Anda di halaman 1dari 14

Peran dari inflamasi dalam patogenesis dan tatalaksana fibromyalgia

Ilke Coskun Benlidayi

Abstrak
Fibromyalgia merupakan penyakit yang memiliki berbagai macam sisi. Gambaran klinis dari
fibromyalgia mencakup berbagai macam komorbiditas. Setiap komorbiditas berdiri sebagai
kondisi yang berbeda. Namun, latar belakang dari komorbiditas tersebut sering disertai dengan
faktor patofisiologi. Bersamaan dengan faktor genetic, lingkungan, dan neuro-hormonal,
inflamasi juga dianggap memiliki peran dalam patogenesis dari fibromyalgia. Tujuan dari artikel
ini adalah untuk mengulas literatur yang ada saat ini mengenai potensi peran dari inflamasi
dalam pathogenesis dan tatalaksana dari fibromyalgia. Pencarian literatur dilakukan melalui
PubMed/MEDLINE dan database Web of Science dengan menggunakan kata kunci yang relevan.
Bukti terbaru dalam topik yang sedang hangat dibahas ini menunjukkan bahwa fibromyalgia
memiliki latar belakang yang berhubungan dengan adanya inflamasi. Sitokin/kemokin, mediator
lipid, stress oksidatif, dan beberapa faktor yang berasal dari plasma mendasari terjadinya kondisi
inflamasi dalam fibromyalgia. Terdapat beberapa kemungkinan pilihan terapi baru yang
ditujukan pada jalur inflamasi pada pasien dengan fibromyalgia. Namun, penelitian lebih lanjut
dibutuhkan untuk memahami secara utuh jaringan dan kemungkinan peran dari inflamasi dalam
mendiagnosa dan/atau tatalaksana dari fibromyalgia.

Kata kunci: Sitokin – Fibromyalgia – Inflamasi – Penanda inflamasi – Inflamasi neurogenic –


Tatalaksana

Pendahuluan
Fibromyalgia merupakan kondisi rematik kronik yang ditandai dengan nyeri yang tersebar luas
dan berbagai macam komorbiditas. Prevalensi dari fibromyalgia berkisar antara 2 dan 8%
bergantung pada kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis. Fibromyalgia dapat terjadi sendiri
atau sebagai komorbiditas dalam penyakit rematik lainnya seperti rheumatoid arthritis,
osteoarthritis, dan lupus eritematosus sistemik. Gejala klinis utama dari fibromyalgia adalah
nyeri yang luas, gangguan tidur, gangguan perasaan, irritable bowel syndrome, nyeri kepala,
gejala saluran kemih, dan mudah lelah. Walaupun setiap gejala tersebut tampak seperti kondisi
yang berbeda, namun gejala tersebut berhubungan antara satu dengan yang lain seperti bagian
dari puzzle gambar.
Karena sifatnya yang sangat rumit, seringkali tatalaksana fibromyalgia memiliki tantangan
tersendiri. Nyeri kronik yang tersebar luas merupakan target utama dari tatalaksana. Namun,
berbagai macam komorbiditas dalam fibromyalgia membutuhkan pengamatan yang lebih
komprehensif. Karena, tidak hanya nyeri kronik, namun juga mudah lelah, komorbiditas
psikologis, dang gangguan tidur juga dapat berkontribusi terhadap keterbatasan fungsional, absen
dari pekerjaan dan isolasi sosial pada pasien dengaan fibromyalgia.
Apakah yang menjadi pencetus dari kejadian tersebut dalam fibromyalgia? Terdapat banyak
faktor yang diidentifikasi dan masih banyak faktor yang sedang dipelajari. Faktor-faktor tersebut
diklasifikasikan menjadi faktor (1) genetik, (2) lingkungan, (3), hormonal, dan (4) neural. Selain
itu juga dapat terjadi gangguan imunologis yang selanjutnya dapat menyebabkan kondisi
inflamasi dalam fibromyalgia. Selama lebih dari satu dekade terakhir, penelitian yang luas telah
dilakukan untuk mencari latar belakang inflamasi pada fibromyalgia. Secara umum, temuan dari
penelitian ini berlawanan dengan pengetahuan bahwa “fibromyalgia merupakan kondisi rematik
non inflamasi”. Apakah peran dari inflamasi dalam patogenesis fibromyalgia? Apakah inflamasi
terjadi pada awal mula dari penyakit? Apakah inflamasi berhubungan dengan kondisi
komorbiditas? Apakah inflamasi memberikan pandangan baru terhadap tatalaksana dari
fibromyalgia?
Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, tujuan dari artikel ini adalah untuk mengulas
pengetahuan yang ada saat ini mengenai kemungkinan peran dari inflamasi dalam pathogenesis
dan tatalaksana dari fibromyalgia.

Strategi pencarian
Artikel ini mengikuti strategi pencarian yang direkomendasikan untuk ulasan naratif. Karena itu,
PubMed/MEDLINE dan database Web of Science dicari melalui MeSH dengan kata kunci yang
mencakup “fibromyalgia” dan “inflamasi”. Studi observasional, uji coba terkontrol acak, dan
studi kasus-kontrol yang ditulis dalam Bahasa inggris dan yang dipublikasikan dalam 7 tahun
terakhir hingga 9 September 2018 dimasukkan dalam ulasan ini. Laporan kasus, studi pada
hewan, artikel ulasan, artikel opini, surat, tulisan hasil konferensi, dan data yang tidak
dipublikasikan dieksklusi dari ulasan ini. Daftar referensi dari artikel yang diulas telah dipindai.
Artikel akan ditambahkan jika memenuhi kriteria inklusi dan tidak diikutsertakan pada tahap
awal dari ulasan (Gambar 1).

