Anda di halaman 1dari 20

BAB 3

Telaah Kasus

3.1 Chronic Kidney Disease

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan salah satu penyakit yang

menyerang organ ginjal dimana keadaan organ ginjal menurun secara progresif,

kronik, maupun menetap dan berlangsung. Kriteria yang terdapat pada penyakit ginjal

kronik ini adalah timbulnya kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dengan kata lain

terjadinya kelainan struktural maupun fungsional. Adapun tanda dan gejala penyakit

CKD antara lain terjadinya kelainan pada urin terdapat dalam protein, sel darah

putih/lekosit, darah/eritrosit, bakteri, creatine darah naik, hemoglobin turun, protein

yang selalu positif.

3.1.1 Klasifikasi

Penyakit ini didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan

kemampuan ginjal dalam menjalankan fungsinya. Klasifikasi ini didasarkan atas dua

hal yaitu, atas dasar derajat penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas

dasar derajat penyakit dibuat berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG), yang

dihitung dengan menggunakan rumus cockcroft-gault sebagai berikut:

LFG (ml/mnt/1,73 m2) = ( 140 –umur ) x BB *

72 x kreatinin plasma(mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

17
18

Tabel 3.1 Stadium GGK (The Renal Association, 2013)

Stadium Deskripsi LFG(mL/Menit/1.73m

1 Fungsi ginjal normal, tetapi ≥90


Temuan urin, abnormalitas struktur atau
ciri genetic menunjukkan adanya
penyakit ginjal
2 Penurunan ringan fungsi ginjal, dan 60-89
temuan lain (seperti pada stadium 1)
menunjukkan adanya penyakit ginjal
3a Penurunan sedang fungsi ginjal 45-59
3b Penurunan sedang fungsi ginjal 30-44
4 Penurunan berat fungsi ginjal 15-29
5 Gagal ginjal <15

Pada pasien ini didapatkan laju filtrasi glomerulus <15 atau dialisis, dengan

begitu pasien telah terkena CKD stage 5.

3.1.2 Etiologi

CKD dapat terjadi karena berbagai penyebab yang berbeda. Penyebab

terjadinya CKD antara lain sebagai berikut:

1) Diabetes

Data dari United States Renal Data System 2009 menyebutkan bahwa sekitar

50% pasien gagal ginjal terminal di Amerika Serikat merupakan penderita diabetes.

Tingginya kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus membuat ginjal harus

bekerja lebih keras dalam proses penyaringan darah, dan mengakibatkan kebocoran

pada ginjal. Awalnya, penderita akan mengalami kebocoran protein albumin yang

dikeluarkan oleh urin, kemudian berkembang dan mengakibatkan fungsi penyaringan

ginjal menurun. Apabila hal ini berlangsung terus-menerus maka akan


19

mengakibatkan terjadinya gangguan ginjal kronis. Pada penderita diabetes mellitus

juga mempunyai kadar kolesterol dan trigliserida plasma yang tinggi, sedangkan

konsentrasi HDL (high density lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya sangat

rendah. Sirkulasi yang buruk ke beberapa organ mengakibatkan hipoksia dan cedera

jaringan, yang akan merangsang reaksi peradangan yang dapat menimbulkan

aterosklerosis. Patogenesis aterosklerosis dimulai dengan adanya pada pembuluh

darah. Dengan adanya hiperglikemia yang kronis, insulin dapat secara langsung

menstimulasi pembentukan aterosklerosis. Aterosklerosis akan menyebabkan

penyempitan lumen pembuluh darah yang berakibat pada berkurangnya suplai darah

ke ginjal. Hal ini akan mengakibatkan gangguan pada proses filtrasi di glomerulus

yang dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal.

2) Hipertensi

Berdasarkan United States Renal Data System 2009, 51-63% dari semua

pasien CKD merupakan penderita hipertensi. Menurut American Kidney Fund,

hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya gangguan ginjal kronis. Peningkatan

tekanan dan regangan yang berlangsung kronis pada arteriol kecil dan glomeruli akan

menyebabkan pembuluh ini mengalami sklerosis. Lesi-lesi sklerotik pada arteri kecil,

arteriol, dan glomeruli menyebabkan terjadinya nefrosklerosis. Lesi ini bermula dari

adanya kebocoran plasma melalui membran intima pembuluh-pembuluh ini, hal ini

mengakibatkan terbentuknya deposit fibrinoid di lapisan media pembuluh darah, yang

disertai dengan penebalan progresif pada dinding pembuluh darah yang nantinya akan
20

membuat pembuluh darah menjadi vasokonstriksi dan akan menyumbat pembuluh

darah tersebut. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan

glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak, yang menyebabkan

terjadinya gangguan ginjal kronis.

