Anda di halaman 1dari 45

Krim dan Patch Lidokain

Krim lidokain (LMX) dianggap setara dengan EMLA namun dengan onset kerja yang lebih
cepat (contohnya, setengah jam dibandingkan dengan satu jam)162. Bentuk patch, dengan
mekanisme ganda penghambat sensasi nosiseptif dan penghalang mekanik dari gesekan terhadap
kulit yang cedera, diakui oleh FDA untuk tatalaksana dari nyeri PHN. Selain itu juga terdapat
beberapa bukti bahwa lidokain patch efektif untuk tatalaksana nyeri neuropatik lain, nyeri
punggung bawah, dan nyeri lutut akibat osteoarthritis 156,163,164. Dua studi kecil, tidak terkontrol
melaporkan adanya penurunan nyeri yang signifikan pada distrofi refleks simpatis
(RSD)/sindroma nyeri regional kompleks (CRPS), nyeri benjolan neuroma, neuralgia interkostal,
nyeri paska thorakotomi, dan meralgia parestetika117,165.
Plaster yang dimediasi dengan lidokain 5% telah terbukti dapat membantu dalam tatalaksana
nyeri yang diakibatkan oleh PHN dan polineuropati diabetik. Studi telah menunjukkan bahwa
saat dibandingkan dengan pregabalin, plaster lidokain lebih manjur dalam tatalaksana PHN,
memiliki perbandingan kemanjuran untuk neuropati perifer diabetik, dan memiliki profil
keamanan dan kepuasan pasien yang lebih menguntungkan untuk kedua indikasi166,167.
Patch lidokain bermerek, Lidoderm, mengandung 700 mg lidokain 5%. Panduan yang
direkomendasikan untuk tatalaksana PHN adalah penggunaan maksimal tiga patch secara
bersamaan pada kulit yang intak selama 12 jam dalam satu hari. Pakaian dapat digunakan diatas
area penggunaan. Sediaan yang lebih lemah baik dari krim dan patch dapat ditemukan pada
apotik.

Lidokain, Epinefrin, dan Tetrakain (LET)


Larutan dan gel LET keduanya diformulasikan dengan lidokain 4%, epinefrin 0,1%, dan
tetrakain 0,5/5. Gel memiliki keuntungan yang jelas dibandingkan dengan bentuk cairan dan
secara luas digunakan setengah jam sebelum menjahit laserasi wajah dan kulit kepala tanpa
komplikasi168. Pada studi teracak dengan 221 anak-anak yang berusia antara 3 tahun dan 17
tahun, yang menjalani tatalaksana awal dari luka minor dengan perekat cairan LET sebelum
perbaikan jaringan, mereka mengalami penurunan rasa nyeri dan peningkatan jumlah perbaikan
tanpa rasa nyeri169. LET juga dapat meringankan nyeri dari anestesi infiltrasi. Dosis antara 1 dan
3 mL efektif pada prosedur yang telah disebutkan sebelumnya. LET tidak efektif saat digunakan
untuk anestesi luka besar pada batang tubuh atau ekstremitas pada dosis tertentu yang
direkomendasikan.

Patch Lidokain-Tetrakain (Synera)


Patch LT merupakan anestesi topical baru yang memiliki elemen pemanas yang diaktivasi oleh
oksigen yang mengandung rasio eutektik 1:1 dari lidokain 7% dan tetrakain 7%. Anestesi ini
memiliki onset kerja yang lebih cepat dari Lidoderm dengan anestesi efektif dalam 10 menit
penggunaan170. Patch LT telah terbukti memiliki beberapa keuntungan pada pasien dengan
sindroma trauma sendi bahu171 dan sindroma nyeri myofascial172,173.

Peel LT (S-Caine Peel, Pliaglis)


Krim lidokain 7% dan tetrakain 7% mongering dalam setengah jam penggunaan dan kemudian
akan terkelupas. Terdapat bukti bahwa krim yang terkelupas ini lebih baik dibandingkan dengan
EMLA walaupun memiliki kemanjuran yang serupa dengan patch LT pada orang dewasa yang
menjalani prosedur kulit174.

Efek Samping dan Interaksi Obat yang Relevan


Agen topikal berhubungan dengan kemungkinan efek samping yang serupa dengan sediaan
injeksinya. Cara pengiriman transdermal memiliki predileksi untuk menyebabkan eritema dan
iritasi kulit lokal. Delapan uji coba melaporkan adanya eritema, rasa terbakar, rassa gatal, dan
edema pada lokasi penggunaan174. Namun yang paling penting, reaksi lokal tersebut umumnya
tidak disebabkan oleh alergi terhadap anestesi. Secara keseluruhan, anestesi lokal aman, karena
tidak memiliki efek samping yang serius yang tampak pada lebih dari 120.000 jam penggunaan
patch pada pasien yang menggunakan patch mencapai lebih dari 8,7 tahun 175. Namun, anestesi
topikal sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien yang mengkonsumsi antiaritmia kelas
I (seperti, tokainid dan mexiletin) karena efek toksik dari kedua obat berpotensi untuk bekerja
secara sinergis176.

Relaksan Otot
Relevansi terhadap Fisioterapi
Relaksan otot rangka seringkali dibagi kedalam dua kategori: agen antispastisitas (seperti
baclofen dan dantrolene saat digunakan untuk kondisi seperti sklerosis multipel atau cerebral
palsy) dan agen antispasmodik (carisoprodil, chlorzoxazone, cyclobenzaprine, metaloxone,
orphenadrine, dan methocarbamol)177. Diazepam dan tizanidine dianggap masuk dalam kedua
kategori tersebut178. Relaksan otot ditujukan untuk penggunaan jangka pendek pada kondisi
muskuloskeletal dimana “kepadatan” otot merupakan salah satu penyebab nyeri. Kondisi yang
umum dimana relaksan otot rangka secara khusus diresepkan adalah nyeri punggung bawah dan
nyeri leher dengan komponen nyeri otot signifikan, fibromyalgia, tension headache, dan
sindroma nyeri miofascial lain yang telah terjadi sebelumnya 177,179,180. Walaupun tidak terdapat
studi yang telah dipublikasikan yang membandingkan kemanjuran relatif dari NSAID dan
relaksan otot, relaksan otot tampaknya memberikan beberapa keuntungan pada pasien dengan
nyeri punggung non spesifik. Faktanya, 35% dari pasien dengan nyeri punggung bawah non
spesifik diresepkan dengan relaksan otot dan 18,5% menerima terapi awal berupa relaksan
otot178. Perlu dicatat, penggunaan bersamaan dari relaksan otot dengan analgesik dapat
meningkatkan kemanjuran dari relaksan otot sehingga dosis efektif dapat diturunkan155.
Relaksan otot bekerja dengan menurunkan eksitabilitas otot dan dengan demikian
menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi oleh tegangan otot. Tidak seperti agen antispastisitas,
relaksan otot memberikan keuntungan dengan tidak mengganggu kekuatan otot. Sayangnya, efek
sedasi membatasi penggunaannya dan terkadang mengharuskan dokter untuk meresepkannya
hanya untuk penggunaan sebelum tidur. Cyclobenzaprine, carisoprodol, dantrolene, diazepam,
metaxalone, methocarbamol, dan tizanidine merupakan beberapa relaksan otot yang paling
sering diresepkan181.

Mekanisme Kerja dan Farmakokinetik


Relaksan otot merupakan kelompok pengobatan yang unik karena memiliki mekanisme dan
farmakokinetik yang berbeda-beda (lihat Tabel 52-8). Satu-satunya kesamaan yang umum
diantara obat-obatan tersebut adalah mereka semua bekerja dengan beberapa cara pada CNS,
dibandingkan pada tingkat serabut otot, untuk mengganggu sinyal nosiseptif dan karena itu
menyebabkan relaksasi otot rangka. Dantrolene merupakan salah satu pengecualian terhadap hal
ini karena obat-obatan ini bekerja pada tingkat serabut otot.

Sediaan, Dosis, Efek Samping yang Berhubungan, dan Interaksi Obat Relaksan Otot
Lihat Tabel 52-8.

Relaksan Otot dan Agen Antispastik


Baklofen (Kemstro, Gablofen, Lioresal)
Baklofen merupakan relaksan otot yang bekerja secara sentral yang terutama digunakan untuk
tatalaksana spastisitas dan memperbaiki mobilitas pada gangguan seperti sclerosis multipel dan
cerebral palsy, begitu juga dengan cedera korda spinalis. Obat ini merupakan agonis langsung
dari reseptor GABA, yang mana menghambat transmisi pre- dan post-sinaps pada korda
spinalis182. Walaupun telah digunakan tanpa merek sebagai relaksan otot untuk kondisi
muskuloskeletal, terdapat sedikit literatur yang mendukung hal ini 177,180,183. Meskipun dengan
hasil ini, bebrapa perusahaan asuransi mengharuskan baklofen untuk digunakan sebagai relaksan
otot lini pertama karena masalah biaya. Baklofen seringkali menjadi pilihan pertama untuk
spastisitas anggota gerak pada sklerosis multipel dan cedera korda spinalis; namun, kemanjuran
dalam spastisitas yang berasal dari otak masih belum dipahami secara pasti 184-186. Terlepas dari
keparahan atau asalnya, baclofen oral efektif untuk menurunkan tonus otot dan frekuensi spasme
dan dapat dibandingkan dengan agen antispasmodik oral lainnya. Pada awalnya, dosisnya
sebesar 5 hingga 30 mg/hari bergantung pada derajat dari spastisitas. Dosis maksimal bervariasi
dari 20 hingga 120 mg/hari bergantung pada adanya spastisitas ringan, menengah, atau berat 184.
Sebuah studi dengan 16 subjek menunjukkan bahwa kombinasi dari baclofen dan diazepam
dapat menghambat kemampuan keterampilan motorik dengan dengan mengganggu perubahan
neuroplastik yang terlibat dalam kinerja motorik. Karena itu, sangat penting untuk berhati-hati
pada pasien yang secara bersamaan menerima fisioterapi 187. Baklofen intratekal merupakan
pilihan praktis untuk pasien yang tidak toleran terhadap baklofen oral dari efek samping atau
gagal untuk berespon terhadap dosis oral maksimal pada hypertonia berat yang berasal dari
spinal dan supraspinal188-191. Pada pasien dengan paraplegia spastik herediter, baklofen intratekal
merupakan tatalaksana yang sesuai untuk memperbaiki kinerja gaya berjalan192.

Dantrolene
Dantrolene, yang secara struktural serupa dengan fenitoin 193, merupakan agen relaksan otot yang
bekerja secara langsung dimana dapat menyebabkan depresi dari terjadinya eksitasi-kontraksi
pada otot rangka. Saat berikatan dengan reseptor ryanodine, kalsium bebas dalam intraseluler
dan kalsium yang dilepaskan dari retikulum sarkoplasma pada otot rangka mengalami
penurunan, dengan demikian akan terjadi depresi dari kontraksi 194. Penggunaan dantrolene oral
pertama adalah untuk tatalaksana spastisitas195. Walaupun agen yang telah disetujui oleh FDA ini
diketahui memiliki efek yang baik dalam tatalaksana hipertermi maligna, namun obat ini juga
dapat digunakan untuk tatalaksana dari sindroma neuroleptik maligna, intoksikasi ekstasi, dan
spastisitas dari gangguan neuronal atas, termasuk cedera korda spinalis, sklerosis multipel, dan
cerebral palsy194,196. Untuk spastisitas, orang dewasa awalnya menerima kapsul oral dengan dosis
25 mg/hari dengan dosis ditingkatkan setiap 3 hingga 7 hari. Dosis maksimum tidak melebihi
100 mg per hari yang dibagi dalam empat dosis. Jika tidak terdapat efek setelah 45 hari, yang
paling baik adalah menghentikan penggunaan obat ini. Karena obat ini dimetabolisme oleh
hepar194, beberapa efek samping dari dantrolene termasuk kelemahan otot secara umum dan
hepatotoksisitas183,197. Sebuah studi retrospektif menemukan bahwa 1 dari 243 pasien mengalami
disfungsi hepar setelah minimal 4 minggu pemberian dantrolene oral dosis rendah. Dantrolene
dosis rendah mungkin dapat digunakan secara aman dengan pemantauan ketat fungsi hepar
secara klinis dan laboratoris197.

Carisoprodol (Soma)
Carisoprodol, merupakan relaksan otot yang umum diresepkan, terutama bekerja pada GABA,
reseptor kanal klorida198. Nama merek yang umum digunakan, Soma Compound, juga
mengandung 325 mg aspirin sebagai tambahan terhadap 200 mg carisoprodol sehingga
menambahkan efek analgesic dan antipiretik199. Dosis dewasa yang direkomendasikan adalah
250 hingga 350 mg tiga kali sehari dan pada saat tidur dengan durasi maksimal 2 hingga 3
minggu. Sebuah studi yang membandingkan carisoprodol dengan cyclobenzaprine untuk nyeri,
spasme, ketegangan, nyeri tekan, dan status fungsional otot tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan dalam terapi177. Walaupun bukan merupakan zat yang terkontrol,
perhatian pada penyalahgunaan carisoprodol tekah didiskusikan selama beberapa dekade
terakhir. Karena itu, sejumlah ulasan telah mendiskusikan kemungkinan penyalahgunaan obat
ini198,200-202. Carisoprodol baik secara struktural dan farmakologis serupa dengan metabolit
psikoaktifnya yaitu meprobamate, sebuah obat anxiolytic yang telah disetujui 199. Meprobamate,
termasuk dalam golongan carbamate, kemungkinan bertanggung jawab terhadap efek kronis
yang diobservasi dari carisoprodolm toleransi dan putus obat198,200-203. Antagonis barbiturate
mencetuskan sindroma putus obat yang ditunjukkan dalam sebuah studi yang menyarankan
adanya kemungkinan addiksi serupa dengan penggunaan senyawa benzodiazepine atau
barbiturate198. Carisoprodol dimetabolisme oleh hepar dan diekskresi oleh ginjal 199. Efek samping
obat ini mencakup sedasi, takikardi, sesak, pusing, rasa mengantuk, nyeri kepala, dan yang
jarang terjadi adalah reaksi idiosinkrasi setelah dosis pertama seperti kuadriplegia sementara dan
hilangnya pengelihatan sementara178,204. Karena terdapat tambahan aspirin, overdosis dari Soma
Compound umumnya juga dapat menyebabkan terjadinya toksisitas salisilat 199. Dokter harus
berhati-hati saat memberikan carisoprodol pada pasien dengan penurunan aktivitas CYP2C19
atau saat memberikan obat secara bersamaan yang dapat menghambat atau menginduksi
CYP2C19205. Sebuah studi dengan 15 relawan sehat yang tidak melakukan penyalahgunaan
menemukan bahwa carisoprodol menginduksi efek psikomotor secara minimal hingga tidak
terdapat efek psikomotor pada dosis terapeutik dan perasaan euforia yang lebih tinggi secara
signifikan pada dosis supraterapeutik206. Perlu dicatat bahwa, 1 studi dengan 10 subjek
menunjukkan bahwa saat carisoprodol diresepkan sendiri, tidak terdapat perbedaan dengan
plasebo yang menimbulkan “perasaan naik turun, termenung, menyukai obat-obatan”; namun,
penggunaan secara bersamaan dengan opioid pada 3 dari 10 pasien menghasilkan
penyalahgnunaan yang berhubungan dengan perasaan “sensasi kepuasan tubuh, menyukai obat-
obatan, dan keinginan untuk mengkonsumsi lagi”207. Sebuah laporan kasus mengobservasi
laporan dari euforia dan relaksasi dengan penggunaan carisoprodol dan tramadol secara
bersamaan208. Karena efek tersebut, hal ini terutama sangat penting untuk digunakan secara
berhati-hati pada orang usia tua177.

Cyclobenzaprine (Flexeril)
Cyclobenzaprine mungkin merupakan relaksan otot yang paling sering digunakan untuk nyeri
otot non spastik. Obat ini juga dapat digunakan untuk gangguan tidur pada fibromyalgia 181. Obat
ini merupakan tatalaksana yang bekerja secara sentral, dimana bekerja pada tingkat batang otak
dan korda spinalis dengan efek antagonis pada reseptor 5HT2 pada neuron serotonergik
descenden. Obat ini tidak memiliki efek perifer langsung pada otot yang terpengaruh 209. Sebagai
metabolit dari glukoronidasi, obat ini secara ekstensif dimetabolisme oleh hepar dan diekskresi
melalui ginjal. Obat ini memiliki waktu paruh yang panjang sekitar 18 jam dan selanjutnya dapat
bertambah hingga 4 hari saat diberikan tiga kali sehari. Untuk dosisnya, pelepasan langsung
tablet sebesar 5- hingga 10-mg tiga kali sehari, dan pelepasan berkepanjangan tablet sebesar 15-
hingga 30-mg per hari. Perlu dicatat, cyclobenzaprine secara struktural serupa dengan TCA dan
memiliki sifat antikolinergik yang poten; dengan demikian, harus melatih kewaspadaan dalam
mempertimbangkan penggunaan obat ini pada orang usia tua dan pada pasien dengan penyakit
jantung. Penggunaan secara bersamaan dengan MAOI merupakan kontraindikasi mutlak karena
kombinasi ini dapat menyebabkan krisi hiperpiretik yang fatal. Dosis awal dimulai dari 5 mg tiga
kali sehari sebagaimana dibutuhkan dan dapat dititrasi hingga 10 mg tiga kali sehari per efek
terapeutik atau efek samping. Pada pasien yang melaporkan adanya keuntungan terapeutik
namun juga melaporkan adanya sedasi, penulis senior (TPS) meminta pasien untuk
menggunakan dosis sebesar 2,5 mg selama dosis ini dapat mencapai keuntungan yang
diharapkan atau dapat membatasi cyclobenzaprine terhadap penggunaan waktu malam. Pada
pasien dengan gangguan hepar atau ginjal, cyclobenzaprine seharusnya awalnya diberikan hanya
satu kali per hari karena memiliki waktu paruh yang panjang. Selain itu, sebuah studi
menunjukkan bahwa kemanjuran yang setara dari dosis 5- dan 10-mg, dengan dosis yang lebih
kecil menunjukkan tingkat sedasi yang lebih rendah210. Efek samping yang paling umum terjadi
adalah rasa mengantuk, kelelahan, mulut kering, dan nyeri kepala, diikuti dengan efek samping
yang lebih jarang terjadi seperti kebingungan, pusing, nyeri perut, mual, diare, cemas, dan
pandangan kabur211,212.

