Anda di halaman 1dari 33

ANALISA JURNAL

Intradialytic Massage for Leg Cramps Among Hemodialysis Patients

Oleh :
NI PUTU EKA SINTIA DEWI ASTITI
1202106023

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gagal Ginjal Kronik merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting
mengingat selain insidens dan pravelensinya yang semakin meningkat. Salah satu
pengobatan yang dapat dilakukan merupakan terapi pengganti ginjal. Dialisa adalah suatu
tindakan terapi yang dilakukan pada penderita gagal ginjal terminal. Tindakan ini sering
disebut sebagai terapi pengganti karena berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal.
Terapi pengganti yang sering di lakukan rumah sakit adalah hemodialisis dan
peritoneal dialisa. Diantara kedua jenis terapi tersebut yang menjadi pilihan utama dan
metode perawatan yang umum dilakukan oleh penderita gagal ginjal adalah terapi
hemodialisis (Arliza, 2006).
Prevalensi gagal ginjal kronik setiap tahun di Amerika Serikat dengan jumlah
penderita selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 jumlah penderita sekitar
80.000 orang, tahun 2010 mengalami peningkatan menjadi 660.000 orang. Di
Indonesia prevalensi penderita gagal ginjal kronik pada tahun 2007 jumlah pasien
mencapai 2.148 orang, dan tahun 2008 menjadi 2.260 orang (Alam & Hadibroto, 2008).
Lebih dari 600.000 orang Amerika menerima perawatan hemodialisis untuk gagal ginjal
kronik pada stadium akhir.
Kecepatan pembuangan kelebihan cairan dan zat-zat toksin selama hemodialisis
berkontribusi besar menyebabkan kram otot pada pasien hemodialisa yang biasanya
terjadi pada ekstremitas bagian bawah. Kram otot terjadi pada 25% sampai 50% dari
pasien dan dapat terjadi selama pengobatan hemodialisis maupun di rumah setelah
dialisis. Kram yang terjadi selama hemodialisa dapat menyebabkan pemendekan durasi
hemodialisa atau untuk pengurangan pembuangan cairan yang mungkin mengakibatkan
pembersihan zat-zat toksin yang tidak maksimal, kelebihan cairan, dan hipertensi
(Kobrin, 2007; Daugirdas, Blake, & Ing, 2014). Kram juga dapat mempengaruhi tidur
dan kualitas hidup pasien terkait kesehatan dan terkait dengan depresi dan kecemasan.
Etiologi kram pada pasien hemodialisa tidak diketahui, tapi beberapa pemicu umum yang
telah diidentifikasi termasuk kelainan elektrolit, hipovolemia, hipotensi, kecepatan aliran
darah dan ultrafiltrasi, dan komposisi dialisat (Daugirdas, Blake, & Ing, 2007).
Intervensi terapeutik yang dapat dilakukan untuk mengatasi kram otot adalah
dengan memberikan cairan intravena, obat-obatan per oral, penyesuaian dalam
pengaturan dialisis, kompres hangat, dan peregangan (Daugirdas, Blake, & Ing, 2007).
Penelitian oleh Ahsan dkk, mengevaluasi efektivitas kompresi berurutan intradialitik
untuk pencegahan Kram ekstremitas bawah selama hemodialisa. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa aplikasi kompresi berurutan intradialitik dapat menurunkan angka
kram ekstremitas bawah pada empat kasus dan tidak ada efek samping yang dilaporkan.
Dalam studi lain, akupresur dengan pijatan pada pasien dengan stadium akhir penyakit
ginjal yang menjalani dialisis, menunjukkan terjadi pengurangan gejala kelelahan dan
depresi selama 12 minggu (Yeh & Yeh, 2007).
