Anda di halaman 1dari 19

Bab 31

Anestesi untuk Pasien dengan Penyakit Ginjal

Konsep Utama
1. Penggunaan pengukuran kreatinin serum tunggal sebagai indikator dari tingkat filtrasi
glomerulus (GFR) terbatas pada kasus kritis: Tingkat dari produksi kreatinin, dan
distribusi volumenya, mungkin bisa abnormal pada pasien yang mengalami penyakit
kritis, dan konsentrasi kreatinin serum seringkali tidak akurat untuk mencerminkan GFR
pada ketidakseimbangan fisiologis dari gagal ginjal akut (AKI).

2. Pengukuran pengeluaran kreatinin merupakan metode yang paling akurat yang tersedia
untuk secara klinis menilai fungsi ginjal secara keseluruhan.

3. Akumulasi dari metabolit morfin dan meperidine telah dilaporkan dapat memperpanjang
depresi pernapasan pada pasien dengan gagal ginjal.

4. Succinylcholine dapat digunakan secara aman pada pasien dengan gagal ginjal pada
kondisi dimana tidak terdapat hiperkalemia pada saat diinduksi.

5. Kelebihan cairan ekstraseluler yang diakibatkan oleh retensi natrium, berhubungan


dengan peningkatan kebutuhan jantung yang diperberat oleh anemia dan hipertensi,
membuat pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir lebih rentan untuk mengalami
gagal jantung kongestif dan edema paru.

6. Pengosongan lambung yang tertunda yang disebabkan oleh neuropati sistem saraf
otonom yang berhubungan dengan penyakit ginjal dapat meningkatkan resiko pasien
untuk mengalami aspirasi perioperatif.

7. Ventilasi terkontrol sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien dengan gagal ginjal dengan
pemberian anestesi umum. Ventilasi spontan atau bantuan ventilasi yang tidak adekuat
dengan hiperkarbia progresif dengan pemberian anestesi dapat menyebabkan asidosis
respiratorik yang dapat memperberat asidosis yang telah terjadi, meningkatkan
kemungkinan terjadinya depresi sirkulasi berat, dan dapat meningkatkan konsentrasi
kalium serum yang membahayakan.

8. Tatalaksana anestesi yang tepat pada pasien dengan insufisiensi ginjal merupakan hal
yang sama pentingnya dengan tatalaksana dari pasien gagal ginjal yang jelas, terutama
pada prosedur yang berhubungan dengan insidensi gagal ginjal paska operasi yang relatif
tinggi, seperti operasi rekonstruksi jantung dan aorta.

9. Penurunan volume intravaskuler, sepsis, obstructive jaundice¸ cedera benturan, dan


toksin ginjal, seperti agen radiokontras, antibiotik tertentu, angiotensin-converting
enzyme inhibitor, dan obat antiinflamasi non steroid, merupakan faktor resiko mayor
untuk perburukan akut dari fungsi ginjal.

10. Perlindungan ginjal dengan hidrasi yang adekuat dan mempertahankan aliran darah ginjal
terutama sangat penting pada pasien yang beresiko tinggi mengalami AKI dan gagal
ginjal yang menjalani prosedur operasi jantung, rekonstruksi aorta mayor, dan prosedur
operasi lainnya yang berhubungan dengan kesalahan fisiologis yang signifikan.
Penggunaan mannitol., infus dopamine dosis rendah, loop diuretik, atau fenoldopam
untuk perlindungan ginjal masih kontroversial dan tidak terdapat bukti kemanjurannya.

Gagal ginjal akut (AKI) merupakan masalah yang umum terjadi, dengan insidensi mencapai 5%
pada semua pasien rawat inap dan mencapai 8% pada pasien dengan penyakit kritis. AKI paska
operasi dapat terjadi pada 1% atau lebih dari pasien bedah umum, dan mencapai 30% dari pasien
yang menjalani prosedur operasi thoraks dan jantung serta prosedur operasi pembuluh darah.
AKI perioperatif merupakan masalah yang sangat sering diabaikan dan dapat meningkatkan
morbiditas, mortalitas, dan biaya perioperatif. Hal ini merupakan gangguan sistemik yang
termasuk gangguan cairan dan elektrolit, gagal napas, serangan jantung mayor, penurunan sistem
imun yang menyebabkan terjadinya infeksi dan sepsis, perubahan status mental, disfungsi hepar,
dan perdarahan gastrointestinal. Hal ini juga merupakan penyebab utama dari gagal ginjal kronis.
Faktor resiko preoperatif untuk AKI perioperatif termasuk penyakit ginjal yang telah ada
sebelumnya, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit hepar, sepsis, trauma, hipovolemia, myeloma
multipel, dan usia lebih dari 55 tahun. Resiko terjadinya AKI perioperatif juga meningkat oleh
paparan terhadap agen nefrotoksik seperti obat antiinflamasi non steroid (NSAID), agen
radiokontras, dan antibiotik (lihat Tabel 30-4). Klinisi harus memiliki pemahaman yang
menyeluruh mengenai resiko dari AKI, diagnosis banding, dan rencana evaluasinya (Gambar 31-
1).

Mengevaluasi Fungsi Ginjal


Gangguan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh disfungsi glomerulus, disfungsi tubulus, atau
obstruksi saluran kemih. Penilaian klinis yang akurat dari fungsi ginjal seringkali sulit dilakukan
dan sangat bergantung pada penentuan laboratoris mengenai tingkat filtrasi glomerulus (GFR),
termasuk pengeluaran kreatinin, dan evaluasi lainnya (Tabel 31-1 dan 31-2). Bahkan sedikit
peningkatan kreatinin serum paska operasi berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas, walaupun banuyak faktor yang dapat menjadi perancu dalam pemeriksaannya
(Gambar 31-2). Sistem yang digunakan untuk menentukan dan menggolongkan derajat dari
disfungsi ginjal adalah kriteria Risk, Injury, Failure, Loss, End-stage (RIFLE) dari Inisiasi
Kualitas Dialisis Akut dan sistem penilaian Acute Kidney Injury Network (AKIN). Sistem
tersebut digabungkan menjadi klasifikasi Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO)
(Tabel 31-3). Dengan demikian, diagnosis tradisional dari AKI, yang berdasarkan pada kreatinin
serum dan luaran urin, telah diganti menjadi peningkatan kreatinin serum sebesar 0,3 mg/dL atau
lebih dalam waktu 48 jam atau peningkatan 1,5 kali lipat atau lebih dari batas dasar dalam waktu
7 hari. Karena AKI merupakan gangguan sistemi, sangat penting untuk mengingat bahwa fungsi
ekskresi ginjal yang dinilai melalui kreatinin serum dan luaran urin tidak mencakup fungsi ginjal
dalam sistem endokrin, metabolik, dan imunologi. Sebuah penelitian besar saat ini sedang
mengevaluasi biomarker plasma dan urin yang berhubungan dengan AKI, seperti cystatin C,
lipocalin yang berhubungan dengan neutrofil gelatinase, interleukin-18, molekul gagal ginjal-1,
dan beberapa penelitian saat ini telah tersedia secara komersial (Gambar 31-3). Kemungkinan
biomarker tersebut akan memainkan peran yang sangat menonjol dalam beberapa waktu kedepan
untuk diagnosis, penggolongan, dan penilaian prognostik dari AKI.