Methocarbamol (Robaxin)
Methocarbamol secara struktural berhubungan dengan relaksan otot chlorphenesin dan
mephenesin dan ekspektoran guaifenesin. Obat relaksan otot ini bekerja dengan menekan refleks
polisinaptik secara sentral dan tidak memiliki efek langsung pada otot rangka. Sebagian besar
obat ini dimetabolisme oleh hepar dan diekskresi oleh ginjal dan sejumlah kecil diekskresikan
melalui feses212. Dosis yang direkomendasikan termasuk 1.500 mg empat kali sehari untuk 2
hingga 3 hari pertama, diikuti dengan 750 mg empat kali sehari177. Penggunaan secara bersamaan
antara methocarbamol dan paracetamol merupakan pendekatan yang umum digunakan. Sebuah
studi bioekuivalen farmakokinetik menunjukkan kesejajaran dalam konsentrasi dengan
kombinasi dari 500 mg parasetamol dan 400 mg methocarbamol pada relawan yang sehat 213.
Methocarbamol oral telah menunjukkan merupakan pilihan tatalaksana yang dapat ditoleransi
dengan baik untuk pasien dengan nyeri punggung bawah akut dan terutama berhubungan dengan
keterbatasan gerak214. Pada sebuah studi kohort, methocarbamol tidak memperbaiki kontrol nyeri
paska cedera akut akibat trauma dalam 3 hari pertama perawatan inap 215. Pemasukan jarum
kering yang dalam dari titik pencetus pada otot pterygoid lateral untuk nyeri myofascial dan
disfungsi temporomandibular ditemukan lebih manjur dibandingkan dengan tatalaksana
methocarbamol/paracetamol216. Efek samping dari methocarbamol termasuk urin berwarna
hitam, coklat, atau hijau, gangguan status mental, dan eksaserbasi dari gejala myasthenia
gravis177.

Diazepam (Valium)
Diazepam merupakan benzodiazepine yang bekerja baik sebagai antispastik dan antispasmodik.
Diazepam didistribusikan secara luas, dapat menembus CNS dan larut terhadap lemak. Saat
berikatan dengan reseptor GABAA, Diazepam menghasilkan peningkatan influks ion klorida,
yang akan menyebabkan hiperpolarisasi membran post sinaps yang memperberat depresi CNS.
Diazepam merupakan relaksan otot rangka yang disetujui untuk spasme otot rangka sebagai
tambahan dari terapi anxiolytic, antiepilepsi, dan efek hipnotik178,179,217-220. Sebuah studi
membandingkan diazepam dengan tizanidine untuk nyeri, spasme, tegangan, nyeri tekan, atau
status fungsional otot tidak menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam kemanjuran177.
Onset yang cepat dari kerja dan kemanjuran klinis yang berhubungan dengan resiko toleransi,
dependensi, penyalahgunaan, dan sindroma putus obat; karena itt, obat ini merupakan zat
terkontrol Jadwal IV. Penggunaan tanpa merk ditujukan untuk insomnia, sindroma kaki gelisah,
dan sedasi pre-/paska- sedasi. Dosis dewasa yang direkomendasikan adalah 2 hingga 10 mg tiga
hingga empat kali setiap harinya. Dosis maksimal dari diazepam pada orang dewasa bervariasi
hingga 30 mg setiap 8 jam. Obat ini dimetabolisme oleh enzim CTP450 hepar dan
diglukoronidasi untuk eliminasi bifasik dengan redistribusi ke dalam otot dan jaringan lemak.
Efek samping dari penggunaan diazepam jangka panjang termasuk amnesia, pusing, ataksia,
kebingungan, sedasi, takikardi, dan depresi. Pasien dengan gangguan kecemasan atau kejang
mungkin akan mengalami peningkatan frekuensi kecemasan atau kejang, secara berurutan. Efek
samping serius jarang terjadi dan seringkali tampak saat dikombinasikan dengan obat lain seperti
opiate atau alkohol. Diazepam paling baik digunakan dengan hati-hati pada orang usia tua,
karena terdapat peningkatan resiko gangguan kognitif, delirium, jatuh, dan fraktur. Overdosis
menyebabkan sedasi berat, hambatan fungsi motorik, keterlambatan kognitif, gagal napas, koma,
dan terkadang bahkan kematian217-220.

Metaxalone (Skelaxin)
Metaxalone merupakan agen antispasmodik yang bekerja secara sentral yang digunakan untuk
kondisi muskuloskeletal akut, nyeri seperti nyeri punggung. Mekanisme kerja pasti obat ini
belum diketahui. Dosis dewasa umumnya terdiri dari 800 mg tiga hingga empat kali per hari.
Obat ini tidak direkomendasikan untuk anak-anak dibawah usia 12 tahun. Obat ini
dimetabolisme oleh hepar dan diekskresi melalui ginjal dalam bentuk metabolit. Sangat
disarankan untuk memantau fungsi hepar setelah inisiasi dari agen ini. Efek samping yang umum
terjadi termasuk rasa mengantuk, pusing, kecemasan, mual, muntah, dan nyeri kepala. Berikut ini
efek samping yang serius namun jarang terjadi yang telah dilaporkan: anemia hemolitik,
leukopenia, jaundice, dan reaksi hipersensitivitas. Menariknya, metaxalone merupakan
oxazolidinone yang secara structural serupa dengan MAOI reversiblel; karena itu, terdapat
kemungkinan untuk terjadinya resiko sindroma serotonin. Terdapat beberapa laporan kasus baru-
baru ini yang melaporkan adanya sindroma serotonin sebagai efek samping dari overdosis
metaxalone sendiri atau dengan pengobatan proserotonergik lainnya 221,222. Jarang terjadi, pasien
dapat mengalami kram otot paradoksal. Obat ini kontraindikasi untuk digunakan pada gangguan
ginjal atau hepar berat117,211,212.

Orphenadrine (Norflex)
Orphenadrine merupakan relaksan otot yang digunakan untuk tatalaksana spasme otot yang
berkaitan dengan kondisi nyeri muskuloskeletal akut. Sebuah studi klinis mengungkapkan
beberapa kemanjuran terapeutik untuk fibromyalgia212,223. Struktur kimianya serupa dengan
diphenhydramine, dalam hal obat ini memiliki sifat antikolinergik yang lebih kuat dan sifat
sedasi yang lebih rendah saat dibandingkan. Mekanisme kerja pasti dari obat ini masih belum
diketahui; namun, kami mengetahui bahwa obat ini memiliki efek antikolinergik yang bekerja
secara sentral tanpa adanya efek langsung pada otot rangka. Obat ini juga memiliki beberapa
sifat euforigenik dan analgesic. Obat ini sebagian besar diekskresikan melalui ginjal. Dosis
dewasa yang direkomendasikan khususnya sebesar 100 mg diberikan secara oral dua kali per
hari atau 60 mg intravena atau intramuskuler dua kali per hari karena berkaitan dengan waktu
paruhnya yang cukup panjang. Efek samping yang umum terjadi termasuk rasa mengantuk dan
pusing, diikuti dengan efek CNS lainnya seperti halusinasi, agitasi, dan euforia. Karena pasien
dapat mengalami palpitasi atau takikardi, sangat penting untuk menghindari penggunaannya
pada pasien dengan CHF dan aritmia. Karena sifat antikolinergiknya, pasien dapat mengalami
mulut kering, mual, konstipasi, retensi urin, takikardi, pandangan kabur, dan gangguan mental;
karena itu, sangat disarankan untuk berhati-hati menggunakan obat ini pada pasien usia tua.
Kasus yang jarang terjadi dengan anemia aplastik juga telah dilaporkan178,211,212.

Chlorzoxazone (Parafon Forte)


Chlorzoxazone, relaksan otot antispasmodik yang bekerja secara sentral yang telah disetujui,
digunakan pada kondisi nyeri muskuloskeletal akut dan rasa tidak nyaman yang berhubungan
dengan spasme otot. Agen ini merupakan aktivator kanal kalium kecil. Karena mekanisme target
ini, chlorzoxazone juga dapat digunakan untuk tatalaksana alkoholisme 224. Nama merk Parafon
Forte merupakan kombinasi dari chlorzoxazone dan acetaminophen. Sebuah studi yang
membandingkan tizanidine dengan chlorzoxazone (Parafon Forte) tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan pada kemanjuran untuk luaran dari nyeri, spasme, nyeri tekan, dan
status fungsional otot225. Dosis umum untuk orang dewasa adalah 250 hingga 750 mg tiga hingga
empat kali per harinya. Efek samping yang dapat dialami pasien termasuk pusing, kepala terasa
ringan, malaise, urin kemerahan atau oranye, iritasi saluran cerna, dan yang jarang terjadi
perdarahan saluran cerna177.

Antagonis Reseptor N-Methyl-ᴅ-Aspartate


Hubungan terhadap Fisioterapi
Nyeri kronik seperti nyeri neuropatik dapat menyebabkan gangguan dan penurunan kualitas
hidup. Cedera jaringan dan saraf meningkatkan pelepasan dari glutamat, yang mana berikatan
pada reseptor N-Methyl-ᴅ-Aspartate (NMDA). Saat berikatan dengan reseptor NMDA di korda
spinalis, terutama pada kornu dorsalis, obat ini akan mencetuskan sensitisasi sentral dan sensasi
nyeri. Antagonis reseptor NMDA (juga dikenal dengan antagonis glutamatergik NMDA), seperti
ketamine, dextromethorphan, atau memantine, bekerja untuk menghambat jalur ini. Nyeri
neuropatik masih menjadi tantangan terapeutik untuk ditatalaksana karena tatalaksana analgesik
yang tersedia mungkin tidak efektif atau memiliki efek samping yang serius 226. Antagonis
reseptor NMDA merupakan obat prospektif untuk menurunkan nyeri neuropatik persisten pada
kondisi seperti PHN, neuropati perifer diabetik yang nyeri, nyeri neuropatik yang berhubungan
dengan sklerosis multipel, dan nyeri kanker neuropatik226-231. Seperti yang tampak pada hewan
coba, antagonis reseptor NMDA dapat menurunkan hyperalgesia dan allodynia yang
berhubungan dengan cedera saraf atau neuropati perifer diabetik 226. Walaupun sejumlah studi
laboratoris yang menunjukkan kemanjuran dari agen tersebut untuk nyeri neuropatik, studi klinis
menunjukkan keterbatasan efek dari antagonis NMDA untuk nyeri neuropatik kronik pada
subpopulasi dari pasien226. Berdasarkan pada studi tahun 2003, panduan dosis untuk nyeri
myofascial dan neuropatik masih belum dikembangkan dan masih dianggap tidak bermerek.
Namun, terdapat berbagai macam tatalaksana tidak bermerek untuk nyeri myofascial neuropatik
termasuk antagonis NMDA, gabapentin, dan TCA. Kemungkinan penggunaan lainnya termasuk
analgesia preemptive oral/epidural sebelum dilakukan operasi dan pemberian secara bersamaan
dengan opioid untuk memperbaiki penurunan nyeri paska operasi232-235. Sebagai tambahan
terhadap efek analgesic independen tersebut’ antagonis reseptor NMDA tersebut juga bekerja
secara sinergis dengan opioid dan dapat mencegah toleransi terhadap opioid236. Dua opioid
(seperti methadone dan dextropropoxyphene) juga memiliki sifat antagonistic NMDA. Agen
tersebut didiskusikan dalam bagian opioid dalam bab ini. Antagonis reseptor NMDA lainnya
juga tersedia, namun penggunaannya dibatasi secara signifikan oleh karena efek sampingnya.
Beberapa uji coba antagonis reseptor NMDA telah dihentikan karena efek samping
psikotomimetik juga dengan ataksia dan gangguan koordinasi237. Hal ini telah menyebabkan
berkembangnya penghambat kanal afinitas menengah (seperti, glycine B dan antagonis selektif
NR2B), yang mana akan menghambat reseptor NMDA perifer secara selektif 238. Generasi baru
dari obat ini telah menunjukkan bahwa memiliki profil efek samping yang lebih menguntungkan
pada hewan coba.
Ketamine (Ketalar)
Ketamin hidroklorida merupakan antagonis reseptor NMDA non kompetitif yang terutama
digunakan pada praktek dokter hewan sebagai obat penenang. Indikasi untuk ketamine termasuk
induksi IV untuk intubasi pada pasien sepsis, penyakit jalan napas reaktif, induksi pada anak-
anak dengan kondisi kesehatan yang buruk seperti penyakit jantung kongenital, luka bakar, dan
yang berhubungan dengan prosedur anestesi lokal atau regional 239. Walaupun hasilnya positif,
studi lebih lanjut masih dibutuhkan untuk penggunaannya. Obat ini menyebabkan kondisi
kesadaran yang disebut dengan anestesi disosiatif. Ketamine dapat digunakan untuk berbagai
macam penggunaan karena memiliki efek neuroprotektif, anti inflamasi, dan anti tumor239-241.
Obat ini juga berinteraksi dengan opioid, monoamine, dan reseptor kolinergik 240. Ketamine
menghasilkan sejumlah efek seperti sedasi, analgesia somatic, katapleksi, bronkodilatasi, dan
stimulasi sistem saraf simpatis239. Hanya terdapat sedikit studi saat ini yang menggunakan
ketamine tidak bermerek yang diberikan secara topical atau intravena untuk tatalaksana kondisi
nyeri kronik seperti migraine akut dan kronis, nyeri tembus non kanker, neuropati akibat
kemoterapi, CRPS, fibromyalgia, iskemia anggota gerak yang nyeri, cedera saraf perifer akibat
trauma, nyeri anggota gerak paska amputasi, PHN, cedera korda spinalis, nyeri
temporomandibular, nyeri neuropatik trigeminal, dan nyeri akibat pukulan 239,242-245. Ketamine
ditemukan bahwa dapat menghasilkan analgesi yang kuat pada kondisi nyeri neuropatik
kemungkinan karena efek antagonis pada reseptor NMDA 239,246. Beberapa jumlah studi yang
terbatas menunjukkan adanya penurunan rasa nyeri dari nyeri kronik yang bertahan hingga
beberapa bulan paska infus ketamine IV jangka panjang 244. Walaupun tidak diindikasikan secara
resmi, terdapat banyak literatur yang menunjukkan keberhasilan penggunaan obat ini dalam
RSD/CRPS242,247-250.
Ketamine dapat berpotensi meredakan nyeri karena CRPS, secara umum tanpa mencetuskan
depresi napas dan/atau sedasi berkepanjangan. Beberapa studi menemukan bahwa infus ketamine
cukup efektif untuk tatalaksana dari CRPS247-249,251-255, dan studi lain telah menemukan bahwa
dapat menghasilkan efek antidepresan. Obat ini secara umum ditemukan bahwa relatif aman
untuk digunakan. Ketamine telah dipelajari baik pada kondisi rawat jalan menggunakan dosis
subanestesi dan yang kedua dengan dosis yang lebih rendah, pada kondisi rawat inap
menggunakan dosis anestesi. Namun, sebuah meta analisis mengenai antagonis reseptor NMDA
untuk tatalaksana nyeri neuropatik, yang mencakup ulasan dari efek ketamine IV untuk CRPS,
ditemukan bahwa tidak terdapat efek signifikan pada penurunan nyeri yang ditunjukkan 256. Studi
ini menyimpulkan bahwa “belum ada kesimpulan yang dapat dibuat mengenai kemanjuran dari
antagonis reseptor NMDA pada nyeri neuropatik. Uji coba teracak terkontrol (RCT) tambahan
pada kelompok pasien dengan nyeri yang homogeny dibutuhkan untuk mencari potensi
terapeutik dari antagonis reseptor NMDA pada nyeri neuropatik.” Sebuah meta analisis yang
dipublikasikan pada tahun 2015 dalam panduan jurnal tatalaksana nyeri juga menyimpulkan
bahwa saat ini hanya terdapat bukti lemah yang mendukung kemanjuran penggunaan ketamine
untuk CRPS, namun belum terdapat dasar bukti yang kuat untuk studi definitif257.
Tidak terdapat panduan penentuan dosis yang ditentukan untuk penggunaan analgesic, namun
dosisnya berkisar antara 6,5 hingga 13 mg/kg IM diberikan selama 12 hingga 25 menit dari
anestesi operasi. Sebuah studi menggunakan dosis sebesar 0,4 mg/kg IM untuk tatalaksana
neuralgia trigeminal258. Ketamine dosis rendah direkomendasikan untuk tatalaksana nyeri pada
unit gawat darurat sebagai tambahan terhadap morfin. Dosis untuk terapi ini mencakup bolus
awal sebesar 0,2 hingga 0,3 mg/kg IV selama 10 menit dengan selanjutnya diikuti infus sebesar
0,1 hingga 0,3 mg/kg/jam.
Ketamine diklasifikasikan sebagai zat terkontrol Jadwal III karena efek psikotomimetiknya dapat
dibandingkan dengan PCP inhaler. Selain itu, obat ini memiliki potensi untuk menyebabkan
addiksi243.

Dextromethorphan
Dextromethorphan telah menunjukkan bahwa memiliki efek anti inflamasi secara in vivo 259. Obat
ini menurunkan nyeri akut pada dosis sebesar 30 hingga 90 mg, dibagi setiap 4 hingga 6 jam (5
hingga 10 mg/ml), dan menurunkan kebutuhan analgesik pada pasien paska operasi tanpa efek
samping mayor, namun memiliki efek analgesik suboptimal pada tatalaksana nyeri kronik260.
Terdapat beberapa bukti preklinik dari sifat neuroprotektif dalam kondisi perioperatif cedera
otak, sklerosis lateral amiotropik, dan neurotoksisitas methotrexate245,261,262. Dextromethorphan
telah menunjukkan bahwa dapat membantu dalam tatalaksana neuropati perifer diabetik dan
PHN228. Agen ini tidak memiliki efek pada kebutuhan opioid untuk kontrol nyeri akut pada anak-
anak yang dirawat di unit perawatan intensif 263. Penggunaan dextromethorphan bersamaan
dengan oxycodone dapat meningkatkan efek anti allodynia daru ixycodone264. Tidak diketahui
adanya antidote untuk toksisitas dextromethorphan261.

