Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Ginjal Kronik dan Terminal

Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif

dan lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun. Penyakit ginjal kronik adalah

suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan

penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel serta umumnya berakhir

dengan gagal ginjal. Gagal ginjal kronis merupakan gagal ginjal akut yang sudah

berlangsung lama, sehingga mengakibatkan gangguan yang persisten dan

dampak yang bersifat kontinyu. (Price,1995; Sukandar, 2006; Prabowo dan

Pranata, 2014).

1. Definisi

Sindrom gagal ginjal kronik (GGK) merupakan permasalahan bidang

nefrologi dengan angka kejadiannya masih cukup tinggi, etiologi luas dan

komplek, sering tanpa keluhan maupun gejala klinik kecuali sudah masuk ke

stadium terminal atau gagal ginjal terminal. Adapun yang menjadi definisi

konseptual Penyakit Ginjal Kronik (PGK) Sesuai rekomendasi Dialysis

Outcomes Quality Initiative (DOQI) Tahun 2002; Prabowo dan Pranata

tahun 2014 yaitu :

a. Kerusakan ginjal > 3 bulan

12
Kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan LFG,

kelainan struktur histopatologi ginjal,petanda kerusakan ginjal meliputi

kelainan komposisi darah dan urin, atau uji pencitraan ginjal

b. LFG < 60 ml/menit/M3 m2 > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan

ginjal.

Adapun yang menjadi definisi operasional sesuai DOQI (2002,dalam

Sukandar,2007; Prabowo dan Pranata 2014) yaitu mengacu pada

klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan laju filtrasi

glomerulus (LFG) seperti pada tabel 2.1 dibawah ini.

Tabel 2.1 Derajat Penyakit Gagal Ginjal Kronik.

2. Etiologi

Dalam penatalaksanaan sindrom gagal ginjal kronik (GGK) beberapa aspek

yang harus diidentifikasi sebagai berikut (Robinson 2013 dalam Prabowo

dan Pranata, 2014; sukandar 2006) :

a. Etiologi GGK yang dapat dikoreksi

12
Misalnya: tuberkulosis saluran kemih,dan ginjal, nefropati yang

berhubungan dengan urolitiasis, diabetes mellitus, lupus eritematosus

sistemik, dan gangguan elektrolit

b. Etiologi yang tidak mungkin dikoreksi tetapi dapat dihambat perjalanan

penyakitnya

Misalnya: nefropati (glomerulopati) idiopati

c. Beberapa faktor risiko yang mungkin dapat memperburuk penurunan

faal ginjal misal : Infeksi saluran kemih dan ginjal, gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit

d. Menentukan status derajat penurunan faal ginjal.

3. Patofisiologi

12
Pada gagal ginjal kronis, fungsi ginjal menurun secara drastis yang berasal

dari netron. lnsifisiensi dari ginjal tersebut sekitar 20% sampai 50% dalam

hal GF R (G/omeru/ar Filtration Rate). Pada penurunan fungsi ratarata 50%,

biasanya muncul tanda dan gejala azotemia sedang, poliuri, nokturia,

hipertensi dan sesekali terjadi anemia. Selain itu, selama terjadi Pada gagal

ginjal kronis, fungsi ginjal menurun secara drastis yang berasal dari netron.

lnsifisiensi dari ginjal tersebut sekitar 20% sampai 50% dalam hal GF R

(Glomerulus Filtration Rate). Pada penurunan fungsi ratarata 50%, biasanya

muncul tanda dan gejala azotemia sedang, poliuri, nokturia, hipertensi dan

sesekali terjadi anemia. Selain itu, selama terjadi kegagalan iungsi ginjal

maka keseimbangan cairan dan elektrolit pun terganggu. Pada hakikatnya

tanda dan gejala gagal ginjal kronis hampir sama dengan gagal ginjal akut.

