Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH IMUNOBIOLOGI

TOPIK: SISTEM IMUN SPESIFIK

SIGNALING PATHWAYS DALAM SISTEM IMUN SPESIFIK

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Yoes Prijatna Dachlan, dr, M.Sc,SpPar(K)

Oleh:

Rofiatu Sholihah
NIM. 091724353007

PROGRAM STUDI MAGISTER IMUNOLOGI


SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat Rahmat dan
HidayahNya makalah tugas perkuliahan Imunobiologi dapat terselesaikan
dengan baik. Makalah dengan topik sistem imun spesifik ini memiliki judul
Signaling Pathway dalam sistem imun spesifik. Penulis sadar sepenuhnya
dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan, baik dari penulisan
maupun dari isinya. Oleh karena itu, penulis membuka lebar atas masukan,
saran, dan kritik demi kemajuan isi yang terdapat dalam makalah ini.
Tak lupa, penulis ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Prof. Dr. Yoes
Prijatna Dachlan, dr, M.Sc,SpPar(K), selaku dosen pengampu mata kuliah
Imunobiologi.
Demikian pengantar dari saya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya khususnya bagi teman-teman seperjuangan mahasiswa S2
Imunologi.

Surabaya, Maret 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4
1. Latar Belakang ............................................................................................. 4
2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
3. Tujuan .......................................................................................................... 6
3.1 Tujuan Umum ....................................................................................... 6
3.2 Tujuan Khusus ...................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 7
2. Sistem Imun Spesifik ................................................................................... 8
2.1 Sistem Imun Spesifik Humoral ............................................................. 9
2.2 Sistem Imun Spesifik Selular .............................................................. 11
3. Limfosit yang Berperan dalam Respon Imun Spesifik .............................. 12
3.1 Sel B.................................................................................................... 13
3.2 Reseptor sel B ..................................................................................... 14
3.2.1 IgM .............................................................................................. 15
3.2.2 Reseptor Fc .................................................................................. 16
3.3 Aktivasi sel B ...................................................................................... 16
3.4 Sel T .................................................................................................... 18
3.5 Reseptor sel T (T cell Receptor) ......................................................... 18
3.6 Respon Sel T ...................................................................................... 18
3.7 Pengenalan Peptida terkait MHC........................................................ 20
3.8 Aktivasi Sel T CD8+ .......................................................................... 20
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Imunitas didefinisikan sebagai pertahanan terhadap penyakit,


terutama penyakit infeksi. Kumpulan sel-sel, jaringan dan molekul-molekul
yang berperan dalam pertahanan infeksi disebut sistem imun (Abbas,2017).
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun, termasuk respon
terhadap mikroba patogen, dan kerusakan jaringan serta peranannya pada
penyakit. Sistem imun merupakan sistem yang berfungsi untuk mencegah
terjadinya kerusakan tubuh atau timbulnya penyakit. Fungsi fisiologis
sistem imun yang paling penting adalah mencegah serta membasmi infeksi.
Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnya
terhadap mikroba disebut respons imun. Sistem imun diperlukan tubuh
untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat
ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun dapat
dibagi menjadi sistem imun alamiah/non spesifik/bawaan dan sistem imun
didapat/adaptif/spesifik yang mana kedua sistem imun ini berperan dalam
proses pencegahan masuknya mikroba,virus atau patogen sistem imun
dalam tubuh (Playfair, J.H.L dan Chain, B.M, 2009) .
Imunitas non spesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh
selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk
tubuh dan dengan cepat menyingkirkannya. Disebut non spesifik karena
tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, sistem imun ini telah ada dan siap
berfungsi sejak lahir. Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem
imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang
dianggap asing bagi dirinya. Benda asing atau antigen yang pertama kali
terpajan dengan tubuh segera dikenal oleh sistem imun. Meskipun
mekanisme imunitas spesifik timbul atau bekerja lebih lambat dibandingkan
dengan imunitas non spesifik, apabila terjadi pajanan antigen akan
menimbulkan sensitasi, sehingga antigen yang sama dan masuk tubuh untuk