Amantadine
Amantadine merupakan agen antiviral dengan sifat antagonis reseptor NMDA. Obat ini juga
digunakan pada penyakit Parkinson dan cedera otak akibat trauma (TBI). Amantadine oral tidak
berhasil sebagai agen yang digunakan untuk mencegah sindroma nyeri paska mastektomi karena
efek samping yang tidak dapat ditoleransi dan penurunan nyeri yang tidak adekuat untuk nyeri
neuropatik76,265. Sebuah studi mendemonstrasikan bahwa infus intravena dengan amantadine
dapat menurunkan intensitas dari nyeri neuropatik paska operasi yang terus menerus pada pasien
dengan kanker239.
Memantine
Memantine merupakan antagonis reseptor NMDA dengan afinitas sedang. Obat ini diindikasikan
untuk penyakit Alzheimer sedang. Terdapat beberapa bukti dari laporan kasus dan uji coba
terkontrol kecil pada penggunaannya dalam nyeri neuropatik228,266-271. Contohnya, memantine
ditunjukkan bahwa dapat menurunkan nyeri dan kemungkinan mencegah sindroma nyeri anggota
gerak paska amputasi268,269,271,272. Sebuah studi RCT mengkonfirmasi bahwa memantine dapat
menjadi terapi profilaksis baru yang diberikan sebelum mastektomi untuk menghambat
perkembangan nyeri neuropatik227. Studi terbaru lainnya mendemonstrasikan bahwa keuntungan
terapeutik dari pemberian memantine sebelum mastektomi dapat mencegah adanya nyeri paska
operasi dan gejala nyeri yang diakibatkan oleh kemoterapi273.

Obat-obatan Anti Inflamasi Non Steroid


Hubungan dengan Fisioterapi
NSAID oral seringkali digunakan pada kondisi medis pasien rawat jalan dengan keluhan
muskuloskeletal. Pada dosis rendah, NSAID menunjukkan sifat utama sebagai analgesik,
sementara pada dosis tiggi, NSAID memiliki sifat anti inflamasi dan analgesik, secara umum
yanpa menyebabkan sedasi. Semua NSAID memiliki mekanisme kerja yang sama dan profil efek
samping yang secara umum sama, namun mereka juga memiliki karakteristik individu yang
membedakan masing-masing jenis obat tersebut. Tidak ada satu NSAID yang ditunjukkan
memiliki efek yang lebih baik dalam hal kemanjuran dibandingkan dengan yang lainnya.
Idealnya, fisioterapis seharusnya mengenal minimal satu agen dari setiap kelas NSAID. Hal ini
akan membantu dokter untuk dengan nyaman memindahkan pasien dari agen NSAID kelas
tertentu ke kelas NSAID yang berbeda. Strategi ini dapat dilakukan jika pasien tidak berespon
dan/atau memiliki efek samping dengan penggunaan NSAID dari satu kelas tertentu.

Mmekanisme Kerja dan Farmakokinetik


NSAID mengeluarkan efek utamanya dengan menghambat sintesis dari prostaglandin dan
senyawa lain yang berkaitan dengan inflamasi (seperti, thromboxane dan leukotrien). Empat sifat
utama dari NSAID adalah analgesia untuk nyeri ringan hingga sedang, efek anti inflamasi, efek
anti piretik, dan penghambat platelet reversibel. Efek anti inflamasi juga berkontribusi terhadap
efek analgesia dengan menghambat sensitisasi nosiseptor yang dimediasi oleh inflamasi.
NSAID oral diabsorbsi di saluran cerna bagian atas. Sejumlah besar persentase dari obat
berikatan dengan protein plasma, sementara bagian yang tidak terikat dengan protein
mengeluarkan efek farmakologis. NSAID tersedia dalam sediaan kerja cepat dan kerja lambat
dengan waktu paruh yang berkisar dari 30 hingga 50 jam pada kondisi tenang. Konsekuensi dari
terkumpulnya agen jangka panjang (seperti, oxaprozin (Daypro) dan piroxicam (Feldene)) di
dalam tubuh manusia masih belum jelas, namun hingga saat ini, tidak terdapat laporan mengenai
adanya efek samping signifikan tambahan yang melebihi efek samping yang umum terlihat pada
penggunaan NSAID274.

Sediaan dan Dosis


Tabel 52-9 menunjukkan klasifikasi dari NSAID berdasarkan pada struktur kimianya. Informasi
tambahan pada kelas individu diuraikan sebagai berikut ini:

 Salisilat: Kategori ini mencakup aspirin dan tiga salisilat tidak terasetilasi. Dibandingkan
dengan NSAID lainnya, salisilat tidak terasetilasi kurang poten namun menyebabkan
komplikasi saluran cerna yang lebih sedikit dan hambatan platelet yang lebih sedikit.
Masih belum jelas apakah terdapat satu salisilat tidak terasetilasi tertentu dalam kategori
ini yang lebih baik dibandingkan dengan dua lainnya.
 Asam propionate: Ini merupakan kelas NSAID yang paling popular karena ketersediaan
OTC dari ibuprofen dan naproxen dan pemasaran langsung dari agen terhadap publik
secara umum.
 Asam asetat: Kelas ini merupakan yang paling poten dan paling berpotensi menyebabkan
toksisitas dari semua NSAID. Kategori ini mencakup obat-obatan yang dapat diberikan
melalui jalur intramuskuler dan parenteral (seperti, ketorolac, indometachin, diklofenak,
etodolac)
o Kelompok NSAID ini terdiri dari dua subkelas, asam asetat pyrrole
(indometachin, sulindac, tolmetin, ketorolac, etodolac) dan asam fenilasetat
(diklofenak, bromfenac)
 Fenamate: Meclofenamate dan asam mefenamat tidak memberikan adanya keuntungan
dibandingkan dengan NSAID lainnya namun dapat menyebabkan toksisitas saluran cerna
dan nyeri dysmenorrhea yang signifikan, secara berurutan.
 Oxicam: Hanya piroxicam dan meloxicam yang saat ini tersedia di Amerika Serikat.
Piroxicam memiliki dosis satu kali sehari yang nyaman namun berhubungan dengan
reaksi dermatologis yang berat seperti dermatitis eksfoliatif dan pemfigus vulgaris.
Resiko efek samping lebih rendah pada penggunaan meloxicam. Obat ini disetujui oleh
FDA pada tahun 2004 untuk digunakan dalam tatalaksana nyeri yang disebabkan oleh
osteoarthritis.
 Naphthyl alkanone: Satu-satunya NSAID dalam kelas ini yang tersedia secara klinis
adalah nabumetone. Sediaan ini merupakan prodrug, sebagian besar dikenal sebagai
struktur kimia yang tidak asam, serupa dengan naproxen namun tidak seperti NSAID lain
yang digunakan secara klinis275.

Efek Samping dan Interaksi Obat yang Berhubungan


Individu yang secara rutin menggunakan NSAID memiliki resiko hingga lima kali lipat untuk
mengalami komplikasi saluran cerna276. NSAID bekerja secara langsung untuk meningkatkan
sekresi asam lambung dan secara tidak langsung untuk menghambat prostaglandin, yang mana
melindungi lapisan saluran cerna. Efek langsung bervariasi diantara NSAID dan hanya terjadi
dengan pemberian oral. Sebaliknya, efek langsung masih konstan walaupun tinkat pemberiannya
yang sering. Dan semua efek samping mengalami peningkatan pada pemberian NSAID dengan
dosis yang lebih tinggi. Pasien usia tua dan pasien dengan riwayat penyakit ulkus peptikum
terutama rentan untuk mengalami ketidaknyamanan epigastrik dan ulserasi. Studi terbaru
mengindikasikan bahwa ketorolac, piroxicam, diikuti dengan indometachin memiliki resiko
gangguan saluran cerna yang paling tinggi pada dosis rendah dan ibuprofen memiliki resiko yang
paling rendah277. Teori dibalik resiko relatif gangguan saluran cerna adalah bahwa NSAID
tertentu sebagian besar metabolit aktifnya melalui ekskresi bilier dan hal ini, akan menyebabkan
lamanya kontak mukosa.
Efek samping yang paling umum, perdarahan saluran cerna dan masalah kardiovaskuler, diawali
hampir langsung setelah memulai pemberian NSAID pada pasien, terlepas dari apakah
pemberian itu dalam jangka waktu pendek maupun jangka waktu panjang 278. Telah menjadi
persetujuan secara umum bahwa untuk menurunkan resiko komplikasi saluran cerna, disarankan
untuk mengkonsumsi NSAID bersamaan dengan makanan dan memilih sediaan dengan lapisan
enterik, jika tersedia. Namun sebuah studi pada tahun 2015 di British Journal of Pharmacology
mengenai instruksi NSAID menunjukkan bahwa tmax (tmax adalah waktu untuk mencapai
konsentrasi maksimal), saat dikonsumsi bersamaan dengan makanan, lebih panjang
dibandingkan dengan tmax saat berpuasa. Studi menyimpulkan bahwa mengkonsumsi analgesik
dengan makanan dapat membuat obat tersebut lebih kurang efektif namun harus diakui perlu
dilakukan studi lebih lanjut, karena mengkonsumsi NSAID dengan makanan tidak menunjukkan
adanya perburukan resiko saluran cerna 279. Pengobatan profilaksis dapat diberikan jika pasien
mengkonsumsi bersamaan dengan kortikosteroid dan warfarin atau riwayat perdarahan saluran
cerna atau penyakit ulkus peptikum (eTabel 52-4). Kelas pengobatan profilaksis yang tersedia
termasuk antasida, bloker H2, misoprostol, penghambat pompa proton (PPI), dan sukralfat
(eTabel 52-4). Hanya misoprostol dan PPI yang disetujui oleh FDA untuk pencegahan ulkus
gaster, dan bloker H2 menunjukkan bahwa tidak efektif dalam pengguna NSAID jangka
panjang280. Misoprostol lebih direkomendasikan dibandingkan dengan PPI pada pasien tanpa
infeksi H. pylori aktif281. Idealnya, pengobatan profilaksis terpilih sebaiknya dikonsumsi selama
durasi terapi NSAID untuk memberikan perlindungan maksimal.
Area saluran cerna yang lebih jarang mengalami efek samping termasuk esophagus, bagian usus
halus selain duodenum, kolon, dan hepar. Efek samping esofagus termasuk esofagitis dan striktur
esofagus jinak. Penyakit iritasi saluran cerna dapat tampak saat usus halus dan kolon mengalami
ulkus, erosi, dan striktur yang menyerupai jaring. Enteropati NSAID dipercaya tidak terjadi
melalui mekanisme asam dank arena itu tidak dicegah dengan antasida, bloker H2, atau PPI.
Sebuah studi besar pada tahun 2005 menemukan bahwa NSAID merupakan penyebab utama
kedua dari cedera hepar yang disebabkan oleh obat. Walaupun demikian, hepatotoksisitas jarang
terjadi kecuali pada individu dengan riwayat penyakit hepar 282. Peningkatan enzim hepar yang
signifikan secara klinis terjadi pada pemberian NSAID tertentum terutama diklofenak. Saat
mengkonsumsi NSAID tersebut, LFT direkomendasikan untuk dilakukan selama perjalanan
tatalaksana. Namun saat ini masih belum terdapat jadwal pemeriksaan fungsi hepar yang
direkomendasikan.
Pada sebagian besar akibat studi mengenai coxib (lihat dibawah), semua NSAID saat ini
membawa peringatan kotak hitam yang memperingatkan mengenai kemungkinan efek samping
kardiovaskuler dan saluran cerna. Hal ini akan didiskusikan lebih rinci dalam bagian coxib
dibawah.
Resiko untuk terjadinya gagal ginjal meningkat seiring dengan jangka waktu penggunaan
NSAID yang semakin panjang. Individu yang sebelumnya telah memiliki penyakit ginjal atau
kondisi medis komorbid yang mengganggu aliran darah ginjal (seperti, CHF dan hipovolemia)
rentan untuk mengalami toksisitas ginjal akibat NSAID. Gagal ginjal akut, sindroma nefrotik,
dan nefritis interstisial merupakan beberapa contoh toksisitas ginjal. Sebelumnya telah
disarankan namun belum terbukti bahwa sulindac memiliki efek yang lebih rendah terhadap
ginjal dibandingkan dengan NSAID lainnya283.
Terdapat bukti yang sedikit bahwa NSAID dan sejenisnya dapat menyebabkan tendinopati.
Banyak dokter masuk menatalaksana tendinopati sebagaimana menatalaksana tendonitis,
menyebabkan kemungkinan terjadinya masalah. Terdapat beberapa bukti pada hewan dalam
studi tikus yang menunjukkan bahwa NSAID menurunkan penyembuhan tendon, terutama pada
tendon supraspinatus. Selain itu, ditemukan bahwa ibuprofen merupakan NSAID yang paling
berkaitan dengan berkembangnya tendinopati284.
Dari semua efek samping yang didiskusikan diatas, jumlah penelitian yang signifikan telah
didedikasikan untuk menemukan alternatif terhadap terapi NSAID tradisional. Usaha ini
menghasilkan pada satu produk, penghambat COX-II celecoxib, yang masih tersedia di pasaran,
dan akan dipelajari lebih lanjut pada bagian selanjutnya. Lebih banyak pilihan lagi yang saat ini
sedang dilakukan pemeriksaan. Mereka termasuk penghambat COX ganda dan 5-lipooksigenase
(5-LOX), lipoksin sintetis, NSAID yang melepaskan oksida nitrat, dan NSAID yang melepaskan
hidrogen sulfide285. Mekanisme kerja untuk obat tersebut melibatkan antara kombinasi NSAID
saat ini dnegan bagian (seperti oksida nitrat dan hydrogen sulfide) yang melepaskan mediator
pelindung saluran cerna atau menarget proses baru dari proses inflamasi.
Reaksi alergi NSAID yang sebenarnya terjadi pada 1% dari populasi dan berkisar dari ruam kulit
sederhana dan rhinitis hingga terjadinya anafilaksis, NSAID sebaiknya tidak digunakan pada
pasien yang alergi terhadap aspirin.
Penghambat Siklooksigenase-II
Hubungan dengan Fisioterapi
Pada akhir tahun 1990an, FDA menyetujui penggunaan penghambat COX-II (juga dikenal
sebagai, celecoxib) sebagai alternative terhadap NSAID. Coxib secara umum dianggap dapat
memberikan keuntungan dengan toksisitas saluran cerna yang lebih rendah dibandingkan dengan
NSAID tradisional. Sifat inilah yang membuat celecoxib menjadi obat yang paling sering
diresepkan pada pengobatan baru dalam tahun pertama setelah diperkenalkan pada tahun 1999.
Celecoxib, satu-satunya obat golongan coxib yang saat ini tersedia di Amerika Serikat, telah
disetuujui oleh FDA untuk tatalaksana nyeri yang berhubungan dengan rematik dan osteoarthritis
dan nyeri akut. Celecoxib terutama digunakan pada individu yang membutuhkan anti inflamasi
oral namun sedang menjalani terapi antikoagulasi secara bersamaan, yang memiliki resiko tinggi
untuk mengalami efek samping saluran cerna, atau akan menjalani prosedur injeksi tertentu
seperti injeksi spinal yang dipandu oleh fluoroskopi atau prosedur injeksi yang masuk ke dalam
struktur sendim dimana resiko untuk terjadi perdarahan yang tidak disengaja sehingga
penggunaan NSAID tradisional berpotensi membahayakan286. Selain itu juga terdapat
ketertarikan yang berkelanjutan pada coxib karena ekspresi COX-II terlibat dalam kanker kolon
dan penyakit Alzheimer287.

Mekanisme Kerja dan Farmakokinetik


Coxib menurunkan sintesis prostaglandin dengan menghambat satu isoform dari enzim
siklooksigenase secara selektif dibadningkan dengan lainnya – yang disebut dnegan COX-II
dibandingkan degan COX-1. Mekanisme ini berlawanan dengan NSAID, yang mana
menghambat COX -I dan COX-II dengan seimbang. COX-I secara konstitutif diekspresikan pada
semua jaringan manusia termasuk saluran cerna, Hanya sedikit kadar COX-II yang secara
konstitutif diekspresikan pada otak, ginjal, tulang, dan jaringan reproduksi wanita; namun,
ekspresi dari COX-II dapat diinduksi pada lokasi dari inflamasi. Dengan menjaga COX-I, coxib
mencapai efek anti inflamasi dan analgesik yang setara, dengan efek toksisitas saluran cerna
yang lebih sedikit. Kurangnya efek pada sintesis thromboxane menjelaskan tidak adanya efek
antiplatelet.
Makanan tidak memiliki efek yang signifikan baik pada konsentrasi plasma puncak atau absorbsi
pada dosis terapeutik. Namun, dosis yang lebih tinggi (≥400 BID) seharusnya, dikonsumsi
bersamaan dengan makanan untuk meningkatkan absorbsi.

Sediaan dan Dosis


Celecoxib tersedia dalam sediaan kapsul sebesar 100, 200, dan 400 mg. Obat ini saat ini hanya
disetujui untuk indikasi sebagaimana ditunjukkan dalam eTabel 52-5. Dosis efektif terendah
yang seharusnya digunakan, terutama pada pasien dengan HTN atau CHF karena coxib dapat
menyebabkan retensi cairan yang dimediasi oleh prostaglandin ginjal. Pada pasien dengan
gangguan hepar sedang, dosis sebaiknya diturunkan sekitar 50%.