Nitrogen Urea Darah


Sumber utama urea di dalam tubuh berasal dari hepar. Saat proses katabolisme protein, ammonia
diproduksi dari deaminasi asam amino. Perubahan ammonia menjadi urea di dalam hepar akan
menghambat penumpukan kadar ammonia yang bersifat toksik:
2 NH 3 +CO 2 → H 2 N −CO−NH 2 + H 2 O

Karena itu nitrogen urea darah (BUN) berhubungan secara langsung dengan katabolisme protein
dan berbanding terbalik dengan filtrasi glomerulus. Sebagai hasilnya, BUN bukan merupakan
indikator yang dapat diandalkan untuk GFR kecuali katabolisme proteinnya normal dan konstan.
Perlu diingat bahwa 40% hingga 50% dari hasil filtrasi urea secara normal direabsorbsi secara
pasif oleh tubulus ginjal; hipovolemia akan meningkatkan fraksi ini.
Konsentrasi BUN normal adalah 10 hingga 20 mg/dL. Nilai yang lebih rendah dapat tampak
pada pasien yang mengalami kelaparan atau penyakit hepar; peningkatan BUN umumnya terjadi
akibat penurunan GFR atau peningkatan katabolisme protein. Hasil akhirnya mungkin
disebabkan oleh karena kondisi katabolik yang tinggi (trauma atau sepsis), degradasi darah baik
pada saluran gastrointestinal atau pada hematoma yang besar, atau diet tinggi protein.
Konsentrasi BUN yang lebih besar dari 50 mg/dL secara umum berhubungan dengan gangguan
fungsi ginjal.

Kreatinin Serum
Kreatinin merupakan produk dari metabolism otot yang secara non enzimatik diubah menjadi
kreatinin. Produksi kreatinin harian pada sebagian besar pasien relatif konstan dan berhubungan
dengan massa otot, rata-rata antara 20 hingga 25 mg/kg pada laki-laki dan 15 hingga 20 mg/kg
pada perempuan. Kreatinin kemudian tersaring (dan sebagian kecil disekresikan) namun tidak
direabsorbsi di dalam ginjal. Karena itu konsentrasi kreatinin serum berhubungan secara
langsung dengan massa otot tubuh dan berbanding terbalik dengan filtrasi glomerulus (Gambar
31-4). Karena massa otot tubuh umumnya relatif konstan, pengukuran kreatinin serum secara
umum merupakan indeks yang dapat diandalkan untuk GFR pada pasien rawat jalan. Namun,
penggunaan pengukuran kreatinin serum tunggal sebagai indikator dari tingkat filtrasi
glomerulus (GFR) terbatas pada kasus kritis: Tingkat dari produksi kreatinin, dan distribusi
volumenya, mungkin bisa abnormal pada pasien yang mengalami penyakit kritis, dan konsentrasi
kreatinin serum seringkali tidak akurat untuk mencerminkan GFR pada ketidakseimbangan
fisiologis dari gagal ginjal akut (AKI).
Konsentrasi kreatinin serum normal adalah 0,8 hingga 1,3 mg/dL pada laki-laki dan 0,3 hingga 1
mg/dL pada perempuan. Perlu dicatat dari Gambar 31-4 bahwa setiap penggandaan nilai
kreatinin serum mewakili 50% penurunan pada GFR. Sebagaimana yang telah dikatakan
sebelumnya, banyak faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran kreatinin serum.
GFR mengalami penurunan seiring dengan peningkatan usia pada sebagian besar individu (5%
per decade setelah usia 20 tahun), namun karena massa otot juga mengalami penurunan,
kreatinin serum masih tetap dalam jumlah yang relatif normal; produksi kreatinin dapat menurun
hingga 10 mg/kg. Dengan demikian, pada pasien usia lanjut, sedikit peningkatan pada kreatinin
serum dapat menunjukkan adanya perubahan yang besar pada GFR. Dengan menggunakan usia
dan berat badan tanpa lemak (dalam kilogram), GFR dapat diperirakan dengan rumus berikut ini
untuk laki-laki:
[ ( 140−Usia ) × Berat badantanpa lemak ]
Pengeluaran Kreatinin=
(72 × Kreatinin plasma)

Untuk wanita, persamaan ini harus dikalikan dengan 0,85 untuk mengkompensasi massa otot
yang lebih kecil.
Konsentrasi kreatinin serum membutuhkan 48 hingga 72 jam untuk diseimbangkan pada kadar
yang baru setelah perubahan akut pada GFR.

Pengeluaran Kreatinin
Pengukuran pengeluaran kreatinin merupakan metode yang paling akurat yang tersedia untuk
secara klinis menilai fungsi ginjal secara keseluruhan (sebenarnya, GFR). Walaupun
pengukurannya umumnya dilakukan lebih dari 24 jam, penentuan pengeluaran kreatinin 2 jam
layak dianggap akurat dan lebih mudah untuk dilakukan. Gangguan ringan dari fungsi ginjal
secara umum menghasilkan pengeluaran kreatinin sebesar 40 hingga 60 mL/menit. Pengeluaran
antara 25 dan 40 mL/menit menyebabkan disfungsi ginjal sedang dan hampir selalu
menyebabkan gejala. Pengeluaran kreatinin kurang dari 25 mL/menit merupakan indikasi dari
gagal ginjal yang jelas.
Penyakit ginjal stadium lanjut menyebabkan peningkatan sekresi kreatinin pada tubulus
proksimal. Sebagai akibatnya, dengan penurunan fungsi ginjal maka pengeluaran kreatinin
secara progresif menyebabkan perkiraan yang berlebihan dari GFR sebenarnya. Selain itu, terjadi
penjagaan relatif dari GFR walaupun penyakit ginjal progresif dapat terjadi akibat hiperfiltrasi
kompensasi pada nefron sisanya dan meningkatkan tekanan filtrasi glomerulus. Karena itu sangat
penting untuk melihat tanda lain dari penurunan fungsi ginjal seperti hipertensi, proteinuria, atau
abnormalitas pada sedimentasi urin.

Rasio Nitrogen Urea Darah : Kreatinin


Tingkat aliran tubulus ginjal yang rendah meningkatkan reabsorbsi urea namun tidak
mempengaruhi ekskresi kreatinin. Sebagai akibatnya, rasio dari BUN terhadap kreatinin serum
mengalami peningkatan hingga lebih dari 10:1. Penurunan pada aliran tubulus dapat disebabkan
oleh karena penurunan perfusi ginjal atau obstruksi dari saluran kemih. Rasio BUN:kreatinin
yang lebih besar dari 15:1 akan tampak pada penurunan volume dan gangguan edema yang
berhubungan dengan penurunan aliran tubulus (seperti, gagal jantung kongestif, sirosis, sindroma
nefrotik) begitu juga pada uropati obstruktif. Peningkatan pada katabolisme protein juga dapat
meningkatkan rasio ini.