4
kedua kali akan dikenal cepat dan kemudian dihancurkan. Namun pada
umumnya terjalin kerjasama yang baik antara sistem imun non spesifik
dengan sistem imun spesifik dalam tubuh manusia (Baratawidjaya, 2013)
Pentingnya sistem imun dalam kesehatan secara dramatis
digambarkan melalui pengamatan yang sering menunjukkan bahwa
seseorang dengan kelainan respon imun akan rentan terhadap infeksi berat
dan sering kali mengancam nyawa. Sistem imun yang berfungsi baik mutlak
diperlukan untuk kelangsungan hidup seseorang (Baratawidjaya,2013). Hal
ini terbukti dengan peningkatan prevalensi penyakit imunologi, termasuk
autoimun dan alergi. Data World Allergy Organization (WAO)
menunjukkan, angka prevalensi alergi mencapai 10-40 persen dari total
populasi dunia (WAO,2013). Sedangkan untuk penyakit autoimun dalam
hal ini adalah Systemic Lupus Erythematosus (SLE) tren penyakit SLE
pada pasien rawat inap rumah sakit meningkat sejak tahun 2014-2016. Pada
tahun 2016 penderita SLE meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan
tahun 2014 (Depkes,2017).
Mayoritas penderita penyakit imunologi memerlukan pengobatan
jangka panjang dengan biaya mahal dan mengalami penurunan kualitas
hidup yang signifikan. Oleh karena itu pengetahuan tentang imunologi juga
diperlukan untuk penanggulangan berbagai penyakit, baik yang
menyangkut diagnosis maupun pengobatan dan pencegahan
(Baratawidjaya,2013). Atas dasar hal tersebut disusunlah makalah ini untuk
mengetahui tentang sistem imun, dalam hal ini akan dibahas lebih lanjut
mengenai sistem imun adaptif/spesifik.

2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana gambaran sistem imun secara umum?


b. Apa definisi sistem imun spesifik?
c. Limfosit apakah yang berperan dalam respon imun spesifik?
d. Bagaimana sel B berperan dalam sistem imun spesifik?
e. Bagaimana aktivasi B Cell Receptor dalam sistem imun spesifik?
f. Bagaimana sel T berperan dalam sistem imun spesifik?

5
g. Bagaimana aktivasi T Cell Receptor dalam sistem imun spesifik?

3. Tujuan

3.1 Tujuan Umum


Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sistem imun spesifik

3.2 Tujuan Khusus


a. Untuk mengetahui gambaran sistem imun secara umum
b. Untuk mengetahui definisi sistem imun spesifik
c. Untuk mengetahui limfosit apakah yang berperan dalam respon
imun spesifik
d. Untuk mengetahui peran sel B dalam sistem imun spesifik
e. Untuk mengetahui peran sel T dalam sistem imun spesifik

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Gambaran Umum Sistem Imun


Imunologi adalah ilmu yang mempelajari organ, sel, dan molekul yang
berperan dalam proses pengenalan dan pembuangan, bagaimana cara organ,
sel, dan molekul tersebut merespon dan berinteraksi (Playfair dan Chain,
2009). Sistem Imun atau sistem kekebalan adalah sistem mekanisme pada
organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan
mengidentifikasi dan membunuh patogen (Hasdianah, 2014). Imunitas
membahas mengenai pengenalan dan pembuangan benda asing atau non self
yang masuk kedalam tubuh, biasanya dalam bentuk mikroorganisme
infeksius yang mengancam nyawa, akan tetapi terkadang benda asing
tersebut juga dalam bentuk transplantasi organ yang ditujukan untuk
menyelamatkan nyawa (Playfair dan Chain, 2009).
Sistem imun dibagi menjadi 2 yaitu sistem imun bawaan atau non
spesifik dan sistem imun adaptif atau spesifik.
Sistem imun non spesifik selalu ada pada setiap individu sehat, dan
disiapkan untuk menghambat masuknya mikroba atau antigen untuk
mengeliminasi mikroba yang berhasil memasuki jaringan inang (host)
secara cepat. Sistem imun non spesifik melawan antigen dengan cara yang
sama kepada semua antigen. Sistem imun non spesifik tidak membeda-
bedakan responnya kepada semua jenis antigen, oleh karena itu disebut non
spesifik. Sistem imun ini bekerja dengan cepat dan selalu siap (Abbas, 2017)
.
Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik
mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi
dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan dengan tubuh segera
dikenali oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan sensitasi,
sehingga antigen yang sama dan masuk kedalam tubuh untuk kedua kali
akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan, oleh karena itu disebut
sistem imun spesifik. Perlindungan yang dihasilkan pun dapat bertahan lama

7
karena sistem imun spesifik memiliki kemampuan memori terhadap antigen
(Baratawidjaya, 2013).
Proses eliminasi antigen sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa
bantuan sistem imun non spesifik, namun pada umumnya terjalin kerjasama
yang baik antara sistem imun non spesifik dan spesifik dalam proses
eliminasi antigen yang membahayakan tubuh.