Untuk mengetahui efektivitas intradialytic massage untuk mengatasi keram kaki
pada pasien yang menjalani hemodialisa, kami menganalisis jurnal yang berjudul
Intradialytic Massage for Leg Cramps Among Hemodialysis Patients sehingga selain
dapat mengetahui efektivitas intradialytic massage untuk mengatasi keram kaki pada
pasien yang menjalani hemodialisa dapat juga mengetahui peran perawat yang dapat
dilakukan dalam mengatasi keram kaki pada pasien yang menjalani hemodialisa.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang kami angkat mengenai analis jurnal yang berjudul
Intradialytic Massage for Leg Cramps Among Hemodialysis Patients antara lain :
1.2.1 Bagaimanakah efektivitas intradialytic massage untuk mengatasi keram kaki pada
pasien yang menjalani hemodialisa?
1.2.2 Apa sajakah implikasi keperawatan yang dapat diambil dari penerapan
intradialytic massage untuk mengatasi keram kaki pada pasien yang menjalani
hemodialisa?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui efektivitas intradialytic massage untuk mengatasi keram kaki
pada pasien yang menjalani hemodialisa.
1.3.2 Untuk mengetahui implikasi keperawatan yang dapat dilakukan dalam penerapan
efektivitas intradialytic massage untuk mengatasi keram kaki pada pasien yang
menjalani hemodialisa

1.4 Manfaat
1.4.1 Dapat memahami bagaimana efektivitas intradialytic massage untuk mengatasi
keram kaki pada pasien yang menjalani hemodialisa.
1.4.2 Dapat memahami implikasi keperawatan yang dapat dilakukan dalam penerapan
efektivitas intradialytic massage untuk mengatasi keram kaki pada pasien yang
menjalani hemodialisa
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronis


2.1.1 Definisi
Penyakit ginjal kronis merupakan kerusakan pada parenkim ginjal dengan penurunan
glomerular filtaration rate (GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73 m2 selama atau lebih dari 3 bulan
dan dapat berakhir dengan gagal ginjal (Verelli, 2006). Gagal ginjal adalah tahap akhir dari
penyakit ginjal kronik yang ditandai dengan kerusakan ginjal secara permanen dan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, dengan GFR < 15 mL/min/1,73 m2, yang memerlukan renal
replacement therapy (RRT) berupa hemodialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
2.1.2 Tanda dan Gejala
Pada penyakit ginjal kronis terjadi kerusakan regional glomerolus dan penurunan GFR
yang dapat berpengaruh terhadap pengaturan cairan tubuh, keseimbangan asam basa,
keseimbangan elektrolit, sistem hematopoesis dan hemodinamik, fungsi ekskresi dan fungsi
metabolik endokrin. Sehingga menyebabkan munculnya beberapa gejala klinis secara
bersamaan, yang disebut sebagai sindrom uremia (Suwitra, 2006). Gejala-gejala pada sindrom
uremia yaitu, mual, muntah, kembung, diare, anorexia, malnutrisi, edema, lemah, sesak nafas,
sakit kepala, nocturnal polyuria hingga anuria, disfungsi ereksi, pruritus, echymosis,
meningkatnya kecenderungan perdarahan. Pada keadaan berat dapat terjadi penurunan kesadaran
yang disertai kejang-kejang (Verelli, 2006). Dalam kaitannya sindrom uremia dengan resiko
terjadinya perdarahan intraserebral, ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi, yaitu :
1) Pengaruh sindrom uremia pada sistem hematopoesis
Kapiler peritubular endothelium ginjal menghasilkan hormone eritropoetin yang
diperlukan untuk menstimulasi sumsum tulang dalam mensintesis sel darah merah (sistem
hematopoesis). Keadaan uremia menyebabkan aktivitas pembuatan hormon eritropoetin tertekan,
sehingga menyebabkan gangguan pada system hematopoesis yang berakibat pada penurunan
jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin. Hal ini menyebabkan terjadinya anemia yang
memicu terjadinya peningkatan cardiac output, diikuti dengan peningkatan cerebral blood flow,
sebagai kompensasi pemenuhan kebutuhan oksigen bagi otak (Haktanir et al., 2005). Kondisi
tersebut diperburuk oleh proses degeneratif pada pembuluh darah otak, sehingga dapat
menyebabkan munculnya aneurisme, yang rentan terhadap terjadinya ruptur oleh karena faktor
hipertensi (Liebeskind, 2006).