Efek Samping dan Interaksi Obat yang Berhubungan


Uji coba klinis menemukan bahwa coxib dapat menyebabkan lebih sedikit gastropati
dibandingkan dengan NSAID tradisional; uji coba yang paling penting mencakup studi
TARGET (Therapeutic Arthritis Research and Gastrointestinal Event Trial) dan CLASS
(Celebrex Long-Term Arthritis Safety Study)288-290. Namun, terdapat perkembangan bukti bahwa
coxib mengganggu penyembuhan dari mukosa lambung yang rusak dan dapat mempengaruhi
usus halus dan usus besar secara negatif291-293. Temuan ini mengarah pada pertanyaan lebih jauh
mengenai apakah benar-benar terdapat keuntungan berupa toksisitas saluran cerna yang lebih
rendah dari coxib dibandingkan dengan NSAID tradisional.
FDA menghasilkan peringatan kotak hitam untuk Celebrex, untuk peningkatan resiko mengalami
gangguan kardiovaskuler termasuk infark miokard dan stroke. Coxib dapat menyebabkann resiko
efek samping kardiovaskuler yang bergantung pada dosis, termasuk infark miokard dan
stroke294,295. Rofecoxib telah ditarik setelah selesainya studi APPROVe selama 3 tahun, yang
mana menunjukkan bahwa konsumsi harian sebesar 25 mg dari jenis coxib ini akan
menggandakan resiko terjadinya thrombotik296. Selain itu juga menunjukkan bahwa dengan
menggandakan dosis dari celecoxib akan meningkatkan efek samping kardiovaskuler (rasio
resiko 3,4; interval kepercayaan 95%, 1,5 hingga 7,9) dengan pemberian Celebrex pada dosis
yang lebih dari 200 mg QD (2,6; CI 95%, 1,1 hingga 6,1) 177,297. Patofisiologi yang mendasari
egek ini adalah bahwa coxib menghambat produksi endotel vaskuler dari prostaglandin I2, salah
satu jenis lemak yang bekerja berlawanan dengan thromboxane A 2, untuk mencegah agregasi
platelet yang menyebabkan atherosklerosis dan menyebabkan peningkatan tekanan darah yang
serupa dengan yang terjadi pada NSAID298. Tidak diketahui apakah aspirin kardioprotektif atau
diet rendah garam dapat mengurangi resiko kardiovaskuler akibat coxib299.
Masalah peningkatan resiko kardiovaskuler ini menyebabkan adanya peringatan kotak hitam
yang saat ini menjadi bagian dalam paket celecoxib dan semua NSAID sebagaimana diurakan
berikut ini:

 Resiko Kardiovaskuler
o NSAID dan celecoxib dapat menyebabkan peningkatan resiko kejadian
thrombotik kardiovaskuler, infark miokard, dan stroke yang serius, dan dapat
menjadi fatal. Resiko ini dapat meningkat dengan durasi penggunaan. Pasien
dengan penyakit kardiovaskuler atau faktor resiko mengalami penyakit
kardiovaskuler memiliki resiko yang lebih besar.
o NSAID dan celecoxib kontraindikasi untuk diberikan sebagai tatalaksana nyeri
perioperatif pada kondisi operasi graft bypass arteri koroner (CABG).
 Resiko Saluran Cerna
o NSAID dan celecoxib menyebabkan peningkatan resiko mengalami efek samping
saluran cerna yang serius termasuk perdarahan, ulserasi, dan perforasi dari
lambung atau usus, yang mana dapat berakibat fatal. Kejadian ini dapat terjadi
kapanpun saat penggunaan dan tanpa gejala penanda.
o Pasien usia tua memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami kejadian efek
samping saluran cerna.
NSAID tradisional dan coxib memiliki potensi yang sama untuk menyebabkan toksisitas ginjal
(seperti, retensi cairan yang menyebabkan terjadinya edema, HTN ginjal, nefritis interstisial, dan
nekrosis papiler) 300,301. Pada pasien usia tua, dengan insufisiensi ginjal atau kegagalan hepar, dan
individu yang beresiko untuk mengalami gagal ginjal sebaiknya menghindari coxib302.
INR rata-rata dapat meningkat hingga 10% untuk sekelompok pasien yang menerima warfarin
dan coxib secara bersamaan, dan terdapat sejumlah laporan peningkatan INR yang berhubungan
dengan kejadian perdarahan. Namun, hal ini selanjutnya ditentang oleh hasil dari sebuah uji coba
teracak terkontrol untuk menilai efek pada INR dari celecoxib pada 15 pasien yang menerima
terapi warfarin303. Namun, pasien dengan terapi antikoagulan seharusnya dilakukan pemantauan
INR saat coxib dimulai atau saat dosisnya diubah.
Terdapat laporan kasus dari celecoxib yang menginduksi reaksi kulit serius seperti nekrolisis
epidermal toksik, eritema multiforme, dan sindroma Steven-Johnson 304,305. Celecoxib
kontraindikasi pada alergi sulfonamide (sekitar 3% dari populasi umum) dan pada pasien dengan
riwayat alergi aspirin atau NSAID.
Prostaglandin terlibat dalam metabolisme tulang, dan hewan coba menunjukkan bahwa coxib
menurunkan penyembuhan tulang, tendon, dan ligament. Walaupun uji coba klinis pada manusia
masih belum dilakukan, banyak ahli orthopedi dan fisioterapi menghindari penggunaan coxib
pada pasien dengan fraktur306,307.
Potensi interaksi obat utama yang melibatkan coxib termasuk obat dengan penghambat enzim
pengubah angiotensin (ACE) dan diuretik. Secara spesifik, celecoxib dapat mengganggu efek
antihipertensi dari agen tersebut. Pengobatan yang mengganggu konsentrasi serum celecoxib dan
obat yang konsentrasinya terganggu oleh celecoxib telah dirangkum dalam eTabel 52-6.

Analgesik Tambahan Lainnya


Tizanidine (Zanaflex)
Hubungan dengan Fisioterapi
Tizanidine, sebuah agen antispastik dan antispasmodik, disetujui untuk digunakan dalam
spastisitas karena sklerosis multipel atau cedera korda spinalis. Obat ini juga telah dipelajari
untuk nyeri punggung bawah akut yang diikuti dengan “spasme” otot dan kondisi nyeri
neuropatik, termasuk neuralgia trigeminal dan sindroma nyeri paska amputasi 308-310. Sebuah studi
label terbuka pada manusia menyimpulkan bahwa tizanidine dapat menjadi tatalaksana yang
efektif untuk nyeri yang berhubungan dengan neuropati perifer idiopatik dan studi pada hewan
lainnya menunjukkan bahwa obat ini dapat meredakan hiperalgesia akibat suhu pada tikus
dengan nyeri neuropatik yang diinduksi311,312. Namun, tidak terdapat uji coba besar, terkontrol
hingga saat ini untuk penggunaannya dalam nyeri neuropatik. Sebuah studi di Rusia,
menunjukkan bahwa tizanidine dapat menurunkan spastisitas, meningkatkan kekuatan otot, dan
memperbaiki intensitas sindroma nyeri saat dikombinasikan dengan toksin botulinum A 313.
Indikasi lain adalah bahwa obat ini tidak dapat diaplikasikan kedalam fisioterapi termasuk
penggunaannya bersamaan dengan NSAID kerja lambat untuk detoksifikasi dari nyeri kepala
rebound, nyeri kepala kronik akibat ketegangan, dan sindroma putus obat narkotik 314-317.
Tizanidine 4 mg yang diberikan secara oral sebelum dilakukan kolesistektomi laparoskopi
ditunjukkan dalam sebuah studi untuk menguranya nyeri paska operasi, konsumsi opioid, dan
lama perawatan di ruang pemulihan318.

Mekanisme Kerja dan Farmakokinetik


Tizanidine merupakan agonis terhadap reseptor α2-adrenergik G protein-coupled yang bekerja
secara sentral dan digunakan untuk menghambat pelepasan dari neurotransmitter eksitasi dengan
menekan eksitasi polisinaptik dari interneuron korda spinalis319. Selain itu, diperkirakan dapat
menurunkan spastisitas dnegan meningkatkan hambatan neuron motorik presinaptik. Setelah
diberikan secara oral, 95% dari dosis akan melalui metabolisme hepar menjadi metabolit inaktif,
dan kadar plasma puncak tercapai dalam 1,5 jam. Asupan makanan yang bersamaan akan
menurunkan konsentrasi plasma puncak dan meningkatkan waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai kadar puncak320.

Sediaan dan Dosis


Tizanidine tersedia dalam sediaan kapsul 2, 4, dan 6 mg atau tablet 4 mg. Dosis untuk spastisitas
dicapai dengan meningkatkan dosis awal secara bertahap mulai dari 4 mg ditingkatkan sebesar 2
hingga 4 mg hingga dosis hariam maksimal 36 mg dibagi TID tercapai; efek terapeutik yang
diinginkan tercapai atau muncul efek samping yang membatasi peningkatan dosis. Walaupun
dosis harian total maksimal secara umum dikatakan sebesar 36 mg, pengalaman klinis diatas 24
mg sangat terbatas321.
Efek Samping dan Interaksi Obat
Hipotensi, mulut kering, depresi CNS, dan kelemahan otot seringkali berkaitan dengan antagonis
α2-adrenergik. Kelemahan otot yang berhubungan dengan tizanidine lebih rendah bila
dibandingkan dengan agen antispastisitas lainnya 322. Tizanidine sebaiknya digunakan secara
berhati-hati pada pasien dengan gangguan hepar, karena hepatotoksisitas jarang terjadi namun
merupakan efek samping yang signifikan secara klinis. Pada studi klinis terkontrol, 5% dari
partisipan memiliki peningkatan serum transaminase tiga kali dari normal (atau dua kali jika
batas dasarnya telah mengalami peningkatan); sebagian besar kasus telah kembali normal saat
penghentian penggunaan obat, namun beberapa individu mengalami mual, muntah, anorexia, dan
jaundice. Pemeriksaan fungsi hepar direkomendasikan pada 6 bulan pertama (seperti, batas
dasar, 1, 3, dan 6 bulan) sejak memulai terapi tizanidine dan kemudian dipantau secara berkala.
Tizanidine sebaiknya dihentikan pada pasien yang ditemukan mengalami halusinasi (3% pada
dua studi terkontrol) atau reaksi hipersensitivitas321. CYP1A2 terutama memetabolisme
tizanidine; karena itu, kontraindikasi untuk menggunakan penghambat CYP1A2 poten seperti
fluvoxamine atau ciprofloxacin saat menggunakan tizanidine321,323-325. Kotrasepsi oral ditunjukkan
bahwa dapat menurunkan klirens tizanidine326. Namun, jika penggunaan secara bersamaan sangat
dibutuhkan secara klinis, maka dimulai dengan dosis tunggal sebesar 2 mg dan dapat
ditingkatkan 2 hingga 4 mg per harinya berdasarkan pada respon pasien 321. Sebuah laporan kasus
mencatat hipotensi dengan pemberian dosis pertama tizanidine pada pasien yang mengkonsumsi
lisinopril327.

Analgesik Opioid
Hubungan dengan Fisioterapi
Analgesik narkotik seringkali dianggap sebagai analgesik opioid atau opiat, kerena beberapa
berasal dari opium. Obat ini diindikasikan untuk nyeri akut sedang hingga berat dan nyeri
maligna dan non maligna, terutama yang mana memiliki kualitas nosiseptif (seperti, secara
umum tumpul atau gatal). Sebaliknya, analgesik opiate dianggap sebagai tatalaksana lini kedua
untuk berbagai macam sindroma nyeri neuropatik seperti nyeri kaki paska amputasi, neuropati
diabetik, dan PHN328-330. Indikasi tersebut sebagian diadaptasi dari tangga tiga tahap Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) yang memandu tatalaksana analgesik 331. Tahap pertama terdiri dari
analgesik non opioid dan adjuvan. Opioid lemah (seperti, kodein) berada pada tahap kedua dari
tatalaksana nyeri saat tahap pertama gagal untuk menatalaksana nyeri. Tahap tiga terdiri dari
opioid yang labih kuat (seperti, morfin) ditambah atau tanpa pilihan tahap pertama.
Panduan CDC untuk meresepkan opioid untuk nyeri kronik di Amerika Serikat telah
diperbaharui pada tahun 2016. Perlu dicatat bahwa beberapa rekomendasi berikut ini perlu
diingat oleh klinisi: (a) klinisi sebaiknya menegakkan tujuan tatalaksana pada semua pasien,
termasuk tujuan realistis untuk nyeri dan fungsi, dan sebaiknya mempertimbangkan bagaimana
terapi akan dihentikan; (b) saat opioid dimulai, klinisi sebaiknya meresepkan dosis efektif
terendah; (c) klinisi sebaiknya mengulas riwayat pasien menggunakan peresepan zat terkontrol
dengan data Prescription Drug Monitoring Program (PDMP) untuk menentukan apakah pasien
menerima dosis atau kombinasi opioid yang berbahaya yang menyebabkan pasien beresiko
tinggi untuk mengalami overdosis; (d) klinisi sebaiknya menggunakan pemeriksaan obat melalui
urin sebelum memulai terapi opioid dan mempertimbangkan pemeriksaan obat melalui urin
minimal satu tahun sekali untuk menilai obat yang diresepkan dan juga peresepan obat terkontrol
lainnya serta obat-obatan terlarang332.
Kurangnya toksisitas organ akhir (terutama saluran cerna, hepar, dan ginjal) dengan analgesik
narkotik murni, selain meperidine, membuat opioid merupakan pilihan yang menarik untuk
terapi kronis. Namun, kemungkinan terjadinya efek samping yang serius (seperti, depresi napas),
penyalahgunaan, dan pengalihan merupakan beberapa kekurangan dari opioid.
Efek samping yang lebih umum yang berhubungan dengan analgesik opioid termasuk mual,
muntah, konstipasi, sedasi, euforia, toleransi, dan ketergantungan fisik/psikologis. Terdapat
beberapa variasi minor terhadap profil efek samping ini untuk agen individu (seperti, beberapa
memilii efek samping yang menonjol dibandingkan dengan obat lainnya dengan dosis yang
setara) 334,335. Karena semua agonis opioid murni memiliki dosis analgesi yang setara antara satu
dengan yang lainnya, pemilihan penggunaan agen spesifik berdasarkan pada jalur pemberian,
durasi kerja, dan efek samping yang diinginkan.
Pemberian fisioterapi lainnya untuk opioid termasuk tatalaksana diare dan supresi batuk;
selanjutnya terutama khusus untuk pasien dengan batuk tidak produktif yang mengganggu tidur
dan, dengan demikian, dilakukan rehabilitasi. Penemuan terbaru dari reseptor opioid yang
melebihi CNS telah membawa banyak ketertarikan dalam “analgesia opioid perifer”; saat ini
terdapat bukti bahwa injeksi opioid dosis rendah melalui intramuskuler, intra artikuler, dan
intravena memberikan analgesia lokal, perifer dan efek antiinflamasi 336-340. Studi terbaru telah
menunjukkan analgesi opioid perifer pada pendekatan tatalaksana yang bersamaan dengan terapi
lainnya, seperti modulator sitokin atau antagonis TNF-α pada kondisi tertentu, dengan demikian
memberikan alternative untuk tatalaksana dari kondisi inflamasi kronis341.

Mekanisme Kerja dan Farmakokinetik


Kelas pengobatan ini menyerupai kerja dari opioid secara natural yang diproduksi oleh tubuh.
Endorfin, enkefalin, dan dinorfin merupakan contoh dari opioid endogen. Semua opioid
mengeluarkan efeknya dengan mengikat, dengan berbagai macam derajat afinitas, untuk tiga
jenis reseptor utama: mu (µ), kappa (κ), dan delta (δ). Setiap jenis reseptor memiliki distribusi
CNS unik dan menyebabkan respon fisiologis yang berbeda, melalui berbagai macam jalur
biokimia. Reseptor juga telah diidentifikasi pada sel imun, saraf sensoris perifer, dan sendi;
lokasi tersebut bertanggung jawab terhadap analgesik perifer dan efek antiinflamasi dari
opioid342,343. Sifat yang seragam dari semua reseptor opioid adalah bahwa mereka berpasangan
dengan protein G, yang mana menghambat adenilil siklase. Sebuah reseptor yang teraktivasi
bekerja melalui jalur biokimia yang spesifik untuk menghambat eksitabilitas neuronal dan,
dengan demikian, menghambat transmisi impuls nyeri.
Analgesik opioid dapat dikategorikan berdasarkan pada afinitasnya untuk reseptor dan aktivitas
intrinsik (seperti, jumlah stimulasi reseptor yang dapat diproduksi). Morfin dan methadone
dirancang sebagai agonis penuh karena mereka memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor
dan menghasilkan analgesia yang kuat. Agonis sebagian seperti kodein, memiliki afinitas yang
lebih rendah dan dengan demikian kurang poten dibandingkan dengan agonis penuh. Pentazocine
merupakan contoh dari campuran agonis/antagonis yang dapat mengaktivasi reseptor opioid
yang belum terikat sembari menghambat reseptor yang telah terikat. Antagonis (seperti,
naloxone) juga efektif dalam mengembalikan efek dari agonis opioid penuh.
Opioid yang sedikit mendasar secara umum diabsorbsi dengan baik pada usus halus. Agen kerja
pendek menunjukkan efek maksimal antara 30 dan 60 menit dari pemberian dan memiliki durasi
sekitar 4 jam. Agen kerja lambat atau lepas lambat mencapai efek puncak antara 2 hingga 24 jam
dan bertahan hingga 12 hingga 72 jam – nilai pertama berhubungan dengan pemberian oral dan
nilai kedua berhubungan dengan pemberian transdermal. Banyak opioid melalui metabolisme
hepar. Konjugasi hepar juga merupakan jalur utama dari metabolisme untuk sebagian besar
opioid, namun metabolisme juga dapat terjadi di dalam ginjal, paru, dan CNS. Metabolit aktif
dan inaktif diekskresi melalui urin dan/atau empedu.

