Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Kadar ureum pada gagal ginjal kronik
a. Pengertian
Ureum adalah salah satu produk dari pemecahan protein dalam tubuh
yang disintesis di hati dan 95% dibuang oleh ginjal dan sisanya 5% dalam feses.
Secara normal kadar ureum dalam darah adalah 7 25 mg dalam 100 mililiter
darah. Kadar ureum di luar negeri sering disebut sebagai Blood Urea Nitrogen
(BUN) dan jika akan dikonversi menjadi ureum maka rumus yang digunakan
adalah :
Ureum = 2,2 X BUN (milligram per desiliter)

Pada pengukuran konsentrasi urea darah, bila ginjal tidak cukup


mengeluarkan ureum maka ureum darah meningkat di atas kadar normal 20-40
mg per 100 cc darah karena filtrasi glomerulus harus turun sampai 50 %
sebelum kenaikkan kadar urea darah terjadi Meningkatnya kadar urea darah
BUN (Blood Urine Nitrate) dan kreatinin merupakan salah satu indikasi
kerusakan pada ginjal. Semakin buruk fungsi ginjal, semakin tinggi kadar ureum
darah. Kadar ureum normal adalah kurang dari 40 mg/dl, jika kadar ureum darah
sudah lebih dari 150 mg/dl maka dapat mengalami (uremia) keracunan ureum
(Nursalam, 2006).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang ditandai dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus yang terjadi secara progresif dan irreversible,

10

dengan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 mL/menit selama lebih dari 3
bulan

11

termasuk dalam kriteria gagal ginjal kronik dan memerlukan terapi


pengganti ginjal (dialysis atau transplatasi ginjal) (lewis et.al.,2011)
Gagal ginjal kronik merupakan tahapan akhir gagal ginjal dimana tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit yang menyebabkan tingginya ureum (uremia) yaitu retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah (Ignatavicius & Workman, 2006 ).
Jadi kadar ureum merupakan salah satu cara hasil untuk menilai fungsi
ginjal dengan baik dan salah satu tanda atau gejala untuk mengetahui derajat
stadium perjalanan penyakit pada pasien gagal ginjal kronik, gagal ginjal kronik
dibagi menjadi 3 stadium yaitu :
1. Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini
kreatinin serum dan kadar BUN adalah normal dan penderita asimptomatik.
2. Stadium sedang berlaku insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan
yang berfungsi telah rusak. Pada tahap ini, kadar BUN mulai meningkat
diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda karena
tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin
serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya
ringan, kecuali bila penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal
jantung, atau dehidrasi. Pada stadium insufisiensi ginjal ini gejala-gejala
nokturia dan poliuria mulai timbul.
3. Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal
stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar
90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja
yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan
kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini
kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan mendadak sebagai

12

respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium


akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup
parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan
dan elektrolit dalam tubuh. Urin menjadi isoosmotis dengan plasma pada
berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligouria
(pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus
meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks
perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik
mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal,
penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam
bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.
b. Faktor Resiko
Karena berkembangnya GGK merupakan fenomena yang kompleks,
maka KDOQI merekomendasikan kategori faktor resiko yang berkaitan dengan
terjadinya GGK antara lain :
1). Susceptibility
Merupakan faktor yang meningkatkan resiko terjadinya GGK. Contoh:
peningkatan umur, penurunan masa ginjal, berat badan saat lahir rendah,
riwayat keluarga, pendidikan dan pendapatan yang rendah, inflamasi
sistemik dan dislipidemia.
2). Initiation
Merupakan faktor atau keadaan yang secara langsung menyebabkan
kerusakan ginjal. Faktor ini dapat dimodifikasi dengan terapi farmakologi.
Contoh: Diabetes, hipertensi, glomerulonefritis, autoimun, penyakit ginjal
polikistik, infeksi saluran kemih, batu ginjal, dan toksisitas obat.