namun awitan waktunya saja yang membedakan. Perjalanan dari gagal

ginjal kronis membawa dampak yang sistemik terhadap seluruh sistem

tubuh dan sering mengakibatkan komplikasi (Madara 2008). Secara umum

terdapat tiga penyebab gagal ginjal baik akut maupun kronis yang berujung

pada gagal ginjal terminal. Pada penyebab pra renal umumnya ginjal

12
mengalami depisit suplai darah, pada intrarenal biasanya terjadi gangguan

primer apakah karena infeksi ataupun auto imun atau sebuah trauma,

sedangkan pada penyebab post renal ginjal mengalami tekanan balik akibat

adanya obstruksi apakah karena prostat, batu ginjal atau faktor lain. Apapun

dan dimanapun etiologinya yang pasti akan berdampak pada penurunan

GFR sehingga sebagian atau seluruh fungsi ginjal tidak dapat di laksanakan

dengan baik. Gagal ginjal pada kelompok usia lanjut berhubungan erat

dengan proses degeratif kekakuan katup jantung, tidak elastistasnya

pembuluh darah, tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi sehingga

tingkat survivalnya lebih rendah dibandingkan usia pertengahan.

Glomerulonefritis sebagai 60% penyebab gagal ginjal kronis lebih banyak

diderita pada kelompok usia 20-40 tahun (Prabowo dan Pranata, 2014;

sukandar 2006).

Penimbunan sisa metabolisme terutama ureum dan kreatinin merupakan

dampak dari ketidak mampuan ginjal dalam mempertahankan bufer asam

basa terutama dalam menghasilkan bikarbonat sehinngga mengakibatkan

asidosis metabolik yang menunjukan peningkatan ion H+ sehingga

berdampak buruk terhadap seluruh sel di dalam tubuh karena sifat

toksiknya, berbagai gejala dari keadaan ini sering disebut sindroma

azotemia seperti mual,muntah, pusing, napas cepat dangkal dan lainnya.

Gangguan ginjal dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit

mengakibatkan berbagai gangguan emergensi seperti hiperkalemi dan

overhidrasi berat, menifestasi awal dari gangguan fungsi ini terlihat dari

12
adanya oedema yang bisa disebabkan karenan retensi air dan natrium karena

perubahan tekanan hidrostatik atau karena kehilangan albumin melalui urin

atau karena malnutrisi sehingga menurunkan tekanan osmotik koloid dan

terjadilah oedema, jika terjadi di area paru maka akan menyebabkan oedema

paru dengan suara ronchi basah yang sangat jelas kecuali jika disertai efusi

pleura. Gangguan metabolisme vit.D akan berakibat pada gangguan

pemeliharaan tulang sehingga pasien sering mengalami osteoporosis atau

osteodistrofi. Gangguan fungsi hormonal dari ginjal memiliki dampak yang

tidak sedikit, defisist erytopoetin mengakibatkan proses erytopoesis

terganggu sehingga jumlah eritrosist berkurang atau dengan umur yang

lebih pendek, maka tidak heran pasien dengan gagal ginjal kronik atau

terminal sering memiliki hemoglobin yang rendah dan tidak jarang

memerlukan tranfusi darah. Masih dari fungsi hormonal gangguan fungsi

renin angiotensin, respon ADH-Aldosteron merupakan beberapa hormon

yang mencetuskan kejadian hipertensi setelah pasien gagal ginjal,

sebenarnya hipertensi dapat menjadi penyebab ataupun komplikasi

terjadinya gagal ginjal.

4. Gambaran Klinik

Tabel 2.2 Gambaran Klinik GGK

Tahapan Manifestasi Klinis yang Tipikal

a Umurnya asimtomatik atau terkait penyakit primer

12
Asimtomatik, hiperparatiroidisme, meningkatkan risiko
b
kejadian penyakit kardiovaskular (PKV)

Nokturia, anemia, penurunan konsentrasi 1,25 –

c dihydroxycholecalciferol, kenaikan konsentrasi kreatinin

serum, dislipidemia, VCES abnormal

Keluhan terkait uremik, gangguan keseimbangan cairan


d
dan elektrolit serta asam basa

e Keluhan terkait uremik meningkat

Sumber : Sukandar, 2007

5. Penatalaksanaan

Beberapa prinsip terapi konservatif yang dapat dilaksanakan adalah

(Robinson, 2013; Baughman, 2000 dalam Prabowo dan Pranata 2014):

Mencegah memburuknya faal ginjal (LFG)

a. Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik

b. Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan

ekstraselulardan hipotensi

c. Hindari gangguan eseimbangane lektrolit

d. Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani

e. Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi

f. Hindari instrumentasi(kateterisasdi an sistoskopi) tanpa indikasi medik

yang kuat

g. Hindari pemeriksaan radiologi dengan media kontras tanpa indikasi

medik kuat.

