Anda di halaman 1dari 15

HUBUNGAN ANTARA KADAR UREUM DENGAN KADAR

HEMOGLOBIN PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK

Artikel Ilmiah
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Mencapai Derajat Sarjana

Oleh :

PUGUH DADI DWI PANTARA


1211020188

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2016
A. PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kini telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia. Menurut
(WHO, 2007) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah
menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini

menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi angka


kematian. Kasus gagal ginjal kronik di amerika serikat pada tahun 2011
menunjukkan pravalensi rate penderita penyakit gagal ginjal kronik sebesar 1.901
per 1 juta penduduk, hasil laporan The United State Renal Data System
(USRDS,2013).
Sedangkan di Indonesia, Prevalensi penderita gagal ginjal kronis berdasarkan
diagnosis dokter sebesar 0,2%. Jawa tengah menempati tertinggi ketiga dengan
prevalensi 0,3%, setelah itu Sulawesi tengah menduduki pertama (0,5%) aceh,
Sulawesi utara dan gorontalo menempati kedua (0,4%) pada tahun 2013, Jika saat
ini penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa maka terdapat 504.248 jiwa
yang menderita gagal ginjal kronis (0,2% x 252.124.458 jiwa = 504.248 jiwa).
(Riskesdas, 2013) Berdasarkan studi pendahuluan peneliti di RSUD dr. R. Goeteng
Taroenadibrata Purbalingga, ada 11 ruang rawat inap dan rawat jalan, di tahun
2015 jumlah pasien yang terdiagnosa gagal ginjal kronik ada 203 pasien untuk
rawat inap dan hasil analisis Departemen Kesehatan RI 2005 diketahui bahwa
penyakit gagal ginjal menyebabkan kematian pada pasien rawat inap rumah sakit
sebesar 3,7% dari seluruh kematian, menempati urutan kedua setelah stroke
sebesar 4,8% (DepKes RI, 2005) Di tahun 2015 diperkirakan ada 36 juta penduduk
dunia yang meninggal akibat penyakit ginjal. (Riskesdas, 2013)
Kematian pada pasien gagal ginjal dari saat pertama terdiagnosa penyebabnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kadar hemoglobin rendah
atau istilah medis anemia, Anemia menurut World Health Organization (WHO)
terjadi jika kadar Hb <13.0 g/dL untuk pria dewasa, dan <12.0 g/dL pada wanita.
Insiden terjadinya anemia pada penderita penyakit kronis mencapai 95%
(Gombotz,2012) Anemia merupakan komplikasi utama pada pasien baru penyakit
gagal ginjal dan diderita oleh sebagian besar penderita gagal ginjal kronik.
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan perkembangan gagal ginjal yang
progresif dan lambat, yang menyebabkan ginjal kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dengan nilai Glomerulo
Filtration Rate / GFR 10% - 25% dari nilai normal. Study populasi seperti
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) oleh National
Institutes of Health and the Prevalence of Anemia in Early Renal Insufficiency
(PAERI) melaporkan bahwa kejadian anemia pada gagal ginjal kronik sekitar
<10% pada stage 1 dan 2, 20-40% pada stage 3, 50- 60% pada stage 4, dan >70%
pada stage 5 (Lankhorst dan Wish, 2010). Sehingga diperkirakan 80% - 90%
penderita GGK menderita anemia. Ada dua penyebab anemia yang sering dijumpai
pada pasien GGK, yaitu kurangnya sel darah merah dan kurangnya zat besi (Fe).
untuk penyebab kurangnya sel darah merah, ini disebabkan karena pada gagal
ginjal kronik menyebabkan turunnnya kadar eritropoietin (EPO) oleh sel
progenitor di ginjal. Padahal 90% eritropoietin diproduksi pada bagian sel endotel
kapiler peritubular dari sel ginjal dan akibat menurunnya filtrasi glomerulus
mengakibatkan kadar ureum menjadi tinggi yang dapat menyebabkan umur sel
sel darah merah tersebut memendek. Eritropoietin merupakan hormon yang