13

3). Progression
Merupakan faktor resiko yang memperburuk kerusakan ginjal. Contoh:
glikemia, peningkatan tekanan darah, anemia, proteinuria, obesitas dan
merokok.
(Joy et al., 2008)
c. Asupan Nutrisi
Asupan protein pada pasien gagal ginjal kronik harus dibatasi karena
terjadinya disfungsi ginjal dengan salah satu cirinya adalah terjadinya uremia
atau tingginya ureum. Ureum merupakan substansi endogen yang merupakan
metabolit dari protein. Protein makanan dipecah menjadi asam amino, kemudian
akan dipecah menjadi senyawa amonia oleh bakteri. Di dalam hati, senyawa
amonia tersebut akan diubah menjadi ureum dan masuk kedalam sirkulasi
kemudian di eksresikan ke urin melalui ginjal. Lebih dari 90% ureum darah
dibersihkan lewat ginjal. Kadar ureum bergantung pada jumlah protein yang
dimakan dan fungsi hati dalam pembentukan ureum (Rubeinstein, 2005)
Asupan protein bagi penderita gagal ginjal kronik dibedakan menjadi dua yaitu :
a.

Asupan protein rendah 0,6- 0,75 gr/kg BB/hari. Sekurang- kurangnya 50

% asupan protein berasal dari protein bernilai biologi tinggi, yang lebih
lengkap kandungan asam amino esensialnya biasanya dari golongan hewani,
misalnya telur, daging ayam, ikan, susu, dan kerang dalam jumlah yang
sesuai anjuran. Asupan protein rendah ini diberikan untuk memperlambat
progresi menuju gagal ginjal digunakan untuk pasien gagal ginjal yang belum
menjalani hemodialisa secara rutin (Rubeinstein,2005)
b.

Asupan protein cukup 1- 1,2 gr/kg BB/hari diperlukan untuk menjaga

keseimbangan nitrogen dan kehilangan protein selama proses dialisis. Sekitar

14

50 % asupan protein berasal dari protein bernilai biologi tinggi, yang


mengandung asam amino essensial lebih lengkap. Protein ini biasanya dari
golongan hewani misalnya telur, daging, ayam, ikan, susu, dan kerang dalam
jumlah sesuai anjuran.
Penelitian yang dilakukan oleh Nura Mashumah (2013) tentang hubungan
asupan protein dengan kadar ureum, kreatinin, dan kadar hemoglobin darah pada
penderita gagal ginjal kronik menyatakan bahwa asupan protein / nutrisi
memiliki hubungan terhadap pengaruh kadar ureum. Sedangkan hasil penelitian
yang dilakukan sumiasih (2013) tentang hubungan asupan protein hewani dan
nabati dengan kadar ureum dan kreatinin pada penderita gagal ginjal kronik juga
menyatakan ada hubungan antara protein dengan kadar ureum.
Jadi, Menurut benez (2008) Kadar Ureum dalam serum mencerminkan
keseimbangan antara produksi dan eksresi. Metode penetapannya adalah dengan
mengukur nitrogen atau sering disebut Blood Urea Nitrogen (BUN). Nilai BUN
akan meningkat apabila seseorang mengkonsumsi protein dalam jumlah banyak,
namun pangan yang baru disantap tidak akan berpengaruh terhadap nilai ureum
pada saat manapun. Hal ini lah yang menyebabkan adanya hubungan asupan
protein dengan kadar ureum.
d. Faktor Penyebab Peningkatan Kadar ureum
Peningkatan kadar urea disebut uremia. Azotemia mengacu pada
peningkatan semua senyawa nitrogen berberat molekul rendah (urea, kreatinin,
asam urat) pada gagal ginjal. Penyebab uremia dibagi menjadi tiga faktor, yaitu
prarenal, renal, dan pascarenal. Uremia prarenal terjadi karena gagalnya
mekanisme yang bekerja sebelum filtrasi oleh glomerulus.
Mekanisme tersebut meliputi :