Selain menyebabkan anemia, kondisi uremia juga menyebabkan penurunan trombosit yang
meningkatkan resiko perdarahan (Jansenn, 1996). Efek samping penggunaan antihypertensive
agents captopril dan pemberian antikoagulan heparin yang lama melalui reaksi imunologis, juga
berperan dalam terjadinya trombositopenia (Thiagarajan, 2009).
2) Pengaruh pada sistem hemodinamik
Penyakit ginjal kronis dapat menyebabkan kelainan vascular berupa hipertensi. Hal ini
disebabkan oleh adanya iskemia relative karena kerusakan regional yang merangsang sistem
Renin-Angiotensinogen-Aldosteron (RAA). Selain itu hipertensi pada penyakit ginjal kronis juga
dapat disebabkan oleh retensi natrium, peningkatan aktivitas saraf simpatis akibat kerusakan
ginjal, hiperparatiroidisme sekunder dan pemberian eritropoetin rekombinan sebagai
penatalaksanaan anemia (Tessy, 2006).
3) Sindrom uremia yang memerlukan hemodialisa
Indikasi pemberian hemodialisa pada sindrom uremia, terlihat pada laju GFR yang hanya
tersisa sebesar 15% dari normal atau kurang dari 15 mL/mnt/1,73m2. Kemudian dalam
pemeriksaan laboratorium, ditandai dengan peningkatan kadar ureum hingga lebih dari 200
mg/dL, kreatinin serum > 6 meq/L, pH < 7,1 dan ditambah dengan timbulnya gejala-gejala klinis
yang nyata seiring dengan perburukan fungsi ginjal (Rahardjo et al., 2006).

2.2 Konsep Dasar Hemodialisa


2.3.1 Definisi
Hemodialisa adalah suatu proses pembersihan darah dengan menggunakan ginjal buatan
(dialyzer), dari zat-zat yang konsentrasinya berlebihan di dalam tubuh. Zat-zat tersebut dapat
berupa zat yang terlarut dalam darah, seperti toksin ureum dan kalium, atau zat pelarutnya, yaitu
air atau serum darah (Suwitra, 2006). Proses pembersihan ini hanya bisa dilakukan diluar tubuh,
sehingga memerlukan suatu jalan masuk ke dalam aliran darah, yang disebut sebagai vascular
access point (Novicky, 2007).
2.3.2 Jalan masuk ke aliran darah (vascular access point)
Sebelum memulai hemodialisa, melalui tindakan pembedahan, pada tubuh pasien akan
dibuat jalan masuk ke aliran darah (vascular access point) yaitu, pembuluh darah arteri akan
dihubungkan dengan arteial line, yang membawa darah dari tubuh menuju ke dialyzer.
Sedangkan pembuluh darah vena akan dihubungkan dengan venous line, yang membawa darah
dari dialyzer kembali ke tubuh (Novicki, 2007). Ginjal buatan (dialyzer), mempunyai 2
kompartemen, yaitu kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Kedua kompartemen
tersebut, selain dibatasi oleh membran semi-permeabel, juga mempunyai perbedaan tekanan
yang disebut sebagai trans-membran pressure (TMP) (Swartzendruber et al., 2008). Selanjutnya,
darah dari dalam tubuh dialirkan ke dalam kompartemen darah, sedangkan cairan pembersih
(dialisat), dialirkan ke dalam kompartemen dialisat. Pada proses hemodialisis, terjadi 2
mekanisme yaitu, mekanisme difusi dan mekanisme ultrafiltrasi. Mekanisme difusi bertujuan
untuk membuang zat-zat terlarut dalam darah (blood purification), sedangkan mekanisme
ultrafiltrasi bertujuan untuk mengurangi kelebihan cairan dalam tubuh (volume control) (Roesli,
2006). Kedua mekanisme dapat digabungkan atau dipisah, sesuai dengan tujuan awal
hemodialisanya.