Urinalisis
Urinalisis terus dilakukan secara rutin untuk mengevaluasi fungsi ginjal. Walaupun kegunaannya
dan efektivitas biaya untuk tujuan ini masih dipertanyakan, urinalisis dapat membantu dalam
mengidentifikasi beberapa gangguan disfungsi tubulus ginjal begitu juga dengan beberapa
gangguan selain ginjal. Urinalisis yang rutin dilakukan terutama termasuk pH; berat jenis;
deteksi dan kuantifikasi dari kadar glukosa, protein, dan bilirubin; dan pemeriksaan mikroskopis
dari sedimentasi urin. pH urin hanya membantu saat pH arteri juga diketahui. pH urin yang lebih
besar dari 7,0 pada kondisi dimana terjadi asidosis sistemik menunjukkan bahwa terjadi asidosis
tubulus ginjal (lihat Bab 50). Berat jenis berhubungan dengan osmolalitas urin; 1,010 umumnya
setara dengan 290 mOsm/kg. Berat jenis yang lebih besar dari 1,018 setelah puasa semalaman
merupakan indikasi dari kemampuan konsentrasi ginjal yang adekuat. Berat jenis yang lebih
rendah pada kondisi dimana terjadi hiperosmolalitas plasma konsisten dengan hasil yang
ditunjukkan pada pasien dengan diabetes insipidus.
Glikosuria merupakan akibat dari penurunan ambang batas tubulus terhadap glukosa (normalnya
180 mg/dL) atau hiperglikemia. Proteinuria yang terdeteksi oleh urinalisis rutin sebaiknya
dievaluasi dengan pemeriksaan sampel urin 24 jam. Ekstresi protein urin yang lebih besar dari
150 mg/d merupakan hasil yang signifikan. Peningkatan kadar bilirubin dalam urin tampak pada
kondisi obstruksi saluran bilier.
Analisis mikroskopik dari sedimentasi urin mendeteksi adanya sel darah merah atau sel darah
putih, bakteri, cast, dan Kristal. Sel darah merah mengindikasikan adanya perdarahan yang bisa
disebabkan oleh tumor, batu, infeksi, koagulopati, atau trauma (umumnya, kateterisasi urin). Sel
darah putih dan bakteri secara umum berhubungan dengan infeksi. Perjalanan penyakit oada
tingkat nefron menghasilkan cast tubulus. Kristal dapat mengindikasikan adanya abnormalitas
pada metabolism asam oksalat, asam urat, atau sistin.

Gangguan Fungsi Ginjal dan Efek dari Agen Anestesi


Sebagian besar obat yang umumnya diberikan saat anestesi (selain obat anestesi yang mudah
menguap) paling tidak bergantung sebagian pada ekskresi ginjal untuk eliminasinya. Pada
kondisi dimana terdapat gangguan ginjal, modifikasi dosis mungkin diperlukan untuk mencegah
penumpukan dari obat atau metabolit aktifnya. Selain itu, efek sistemik dari AKI dapat
meningkatkan kinerja farmakologis dari sebagian besar agen tersebut. Observasi ini akhirnya
dapat menyebabkan penurunan pengikatan protein dengan obat tersebut, penetrasi otak yang
lebih besar karena beberapa obat dapat menembus sawar darah otak, atau efek sinergistik dengan
toksin yang terdapat pada kondissi gagal ginjal.

Agen Intravena
Propofol dan Etomidate
Farmakokinetik baik dari propofol dan etomidate terpengaruh secara minimal oleh gangguan
fungsi ginjal. Penurunan pengikatan protein dari etomidate pada pasien dengan
hypoalbuminemia dapat meningkatkan efek farmakologinya.

Barbiturat
Pasien dengan penyakit ginjal umumnya menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap
barbiturate saat diinduksi, walaupun profil farmakokinetiknaya tidak diubah. Mekanismenya
adalah terjadi peningkatan barbiturat bebas dalam sirjulasi yang disebabkan oleh penurunan
ikatan protein. Asidosis juga membantu agen ini untuk lebih cepat masuk ke otak dengan
meningkatkan fraksi obat yang tidak terionisasi (lihat Bab 26).
Ketamin
Farmakokinetik ketamin terpengaruh secara minimal oleh penyakit ginjal. Beberapa metabolit
aktif dari hepar bergantung pada ekskresi ginjal dan kemungkinan dapat menyebabkan
akumulasi pada gagal ginjal.

Benzodiazepin
Benzodiazepin melalui metabolisme dan konjugasi hepar sebelum dieliminasi melalui urin.
Karena obat ini sangat mudah berikatan dengan protein, peningkatan sensitivitas benzodiazepin
daoat terlihat pada pasien dengan hypoalbuminemia. Diazepam dan midazolam sebaiknya
diberikan secara hati-hati pada kondisi dimana terdapat gangguan ginjal karena kemungkinan
dapat menyebabkan penumpukan metabolit aktif.

Opioid
Sebagian besar opioid yang digunakan dalam praktik anestesi (morfin, meperidine, fentanyl,
sufentanil, dan alfentanil) diinaktivasi oleh hepar; sebagian dari metabolit tersebut kemudian
akan diekskresikan melalui urin. Farmakokinetik remifentanil tidak terpengaruh oleh fungsi
ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah. Dengan pengecualian pada morfin dan
meperidine, penumpukan yang signifikan dari metabolut aktif secara umum tidak terjadi pada
agen tersebut. Akumulasi dari metabolit morfin (morphine-6-glucoronide) dan meperidine
(normeperidine) dapat memperpanjang depresi pernapasan pada pasien dengan gagal ginjal, dan
peningkatan kadar nonmeperidine berhubungan dengan kejadian kejang. Farmakokinetik dari
obat agonis-antagonis opioid yang paling sering digunakan (butorphanol, nalbuphine, dan
buprenorphine) tidak terpengaruh oleh gagal ginjal.

Agen antikolinergik
Pada dosis yang digunakan untuk pre medikasi, atropine, dan glycopyrrolate secara umum dapat
digunakan secara aman pada pasien dengan gangguan ginjal. Karena hingga 50% dari obat-
obatan tersebut dan metabolit aktifnya secara normal diekskresikan melalui urin, namun,
kemungkinan penumpukan terjadi setelah diberikan dosis berulang. Scopolamine lebih tidak
bergantung pada ekskresi ginjal, namun efeknya pada sistem saraf pusat dapat ditingkatkan oleh
penurunan fungsi ginjal.