2. Sistem Imun Spesifik


Sistem imun spesifik merupakan mekanisme pertahanan terhadap
stimulus spesifik tertentu, misalnya organisme infeksius. Respon ini dapat
mengeliminasi mikroorganisme dan memulihkan tubuh dari penyakit,
sering kali memberikan pejamu suatu memori spesifik, sehingga mampu
merespons lebih efektif pada infeksi berulang dengan antigen yang sama.
Sistem imun adaptif terdiri atas limfosit dan produk-produknya, seperti
antibodi. Respon imun adaptif sangat penting terutama untuk mikroba
infeksius yang bersifat patogenik terhadap manusia dan mampu melawan
sistem imun non spesifik. Apabila sistem imun non spesifik mengenali
struktur-struktur yang sama-sama dimiliki oleh berbagai kelas mikroba, sel-
sel imuni spesifik dalam hal ini adalah limfosit mengenali berbagai molekul
yang diproduksi oleh mikroba serta molekul-molekul non infeksius. Setiap
bahan yang secara spesifik dapat dikenali oleh limfosit dan antibodi disebut
antigen. Respon imun spesifik seringkali mengunakan sel-sel dari sistem
imun non spesifik untuk mengeliminasi mikroba, dan fungsi sistem imun
spesifik untuk memperkuat mekanisme antimikroba sistem imun non
spesifik.
Sistem imun spesifik dibedakan menjadi 2 macam, yaitu sistem imun
spesifik humoral dan sistem imun spesifik selular. Dua jenis imunitas
spesifik ini diperantarai oleh sel-sel dan molekul yang berbeda dan masing-
masing dirancang untuk memberikan pertahanan terhadap mikroba
ekstraseluler dan intraseluler

8
2.1 Sistem Imun Spesifik Humoral

Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah


Limfosit B atau sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari
sel asal multipoten sumsum tulang. Pada unggas, sel yang disebut
Bursal cell atau sel B akan berdeferensiasi menjadi sel B yang matang
dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang terletak didekat kloaka,
pada manusia diferensiasi tersebut terjadi dalam sumsum tulang.

Gambar 1. Jenis sistem imun spesifik


Pada sistem imun spesifik humoral, limfosit B mensekresi
antibodi yang memberantas mikroba ekstraseluler. Pada sistem imun
spesifik seluler, berbagai macam limfosit T merekrut dan

9
mengaktifkan fgosit untuk menghancurkan mikroba yang telah
ditelan dan membunuh sel yang terinfeksi.
Sistem imun spesifik humoral diperantarai oleh protein yang
disebut antibodi, yang diproduksi oleh sel-sel yang disebut limfosit
B. Antibodi masuk kedalam sirkulasi dan cairan mukosa, lalu
menetralisir dan mengeliminasi mikroa serta toksin mikroba yang
berada di luar sel-sel inang, dalam darah, cairan ekstraseluler yang
berasal dari plasma dan didalam lumen dari organ-organ mukosa,
seperti traktus gastrointestinalis dan traktus respiratorius. Salah satu
fungsi terpenting antibodi adalah menghentikan mikroba yang
berada pada permukaan mukosa dan dalam darah agar tidak
mendapatkan akses menuju sel-sel inang dan tidak membentuk
koloni di dalam sel serta jaringan ikat inang. Melalui cara ini
antibodi mencegah infeksi berkembang. Antibodi tidak dapat
mencapai mikroba yang hidup dan membelah di dalam sel yang
terinfeksi.
Aktivasi sel limfosit B menghasilkan proliferasi sel yang
antigen spesifik, selanjutnya terjadi ekspansi klonal, dan kemudian
berdiferensiasi menjadi sel plasma, yang aktif mensekresi antibodi
dan menjadi sel efektor imunitas spesifik humoral.

Gambar 2. Tahap-tahap respon imun humoral

10
Limfosit B naif mengenali antigen, dan dibawah pengaruh sel sel T-
helper sel B diaktivasi untuk proliferasi, meningkatkan ekspansi klonal,
dan untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel plasma yang mensekresi
antibodi. Beberapa sel B yang teraktivasi mengalami perubahan isotipe
rantai berat dan maturasi afinitas, serta beberapa menjadi sel-sel
memori yang bertahan hidup lama

2.2 Sistem Imun Spesifik Selular


Limfosit T atau sel T berperan dalam sistem imun spesifik seluler.
Sel tersebut juga berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada
orang dewasa, sel T dibentuk di dalam sumsum tulang, tetapi proliferasi
dan diferensiasinya terjadi dalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai
faktor asal timus. 90-95% dari semua sel T dalam timus tersebut mati
dan hanya 5-10% menjadi matang dan selanjutnya meninggalkan timus
untuk masuk dalam sirkulasi. Faktor timus yang disebut timosin dapat
ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon asli dan dapat
mempengaruhi diferensiasi sel T di perifer. Imunitas seluler diperantai
oleh sel T. Sel T mengekspresikan beberapa reseptor antigen yang
identic yang dinamakan T Cell Receptor , bersirkulasi langsung di sisi
aktif antigen dan membentuk fungsinya, apabila berinteraksi dengan
antigen. . Sel T memiliki CD2, CD3, CD4, CD28, CD45R. Sel T
dibentuk di timus, di mana mereka menjalani dua proses seleksi. Proses
seleksi positif pertama, gulma yang dapat keluar hanya sel T dengan set
reseptor yang benar yang dapat mengenali molekul MHC yang
bertanggung jawab dalam proses mengidentifikasi sel sendiri.
Kemudian proses seleksi negatif dimulai, dimana sel T yang dapat
mengenali molekul MHC kompleks dengan peptida asing diizinkan
untuk lulus keluar dari timus (Abbas 2016)