Mekanisme difusi terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi antara kompartemen
darah dan kompartemen dialisat. Zat-zat terlarut dengan konsentrasi tinggi dalam darah,
berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat, sebaliknya zat-zat terlarut dalam
cairan dialisat dengan konsentrasi rendah, berpindah dari kompartemen dialisat ke kompartemen
dialisat. Proses difusi ini akan terus berlangsung hingga konsentrasi pada kedua kompartemen
telah sama. Kemudian, untuk menghasilkan mekanisme difusi yang baik, maka aliran darah dan
aliran dialisat dibuat saling berlawanan (Rahardjo et al., 2006). Kemudian pada mekanisme
ultrafiltrasi, terjadi pembuangan cairan karena adanya perbedaan tekanan antara kompartemen
darah dan kompartemen dialisat. Tekanan hidrostatik akan mendorong cairan untuk keluar,
sementara tekanan onkotik akan menahannya. Bila tekanan di antara kedua kompartemen sudah
seimbang, maka mekanisme ultrafiltrasi akan berhenti (Suwitra, 2006). Parameter efisiensi
proses hemodialisis diukur dengan laju difusi (clearance) ureum, dan dipengaruhi oleh kecepatan
aliran darah, kecepatan aliran dialisat, gradien konsentrasi, jenis dan luas permukaan semi-
permeabel serta besar molekul zat terlarut dalam darah dan dialisat (Roesli, 2006).

2.3.3 Dosis hemodialisa dan kecukupan dosis hemodialisa


Dosis hemodialisa yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali seminggu dengan
setiap hemodialisa selama 5 jam atau sebanyak 3 kali seminggu dengan setiap hemodialisa
selama 4 jam (Suwitra, 2006). Lamanya hemodialisis berkaitan erat dengan efisiensi dan
adekuasi hemodialisis, sehingga lama hemodialisis juga dipengaruhi oleh tingkat uremia
akibat progresivitas perburukan fungsi ginjalnya dan faktor-faktor komorbiditasnya, serta
kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat (Swartzendruber et al., 2008). Namun
demikian, semakin lama proses hemodialisis, maka semakin lama darah berada diluar tubuh,
sehingga makin banyak antikoagulan yang dibutuhkan, dengan konsekuensi sering timbulnya
efek samping (Roesli, 2006).
Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR) dan urea
kinetic modeling (Kt/V). Nilai URR dihitung dengan mencari nilai rasio antara kadar ureum
pradialisis yang dikurangi kadar ureum pascadialisis dengan kadar ureum pascadialisis.
Kemudian, perhitumgan nilai Kt/V juga memerlukan kadar ureum pradialisis dan
pascadialisis, berat badan pradialisis dan pascadialisis dalam satuan kilogram, dan lama
proses hemodialisis dalam satuan jam. Pada hemodialisa dengan dosis 2 kali seminggu,
dialisis dianggap cukup bila nilai URR 65-70% dan nilai Kt/V 1,2-1,4 (Swartzendruber et al.,
2008).
2.3.4 Komplikasi Hemodialisa
Berbagai komplikasi intradialisis dapat dialami oleh pasien saat menjalani hemodialisis.