dihasilkan oleh ginjal sehat untuk memproduksi sel darah merah (Irwanashari,
2009) Disamping itu, anemia pada penderita gagal ginjal kronik dapat disebabkan
berkurangnya hemoglobin dalam darah akibat pengambilan darah untuk
pemeriksaan laboratorium, perdarahan akibat kadar ureum tinggi terutama melalui
saluran pencernaan dan asupan pasien makan yang dibatasi juga dapat
menyebabkan anemia menjadi lebih buruk dikarenakan kadar ureum yang sedang
tinggi (Lewis et.al, 2011)
Berkaitan dengan adanya pasien gagal ginjal kronik yang mengalami kadar
ureum yang tinggi, kemungkinan akan memiliki hubungan untuk merendahkan
kadar hemoglobin pasien secara berkelanjutan, sehingga tindakan terapi pada
pasien kadar hemoglobin rendah tidak selalu diberikan transfusi darah atau terapi
yang hanya berfokus untuk meningkatkan kadar hemoglobin saja. Dengan adanya
keterkaitan permasalahan tersebut, perlu penelitian ditempat lainnya seperti
diruang rawat inap penyakit dalam yang mayoritas pasien yang baru terdiagnosa
gagal ginjal kronik sehingga diharapkan menghasilkan kesimpulan lebih detail dan
spesifik persamaan atau perbedaan penelitian permasalahan tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang Hubungan Antara Kadar Ureum Dengan Kadar Hemoglobin
Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata
Purbalingga.
B. METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah analitis korelatif dengan metode
desain retrospektif . Populasi Penelitian ini adalah semua pasien yang baru
terdiagnosa gagal ginjal kronis di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata
Purbalingga dengan jumlah sampel yang diambil sebanyak 92 responden.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling. Penelitian
dilaksanakan pada bulan juli 2016 direkam medik RSUD dr. R. Goeteng
Taroenadibrata Purbalingga.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Subyek Penelitian
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi jenis kelamin, kelompok usia dan riwayat
penyakit sebelumnya Pasien Gagal Ginjal Kronik di RSUD dr. R.
Goeteng Taroenadibrata Purbalingga tahun 2016

Karakteristik
Jenis Kelamin
Laki - laki
Perempuan
Kelompok Usia
21 30 tahun
31 45 tahun
46 55 tahun
>56 tahun

Frekuensi (n=92)

Presentase (%)

54
38
92

58,7 %
41,3 %
100%

9
19
36
28
92

9,8 %
20,7 %
39,1 %
30,4 %
100%

Riwayat Penyakit Sebelumnya


Diabetus mellitus (DM)
DM dan Hipertensi
Hipertensi
Hipertensi dan CHF
Tidak terdokumentasi

6
6,5 %
2
2,2 %
11
12,0 %
2
2,2 %
71
77,2 %
92
100%
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa kelompok usia paling banyak adalah usia 46
55 tahun yaitu sebanyak 36 responden (39,1%), Laki laki paling banyak menjadi
responden dalam penelitian ini yaitu 54 sampel (58,7%) sedangkan jumlah reponden
perempuan 38 sampel (41,3%).
Pada riwayat penyakit sebelumnya yang terbanyak adalah Hipertensi dengan
jumlah 11 responden (12,0%) dan data yang tidak terdokumentasi sebanyak 71
responden (77,2%).
2. Gambaran kadar ureum dan kadar hemoglobin pasien gagal ginjal kronik
di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga tahun 2016
Berdasarkan tabel 4.2 di bawah ini diketahui bahwa rata-rata kadar ureum
responden adalah 143,99 mg/dl dengan kadar ureum terendah adalah 70 mg/dl
dan tertinggi adalah 350 mg/dl. Sedangkan rata-rata kadar hemoglobin
responden adalah 7,784 g/dl dengan kadar hemoglobin terendah adalah 6 g/dl
dan tertinggi adalah 14,2 g/dl.
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kadar Ureum dan Kadar Hemoglobin Pasien
Gagal Ginjal Kronik di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata
Purbalingga tahun 2016
Variabel
Mean SD
Min
Max
Kadar Ureum
143,99 49,468
70
350
Kadar Hemoglobin
7,784 2,158
6
14,2

3. Hubungan Antara Kadar Ureum Dengan Kadar Hemoglobin Pada Pasien


Gagal Ginjal Kronik Di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga
tahun 2016
Berdasarkan tabel 4.3 dibawah ini dapat diketahui bahwa nilai -value
sebesar 0,029 yang artinya -value < (0,05) berarti dimana terdapat hubungan
kadar ureum dengan kadar hemoglobin pada pasien gagal ginjal kronik. Hasil
uji regresi didapatkan nilai R Square sebesar 0,052 yang artinya kadar ureum
dapat mempengaruhi kadar hemoglobin sebesar 5,2%.
Tabel 4.3

Hubungan Antara Kadar Ureum Dengan Kadar Hemoglobin Pada


Pasien Gagal Ginjal Kronik Di RSUD dr. R. Goeteng
Taroenadibrata Purbalingga tahun 2016