Sediaan dan Dosis


Analgesik opioid dapat diberikan secara oral, intramuskuler, intravena, subkutan, intraspinal,
intranasal (seperti, naloxone), rektal (seperti, hydromorphone), transdermal (seperti, patch
fentanyl), dan transmukosal (seperti, fentanyl tablet buccal). Jalur pemberian dan durasi kerja
(seperti, kerja lambat dibandingkan dengan kerja cepat) yang lebih disukai bervariasi untuk
masing-masing pasien. Agen kerja cepat dapat digunakan untuk tatalaksana sindroma nyeri akut
dan episode nyeri tembus. Agen kerja lambat secara umum lebih nyaman untuk pasien dengan
kondisi kronik, dan efek jangka panjang seringkali mencegah gangguan tidur akibat nyeri.
Sediaan opioid yang paling relevan dengan fisioterapi, bersama dengan kisaran dosis umum
opioid dan potensi relatifnya, ditunjukkan pada Tabel 52-10; meskipun obat agonis parsial dan
campuran agonis/ antagonis dicantumkan dalam tabel, aplikasi obat-obat tersebut memiliki
keterbatasan. Dosis oral yang diperlukan lebih besar daripada dosis parenteral karena adanya
efek metabolisme lintas-pertama (first-pass) setelah administrasi oral. Tatalaksana nyeri
neuropatik biasanya membutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada nyeri nosiseptif.
Pasien yang membutuhkan terapi opioid kronis sering diinisiasi dengan pemberian agen
short-acting yang dititrasi selama beberapa minggu untuk mencapai efek analgesia adekuat dan
kemudian diubah menjadi dosis yang setara dengan agen long-acting.344 Dosis dapat dititrasi
setinggi yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri/ rasa sakit selama dosis dapat ditoleransi
dengan baik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa dosis harian hingga setara morfin
120 mg dapat meredakan nyeri dan meningkatkan kualitas tidur, tanpa mengganggu fungsi
kognitif.330,344,345 Rotasi opioid, yang melibatkan penggantian satu jenis opioid dengan opioid
yang memiliki toleransi silang (cross-tolerance) tidak lengkap dibandingkan jenis opioid murni
(original), merupakan teknik yang digunakan dalam upaya untuk menghindari terbentuknya
toleransi dan untuk mengatasi efek samping yang terbatas pada dosis (dose-limiting).346,347
Seseorang dianggap toleran terhadap terapi opioid ketika orang tersebut mengonsumsi lebih dari
60 mg morfin oral setiap hari, lebih dari fentanil 25-μg transdermal setiap jam, lebih dari 30 mg
oksikodon setiap hari, lebih dari 8 mg hidromorfon setiap hari, atau dosis yang setara dari opioid
lain selama lebih dari 1 minggu.348
WHO merekomendasikan bahwa semua terapi opioid harus mengikuti jadwal pemberian
dosis interval tetap, daripada pemberian sesuai kebutuhan.331 Strategi ini membantu
mempertahankan tingkat serum pengobatan yang stabil dan meminimalisir efek samping yang
dialami pada tingkat puncak serum serta rasa sakit yang hebat pada tingkat penurunan serum
(trough level). Rekomendasi lainnya adalah bagi penyedia layanan kesehatan untuk mengenali
variabilitas individu dalam metabolisme opioid dan toleransi nyeri. Oleh karena itu, terapi harus
diberikan secara individual untuk memaksimalkan efek analgesia serta meminimalisir efek
samping. Panduan lain dalam dokumen ini dirancang untuk membantu mengoptimalkan
penggunaan analgesik opioid dan meminimalisir efek samping.
Defisiensi Androgen Terkait-Opioid pada Laki-laki
Meskipun opioid diresepkan secara luas untuk tatalaksana nyeri, masih terdapat kekurangan pada
literatur mengenai beberapa potensi risiko jangka panjang yang terkait dengan penggunaan
harian obat-obatan ini. Sebagai contoh, masalah defisiensi androgen pada laki-laki dengan
penggunaan opioid harian memerlukan penelitian lebih lanjut. Hal ini menjadi permasalahan
penting karena defisiensi androgen telah dikaitkan dengan sindrom metabolik (yaitu, obesitas,
hipertensi, hiperlipidemia, dan intoleransi glukosa).349
Beberapa penelitian sebelumnya telah menjelaskan perbedaan antara opioid kerja panjang
(long-acting) dan opioid kerja pendek (short-acting) sehubungan dengan struktur, lipofilisitas,
serta faktor lain yang mempengaruhi aksis hipotalamus-hipofisis (hypothalamic-pituitary axis/
HPA). Studi-studi ini menyimpulkan bahwa opioid long-acting dikaitkan dengan odds ratio yang
lebih tinggi pada defisiensi androgen dibandingkan dengan opioid short-acting dosis ekuipoten.
Namun, beberapa penelitian lain telah mempertanyakan perbedaan ini.349
Rubinstein dkk. meneliti lebih lanjut hubungan antara penggunaan opioid dan defisiensi
androgen pada laki-laki dengan melakukan studi kohort retrospektif. Mereka membuat hipotesis
bahwa pemberian resep opioid tertentu berhubungan dengan defisiensi androgen yang lebih
tinggi apabila dibandingkan dengan hidrokodon. Dilakukan pengambilan sampel kadar serum
testosteron di pagi hari selama setidaknya selama 90 hari pada 1.159 laki-laki (usia 18 sampai
80) dengan tatalaksana opioid tunggal untuk nyeri non-kanker kronis. Mereka menyimpulkan
bahwa laki-laki yang menggunakan metadon, oksikodon dan fentanil transdermal lebih mungkin
mengalami defisiensi androgen dibandingkan laki-laki yang menggunakan hidrokodon. Dari data
tersebut, fentanil transdermal yang diikuti oleh metadon memiliki kemungkinan tertinggi untuk
mengalami defisiensi androgen.
Secara keseluruhan, penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa skrining kadar
testosteron sebelum penggunaan opioid mungkin memiliki peran penting untuk mengidentifikasi
pasien dengan defisiensi yang telah ada sebelumnya dan mungkin pasien yang memiliki risiko
terbesar mengalami defisiensi androgen.349
Agen-Agen Tunggal
Agonis Parsial
Kodein (Codeine)
Kodein merupakan opioid alami yang terdapat dalam opium dan dapat digunakan sebagai agen
analgesik, antitusif, atau antidiare. Kodein memiliki kurang dari sepertujuh potensi analgesik
morfin dan sering dikombinasikan dengan asetaminofen atau digunakan bersamaan dengan
OAINS untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang. 350 Kodein memiliki efek depresi
pernapasan yang relatif rendah dan potensi penyalahgunaan (abuse) rendah (karena rendahnya
efek euforia secara relatif). Kodein memiliki ketersediaan hayati/ bioavailabilitas oral yang tinggi
karena memiliki cincin fenil yang melindungi molekul kodein dari metabolisme lintas-pertama
(first-pass). Setelah administrasi, kodein mengalami demetilasi menjadi morfin, suatu metabolit
aktif, dan, suatu metabolit tidak aktif, norcodeine; metabolit-metabolit ini kemudian
dikonjugasikan dalam hepar, dan sebagian besar diekskresikan melalui ginjal. Individu yang
tidak dapat mengubah kodein menjadi morfin akan mengalami efek analgesik yang tidak
signifikan (negligible).
Potensi efek samping yang terkait dengan kodein berupa efek samping khas analgesik
narkotika secara umum. Penggunaan kodein diatur di bawah Undang-undang Zat Terkendali
(Controlled Substances Act). Kodein dianggap tidak aman ketika dikonsumsi dalam dosis tinggi
atau dalam waktu lama selama kehamilan. Beberapa sediaan yang mengandung-kodein mungkin
mengandung natrium metabisulfit, yaitu pengawet dengan potensi menyebabkan alergi. Kodein
rilis-lambat (sustained-release), Codeine Contin, tersedia di luar Amerika Serikat untuk
manajemen nyeri kronis.351
Propoksifen (Darvon, Darvon Pulvules, Dolene)
Analgesik narkotika ini telah dikeluarkan dari pasar AS pada tahun 2010 sebagai tanggapan
atas rekomendasi FDA karena efek kardiotoksisitas agen tersebut (perpanjangan interval PR dan
QT serta pelebaran kompleks QRS) pada dosis terapeutik.352
Agonis Total (Full Agonists)
Fentanil Transdermal (Duragesic), Fentanil Transmukosal (Actiq, Fentora)
Fentanil merupakan opioid short-acting poten (yaitu, > 80 kali lipat dari morfin) dengan
penggunaan terapeutik meliputi analgesia, anticemas (anxiolysis) pra-prosedural, sedasi, dan
anestesi tambahan. Fentanil tersedia sebagai sediaan injeksi, sediaan nebulisasi, plester/ koyo
(patch) transdermal, dan permen / tablet hisap (lozenge) transmukosal. Penatalaksanaan pasien
dengan sakit parah (terminally ill) dengan kesulitan bernapas (dyspnea) dengan fentanil
nebulisasi merupakan penggunaan off-label (di luar indikasi tertera).342
Sistem penghantaran (delivery) transdermal untuk fentanil dapat terjadi karena fentanil
memiliki berat molekul rendah dan bersifat sangat lipofilik, yang memungkinkan obat diabsorbsi
melalui kulit dan selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh. Plester (patch) fentanil, dengan
rerata durasi 72 jam, digunakan untuk menangani nyeri kronis yang membutuhkan pemberian
analgesik narkotik secara teratur. Keuntungan dari fentanil transdermal meliputi rendahnya
insiden konstipasi, mual, dan rasa kantuk.353 Reaksi terhadap kulit terbatas pada dermatitis lokal
namun efek samping sistemik mungkin dapat terjadi. Patch tidak dapat digunakan pada sindrom
nyeri akut karena absorpsi awal yang lambat yaitu selama 17 hingga 48 jam, dan sebaiknya tidak
digunakan pada pasien yang narcotic-naive (tidak menerima obat golongan narkotika harian)
karena risiko mengalami hipoventilasi yang signifikan. Namun, terdapat kecenderungan untuk
menggunakan sistem transdermal iontoforesis (pemberian obat transdermal menggunakan
gradien voltase kulit) yang dapat dikendalikan pasien, sistem transdermal iontoforetik fentanil
HCl (fentanil ITS), untuk mengelola nyeri pasca operasi akut dalam keadaan rawat inap. 259,354,355
Dalam beberapa uji klinis, fentanil ITS ditemukan lebih unggul daripada plasebo dan sama
efektifnya dengan morfin IV PCA pada pasien dengan nyeri pasca operasi sedang hingga
berat.356
Saat memulai terapi fentanil patch untuk pasien yang narcotic-naive, seseorang harus
memulai dengan dosis paling rendah yang tersedia (saat ini 12,5 μg/ jam). Terdapat banyak
variasi absorpsi di antara pasien, dan dapat dilakukan titrasi dengan menggabungkan berbagai
dosis patch yang tersedia (misalnya, 25, 50, 75, dan 100 μg / jam). 357 Sedangkan untuk pasien
yang terbiasa dengan terapi opioid, dosis awal diperkirakan dari dosis morfin equianalgesik
sebelumnya. Demam, diaforesis, cachexia, obesitas morbid, dan ascites semuanya dapat
mempengaruhi tingkat absorpsi transdermal, dan karenanya harus dilakukan penyesuaian
dosis.358 Dokter fisioterapi yang terlibat dalam manajemen nyeri juga harus terbiasa dengan
titrasi dosis, strategi penghentian obat, dan interaksi obat untuk fentanil patch.
Dengan rerata onset kerja 5 menit, penghantaran obat transmukosa memberikan rute
absorpsi yang cepat ke dalam aliran darah. Penggunaan tablet hisap dan tablet buccal hanya
disetujui FDA untuk pengobatan nyeri kanker berat pada pasien yang toleran terhadap terapi
opioid mereka saat ini, namun telah dilaporkan berbagai penggunaan off-label.359-362 Pengaturan
dosis harus bersifat individual untuk mencapai efek analgesia adekuat dengan efek samping yang
dapat ditoleransi. Apabila rasa nyeri tidak berkurang setelah pemberian agen transmukosa, dapat
diberikan dosis kedua tablet hisap dan buccal 15 dan 30 menit setelah dosis pertama habis,
secara berturutan.363 Pasien tidak boleh menggunakan agen tersebut lebih dari 4 unit per hari.
Dosis tunggal antara 100 dan 800 μg umumnya dapat ditoleransi pasien dengan baik,
menyebabkan efek samping terkait-opioid ringan hingga sedang.364
Hidromorfon (Dilaudid)
Opioid semisintetik ini merupakan turunan dari morfin. Kedua senyawa ini memiliki profil
farmakokinetik yang serupa, kecuali bahwa hidromorfon memiliki durasi kerja yang lebih
pendek namun memiliki efektivitas analgesik lima kali lipat lebih tinggi. Sebuah studi open-
labeled (peneliti dan peserta penelitian mengetahui pengobatan yang diterima) menemukan
bahwa hidromorfon memiliki efek samping mual, emesis, dan konstipasi yang lebih sedikit, 365z366
Hidromorfon mungkin dapat menjadi alternatif yang berharga untuk para pasien dengan
"pseudoallergy" (yaitu, kemerahan/ flushing dan gatal karena pelepasan histamin) pada morfin
dalam menangani nyeri kronis sedang hingga berat karena hidromorfon tampaknya menginduksi
pelepasan histamin secara minimal.367 Hidromorfon juga lebih disukai untuk pasien dengan gagal
ginjal karena metabolitnya tidak toksik terhadap ginjal.368 Akhirnya, tingginya kelarutan/
solubilitas air dari hydromorphone memungkinkan dosis tinggi obat untuk dilarutkan dan
dihantarkan (delivered) pada pasien yang toleran terhadap opioid (opioid-tolerant).
Beberapa produk yang mengandung hidromorfon telah disetujui FDA sebagai antitusif,
dan bentuk nebulisasi tersedia untuk penggunaan off-label bagi pasien sakit parah (terminally-ill)
dengan dyspnea.369,370 Meskipun Hydromorph Contin masih tetap tersedia di Kanada, formulasi
serupa rilis-lambat (extended-release) ditarik dari pasar AS pada tahun 2005 karena memiliki
risiko tinggi overdosis apabila dikonsumsi dengan alkohol.
Meperidin (Demerol)
Setelah menjadi agen aksi cepat (fast-acting) yang populer digunakan untuk manajemen nyeri
pasca operasi sedang hingga berat, meperidin digunakan secara terbatas dalam fisioterapi karena
empat alasan utama. Pertama, meperidin hanya memiliki sepersepuluh potensi morfin, namun
keduanya memiliki risiko adiksi dan ketergantungan fisik yang serupa. 371 Kedua, durasi kerja
meperidin yang singkat memerlukan dosis yang sering, dan siklus pemberian ini melalui
konsentrasi serum puncak dan menurun. Ketiga, meperidin dimetabolisme menjadi
normeperidin, metabolit toksik yang menyebabkan hipereksitabilitas SSP yang dapat
bermanifestasi sebagai kejang, kecemasan, tremor, dan mioklonus.371 Pasien dengan gangguan
fungsi ginjal jelas mengalami kerentanan terhadap toksisitas meperidin, namun individu yang
sehat juga rentan terhadap toksisitas tersebut karena normeperidin terakumulasi pada
penggunaan selama lebih dari beberapa hari.
Metadon
Metadon merupakan agonis terhadap reseptor μ dan merupakan antagonis non-kompetitif lemah
terhadap reseptor NMDA. Penemuan aksi ganda metadon yang unik ini telah menyebabkan
peningkatan penggunaan metadon untuk pengobatan nyeri neuropatik, meliputi phantom limb
pain (nyeri pada ekstremitas yang mengalami amputasi), dan nyeri akibat luka bakar dalam
beberapa tahun terakhir.372-374 Metadon juga menjadi agen yang semakin banyak digunakan
sebagai agen lini kedua dalam mengobati nyeri kanker yang tidak responsif terhadap opioid
konvensional.375 Penggunaan tradisional metadon termasuk manajeman nyeri kronis, berat dan
penekanan gejala putus obat (withdrawal) dari heroin dan morfin. Untuk alasan terakhir, terdapat
stigma sosial yang berkaitan dengan metadon.
Opioid terkontrol golongan Kelas II (Schedule II) ini memiliki beberapa keuntungan
meliputi rendahnya metabolit aktif, solubilitas lemak yang tinggi, absorpsi metadon yang sangat
baik setelah pemberian via oral dan rektal, dan harga yang murah. 48 Terlepas dari berbagai
kelebihan ini, bagan/ daftar konversi (yaitu, dosis dan perjalanan waktu) antara metadon dan
opioid lain tetap tidak dapat ditentukan. Telah dilaporkan kasus kematian dalam konversi ke
metadon dari agonis opioid lain dan selama inisiasi tatalaksana metadon terhadap adiksi/
kecanduan. Oleh karena itu, diperlukan kewaspadaan khusus selama konversi dan inisiasi agen
ini. Kebingungan muncul dari fakta bahwa terdapat rekomendasi untuk pemberian metadon
parenteral, tetapi metadon parenteral tidak terbukti setara (equianalgesic) dengan morfin, dan
grafik konversi opioid tradisional telah mengabaikan potensi metadon, yang menyebabkan
adanya masalah keamanan obat.376 Kelemahan lain dari metadon adalah waktu paruh lama karena
akumulasi obat yang tidak terduga pada awal regimen meningkatkan risiko depresi pernapasan.
Telah dilaporkan pula kasus mioklonus dan perubahan elektrokardiografi (misalnya