Apa itu inflamasi?


Inflamasi adalah proses pertahanan yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Tanpa inflamasi,
respon terhadap bahaya endogen/eksogen dan perbaikan jaringan setelah mengalami berbagai
macam cedera tidak akan mungkin terjadi. Komunikasi antara imunitas bawaan/adaptif, jalur
koagulasi/fibrinolitik, dan sistem saraf dibutuhkan untuk terjadinya kaskade inflamasi yang
sesuai. Komunikasi diaktifkan dengan pengirim pesan yang disebut diengan “mediator
inflamasi”. Mediator inflamasi dapat diklasifikasikan sebagai mediator yang berasal dari sel dan
yang berasal dari plasma. Beberapa sel termasuk makrofag, leukosit, limfosit, sel endotel, sel
mast, dan platelet memainkan peran dalam inflamasi. Mediator yang berasal dari sel bervariasi
sifatnya dan termasuk sitokin (interleukin, tumor necrosis factor, dan kemokin), komponen
lisosomal (protease, kolagenase, dan elastase), derivat asam arakidonat (siklooksigenase dan
lipoksigenase), radikal bebas yang berasal dari oksigen, reactive oxygen species, oksida nitrat,
neuropeptide, faktor pertumbuhan, faktor aktivasi platelet, mediator lipid (adiponektin, leptin,
dan endocannabinoid), dan vasoaktif amine (serotonin dan histamin). Di sisi lain, mediator
inflamasi yang berasal dari plasma disintesis di dalam liver dan mencakup faktor koagulasi,
protein fase akut, dan protein komplemen.

Mediator inflamasi yang berasal dari sel pada fibromyalgia


Jalur inflamasi yang dikendalikan oleh sel pada fibromyalgia diilustrasikan dalam Gambar 2.
Filter pencarian
Database: PubMed/MEDLINE dan Web of Science
Tanggal publikasi: 09/09/2011 – 09/09/2018
Kata kunci pencarian: “fibromyalgia” dan “inflamasi”

Artikel dinilai kelayakannya


(n = 548)

Kriteria inklusi: Kriteria eksklusi:


Studi terkontrol acak Abstrak/tulisan hasil
Studi observasional konferensi/protokol
Studi kasus-kontrol Studi pada hewan
Ditulis dalam Bahasa inggris Laporan kasus/laporan
singkat/surat/ulasan
Publikasi duplikat
Judul yang tidak relevan

Abstrak dinilai kelayakannya


(n = 124)

Penilaian lebih lanjut


Artikel dengan abstrak yang tidak relevan di eksklusi
Artikel diikutsertakan setelah mengulas referensi

Artikel diikutsertakan
(n = 69)
Gambar 1 Diagram alur dari ulasan naratif

Sitokin
Sitokin merupakan polipeptida kecil yang dilepaskan baik dari sel imun (monosit, sel T, dan
makrofag) dan sel non imun (sel Schwann, fibroblast, mikroglia, dan astrosit). Sitokin
diklasifikasikan sebagai sitokin anti inflamasi dan sitokin pro inflamasi. Dalam fibromyalgia,
diperkirakan terjadi ketidakseimbangan antara sitokin pro dan anti inflamasi dan lebih banyak
terdapat sitokin pro inflamasi. Variasi gen yang berbeda seharusnya berhubungan dengan
pelepasan sitokin dan kondisi inflamasi pada fibromyalgia. Upregulasi dari sitokin pro inflamasi
termasuk TNF, IL-1, IL-6, dan IL-8 mungkin berhubungan dengan beberapa komorbiditas yang
berhubungan dengan penyakit tertentu pada fibromyalgia.

Gambar 2 Inflamasi yang dikendalikan oleh sel pada fibromyalgia (diilustrasikan oleh Penulis
IlkeCoskun Benlidayi; MCP-1 monocyte chemoattractant protein-1, BDNF brain-derived
neurotrophic factor, NGF nerve growth factor)