Variabel
Kadar Ureum
Kadar Hemoglobin

Mean SD
143,99 49,468
7,784 2,158

R square

-value

0,228

0,052

0,029

D. PEMBAHASAN
1. Karakteristik Subyek Penelitian
Berdasarkan dari data tabel 4.1 sebagian responden adalah Laki laki
(58,7%), perempuan (41,3%). Beberapa penelitian berkaitan tentang gagal
ginjal kronik seperti yang terjadi di Jepang, insiden pada kelompok laki laki
lebih tinggi daripada wanita, yaitu sebesar 1432 tiap 1 juta penduduk laki laki
dan 711 tiap penduduk wanita (Wakai, Nakai, Kikuchi, Iseki, Miwa, et al
2004).
Hal ini dimungkinkan karena saluran kemih laki-laki lebih panjang
sehingga memungkinkan tingginya ataupun konsumsi makanan minuman
yang mengandung zat nefrotoksik akan cepat menyebabkan pengrusakan selsel ginjal. Konsentrasi cairan dalam tubuh akan dipertahankan secara konstan,
meskipun asupan dan ekskresi air dan solut cukup besar. Keadaan cairan dan
plasma tubuh dipertahankan dengan memekatkan atau mengencerkan kemih.
Bila cairan banyak diminum akan menyebabkan cairan tubuh menjadi encer.
Kemih menjadi encer dan kelebihan air akan dikeluarkan dengan cepat. Maka
tubuh akan berkemih lebih sering dan lebih banyak. Namun sebaliknya jika
asupan cairan tubuh sedikit atau asupan solute berlebihan maka cairan tubuh
menjadi pekat. Kemih menjadi sangat pekat. Sehingga saat berkemih banyak
cairan solut yang ikut terbuang dalam air. hambatan pengeluaran urin dari
kantong kemih. Hambatan ini dapat berupa penyempitan saluran (structure)
ataupun tersumbatnya saluran oleh batu. Karena urin banyak membawa
produk beracun sisa metabolisme, hambatan pengeluaran akan menyebabkan
gangguan fungsi nefron. Karena filtrasi berjalan terus-menerus, urin yang

dihasilkan juga semakin bertambah dan racun/zat toksik semakin melimpah


dalam urin sehingga kerusakan akan semakin bertambah.
Selain itu dari analisa peneliti, jenis kelamin juga berkaitan dengan
peran kehidupan dan perilaku yang berbeda antara laki laki dan perempuan
dalam masyarakat. Dalam menjaga kesehatannya biasanya kaum perempuan
lebih menjaga kesehatan dibandingkan dengan laki laki, pola makan yang
tidak teratur dan sebagian besar laki laki suka mengkonsumsi minuman
beralkhol dan merokok. Pada kasus merokok, penelitian pada 8000 orang
meliputi perokok ringan maupun berat menunjukkan perokok cenderung lebih
memiliki albuminuria dibandingkan yang tidak merokok, albuminuria
menunjukkan adanya protein dalam urine yang mana hal ini menunjukkan
fungsi ginjal mengalami penurunan (Sri hidayati, 2013) Serta pada laki laki
juga memiliki kadar kreatinin yang lebih tinggi dari pada perempuan. Hal ini
sejalan dengan rilis laporan IRR pada tahun 2014, distribusi penderita gagal
ginjal di Indonesia laki laki 55,77% dan wanita 44,23% .
Sedangkan untuk rata rata usia responden pada penelitian ini adalah
50 tahun atau pada rentan 46 55 tahun (39,1%). Usia termuda adalah 24
tahun dan usia tertua adalah 80 tahun, Hal ini sejalan dengan pendapat Hudak
& gallo (2005) dimana gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal
(unit nefron) yang berlangsung perlahan - lahan karena penyebab berlangsung
lama dan menetap yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksik
uremik) sehingga ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan
menimbulkan gejala sakit. Dengan demikian secara alami ginjal akan
mengalami penurunan fungsi sejalan dengan umur pasien dan bila melihat
rilis data IRR tahun 2013 disebutkan pada tahun 2013 kelompok usia
terbanyak ada pada kelompok 45 54 tahun sebanyak 30,26% . sedangkan
distribusi usia di tahun 2014 sedikit berbeda dibandingkan tahun
sebelumnnya, kelompok usia 45 54 tahun dan 55 64 tahun sama sama
sebanyak 31% dengan jumlah data yang masuk ada 3907 data yang dianalisa.
Hal ini juga disebabkan karena umur merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi perilaku atau gaya hidup seseorang, sedangkan dalam
kepatuhan umur termasuk dalam salah satu komponen dari faktor pasien yang
mampu mempengaruhi kepatuhan seseorang. Menurut Siagian (2001), umur
berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau maturitas, yang berarti bahwa
semakin meningkatnya umur seseorang, akan semakin meningkat pula
kedewasaan atau kematangan baik secara teknis, maupun psikologis, serta
akan semakin mampu melaksanakan tugasnya. Umur yang akan semakin
meningkat, akan meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam
pengambilan keputusan, berpikir rasional, mengendalikan emosi, toleran dan
semakin terbuka terhadap pandangan orang lain (Rohman,2007).
2. Gambaran kadar ureum pasien gagal ginjal kronik di RSUD dr. R.
Goeteng Taroenadibrata Purbalingga tahun 2016