Sitotoksik atau sel T pembunuh (CD8+) melakukan pekerjaannya


dengan melepaskan lymphotoxins, yang menyebabkan lisis sel. Sel T
pembantu (CD4+) berfungsi untuk mengarahkan respon imun.CD4+
mengeluarkan bahan kimia yang disebut limfokin yang merangsang sel

11
T sitotoksik dan sel B untuk tumbuh dan membelah, menarik neutrofil,
dan meningkatkan kemampuan makrofag untuk menelan dan
menghancurkan mikroba. Sel T supresor menghambat produksi sel T
sitotoksik ketika tidak dibutuhkan, karena dapat menyebabkan
kerusakan lebih dari yang diperlukan. Memori T sel diprogram untuk
mengenali dan merespon patogen setelah berhasil ditolak (Abbas
2016).

Peran sel T dalam sistem imun spesifik seluler adalah


memberikan pertahanan terhadap mikroba intraseluler. Pada beberapa
jenis infeksi, mikroba mungkin menemukan tempat yang nyaman
didalam sel, dan mereka harus dihilangkan oleh respon imun seluler.
Mikroba-mikroba yang ditelan oleh fagosit merupakan bagian dari
mekanisme pertahanan awal imunitas bawaan, akan tetapi sebagian
mikroba tersebut telah berevolusi untuk menghindari aktivitas
mikrobisida fagosit. Beberapa bakteri intraseluler dan protozoa
patogenik mampu bertahan hidup dan bahkan bereplikasi dalam vesikel
fagosit. Pada infeksi seperti itu, set T merangsang kemampuan
makrofag untuk membunuh mikroba yang ditelan.

3. Limfosit yang Berperan dalam Respon Imun Spesifik

Sebanyak 20% dari semua leukosit dalam sirkulasi darah orang dewasa
adalah limfosit yang terdiri atas sel B dan sel T yang merupakan kunci
pengontrol sistem imun. Secara morfologik sangat sulit untuk membedakan
berbagai sel limfosit dan diferensiasi subkelas sel B dan sel T. Sel-sel
tersebut dapat mengenal benda asing dan membedakannya dari sel jaringan
sendiri. Biasanya sel limfosit hanya memberikan reaksi terhadap benda
asing, tetapi tidak terhadap sel sendiri. Pada tabel 1 disajikan tentang sel
limfosit yang berperan dalam respon imun spesifik.
Tabel 1. Limfosit yang Berperan dalam Respon Imun Spesifik
Jenis Sel Fungsi Sel Produk Fungsi Produk
Produksi
Neutralisasi
B antibodi Antibodi
Opsonisasi

12
Presentasi
Lisis sel
antigen
↑ Produksi
Sitokin IL-3,
antibodi oleh sel
IL-4 Membantu sel B
Th2 B
dan Tc
IL-5, IL-10, IL-
↑ Tc aktif
13
Inflamasi : IL-2,
Mediator
Th1 mengawali dan IFNgamma,
inflamasi
meningkatkan TNF
Supresi Th dan
↓Produksi Faktor supresor
Tr akibatnya juga
antibodi sel B (TGFbeta)
supresi B dan Tc
Meningkatkan
IFN gamma ekspresi MHC
Lisis sel target Aktivasi sel NK
Tc
antigenik Merusak
Perforin membran sel
sasaran
Pemusnahan sel IL-4,
NKT
sasaran IFNgamma

Dalam tubuh ada sekitar 1012 limfosit yang disirkulasikan terus menerus
dalam darah dan limfe, dapat bermigrasi ke rongga jaringan dan organ
limfoid serta merupakan perantara berbagai bagian sistem imun. Sel limfosit
meruoakan sel yang berperan utama dalam sistem imun spesifikm sel T pada
imunitas seluler dan sel B pada imunitas humoral, sel CD4+ berinteraksi
dengan sel B dan merangsang proliferasi diferensiasi sel B. Pada imunitas
selular sel T CD4+ mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba
atau CD8+ untuk membunuh mikroba intraseluler yang menginfeksi sel.
Kedua sistem imun, nonspesifik dan spesifik bekerja sangat erat satu dengan
yang lainnya.