Phenothiazine, H2 bloker, dan Agen yang Berhubungan


Sebagian besar phenothiazine, seperti promethazine, dimetabolisme menjadi senyawa inaktif
oleh hepar. Droperidol sebagian bergantung pada ginjal untuk ekskresinya. Walaupun profil
farmakokinetiknya tidak mengalami perubahan oleh gangguan ginjal, namun dapat terjadi
peningkatan efek depresan sentral dari phenothiazine oleh efek sistemik dari penyakit ginjal.
Semua bloker reseptor H2 bergantung pada ekskresi ginjal, dan dosisnya harus diturunkan untuk
pasien dengan gangguan ginjal. Dosis obat proton pump inhibitor tidak perlu diturunkan pada
pasien dengan penyakit ginjal. Metoclopramide sebagian diekskresikan melalui urin dan akan
mengalami penumpukan pada gagal ginjal. Walaupun hingga 50% dari dolasetron diekskresikan
dalam urin, penyesuaian dosis tidak direkomendasikan untuk semua jenis obat bloker 5-HT 3 pada
pasien dengan penyakit ginjal.

Agen Inhalasi
Agen yang Mudah Menguap
Agen anestesi yang mudah menguap ideal untuk pasien dengan gangguan ginjal karena
sedikitnya ketergantungan terhadap ginjal untuk eliminasinya, kemampuan untuk mengontrol
tekanan daraj, dan efek langsung yang minimal terhadap aliran darah ginjal. Walaupun pasien
dengan gangguan ginjal ringan hingga sedang tidak menunjukkan adanya perubahan ambilan
atau distribusi, peningkatan induksi dan kemunculannya dapat terlihat pada pasien yang
mengalami anemia berat (hemoglobin < 5 g/dL) dengan gagal ginjal kronis, observasi ini dapat
dijelaskan dengan penurunan koefisien partisi gas darah atau dengan penurunan pada konsentrasi
alveolar minimal. Beberapa klinisi menghindari penggunaan sevoflurane (dengan aliran gas < 2
L/menit) untuk pasien dengan penyakit ginjal yang menjalani prosedur dalam jangka waktu yang
cukup panjang (lihat Bab 8 dan 30).

Oksida Nitrat
Beberapa klinisi mengabaikan atau membatasi penggunaan dari oksida nitrat (atau udara) untuk
mempertahankan FiO2 sebesar 50% atau lebih pada pasien yang mengalami anemia berat dengan
penyakit giinjal stadium akhir dengan tujuan untuk meningkatkan kadar oksigen arteri. Hal ini
dapat dibenarkan pada pasien dengan hemoglobin < 7 g/dL, yang mana jika mengalami
peningkatan kadar oksigen terlarut yang sedikit saja akan menunjukkan persentase yang
signifikan dari perbedaan oksigen arteri dan vena (lihat Bab 23).

Relaksan Otot
Succinylcholine
Succinylcholine dapat digunakan secara aman pada pasien dengan gagal ginjal, pada kondisi
dimana tidak terdapat hiperkalemia pada saat induksi. Saat kalium serum diketahui mengalami
peningkatan atau dicurigai mengalami peningkatan, succinylcholine sebaiknya dihindari.
Walaupun penurunan kadar cholinesterase plasma telah dilaporkan pada pasien uremik setelah
dilakukan dialisis, pemanjangan yang signifikan dari efek blokade neuromuskuler jarang terjadi.

Cisatracurium dan Atracurium


Cisatracurium dan atracurium didegradasi dengan hidrolisis ester plasma dan eliminasi non
enzimatik Hofmann. Agen tersebut seringkali merupakan obat pilihan untuk relaksasi otot pada
pasien dengan gagal ginjal, terutama dalaam situasi klinis dimana sulit atau tidak
memungkingkan untuk dilakukan pemantauan fungsi neuromuskuler.

Vecuronium dan Rocuronium


Eliminasi dari vecuronium utamanya pada hepar, namun hingga 20% dari obat tersebut
dieliminasi melalui urin. Efek dari vecuronium dosis tinggi (> 0,1 mg/kg) hanya akan sedikit
mengalami pemanjangan pada pasien dengan penyakit ginjal. Recuronium utamanya dieliminasi
melalui hepar, namun pemanjangan efek yang terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal berat
telah dilaporkan. Secara umum, dengan pemantauan neuromuskuler yang sesuai, dua agen
tersebut dapat digunakan dengan masalah yang kecil pada pasien dengan penyakit ginjal berat.

Curare (d-Tubocurarine)
Eliminasi dari d-tubocurarine bergantung pada ekskresi ginjal dan bilier; 40% hingga 60% dari
dosis curare normalnya diekskresikan melalui urin. Peningkatan pemanjangan efek curare terjadi
pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang diberikan dosis berulang. Karena itu dosis
yang lebih kecil dan interval dosis yang lebih panjang dibutuhkan untuk menjaga kondisi
relaksasi otot yang optimal.

Pancuronium
Pancuronium terutama bergantung pada ekskresi ginjal (60-90%). Walaupun pancuronium
dimetabolisme oleh hepar menjadii perantara yang kurang aktif, waktu paruh eliminasinya masih
sangat bergantung pada ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi neuromuskuler sebaiknya dipantau
secara teliti jika agen tersebut digunakan pada pasien dengan fungsi ginjal yang abnormal.
Agen Pembalik
Ekskresi ginjal merupakan jalur utama dari eliminasiuntuk edrophonium, neostigmine, dan
pyridostigmine. Waktu paruh dari agen tersebut pada pasien dengan gangguan ginjal akan
mengalami pemanjangan paling tidak sebesar yang terjadi pada relaksan otot diatas, dan masalah
dengan pembalikan yang tidak adekuat dari blokade neuromuskuler umumnya berhubungan
dengan faktor lain (lihat Bab 11). Dengan demikian, “pengulangan kembali” yang disebabkan
oleh durasi yang tidak adekuat dari agen kemungkinan tidak terjadi. Sugammadex merupakan
obat kemasan relaksan otot steroid, yang bahkan setelah mengikat vecuronium dan rocuronium,
dapat dieliminasi dengan cepat dan dieliminasi secara menyeluruh (bersamaan dengan bloker
neuromuskuler) dalam bentuk yang belum metabolisme oleh ginjal. Studi awal menyarankan
bahwa onset dari pembalik relaksan otot sugammadex dapat tertunda dan bahwa kompleks
sugammadex-relaksan otot dapat menetap hingga beberapa hari dalam plasma dari pasien dengan
penurunan fungsi ginjal. Karena kemungkinan implikasi keamanan pasien yang berupa
pemanjangan paparan kompleks sugammadex-rekalsan otot dalam situasi ini, maka penggunaan
sugammadex saat ini tidak direkomendasikan untuk pasien dengan pengeluaran kreatinin yang
rendah (30 mL/menit) atau dengan terapi pengganti ginjal (RRT).