12
Program memperlambat penurunan progresif faal ginjal

a. Kendalikan terapi ISK

b. Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular

c. Diet protein yang proporsional

d. Kendalikan hiperfosfatemia

e. Terapi hiperurikemia bila asam urat serum > IO mg%o

f. Terapi keadaan asidosis metabolik

g. Kendalikan keadaan hiperglikemia

Terapi alleviative gejala azotemia

a. Pembatasan konsumsi protein hewani

b. Terapi gatal-gatal

c. Terapi keluhan gastrointestinal

d. Terapi gejala neuromuskuler

e. Terapi kelainan tulang dan sindi

f. Terapi anemia

g. Terapi setiap infeksi (bakteri, virus HBV atau HCV)

B. Terapi Pengganti Ginjal ( TPG )

Balemo dan Ronco ( 1999 ) “yang dimaksud dengan TGP adalah usaha

untuk mengambil alih fungsi ginjal yang telah menurun dengan menggunakan

ginjal buatan ( dialiser ) dengan teknik dialisis atau hemofiltrasi , yaitu fungsi

pengaturan cairan dan elektrolit, serta eksresi sisa-sisa metabolisme protein.

Sedangkan fungsi endokrin seperti fungsi pengaturan tekanan darah,

12
pembentukan erytrosit, fungsi hormonal, maupun integritas tulang tidak dapat

digantikan oleh terapi jenis ini (Roesli, 2008; Syukri, 2015).

1. Jenis TGP

Adanya indikasi TPG pada GGA ataupun GGK tahap akhir memberikan

pilihan pada pasien khususnya dan tim medis untuk menentukan TPG yang

ada, yang terdiri dari:

a. Artifisial ( buatan ) :

Hemodialisis : Cuci darah dengan menggunakan mesin cuci darah

Dialisis Peritoneal : Cuci darah dengan menggunakan rongga perut sendiri

(peritoneum) yaitu Continous Ambulatory Peritonial Dialisis (CAPD),

Automatic Peritonial Dialisis (APD)

b. Alamiah :

Cangkok (transplantasi ginjal ) : Mengganti ginjal pasien yang sakit

dengan ginjal dari donor :Transplantasi donor hidup (keluarga),

Transplantasi donor jenazah (cadaveric).

(Sukandar,2006:87)

2. Indikasi TPG

Daugirdas,Blake dan Todd (2000,dalam Sumpena,2002) mengatakan bahwa

indikasi dialisis adalah sebagai berikut :

Untuk Pasien Dengan Gejala (Klinis Azotemia). Biasanya sesak napas

akibat :

a. Edema pulmonum

b. Hiperkalemi (kadar kalium > 7 mmol/liter)

12
c. Asidosis berat (HC)3 < 15 mmol/liter

Untuk Pasien Tanpa Gejala (Azotemia)

a. Kreatinin plasma > 10 mg/dl

b. Urea nitrogen darah (BUN) > 100 mg/dl

c. Klirens kreatinin < 5 cc/menit

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai penelitian yang telah

dilakukan TGP bukan hanya diperuntukan bagi gangguan ginjal tetapi keadaan

lain yang dapat dikoreksi dengan TGP seperti halnya prinsip ginjal bekerja atau

sekarang di kenal dengan Renal suport. Adapun perbedaan dari renal

eplacement (Pengganti Ginjal) dan renal support (Pembantu ginjal) pada dialisis

adalah sebagai berikut :

Tabel 2.3 Perbedaan TGP pada GGA dan GGK/GGT

RENAL EPLACEMENT RENAL SUPPORT

Pengganti Ginjal Pembantu ginjal

Tujuan Mengganti fungsi ginjal Membantu ginjal dan organ

pengobatan lain

Saat melakukan Tergantung pada parameter Tergantung kebutuhan

intervensi biokimia individu

Dosis dialisis Sesuai penurunan fungsi Sesuai kebutuhan dan

ginjal indikasi

Indikasi dialisis Sempit Luas

Lamanya Rutin / selamanya Sementara (sampai GGA

pengobatan membaik)