3) Obstruksi saluran kemih

Obstruksi saluran kemih terjadi tanpa diketahui dengan gejala seperti

oligouria dan nyeri yang sering tidak muncul.

4) Lain-lain

Penyebab lain diantaranya infeksi glomerulonefritis, renal vaskulitis,

perubahan genetik, dan penyakit autoimun. Diabetes dan hipertensi saat ini menjadi

dua penyebab utama CKD.

3.1.3 Patofisiologi

Patofisiologi gangguan ginjal kronis dilihat dari penyakit yang menjadi dasar,

proses selanjutnya kurang lebih sama. Gangguan ginjal kronis ini menyebabkan

berkurangnya massa dan kerja ginjal. Pengurangan massa ginjal menyebabkan

hipertrofi sruktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephron)

sebagai kompensasi. Respon terhadap penurunan jumlah nefron ini dimediasi oleh

hormon vasoaktif, sitokin dan faktor pertumbuhan. Hal ini mengakibatkan terjadinya

hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah

glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses

maladaptasi berupa sklerosis nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya


21

sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin

aldosteron intrarenal, ikut berkontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis,

dan progresivitas tersebut. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap

terjadinya progresivitas gangguan ginjal kronis adalah albuminemia, hipertensi,

hiperglikemia, dislipidemia. Pada stadium paling dini gangguan ginjal kronis, terjadi

kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan basal Laju filtrasi glomerulus (LFG)

masih normal atau bahkan meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan

terjadi penurunan fungsi nefron secara progresif, yang ditandai dengan peningkatan

kadar ureum dan kreatinin plasma. Laju filtrasi glomerulus 60%, pasien masih belum

merasakan keluhan, namun sudah terjadi peningkatan kadar ureum dan kreatinin

plasma. Kemudian pada LFG sebesar 30%, pasien mulai mengalami nokturia, badan

lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di

bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia seperti anemia,

peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalium, pruritus, mual

dan muntah. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti saluran cerna, gangguan

keseimbangan air seperti hipo dan hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit

antara natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan

komplikasi yang lebih serius, dan pasien memerlukan terapi pengganti ginjal antara

lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada

stadium akhir gagal ginjal.


22

3.1.4 Manifestasi klinik

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat

kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis,

saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan

kardiovaskular. Pada pasien ditemukan gambaran klinis yang berhubungan dengan

hemopoeisis, saluran cerna, dan kelainan pada kardiovakular.

a. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering

ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila

ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.

b. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal

ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih

belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus

sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan

mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera

mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

c. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien

gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat

pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf

mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina
23

(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai

pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada

conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan

hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal

ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan

diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan

segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik,

tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea

frost.

e. Kelainan selaput serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada

gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa

merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.

e. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan

depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti

konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada

pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien

dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya

(personalitas).
24

f. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat

kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi

sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada

stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

3.1.5 Penegakan diagnosis

Penegakkan diagnosis CKD tidak hanya dilihat dari pemeriksaan laboratorium

ataupun radiologis saja, banyak berbagai aspek yang dapat membantu penegakkan

diagnosis CKD, yaitu : anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan

pemeriksaan radiologis. Setiap stadium pada CKD berbeda-beda hasil anamnesisnya,

pada CKD stage 1-3 pasien belum mengalami gangguan keseimbangan air dan

elektrolit atau gangguan metabolik dan endokrin secara klinis (asimtomatis), CKD

stage 4-5 pasien pada tahap awal mengalami poliuria dan edema, dan diketahui

bahwa pasien sudah CKD stadium dan pasien mengalami anemia, asidosis metabolic,

cegukan (hiccup), dan gangguan gastrointestinal.

Pada pemeriksaan fisik terlihat pada inspeksi tampak sakit, pucat, napas

pendek, konjungtiva anemis, mukosa anemis, kulit eksoriasi akibat pruritus, dan

edema perifer. Tanda vital dari pasien terjadi hipertensi, takipnea dan hipotermia.

Perkusi yang didapat pada pasien nyeri ketok pada costovertebrae angel (CVA).