Sitokin memainkan perannya melalui mekanisme perifer atau sentral. Mereka memodifikasi
interaksi neuroimun perifer, begitu juga dengan proses neuroinflamasi pada korda spinalis dan
otak. Neuroinflamasi sentral dan sensitisasi sentral berhubungan sangat dekat pada fibromyalgia.
Neuroinflamasi sentral dicetuskan oleh peningkatan kadar sitokin dan faktor neurotropik dalam
cairan serebrospinal. Zat P, faktor neurotropik yang berasal dari otak, glutamat, faktor
pertumbuhan saraf, dan beberapa mediator inflamasi mengaktivasi sel glia. Sel glia yang
teraktivasi menghasilkan sitokin pro inflamasi dan menyebabkan terjadinya neuroinflamasi.
Fenomena ini meningkatkan proses sentral dari input nosiseptif dan berkontribusi terhadap nyeri
kronik, allodynia, dan hyperalgesia dalam fibromyalgia. Sebagai bukti adanya neuroinflamasi
sentral, konsentrasi IL-8 intratekal mengalami peningkatan pada pasien fibromyalgia saat
dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Namun, peningkatan serupa tidak terjadi pada IL-1β
yang juga merupakan sitokin pro inflamasi. Peningkatan kadar IL-8 ini mungkin berhubungan
dengan aktivasi sel glia, yang mana merupakan penentu yang penting dari sensitisasi sentral dan
hyperalgesia, karena sel glia diaktivasi oleh zat eksitator dari sistem saraf pusat atau oleh sitokin
pro inflamasi yang dilepaskan dari sel imun perifer. Siklus yang berbahaya ini dapat ditingkatkan
oleh stress dan dapat menjelaskan peningkatan gejala yang disebabkan oleh stress pada
fibromyalgia. Sementara produksi IL-8 dimediasi oleh aktivasi dari sistem saraf simpatis, IL-1β
berhubungan dengan aktivitas siklooksigenase. Peningkatan konsentrasi IL-8 dengan kurangnya
peningkatan IL-1β menunjukkan bahwa gejala pada fibromyalgia dimediasi oleh sistem saraf
simpatis, daripada melalui jalur yang berhubungan dengan prostaglandin. Kombinasi dari
disfungsi sistem saraf otonom dan peningkatan kadar stress pada fibromyalgia juga mendukung
temuan ini. Tatalakasana fibromyalgia sebaiknya mempertimbangkan penyakit yang dimediasi
oleh sistem saraf simpatis ini. Obat-obatan yang ditujukan pada reseptor beta adrenergik
sebaiknya lebih dipilih dibandingkan dengan obat-obatan anti inflamasi non steroid yang
ditargetkan pada jalur siklooksigenase.
Beberapa studi berfokus pada konsentrasi sitokin plasma/serum pada fibromyalgia. Sejumlah
studi menunjukkan peningkatan kadar dari IL-6, IL-8, IL-1β, atau TNF-alfa pada fibromyalgia.
Namun, juga terdapat sstudi dengan hasil yang berlawanan. Ranzolin et al., menemukan tidak
ada perbedaan kadar biomarker (kecuali IL-10) antara pasien fibromyalgia dan kontrol. Tidak
terdapat korelasi yang ditemukan antara biomarker dan keparahan penyakit. Di sisi lain, terdapat
bukti bahwa terjadi peningkatan kadar IL-10 pada fibromyalgia. IL-10 merupakan sitokin anti
inflamasi yang juga dikenal dengan faktor penghambat sintesis sitokin manusia. Kadar IL-10
yang tinggi pada pasien fibromyalgia mungkin berhubungan dengan usaha untuk
mengkompensasi kondisi inflamasi.
Sitokin mungkin terlibat dalam komorbiditas yang berhubungan dengan fibromyalgia.
Mendukung hipotesis ini, IL-6 menunjukkan korelasi yang positif dengan keparahan dan sensasi
nyeri pada fibromyalgia. Pasien dengan fibromyalgia juga menunjukkan peningkatan kadar
plasma dari IL-17 saat dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Selain itu, IL-17 juga ditemukan
berkorelasi dengan sitokin pro inflamasi lainnya termasuk TNF, IFNγ, IL-2, IL-4, dan IL-10. Di
sisi lain, sitokin TH2 termasuk IL-4, IL-5, dan IL-13 ditekan pada fibromyalgia. Sifat analgesik
dari IL-4 dan IL-13 menyoroti kemungkinan peran dari ketidakseimbangan T H1 – TH2 pada nyeri
yang luas. Studi mikrodialisis mengevaluasi respon inflamasi terhadap kontraksi otot dinamis
yang berulang pada pasien dengan fibromyalgia. Sampel dikumpulkan dari titik yang paling
nyeri pada vastus lateralis dan dianalisa konsentrasi sitokin pro inflamasinya (IL-1β, IL-6, IL-8,
dan TNF). Hasilnya menunjukkan tidak ada korelasi antara kadar sitokin dan nyeri atau
kelelahan.
Sel mast terlibat dalam alergi dan imunitas. Sel tersebut juga dipertimbangkan sebagai
kemungkinan kontributor dari inflamasi pada fibromyalgia. IL-6 dan TNF-alfa, dua sitokin pro
inflamasi utama yang disekresikan dari sel mast kadarnya lebih tinggi secara signifikan pada
pasien dengan fibromyalgia dibandingkan dengan kontrol. Kadar neuropeptida serum seperti
neuropeptide Y, hormon pelepas kortikotropin, zat P, dan kadar hemokinin-1 yang berhubungan
secara struktural juga mengalami peningkatan pada fibromyalgia. Peptida tersebut dapat
menstimulasi sel mast untuk mensekresikan sitokin. Sitokin pro inflamasi kemudian dapat
menstimulasi neuron untuk melepaskan lebih banyak neuropeptida. Dengan demikian, siklus
inflamasi yang berbahaya ini berkembang dalam fibromyalgia melalui interaksi neuron-sel
inflamasi.
Monosit merupakan prekursor dari sitokin pro inflamasi. Pada awal dari proses inflamasi, jumlah
monosit meningkat pada sirkulasi perifer. Saat sel bermigrasi ke jaringan untuk menghasilkan
sitokin pro inflamasi, jumlah monosit menunjukkan penurunan. Taylor et al. menguji
kemungkinan peran dari monosit dalam fibromyalgia. Persentase total dari monosit yang ada
dalam sirkulasi tidak berbeda dengan yang ada pada kontrol sehat. Namun, persentase dari
subtype monosit yang ada dalam sirkulasi (intermediet dan klasik) berkorelasi terbalik dengan
nyeri yang dirasakan.