12
Di Indonesia jenis TPG yang popoler dan banyak digunakan adalah HD dan

CAPD, adapun perbedaan, keuntungan dan kerugiannya adalah sebagai berikut

Tabel 2.4 Perbedaan ( Keuntungan Dan Kerugian ) HD Dan CAPD

CAPD HD

a. Hemat waktu hanya 30 menit /1 1) Perlu waktu lebih lama 4-5 jam /1

kali tindakan atau pergantian kali tindakan

cairan

b. Ekonomis karena dapat 2) Biaya lebih mahal karena

dilakukan di rumah maupun di dilakukandi tempat pelayanan

tempat kerja khusus HD / RS

c. Fungsi ginjal yang tersisa dapat 3) Fungsi ginjal yang tersisa lebih cepat

dipertahankan lebih lama menurun

d. Asupan cairan dan diet tidak 4) Asupan cairan dan diet dibatasi lebih

terlalu ketat atau dibatasi ketat

e. Kadar Hb lebih tinggi sehingga 5) Kadar Hb lebih rendah sehingga

kebutuhan akan erytopoetin lebih kebutuhan akan erytopoetin lebih

rendah tinggi

f. Dialysis/cuci darah dilakukan 6) Dialysis/cuci darah dilakukan 2-3

tiap hari sehingga kualitas hidup kali / minggu sehingga timbul gejala-

bisa lebih baik gejala penumpukan racun dalam

tubuh

12
g. Labih bebas , tidak mengganggu 7) Terikat dengan waktu untuk rutin

aktivitas rutin sehari-hari datang ketempat HD 2-3 kali/minggu

h. Tidak perlu adanya sarana akses 8) Perlu adanya sarana akses vaskular

vaskular dan tidak dilakukan dan dilakukan penusukan jarum

penusukan jarum berulanng- berulang-ulang tiap tindakan HD

ulang

C. Hemodialisa

Hemodialisa merupakan salah satu TGP buatan dengan tujuan

mengeliminasi sisa produk metabolisme (protein) dan koreksi gangguan

keseimbanngan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan dialisat

melalui selaput membran semipermiabel yang berperan sebagai ginjal buatan.

(Sukandar, 2007; Syukri, 2015) .

Pada TGP seperti dialisis atau hemofiltrasi yang dapat diganti hanya fungsi

eksresi, yaitu fungsi pengaturan cairan dan elektrolit dan sisa sisa metabolisme

tubuh ( protein ). Sedangkan fungsi endokrin seperti pengaturan tekanan darah,

pembentukan eritrosit, fungsi hormonal, maupun integritas tulang tidak dapat

digantikan oleh terapi jenis ini. (Ronco,1999; Roesli, 2017)

Populasi GGT dengan progaram HD reguler di negara-negara berkembang

semakin meningkat termasuk di indonesia. Kenaikan pasien HD reguler

berhubungan dengan insiden GGT dan keterbatasan transplantasi ginjal dengan

donor mayat maupun donor hidup keluarga.

1. Prinsip HD

12
Prinsip transpor zat terlarut (solut) menjadi dasar semua modalitas terapi

pengganti ginjal (renal replacement therapy), termasuk hemodialisis.

(Sukandar ,2006; Roesli, 2017) mengatakan proses yang terjadi selama HD

berlangsung adalah sebagai berikut :

a. Difusi adalah pergerakan zat-zat terlarut dari larutan berkonsentrasi

tinggi ke larutan berkonsentrasi rendah melalui membran

semipermeabel. Mekanisme difusi dipengaruhi oleh perbedaan

konsentrasi dalam kedua larutan tersebut, berat molekul zat terlarut

dan resistensi membran semipermeabel. Difusi adalah proses spontan

dan pasif dari zat terlarut (solute) dari kompartemen darah ke ruang

kompartemen dialisat atau sebaliknya melalui membran dialiser, pada

difusi berkaitan denngan perbedaan konsentarasi dimana zat akan

berpindah dari konsentarasi yang tinggi ke konsentarsi yang yang

terendah sehingga terjadi keseimbangan.

Setelah HD

12
Gambar 2.1 Skema Repersentasi Mekanisme Difusi Zat terlarut

Sumber: Sukandar.(2006:164)

b. Ultrafiltrasi adalah proses perpindahan air dan zat-zat terlarut yang

permeabel melalui membran semipermeabel, karena adanya

perbedaan antara tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik.