Berdasarkan tabel 4.2 di atas diketahui bahwa rata-rata kadar ureum


responden adalah 143,99 mg/dl dengan kadar ureum terendah adalah 70 mg/dl
dan tertinggi adalah 350 mg/dl.
Ureum merupakan produk akhir dari metabolisme protein di dalam tubuh
yang di produksi oleh hati dan di keluarkan melalui urin. Pada gangguan
ekskresi ginjal, pengeluaran ureum ke dalam urin terhambat, sehingga kadar
ureum meningkat dalam darah, Ureum merupakan salah satu senyawa kimia
yang menandakan fungsi ginjal normal. Oleh karena itu, tes ureum dan
kreatinin selalu digunakan untuk melihat fungsi ginjal kepada pasien yang
diduga mengalami gangguan pada organ ginjal. Apabila diketahui pada air seni
menurun, ini akan mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus (fungsi
penyaringan ginjal), penurunan laju filtrasi glomerulus tersebut yang membuat
ureum akan meningkat di dalam darah (Theresia, 2011).
Kenaikan kadar ureum akan menyebabkan gejala seperti rasa gatal gatal
padat kulit (pruritus), System syaraf juga bisa terganggu karena kenaikan
ureum dalam plasma. Pasien GGK bukan saja bisa kehilangan kesadaran karena
keracunan ureum (koma uremik) tetapi juga dapat mengalami sindrom tungkai
dengan gangguan rasa, kelemahan otot dan penurunan reflex tendon yang
dipengaruhi ureum pada system syaraf. Upaya untuk menurunkan kadar ureum
tentu saja dengan memperbaiki fungsi ginjal atau dalam memperbaiki fungsi
ginjal, Pada pasien gagal ginjal kronik yang akan dirawat inap dilakukan terapi
sesuai komplikasi yang terjadi, pada kadar ureum yang tinggi dilakukan cuci
darah (hemodialisis) untuk mengganti fungsi utama ginjal, fungsinya yaitu
membersihkan darah dari sisa-sisa hasil metabolisme tubuh yang berada di
dalam darah (Nugrahani, 2007)
Bila ginjal rusak atau kurang baik fungsinya maka kadar ureum akan
meningkat dan meracuni sel-sel tubuh. Ureum sangat bergantung pada Laju
filtrasi glomerulus (LFG) di ginjal. Karena ureum seluruhnya akan difiltrasi di
ginjal dan sedikit di reabsorpsi dengan masuk ke kapiler peritubulus, namun
tidak mengalami sekresi ditubulus. Kadar ureum akan meningkat jika terjadi
kerusakan fungsi filtrasi, sehingga ureum akan berakumulasi dalam darah. Pada
gangguan gagal ginjal kronik akan menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus (fungsi penyaringan ginjal) sehingga ureum, kreatinin, dan asam
urat yang seharusnya disaring oleh ginjal untuk kemudian dibuang melalui air
seni menurun, akibatnya zat-zat tersebut akan meningkat di dalam darah. Gagal
ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Sehingga
terjadi uremia dan mempengaruhi setiap system tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat.
Ureum terbentuk dari penguraian protein terutama yang berasal dari
makanan (Price, 2005). Penetapan kadar ureum dalam serum mencerminkan
keseimbangan antara produksi dan ekresi. Metode penetapan adalah dengan
mengukur nitrogen. Di Amerika Serikat hasil penetapan disebut sebagai

nitrogen ureum dalam darah (blood urea nitrogen, BUN). Dalam serum normal
konsentrasi BUN adalah 8-25 mg/dl (Widman, 2011).
Ureum digunakan untuk menentukan tingkat keparahan status
azotemia/uremia pasien, menentukan hemodialisis (BUN serum >40 mmol/l
atau lebih dari 120 mg%). Hemodialisa tidak adekuat apabila rasio reduksi
ureum <65%. Reduksi ureum yang tidak adekuat tersebut meningkatkan angka
mortalitas pasien hemodialisa. Penurunan BUN (<50 ml/dl predialisis tidak
menunjukkan dialysis yang baik, tetapi justru adanya malnutrisi dan penurunan
massa otot karena dialysis inadekuat (Widaguna, 2003).
Ureum dipengaruhi isi protein dalam makanan, sedang kreatinin
ditentukan oleh banyaknya masa otot (laju katabolisme protein), disamping
bagaimana aktivitas metabolism badan kita, misalnya meningkat bila kita sakit
(panas/adanya infeksi) (Smeltzer and Bare, 2002). Blood urea nitrogen (BUN)
tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit ginjal, tetapi juga oleh masukan protein
dalam diet, katabolisme jaringan dan luka RBC dan obat steroid (Smeltzer and
Bare, 2002).
Kesimpulannya, Peneliti berpendapat bahwa kadar ureum dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan kadar ureum
seperti jenis kelamin, asupan makan dan obat obatan. Dari penelitian tersebut
karena peneliti tidak melakukan intervensi secara langsung terhadap responden,
maka kemungkinan faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil dari peningkatan
kadar ureum. Hal ini termasuk keterbatasan dalam metode penelitian.
3. Gambaran kadar hemoglobin pasien gagal ginjal kronik di RSUD dr. R.
Goeteng Taroenadibrata Purbalingga tahun 2016
Berdasarkan tabel 4.2 di atas diketahui bahwa rata-rata kadar hemoglobin
responden adalah 7,784 g/dl dengan kadar hemoglobin terendah adalah 6 g/dl
dan tertinggi adalah 14,2 g/dl.
Hasil penelitian didapatkan rata-rata kadar hemoglobin responden adalah
7,784 (anemia), hal ini sesuai dengan teori Irwanshari (2009) bahwa 80% - 90%
penderita GGK menderita anemia. Ada dua penyebab anemia yang sering
dijumpai pada pasien GGK, yaitu kurangnya sel darah merah dan kurangnya zat
besi (Fe). untuk penyebab kurangnya sel darah merah, ini disebabkan karena
pada gagal ginjal kronik menyebabkan turunnnya kadar eritropoietin (EPO)
oleh sel progenitor di ginjal. Padahal 90% eritropoietin diproduksi pada bagian
sel endotel kapiler peritubular dari sel ginjal dan akibat menurunnya filtrasi
glomerulus mengakibatkan kadar ureum menjadi tinggi yang dapat
menyebabkan umur sel sel darah merah tersebut memendek. Eritropoietin
merupakan hormon yang dihasilkan oleh ginjal sehat untuk memproduksi sel
darah merah.
Disamping itu, anemia pada penderita gagal ginjal kronik dapat
disebabkan berkurangnya hemoglobin dalam darah akibat pengambilan darah
untuk pemeriksaan laboratorium, perdarahan akibat kadar ureum tinggi