Kemokin
Kemokin merupakan sitokin berukuran kecil yang dihasilkan oleh berbagai macam stimuli.
Kemokin dibagi kedalam empat kategori yaitu ligand kemokin CC-, CXC-, CX 3C-, dan XC-.
Reseptor kemokin terdistribusi secara luas pada sel glia, neuron, sel progenitor saraf dan
leukosit. Kemokin memainkan peran dalam modulasi dan regulasi nyeri melalui mekanisme
langsung atau tidak langsung. Mekanisme langsung berhubungan dengan aktivasi dari neuron,
sedangkan mekanisme tidak langsung disebabkan oleh karena aktivasi leukosit. Baik sel sistem
saraf perifer maupun sentral dapat diaktivasi oleh kemokin. Karena itu, kemokin memainkan
peran yang penting dalam sensitisasi perifer dan sentral. Fenomena ini mungkin penting dalam
pathogenesis dari fibromyalgia, karena terdapat beberapa bukti bahwa kadar kemokin
kemoatraktan lebih tinggi dari populasi yang sehat. Wallace et al. melakukan sebuah analisis
perbandingan untuk menguji profil sitokin/kemokin dalam fibromyalgia. Konsentrasi dari IL-6
dan IL-8, makrofag inflamasi pada cairan serebrospinal γ protein-1 alfa dan beta dikombinasikan
kedalam sebuah nilai dan dibandingkan antara pasien dengan fibromyalgia, rheumatoid arthritis,
lupus erythematosus sistemik, dan kontrol yang sehat. Setiap kelompok menunjukkan profil
sitokin/kemokin yang berbeda dan kelompok fibromyalgia menunjukkan respon yang lebih
sedikit terhadap stimulasi mitogenik. Pola sitokin/kemokin yang unik pada fibromyalgia
menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas diagnostik. Daripada memeriksa sejumlah
kemokinsitokin yang terbatas dan telah ditentukan sebelumnya, Backryd et al. menggunakan
panel protein multipleks untuk menilai 92 protein yang berhubungan dengan inflamasi pada
fibromyalgia secara bersamaan. Neuroinflamasi dan inflamasi sistemik dinilai dalam cairan
serebrospinal dan plasma, secara berurutan. Kadar fractaline yang tinggi (kemokin yang
dilepaskan dari neuron urutan pertama) dan IL-8 pada cairan serebrospinal memastikan bahwa
terjadi inflamasi sentral pada fibromyalgia. Di sisi lain, kadar IL-8 plasma yang tinggi konsisten
dengan inflamasi sistemik yang terjadi.
Neutrofil terlibat sebagai mediator dari inflamasi. Terdapat beberapa bukti bahwa hitung
neutrofill lebih tinggi pada pasien dengan fibromyalgia dibandingkan dengan populasi yang
sehat. Sel tersebut mensekresikan berbagai macam sitokin, kemoatraktan, dan molekul perusak
jaringan. Rasio neutrofil terhadap limfosit (NLR) disarankan sebagai penanda prognostik untuk
inflamasi sistemik. Pasien dengan fibromyalgia memiliki NLR yang lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan dengan populasi yang sehat, menunjukkan kemungkinan adanya peran
dari inflamasi yang berhubungan dengan neutrofil pada fibromyalgia. Sebuah studi oleh
Mertoglu et al. menunjukkan bahwa kadar endocan, sebuah proteoglikan yang dihasilkan oleh sel
endotel, hasilnya lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan fibromyalgia saat
dibandingkan dengan kontrol yang sehat.
Profil sitokin/kemokin pada fibromyalgia sebaiknya dievaluasi dalam batasan penuaan, karena
respon inflamasi mengalami perubahan pada lansia/orang dewasa dengan usia yang lebih tua
baik ada maupun tidak ada fibromyalgia. Di sisi lain, menopause juga merupakan salah satu titik
yang penting dalam produksi sitokin yang spesifik pada wanita. Pada wanita paska menopause
dengan fibromyalgia, nyeri yang berat, kecemasan dan depresi berkaitan dengan nyeri
berhubungan dengan kadar IL-8. Karena itu, peneliti sebaiknya memberikan perhatian yang
spesifik terhadap faktor yang berhubungan dengan usia termasuk status menstruasi saat ini.