Anestesi untuk Pasien dengan Gagal Ginjal


Pertimbangan Preoperatif
Gagal Ginjal Akut
Sindroma ini merupakan perburukan yang cepat pada fungsi ginjal yang menyebabkan retensi
dari produk sisa nitrogen (azotemia). Zat tersebut, yang sebagian besar bersifat sebagai toksin,
adalah produk sisa dari metabolisme protein dan asam amino. Gangguan aktivitas metabolik
ginjal dapat berkontribusi terhadap penyebaran disfungsi organ (lihat Bab 30).
Gagal ginjal dapat diklasifikasikan sebagai prerenal, renal, dan paska renal, bergantung pada
penyebabnya, dan karena itu pendekatan terapi awalnya bervariasi (lihat Gambar 31-1 dan Tabel
31-4). Gagal ginjal prerenal terjadi akibat penurunan akut pada perfusi ginjal; gagal ginjal
intrinsik umumnya disebabkan oleh penyakit ginjal yang mendasari, iskemia ginjal, atau
nefrotoksin; dan gagal ginjal paska renal umumnya merupakan akibat dari obstruksi saluran
kemih atau gangguan saluran kemih. Baik gagal ginjal prerenal dan paska renal merupakan
kondisi yang reversible pada stadium awal namun seiring berjalannya waktu keduanya
berkembang menjadi gagal ginjal intrinsik. Sebagian besar pasien dewasa dengan gagal ginjal
pertama akan mengalami oligouria. Pasien dengan gagal ginjal yang tidak mengalami oligouria
(luaran urin > 400 mL/hari) akan terus membentuk urin yang buruk secara kualitatif; pasien
tersebut cenderung memiliki GFR yang lebih stabil. Walaupun filtrasi glomerulus dan fungsi
tubulus terganggu pada kedua kasus tersebut, abnormalitas cenderung lebih ringan pada gagal
ginjal yang tidak mengalami oligouria.
Perjalanan gagal ginjal akut intrinsik bervariasi sangat luas, namun oligouria umumnya menetap
hingga 2 minggu dan diikuti dengan fase diuretik yang ditandai dengan peningkatan progresif
dari luaran urin. Fase diuretik ini umumnya menyebabkan luaran urin yang sangat banyak dan
umumnya tidak terjadi pada gagal ginjal yang tidak mengalami oligouria. Fungsi ginjal
mengalami perbaikan seiring perjalanan penyakit dalam beberapa minggu namun tidak dapat
kembali menjadi normal hingga mencapai 1 tahun, dan selanjutnya sering terjadi gagal ginjal
kronik. Perjalanan penyakit dari gagal ginjal prerenal dan paska renal bergantung pada kecepatan
dalam mendiagnosis dan koreksi dari kondisi yang mendasari. Ultrasound diagnostik, termasuk
ultrasound titik perawatan, seringkali digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan uropati
obstruktif secara cepat dan tidak invasif.

Gagal ginjal kronis


Penyebab tersering dari gagal ginjal kronik (CKD) adalah nefrosklerosis hipertensif, nefropati
diabetik, glomerulonefritis kronis, dan penyakit ginjal polikistik. Manifestasi dari sindroma ini
yang tidak dikoreksi (Tabel 31-5) umumnya hanya tampak setelah GFR mengalami penurunan
dibawah 25 mL/menit. Pasien dengan GFR kurang dari 1 mL/menit bergantung pada RRT untuk
bertahan hidup, dalam bentuk berupa hemodialisis, hemofiltrasi, dan dialisis peritoneal.
Efek menyeluruh dari CKD berat umumnya dapat dikontrol dengan RRT. Sebagian besar pasien
dengan penyakit ginjal stadium akhir yang tidak menjalani transplantasi ginjal akan menerima
RRT tiga kali dalam seminggu. Terdapat komplikasi yang secara langsung berhubungan dengan
RRT itu sendiri (Tabel 31-6). Hipotensi, neutropenia, hipoksemia, dan sindroma
ketidakseimbangan umumnya sementara, jika hal tersebut terjadi, dan akan mengalami perbaikan
dalam beberapa jam setelah dilakukan RRT. Faktor yang berkontribusi terhadap hipotensi saat
dialisis termasuk efek vasodilatasi dari larutan dialisat asetat, neuropati otonom, dan
pembuangan cairan yang cepat. Interaksi antara sel darah putih dengan membrane dialisis yang
berasal dari cellophane dapat menyebabkan terjadinya neutropenia dan disfungsi paru yang
dimediasi oleh leukosit dan menyebabkan terjadinya hipoksemia. Sindroma ketidakseimbangan
dialisis (DDS) paling sering terjadi setelah dilakukan dialisis yang agresif dan ditandai dengan
perubahan sementara pada status mental dan defisit neurologis fokal yang diakibatkan oleh
karena edema serebri.

Manifestasi dari Gagal Ginjal


A. Metabolik
Sejumlah abnormalitas metabolik, termasuk hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,
hipermagnesemia, hiperurisemia, dan hypoalbuminemia, terutama berkembang pada pasien
dengan gagal ginjal. Retensi air dan natrium dapat menyebabkan perburukan pada hiponatremia
dan kelebihan cairan ekstraseluler, secara berurutan. Kegagalan untuk mengekskresikan asam
yang tidak mudah menguap menyebabkan peningkatan anion gap asidosis metabolik (lihat Bab
50). Hipernatremia dan hypokalemia merupakan komplikasi yang jarang terjadi.
Hiperkalemia merupakan konsekuensi dari gagal ginjal yang berpotensi menyebabkan kematian
(lihat Bab 49). Hiperkalemia umumnya terjadi pada pasien dengan pembuangan kreatinin yang
kurang dari 5 mL/menit, namun juga dapat berkembang dengan cepat pada pasien dengan
pembuangan yang lebih besar dalam kondisi jumlah kalium yang banyak (seperti, trauma,
hemolisis, infeksi, atau pemberian kalium).
Hipermagnesemia secara umum terjadi secara ringan kecuali asupan magnesium mengalami
peningkatan (umumnya dari antasida yang mengandung magnesium). Hipokalsemia merupakan
akibat dari resistensi terhadap hormone paratiroid, penurunan absorbsi kalsium dalam usus
diakibatkan oleh penurunan sintesis 1,25-dihydroxycalciferol oleh ginjal, dan deposisi kalsium
dalam tulang yang berhubungan dengan hiperfosfatemia. Gejala dari hipokalsemia jarang tampak
kecuali pasien juga mengalami alkalosis.
Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein jaringan dan kemudian akan
berkembang hypoalbuminemia. Anoreksia, Selain itu restriksi protein, dan dialisis juga
berkontribusi.

