia. 2016, ProfilKesehatan Indonesia
2015. Jakarta: KementrianKesehatan Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. TOSS TBC: Temukan Obati Sampai
Sembuh. Jakarta. 2018.

Kominfo, 2016 [cited 2019 Des 15]. Available from: https://jurnal.kominfo.go.id

Megawati. 2018. Edukasi TB ParuPengetahuanSikap Kader


PosyandumelaluiPermainanSimulasiMonopoli, Media PublikasiKesehatan
IndonesiaThe Indonesian Journal of Health Promotion.
Notoadmojo, Sukidjo, 2008. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka cipta.
Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2003. PendidikandanPerilakuKesehatan. Jakarta :RinekaCipta
Notoatmodjo, S. 2010. MetodologiPenelitianKesehatan. Jakarta :RinekaCipta
Pratiwi, Rita Dian, DibyoPramono, Junaedi. 2017. PeningkatanKemampuan
Kader Kesehatan Tb Dalam Active Case Finding UntukMendukung Case
Detection Rate, Jurnal Health Eduation. UniversitasGadjahMada.

Nuttall JJ, Eley BS. BCG vaccination in HIV-infected children. Tuberculosis


Research and Treatment. 2011;2011:712736.

Pusat data dan Informasi Kementrian Kesehatan, Tuberkulosis RI ISSN 2442-


7659.

Raviglion MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In: Harrison’s Principles of internal


medicine. 15th Edition. USA: McGraw-Hill, 2001.

Sosa LE, Njie GJ, Lobato MN, et al. Tuberculosis Screening, testing, and
Treatment of U.S health care personnel: Recommendations from the
National Tuberculosis Controllers Association and CDC, 2019.
2019;68:439-443.

Subagyo, dkk.HubunganPengetahuan Kader


KesehatanterhadapPenemuanSuspekTuberkulosisParu di Wilayah
KerjaPuskesmasWajak. FakultasKedokteranUniversitas Islam Malang.
Sugiyono. 2007. StatistikaUntukPenelitian. Bandung: CV. Alfabeta.

Sylvia A, Loraine M. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit.Volume 2. Edisi 6. Hal 852-860. Jakarta: EGC, 2005.

Tameris MD, Hatherill M, Landry BS, Scriba TJ, Snowden MA, Lockhart S, et al.
Safety and efficacy of MVA85A, a new tuberculosis vaccine, in infants
previously vaccinated with BCG: A randomised, placebo-controlled phase
2b trial. Lancet. 2013;381(9871):1021-1028.

World Health Organization (WHO). 2016. Global Tuberculosis Report 2015.


Switzerland.
Lampiran

KUESIONER PENELITIAN
“Efekivitas Peningkatan Pengetahuan Kader Dalam Upaya Penemuan Pasien
Terduga TB di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah”