Mediator lipid
Adipokin memiliki peran yang sangat penting dalam respon imun dan inflamasi. Dapat melewati
sawar darah otak, adipokin juga dapat meningkatkan aktivitas sentral dan regulasi nyeri sentral.
Adiponektin dianggap sebagai adipokin anti inflamasi. Visfatin, lesitin, dan leptin telah diketahui
bahwa memiliki sifat pro inflamasi. Leptin meningkatkan jumlah dan vitalitas dari limfosit T dan
juga menarik makrofag melalui monocyte chemoattractant protein-1. Selain itu, leptin
meningkatkan sensitivitas nyeri melalui mekanisme neuropeptida Y-dependen dan dianggap
sebagai adipokin pro nosiseptif. Pada pasien dengan fibromyalgia, kadar leptin pada cairan
serebrospinal lebih tinggi dan kadar adiponektin pada cairan serebrospinal lebih rendah
dibandingkan dengan kadar pada serum. Temuan ini penting untuk menjelaskan komorbiditas
yang dimediasi secara sentral pada fibromyalgia.
Adiposit merupakan sumber dari adipokin dan kemokin. Karena itu, adiposit memiliki potensi
yang besar untuk meningkatkan respon inflamasi. Jaringan adiposa yang terdiri dari preadiposit,
adiposit, dan sel imun dianggap sebagai regulator nyeri dan inflamasi pada fibromyalgia.
Namun, literatur terbaru memiliki hasil yang berlawanan dengan kadar leptin yang meningkat,
menurun, dan tidak berubah pada pasien dengan fibromyalgia. Studi menunjukkan bahwa tidak
terdapat korelasi antara kadar leptin dan variabel klinis (ambang nyeri, jumlah titik nyeri,
kualitas hidup, dan perasaan) atau parameter inflamasi (monocyte chemoattractant protein-1 dan
C-reactive protein). Di sisi lain, merokok berhubungan dengan pengalaman nyeri yang lebih
berat pada fibromyalgia. Efek ini sebagian dikendalikan oleh deregulasi dari interaksi antara
leptin-neuropeptida Y.
Sistem endocannabinoid meningkatkan fungsi sel imun. Stensson et al. mengevaluasi hubungan
antara mediator lipid endocannabinoid dengan gejala dari fibromyalgia. Hasilnya menunjukkan
bahwa kadar lipid endocannabinoid lebih tinggi pada pasien dengan fibromyalgia saat
dibandingkan dengan kontrol. Namun, peran biologisnya pada komorbiditas masih belum jelas.

Reactive oxygen species dan radikal bebas


Stress oksidatif dan inflamasi saling berhubungan. Pada penyakit yang berhubungan dengan
inflamasi, inflamasi akan meningkatkan kebutuhan energi dan berkontribusi terhadap kondisi
hipoksik. Di sisi lain, disfungsi mitokondria pada penyakit yang berhubungan dengan inflamasi
menyebabkan terjadinya peningkatan reactive oxygen species. Kerusakan oksidatif
menyebabkan inflamasi lebih lanjut, menyebabkan siklus yang berbahaya. Dengan kadar
lipidnya yang tinggi, sel neural sangat sensitif terhadap reactive oxygen species dan peroksidasi
lipid. Karena itu, stress oksidatif dapaat dianggap sebagai variabel perancu dari neuroinflamasi.
Beberapa studi menunjukkan peningkatan kadar penanda stress oksidatif pada fibromyalgia.
Disfungsi mitokondria, gangguan bioenergetik, dan penurunan kadar enzim anti oksidan
dipertimbangkan sebagai faktor yang mendasari terjadinya stress oksidatif dan inflamasi pada
fibromyalgia. Sel mononuclear darah pada pasien dengan fibromyalgia menurunkan kandungan
DNA mitokondria dan koenzim Q10 dan mengandung kadar reactive oxygen species yang
tinggi. Reactive oxygen species menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid dan meningkatkan
produk oksidatif seperti lysopfosfokolin. Lisofosfokolin, yang bekerja melalui reseptor faktor
aktivasi platelet, dapat terlibat dalam inflamasi dan nyeri. Adenosine monophosphate-activated
protein kinase (AMPK) memainkan peran regulasi dalam semua kejadian tersebut. Modulasi dari
AMPK dapat menurunkan respon inflamasi dengan menghambat inflammasome kelompok
NOD-like receptor, pyrin domain containing 3 (NLRP3).
Kulit merupakan jaringan yang terlibat dalam nosisepsi. Gejala yang berkaitan dengan kulit
berhubungan dengan neuropati serabut kecil pada fibromyalgia. Selain itu, biopsi kulit dari
pasien dengan fibromyalgia menunjukkan adanya disfungsi mitokondria, penurunan kadar
koenzim Q10, penurunan kandungan DNA mitokondria, dan aktivitas enzim. Penumpukan DNA
mitokondria yang rusak di dalam sel akan menyebabkan terjadinya respon imun bawaan. Dengan
demikian, kandungan DNA mitokondria pada fibromyalgia berkorelasi secara terbalik dengan
kadar TNF-alfa.