15

a. Penurunan aliran darah ke ginjal seperti pada syok, kehilangan darah, dan
dehidrasi.
b. Peningkatan katabolisme protein seperti pada perdarahan gastrointestinal
disertai pencernaan hemoglobin dan penyerapannya sebagai protein
dalam makanan, perdarahan ke dalam jaringan lunak atau rongga tubuh,
hemolisis, leukemia (pelepasan protein leukosit), cedera fisik berat, luka
bakar, demam.
Uremia renal terjadi akibat gagal ginjal (penyebab tersering) yang
menyebabkan gangguan ekskresi urea. Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh
glomerulonefritis, hipertensi maligna, obat atau logam nefrotoksik, nekrosis
korteks ginjal. Gagal ginjal kronis disebabkan oleh glomerulonefritis,
pielonefritis, diabetes mellitus, arteriosklerosis, amiloidosis, penyakit tubulus
ginjal, penyakit kolagen-vaskular.
Uremia pascarenal terjadi akibat obstruksi saluran kemih di bagian bawah
ureter, kandung kemih, atau urethra yang menghambat ekskresi urin. Obstruksi
ureter bisa oleh batu, tumor, peradangan, atau kesalahan pembedahan. Obstruksi
leher kandung kemih atau uretra bisa oleh prostat, batu, tumor, atau peradangan.
Urea yang tertahan di urin dapat berdifusi masuk kembali ke dalam darah.
e. Mekanisme kadar ureum pada gagal ginjal kronik
Ureum bersifat racun dalam tubuh, pengeluarannya dari tubuh melalui
ginjal berupa air seni. Bila ginjal rusak atau kurang baik fungsinya maka kadar
ureum akan meningkat dan meracuni sel-sel tubuh. Ureum sangat bergantung
pada Laju filtrasi glomerulus (LFG) di ginjal. Karena ureum seluruhnya akan
difiltrasi di ginjal dan sedikit di reabsorpsi dengan masuk ke kapiler peritubulus,
namun tidak mengalami sekresi ditubulus. Kadar ureum akan meningkat jika
terjadi kerusakan fungsi filtrasi, sehingga ureum akan berakumulasi dalam
darah. Pada gangguan gagal ginjal kronik akan menyebabkan penurunan laju

16

filtrasi glomerulus (fungsi penyaringan ginjal) sehingga ureum, kreatinin, dan


asam urat yang seharusnya disaring oleh ginjal untuk kemudian dibuang melalui
air seni menurun, akibatnya zat-zat tersebut akan meningkat di dalam darah.
Gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein
yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Sehingga
terjadi uremia dan mempengaruhi setiap system tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat.
f.

Manifestasi klinis
Peningkatan kadar ureum darah merupakan penyebab umum terjadinya
kumpulan gejala yang disebut sindroma uremia pada pasien gagal ginjal kronik.
Sindroma uremia terjadi saat laju filtrasi glomerulus kurang dari 10
ml/menit/1,73 m . peningkatan kadar ureum darah akibat gangguan fungsi
ekskresi ginjal menyebabkan gangguan pada multi system. Sehingga
memunculkan gejala bersifat sistemik. (Lewis et al., 2011)
Berikut menunjukkan tanda dan gejala sindroma uremik pada pasien
gagal ginjal kronik menurut Lewis et,.al (2011) :
Tabel 2.1
Sistem
1. Gastrointestinal

2. Hematologik
3. Kardiovaskuler

Manifestasi klinik
- Anoreksia
- Nausea
- Vomiting
- Perdarahan gastrointestinal
- Gastritis
- Anemia
- Perdarahan
- Infeksi
- Hipertensi
- Gagal jantung
- Penyakit arterikoroner
- Pericarditis

17

4. Endokrin

5. Metabolik
6. Neurologik

7. Respirasi

8. Muskuloskletal

9. Integumen

- Hiperparatiroidism
- Abnormalitas tiroid
- Amenore
- Disfungsi ereksi
- Intoleransi karbohidrat
- Hiperlipidemia
- Fatigue
- Nyeri kepala
- Parastesia
- Gangguan tidur
- Encephalopati
- Restless legs sindroms
- Odema paru
- Pleuritis uremik
- Pneumonia
- Kalsipitasi vaskuler dan jaringan lunak
- Osteomalacia
- Osteitis fibrosa
- Pluritus
- Ekimosis
- Kulit kering