3.1 Sel B
Sel B merupakan 5-25% dari limfosit dalam darah yang berjumlah
sekitar 1000-2000 sel/mm3. Limfosit asal sumsum tulang merupakan
limfosit terbanyak sekitar 50%, sisanya sekitar 1/3 nya berasal dari
kelenjar getah bening, limfe, dan kurang dari 1% berasal di timus
(Baratawidjaya,2013). Pada manusia sel B diproduksi pertama pada fase
embrionik dan terus berlangsung selama hidup. Sebelum lahir, hati dan

13
sumsum tulang merupakan tempat pematangan utama sel B dan setelah
lahir pematangan sel B terjadi di sumsum tulang. Pematangan sel B
terjadi dalam beberapa tahap. Fase-fase pematangan sel B berhubungan
dengan Ig yang diproduksi. Pematangan limfosit terjadi melalui proses
yang disebut seleksi (positif dan negatif).
Seleksi pematangan primer terjadi dalam organ limfoid primer yaitu
sumsum tulang untuk sel B dan timus untuk sel T. Sel B dan sel T berasal
dari prekusor yang sama diproduksi dalam sumsum tulang, termasuk
pembentukan reseptor.
Pematangan sel B terjadi dalam sumsum tulang, sedangkan
progenitor sel T bermigrasi ke dan menjadi matang di timus. Masing-
masing sel berproliferasi terutama atas pengaruh sitokin IL-12 yang
meningkatkan jumlah sel matur. Pematangan sel B dalam sumsum tulang
tidak memerlukan antigen, tetapi aktivasi dan diferensiasi sel B matang
di kelenjar getah bening perifer memerlukan antigen.

3.2 Reseptor sel B


Reseptor sel B/ B cell Receptor (BCR) yang mengikat antigen asing
akan memacu 4 proses yang terdiri dari proliferasi, diferensiasi menjadi
sel plasma yang memproduksi antibodi, pembentukan sel memori, dan
presentasi antigen ke sel T.
Proliferasi sel B merupakan inti dari germinal kelenjar getah bening.
Seperti halnya dengan reseptor sel T/ T cell Reseptor (TCR), BCR
mengawali signal transduksi yang efeknya ditingkatkan oleh molekul
kostimulator yang kompleks. BCR merupakan kompleks protein
transmembran yang terdiri atas IgM dan disulfida heterodimer yang
disebut Igα/Igβ. Molekul heterodimer ini berhubungan dengan molekul
IgM yang berbentuk BCR (Gambar 3). Rantai Igα memiliki ekor
sitoplasma yang panjang yang mengandung 61 asam amino; ekor Igβ
mengandung 48 asam amino (Abbas,2016).

14
Gambar 3. Struktur BCR

3.2.1 IgM
Sel B termuda sudah ditemukan dalam hati janin dan sumsum
tulang dan belum mengekspresikan imunoglobulin atau petanda
permukaan. Kebanyakan sel B yang matang dan belum diaktifkan
meninggalkan sumsum tulang. Mula-mula dibentuk IgM dalam
sitoplasma sel yang dapat digunakan sebagai ciri sel pre-B. Dalam
tahap selanjutnya IgM bergerak kearah membran sel dan kemudian
dijadikan reseptor monomerik permukaan sIgM. Kemudian sel
dapat mengenal antigen untuk pertama kali. Kontak antara antigen
dan sel B muda ini tidak menimbulkan ekspansi dan diferensiasi
lebih lanjut, dalam tahap selanjutnya dibentuk IgD yang kemudian
juga bergerak ke arah membran sel. Sel yang telah memiliki IgM
dan IgD sebagai reseptor dianggap matang.
Perkembangan sel B dalam sumsum tulang merupakan
perkembangan independen, akan tetapi perkembangan selanjutnya
memerlukan rangsangan antigen. Sel B yang diaktifkan akan
berkembang menjadi limfoblast, beberapa diantaranya menjadi

15
matang/ sel plasma mampu memproduksi antibodi bebas dan
lainnya berkembang menjadi sel memori.

3.2.2 Reseptor Fc
Semua sel B memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgG. reseptor
ini berperan dalam gerakan antibodi melewati membran sel dan
transfer IgG dari ibu ke janin melalui plasenta. Reseptor tersebut
dapat diikat pasif oleh berbagai sel seperti sel B dan sel T, neutrofil,
sel mast, eosinofil, makrofag, dan sel NK.