Mediator inflamasi yang berasal dari plasma pada fibromyalgia


Mediator inflamasi yang berasal dari plasma mencakup komplemen, faktor koagulasi, dan
protein fase akut:

Komplemen dan faktor koagulasi


Bukti mengenai peran dari sistem komplemen dan koagulasi pada patogenesis fibromyalgia
relatif terbatas. Studi terbaru memeriksa profil proteome plasma dari pasien dengan
fibromyalgia. Selain itu, studi tersebut menganalisa jaringan/jalur molekuler yang berhubungan
dengan ekspresi berlebihan dari protein pada fibromyalgia. Peneliti menentukan 33 protein
berbeda yang diekspresikan, yang mana sebagian besar berhubungan dengan jalur inflamasi
seperti sistem koagulasi, komplemen, dan sinyalisasi respon fase akut. Karena hal ini merupakan
temuan yang sangat penting, hasilnya saling tumpeng tindih dengan yang telah dilaporkan oleh
Gerdle et al. dalam studi cross sectional pada nyeri kronik yang luas.
Sistem komplemen dan koagulasi memainkan peran yang sangat penting dalam inflamasi. Jalur
yang berhubungan dengan protein komplemen terutama dicetuskan oleh kompleks antigen
immunoglobulin M dan G. Kadar immunoglobulin M yang tinggi pada pasien dengan
fibromyalgia konsisten dengan pengetahuan ini. Beberapa faktor koagulasi diekspresikan secara
berlebihan pada fibromyalgia dan sebagian besar dari protein tersebut dapat mengaktivasi
kaskade komplemen. Sistem aktivasi plasminogen ekstrinsik dan intrinsik berhubungan dengan
faktor koagulasi tersebut. Karena itu, fibromyalgia dapat dianggap sebagai kondisi pro koagulasi.
Ekspresi yang lebih tinggi dari fibrinogen dan pergeseran pada distribusi platelet pada
fibromyalgia mendukung teori ini.

Protein fase akut


Protein fase akut dikategorikan sebagai reaktan fase akut positif dan negatif. Sebagai indikator
dari inflamasi, reaktan fase akut positif mengalami upregulasi pada fibromyalgia, sementara
protein fase akut negatif mengalami penurunan. Sebagai alat pengukur tidak langsung dari
temuan ini, terdapat beberapa bukti bahwa laju endap darah lebih tinggi pada pasien dengan
fibromyalgia dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Namun, juga terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa laju endap darah tidak berubah pada pasien dengan fibromyalgia. Data pada
C-reactive protein juga berlawanan. Sebuah studi dengan jumlah sampel yang besar
menunjukkan hubungan yang positif antara C-reactive protein dan fibromyalgia. Namun,
hubungan ini mengalami pelemahan sesaat setelah ditambahkan indeks massa tubuh dan
komorbiditas pada model. Gangguan tidur dan gangguan perasaan juga mengalami pelemahan,
namun tidak mengeliminasi hubungan ini. Hasilnya menunjukkan bahwa obesitas dan kondisi
komorbid sebagian bertanggung jawab terhadap status inflamasi pada fibromyalgia.
Platelet merupakan reaktan fase akut positif yang banyak dihasilkan sebagai respon terhadap
kondisi inflamasi, sementara penurunan jumlah limfosit berhubungan dengan kondisi inflamasi
yang tidak terkontrol. Karena itu, rasio platelet terhadap limfosit dapat dianggap sebagai
indikator dari inflamasi. Sebagai tanda dari status inflamasi, rasio platelet terhadap limfosit
menunjukkan peningkatan pada fibromyalgia.

Kemungkinan pilihan terapi yang ditujukan pada inflamasi


Kepentingan klinis dari inflamasi pada fibromyalgia berhubungan dengan kemungkinan
perannya dalam pengambilan keputusan diagnostik dan terapi. Beberapa sitokin tertentu (IL-6,
IL-8, dan TNF-alfa), profil sitokin/kemokin, reaktan fase akut, dan adipokin disarankan sebagai
penanda diagnostik pada fibromyalgia. Selain itu juga terdapat penanda yang berasal dari sel
seperti NLR, hitung platelet, rasio platelet terhadap limfosit, dan kandungan DNA mitokondria.
Setiap penanda tersebut dapat memberikan pandangan mengenai kondisi inflamasi pada pasien
dengan fibromyalgia. Namun, pengetahuan sejauh ini menunjukkan bahwa tidak terdapat satu
pun penanda inflamasi yang dapat berdiri sendiri sebagai biomarker diagnostik/prognostik pada
fibromyalgia. Untuk tatalaksana pasien, terdapat beberapa kemungkinan pilihan terapi yang
ditujukan terhadap jalur yang berhubungan dengan inflamasi pada fibromyalgia (Gambar 3).

Terapi anti sitokin


Sitokin pro inflamasi adalah faktor perancu utama dari inflamasi. Molekul tersebut juga dapat
berkontribusi terhadap inisiasi/perkembangan dari komorbiditas seperti nyeri yang luas, mudah
lelah, gangguan tidur, dan gangguan perasaan pada fibromyalgia. Karena itu, sitokin pro
inflamasi dianggap sebagai salah satu kemungkinan target dari tatalaksana. Mastrangeli et al.
menyarankan bahwa sitokin anti inflamasi seperti IL-37 bisa memberikan keuntungan dalam
terapi dengan menghambat IL-1 dan TNF-alfa. Namun, literatur yang ada sejauh ini tidak
menyebutkan secara spesifik antibodi monoklonal apapun atau obat biologis lainnya dalam
tatalaksana fibromyalgia. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengevaluasi kemungkinan
peran dari biologi dalam tatalaksana fibromyalgia.
Bukti yang ada sejauh ini mengkonfirmasi bahwa naltrexone dosis rendah memiliki efek yang
menguntungkan pada pasien dengan fibromyalgia. Status inflamasi dasar ditentukan dengan laju
endap darah, untuk memperkirakan respon terhadap naltrexone. Karena itu, kemungkinan
terdapat efek imunomodulator dari naltrexone. Untuk mengkonfirmasi saran ini, sebuah uji coba
single-blind, crossover menunjukkan bahwa pemberian naltrexone dosis rendah selama 8
minggu berhubungan dengan penurunan kadar sitokin di dalam plasma. Sangat penting untuk
menyatakan bahwa sitokin dapat ditekan dengan maksimal menggunakan naltrexone dosis
rendah terutama yang terlibat dalam nosisepsi, allodynia, dan hyperalgesia.