Ultrafiltrasi hidrostatik. Pergerakan air terjadi dari kompartemen

bertekanan hidrostatik tinggi ke kompartemen yang bertekanan

hidrosatik rendah. Ultrafiltrasi hidrostatik tergantung pada

transmembrane pressure (TMP) dan koefisien ultrafiltrasi (KUF).

Ultrafiltrasi osmotik. Perpindahan air terjadi dari kompartemen yang

bertekanan osmotik rendah ke kompartemen yag bertekanan osmotik

tinggi, sampai tercapai keadaan tekanan osmotik di dalam kedua

kompartemen tersebut seimbang. Banyaknya ultrafiltrasi disarankan

tidak lebih darai 3000ml/sesi HD.

Ultrafiltrasi adalah proses transfor simultan pelarut (solvent) dan zat

terlarut (solute) dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat

atau sebaliknya melalui membaran dialiser, dalam ultarfiltarsi terjadi

perpindahan pelarut (solvent) dan zat terlarut (solute) karena

perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan dialisat di dalam

dialiser termasuk tekanan hidrostatik dan onkotik.

12
Setelah HD

Gambar 2.2 Skema Repersentasi Mekanisme Konveksi Air dan

Transport Zat terlarut (Solute Transport)

Sumber: Sukandar.(2006:165)

c. Konveksi adalah gerakan molekul-molekul lainnya akibat perbedaan

tekanan hidrostatik, yang terlarut dalam air, melalui membran

semipermeabel. Akibat adanya tekanan hidrostatik, molekul-molekul

kecil dan besar cenderung berpindah hingga tercapai keadaan

keseimbangan, sesuai dengan ukuran yang dapat dilalui oleh membran

semipermeabel. Molekul besar tidak dapat berpindah. (Sukandar , 2006;

Roesli, 2017)

d. Adsorption pada prinsipnya darah akan melalui membran yang

berisikarbon yang diaktifkan (activated carbon) yang dapat menyerap

(absorpsi) solute atau zat-zat toksik. Pada proses tidak terjadi difusi,

konfeksi maupun ultrafiltrasi. Pada proses ini molekul kecil atau air tidak

terhambat. Molekul sedang dan besar, beberapa toksin dapat diabsorbsi

12
oleh membran. Proses hemoperfusion efectif menjernihkan solute yang

terkait pada protein maupun lemak (bukan hanya larut dalam air).

2. Program atau Dosis HD

Untuk mencapai suatu hasil HD yang efektif, harus ditetapkan suatu

dosis hemodialisa. Besarnya harus disesuaikan dengan keadaan pasien.

Setiap pasien membutuhkan program yang berbeda, untuk itu perlu dibuat

suatu program yang berbeda untuk masing-masing pasien. Hal yang

berkaitan dengan program HD tersebut adalah Kecepatan aliran darah (QB),

Kecepatan aliran dialisat (QD) ,Jumlah ultrafiltrasi/penarikan cairan tubuh

(UF), Lama HD (TD), Interval dialisis (ID) dan Klirens dialiser (K).

Beberapa program tersebuat akan di bahas lebih lanjut pada sesi

berikutnya berkaitan dengan hipotensi intradialisis.

3. Sistem HD

Sistem hemodialisis terdiri atas 3 elemen dasar yaitu:

a. Sistem sirkulasi darah ekstrakorporeal

Sistem ini menunjukan adanya darah yang berada di area luar tubuh

yaitu mulai keluar tubuh dari fistula inlet, blood line dialiser dan masuk

kembali ke dalam melalui fistula outlet.

Perlu dipahami bahwa dengan adanya darah exstrakorporeal berarti

tubuh kehilangan volume darahnya sekitar 200 cc (sesuai volume

priming/extrakorporeal ), disini perlu kita waspadai bersama terhadap

adanya resiko hipotensi karena hipovolemia, terutama untuk pasien-

pasien gagal jantung dan gangguan hemodinamik.

12
mesin
dialisis
dialyzer
blood-lines

Gambar 2.3 Sistem Sirkulasi Darah Ekstrakorporeal

b. Dialiser

Dialiser adalah suatu alat berupa tabung atau lempeng, terdiri dari

kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang dibatasi oleh

membran semipermeabel. Di dalam dialiser terjadi proses pencucian

darah melalui proses difusi, ultrafiltrasi dan konfeksi , sehingga

dihasilkan darah yang sudah bersih dari zat-zat yang tidak dikehendaki.