B. Hematologi
Anemia hampir selalu terjadi saat pengeluaran kreatinin dibawah 30 mL/menit. Konsentrasi
hemoglobin secara umum sebesar 6 hingga 8 g/dL karena penurunan produksi eritropoietin,
produksi sel darah merah, dan ketahanan sel darah merah. Faktor tambahan yang dapat
menyebabkan kehilangan darah termasuk gastrointestinal, hemodilusi, supresi sumsum tulang
dari infeksi yang terjadi, dan kehilangan darah untuk pemeriksaan laboratorium. Bahkan dengan
transfusi, seringkali sulit untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin lebih besar dari 9 g/dL.
Pemberian eritropoietin dapat memperbaiki sebagian anemia. Kadar 2,3-diphosphoglycerate
(2,3-DPG) yang meningkat, yang dapat memfasilitasi pelepasan oksigen dari hemoglobin (lihat
Bab 23), akan berkembang sebagai respon terhadap penurunan kapasitas bawaan oksigen dalam
darah. Asidosis metabolik yang berhubungan dengan CKD juga membantu pergeseran kurva
disosiasi hemoglobin-oksigen kearah kanan. Pada kondisi dimana tidak terdapat penyakit jantung
simptomaik, sebagian besar pasien CKD dapat mentoleransi anemia dengan baik.
Baik fungsi platelet dan sel darah putih mengalami gangguan pada pasien dengan gagal ginjal.
Secara klinis, hal ini dimanifestasikan sebagai waktu perdarahan yang memanjang dan
peningkatan kerentanan untuk mengalami infeksi, secara berurutan. Sebagian besar pasien
mengalami penurunan aktivitas faktor platelet III begitu juga dengan penurunan daya lekat dan
agregasi platelet. Pasien yang baru menjalani hemodialisis juga mengalami sisa efek
antikoagulan dari heparin.
C. Kardiovaskuler
Curah jantung meningkat pada gagal ginjal untuk mempertahankan pengiriman oksigen yang
disebabkan oleh penurunan kapasitas bawaan oksigen dalam darah. Retensi natrium dan
abnormalitas pada sistem renin-angiotensin menyebabkan terjadinya hipertensi arterial sistemil.
Hipertropi ventrikel kiri merupakan temuan yang umum pada CKD. Kelebihan cairan
ekstraseluler yang diakibatkan oleh retensi natrium, berhubungan dengan peningkatan kebutuhan
jantung yang diperberat oleh anemia dan hipertensi, membuat pasien dengan CKD lebih rentan
untuk mengalami gagal jantung kongestif dan edema paru. Peningkatan permeabilitas dari
membran kapiler-alveolar juga dapat menjadi faktor predisposisi untuk edema paru yang
berhubungan dengan CKD (lihat diskusi selanjutnya). Aritmia, termasuk blok konduksi, umum
terjadi, dan dapat berhubungan dengan abnormalitas metabolik dan deposisi dari kalsium dalam
sistem konduksi. Perikarditis uremik dapat berkembang pada sebagian pasien, yang mana
asimptomatik, dapat ditandai dengan adanya nyeri dada, atau juga bisa ditandai dengan
tamponade jantung. Pasien dengan CKD juga ditandai dengan berkembangnya percepatan
vaskuler perifer dan penyakit atherosklerosis arteri koroner.
Penurunan volume intravaskuler juga dapat terjadi pada gagal ginjal akut dengan luaran urin
yang besar jika penggantian cairan yang diberikan tidak adekuat. Hipovolemia bisa terjadi akibat
dari kelebihan pengeluaran cairan saat dilakukan dialisis.

D. Paru
Tanpa RRT atau terapi bikarbonat, pasien CKD bergantung pada peningkatan ventilasi menit
sebagai kompensasi terhadap asidosis metabolik (lihat Bab 50). Cairan ekstravaskuler dalam
paru seringkali meningkat dalam bentuk edema interstisial, menyebabkan terjadinya pelebaran
dari gradien oksigen alveolar terhadap oksigen arterial dan akan menyebabkan terjadinya
hipoksemia. Peningkatan permeabilitas dari membran kapiler-alveolar pada beberapa pasien
dapat menyebabkan terjadinya edema paru bahkan dengan tekanan kapiler paru yang normal.

E. Endokrin
Toleransi glukosa yang abnormal umum terjadi pada CKD, umumnya disebabkan oleh resistensi
insulin perifer (diabetes mellitus tipe 2 merupakan salah satu penyebab tersering dari CKD).
Hiperparatiroidisme sekunder pada pasien dengan gagal ginjal kronik dapat menyebabkan
penyakit tulang metabolik, yang menyebabkan terjadinya fraktur. Abnormalitas dalam
metabolisme lemak umumnya menyebabkan terjadinya hipertrigliseridemia dan berkontribusi
untuk mempercepat terjadinya atherosklerosis. Peningkatan kadar protein dan polipeptida yang
ada di sirkulasi normalnya akan didegradasi oleh ginjal, termasuk hormon paratiroid, insulin,
glucagon, hormon pertumbuhan, hormon luteinisasi, dan prolaktin.

F. Gastrointestinal
Anoreksia, mual, muntah, dan ileus sering berhubungan dengan uremia. Hipersekresi dari asam
lambung meningkatkan insidensi dari ulkus peptikum dan perdarahan gastrointestinal, yang
mana terjadi pada 10% hingga 30% dari pasien. Penundaan pengosongan lambung yang
diakibatkan oleh neuropati otonom yang berhubungan dengan penyakit ginjal dapat
meningkatkan resiko pasien untuk mengalami aspirasi perioperatif. Pasien dengan CKD juga
mengalami peningkatan insidensi terjadinya hepatitis B dan C, seringkali berhubungan dengan
disfungsi hepar.

G. Neurologi
Asterixis, kelelahan, penurunan kesadaran, kejang, dan koma merupakan manifestasi dari
ensefalopati uremik, dan gejalanya umumnya berkorelasi dengan derajat dari azotemia.
Neuropati otonom dan perifer umum terjadi pada pasien dengan CKD. Neuropati perifer
terutama terjadi pada area sensoris dan melibatkan bagian distal dari anggota gerak bawah.

Evaluasi Preoperatif
Sebagian besar pasien perioperatif dengan gagal ginjal akut mengalami penyakit yang kritis, dan
gagal ginjal yang dialami umumnya berhubungan dengan trauma atau komplikasi medis
perioperatif atau komplikasi operasi. Tatalaksana perioperatif yang optimal bergantung pada
RRT. Hemodialisis lebih efektif dibandingkan dengan dialisis peritoneal dan dapat dilakukan
dengan menggunakan kateter dialisis sementara yang melalui arteri jugularis interna, subklavia,
atau femoralis. Terapi pengganti ginjal berkelanjutan (CRRT) seringkali digunakan saat pasien
sangat tidak stabil secara hemodinamik untuk mentoleransi hemodialisis intermiten. Indikasi
untuk RRT telah terdaftar dalam Tabel 31-7.
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya datang ke ruang operasi untuk pembuatan atau
perbaikan dari fistula dialisis arteri-vena dengan diberikan anestesi local atau regional. Dialisis
preoperatif pada hari operasi atau pada hari sebelumnya ditentukan secara khiisis. Namun,
terlepas dari prosedur yang akan dilakukan atau anestesi yang diberikan, satu hal yang pasti
adalah pasien harus berada dalam kondisi medis yang optimal; kemungkinan manifestasi uremia
yang reversibel (lihat Tabel 31-5) harus dipertimbangkan.
Riwayat dan pemeriksaan fisik harus ditanyakan baik pada fungsi jantung dan fungsi pernapasan.
Tanda-tanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dicari. Pasien seringkali mengalami
hipovolemia relatif sesaat setelah dilakukan hemodialisis. Perbandingan dari berat badan pasien
saat ini dengan berat badan predialisis sebelumnya dan paska dialisis mungkin dapat membantu.
Data hemodinamik dan radiografi thoraks, jika tersedia, sangat membantu dalam
mengkonfirmasi kecurigaan klinis terhadap kelebihan cairan. Analisis gas darah arteri sangat
berguna dalam mengevaluasi oksigenasi, ventilasi, kadar hemoglobin, dan status asam-basa pada
pasien dengan sesak atau takipnea. Elektrokardiogram sebaiknya dilakukan untuk memeriksa
tanda-tanda hiperkalemia atau hipokalsemia (lihat Bab 49) begitu juga dengan iskemia, blok
konduksi, dan hipertropi ventrikuler. Ekokardiografi dapat menilai fungsi jantung, hipertrofi
ventrikuler, abnormalitas pergerakan dinding, dan cairan perikardium. Friction rub mungkin
tidak terdengar pada auskultasi pasien dengan efusi perikardium.
Transfusi sel darah merah preoperatif umumnya diberikan hanya untuk anemia berat
sebagaimana ditentukan oleh status klinis pasien. Pemeriksaan waktu perdarahan dan koagulasi
(atau dengan thromboelastogram) dapat disarankan, terutama jika dipertimbangkan penggunaan
anestesi neuraksial. Pengukuran elektrolit serum, BUN, dan kreatinin dapat menilai adekuat atau
tidaknya dialisis. Pengukuran glukosa memandu kemungkinan kebutuhan untuk terapi insulin
perioperatif.
Obat-obatan dengan eliminasi ginjal yang signifikan sebaiknya dihindari jika memungkinkan
(Tabel 31-8). Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah (saat tersedia) dibutuhkan untuk
meminimalisir resiko terjadinya toksisitas obat.