terutama melalui saluran pencernaan dan asupan pasien makan yang dibatasi
juga dapat menyebabkan anemia menjadi lebih buruk dikarenakan kadar ureum
yang sedang tinggi (Lewis et.al, 2011).
Hasil penelitian Hamid dan Azmi (2009) menyebutkan bahwa
hemoglobin sangat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien hemodialisis.
Tingkat hemoglobin yang tinggi akan menyebabkan kelangsungan hidup yang
lebih baik dibandingkan pasien yang memiliki kadar hemoglobin rendah.
Menurut Yendriwati (2002), menurunnya kadar hemoglobin dikarenakan faktor
etiologi kehilangan darah yang lebih banyak pada pasien hemodialysis seperti
seringnya pengambilan sampel darah, berkurangnya darah karena proses
hemodialisis ataupun tingkat kerusakan ginjal yang lebih parah.
Ini didukung dengan penelitian yang dilakukan Saryono (2006) bahwa
dalam penelitiannya adalah rerata kadar hemoglobin pada minggu pertama,
kedua dan ketiga tidak mengalami perubahan atau rata-rata responden
mengalami penurunan kadar hemoglobin (anemia). Hal ini akibat faktor
faktor seperti produksi eritropoetin yang tidak adekuat, pemendekan usia hidup
sel darah merah, defisiensi nutrisi yang mengakibatkan uremia dan
kecenderungan perdarahan akibat tingginya ureum terutama melalui saluran
pencernaan.
Dari faktor tersebut peneliti sependapat dengan hasil penelitian saryono
(2006) , yaitu rata rata responden mengalami penurunan kadar hemoglobin
(anemia) , karena dalam hasil penelitian peneliti dengan menggunakan populasi
pasien yang baru terdiagnosa gagal ginjal kronik juga mendapatkan rata rata
kadar hemoglobin responden anemia yaitu 7,784 dengan kadar hemoglobin
terendah adalah 6 g/dl.
4. Hubungan Antara Kadar Ureum Dengan Kadar Hemoglobin Pada Pasien
Gagal Ginjal Kronik Di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga
tahun 2016
Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa nilai -value sebesar 0,029
yang artinya -value < (0,05) berarti dimana terdapat hubungan kadar ureum
dengan kadar hemoglobin pada pasien gagal ginjal kronik. Hasil uji regresi
didapatkan nilai R Square sebesar 0,052 yang artinya kadar ureum dapat
mempengaruhi kadar hemoglobin sebesar 5,2%.
Hal Ini mendukung teori hasil penelitian yang dilakukan oleh siswandari
(2011) bahwa kadar ureum berhubungan bermakna dengan kadar hemoglobin
dengan (r=-0.324, p=0.011) yang menunjukkan arah hubungan negatif artinya
bahwa semakin tinggi kadar ureum akan menyebabkan semakin rendah kadar
hemoglobin.
Tingginya pada kadar ureum dalam darah yang tidak dapat dikeluarkan
dari dalam tubuh karena menurunnya fungsi ginjal dapat menjadi toksik bagi
tubuh karena dapat menginaktifkan eritropoietin atau menekan respon sumsum
tulang terhadap eritropoietin sehingga mengakibatkan penurunan produksi sel