3.3 Aktivasi sel B


Limfosit B mengekspresikan suatu reseptor untuk protein dari
sistem komplemen yang menyediakan sinyal untuk aktivasi sel. Sinyal
yang terbentuk selama respon imun non spesifik terhadap mikroba dan
beberapa antigen bekerja sama dengan pengenalan antigen oleh
reseptor antigen untuk mengawali respon sel B.
Gambar 4 menunjukkan bahwa reseptor antigen sel B (BCR) terdiri
dari molekul imunoglobulin membran (mIg) dan heterodimer Igα / Igβ
(CD79a / CD79b) yang terkait (α / β). Subunit mIg mengikat antigen
kemudian menghasilkan agregasi reseptor, sedangkan subunit α / β
mentransmisikan sinyal ke interior sel. Agregasi BCR dengan cepat
mengaktifkan kelompok kinase Src, Lyn, Blk, dan Fyn serta tirosin
kinase Syk dan Btk. Ini memulai pembentukan signalosome yang
tersusun dari BCR, kinase tirosin tersebut di atas, protein adaptor
seperti CD19 dan BLNK, dan enzim pensinyalan seperti PLCγ2, PI3K,
dan Vav. Sinyal yang berasal dari signalosome mengaktifkan banyak
kaskade signaling yang melibatkan faktor kinase, GTPases, dan
transkripsi. Hal ini menyebabkan perubahan metabolisme sel, ekspresi
gen, dan sitoskeletal. Kompleksitas sinyal BCR memungkinkan banyak
hasil yang berbeda, termasuk bertahan hidup, toleransi (alergi) atau
apoptosis, proliferasi, dan diferensiasi ke sel penghasil antibodi atau sel
memori B.

16
Gambar 4. Signaling Pathway B Cell Receptor
Hasil respon ditentukan oleh keadaan pematangan sel, sifat antigen,
besarnya dan durasi sinyal BCR, dan sinyal dari reseptor lain seperti CD40,
reseptor IL-21, dan BAFF-R.
Banyak protein transmembran lainnya, beberapa di antaranya
merupakan reseptor, memodulasi elemen spesifik dari pensinyalan BCR.
Beberapa di antaranya, termasuk CD45, CD19, CD22, PIR-B, dan
FcγRIIB1 (CD32), pada gambar diatas ditunjukkan dengan warna kuning.
Besar dan durasi sinyal BCR dibatasi oleh loop umpan balik negatif
termasuk yang melibatkan jalur Lyn / CD22 / SHP-1, jalur Cbp / Csk, SHIP,
Cbl, Dok-1, Dok-3, FcγRIIB1, PIR-B, dan internalisasi BCR. In vivo, sel B
sering diaktifkan oleh sel antigen-presenting yang menangkap antigen dan
menampilkannya di permukaan sel mereka. Aktivasi sel B oleh antigen
terkait membran tersebut memerlukan reorganisasi sitoskeletal BCR.

17
3.4 Sel T
3.5 Reseptor sel T (T cell Receptor)
TCR yang mengenali antigen peptide yang disajikan oleh molekul MHC,
adalah protein heterodimerik yang terikat membrane, terdiri dari rantai α dan
rantai β, masing masing rantai mengandung satu regio variabel (V) dan satu
region konstan (C). Regio V dan C ini homolog dengan regio V dan C pada
immunoglobulin. Pada regio V setiap rantai TCR terdapat tiga tiga region
hipervariabel atau complementarity-determining reions dalam domain V
(Abbas 2016).

Gambar 5. Struktur reseptor antigen sel T

Gambar 5 menunjukkan bahwa diagram skematik dari TCR αβ (sebelah


kiri) menunjukkan domain dari TCR yang spesifik untuk kompleks peptide
MHC. Bagian yang mengikat antigen dari TCR dibentuk oleh Vα dan Vβ. N
mengacu pada terminal amino dan C mengacu pada terminal karboksi dari
polipeptida. Diagram pita (sebelah kanan) menunjukkan struktur bagian
ekstraselular dari TCR yang tampak melalui kristalogafi sinar X.

3.6 Respon Sel T


Limfosit T naif mengenali antigen diorgan limfoid perifer (skunder),
yang mencetus poliferasi dan deferensiasi sel T menjadi sel efektor dan
memori, dan sel-sel efektor dan memori, dan sel-sel efektor menjalankan

18
fungsinya ketika mereka diaktifkan oleh antigen yang sama di jaringan
perifer atau organ limfoid. Respon limfosit T naif terhadp antigen
mikroba terkait sel terdiri dari serangkaian tahapan yang berurutan yang
mengakibatkan peningkatan jumlah sel T spesifik antigen serta
perubahan sel T naif menjadi sel efektor dan memori (Abbas 2016).

Salah satu respon paling awal adalah sekresi sitokin dan peningkatan
ekspresi reseptor untuk berbagai sitokin. Beberapa sitokin mernsang
poliferasi sel T yang diaktifkan antigen, menghasilkan peningkatan cepat
jumlah limfosit spesifik antigen, suatu proses yang disebut dengan
ekspansi klonal. Limfosit yang teraktivasi menjalani proses diferensiasi
menghasilkan perubahan sel T naif menjadi populasi sel T efektor yang
berfungsi untuk menghilangkan mikroba. Banyak sel T efektor
meninggalakan organ limfoid, masuk ke sirkulasi dan bermigrasi ke
tempat infeksi., dimana mereka dapat menghilangkan infeksi tersebut.
Bebrapa sel T efektor mungkin tetap di kelnjar limfe, dan berfungsi untuk
membasmi sel yang terinfeksi di tempat tersebut atau memberikan sinyal
ke sel B untuk memberikan respons antibodi terhadap mikroba. Beberapa
turunan sel T yang telah berpoliferasi dalam menangapi antigen
berkembang menjadi sel T memori. Sel T naif dan sel T efektor memiliki
pola yang berbeda dalam bersirkulasi dan bermigrasi dalam jaringan
yang sangat penting dalam peran mereka yang berbeda pada respon imun
(Abbas 2016).