- Hypertensive retinophaty
- Cemas
- Depresi
- Strees
Dilihat dari penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) tanda dan gejala

10. Penglihatan
11. Psikologis :

yang timbul yaitu Laju filtrasi glomerulus 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan, namun sudah terjadi peningkatan kadar ureum dan kreatinin. Kemudian
pada LFG sebesar 30%, pasien mulai mengalami nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah
30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia seperti anemia, pruritus,
mual dan muntah. Pasien juga mudah terkena infeksi saluran cerna, gangguan
keseimbangan air seperti hipo dan hypervolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit antara natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala
dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti
ginjal antara lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium akhir gagal ginjal (Suwitra, 2007).

18

g. Dampak kadar ureum terhadap kadar hemoglobin


Kadar hemoglobin pada gagal ginjal kronik biasanya akan rendah atau
mengalami anemia ini disebakan oleh penurunan produksi eritropoietin oleh
ginjal. Hormone Eritropoietin ini diperlukan untuk memicu produksi sel darah
merah. Di samping itu, anemia juga disebabkan oleh terjadinya keracunan
ureum yang akan menyebabkan umur sel sel darah merah memendek. Dalam
kondisi normal, sel darah merah dapat berusia sampai 120 hari. Akibat anemia
pasien gagal ginjal akan merasa ngantuk dengan tampak pucat, selain tampak
pucat karena anemia, kulit pasien juga bisa berwarna kuning kelabu, terutama
pada pasien yang berkulit cerah , sebagai akibat dari penumpukan pigmen
urokrom. Rasa gatal gatal padat kulit (pruritus) disebabkan oleh kenaikan
kadar ureum dan pelepasan zat zat antara (mediator) inflamasi yang timbul
akibat retensi ureum dalam kulit. System syaraf juga bisa terganggu karena
kenaikan ureum dalam plasma.
Pasien GGK bukan saja bisa kehilangan kesadaran karena keracunan
ureum (koma uremik) tetapi juga dapat mengalami sindrom tungkai dengan
gangguan rasa, kelemahan otot dan penurunan reflex tendon, terjadi karena
pengaruh ureum pada system syaraf. Jika sindrom ini tidak ditangani dengan
cuci darah, maka pasien akhirnya akan mengalami rasa kesemutan dan
kemudian kedua kakinya akan terkulai. (Andy hartono,2008)

2. Kadar Hemoglobin Pada Gagal Ginjal Kronik


a. Pengertian
Menurut Corwin (2009), Hemoglobin merupakan molekul didalam eritrosit
(sel darah merah) terdiri dari materi yang mengandung besi yang disebut hem

19

(heme) dan protein globulin. Terdapat 300 molekul hemoglobin dalam satu sel
darah merah. Hemoglobin bertugas menyerap karbon dioksida dan ion hidrogen
serta membawanya ke paru tempat zat- zat tersebut dilepaskan ke udara.
Hemoglobin didalam darah yang berada dalam keadaan lebih rendah dari
keadaan nilai normal dapat didefinisikan sebagai anemia. Nilai batasan anemia
ini ditentukan berdasarkan umur, misalnya nilai Hb normal untuk balita adalah
11 g/ 100 ml, wanita dewasa 12 g/100 ml dan untuk laki- laki dewasa adalah 13
g/100 ml. Mereka dikatakan mengalami anemia apabila nilai HB berada di
bawah nilai normal tersebut ( Faisal & komsan, 2009)
The