Identitas Responden
a.! Nama Responden : ……………………………………………
b.! No. telp Responden : ……………………………………………
c.! Jenis Kelamin :(L/P)
d.! Umur : ……….. tahun
e.! Latar Belakang Pendidikan :
Tidak Sekolah SLTP Perguruan Tinggi
SD SLTA lain-lain: ………
f.! Pekerjaan :
Ibu Rumah Tangga Wiraswasta Pegawai Swasta
PNS lain-lain
g.! Selama tahun 2019, pernah menemukan pasien terduga TB paru dan
melaporkannya ke Puskesmas terdekat.
Pernah Tidak Pernah
No Pertanyaan B S
1 TB paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus.
2 Batuk selama 2 minggu lebih merupakan salah satu gejala TB
paru.
3 Berkeringat tanpa beraktivitas pada malam hari bukan merupakan
salah satu tanda penyakit TB Paru.
4 Berat badan menurun merupakan salah satu gejala TB Paru
5 Sering kencing pada malam hari adalah salah satu gejala penyakit
TB Paru.
6 Batuk berdarah merupakan salah satu gejala tambahan yang
dirasakan penderita TB paru
7 Kuman TB selain menyerang paru juga dapat menyerang organ
tubuh lainnya.
8 Pasien yang diduga menderita TB perlu dilakukan pemeriksaan
dahak di Puskesmas.
9 Jika hasil pemeriksaan dahak negatif, maka foto dada (rontgen)
dapat disarankan
10 Jika salah satu anggota keluarga menderita TB Paru, maka anggota
keluarga lainnya tidak perlu dilakukan pemeriksaan dahak.
11 Semua pasien dengan HIV/AIDS harus dilakukan pemeriksaan
dahak.
12 TB Paru dapat ditularkan melalui bersin dan percikan dahak dari
orang yang menderita TB Paru.
13 Tidak meludah di sembarang tempat merupakan salah satu upaya
pencegahan penularan penyakit
14 Meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan makanan yang
bergizi termasuk kedalam pencegahan penyakit TB.
15 Penderita TB paru tidak perlu memiliki alat makan sendiri.
!
JenisKelamin!
Frequency! Percent! Valid!Percent! Cumulative!
Percent!
Valid! Perempuan! 38! 100.0! 100.0! 100.0!
Umur!
Frequency! Percent! Valid!Percent! Cumulative!
Percent!
21;30!tahun! 7! 18.4! 18.4! 18.4!
31;40!tahun! 27! 71.1! 71.1! 89.5!
Valid!
>50!tahun! 4! 10.5! 10.5! 100.0!
Total! 38! 100.0! 100.0!
Pendidikan!
Frequency! Percent! Valid!Percent! Cumulative!
Percent!
SMA! 32! 84.2! 84.2! 84.2!
Valid! Sarjana! 6! 15.8! 15.8! 100.0!
Total! 38! 100.0! 100.0!
Pekerjaan!
Frequency! Percent! Valid!Percent! Cumulative!
Percent!
IRT! 32! 84.2! 84.2! 84.2!
Guru! 5! 13.2! 13.2! 97.4!
Valid!
PerangkatDesa! 1! 2.6! 2.6! 100.0!
Total! 38! 100.0! 100.0!
Notes!
Output!Created! 03;MAR;2020!00:03:15!
Comments!
Active!Dataset! DataSet0!
Filter! <none>!
Input! Weight! <none>!
Split!File! <none>!
N!of!Rows!in!Working!Data!File! 38!
User;defined!missing!values!are!treated!as!
Definition!of!Missing!
missing.!
Missing!Value!Handling!
Statistics!are!based!on!all!cases!with!valid!
Cases!Used!
data.!
FREQUENCIES!VARIABLES=Pretest!
Syntax! Posttest!
!!/ORDER=ANALYSIS.!
Processor!Time! 00:00:00,02!
Resources!
Elapsed!Time! 00:00:00,01!
[DataSet0]
Statistics!
PengetahuanPret Pengetahuan!
es! Posttest!
Valid! 38! 38!
N!
Missing! 0! 0!
!
Frequency!Table!
Cukup! 21! 55.3! 55.3! 55.3!
Valid! Baik! 17! 44.7! 44.7! 100.0!
Total! 38! 100.0! 100.0!
Pengetahuan!Posttest!
Frequency! Percent! Valid!Percent! Cumulative!
Percent!
Cukup! 18! 47.4! 47.4! 47.4!
Valid! Baik! 20! 52.6! 52.6! 100.0!
Total! 38! 100.0! 100.0!
!
Frequencies!
Notes!
Output!Created! 03;MAR;2020!00:21:55!
Comments!
Active!Dataset! DataSet0!
Filter! <none>!
Input! Weight! <none>!
Split!File! <none>!
N!of!Rows!in!Working!Data!File! 38!
User;defined!missing!values!are!treated!as!
Definition!of!Missing!
missing.!
Missing!Value!Handling!
Statistics!are!based!on!all!cases!with!valid!
Cases!Used!
data.!
FREQUENCIES!VARIABLES=Peningkatan!
Syntax!
!!/ORDER=ANALYSIS.!
Processor!Time! 00:00:00,00!
Resources!
Elapsed!Time! 00:00:00,01!
Valid! 38!
N!
Missing! 0!
PeningkatanPengetahuan!
Frequency! Percent! Valid!Percent! Cumulative!
Percent!
TidakMeningkat! 18! 47.4! 47.4! 47.4!
Valid! Meningkat! 20! 52.6! 52.6! 100.0!
Total! 38! 100.0! 100.0!
!
T-TEST GROUPS=kelompok(1 2)
/MISSING=ANALYSIS
/VARIABLES=nilai
/CRITERIA=CI(.95).
!
T>Test!
Notes!
Output!Created! 26;FEB;2020!22:07:23!
Comments!
Active!Dataset! DataSet0!
Filter! <none>!
Input! Weight! <none>!
Split!File! <none>!
N!of!Rows!in!Working!Data!File! 76!
User!defined!missing!values!are!treated!as!
Definition!of!Missing!
missing.!
Missing!Value!Handling! Statistics!for!each!analysis!are!based!on!the!
!!/CRITERIA=CI(.95).!
Processor!Time! 00:00:00,02!
Resources!
Elapsed!Time! 00:00:00,01!
[DataSet0]
Group!Statistics!
! kelompok! N! Mean! Std.!Deviation! Std.!Error!Mean!
Pretest! 38! 68.1053! 16.23774! 2.63411!
nilai!
Post!test! 38! 84.3947! 10.71382! 1.73801!
Independent!Samples!Test!
Levene's!Test!for!Equality!of!Variances! t;test!for!Equality!of!Means!
F! Sig.! t! df! Sig.!(2;tailed)! Mean!Difference! Std.!Error! 95%!Confiden
Difference! Dif
Lower!
Equal!variances!assumed! 3.198! .078! ;5.162! 74! .000! ;16.28947! 3.15582! ;22.5775
nilai!
Equal!variances!not!assumed! ;5.162! 64.083! .000! ;16.28947! 3.15582! ;22.5938
!
!

Anda mungkin juga menyukai