Komplikasi intradialisis merupakan kondisi abnormal yang terjadi pada saat pasien menjalani
hemodialisis. Komplikasi yang umum terjadi saat pasien menjalani hemodialisis adalah
hipotensi, kram, mual dan muntah, headache, nyeri dada, nyeri punggung, gatal, demam dan
menggigil (Holley, et al, 2007; Barkan, et al, 2006; Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Komplikasi
intradialisis lainnya yang mungkin terjadi adalah hipertensi intradialisis dan disequlibrium
syndrome yaitu kumpulan gejala disfungsi serebral terdiri dari sakit kepala, pusing, mual,
muntah, kejang, disorientasi sampai koma (Hudak dan Gallo, 1999; Thomas, 2003; Daugirdas,
Blake & Ing, 2007). Lebih lanjut Thomas (2003) serta Daugirdas, Blake dan Ing (2007)
menyebutkan bahwa komplikasi intradialisis lain yang bisa dialami pasien hemodialisis kronik
adalah aritmia, hemolisis, dan emboli udara. Berikut ini akan diuraikan komplikasi intradialisis
yang bisa dialami pasien saat menjalani hemodialisis dengan melibatkan aspek asuhan
keperawatan. Komplikasi intradialisis yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi: hipotensi,
kram, mual dan muntah, headache, nyeri dada, demam dan menggigil,hipertensi, sindrom
disequilibrium, aritmia, hemolisis dan emboli udara.
1) Hipotensi intradialisis
Hipotensi saat hemodialisis (intradialytic hypotension) adalah salah satu masalah yang
paling banyak terjadi. Holley, Berns dan Post (2007) menyebutkan frekwensi hipotensi
intradialisis adalah 25-55%. Sedangkan Daugirdas, et al (2007) dan Teta (2008) menyebutkan
bahwa frekwensi hipotensi intradialisis terjadi pada 20-30% dialisis. Sementara itu penelitian
oleh Ahmad, Khan, Mustafa & Khan (2002) pada 221 pasien di Pakistan menunjukkan bahwa
intradialytic hypotension dialami oleh 24% pasien.
Banyak definisi yang berbeda tentang hipotensi intradialisis. Menurut Shahgholian,
Ghafourifard, Rafieian, & Mortazavi, (2008) intradialytic hypotension (IDH) adalah penurunan
tekanan darah sistolik > 30% atau penurunan tekanan diastolik sampai dibawah 60 mmHg yang
terjadi saat pasien menjalani hemodialisis. Hipotensi intradialisis juga di definisikan sebagai
penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg atau diastolik >20 mmHg dalam 15 menit (Teta,
2006). Sedangkan menurut National Kidney Foundation (2002) IDH didefinisikan sebagai
penurunan tekanan darah sistolik 20 mm Hg atau penurunan MAP 10 mm Hg saat pasien
hemodialisis yang dihubungkan dengan gejala: perut tidak nyaman, menguap, mual, muntah,
kram otot, pusing dan cemas.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya hipotensi intradialisis yaitu berhubungan
dengan volume, vasokonstriksi yang tidak adekuat, faktor jantung dan faktor lain (Daugirdas,
Blake & Ing, 2007). Hipotensi juga bisa terjadi pada pasien dengan volume darah yang relative
kecil seperti pada lansia, anak-anak dan perempuan yang kecil (Kallenbach, et al, 2003;
Devenport, 2006). Lebih lanjut Sulowicz dan Radziszewski (2006) serta Henrich, Schwab dan
Post (2008) menyebutkan bahwa pelepasan adenosin selama iskemi organ dan kegagalan plasma
dalam meningkatkan vasopressin juga dapat menyebabkan hipotensi intradialisis. Tingginya
konsentrasi adenosin dijumpai pada pasien yang menjalani hemodialisis (Sulowicz &
Radziszewski, 2006).
Hipotensi terjadi karena dilatasi arteri pada dasar vaskuler, kehilangan volume darah
dalam jumlah besar atau kegagalan otot jantung memompa secara adekuat (Potter & Perry,
2000). Pengaruh saraf otonom juga terkait dengan hipotensi. Adanya stimulasi saraf parasimpatis
akan menurunkan denyut jantung sehingga menyebabkan penurunan curah jantung. Stimulasi
saraf simpatis juga akan meningkatkan vasodilatasi arteriol yang selanjutnya akan menurunkan
tahanan perifer. Semua proses ini pada akhirnya akan menurunkan tekanan darah (Sherwood,
1999).