European

Best

Practice

Guidelines

dalam Repository Usu

menyebutkan bahwa penatalaksanaan anemia pada pasien- pasien penyakit gagal


ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal adalah 11,5
gr/dl pada wanita, 13,5 gr/dl pada laki- laki dibawah atau sama dengan 70 tahun
dan 12,0 gr/dl pada laki- laki diatas 70 tahun.
b. Etiologi Kadar Hemoglobin
Menurut Nursalam, kadar hemoglobin rendah atau yang biasa disebut
Anemia adalah berkurangnya kadar eritrosit (sel darah merah) dan kadar
hemoglobin (Hb) dalam setiap millimeter kubik darah dalam tubuh manusia.
Hampir semua gangguan pada sistem peredaran darah disertai dengan anemia
yang ditandai dengan warna kepucatan pada tubuh, penurunan kerja fisik,
penurunan daya tahan tubuh. (Murgiyanta, 2006). Anemia bukan suatu penyakit,
melainkan merupakan kondisi yang menghasilkan beberapa perbedaan patologi.
Anemia dicirikan sebagai penurunan hemoglobin (Hb) atau sel darah merah.
Penurunan kadar Hb berakibat pada menurunnya kapasitas pembawa oksigen

20

dalam darah, Menurut World Health Organization (WHO), anemia adalah


keadaan jumlah sel darah merah yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan
fisiologi tubuh (WHO, 2011).
Pada pasien gagal ginjal kronik anemia terjadi 80% - 90%. Jenis anemia
pada penyakit ginjal kronik adalah anemia normokrom normosistik. Anemia
akan lebih berat apabila fungsi ginjal lebih buruk lagi tetapi apabila penyakit
ginjal telah mencapai stadium akhir, anemia relative akan menetap. Anemia pada
penyakit ginjal kronik terutama oleh defisiensi eritropoitin. Eritropoitin adalah
hormone glikoprotein yang disekresikan oleh ginjal pada orang dewasa dan oleh
hati pada fetus. Hormone ini bekerja pada stem cells sumsum tulang untuk
merangsang produksi sel darah merah. Bila hanya sedikit eritropoitin yang
terbentuk, maka sel darah merah yang diproduksi juga sedikit. Selain itu, ada hal
hal lain yang berperan terjadinya anemia, diantaranya adalah :
a) Defisiensi besi
b) Kehilangan darah (missal, perdarahan saluran cerna, hematuria)
c) Masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadi hemolisis
d) Defisiensi asam folat yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi,
perdarahan dan proses dialysis
e) Penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik
f) Proses inflamasi akut maupun kronik
g) Kurang reaktifnya sumsum tulang terhadap pemendekan umur eritrosit
yang disebabkan karena sumsum tulang mengalami fibrosis akibat dari
hiperparatiroidisme sekunder.

21

h) Asupan protein dibatasi


Hemolisis yang terjadi pada gagal ginjal kronik disebabkan tingginya
kadar ureum. Tingginya kadar ini mengurangi umur eritrosit, sehingga eritrosit
mengalami hemolisis. Sindrom ini dinamakan HUS (Hemolytic Uremic
Syndrome).
Evaluasi pada anemia dimulai saat kadar hemoglobin <10 gr% atau
hematocrit <30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum,
kapasitas ikat besi total, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi
eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis atau ureum yang tinggi.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar Hemoglobin
Beberapa faktor yang mempengaruhi kadar Hemoglobin adalah :
1. Umur
Semakin tua umur seseorang, maka semakin berkurang kadar HB-nya
2. Jenis kelamin
Pada umumnya, pria memiliki kadar hb yang lebih tinggi dibandingkan
kadar Hb pada wanita. Hal ini juga bersangkut paut terhadap kandungan
hormone pada pria maupun wanita. Kadar Hb wanita lebih rendah karena
faktor aktifasinya yang lebih sedikit disbanding aktivitas pada pria, selain
wanita mengalami menstruasi.