INFLAMASI
Sitokin- Mediator
Kemungkinan
kemokin
target lipid
ROS Neuropeptida

KemungkinanFarmakologi
Non Farmakologi pilihan terapiCannabinoid Coenzim
- Modifikasi gaya - SNRI Q10 Akupuntur
hidup - Naltrexone Penurunan Berhenti
Metformin
berat badan merokok
- Olahraga Pembatasan
Olahraga
- MBSR kalori
Berhenti
- WBT Melatonin
Merokok
- Balneoterapi

Gambar 3 Kemungkinan pilihan terapi yang ditujukan pada inflamasi pada fibromyalgia (ROS
reactive oxygen species, MBSR mindfulness-based stress reduction, WBT whole-body
cryotherapy, SNRI serotonin and norepinephrine reuptake inhibitor).

Palmitoylethanolamide merupakan amine asam lemak yang memberikan efek anti inflamasi
dengan menghambat degranulasi sel mast, pelepasan dari sitokin dan aktivasi sel glia yang
berhubungan dengan imun. Sebuah studi label terbuka, tidak teracak, non-blinding menunjukkan
bahwa terapi palmitoylethanolamide yang dikombinasi dengan pregabalin dan duloksetin
memberikan keuntungan tambahan dalam meredakan nyeri. Sebagai penghambat yang poten dari
inflamasi, glukokortikoid dapat dianggap memiliki efek terapi pada fibromyalgia. Namun, studi
klinis pada fibromyalgia menunjukkan penurunan sensitivitas dari monosit yang ada di sirkulasi
terhadap efek imunosupresi dari glukokortikoid. Selain itu, juga ditunjukkan bahwa dosis
deksametason yang lebih tinggi dibutuhkan untuk menghambat produksi IL-6 pada pasien
fibromyalgia. Temuan ini sejalan dengan hipotesis bahwa ciri klinis utama dari fibromyalgia
(mudah lelah dan nyeri) berhubungan dengan gangguan jalur sinyalisasi reseptor glukokortikoid,
bukan penurunan kadar glukokortikoid, karena penurunan pada sensitivitas glukokortikoid
disertai dengan peningkatan frekuensi kelelahan. Di sisi lain, penurunan sensitivitas dari monosit
terhadap efek imunosupresi dari glukokortikoid juga memiliki potensi dalam strategi tatalaksana
pada fibromyalgia. Walaupun glukokortikoid merupakan molekul anti inflamasi yang poten,
gangguan jalur sinyalisasi reseptor glukokortikoid menghambat potensi ini pada fibromyalgia.
Penghambat ambilan serotonin dan norepinefrin disarankan sebagai pilihan tatalaksana untuk
fibromyalgia. Peneliti berfokus pada potensi anti inflamasinya melalui jalur yang berhubungan
dengan serotonin dan norepinefrin. Milnacipran, penghambat ambilan ganda, memiliki sebagian
efek terapi yang ditujukan terhadap aktivasi sel glia dan dengan demikian akan menghambat
neuroinflamasi. Obat ini menurunkan laktat ventricular, yang mana memiliki peran dalam
inflamasi sentral.
Dalam hal pilihan tatalaksana secara non farmakologi, modifikasi gaya hidup (berhenti merokok,
aktivitas fisik rutin dan diet sehat) akan sangat bernilai. Karena, disbiosis saluran pencernaan,
insufisiensi/defisiensi vitamin D, dan obesitas merupakan kemungkinan faktor yang berperan
dalam penyakit inflamasi. Penurunan berat badan dengan diet saja dapat menurunkan kadar IL-6
pada fibromyalgia. Cryotherapy seluruh tubuh telah disarankan sebagai modalitas terapi untuk
kondisi inflamasi. Penelitian pada fibromyalgia juga menunjukkan hasil yang menguntungkan.
Pada sebuah studi perbandingan oleh Bettoni et al., pasien yang ditatalaksana dengan
cryotherapy melaporkan lebih banyak perbaikan dalam persepsi nyeri, kelelahan, dan kualitas
hidup dibandingkan dengan kelompok yang tidak dilakukan cryotherapy. Efektivitas dari
cryotherapy mungkin berhubungan dengan efek imunomodulator dari terapi dingin. Di sisi lain,
sejumlah studi menunjukkan bahwa terapi mandi lumpur (mud-bathing) dan/atau balneotherapy
efektif dalam menurunkan penanda inflamasi pada pasien dengan fibromyalgia. Akupuntur juga
merupakan salah satu pilihan tatalaksana non farmakologis pada pasien dengan fibromyalgia.
Akupuntur menunjukkan bahwa dapat mengendalikan efek modulasi nyeri dengan menurunkan
kadar neuropeptida Y pada pasien dengan fibromyalgia. Secara keseluruhan, penelitian lebih
lanjut dibutuhkan untuk mendukung bukti yang terbatas mengenai terapi non farmakologis.
Stress dapat mencetuskan produksi sitokin pro inflamasi. Karena itu, mindfulness-based stress
reduction mungkin menjadi salah satu pilihan terapi yang masuk akal dalam menekan inflamasi
pada pasien dengan fibromyalgia. Meditasi mindfulness memperbaiki komorbiditas psikologis
pada fibromyalgia. Telah dibuktikan bahwa mindfulness-based stress reduction dapat
mengurangi kemarahan dan kecemasan, dengan demikian dapat memperbaiki perasaan dan
isolasi sosial pada fibromyalgia. Meditasi mindfulness juga memberikan keuntungan dalam
menurunkan nyeri yang luas. Namun, studi lebih lanjut masih dibutuhkan untuk mengklarifikasi
latar belakang biologis dari mindfulness-based symptom relief pada fibromyalgia.