Secara normal sistem kardiovaskuler berespon secara adekuat terhadap penurunan
volume darah. Respon ini dikenal dengan mekanisme kompensasi kardiovaskuler, yang
bertujuan untuk mempertahankan tekanan darah tetap normal saat volume darah menurun
(Dasselaar & Franssen, 2008). Kompensasi dilakukan dengan pengisian kembali plasma dan
mengurangi kapasitas vena, suatu respon untuk mengurangi regangan pada vena. Kompensasi
tersebut melibatkan sistem kardiovaskuler dan saraf otonom.
Barkan, Mirimsky, Katzir & Ghicavii (2006) menyebutkan bahwa selama pelaksanaan
hemodialisis, sejumlah volume cairan dari tubuh dikeluarkan yang mempengaruhi mekanisme
kompensasi yang normal. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung sehingga menimbulkan
hipotensi. Berbagai faktor penyebab yang telah diuraikan diatas dapat mengganggu kompensasi
kardiovaskuler sehingga menyebabkan hipotensi.
Hipotensi intradialisis akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan (serebral, renal,
miokard, perifer). Bila masalah ini tidak diatasi akan membahayakan pasien.Hipotensi tidak
hanya menyebabkan ketidaknyamanan tapi juga meningkatkan resiko kematian (Sande, Kooman
& Leunissen, 2000). Saat aliran dan tekanan darah terlalu rendah, maka pengiriman nutrisi dan
oksigen ke organ vital seperti otak, jantung, ginjal dan organ lain akan berkurang bahkan akan
dapat mengakibatkan kerusakan. Hipotensi intradialisis yang tidak diatasi mengakibatkan
kerusakan organ tubuh permanen sehingga meningkatkan kematian (Cunha & Lee, 2007).
Pencegahan hipotensi intradialisis yang dapat dilakukan perawat dengan cara: melakukan
pengkajian berat badan kering secara regular, menghitung UFR secara tepat dan menggunakan
kontrol UFR, menggunakan dialisat bikarbonat dengan kadar natrium yang tepat, mengatur suhu
dialisat secara tepat, monitoring tekanan darah serta observasi monitor volume darah dan
hematokrit selama proses hemodialisis (Kallenbach, et al, 2005; Thomas, 2003; Daugirdas, Blake
& Ing, 2007). Memberikan edukasi tentang pentingnya menghindari konsumsi antihipertensi dan
makan saat dialisis juga dapat mencegah hipotensi (Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Adapun
manajemen hipotensi intradialisis adalah: menempatkan pasien dalam posisi trendelenburg,
memberikan infus NaCl 0,9% bolus, menurunkan UFR dan kecepatan aliran darah (Quick of
blood) serta menghitung ulang cairan yang keluar (Kallenbach, et al, 2005; Daugirdas, Blake &
Ing, 2007)
2) Kram otot
Kram otot disebabkan adanya peningkatan kecepatan kontraksi atau penipisan otot yang
tidak dapat dikontrol, terjadi beberapa detik sampai menit dan menimbulkan rasa sakit.
Intradialytic muscle cramping, biasa terjadi pada ekstrimitas bawah (CAHS, 2008). Holley,
Berns dan Post (2007) serta Daugirdas, Blake dan Ing (2007) serta Teta (2008) menyebutkan
bahwa frekwensi kram saat hemodialisis 5-20% dari keseluruhan prosedur hemodialisis.