Premedikasi
Pasien sadar yang stabil dapat diberikan penurunan dosis benzodizepin, jika diperlukan.
Kemoprofilaksis untuk pasien yang beresiko mengalami aspirasi diulas dalam Bab 17.
Pengobatan preoperatif – terutama agen antihipertensi – sebaiknya dilanjutkan hingga waktu
operasi (lihat Bab 21). Tatalaksana dari pasien diabetes didiskusikan dalam Bab 35.

Pertimbangan Intraoperatif
Pemantauan
Pasien dengan penyakit ginjal dan gagal ginjal mengalami peningkatan resiko untuk terjadi
komplikasi perioperatif, dan dibutuhkan pemantauan yang teliti mengenai kondisi medis secara
umum dan perencanaan prosedur operatif. Karena resiko untuk mengalami thrombosis, tekanan
darah sebaiknya tidak diukur dengan menggunakan manset pada lengan dengan fistula arteri-
vena. Pemantauan tekanan darah invasif atau non invasif secara berkelanjutan diindikasikan pada
pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik.
Induksi
Pasien dengan mual, muntah, perdarahan gastrointestinal sebaiknya menjalani induksi rapid-
sequence. Dosis dari agen induksi sebaiknya dikurangi untuk pasien yang lemah atau mengalami
penyakit kritis, atau untuk pasien yang baru saja menjalani hemodialisis dan yang masih
mengalami hipovolemia relatif. Propofol sebesar 1 hingga 2 mg/kg, atau etomidate, sebesar 0,2
hingga 0,4 mg/kg, seringkali digunakan. Opioid, β-bloker (esmolol), atau lidokain dapat
digunakan untuk mengurangi respon hipertensi terhadap instrumentasi jalan napas dan intubasi.
Succinylcholine, sebesar 1,5 mg/kg, dapat digunakan untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal
pada kondisi dimana tidak terdapat hiperkalemia. Induksi recuronium (1 mg/kg), vecuronium
(0,1 mg/kg), cisatracurium (0,15 mg/kg), atau propofol-lidokain tanpa pemberian relaksan dapat
dipertimbangkan untuk intubasi pada pasien dengan hiperkalemia.

Mempertahankan Anestesi
Teknik mempertahankan anestesi yang ideal sebaiknya mengontrol hipertensi dengan efek
merusak yang minimal terhadap curah jantung, karena peningkatan curah jantung merupakan
mekanisme kompensasi utama untuk pengiriman oksigen jaringan dalam anemia. Anestesi yang
mudah menguap, propofol, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan remifentanil merupakan agen
yang baik untuk mempertahankan anestesi. Meperidine sebaiknya dihindari karena akumulasi
dari metabolitnya berupa normeperidine. Morfin dapat digunakan, namun pemanjangan dari
efeknya dapat terjadi.
Ventilasi terkontrol sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien dengan gagal ginjal dengan
pemberian anestesi umum. Ventilasi spontan yang tidak adekuat dengan hiperkarbia progresif
dengan pemberian anestesi dapat menyebabkan asidosis respiratorik yang dapat memperberat
asidosis yang telah terjadi, meningkatkan kemungkinan terjadinya depresi sirkulasi berat, dan
dapat meningkatkan konsentrasi kalium serum yang membahayakan (lihat Bab 50). Di sisi lain,
alkalosis respiratorik juga dapat merugikan karena dapat menggeser kurva disosiasi hemoglobin
kearah kiri, dapat memperberat kondisi hipokalsemia yang telah terjadi sebelumnya, dan dapat
menurunkan aliran darah serebral.

Terapi Cairan
Prosedur superfisial yang melibatkan jalur fisiologis minimal hanya membutuhkan pergantian
cairan untuk kehilangan cairan dalam jumlah besar saja. Pada situasi yang membutuhkan volume
cairan signifikan untuk mempertahankan kondisi cairan atau resusitasi, kristaloid isotonik,
koloid, atau keduanya dapat digunakan (lihat Bab 51). Bukti terbaru menyarankan kristaloid
yang seimbang seperti Plasma-Lyte atau larutan ringer laktat lebih dipilih dalam kondisi seperti
ini dibandingkan dengan kristaloid yang kaya akan klorida seperti saline 0,9% karena efek
merusak dari hiperkloremia pada fungsi ginjal. Larutan ringer laktat sebaiknya dihindari pada
pasien dengan hiperkalemia karena mengandung kalium 4 mEq/L. Larutan bebas glukosa
sebaiknya digunakan secara umum karena intoleransi glukosa berhubungan dengan uremia.
Darah yang hilang seharusnya digantikan dengan koloid atau sel darah merah sebagaimana
diindikasikan secara klinis. Transfusi darah allogenik dapat menurunkan kemungkinan
penolakan ginjal setelah dilakukan transplantasi karena berhubungan dengan imunosupresi.
Hydroxyethyl starch berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya AKI dan kematian saat
diberikan pada pasien dengan penyakit kritis atau pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal,
atau saat digunakan untuk resusitasi volume cairan. Penggunaannya dalam kondisi lain masih
kontroversial pada saat ini dan masih menjadi subjek dari banyak penelitian. Terapi cairan
intraoperatif dapat dipandu dengan pengukuran volume denyutan dan curah jantung non invasif.