darah merah dan menimbulkan anemia (Guyton, 2007). Penyebab utama


anemia adalah berkurangnya pembentukan sel-sel darah merah, yang
disebabkan oleh defisiensi pembentukan eritropoietin oleh ginjal. Faktor kedua
yang ikut berperan pada anemia adalah masa hidup sel darah merah pada pasien
GGK hanya sekitar separuh dari masa hidup sel darah merah normal (120 hari)
(Parsudi, 2009).
Kadar hemoglobin pada gagal ginjal kronik biasanya akan rendah atau
mengalami anemia ini disebakan oleh penurunan produksi eritropoietin oleh
ginjal. Hormone Eritropoietin ini diperlukan untuk memicu produksi sel darah
merah. Di samping itu, anemia juga disebabkan oleh terjadinya keracunan
ureum yang akan menyebabkan umur sel sel darah merah memendek. Dalam
kondisi normal, sel darah merah dapat berusia sampai 120 hari. Akibat anemia
pasien gagal ginjal akan merasa ngantuk dengan tampak pucat, selain tampak
pucat karena anemia, kulit pasien juga bisa berwarna kuning kelabu, terutama
pada pasien yang berkulit cerah, sebagai akibat dari penumpukan pigmen
urokrom. Rasa gatal gatal padat kulit (pruritus) disebabkan oleh kenaikan
kadar ureum dan pelepasan zat zat antara (mediator) inflamasi yang timbul
akibat retensi ureum dalam kulit. System syaraf juga bisa terganggu karena
kenaikan ureum dalam plasma. (Hartono,2008)
Pasien GGK bukan saja bisa kehilangan kesadaran karena keracunan
ureum (koma uremik) tetapi juga dapat mengalami sindrom tungkai dengan
gangguan rasa, kelemahan otot dan penurunan reflex tendon, terjadi karena
pengaruh ureum pada system syaraf. Jika sindrom ini tidak ditangani dengan
cuci darah, maka pasien akhirnya akan mengalami rasa kesemutan dan
kemudian kedua kakinya akan terkulai (Hartono, 2008).
Penyebab utama anemia pada gagal ginjal kronik adalah defisiensi
hormone eritropoitin. Kira kira 90% eritropoitin dibentuk di ginjal, sisanya
dibentuk dalam hati. Sel sel darah merah yang dibentuk di sumsum tulang
berasal dari pluripotent stem cell. Hormone eritropoitin berfungsi untuk
merangsang pertumbuhan dan diferensiasi dari progenitor eritroid, burst
forming unit erythroid (BFU E) dan colony forming unti erythroid (CFU E)
menjadi eritroblast. Pada tahap proliferasi dan maturasi dari eritroblast menjadi
pronormoblast dan retikulosit dibutuhkan zat besi, asam folat, vitamin B12,
piridoksin dan asam askorbat. Hormon eritropoitin dibentuk oleh sel fibroblast
yang spesifik pada jaringan interstisium tubulus proksimal ginjal sebagai respon
eritropoisis terhadap hipoksia tidak efektif sehingga terjadi anemia.
Anemia akibat uremia dapat terjadi melalui mekanisme supresi sumsum
tulang. Supresi sumsum tulang terjadi akibat dari uremic toxin karena tingginya
kadar ureum dalam darah. Zat toksik akan menyebabkan inhibisi dari Coloni
Forming Unit Granulocyte Erytroid Macrophage Megakariocyte (CFU
GEMM). Racun ini juga akan menghambat kerja growth factor erytroid coloni
unit. Kedua hal ini akan menyebabkan penurunan proses eritropoiesis sehingga
terjadi anemia (PIT IPD - 2010).