Pada tes fungsi ginjal didapat blood urea nitrogen (BUN) : >20 mg/dl (N: 10-20

mg/dL), kreatinin serum pada pria > 1,3 mg/dL (N: 0,7-1,3 mg/dL), pada wanita >1,1
25

mg/dL (N: 0,6-1,1 mg/dL). Laju filtrasi glomerulus (LFG) didapat pada pria < 97

mL/menit (N: 97-137 mL/menit) dan pada wanita < 88 mL/menit (N: 88-128

mL/menit). Keadaan radiologis pada pasien GGK didapatkan dari intravena

pyelogram (IVP), antegrade pyelography (APG), dan ultrasonografi (USG) yaitu,

hidronefrosis pada stadium awal sebagai kompensasi, USG pada stadium lanjut CKD

tampak ginjal mengecil.

3.1.6 Penatalaksanaan

Perencanaan tatalaksana pasien dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut ini:

Tabel 3.2 Rencana Tatalaksana CKD

Stadium Rencana Tatalaksana LFG (mL/mnt/ 1.73 m2)


1 Observasi, kontrol tekanan darah ≥90
2 Observasi, kontrol tekanan darah 60-89
dan faktor resiko
3a Observasi, kontrol tekanan darah 45-59
dan faktor resiko
3b Observasi, kontrol tekanan darah 30-44
dan faktor resiko
4 Persiapan untuk RRT (Renal 15-29
Replacement Therapy)
5 RRT (Renal Replacement Therapy) <15

Sumber : The Renal Association, 2013

a. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal

secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,

memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan

elektrolit.
26

1) Peranan diet Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk

mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat

merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

2) Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk

GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan

positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

3) Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus

adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. 4) Kebutuhan elektrolit dan

mineral Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari

LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

b. Terapi simtomatik

1) Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium

(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan

suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena

bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

2) Anemia Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah

satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah

harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

3) Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan

keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan

keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah
27

ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu

program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

4) Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis

keluhan kulit.

5) Kelainan neuromuskular Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan

yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal

paratiroidektomi.

6) Hipertensi Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

7) Kelainan sistem kardiovaskular Tindakan yang diberikan tergantung dari

kelainan kardiovaskular yang diderita.

Terapi non farmakologi lain yang dilakukan pada pasien CKD terutama yang

sudah stage 5 adalah :

a) Hemodialisis

Merupakan tindakan untuk membuang sampah metabolisme yang tak bisa

dikeluarkan oleh tubuh, seperti adanya ureum di dalam darah. Dilakukan jika pasien

menderita GGK stadium 5 dan telah diberikan diuretik namun tidak berefek.

b) Operasi AV Shunt (arterio veno shunting)

Merupakan tindakan yang pertama kali dilakukan kepada pasien sebelum

menjalankan hemodialisis rutin. Operasi ini adalah operasi pembuatan saluran untuk

hemodialisis.
28

3.1.7 HEMODIALISIS

Definisi

Hemodialisis (HD) merupakan terapi pengganti ginjal yang dilakukan dengan

mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang bertujuan

untuk mengeliminasi sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan

keseimbangan elektrolit antara kompartemen darah dengan kompartemen dialisat

melalui membrane semipermiabel.

Indikasi

Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi hemodialisis segera (emergency) dan

hemodialisis kronis :

A. Hemodialisis segera

Hemodialisis segera merupakan hemodialisis yang harus segera dilakukan,

indikasinya antara lain:

1. Kegawatan ginjal

a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi

b. Oligouria (produksi urin < 200 ml/ 12 jam)

c. Anuria (produksi urin < 50 ml/ 12 jam)

d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan EKG, biasanya K >

6,5 mmol/l)

e. Asidosis berat (pH < 7,1 atau bikarbonat < 12 meq)

f. Uremia (BUN > 150 mg/dL)

g. Ensefalopati uremikum
29

h. Perikarditis uremikum

i. Disnatremia berat (Na > 160 mmol/L atau < 115 mmol/L)

j. Hipertermia

2. Keracunan akut (alkohol dan obat-obatan) yang dapat melewati membrane

dialisis.

B. Indikasi hemodialisis kronis

Hemodialisis kronis merupakan hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan

seumur hidup pasien denggan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis

dimulai jika LFG < 15 ml/menit. Keadaan pasien yang mempunyai LFG < 15

ml/menit tidak selalu sama. Sehingga hemodialisis mulai dianggap perlu jika

dijumpai salah satu dari hal di bawah ini :

1. LFG < 15 ml/menit, tergantung gejala klinis

2. Gejala uremia meliputi: letargia, anoreksia, nausea, mual, dan muntah.

3. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.

4. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.