perpanjangan interval QT dan torsade de pointes).377 Metadon juga semakin sering
disalahgunakan oleh pengguna narkoba dan secara nasional telah dikaitkan dengan peningkatan
kasus overdosis dan kematian. Karena tidak menyebabkan onset cepat atau euforia yang
signifikan, potensi penyalahgunaan metadon dianggap rendah. Sayangnya, diperlukan waktu
berjam-jam sebelum pengguna merasakan efek apa pun, yang meningkatkan risiko bahwa
mereka mungkin sedang sendirian pada waktu terjadi overdosis.
Oksikodon (OxyIR, OxyContin, Eth-Oxydose)
Oksikodon merupakan derivat/ turunan morfin yang tersedia sebagai bentuk short-acting
generik, bentuk short-acting rilis-langsung (immediate-release) (OxyIR), suatu bentuk agen rilis
terkontrol (OxyContin), serta beberapa produk analgesik kombinasi. Produk oksikodon murni
memberikan keuntungan karena tidak dibatasi oleh potensi toksisitas organ akhir (end-organ
toxicity), berbeda dengan produk kombinasi karena adanya aspirin dan asetaminofen. Telah
ditetapkan efektivitas oksikodon dalam menangani nyeri neuropatik dan somatik, tetapi
OxyContin hanya disetujui penggunaannya untuk manajemen nyeri kronis, sedang hingga
berat.378
OxyContin memiliki availabilitas oral tinggi karena metabolisme first-pass yang
minimal. Akses untuk memperoleh OxyContin yang mudah secara historis telah menyebabkan
meluasnya penyalahgunaan obat tersebut di Amerika Serikat.379 Hal ini sebenarnya telah
menyebabkan FDA memasang peringatan black box pada produk, mengkategorikan OxyContin
sebagai zat terkontrol Schedule II, dan memerintahkan penghentian produksi tablet dosis 160
mg. Terlepas dari masalah pengalihan ini, OxyContin masih menjadi obat yang penting dengan
onset cepat dan durasi kerja yang lama - dikotomi analgesia yang cepat namun berkelanjutan
dapat dijelaskan oleh sistem penghantaran AcroContin, di mana oksikodon dilepaskan relatif
cepat setelah konsumsi dan terus dirilis secara stabil selama 12 jam berikutnya. Ketika diberi
dosis sepanjang waktu (around the clock), AcroContin memberikan kadar serum yang
berkelanjutan sepanjang malam dan berpotensi meminimalisir efek samping narkotika yang
sering dikaitkan dengan kadar serum puncak obat. Waktu paruh yang relatif singkat juga
memungkinkan OxyContin mencapai kondisi stabil dalam periode waktu yang singkat, sehingga
mencapai potensi analgesik penuh dalam satu atau 2 hari setelah memulai pengobatan. Manfaat
tambahan OxyContin adalah, tidak seperti MS Contin, absorpsi obat tidak bergantung pada pH;
hal ini memungkinkan pasien untuk menggunakan opioid ini dengan atau tanpa makanan.
Oksikodon bentuk short-acting immediate-release, OxyIR, dapat digunakan sebagai
premedikasi sebelum terapi fisik untuk pasien yang tingkat rasa sakitnya mengganggu partisipasi
pasien yang berarti dalam latihan terapeutik. Seperempat hingga sepertiga dari OxyContin dosis
12 jam juga dapat diresepkan untuk menangani nyeri yang meningkat. Apabila diperlukan lebih
dari dua rescue dose (dosis obat untuk meredakan nyeri berat intermiten) selama periode 24 jam,
harus dilakukan titrasi pada regimen OxyContin.
Hepar secara ekstensif memetabolisme oksikodon menjadi oksimorfon, yang memiliki
potensi analgesik lebih besar, dan noroksikodon, suatu analgesik lemah. Tidak ada metabolit
yang menyebabkan toksisitas organ akhir. Efektivitas dan efek samping OxyIR dan OxyContin
diyakini serupa.380,381 Dibandingkan dengan morfin, kedua agen tersebut tampaknya
menyebabkan efek mual dan muntah yang lebih sedikit namun lebih banyak efek konstipasi.382
Agonis Parsial
Buprenorfin (Buprenex, Subutex, Suboxone)
Buprenorfin, agen analgesik ringan sampai sedang, telah tersedia melalui pemberian parenteral
selama bertahun-tahun. Agonis parsial ini, dengan aktivitas agonistik pada reseptor κ dan δ,
menjadi tersedia di Amerika Serikat dalam bentuk sublingual (Subutex) pada tahun 2002, dan
penggunaan Buprenorfin telah disetujui FDA untuk tatalaksana adiksi opioid yang dibantu oleh
pengobatan lain.383 Sistem penghantaran transdermal untuk obat ini juga dapat ditemukan di
pasar Eropa. Sebuah tinjauan dari berbagai studi klinis menyimpulkan bahwa buprenorfin oral,
intravena, intratekal, dan transdermal semuanya efektif dalam menangani nyeri neuropatik.
Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan pedoman terhadap berbagai
sindrom nyeri.384 Administrasi intravena dan oral, sebagai tambahan, telah dapat
mempertahankan efek antihiperalgesia pada model inflamasi.385
Disosiasi lambat dari reseptor μ menyebabkan buprenorfin menjadi agen long-acting.
Kasus gejala putus zat (withdrawal) terjadi lebih sedikit karena buprenorfin mempengaruhi
motilitas Gl dan tonus sfingter secara minimal. Buprenorfin tidak memiliki batas analgesik,
tetapi dapat menyebabkan depresi pernapasan pada dosis tinggi dan efek tersebut tidak dapat
langsung dinetralisir dengan nalokson.386,387
Campuran Agonis-Antagonis
Analgesik ini digunakan terhadap nyeri sedang sampai berat tetapi tidak memberikan
keunggulan dibandingkan agonis opioid. Jenis analgesik ini memiliki risiko depresi pernafasan
lebih rendah dibandingkan dengan agonis tradisional, namun manfaat ini sifatnya minimal
mengingat bahwa semua pengguna agonis akan mengalami peningkatan toleransi terhadap
depresi pernafasan dari waktu ke waktu. Terdapat beberapa kerugian yang menjadi dasar sifat
dari kelas opioid, meliputi batasan analgesik dan potensi untuk memicu sindrom putus obat di
antara para pengguna opioid sebelumnya. Meskipun demikian, penting untuk memahami
beberapa obat analgesik utama dari kelompok ini.
Prototipe agen pentazosin sintetis (Talwin, Talacen), adalah antagonis reseptor μ dan
agonis reseptor κ- dan δ-opioid. Agen tersebut memiliki efek analgesik serupa dengan kodein
dalam basis miligram-per-miligram. Beberapa kombinasi pentazosin berbeda tersedia seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 52-10. Masih tidak jelas bagaimana obat dengan kandungan
pentazosin dapat digunakan paling baik dalam manajemen nyeri. Kombinasi pentazosine
metilfenidat — dikenal dengan berbagai istilah jalanan meliputi "cracker", "poor man heroin",
dan "T's and rits” — dapat digunakan secara ilegal karena senyawa tersebut menghasilkan efek
mirip dengan heroin yang dicampur dengan kokain, Talwin NX memadukan pentazosin dengan
nalokson untuk mempertahankan efek analgesik tetapi meminimalisir penyalahgunaan obat.
Butorfanol tartrat (Stadol NS) merupakan agen agonis-antagonis campuran (yaitu, agonis
reseptor k-opioid dan campuran agonis-antagonis reseptor μ-opioid) yang memberikan
fleksibilitas pemberian intranasal. Sebagai catatan, penyalahgunaan semprotan hidung (nasal
spray) yang meluas menyebabkan agen ini diklasifikasikan sebagai zat terkontrol Keas IV/
Schedule IV pada akhir 1990-an. Butorfanol belum banyak digunakan oleh dokter fisiatri, dan
literatur tentang penggunaannya pada nyeri muskuloskeletal masih sedikit. 388,389 Sebagai
gantinya, Butorfanol memiliki tempat penggunaan dalam kondisi bedah umum, di mana agen
tersebut digunakan sebagai sedatif dan analgesik pra-operasi / pasca-operasi, tambahan untuk
menyeimbangkan proses anestesi, sedatif dengan mempertahankan kesadaran (conscious
sedative), dan penekan efek gemetar pasca anestesi. Aplikasi tambahan termasuk analgesia
selama persalinan, menghilangkan nyeri postpartum sedang, dan tatalaksana untuk sakit kepala
migrain.
Interaksi Obat dan Efek Samping yang Relevan
Sebelum membahas efek samping terkait-opioid, penting untuk melakukan klarifikasi pada tiga
istilah: toleransi, kecanduan, dan ketergantungan. Toleransi dapat didefinisikan sebagai
penurunan reaksi terhadap obat setelah pemberian berulang. Toleransi dapat menjadi pedang
bermata dua. Toleransi memiliki potensi untuk mempengaruhi tatalaksana secara negatif ketika
diperlukan peningkatan jumlah obat untuk menghasilkan efek terapeutik yang diinginkan.
Toleransi terhadap efek samping (selain konstipasi), bagaimanapun, dapat memberi keuntungan
yang jelas. Ketergantungan adalah timbulnya gejala putus obat saat pemberian obat dihentikan
secara tiba-tiba. Adiksi/ kecanduan adalah kebiasaan penggunaan zat untuk mencapai efek
tertentu - biasanya euforia - yang dianggap menyenangkan oleh pasien. Kerancuan dari istilah-
istilah ini telah menyebabkan bias terhadap penggunaan analgesik narkotika, terutama untuk
nyeri non-maligna. Ketakutan terhadap adiksi pada pasien juga menjadi alasan utama mengapa
para dokter cenderung meresepkan narkotika dengan dosis ataupun frekuensi lebih rendah
(underprescribe).390 Terdapat kontroversi mengenai apakah adiksi psikologis benar-benar
berkembang pada pasien dengan nyeri kronis tanpa riwayat penyalahgunaan zat.391-393
Para penyedia layanan kesehatan mungkin perlu menjelaskan konsep toleransi kepada
pasien dan keluarga pasien untuk meredam kecemasan mereka terkait dengan peningkatan
kebutuhan narkotika yang sering terjadi setelah kurang lebih 1 bulan pengobatan. Toleransi
dimulai setelah dosis pertama namun tidak tampak jelas secara klinis sampai minggu ke-2 atau
ke-3 dan umumnya berlangsung hingga 2 minggu setelah regimen selesai. Karena terdapat
toleransi silang (cross-tolerance) inkomplit di antara agen narkotik yang berbeda, efek analgesia
seringkali dapat dipertahankan dengan jadwal rotasi agen opioid.394 Akhirnya, terdapat anggapan
bahwa toleransi dapat dihindari sama sekali apabila dosis opioid diberikan sesuai dengan
kebutuhan pasien, sehingga tidak ada dosis obat berlebihan yang menyebabkan euforia dan
toleransi di kemudian waktu.
Penghentian mendadak terapi opioid pada pasien yang mengalami ketergantungan fisik
dapat menyebabkan gejala putus zat, yang terkadang tidak kentara (subtle) dan hanya terlihat
sebagai keluhan nyeri otot ringan yang tidak spesifik. Onset dan durasi proses penghentian
opioid berkorelasi dengan waktu paruh obat tertentu, tetapi gejala otonom dapat dikurangi
dengan penggunaan klonidin oral atau transdermal, pada dosis 0.1 hingga 0.2 mg / hari. Serupa
halnya dengan toleransi, terdapat anggapan bahwa apabila dosis disesuaikan dengan kebutuhan
pasien, maka ketergantungan fisik tidak akan pernah berkembang. Namun, ajaran tradisional
menyatakan bahwa kebanyakan pasien yang menggunakan opioid selama lebih dari 1 bulan akan
mengalami ketergantungan fisik. Untuk mencegah gejala putus obat pada pasien dengan
ketergantungan fisik, telah dikembangkan pedoman rinci untuk menghentikan perlahan
(menyapih/ weaning) tatalaksana opioid pada pasien.395,396
Profil efek samping analgesik narkotik secara keseluruhan relatif menguntungkan,
terutama pada populasi lansia. Konstipasi menjadi efek samping narkotika yang paling umum,
dan juga satu-satunya yang tidak akan mengalami perkembangan toleransi seiring waktu. Karena
efek samping ini dapat sangat mempengaruhi kehidupan pasien secara negatif, harus
dipertimbangkan inisiasi stimulan usus profilaksis atau agen osmotik bersamaan dengan terapi
opioid. Apabila konstipasi tetap berkembang meskipun telah diberikan profilaksis, konstipasi
harus ditangani secara agresif.
Efek samping GI umum lainnya termasuk mual dengan atau tanpa muntah. Profilaksis
terhadap mual tidak diberikan secara rutin karena biasanya pasien mengalami peningkatan
toleransi terhadap mual dari waktu ke waktu. Tatalaksana mual bergantung pada etiologinya.
Apabila disebabkan oleh konstipasi, maka konstipasi harus ditangani; sebaliknya, apabila rasa
mual disebabkan oleh efek utama pengobatan (yaitu, stimulasi zona chemotrigger), maka
proklorperazin menjadi agen lini pertama untuk tatalaksana mual. Jika pasien tetap mual setelah
mengatasi hal-hal di atas beserta kemungkinan penyebab lainnya, dapat dipertimbangkan
pemberian agen seperti haloperidol. Apabila pasien juga mengalami agitasi, klorpromazin akan
menjadi agen pilihan lini kedua yang tepat. Metoklopramid dapat digunakan jika etiologi yang
dicurigai adalah obstruksi saluran keluar (outlet) gaster, akibat efek antimotilitas opioid.
Analgesik adjuvan non-oral (misalnya, indometasin IV atau ketorolak IM) mungkin lebih sesuai
untuk pasien yang mengalami rasa mual terkait-narkotika.
Pasien yang menjalani terapi opioid juga dapat mengalami efek samping signifikan non-
gastrointestinal. Hipotensi ortostatik, misalnya, dapat mencapai tingkat yang membatasi transfer
rehabilitasi dan pelatihan ambulasi/ pergerakan pasien. Depresi pernapasan, yang memiliki
manifestasi pada tahap awal berupa penurunan laju pernapasan, juga bisa menjadi cukup parah
untuk menyebabkan henti napas. Pengguna yang telah biasa (habitual) memiliki kemungkinan
lebih kecil untuk mengalami kejadian efek samping ekstrem dibandingkan pasien yang narcotic-
naive karena suatu fenomena yang dikenal sebagai toleransi, di mana pasien beradaptasi dengan
efek obat dari waktu ke waktu. Teori yang berkembang mengaitkan desensitisasi reseptor dan
penurunan regulasi (down-regulation) reseptor dengan proses toleransi obat.397
Opioid dapat menyebabkan berbagai efek samping tambahan, Sebagai contoh, opioid
dapat mempengaruhi berbagai hormon dari sistem hipotalamus-hipofisis-gonad. 398,399 Baik
administrasi akut maupun penggunaan kronis opioid, tanpa adanya rasa nyeri, dapat menjadi
imunosupresif.400 Administrasi obat berulang dapat menimbulkan hiperalgesia. 397,401,402 Potensi
efek samping SSP termasuk sedasi dan euforia. Sedasi dapat diatasi dengan menggunakan
stimulan seperti kafein, dekstroamfetamin, dan metilfenidat. Euforia relatif lebih banyak
menimbulkan masalah karena menjadi dasar di balik kecanduan psikologis.
Tramadol HCL (Ultram), Tramadol HCL dan Asetaminofen (Ultracet)
Relevansi dengan Fisiatri. Tramadol merupakan analgesik sintetik yang memiliki aksi
kerja sentral dengan persetujuan FDA untuk digunakan terhadap manajemen nyeri sedang hingga
berat. Tramadol adalah obat yang unik karena pada awalnya tramadol tidak diklasifikasikan
sebagai zat yang dikendalikan (meskipun afinitas ikatan preseptor tramadol mirip dengan
kodein) dan memiliki mekanisme kerja tambahan mirip dengan banyak antidepresan. Mengingat
mekanisme ganda tersebut, tramadol dapat menjadi analgesik yang efektif untuk nyeri nosiseptif
dan neuropatik.403 Namun, Federal Drug Enforcement Agency menerbitkan suatu keputusan
untuk mengatur tramadol sebagai zat terkontrol Kelas IV/ Schedule IV pada tahun 2014.
Beberapa uji coba terkontrol acak telah menunjukkan efektivitas tramadol dalam menangani
PHN, phantom limb pain, neuropati diabetes, dan polineuropati dari berbagai etiologi. 404-407
Sedangkan untuk nyeri nosiseptif kronis, American College of Rheumatology (ACR) terus
merekomendasikan tramadol untuk pasien osteoarthritis (OA) yang gagal mencapai manfaat
adekuat dari obat analgesik non narkotika.408 Akhirnya, agonis opioid lemah ini juga dapat
digunakan untuk menangani migrain, nyeri episodik yang cukup berat, dan penggunaannya telah
dipelajari pada nyeri gigi akut dan nyeri pembedahan.409,410
Ultracet mengandung 37,5 mg tramadol dan 325 mg asetaminofen. Peran tepat Ultracet
dalam manajemen nyeri masih mengalami perkembangan. Keuntungan dari pemberian Ultracet,
seperti analgesik kombinasi lainnya, adalah efek analgesia sinergis dan penurunan efek samping
yang bergantung-dosis.411 Hanya beberapa studi acak terkontrol plasebo yang telah dilakukan
hingga saat ini menggunakan Ultracet, dan beberapa studi tersebut secara keseluruhan
menunjukkan bahwa agen ini memiliki efektivitas yang sama dan dapat ditoleransi lebih baik
daripada asetaminofen dengan kodein (pada 300/30 mg) untuk nyeri punggung bawah (low back
pain) kronis non maligna, nyeri OA, dan fibromyalgia. 412-414 Lee dkk melakukan penelitian klinis