Mekanisme lain penyebab anemia akibat tingginya kadar ureum pada


penyakit ginjal kronik adalah pemendekan umur eritrosit. Means (2005)
menyatakan bahwa 20 70% pemendekan umur eritrosit berhubungan dengan
kadar ureum. Proses hemolitik ekstrakorpuskular merupakan mekanisme utama
akibat tingginya zat toksik akibat peninggian kadar ureum darah. Subtansi
toksik yang diekskresi dan dimetabolisme ginjal, dalam hal ini guanidine, akan
mempengaruhi survival eritrosit. Peroksidasi membran lipid oleh radikal bebas
akan merusak membran eritrosit sehingga memperpendek umur eritrosit
Pada pasien gagal ginjal kronik Prosedur Hemodialisa dapat
menyebabkan kehilangan zat gizi, dikarenakan Protein seringkali dibatasi
sampai 0,6/ kg/ hari bila GFR turun sampai dibawah 50 ml/ menit untuk
memperlambat progresi menuju gagal ginjal terminal (Rubenstein, 2005).
Pembatasan protein dilakukan karena terjadinya disfungsi ginjal dengan
salah satu cirinya adalah terjadinya uremia. Pada keadaan normal ginjal akan
mengeluarkan produk sisa metabolisme protein (ureum) yang berlebihan
didalam tubuh dalam bentuk urin namun sebaliknya apabila terjadi kerusakan
pada ginjal maka akan terjadi penumpukan ureum didalam darah sehingga
ginjal tidak mampu mengeluarkannya dan menjadikannya semakin tinggi
(Bastiansyah, 2008).
Dari kesimpulan hasil penelitian tersebut mendapatkan ada hubungan
antara kadar ureum dengan kadar hemoglobin pada pasien gagal ginjal kronik
dan kadar ureum hanya dapat mempengaruhi kadar hemoglobin sebesar 5,2%
saja, sehingga masih ada 94,8% sisanya yang dapat mempengaruhi kadar
hemoglobin, jadi diharapkan ada penelitian selanjutnya untuk meneliti faktor
faktor yang bisa mempengaruhi kadar hemoglobin pada pasien gagal ginjal
kronik
E. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Rata rata usia responden adalah 50 tahun atau pada rentan usia 46-55 tahun
yaitu sebanyak 36 responden (39,1%). Usia termuda adalah 24 tahun dan usia
tertua adalah 80 tahun.
2. Laki laki paling banyak menjadi responden dalam penelitian ini yaitu 54
sampel (58,7%) sedangkan jumlah reponden perempuan 38 sampel (41,3%).
3. Pada riwayat penyakit sebelumnya yang terbanyak adalah Hipertensi dengan
jumlah 11 responden (12,0%) dan data yang tidak terdokumentasi sebanyak 71
responden (77,2%).
4. Rata-rata kadar ureum responden adalah 143,99 mg/dl dengan kadar ureum
terendah adalah 70 mg/dl dan tertinggi adalah 350 mg/dl.
5. Rata-rata kadar hemoglobin responden adalah 7,784 g/dl dengan kadar
hemoglobin terendah adalah 6 g/dl dan tertinggi adalah 14,2 g/dl
6. Ada hubungan kadar ureum dengan kadar hemoglobin pada pasien gagal ginjal
kronik dengan nilai -value sebesar 0,029. Hasil uji regresi didapatkan nilai R

Square sebesar 0,052 yang artinya kadar ureum dapat mempengaruhi kadar
hemoglobin sebesar 5,2%
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas saran peneliti sebagai berikut :
1. Bagi Ilmu Keperawatan
Perlu adanya program edukasi bagi pasien tentang pendidikan gizi yang
terstruktur oleh ahli gizi tentang pola makan terutama makanan sumber protein.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian dapat disosialisasikan kepada mahasiswa sebagai pembelajaran
dalam mengetahui kadar ureum dengan kadar hemoglobin pada pasien gagal
ginjal kronik.
3. Bagi Tempat Penelitian
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai rekomendasi intervensi keperawatan
sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan pada penderita gagal ginjal
kronik.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Dalam hasil penelitian ini pengaruh kadar ureum hanya dapat mempengaruhi
kadar hemoglobin sebesar 5,2% saja, sehingga masih ada 94,8% sisanya
yang dapat mempengaruhi kadar hemoglobin, jadi diharapkan ada penelitian
selanjutnya untuk meneliti faktor faktor yang bisa mempengaruhi kadar
hemoglobin pada pasien gagal ginjal kronik seperti hubungan antara kadar
kreatinin dengan kadar hemoglobin pada pasien gagal ginjal kronik.
b. Pada proses penelitian, banyak data yang tidak terdokumentasi Pada proses
penelitian, data penelitian sampel tambahan seperti riwayat penyakit
sebelumnya tidak mendapatkan data secara lengkap atau kurang jelas dalam
dokumentasi asuhan keperawatan pada pasien. Sehingga peneliti hanya
mendapatkan data 23% dari jumlah sampel. Sehingga bagi peneliti
selanjutnya bisa meneliti kepatuhan perawat dalam pengisian dokumentasi
asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik.
F. DAFTAR PUSTAKA
[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. (2007). Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik
Indonesia
Andry hartono, Kanisius 2008 .
https://books.google.co.id/books?
id=UBiniGfE9ksC&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_sum
mary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false ,diakses pada tgl 9 februari
2016.