5. Komplikasi metabolik yang refrakter.

3.2 Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling umum ditemukan

dalam praktik kedokteran primer. Menurut (National Heart, Lung, and Blood

Institute) 1 dari 3 pasien menderita hipertensi.. Komplikasi hipertensi dapat mengenai

berbagai organ target seperti jantung (penyakit jantung iskemik, hipertrofi ventrikel

kiri, gagal jantung), otak (stroke), ginjal (gagal ginjal) mata (retinopati), juga arteri
30

perifer (klaudikasio inter miten). Kerusakan organ-organ tersebut bergantung pada

tingginya tekanan darah pasien dan berapa lama tekanan darah tinggi tersebut tidak

terkontrol dan tidak diobati.

Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit ginjal.

Sebaliknya, CKD merupakan penyebab tersering terjadinya hipertensi sekunder.

Prevalensi CKD dikarakteristikan lebih baik sejak National Kidney Foundation

mengeluarkan klasifikasi standar berdasarkan tingkat Glomerular Filtration Rate

(GFR) dan ada atau tidaknya bukti renal injury. Pasien dengan stage 1 dan 2

memerlukan bukti adanya kerusakan ginjal, dan GFR masing-masing ≥ 90 dan 60–89

mL/menit. Stage 3, 4, dan 5 dengan GFR masing-masing 30–59, 15–29, dan <15

mL/menit tanpa memerhatikan adanya bukti kerusakan ginjal.

Risiko lebih besar pada penderita dengan tekanan darah sistolik

berkepanjangan >200 mmHg. Risiko mortalitas dan insufisiensi renal berkorelasi

dengan tingkat keparahan lesi arteriosclerotic renal. Risiko mortalitas juga berkorelasi

dengan tingkat keparahan perubahan mikrovaskuler di retina, dengan kelangsungan

hidup untuk grade 3 (cotton wool exudates/ hemorrhages) dan grade 4 (papilledema)

hanya 0% sampai 20% dalam 5 tahun. Dengan demikian jelas berdasarkan literatur

banyak penderita hipertensi yang tidak diobati berkembang menjadi insufisiensi

renal.
31

3.3 Anemia

Anemia adalah suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang

dari normal, berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dan kehamilan. Batas normal

dari kadar Hb dalam darah dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.2 Batas normal kadar Hb menurut umur dan jenis kelamin

Kelompok Umur Hemoglobin (gr/dl)

Anak – anak 6 – 59 bulan 11,0

5 – 11 tahun 11,5

12 – 14 tahun 12,0

Dewasa Wanita > 15 tahun 12,0

Wanita hamil 11,0

Laki-laki > 15 tahun 13,0

Sumber: WHO

Sebagian besar anemia disebabkan oleh kekurangan satu atau lebih zat gizi

esensial (zat besi, asam folat, B12) yang digunakan dalam pembentukan sel-sel darah

merah. Anemia bisa juga disebabkan oleh kondisi lain seperti penyakit malaria,

infeksi cacing tambang.

Anemia sering terjadi pada orang dengan penyakit ginjal kronis (CKD)

hilangnya fungsi ginjal permanen. Pada pasien ini ditemukan kadar hemoglobin 8,6

g/dl. Anemia mungkin mulai berkembang pada tahap awal CKD, ketika seseorang

memiliki 20 hingga 50 persen fungsi ginjal normal. Anemia cenderung memburuk

pada CKD. Kebanyakan orang yang memiliki kehilangan fungsi ginjal total, atau
32

gagal ginjal, menderita anemia. Seseorang mengalami gagal ginjal ketika dia

membutuhkan transplantasi ginjal atau dialisis untuk hidup. Dua bentuk dialisis

termasuk hemodialisis dan dialisis peritoneal. Hemodialisis menggunakan mesin

untuk mengedarkan darah seseorang melalui filter di luar tubuh. Dialisis peritoneal

menggunakan lapisan perut untuk menyaring darah di dalam tubuh. Penyebab umum

anemia lainnya pada orang dengan penyakit ginjal termasuk kehilangan darah dari

hemodialisis dan rendahnya tingkat nutrisi.

3.4 Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)

3.4.1 Definisi

Dengue hemorrhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh

infeksi virus dengue. DHF adalah penyakit akut dengan manifestasi klinis perdarahan

yang menimbulkan syok yang berujung kematian. DHF disebabkan oleh salah satu

dari empat serotipe virus dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Setiap serotipe

cukup berbeda sehingga tidak ada proteksisilang dan wabah yang disebabkan

beberapa serotipe (hiperendemisitas) dapat terjadi. Virus ini bisa masuk ke dalam

tubuh manusia dengan perantara nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua

jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-

tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut.