3. Geografi (tinggi rendahnya daerah)


Tempat tinggal didataran tinggi, makhluk hidup disana tubuhnya cenderung
lebih aktif dalam memproduksi sel darah merah untuk meningkatkan suhu
tubuh dan lebih aktif mengikat kadar O2 yang lebih rendah dari pada

22

didataran rendah. Hb mahluk hidup yang tinggal dipesisiran cenderung


mempunyai Hb yang lebih rendah, sebab tubuh memproduksi sel darah
merah dalam keadaan normal.
4. Nutrisi
Bila makanan yang dikonsumsi banyak mengandung Fe atau besi, maka sel
darah yang diproduksi akan meningkat sehingga hemoglobin yang terdapat
dalam darah meningkat. Dan begitu juga sebaliknya.
5. Faktor kesehatan
Kesehatan sangat mempengaruhi kadar Hb dalam darah. Jika kesehatan
terjaga dengan baik, maka kadar Hb dalam keadaan normal.
6. Faktor Genetik
d. Mekanisme anemia akibat uremia pada gagal ginjal kronik
Mekanisme terjadinya anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan
karena defisiensi eritropoietin (EPO), supresi proses eritropoiesis di sumsum
tulang dan pemendekan umur hidup eritrosit. Anemia pada penyakit ginjal
kronik juga dapat disebabkan karena kadar ureum yang tinggi dan defisiensi zat
besi.
Namun, Penyebab utama anemia pada gagal ginjal kronik adalah
defisiensi hormone eritropoitin. Kira kira 90% eritropoitin dibentuk di ginjal,
sisanya dibentuk dalam hati. Sel sel darah merah yang dibentuk di sumsum
tulang berasal dari pluripotent stem cell. Hormone eritropoitin berfungsi untuk
merangsang pertumbuhan dan diferensiasi dari progenitor eritroid, burst
forming unit erythroid (BFU E) dan colony forming unti erythroid (CFU E)
menjadi eritroblast. Pada tahap proliferasi dan maturasi dari eritroblast menjadi
pronormoblast dan retikulosit dibutuhkan zat besi, asam folat, vitamin B12,

23

piridoksin dan asam askorbat. Hormon eritropoitin dibentuk oleh sel fibroblast
yang spesifik pada jaringan interstisium tubulus proksimal ginjal sebagai respon
eritropoisis terhadap hipoksia tidak efektif sehingga terjadi anemia.
Anemia akibat uremia dapat terjadi melalui mekanisme supresi sumsum
tulang. Supresi sumsum tulang terjadi akibat dari uremic toxin karena tingginya
kadar ureum dalam darah. Zat toksik akan menyebabkan inhibisi dari Coloni
Forming Unit Granulocyte Erytroid Macrophage Megakariocyte (CFU
GEMM). Racun ini juga akan menghambat kerja growth factor erytroid coloni
unit. Kedua hal ini akan menyebabkan penurunan proses eritropoiesis sehingga
terjadi anemia. (PIT IPD - 2010)
Mekanisme lain penyebab anemia akibat tingginya kadar ureum pada
penyakit ginjal kronik adalah pemendekan umur eritrosit. Means (2005)
menyatakan bahwa 20 70% pemendekan umur eritrosit berhubungan dengan
kadar ureum. Proses hemolitik ekstrakorpuskular merupakan mekanisme utama
akibat tingginya zat toksik akibat peninggian kadar ureum darah. Subtansi toksik
yang diekskresi dan dimetabolisme ginjal, dalam hal ini guanidine, akan
mempengaruhi survival eritrosit. Peroksidasi membran lipid oleh radikal bebas
akan merusak membran eritrosit sehingga memperpendek umur eritrosit.
Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam
pembentukan hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau karena
gangguan absorpsi. Zat gizi yang bersangkutan adalah besi, protein, piridoksin
(vitamin B6), yang berperan sebagai katalisator dalam sintesis hem di dalam
molekul hemoglobin, vitamin C yang mempengaruhi absorpsi dan pelepasan
besi dari transferin ke dalam jarangan tubuh, dan vitamin E yang mempengaruhi

24

stabilitas membrane sel darah merah (Almatsier, 2005). Pada pasien gagal ginjal
kronik Prosedur Hemodialisa dapat menyebabkan kehilangan zat gizi,
dikarenakan Protein seringkali dibatasi sampai 0,6/ kg/ hari bila GFR turun
sampai dibawah 50 ml/ menit untuk memperlambat progresi menuju gagal ginjal
terminal. Rubenstein,(2005). Pembatasan protein dilakukan karena terjadinya
disfungsi ginjal dengan salah satu cirinya adalah terjadinya uremia. Pada
keadaan normal ginjal akan mengeluarkan produk sisa metabolisme protein
(ureum) yang berlebihan didalam tubuh dalam bentuk urin namun sebaliknya
apabila terjadi kerusakan pada ginjal maka akan terjadi penumpukan ureum
didalam

darah

sehingga

ginjal

tidak

mampu

mengeluarkannya

dan

menjadikannya semakin tinggi (Bastiansyah,2008).