Penyebab kram otot selama hemodialisis tidak diketahui dengan pasti. Penelitian
dilakukan untuk mencari penyebabnya. Beberapa faktor resiko diantaranya: rendahnya volume
darah akibat penarikan cairan dalam jumlah banyak selama dialisis, perubahan osmolaritas,
ultrafiltrasi tinggi dan perubahan keseimbangan kalium dan kalsium intra atau ekstrasel (Brass,
et all, 2002; Thomas, 2003; Kallenbach, et al, 2003; FMCNA, 2007; CAHS, 2008). Garam yang
berlebihan di dalam darah juga bisa menjadi faktor yang berhubungan dengan terjadinya kram
saat hemodialisis (CAHS, 2008). Kram juga bisa menyertai komplikasi hemolisis (Kallenbach, et
al, 2005).
Pencegahan kram otot saat hemodialisis dapat dilakukan dengan mengkaji berat badan
kering secara tepat, menghitung UFR secara tepat, menjaga suhu dialisat dan kolaborasi
pemberian Quinine Sulphate atau 400 unit vitamin E sebelum hemodialisis, serta memberikan
edukasi tentang penurunan berat badan. Namun bila kram sudah terjadi manajemen yang
dilakukan adalah: memberikan infus NaCl 0,9% bolus, menurunkan UFR, Quick of blood (Qb)
dan TMP, memberikan kompres hangat dan pemijatan serta memberikan Nefidipin 10 mg
(Thomas, 2003; Daugirdas, Blake & Ing, 2007).

3) Mual dan muntah


Nausea atau mual adalah perasaan ketidaknyamanan di tenggorokan dan atau perut yang
bisa menyebabkan terjadinya muntah (NCI, 2000). Frekwensi mual dan muntah saat
hemodialisis adalah 5-15% dari keseluruhan hemodialisis (Barkan, et al, 2006; Daugirdas, Blake
& Ing, 2007). Sementara itu penelitian pada 227 pasien di Pakistan tahun 1997-1998
menunjukkan bahwa mual dan muntah dialami 2% pasien (Ahmad, et al, 2002).
Mual dan muntah saat hemodialisis kemungkinan dipengaruhi beberapa hal yaitu
lamanya waktu hemodialisis, perubahan homeostasis selama hemodialisis, banyaknya ureum
yang dikeluarkan dan atau besarnya ultrafiltrasi (Holley, Berns & Post, 2007). Gangguan
keseimbangan dialysis (Dialysis Disequilibrium Syndrome) akibat ultrafiltrasi yang berlebihan
dan hemolisis juga bisa menyebabkan mual dan muntah saat hemodialisis (Thomas, 2003;
Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Thomas (2003) lebih lanjut menyebutkan mual dan muntah juga
berhubungan dengan hipotensi. Mual dan muntah bisa terjadi sebelum atau setelah hipotensi.
Ketidaknyamanan akibat nyeri yang terjadi selama hemodialisis juga bisa mencetuskan mual.
Mekanisme mual dan muntah terjadi karena sel enterocromaffin pada mukosa
gastrointestinal melepaskan serotonin sebagai respon terhadap adanya substansi yang ada dalam
oral atau parenteral. Rasa tidak nyaman akibat perubahan homeostasis dan timbulnya rasa nyeri
saat hemodialisis juga akan merangsang mual. Stimulasi kimia akibat pelepasan serotonin dan
rasa tidak nyaman akan merangsang chemoreceptor trigger zone (CTZ) sebagai pusat muntah
(Corwin, 2008). Selanjutnya pusat muntah mengaktifkan impuls somatic dan viseral yang
kemudian mempengaruhi organ target yaitu otot abdomen, esofagus dan diafragma (Sherwood,
1999).
Mual dan muntah dapat mengganggu aktifitas pasien, menyebabkan dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit dan kelelahan, meningkatkan rasa tidak nyaman, meningkatkan
resiko perlukaan mukosa gastrointestinal serta resiko perdarahan. Mual muntah juga akan
menimbulkan masalah psikologis yaitu meningkatkan kecemasan dan depresi, menimbulkan
koping tidak efektif, meningkatkan ketidakberdayaan dan tidak kooperatif dengan terapi.