Gambar 6 menunjukkan bahwa sel naif mengenali antigen terkait


MHC yang di tampilkan pada APC dan sinyal lain. Sel T memberi respon
dengan memproduksi sitokin, seperti interleukin-2 dan mengekpresi
reseptor untuk sitokin ini, yang mengarah ke suatu jalur autokrin poliferasi
sel. Hasilnya adalah ekspansi klonal sel-sel T yang spesifik antigen .
beberapa klon berdiferensiasi menjadi sel efektor, yang berfungsi dalam
imunitas selular dan sel-sel memori yang bertahan dalam waktu yang lama.
Perubahan lain berkaitan dengan aktivasi seperti ekspresi berbagai
molekul permukaan tidak ditampilkan.

19
Gambar 6. Langkah-langkah dalam aktivasi Limfosit T

3.7 Pengenalan Peptida terkait MHC


Reseptor sel T untuk antigen (TCR) dan koresptor CD4 atau CD8
bersama-sama mengenali kompleks antigen peptide danmolekul MHC
pada APC, dan pengenalan ini memberikan sinyal inisisasi atau
sinyalpertama untuk aktivasi sel. TCR yang diekspresikan pada semua
sel T CD4+ dan CD8+ T terdiri dari rantai α dan rantai β, yang keduanya
berpartisipasi dalam pengenalan antigen. TCR sel T yang spesifik untuk
peptide asing (misalnya mikroba),mengenali peptide yang ditampilkan
dan sekaligus mengenali residu molekul MHC yang terletak sekitar celah
pengikat peptide. Setiap sel T yang terbatasi MHC matur yang
menampilkan baik CD4 ataupun CD8 yang keduanya disebut
korepseptor karena mengikat molekul MHC yang sama dimana TCR
berikatan dan diperlukan untuk mengawali sinyal dari kopleks TCR.
Pada saat TCR mengenali kompleks MHC-peptida, CD4 dan CD8
masing-masing mengenali MHC kelas II dan MHC kelas I, ditempat
terpisah dari celah pengikut peptide. Sinyal biokimia yang menyebabkan
aktivasi sel T dipicu oleh suatu rangkaian protein yang terkait pada TCR
yang merupakan bagian dari kompleks TCR dan oleh koreseptor CD4
atau CD8 (Abbas 2016).

3.8 Aktivasi Sel T CD8+


Aktivasi sel T CD8+ diransang oleh pengenalan peptide terkait
MHC kelas I dan memerlukan konstimulasi dan sel T helper.

20
Gambar 7. Signaling Pathway T Cell Receptor

Aktivasi TCR dimulai dari molekul MHC- antigen (sinyal 1) dan


molekul B7 (sinyal 2) memulai aktivasi kinase protein dan kalsium
intraselular., sehingga mengaktivasi transkripsi faktor yang mengendalikan
masuk dalam siklus sel dari GO dan mengaturnya sehingga menghasilkan
ekspresi IL-2 dan sitokin lainnya. Kestabilan perekrutan CD4 dan CD8 ke
kompleks TCR memulai inisiasi kaskade transduksi sinyal memlauli osforilasi
desain ITAM tertata rapi dalam rantai CD3 ζ, yang menciptakan situs
pengikatan untuk ZAP-70 kinase. Peristiwa berikutnya dikerahkan melalui
fosforilasasi ZAP-70 dimediasi LAT, perekrutan beberapa kompleks
persinyalan untuk hasil LAT memicu jalur persinyalan RAas-MAPK dan
PLCγ1, dan jalur terakhir berujung pada aktivasi berbagai transkripsi faktor
termasuk NF-kB, NFAT, dan Fos (Roitt’s 2017 ).

Setelah pengenalan antigen dan kostimulator sel-sel T


mengekspresikan protein yang terlibat dalam poliferasi diferensiasi dan fungsi

21
efektor mereka. Sel T naif yang belum bertemu antigen menunjukkan sintesis
protein yang rendah. Dalam bebrapa menit setelah pengenalan antigen,
transkripsi gendan sintesis protein yang baru terlihat pada sel T yang
teraktivasi. Protein-protein yang baru tersebut memperantarai banyak respon
sel T berikutnya. Pengenalan antigen mengaktifkan beberapa mekanisme
biokimiawi yang menggarahkan respon sel T,termasuk aktivasi enzim-enzim
seperti kinase, rekruitmen protein adaptor, dan produksi faktor transkripsi aktif.
Jalur kimia tersebut tercetus ketika kompleks TCR dan koreseptor yang sesuai
bersama-sama terikat pada kompleks MHC-peptida dipermukaan APC.
Disamping itu, terdapat gerakan protein yang teratur baik di membrane APC
maupun sel T region kontak sel-sel, sedemikian rupa hingga kompleks TCR,
koreseptor CD4/CD8, dan CD28 menyatu dipusat dn integrin bergerak
membentuk sebuah cincin periferal. Koreseptor CD4 dan CD8 memfasilitasi
sinyal melalui satu kinase tirosin protein yang disebut Lck yang terikat secara
nonkovalen pada ujung sitoplasmik koreseptor tersebut (Roitt’s 2017).