Anisatul Hamidah, (2011), Korelasi Kadar Hemoglobin dengan Saturasi


Transferin pada Penderita Gagal Ginjal Kronik yang Anemia,
Poltekkes kemenkes Surabaya.
Alexander, M., Corrigan, A., Gorski, L. (2011). Infusion Nursing : An Evidence
Based
Approach.
Saunders
Elsevier
Inc.
http://books.google.co.id/books?
id=GjY2NKEYhC8C&pg=PA474&dq=phlebitis diunduh tanggal 14
januari 2016.
Anwar, Faisal dan Ali Khomsan. (2009). Makanan Tepat Badan Sehat. Jakarta:
Hikmah.
Bastiansyah, Eko. (2008). Panduan lengkap : Membaca Hasil Tes Kesehatan.
Jakarta : Penebar Plus.
Corwin, Elizabeth J. (2009), Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: Buku
Kedokteran Setiyohadi, Bambang (2010), Naskah lengkap penyakit
dalam PIT IPD 2010 , FKUI : Jakarta.
Dahlan, S.M. (2013). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Jakarta:
Salemba Medika.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2012). Profil Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Gombotz, H., (2012), Patient Blood Management: A Patient-Orientated
Approach to Blood Replacement with the Goal of Reducing Anemia,
Blood Loss and the Need for Blood Transfusion in Elective Surgery,
Transfusion Medicine and Hemotherapy, vol 39, pp. 6772
Irwanashari,
(2009),
Anemia
Akibat
Gagal
Ginjal
Kronik.
http://irwanashari.com/2009/01/Anemia-akibat-gagal-kronik/ diakses 7
januari 2016
Joy, M.S., Kshirsagar, A., Paparello, J., (2005), Chronic Kidney Disease:
Progression, Modifying, Therapies dalam Dipiro, J.T., Talbert, R.L.,
Yee, G.C., Maltzke, G.R., Wells, B.C., Posey, L.M., Pharmacotherapy A
Pathopysiologic Approach, 6th Ed, 895, Appeton and Lange:
Philadelphia.
Kerlinger, F.N. & Lee.H.B. (2006). Foundation of behavioral Research (Edisi
Terjemahan). New York: Hartcourt College Publisher.
Lankhorst CE, Wish JB. (2010).Anemia in Renal disease: diagnosis and
management. Blood rev vol 24, pp.39-47
Lewis, TG., Heitkemper, DS., & Dirksen, CR., (2000), Medicare provider
directories;http://www.google.com/url?
sa=D&q=http://www.univhc.com/docs/Medicare/Provider_Directories/2
013/2013_Provider_Directory_Medicare_South_OH.pdf&usg=AFQjCN
FytuleKlJQAJPSoS37ajTADjWg-A . diakses 7 januari 2016
National Kidney Foundation: K/DOQI, (2006), Clinical Practice Guidelines
and Clinical Practice Recommendations for Anemia in Chronic Kidney
Disease.

Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Penerbit


PT Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Penerbit
PT Rineka Cipta
Nugrahani, Azizah. (2007). Hubungan Asupan Protein Terhadap Kadar Urea
Nitrogen, Kreatinin, dan Albumin Darah Pasien Penyakit Ginjal Kronik
Yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
[Skripsi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Nura Mashumah, (2013) Hubungan Asupan Protein Dengan Kadar Ureum,
Kreatinin, dan Kadar Hemoglobin Darah pada Penderita Gagal Ginjal
Kronik Hemodialisa Rawat Jalan Di RS Tugurejo Semarang.
Nursalam. (2014). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan
Praktis Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika
Riskesdas. (2013). Laporan Nasional Riskesda 2013. Http://litbag.depkes.go.id/.
Diakses tanggal 7 januari 2016
Roesma, J (2008). Peranan Gizi Pada Penanggulangan Konservatif Gagal Ginjal
Kronis. 1992. Perhimpunan Nefrologi Indonesia, Jakarta
Rubenstein, David, Wayne, David, dan Bradley, John, (2007). Lecture Notes:
Kedokteran Klinis. Jakarta: Penerbit Erlangga; 389-391.
Saryono, (2006), Kadar Hemoglobin dan Hematokrit Darah pada Pasien yang
menjalani Terapi hemodialysis di rumah sakit umum Margono Soekarjo
Purwokerto.
Saryono,(2008), Metodologi Penelitian Kesehatan, Mitra Cendikia, Yogyakarta
Siswandari, wahyu (2011), Hubungan Kadar Ureum dengan Anemia dan
Kelainan Bentuk Eritrosit Pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik.
Fakultas kedokteran dan ilmu ilmu kesehatan, Universitas jendral
Soedirman Purwokerto.
Smeltzer & Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2.
(Edisi 8). Jakarta : EGC
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan Kombinasi
(mixed methods). Bandung : Penerbit Alfabeta
Sumiasih. (2012). Hubungan Asupan Protein Hewani dan Nabati dengan
Kadar Ureum dan Kreatinin Pasien Penyakit Gagal ginjal Kronik
Hemodialisa di RSUD Tugurejo Semarang, Skripsi, Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Suwitra. K. (2006). Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Sudoyo, A.W., dkk., Editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi keempat. Penerbit
Depertemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UI. Jakarta. Hal. 570-572.
Theresia, (2011). Evaluasi Kualitatif Penggunaan Antibiotik Di Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FKUI Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Tesis,
M.Si., Universitas Indonesia, Jakarta.

USRD (United States Renal Data System) 2011. USRDS Annual Data
Report..http://www.usrds.org/2011/view/v2_12.asp Diakses pada 13
januari 2016

Anda mungkin juga menyukai