Antioksidan dan obat-obatan pelindung mitokondria


Disfungsi mitokondria seharusnya memainkan peran yang sangat penting dalam patogenesis
fibromyalgia. Aktivator biogenesis mitokondria dan obat-obatan pelindung mitokondria
memiliki kemungkinan untuk menjadi pilihan tatalaksana baru. AMPK merupakan salah satu
dari regulator stress oksidatif dan sensitisasi perifer dari nosiseptor. Karena itu, strategi terapi
baru seperti metformin dan pembatasan kalori dapat membantu mengembalikan molekul
regulator utama. Karena, sebelumnya telah ditunjukkan bahwa metformin dan pembatasan kalori
dapat meningkatkan fungsi AMPK dan memperbaiki pertahanan terhadap stress oksidatif. Selain
itu, pada beberapa pasien fibromyalgia, suplementasi koenzim Q10 secara oral (pembasmi
radikal bebas yang ampuh) ditemukan efektif dalam menurunkan kadar TNF-alfa dan
memperbaiki luaran klinis termasuk nyeri kepala dan nyeri. Temuan ini mungkin berhubungan
dengan efek hambatan dari koenzim Q10 terhadap inflamassome NLRP3. Melatonin dan
precursor serotoninnya juga penting dalam membasmi oksigen radikal. Sebuah uji coba
terkontrol, teracak, fase II menunjukkan bahwa melatonin sebesar 10 mg/hari memperkuat
hambatan sistem peningkatan nyeri endogen, dengan respon yang lebih baik daripada pemberian
amitriptilin saja dalam memperbaiki nyeri. Terapi oksigen hiperbarik efektif dalam meredakan
gejala, memperbaiki kualitas hidup, dan memperbaiki aktivitas abnormal otak pada pasien
dengan fibromyalgia.

Olahraga
Olahraga sangat direkomendasikan sebagai pilihan tatalaksana non farmakologi untuk
fibromyalgia. Terdapat beberapa mekanisme yang mendasari keuntungan yang berhubungan
dengan olahraga. Kemungkinan peran dari olahraga dalam inflamasi telah menarik perhatian
dalam beberapa tahun terakhir. Penelitian terutama berfokus pada olahraga aerobik. Bahkan
olahraga bersepeda dengan intensitas sedang dapat menurunkan kadar IL-8, kortisol, dan kadar
protein heat shock, begitu juga dengan kemotaksis neutrofil dan pelepasan sitokin monosit. Hasil
mengenai olahraga air juga memberikan keuntungan. Olahraga air selama 8 bulan (2 sesi tiap
minggu, 60 menit tiap sesi) memberikan adaptasi neuro-imun-endokrin sebagaimana dievaluasi
melalui kadar kemotaksis neutrofil, produksi sitokin monosit, IL-8, C-reactive protein, dan
noradrenalin. Berlawanan dengan temuan tersebut, tidak ada efek anti inflamasi yang didapatkan
dengan olahraga ketahanan progresif. Namun, respon terhadap latihan ketahanan sangat
menonjol pada pasien yang kurus, dengan perubahan kadar IGF-1 dan leptin yang signifikan
setelah menjalani program olahraga selama 15 minggu. Studi terbaru mengevaluasi efek dari satu
sesi getaran seluruh tubuh terhadap biomarker inflamasi. Kadar adiponektin dan reseptor TNF 1
mengalami penurunan setelah tatalaksana. Temuan ini konsisten dengan adaptasi terhadap
respon stress yang ditingkatkan dengan olahraga.

Kesimpulan dan kata penutup


Fibromyalgia memiliki berbagai macam sisi patofisiologi. Penelitian sejauh ini mengonfirmasi
bahwa sistem imun merupakan bagian yang penting dalam patogenesis yang kompleks ini.
Sitokin pro inflamasi, reactive oxygen species, dan faktor inflamasi yang berasal dari plasma
memainkan peran yang berbeda dalam respon inflamasi. Telah dilakukan beberapa percobaan
untuk menemukan pilihan terapi baru yang ditujukan terhadap jaringan inflamasi dan
kemungkinan perancu dari inflamasi. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengklarifikasi
peran dari inflamasi pada komorbiditas yang berhubungan dengan fibromyalgia, dan juga untuk
memberikan harapan terhadap kemungkinan pilihan terapi.

Anda mungkin juga menyukai