Faktor nuklear sel T yang teraktivasi , nuclear factor of activated T cells


(NFAT) adalah suatu faktor transkripsi yang berada dalam bentuk terfosforilasi
tidak aktif dalam sitoplasma sel T yang istirahat. Aktivasi NFAT dan
translokasi nuklearnya tergantung pada konsentrasi ion kalsium (ca2+) dala
sitosol. Jalur persinyalan ini diawali oleh fosforilasi yang diperantai ZAP-70
dan aktivasi satu enzim yang disebut fosfolipase Cγ (PLCγ),yang
mengkatalisasi hidrolisis satu fosfolipid inositol membran plasma yang disebut
fosfatidilinositol 4,5-biofosfat (PIP2). Peningkatan Ca2+ sitoplasmik
menyebabkan aktivasi suatu fosfatase yang disebut kalsineurin. Enzim ini
melepaskan fosfat NFAT sitoplasmik, sehingga memungkinan faktor
transkripsi tersebut bermigrasi ke dalam nucleus, dimana akan terikat dan
mengaktifkan promotor beberapa gen, termasuk gen yang menyandi IL2, faktor
pertumbuhan sel T dan unsur-unsur reseptor IL-2 (Abbas 2016).

Jalur kinase Ras/ Rac-MAP termasuk proetein Rac dan Ras pengikat
guanosin trifosfat (GTP). Jalur ini diawali oleh fosforilasi yang tergantung pada
ZAP-70 dan akumulasi protein adaptor di membrane plasma, mengarahkan

22
rekruitmen Rasa tau Rac, dan aktivasi mereka oleh pertukaran ganosin difosfat
(GDP) yang terikat dengan GTP. Ras●GTP dan Rac●GTP, bentuk aktif dari
protein-protein tersebut, mencetuskan kaskade enzim yang berbeda, dan
menimbulkan aktivasi kinase MAP yang berbeda. Kinase MAP terminal dalam
jalur-jalur tersebut, disebut berturut-turut extracellular signal regulated kinase
(ERK) dan kinase c-jun amino terminal (N-terminal) (JNK), merangsang
ekspresi satu protein yang disebut c-fos dan fosforilasi protein lain yang disebut
c-jun. c- jun dan c-fos yang terfosforilasi bergabung membentuk faktor-faktor
transkripsi activating protein 1 (AP-1), yang meningkatkan transkripsi
beberapa sel T (Abbas 2016).

Jalur utama lain yang terlibat dalam persinyalan TCR terdiri dari
aktivasi isoform Ө dari kinase treonin- serin yang disebut protein kinase C
(PKC Ө), yang mencetus aktivasi faktor transkripsi nuclear faktor-kB (NF-kB).
NF-kB diaktifkan oleh kompleks TCR yang di hidrolisis. NF-kB berada dalam
di dalam sitoplasma sel T yang istirahat dalam bentuk tidak aktif. Berbagai
faktor transkripsi diinduksi atau diaktifkan dalam sel T, termasuk NFAT, AP-
1 dan NF-kB, merangsang transkripsi dan produksi sitokin, reseptor sitokin,
peransang siklus sel, dan molekul efektor seperti CD40L. keseluruhan sinyal
tersebut dipicu oleh pengenalan antigen, karena pengikatan TCR dan
koreseptor dengan kompleks MHC-peptida diperlukan untuk mengawali
persinyalan di sel T (Abbas 2016).

Dalam menanggapi antigen dan konstimulator, limfosit T,terutama sel


T CD4 segera mensekresi sitokin IL-2. Fungsi utama IL-2 adalah merangsang
kelansungan hidup dan oliferasi sel T. limfosit T CD8+ yang mengenali antigen
dan kostimulator tampaknya tak mensekresi banyak IL-2, tetapi limfosit ini
sangat berpoliferasi selama respon imun. Pengenalan antigen dan kostimulasi
mungkin dapat mendorong poliferasi sel T CD8+ atau IL-2 dapat diberikan
oleh sel T helper CD4+ (Abbas 2016).

23
BAB III
PENUTUP

24
DAFTAR PUSTAKA

25

Anda mungkin juga menyukai