multisenter, tersamar ganda (double-blind) untuk meneliti efektivitas Ultracet dalam menangani
nyeri yang berkaitan dengan rheumatoid arthritis. Lee dkk menemukan bahwa Ultracet, sebagai
terapi tambahan pada pasien dengan rheumatoid arthritis simptomatis, dikaitkan dengan
peningkatan yang signifikan dalam aspek pereda nyeri dan secara statistik apabila dibandingkan
dengan plasebo. Lee dkk menyimpulkan bahwa Ultracet dapat menjadi pilihan analgesik yang
layak ketika dikombinasikan dengan OAINS konvensional dan obat antirematik disease-
modifying pada pasien dengan rheumatoid arthritis. 415
Agen bentuk rilis-lambat (extended-release), Ultram ER, memiliki jadwal pemberian
dosis yang mudah yakni sekali sehari untuk manajemen kondisi nyeri kronis. Ultram ER terbukti
memiliki tolerabilitas dan efektivitas yang sama dalam meredakan nyeri OA sedang hingga berat
seperti tramadol murni.416
Secara ringkas, tramadol memiliki potensi menguntungkan dibandingkan dengan OAINS
dan inhibitor COX-II karena tidak menyebabkan perdarahan saluran cerna (gastrointestinal/ GI)
atau eksaserbasi hipertensi atau gagal jantung kongestif (CHF). 417 Mungkin juga terdapat
penurunan toleransi terhadap efek terapeutik tramadol dengan penggunaan kronis dalam
tatalaksana nyeri akibat OA lutut dan pinggul.418,419
Mekanisme Aksi dan Farmakokinetik. Tramadol memiliki dua mekanisme analgesik
komplementer termasuk aktivasi lemah reseptor μ dan modifikasi transmisi impuls nyeri, melalui
inhibisi lemah norepinefrin dan serotonin reuptake. Oleh karena itu, senyawa ini dapat dianggap
baik sebagai opioid sintetik maupun TCA.
Tramadol memiliki bioavailabilitas yang tinggi. Setelah administrasi oral, satu perlima
bagian obat ini terikat dengan protein dan mengalami metabolisme first-pass hepar yang
ekstensif. Onset analgesia terlihat dalam 1 jam, dan konsentrasi plasma puncak rerata dicapai
dalam 1,5 hingga 2 jam. Di dalam hepar, terjadi demetilasi dan glukuronidat tramadol menjadi
beberapa metabolit, hanya satu dari metabolit tersebut yang memiliki sifat analgesik. 420 Semua
metabolit dan bagian yang tidak berubah diekskresikan melalui ginjal. Tramadol memiliki waktu
paruh 6 jam dan kondisi-stabil dicapai dalam 2 hari bila tramadol dikonsumsi empat kali sehari.
Sediaan dan Dosis. Tramadol tersedia di Amerika Serikat dalam bentuk tablet rilis-
langsung (immediate-release) 50 mg. Tablet rilis-lambat (extended-release) (Ultram ER dalam
denominasi 100, 200, dan 300 mg) tersedia di Amerika Serikat. Sediaan intravena,
intramuskular, rektal, dan subkutan tersedia secara internasional.
Kisaran dosis standar untuk tramadol rilis-langsung adalah antara 50 dan 100 mg,
diberikan setiap 4 sampai 6 jam. Dosis maksimum yang direkomendasikan adalah 400 mg setiap
hari. Direkomendasikan penyesuaian dosis untuk pasien yang berusia lebih dari 75 tahun (<300
mg / hari), dengan klirens kreatinin kurang dari 30 mL/menit (diberikan setiap 12 jam, dengan
dosis harian maksimum 200 mg), dan dengan riwayat disfungsi hepar . Pemberian obat pada
pasien dengan nyeri non akut dimulai dengan dosis awal 50 mg setiap hari, ditingkatkan satu
dosis 50 mg setiap 3 hari sampai dosis harian maksimum tercapai; strategi ini dapat
meminimalisir efek samping. Pasien dengan nyeri akut dapat ditangani dengan dosis awal 50 mg,
diikuti dengan dosis 25 hingga 50 mg jika efek analgesia yang adekuat tidak tercapai dalam satu
jam pertama.
Dosis awal untuk terapi rilis-lambat adalah 100 mg setiap hari, yang dapat ditingkatkan
dengan kecepatan 100 mg/hari setiap 5 hari. Dosis maksimum yang direkomendasikan adalah
300 mg/hari, namun dosis harian 400 mg telah diresepkan dengan aman untuk pasien di bawah
75 tahun.421,422
Interaksi Obat dan Efek Samping yang Relevan. Rasa mual, mengantuk, dan konstipasi
merupakan efek samping yang paling umum terjadi.423 Frekuensi keduanya tercatat lebih sedikit
daripada opioid tradisional. Muntah, somnolen, nyeri abdomen, sakit kepala, mulut kering,
dispepsia, dan vertigo juga telah dilaporkan.411 Depresi pernapasan dan pruritus merupakan efek
samping potensial yang terkait dengan semua opioid, tetapi tramadol memiliki risiko yang jauh
lebih rendah terhadap kedua efek samping tersebut. 424 Reaksi anafilaktoid yang serius, dan jarang
berakibat fatal, tercatat telah terjadi setelah pemberian dosis tramadol pertama; individu dengan
riwayat reaksi anafilaktoid terhadap opioid mungkin memiliki risiko lebih tinggi terhadap
kejadian tersebut.
Kejang adalah efek samping potensial yang jarang tetapi signifikan dari tramadol. Harus
diberikan perhatian lebih apabila tramadol diresepkan untuk pasien dengan epilepsi, riwayat
kejang, atau faktor risiko kejang (misalnya, TBI, gangguan metabolik, penghentian alkohol/obat,
dan infeksi SSP). SSRI atau TCA tidak boleh diresepkan dengan tramadol karena dapat semakin
menurunkan ambang kejang. Depresan SSP dan MAOI juga harus dihindari karena kedua agen
tersebut menimbulkan risiko depresi pernapasan dan krisis hipertensi. Para dokter juga harus
menyadari bahwa karbamazepin secara nyata menginduksi metabolisme tramadol, sehingga
dibutuhkan dua kali lipat dosis tramadol yang biasa. Selain itu, FDA telah membatasi
penggunaan tramadol pada anak-anak dan merekomendasikan agar tidak digunakan pada wanita
menyusui.425
Tramadol adalah opioid Kelas IV/ Schedule IV dan memiliki potensi penyalahgunaan
yang terbatas karena jarang menimbulkan euforia. Namun, penghentian terapi secara tiba-tiba
dapat menyebabkan gejala putus obat opioid — meskipun mungkin tidak separah golongan
opioid lain — dan gejala putus obat atipikal (misalnya, halusinasi dan paranoid).426
Peran FDA dalam Memastikan Keamanan Penggunaan Opioid
Pada tahun 2014, sekitar 3,8 juta orang berusia 12 tahun ke atas melaporkan penggunaan resep
analgesik opioid nonmedis di Amerika Serikat, menjadikan penyalahgunaan opioid sebagai obat
yang paling sering disalahgunakan kedua setelah ganja/mariyuana.427 Epidemi penyalahgunaan
opioid ini telah dikaitkan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Dari 1999
hingga 2014, jumlah kematian akibat keracunan obat yang melibatkan analgesik opioid
meningkat lebih dari 4,5 kali lipat dari 4.030 menjadi 18.893.428
Mengingat meningkatnya penyalahgunaan opioid resep dan overdosis yang dapat terjadi
berikutnya, pada 31 Agustus 2016, FDA membuat kotak peringatan baru pada label semua
analgesik opioid, senyawa pada obat batuk yang mengandung opioid, dan benzodiazepin. FDA
juga telah membuat Rencana Tindakan Opioid (Opioid Acrion Plan), yang bertujuan untuk
membatasi penyalahgunaan resep opioid , tetapi masih memungkinkan pasien dengan nyeri
kronis untuk mendapatkan akses terhadap pilihan manajemen nyeri yang diindikasikan secara
klinis. Beberapa fitur penting dari perencanaan ini ditunjukkan di eTable 52-7.
Pencegah-Penyalahgunaan Opioid (Abuse-Deterrent Opioids)
Selain peringatan kotak wajib dan Rencana Tindakan Opioid (seperti diuraikan dalam e-Tabel
52-7), FDA mendorong pengembangan formulasi opioid yang memiliki sifat pencegah
penyalahgunaan (abuse-deterrent/ AD), yang seharusny mempersulit penyalahgunaan obat.
Formulasi ini bertindak untuk menargetkan rute penyalahgunaan yang diketahui atau dicurigai,
seperti mendengus (snorting), menghancurkan, atau menyuntikkan, dengan membuat
penghalang/ barrier fisik atau kimiawi. Beberapa produk mungkin mengandung zat yang, ketika
diubah, melepaskan zat yang menyebabkan efek tidak menyenangkan. Ilmu tentang opioid AD
ini merupakan teknologi yang relatif baru dan berkembang. Pada 2015, FDA mengeluarkan
dokumen panduan untuk evaluasi pencegah-penyalahgunaan opioid. Di dalamnya, FDA
menguraikan empat kategori studi pencegah penyalahgunaan: (a) studi manipulasi dan ekstraksi
in vitro berbasis-laboratorium, (b) studi farmakokinetik in vivo yang menilai obat yang
dimanipulasi, (c) studi potensi penyalahgunaan oleh manusia, dan (d) studi pascapemasaran.429
Saat ini, 10 opioid AD telah disetujui oleh FDA, banyak di antaranya adalah formulasi
rilis-lambat/ extended-release (ER) (lihat eTabel 52-8). Sampai saat ini, tidak ada opioid AD
intermediate-release yang disetujui oleh FDA. Semua perusahaan dengan nama merek opioid AD
yang memperoleh persetujuan diwajibkan untuk melakukan studi pascapemasaran untuk
menentukan dampak teknologi AD, termasuk bukti dari penelitian in vitro dan in vivo. Selain itu,
semua obat yang disetujui FDA berikut adalah zat terkontrol Kelas II/ Schedule II yang
diindikasikan untuk manajemen nyeri yang cukup parah sehingga memerlukan pengobatan
opioid harian, sepanjang waktu, jangka panjang dan untuk pasien dengan pilihan pengobatan
alternatif yang tidak adekuat. Ulasan dii bawah ini menguraikan deskripsi singkat dari masing-
masing 10 obat opioid AD yang disetujui FDA (lihat eTabel 52-8).
Hysingla ER
Properti Pencegahan Penyalahgunaan
Hysingla ER mengandung bitartrat hidrokodon larut dalam air (water-soluble), yang tersedia
sebagai kristal putih halus atau bubuk kristal, dan dipengaruhi oleh cahaya. Karakteristik AD
dari Hysingla ER meliputi pembentukan hidrogel gelatin saat terkena lingkungan berair.430
Mekanisme Aksi dan Farmakokinetik
Dibandingkan dengan produk kombinasi hidrokodon rilis-langsung, Hysingla ER menghasilkan
bioavailabilitas serupa pada dosis harian yang sama. Konsentrasi plasma kondisi-stabil
diperkirakan 72 jam dengan rerata waktu terminal t1/2 7 jam.430
(Lihat bagian Kodein untuk mekanisme aksi.)
Sediaan dan Dosis
Tablet Hysingla ER tersedia dalam dosis 20, 30, 40, 60, 80, 100, dan 120 mg. Untuk pasien
opioid-naive, pemberian obat dimulai dengan tablet 20 mg per oral setiap 24 jam.430
Interaksi Obat dan Efek Samping yang Relevan
Lihat bagian Kodein.
Vantrela ER
Properti Pencegahan Penyalahgunaan
Vantrela ER mengandung hidrokodon bitartrat, berupa serbuk kristal putih hingga putih-
kekuningan. Kandungan ini tahan terhadap penghancuran (crushing), pematahan, dan disolusi.
Pada volume kecil ekstraksi, Vantrela ER membentuk hidrogel kental (viscous) ketika terpapar
lingkungan berair.431
Mekanisme Aksi dan Farmakokinetik
Bioavailabilitas Vantrela ER oral serupa dengan hidrokodon bitartrat. Kondisi stabil plasma
Vantrela tercapai dalam 24 jam, dengan waktu-paruh di antara 11 dan 12 jam.431
(Lihat bagian Kodein untuk mekanisme aksi)
Sediaan dan Dosis
Vantrela ER tablet tersedia dalam dosis 15, 30, 45, 60, dan 90 mg. Untuk pasien opioid-naive
dan opioid non-toleran, diberikan tablet 15-mg per oral setiap 12 jam sebagai dosis awal yang
disarankan.431
Interaksi Obat dan Efek Samping yang Relevan
Lihat bagian Kodein.
Arymo ER
Properti Pencegahan Penyalahgunaan
Mirip dengan opioid AD lainnya, tablet Arymo ER membentuk hidrogel kental saat terpapar
lingkungan cair. Massa gelatin ini yang memberikan sifat AD dari zat tersebut, yang selanjutnya
membuatnya lebih sulit untuk disalahgunakan melalui injeksi. Setiap manipulasi terhadap tablet
(memotong, mematahkan, mengunyah, menghancurkan, dan melarutkan) akan mengakibatkan
penghantaran morfin yang dapat menyebabkan overdosis dan kematian.432
Mekanisme Aksi dan Farmakokinetik
Bioavailabilitas morfin secara oral sekitar 20% sampai 40%, dengan keadaan stabil pada 24 jam,
dan waktu paruh (setelah administrasi intravena) biasanya 2 sampai 4 jam.432
(Lihat bagian Morfin untuk mekanisme aksi)
Sediaan dan Dosis
Arymo ER tersedia dalam dosis 15, 30, dan 60 mg. Tatalaksana dengan Arymo ER dapat dimulai
dengan tablet 15 mg setiap 8 atau 12 jam.432
Interaksi Obat dan Efek Samping yang Relevan
Lihat bagian Morfin.
Embeda
Properti Pencegahan Penyalahgunaan
Kapsul embeda mengandung butir (pelet) morfin sulfat dan sekuestrasi naltrekson hidroklorida.
Ketika kapsul Embeda dihancurkan, terjadi pelepasan simultan beserta absorpsi cepat morfin
sulfat dan naltrekson hidroklorida.433
Mekanisme Aksi dan Farmakokinetik
Bioavailabilitas Embeda oral hanya 20% hingga 40%, sedangkan konsentrasi plasma kondisi-
stabil diperkirakan 24 hingga 36 jam. Waktu paruh eliminasi terminal morfin setelah
administrasi Embeda dosis tunggal adalah sekitar 29 jam.433
(Lihat bagian Morfin untuk mekanisme aksi.)
Sediaan dan Dosis
Embeda tersedia dalam enam dosis, meliputi 20/0.8, 30/1.2, 50/2, 60/2.4, 80/3.2, dan 100/4 mg.
Embeda diberikan sekali sehari pada pasien opioid-naive atau dua kali sehari (setiap 12 jam,
BID) pada pasien non-toleran opioid.433
Interaksi Obat dan Efek Samping yang Relevan
Lihat bagian Morfin.
MorphaBond ER
Properti Pencegahan Penyalahgunaan
MorphaBond ER mengandung morfin sulfat dan diformulasikan dengan bahan inaktif yang
mempersulit penyalahgunaan melalui injeksi atau insuflasi sembari mempertahankan
karakteristik ER meskipun terjadi manipulasi fisik atau ekstraksi kimiawi; MorphaBond ER juga
membentuk hidrogel gelatin ketika terpapar lingkungan berair.434
Mekanisme Aksi dan Farmakokinetik
Bioavailabilitas oral morfin kira-kira 20% sampai 40%. Ketika MorphaBond ER diberikan
dengan regimen dosis tetap, kondisi-stabil dicapai dalam waktu sekitar 24 jam. Kadar plasma
kondisi-stabil juga diperkirakan tercapai pada 24 jam. Morfin memiliki waktu paruh 2 sampai 4
jam setelah administrasi intravena.434
(Lihat bagian Morfin untuk mekanisme aksi.)
Sediaan dan Dosis
Tablet MorphaBond ER tersedia dalam dosis 15-, 30-, 60-, dan 100-mg. Direkomendasikan
untuk memulai tatalaksana dengan tablet 15 mg per oral setiap 12 jam.434
Interaksi Obat dan Efek Samping yang Relevan
Lihat bagian Morfin.
OxyContin ER
Properti Pencegahan Penyalahgunaan
Pada tahun 2010, FDA menyetujui bentuk AD dari OxyContin ER, dan kemudian pada bulan
April 2013, obat ini menjadi analgesik opioid pertama yang menerima deskripsi berlabel sifat
pencegahan penyalahgunaan (abuse-deterrent).435 OxyContin ER mengandung oksikodon, dan
ketika terpapar lingkungan berair, OxyContin ER membentuk hidrogel gelatin, yang
menimbulkan sifat AD obat tersebut, selanjutnya mempersulit penyalahgunaan obat melalui jalur
intravena atau intranasal.436
Mekanisme Aksi dan Farmakokinetik
Pelepasan oksikodon tidak bergantung pada pH (pH-independent), memberikannya
bioavailabilitas oral sebesar 60% hingga 87%. Tingginya bioavailabilitas oral ini disebabkan
oleh metabolisme presistemik dan/ atau first-pass yang rendah. Tingkat kondisi-stabil dicapai
dalam 24 sampai 36 jam, dan waktu paruh eliminasi oksikodon setelah administrasi OxyContin
ER adalah 4,5 jam.436
(Lihat bagian Oksikodon untuk mekanisme aksi.)
Sediaan dan Dosis
Tablet OxyContin ER tersedia dalam dosis tablet 10-, 15-, 20-, 30-, 40-, 60-, dan 80-mg untuk
administrasi oral. Untuk pasien opioid-naive dan tidak toleran terhadap opioid, FDA
merekomendasikan untuk memulai tatalaksana dengan tablet 10 mg per oral setiap 12 jam.436
Interaksi Obat dan Efek Samping yang Relevan
Lihat bagian Oksikodon.
Targiniq ER
Properti Pencegahan Penyalahgunaan
Targiniq ER mengandung kombinasi oksikodon hidroklorida oxycodone dan nalokson
hidroklorida, dapat dihancurkan dan dilarutkan. Namun, menurut lembar fakta obat FDA,
pemisahan komplit atau inaktivasi komplit nalokson dari oksikodon tidak tercapai meskipun
menggunakan berbagai teknik dan kondisi. Berdasarkan hasil studi in vitro, tablet Targiniq ER
akan mengurangi penyalahgunaan melalui jalur intravena dan intranasal karena ketidakmampuan
obat untuk memisahkan dua komponen aktif. Memotong, mematahkan, mengunyah,
menghancurkan, atau melarutkan Targiniq ER akan merusak mekanisme penghantaran ER dan
mengakibatkan pelepasan dan absorpsi cepat dari dosis oksikodon yang berpotensi fatal.437
Mekanisme Aksi dan Farmakokinetik
Bioavailabilitas oral oksikodon dari Targiniq ER sebesar 60% hingga 87%. Konsentrasi plasma