Selain mekanisme tersebut, pada gagal ginjal kronik akan mengalami
rendahnya kadar Fe dalam tubuh, defisiensi besi biasanya terjadi pada 25 45%
pasien GGK. Defisiensi besi pada GGK disebabkan oleh berbagai faktor seperti
perdarahan dan asupan nutrisi yang kurang. Selain itu, GGK dapat menyebabkan
gangguan mukosa lambung (Gastropati uremikum) yang sering menyebabkan
perdarahan saluran cerna. Adanya toksin uremik pada penderita GGK akan
mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan
normal 120 hari menjadi 70 80 hari dan toksin uremik ini dapat mempunyai
efek inhibisi (menekan) eritropiesis . (PIT IPD 2010).

e. Nutrisi Kadar Hemoglobin Rendah


Asupan nutrisi pada anemia GGK sangat lah penting karena untuk
meningkatkan tingkat gizi atau zat besi pada pasien, akan tetapi dengan

25

pemantuaan dan pembatasan , Tujuan utama pembatasan asupan protein, selain


untuk memperbaiki komplikasi uremia, adalah untuk memperlambat kerusakan
nefron.
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60 ml/menit,
sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu
dianjurkan. Protein diberikan 0.6-0.8/kgbb/hari, yang 0.30-0.50 gr diantaranya
merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 3035 kkal/kgbb/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi
pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak
disimpan dalm tubuh tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain,
yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein
yang mengandung ion hidrogen, fosfat, sulfat, dan ion anorganik lain juga
diekskresikan melalui ginjal.
Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien gagal ginjal
kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik
lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia.
Dengan

demikian

pembatasan

asupan

protein

akan

mengakibatkan

berkurangnya sindrom uremik masalah penting lain adalah asupan protein


berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hiperfiltation), yang akan meningkatkan progresivitass pemburukan fungsi
ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan
fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.

26

Pembatasan

fosfat

perlu

untuk

mencegah

terjadinya

hiperfosfatemia.

(Bastiansyah, 2008).
Jadi, untuk mengurangi sindrom uremik dilakukan pembatasan asupan
nutrisi yang kemungkinan penyebab anemia pada pasien gagal ginjal kronik,
bisa terjadi karena produksi hormone eritroprotein berkurang seiring dengan
kurangnya zat besi (Fe) dalam tubuh dan pemberian terapi eritropoetin EPO ini
status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam
mekanisme kerjanya. Oleh karena itu pemberian besi kadang diperlukan pada
pasien yang akan diberi therapi eritropoetin, karena besi diperlukan oleh
sumsum tulang untuk proses eritopoesis. Selain itu, jika asupan penderita yang
buruk ini juga dapat memperburuk status anemia. Sehingga makanan bersumber
protein dengan nilai biologis tinggi dapat membantu meringankan fungsi ginjal
serta membantu mempertahankan ataupun menaikkan kadar hemoglobin,
sehingga apabila asupan protein pada penderita gagal ginjal rendah, maka kadar
hemoglobin juga ikut turun.
f.

Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik


Tujuan terapi GGK adalah menunda perkembangan GGK dengan cara
meminimalkan keparahan terkait dengan komplikasi.
1). Terapi Non farmakologi
Beberapa yang bisa dilakukan untuk mencegah penyakit ini berkembang parah
seperti yang dipublikasikan (Joy et al., 2008; Abboud dan Henrich, 2010; Kidney
International Supplements, 2013), antara lain:
a). Pembatasan protein
b). Pembatasan Glukosa

27

Disarankan pemeriksaan hemoglobin A1c (HbA1c) 7.0% (53mmol/mol) untuk


mencegah dan menunda perkembangan komplikasi mikrovaskuler diabetes
pada pasien CKD dengan diabetes.
c). Hentikan merokok
d). Diet natrium, diusahakan < 2.4 g per hari
e). Menjaga berat badan
BMI <25, lingkar pinggang <102cm untuk pria, dan <88cm untuk wanita.
f). Olahraga
Direkomendasikan melakukan olahraga ringan 30-60 menit seperti jalan
santai, jogging, bersepeda atau berenang selama 4-7 hari tiap minggu.
Terapi non farmakologi lain yang dilakukan pada pasien GGK terutama yang
sudah stage 5 adalah :
a). Hemodialisis
Merupakan tindakan untuk membuang sampah metabolisme yang tak bisa
dikeluarkan oleh tubuh, seperti adanya ureum di dalam darah. Dilakukan jika
pasien menderita GGK stadium 5 dan diberika diuretik tidak berefek.
b). Operasi AV Shunt (arterio veno shuntting)
Merupakan tindakan yang pertama kali dilakukan kepada pasien sebelum
menjalankan hemodialisis rutin. Operasi ini adalah operasi pembuatan saluran
untuk hemodialisis.
2). Terapi Farmakologi
Terapi pada GGK lebih pada pengatasan gejala yang muncul, menurut Carrol,
(2006) sebagai berikut :
a). Hipertensi

28

Tekanan darah target untuk pasien GGK <130/80mmHg. ACEI dan ARB
merupakan pilihan pertama yang digunakan untuk terapi hipertensi pada GGK.
b). Proteinuria
Ditemukan sejumlah protein dalam urin. Hal ini biasa terjadi seiring dengan
meningkatnya keparahan penyakit GGK. Jika rasio albumin dengan kreatinin >
0,3 sebaiknya diterapi dengan ACEI atau ARB .
c). Dislipidemia
Target k adar LDL adalah < 100mg/dl pada pasien GGK. Obat yang sering
digunakan adalah golongan statin .
d). Diabetes, merupakan komplikasi umum pada GGK. Target penurunan kadar
HgbA1C <7% .
e). Abnormalitas mineral tulang
Pada GGK stadium 3 paling banyak terjadi hiperparatiroidisme, sehingga terapi
yang dilakukan adalah memperbaiki kekurangan vitaminD. Selain itu menjaga
kadar hormone tiroid 35-70 pg/mL pada GGK stadium 3, dan 70-110 pg/mL pada
stadium 4 .
f). Anemia
Pilihan terapi adalah eritropoietin atau penambahan zat besi dan transfuse
darah .Akan tetapi Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus
dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang
cermat.

Transfusi

darah

yang

dilakukan

secara

tidak

cermat

dapat

mengakibatkaan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan peburukan fungsi


ginjal. Selain itu resiko transfusi seperti hepatitis, hemosiderosis, sensitifitas
transplantasi, harus dipikirkan juga. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi
klinik adalah 11-12 g/dl.

29

B. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini adalah
Gagal ginjal
kronik
Filtrasi
Glomerulus
dan tubulus
Kadar Ureum
Tinggi

Defisiensi
Eritropoeitin

Kadar
Hemoglobin
Rendah

- Zat Besi
- Pemendekan Umur
Eritrosit
- Defisiensi Nutrisi

Sumber : PIT IPD (2010), Means (2005), Bastiansyah (2008)


C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :
Variabel Independent
Kadar Ureum

- Defisiensi Eritropoeitin
- Zat Besi
- Defisiensi Nutrisi

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak Diteliti
D. Hipotesis

Kadar
hemoglobin

30

Hipotesis (Ha) dalam penelitian ini adalah Ada hubungan kadar ureum dengan
kadar hemoglobin pada pasien gagal ginjal kronik di RSUD dr. R. Goeteng
Taroenadibrata Purbalingga.

Anda mungkin juga menyukai