3.4.2 Etiologi

Penyebab penyakit adalah virus Dengue. Sampai saat ini dikenal ada 4

serotype virus yaitu ;

1. Dengue 1 (DEN 1) diisolasi oleh Sabin pada tahun1944.


33

2. Dengue 2 (DEN 2) diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.

3. Dengue 3 (DEN 3) diisolasi oleh Sather

4. Dengue 4 (DEN 4) diisolasi oleh Sather.

Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses

(arboviruses). Keempat type virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di

Indonesia dan yang terbanyak adalah type 2 dan type 3. Penelitian di Indonesia

menunjukkan Dengue type 3 merupakan serotype virus yang dominan menyebabkan

kasus yang berat.

3.4.4 Kriteria DHF

Diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO

tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris.

1. Kriteria Klinis

a.Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus

selama 2-7 hari.

b.Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:

•Uji torniquet positif

•Petekie, ekimosis, purpura.

•Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi

•Hematemesis dan atau melena

c.Pembesaran hati

d.Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,

hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien gelisah.
34

2. Kriteria Laboratoris

a.Trombositopenia (100.000/Чl atau kurang)

b.Hemokonsentrasi (hematokrit > 20% dari normal)

3.4.5 Derajat DHF

Derajat penyakit DHF diklasifikasikan dalam 4 derajat:

Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan

adalah uji torniquet positif

Derajat II :seperti derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan

lain.

Derajat III :didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi

menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis sekitar mulut, kulit dingin

dan atau lembab, pasien tampak gelisah.

Derajat IV :syok berat, nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur.

3.4.6 Gambaran Klinis

Terdapat 4 gejala utama DHF, yaitu demam tinggi, fenomena perdarahan,

hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Gejala klinis DHF diawali dengan demam

mendadak disertai muka kemerahan atau facial flush dan gejala klinis lain yang tidak

khas seperti anoreksia, mual, muntah, sakit kepala serta nyeri pada otot dan sendi.

Gejala lain yaitu perasaan tidak enak di daerah epigastrium, nyeri di bawah lengkung

iga kanan, kadang-kadang nyeri perut dapat dirasakan di seluruh perut. 


35

3.4.7 Penatalaksanaan DHF dengan kelainan ginjal

Kelainan ginjal pada DHF tidak mudah didiagnosis. Demam Dengue tahun

2002 di Taiwan terjadi kematian beberapa pasien dengan penyakit ginjal kronik

(chronic kydney disease, CKD). Laporan tersebut mengungkapkan tiga kasus DHF

dan DSS meninggal dunia meskipun dirawat intensif. Kesulitan diagnosis dan

pengobatan merupakan dilema pada CKD dengan DD sehingga diagnosis terlambat,

meningkatkan risiko mortalitas. Sempitnya jendela toleransi pemberian cairan pada

pasien CKD lebih lanjut menghambat keberhasilan resusitasi pada DHF dan DSS.

CVVD (continuous venous to venous hemodialysis) sangat membantu menstabilkan

hemodinamik. Untuk menurunkan angka kematian, perhatian utama harus diberikan

pada kewaspadaan dini dan upaya pengobatan agresif infeksi virus dengue pada

pasien dengan CKD. Laporan tersebut juga mengkaji kesulitan diagnosis dan dilema

pengobatan pada tiga kasus kematian DHF/ DSS. Dalam populasi umum, mortalitas

DHF berkisar 1-5 %. Kesulitan diagnosis dan pengobatan pasien CKD menyebabkan

risiko tinggi kematian karena kemiripan gejala dan tanda yang di antara DD dan

CKD. Dugaan klinis untuk membuat diagnosis antara lain adanya riwayat perjalanan

dari daerah endemik, riwayat paparan vektor pasien CKD. Kelainan ginjal pada

penderita DHF yang mengalami syok disebabkan karena hipoperfusi ginjal, azotemia

pre renal dan nekrosis tubuler akut. Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase

terminal syok yang tidak teratasi. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan,

pemasangan kateter vena sentral menjadi alternatif untuk pedoman pemberian cairan.

Bila penggantian cairan telah terpenuhi atau sesuai kebutuhan, syok telah teratasi,
36

tetapi produksi urine masih tetap belum ada, dipertimbangkan pemberian furosemid 1

mg/kgBB setelah yakin tidak ada faktor post renal yang menghambat aliran urine.

Dopamin dapat dipertimbangkan untuk membuka aliran darah ginjal yang

sebelumnya terganggu. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah gangguan

elektrolit dan gangguan asam basa. Asidosis metabolik harus segera dikoreksi karena

akan memicu DIC. Diuresis, kadar ureum dan kreatinin, kadar elektrolit, tanda vital,

kadar hematokrit harus dipantau dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil

pengobatan, termasuk memantau kemungkinan timbulnya edema paru dan gagal

jantung.

Anda mungkin juga menyukai