stabil dicapai dalam waktu sekitar 48 jam. Oksikodon dengan cepat dieliminasi dari tubuh
dengan rerata waktu paruh sekitar 3,9 hingga 5,3 jam setelah administrasi oral dosis tunggal
Targiniq ER pada subjek sehat. Nalokson dieliminasi dari tubuh dengan rata-rata t1/2 berkisar
antara 4,1 hingga 17,2 jam.437
(Lihat bagian Oksikodon untuk mekanisme aksi.)
Sediaan dan Dosis
Targiniq ER tersedia dalam 10/5, 20/10, dan 40/20 mg. Untuk pasien opioid-naive dan tidak
toleran opioid, direkomendasikan untuk memulai tatalaksana Targiniq ER dengan tablet 10/5 mg
per oral setiap 12 jam.437
Interaksi Obat dan Efek Samping yang Relevan
Lihat bagian Oksikodon.
Troxyca ER
Properti Pencegahan Penyalahgunaan
Kapsul Troxyca ER mengandung butir ofoksikodon hidroklorida dengan sekuestrasi naltrekson
hidroklorida (antagonis opioid). Ketika digunakan sesuai petunjuk, naltrekson tetap diasingkan
(tersekuestrasi) dan pasien menerima oksikodon dengan cara rilis-lambat. Menghancurkan butir
obat akan melepaskan naltrekson sekuestrasi, sehingga menangkal (counteracting) efek
oksikodon.438
Mekanisme Aksi dan Farmakokinetik
Bioavailabilitas oral dari Proxyca ER adalah 60% sampai 87%, sedangkan keadaan stabil plasma
dicapai dalam waktu 48 jam dengan dosis dua kali sehari (interval 12 jam). Eliminasi nyata
waktu paruh oxycodone adalah sekitar 7,2 jam.438
(Lihat bagian Oksikodon untuk mekanisme aksi.)
Sediaan dan Dosis
Troxyca ER tersedia dalam dosis tetap 10/1.2, 20/2.4, 30/3.6, 40/4.8, 60/ 7.2, dan 80/9.6 mg.
Untuk pasien opioid-naive dan tidak toleran opioid, terapi dimulai dengan kapsul 10/1.2 mg
setiap 12 jam.438
Interaksi Obat dan Efek Samping yang Relevan
Lihat bagian Oksikodon.
RoxyBond
Properti Pencegahan Penyalahgunaan
RoxyBond mengandung oksikodon hidroklorida. RoxyBond memiliki formulasi AD yang
mencegah penyalahgunaan intranasal dan IV dengan membentuk hidrogel kental yang menahan
aliran melalui jarum suntik ketika seseorang mencoba untuk menyuntikkan RoxyBond secara
intravena.439
Mekanisme Aksi dan Farmakokinetik
RoxyBond telah menunjukkan bioavailabilitas yang sebanding dengan Roksikodon (60% hingga
87%). Konsentrasi plasma stabil membutuhkan waktu capaian 18 sampai 24 jam, dengan waktu
paruh eliminasi yang jelas antara 3,8 dan 4,3 jam.439
(Lihat bagian Oksikodon untuk mekanisme aksi.)
Sediaan dan Dosis
Kekuatan dosis RoxyBond sama dengan Roksikodon, keduanya tersedia dalam regimen dosis 5-,
15-, dan 30-mg. Dosis dapat dimulai dengan kisaran 5 sampai 15 mg setiap 4 sampai 6 jam
sesuai kebutuhan.439
Interaksi Obat dan Efek Samping yang Relevan
Lihat bagian Oksikodon.
Xtampza ER
Properti Pencegahan Penyalahgunaan
Xtampza ER merupakan analgesik opioid yang mengandung formulasi mikrosfer dalam kapsul,
dengan masing-masing mikrosfer bertindak sebagai sistem penghantaran obat itu sendiri. Setiap
mikrosfer terdiri dari oksikodon yang tersebar secara homogen dalam matriks hidrofobik asam
lemak dan zat lilin (wax). Ukuran partikel kecil dan lunak (waxy), sifat hidrofobik memberikan
sifat AD dari Xtampza ER.440
Cara-cara administrasi meliputi oral melalui kapsul utuh, ditaburkan langsung ke dalam
mulut, atau pada makanan lunak dan melalui selang enteral seperti selang nasogastrik dan
gastrostomi; berbagai rute pemberian ini memberikan pilihan dosis yang fleksibel bagi mereka
yang mengalami kesulitan menelan. Selain itu, karakteristik Xtampza ER tetap bertahan jika
dikunyah atau dihancurkan, menjadikan Xtampza ER sebagai satu-satunya opioid yang
diformulasikan ER tanpa peringatan kotak untuk dihancurkan atau dikunyah.440
Mekanisme Aksi dan Farmakokinetik
Bioavailabilitas Xtampza ER adalah 114% dalam keadaan pasien setelah makan jika
dibandingkan dengan 75% dalam keadaan pasien berpuasa. Kadar stabil dicapai dalam 24
sampai 36 jam, dengan waktu paruh 5,6 jam dalam keadaan makan.440
(Lihat bagian Oksikodon untuk mekanisme aksi.)
Sediaan dan Dosis
Xtampza ER tersedia dalam dosis tetap, termasuk 9, 13.5, 18, 27, dan 36 mg. Untuk pasien
opioid-naive dan tidak toleran opioid, pengobatan Xtampza ER dimulai dengan kapsul 9 mg per
oral, dua kali sehari, setiap 12 jam dengan makanan. Sangat penting bagi pasien untuk
mengkonsumsi Xtampza ER dengan makanan karena bioavailabilitas oral bergantung pada
makanan yang dikonsumsi (paling besar setelah diet tinggi lemak dan kalori tinggi).440
Interaksi Obat dan Efek Samping yang Relevan
Lihat bagian Oksikodon.
Obat-obatan yang sedang diteliti (Investigational Drugs)
Oliceridine (TRV130)
Oliceridine merupakan modulator selektif jalur preseptor protein G pertama, atau "GPS."
Oliceridine diindikasikan untuk manajemen nyeri akut sedang hingga berat di mana terapi
intravena lebih dipilih. Pada bulan Februari 2016, FDA memberikan status Terapi Terobosan
(Breakthrough Therapy) pada oliceridine dengan harapan dapat meningkatkan penghantaran
potensi pengurangan rasa nyeri dari opioid dengan efek samping yang lebih sedikit. Oliceridine
hanya tersedia dalam bentuk intravena dan dapat memberikan manfaat dibandingkan morfin IV
dengan efek samping yang lebih sedikit.441
Obat-obat Analgesik Transdermal dan Topikal
Kulit dapat digunakan untuk menghantarkan obat secara lokal, ke jaringan target yang
mendasarinya, atau secara sistemik. Bergantung pada jenis obat, penghantaran dapat melalui
sistem penghantaran transdermal (TD) eksogen sekali pakai (disposable) ataupun krim atau salep
topikal. Meskipun istilah "transdermal" dan "topikal" sering digunakan secara bergantian,
pemberian TD bertujuan untuk mencapai tingkat terapeutik sistemik yang serupa dengan
administrasi oral dan dapat diberikan distal ke lokasi target selama periode waktu yang lama.
Patch fentanil adalah contoh dari sistem penghantaran TD sejati, sedangkan OAINS topikal,
patch OAINS Flector (epolamin diklofenak topikal), dan patch lidokain adalah contoh aplikasi
topikal.
Pemberian TD dan aplikasi topikal menjadi semakin populer karena dapat menghindari
absorpsi saluran GI dan metabolisme first-pass hepar yang tidak dapat diprediksi. Obat topikal
juga dapat mencapai konsentrasi terapeutik yang lebih tinggi di lokasi target lokal daripada obat
yang diberikan secara sistemik.
Semua sistem penghantaran TD terdiri dari tiga elemen: pendukung, obat aktif, dan
adhesif. Sistem reservoir generasi pertama melepaskan obat aktif melalui membran dengan
kecepatan-terbatas (rate-limiting). Sistem matriks generasi kedua memiliki obat aktif yang
tertanam dalam lapisan polimer dan langsung diaplikasikan ke kulit. Kedua sistem
menghantarkan obat aktif pada kecepatan konstan dan dengan demikian mempertahankan kadar
plasma-obat yang konstan. Karakteristik ini, selanjutnya, memperluas aktivitas terapeutik untuk
obat-obatan dengan waktu paruh yang pendek dan meningkatkan kepatuhan pasien dengan
meningkatkan interval pemberian dosis.
Di masa mendatang, peningkatan jumlah obat kemungkinan akan dihantarkan melalui
kulit ketika perangkat tambahan mekanis baru dikembangkan untuk meningkatkan permeabilitas
topikal TD dan memungkinkan administrasi obat yang dapat dikendalikan oleh pasien.
Iontophoresis merupakan mekanisme peningkatan yang tersedia saat ini, dan berbagai
mekanisme lainnya (misalnya, elektroporasi, sonoforesis, dan microneedles) sedang diteliti.442-444
Sayangnya, beberapa faktor membatasi aplikasi TD dan obat analgesik topikal. Pertama,
dermatitis kontak yang signifikan dapat terjadi di antara individu-individu tertentu. Pemberian
TD dan aplikasi topikal juga tidak cocok untuk semua obat. Efektivitas obat analgesik individu
semakin diperumit dengan variabel tertentu termasuk kelembaban kulit, suhu lingkungan, sifat
termodinamika obat, dan sifat jaringan target. Aspek yang masih tetap menjadi kerugian utama
yaitu bahwa kebanyakan sediaan TD (terutama OAINS topikal) memiliki waktu penyimpanan
yang relatif singkat, sehingga menyulitkan produksi massal obat.
Para dokter fisioterapi harus terbiasa dengan pemberian TD dan aplikasi topikal karena
mereka mungkin akan menemukan beberapa obat ini dalam praktik sehari-hari. Daftar sebagian
dari kelas obat TD yang tersedia termasuk analgesik, antibiotik, antikolinergik, antiemetik, dan
hormon. Obat-obatan tersebut juga dapat diberikan melalui membran mukosa menggunakan
semprotan intranasal, larutan oftalmologi, dan supositoria. Agen topikal banyak tersedia tanpa
resep (over the counter), namun banyak obat TD yang hanya tersedia di apotek khusus yang
dikenal sebagai apotek peracikan (compounding pharmacy).
Agen-agen Tunggal (Individual Agents)
Patch EMLA, LIDOKAIN, dan FENTANIL telah dibahas sebelumnya dalam bab ini.
Epolamin Diklofenak (Flector Patch)
Relevansi dengan Fisiatri
Meskipun komunitas internasional telah memiliki pengalaman yang signifikan dengan OAINS
topikal dan dilaporkan dapat ditoleransi dengan baik, terutama sehubungan dengan rendahnya
efek samping terkait GI, pada awal 2017, terdapat 3 OAINS topikal yang disetujui di Amerika
Serikat, patch Flector, gel topikal natrium diklofenak 1% (Voltarengel), dan larutan topikal
natrium diklofenak 1,5%.
Bahan aktif dalam patch Flector adalah 1,3% epolamin diklofenak. Patch Flector
diindikasikan untuk kasus terkilir (sprain), strain, dan kontusio ringan. Beberapa uji coba
terkontrol acak (randomized controlled trial/ RCT) juga telah menunjukkan bahwa patch Flector
efektif dalam tatalaksana jangka pendek OA lutut simptomatis dan epikondilitis.445,446
Dari uji coba tersebut, baik gel topikal natrium diklofenak 1% dan larutan topikal natrium
diklofenak 1,5% telah disetujui oleh FDA terhadap manajemen tatalaksana OA.447 Saat ini
sedang dilakukan penelitian dari sediaan kombinasi (heparin dan lesitin dengan epolamin
diklofenak), dan hasil awal menunjukkan bahwa kombinasi ini memiliki efek antiinflamasi,
hemorheologi, dan anti edema yang superior untuk menangani trauma lokal.448,449
Mekanisme Aksi dan Farmakokinetik
Efek antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik dari epolamin diklofenak mirip dengan OAINS
lainnya. Patch Flector mencapai tingkat plasma puncak antara 10 dan 20 jam setelah aplikasi,
dan waktu paruh setiap patch sekitar 12 jam. 450 Diklofenak berikatan dengan protein plasma,
dimetabolisme oleh hepar, dan kemudian diekskresikan bersama dengan urin dan empedu.
Sediaan dan Dosis
Gel Voltaren — Persendian ekstremitas bawah: Dapat dioleskan 4 g QID (4 kali sehari),
MAKSIMAL 16 g/sendi/hari, sedangkan pada sendi ekstremitas atas, dapat diaplikasikan 2 g
QID, MAKSIMAL 8 g/sendi/hari.
Setiap patch Flector mengandung 180 mg epolamin diklofenak dalam basa cair.
Rekomendasi dosis yaitu satu patch Flector ke kulit intak pada area target BID (2 kali sehari).
Interaksi Obat dan Efek Samping yang Relevan
Efek samping yang paling umum dari patch Flector berupa reaksi kulit lokal. Meskipun
diklofenak memiliki efek samping dan profil interaksi obat yang serupa dengan OAINS lain,
kadar serum obat minimal terkait dengan penggunaan obat dalam formulasi patch menyebabkan
risiko efek samping GI yang lebih rendah.
Capsaicin (Zostrix, Zostrix-HP)
Relevansi dengan Fisiatri
Capsaicin merupakan neurotoksin reversibel alami yang berasal dari tanaman famili Solanaceae
(yaitu, cabai "panas") dan diklasifikasikan sebagai capsaicinoid. Capsaicin digunakan oleh
dokter fisioterapi untuk menangani keadaan nyeri lokal (misalnya, nyeri neuropatik fokal) dan
artralgia sendi (misalnya OA lutut dan jari). Capsaicin topikal disetujui FDA untuk tatalaksana
neuropati diabetik dan PHN, bersama dengan nyeri akibat OA dan rheumatoid arthritis, Beberapa
penelitian menemukan bahwa capsaicin bermanfaat terhadap nyeri pasca operasi, neuralgia
trigeminal, dan sakit kepala cluster.451-456 Terdapat pula sejumlah kecil literatur mengenai
manajemen CRPS tipe T dan nyeri ekstremitas residu neurogenik pada trauma amputasi.457,458
Capsaicin memiliki efektivitas signifikan dalam menangani nyeri muskuloskeletal dan
neuropatik kronis tetapi umumnya dianggap sebagai analgesik adjuvan. Hasil studi tentang
penggunaan kombinasi capsaicin dan obat topikal lainnya secara umum memberikan manfaat.
Misalnya, kombinasi capsaicin (0,25%) dan doksepin 3,3% topikal ditemukan dapat
menghasilkan efek sinergis pada nyeri neuropatik.18 Sebuah tinjauan sistematis di tahun 2004
menyatakan bahwa capsaicin mungkin bermanfaat sebagai terapi tambahan atau tunggal untuk
pasien dengan nyeri refrakter.459
Aplikasi capsaicin langsung yang lebih jarang diberikan secara fisiatrik meliputi kondisi
urologi yang menyakitkan, nyeri temporomandibular, mukositis oral, rhinitis, dan
psoriasis.17,180,460,461
Selain penggunaan klinis, capsaicin juga menjadi bagian integral dari penelitian
manajemen nyeri.462,463 Dikembangkan model nyeri sensitisasi trigeminal manusia untuk
memeriksa faktor perbedaan gender.464 Selain itu, penelitian sains dasar menunjukkan bahwa zat
serupa-capsaicin endogen dilepaskan dalam jaringan yang mengalami inflamasi dan
menghasilkan impuls saraf nosiseptif dengan bekerja pada reseptor capsaicin di neuron
sensorik.465
Mekanisme Aksi dan Farmakokinetik
Efek analgesia dicapai dengan ikatan capsaicin pada vanilloid receptor-1 (VR1), yang
menyebankan deplesi dan inhibisi akumulasi substansi P (SP) di lokasi target. SP adalah
neuropeptida endogen yang diproduksi oleh serat (fiber) "nyeri" sensorik primer diameter-kecil;
SP terlibat dalam transmisi aferen impuls nyeri dan menstimulasi sel-sel imun. 466,467 Selain
deplesi SP, capsaicin juga menghambat transpor dan sintesis de novo SP. Efek keseluruhan
capsaicin adalah degenerasi sensorik reversibel yang menyebabkan desensitisasi nyeri. Secara
tidak langsung inflamasi juga mengalami inhibisi pada proses di atas karena inflamasi memiliki
komponen saraf yang disebut sebagai inflamasi neurogenik. Pemegang peran proinflamasi utama
dalam model ini adalah SP dan peptida-peptida terkait. 468 Biokimia Capsaicin masih sedang
dalam penelitian.469,470
Sediaan dan Dosis
Capsaicin tersedia dengan berbagai nama dagang meliputi sediaan krim topikal 0,025% (Zostrix)
dan 0,075% (Zostrix-HP) yang diaplikasikan tiga sampai empat kali sehari. Capsaicin juga
tersedia dalam bentuk patch 8%, yang diberikan sebagai patch aplikasi tunggal yang dapat
bertahan selama 60 menit, serta dalam bentuk stik 0,25% hingga 0,75%. Tatalaksana pada pasien
harus dimulai dengan sediaan konsentrasi yang lebih rendah untuk meminimalisir efek awal yang
tidak diinginkan.
Interaksi Obat dan Efek Samping yang Relevan
Sensasi perih dan terbakar sementara (transient) pada area aplikasi, yang disebabkan oleh
aktivasi serat C, dialami hingga 50% pasien pada onset tatalaksana, terutama dengan formulasi
potensi yang lebih tinggi. Studi pada capsaicin menyatakan rerata tingkat penghentian
penggunaan capsaicin pada 13% peserta karena sensasi rasa terbakar yang tak tertahankan.
Capsaicin dianggap tidak sesuai untuk menangani nyeri muskuloskeletal akut karena alasan ini
meskipun efek samping tersebut biasanya akan menghilang (remisi) setelah beberapa hari
pertama.471 Fenomena ini dikaitkan dengan deplesi substansi P dengan aplikasi berulang. Batuk
merupakan efek samping lain yang mungkin dapat terjadi. Tidak ada efek samping pada fungsi
saraf dan tidak ada interaksi obat yang telah didokumentasikan hingga saat ini.472
OAINS Topikal Lain
Ketoprofen tersedia dalam beberapa bentuk termasuk gel 2,5% hingga 10% serta patch TD.
Ketoprofen telah menunjukkan manfaat yang menjanjikan pada kasus cedera jaringan lunak
dalam aspek mengurangi nyeri akut. Salisilat, termasuk krim aspirin, dalam studi ukuran sampel
kecil telah terbukti secara signifikan dapat mengurangi rasa nyeri pada pasien dengan neuralgia
herpes akut.473

Anda mungkin juga menyukai