Anestesi untuk Pasien dengan Gangguan Ginjal Ringan Hingga Sedang


Pertimbangan Preoperatif
Ginjal umumnya memiliki cadangan fungsional yang besar. GFR, yang ditentukan dengan
pengeluaran kreatinin, dapat mengalami penurunan dari 120 menjadi 60 mL/menit tanpa tanda
klinis atau gejala penurunan fungsi ginjal. Bahkan pasien dengan pengeluaran kreatinin sebesar
40 hingga 60 mL/menit umumnya asimptomatik. Pasien tersebut hanya mengalami gangguan
ginjal ringan namun harus tetap diikirkan bagaimana untuk menurunkan perburukan fungsi
ginjal. Untuk mempertahankan sisa fungsi ginjal yang terpenting dan yang paling baik adalah
dengan mempertahankan normovolemia dan perfusi ginjal yang normal.
Saat pengeluaran kreatinin menurun hingga 25 sampai 40 mL/menit, gangguan ginjal dikatakan
sedang, dan pasien dapat dikatakan mengalami insufisiensi ginjal. Azotemia selalu terjadi, dan
hipertensi dan anemia umum terjadi. Tatalaksana anestesi yang tepat pada kelompok pasien ini
merupakan hal yang sama pentingnya dengan tatalaksana dari pasien gagal ginjal yang jelas,
terutama pada prosedur yang berhubungan dengan insidensi gagal ginjal paska operasi yang
relatif tinggi, seperti operasi rekonstruksi jantung dan aorta. Penurunan volume intravaskuler,
sepsis, obstructive jaundice¸ cedera benturan, dan toksin ginjal, seperti agen radiokontras,
antibiotik tertentu, angiotensin-converting enzyme inhibitor, dan NSAID (lihat Tabel 30-4)
merupakan faktor resiko mayor tambahanuntuk perburukan akut dari fungsi ginjal. Hipovolemia
dan penurunan perfusi ginjal merupakan faktor penyebab yang sangat penting dalam
perkembanhan gagal ginjal akut paska operasi. Perhatian dalam tatalaksana pasien tersebut
adalah pada pencegahan, karena tingkat mortalitas dari gagal ginjal paska operasi dapat melebihi
50%. Kombinasi dari diabetes dan penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya secara signifikan
meningkatkan resiko penurunan fungsi ginjal dan gagal ginjal paska operasi.
Perlindungan ginjal dengan hidrasi yang adekuat dan mempertahankan aliran darah ginjal
diindikasikan untuk pasien yang memiliki resiko tinggi mengalami cedera ginjal dan gagal
ginjal. Penggunaan mannitol, dopamine dosis rendah atau infus fenoldopam, loop diuretik, atau
infus bikarbonat untuk perlindungan ginjal masih kontroversial dan belum ada bukti
kemanjurannya (lihat diskusi sebelumnya). N-asetilsistein, apabila diberikan sebelum pemberian
agen radiokontras, dapat menurunkan resiko AKI yang diinduksi oleh agen radiokontras (lihat
Bab 30).

Pertimbangan Intraoperatif
Pemantauan
Standar pemantauan dasar dari American Society of Anesthesiologists digunakan untuk prosedur
yang melibatkan kehilangan cairan yang minimal. Untuuk prosedur yang berhubungan dengan
kehilangan darah atau cairan yang signifikan, pemantauan yang ketat dari kinerja hemodinamik
dan luaran urin sangat penting (lihat Bab 51). Walaupun mempertahankan luaran urin tidak dapat
memastikan bahwa fungsi ginjal dapat dipertahankan, namun disarankan luaran urin lebih besar
dari 0,5 mL/kg/jam. Pemantauan tekanan darah invasif yang berkelanjutan juga sangat penting
jika terjadi perubahan yang cepat pada tekanan darahm sehingga dapat diantisipasi, seperti pada
pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik dan pada pasien yang menjalani
prosedur yang berhubungan dengan perubahan mendadak pada stimulasi saraf simpatis atau pada
preload atau afterload jantung.

Induksi
Pemilihan agen untuk induksi tidak sepenting memastikan volume intravaskuler yang adekuat
sebelum dilakukan induksi; induksi anestesi pada pasien dengan hipovolemia yang mengalami
gangguan fungsi ginjal seringkali menyebabkan terjadinya hipotensi. Kecuali apabila diberikan
vasopressor, hipotensi seperti ini umumnya mengalami perbaikan setelah dilakukan intubasi atau
stimulasi operasi. Perfusi ginjal, yang mana telah terganggu oleh karena hipovolemia
sebelumnya, kemudian dapat mengalami perburukan lebih jauh, pertama sebagai akibat dari
hipotensi, dan selanjutnya dari vasokonstriksi ginjal yang dimediasi secara simpatis atau secara
farmakologis. Jika berkelanjutan, penurunan pada perfusi ginjal dapat berkontribusi terhadap
terjadinya gangguan ginjal atau gagal ginjal paska operasi. Hidrasi preoperatif umumnya
memberikan rangkaian kejadian ini.

Mempertahankan Anestesi
Semua agen untuk mempertahankan anestesi dapat diterima, dengan kemungkinan pengecualian
pada pemberian sevoflurane dengan aliran gas yang rendah dalam jangka waktu yang panjang
(lihat Bab 30). Perburukan fungsi ginjal intraoperative dapat terjadi akibat efek samping dari
prosedur operatif (perdarahan, sumbatan pembuluh darah, sindroma kompartemen abdomen,
emboli arteri) atau anestesi (hipotensi yang disebabkan oleh karena depresi miokard atau
vasodliatasi), dari efek hormonal tidak langsung (aktivasi simpatoadrenal atau sekresi hormon
antidiuretik), atau dari aliran balik vena yang disebabkan oleh ventilasi tekanan positif. Sebagian
besar dari efek tersebut dapat dihindari atau reversibel saat diberikan cairan intravena yang
adekuat untuk mempertahankan volume intravaskuler yang normal atau sedikit lebih banyak.
Pemberian vasopressor dominan α-adrenergik dalam dosis yang besar (fenilefrin dan
norepinefrin) juga dapat merusak fungsi ginjal. Pemberian vasokonstriktor dengan dosis kecil,
intermiten, atau infus dalam jangka waktu pendek dapat membantu mempertahankan aliran darah
ginjal hingga tindakan lainnya (seperti, transfusi) dilakukan untuk mengoreksi hipotensi.

Terapi cairan
Sebagaimana telah diulas sebelumnya, pemberian cairan yang sesuai sangat penting untuk
menatalaksana pasien yang telah mengalami AKI atau gagal ginjal atau beresiko untuk
mengalami AKI. Kami menemukan bahwa panduan dari pemantauan volume denyutan dan
curah jantung non invasif sangat membantu. Perhatian pada kelebihan cairan merupakan hal
yang benar, namun masalah yang akut jarang ditemukan pada pasien seperti ini dengan luaran
urin yang normal jika panduan pemberian cairan yang rasional dan pemantauan yang sesuai
diberikan (lihat Bab 51). Selain itu, efek samping dari kelebihan cairan yang banyak lebih mudah
untuk ditangani dibandingkan dengan AKI dan gagal ginjal.

Anda mungkin juga menyukai