Dialiser merupakan tempat dimana sirkuit darah dan dialisat bertemu,

terjadi pergerakan molekul antara darah dan dialisat melalui membran

semipermeabel. Adapun syarat dari dialiser yang baik adalah ;

1) Terbuat dari bahan non toksik dapat di daur ulang

2) Volume priming yang rendah

3) Mempunyai clearance yang baik

12
4) Ultrafiltrasi fleksibel

5) Tidak sering mengalami kebocoran

6) Bebas pyrogen

7) Praktis, aman dan murah

Gamabar 2.4 Bagian Dialiser Dan Proses Yang Terjadi Di Dalamnya

c. Dialisat

Dialisat terbentuk dari 2 bahan yaitu cairan dialisat pekat dan air.

Dialisat dapat dicampur terlebih dahulu (batch system) atau dicampur

secara otomatis sambil hemodialisis berjalan (on line proportioning

system). Jadi ada dua komponen dalam dialisat bikarbonat yaitu bicart

dan cairan yang terdiri dari nilai normal elektrolit tubuh.

12
Gambar 2.5 Cairan Dialisat

Fungsi cairan dialisat :

- Membuang sampah nitrogen, air dan kelebihan elektrolit

- Menjaga keseimbangan elektrolit

- Mencegah penurunan air yang berlebihan

Komposisi dialisat

Na+ 139 mmol

Ca 2+ 1.75 mmol

K+ 2.0 mmol

Mg 2+ 0.5 mmol

Cl - 106.5 mmol

Acetat 4.0 mmol

Bikarbonat 35.0 mmol

12
4. Adekuasi HD

Apabila HD telah mencapai apa yang direncanakan sesuai dengan

rencana programnya, dalam arti tidak berlebihan dan tidak kekurangan,

maka dapat dikatakan bahwa HD sudah adekuat. Hal ini dicerminkan

dengan kedaan klinis yang baik.

a. Adeqacy of singele dialysis

Ultrafiltrasi adekuat : parameternya adalah tercapinnya berat badan

kering ( berta badan tanpa overhidrasi ).

Dialysis adekuat : parameternya adalah setiap kali HD harus dapat

menurunkan 60-70% kadar ureum darah. Kadar kreatinin tidak di

jadikan parameter karena banyaak faktor yanng

mempengaruhinya.

b. Adeqacy of chronic dialysis

1. Keadaan klinis dan gizi pasien membaik, kadar albumin

mendekati normal, hipertensi terkontrol.

2. Hb > 8 grm%/PCV > 20 grm%

3. Kadar pre dialisis ureum < 100 mg% dan kreatinin < 15 mg%

4. Kadar elektrolit ( K,Na,Ca,P,Mg ) mendekati normal

Sukandar (2007 dalam Sumpena 2002:36)

5. Keuntungan dan kerugian dilakukan Hemodialisis

Keuntungan HD merupakan keberhasilan sebuah terapi yang ditandai

dengan perubahan berbagai gejala klinik dan nilai laboratorium sebagai

sebuah usaha menjaga keseimbangan tubuh. Adapun keuntungan

12
dilakukannya hemodialisis dapat dilihat dari beberapa indikator gejala

klinik seperti terlihat pada tabel 2.5 dibawah ini :

Tabel 2.4 Efek dilakukannya hemodialisis terlihat pada

Sumber: Sukandar,2006

12
Tindakan HD bukan berarti suatu tindakan yang akan menyelesaikan

semua masalah, maka dengan itu berbagi pertimbangan perlu dilakukan

untuk benar-benar memahami segala kemungkinan dari kerugian atau

resiko yang akan di hadapi yang diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Memerlukan unit ginjal beserta personil yang terlatih

b. Arterio-venous shunt harus dipersiapkan dahulu sebelum

hemodialisis kronik

c. Ginjal buatan (artfficial kidney)

d. Cairan (fluid overload) dan instalasi air murni (RO)

e. Eleminasi toksin azotemia terlalu cepat dapat menyebabkan sindrom

Disequilibrium

f. Penyulit-penyulit selama hemodialisis kronik kadang tidak bisa

dihindarkan

g. Resiko sistem kardiovaskuler.

h. Biayanya

i. Tidak dapat mengganti fungsi hormonal

12

Anda mungkin juga menyukai