Sehingga mual dan muntah saat hemodialisis perlu dicegah dan diatasi. Tindakan pencegahan
mual dan muntah saat hemodialisis dapat dilakukan perawat dengan menghitung UFR secara
tepat, menggunakan dialisat bicarbonat, mengatur suhu dialisat secara tepat. Jika mual dan
muntah sudah terjadi perawat dapat melakukan berbagai tindakan untuk mencegah komplikasi
yang lebih berat dengan cara: memberikan infus NaCl 0,9% bolus dan menurunkan UFR, Qb,
TMP dan memberikan anti emetik (Kallenbach, et al, 2005; Thomas, 2003; Daugirdas, Blake &
Ing, 2007).
4) Sakit kepala
Sakit kepala pada kenyataannya adalah gejala bukan penyakit yang dapat menunjukkan
penyakit organic (neurologi atau penyakit lain), respon stress, vasodilatasi (migren), tegangan
otot rangka (sakit kepala tegang), atau kombinasi respon tersebut (Smeltzer, et al, 2008).
Daugirdas, Blake dan Ing (2007) serta Teta (2007) menyebutkan bahwa frekwensi sakit kepala
saat dialysis (dialysis headache) adalah 5% dari keseluruhan prosedur hemodialisis. Sebuah
penelitian di Italia tahun 1999 menunjukkan bahwa 70% pasien hemodialisis mengeluh sakit
kepala. Sebanyak 57,5% pasien mengalami intradialysis headache. Penelitian menunjukkan
bahwa migren akibat gangguan vaskuler dan tension headache adalah dua tipe sakit kepala yang
dialami oleh pasien saat hemodialisis (Antoniazzi, Bigal, Bordini, Tepper dan Speciali, 2003).
Patogenesis dialysis headache belum diketahui dengan pasti. Walaupun demikian
hipertensi selama hemodialisis bisa menjadi penyebab. Bana, et al (2008, dalam Incekara,
Kutluhan, Demir & Seze, 2008) melaporkan bahwa ada korelasi antara beratnya hipertensi
dengan dialysis headache. Kecepatan UFR yang tinggi, pemindahan cairan dan elektrolit dalam
jumlah besar juga meningkatkan insiden dialysis headache (Incekara, et al, 2008; Goksan,
Savrun & Erthan, 2004). Sakit kepala juga terjadi akibat Disequilibrium Syndrome, dan
pengaruh bradykinin serta nitric oxide (NO) yang meningkatkan plasma darah selama dialisis
(Antoniazzi & Corrado, 2007; Thomas, 2003).
Dialysis headache dapat menimbulkan ketidaknyamanan, meningkatkan kecemasan dan
menurunkan curah jantung. Komplikasi ini dapat dicegah dengan menurunkan interdialytic
weight gain, menghitung UFR dengan tepat berdasarkan berat badan, mengatur Qb dan
menghindari pemakaian dialiser dengan luas permukaan besar (Kallenbach et al, 2005). Bila saat
hemodialisis pasien mengalami sakit kepala, perawat dapat menurunkan UFR, Qb dan TMP serta
memberikan Acetaminophen (Daugirdas, Blake & Ing, 2007)

5) Nyeri dada
Frekwensi nyeri dada saat hemodialisis adalah 2-5% dari keseluruhan hemodialisis
(Holley, Berns & Post, 2007; Daugirdas, Blake & Ing, 2007; Teta, 2008). Lebih lanjut Daugirdas,
Blake dan Ing (2008) menyebutkan bahwa nyeri dada hebat saat hemodialisis frekwensinya
adalah 1-4%. Nyeri dada saat hemodialisis dapat terjadi pada pasien akibat penurunan hematokrit
dan perubahan volume darah karena penarikan cairan (Kallenbach, et al, 2005). Perubahan dalam
volume darah menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah miokard dan mengakibatkan
berkurangnya oksigen miokard.
Nyeri dada juga bisa menyertai komplikasi emboli udara dan hemolisis (Kallenbach, et
al, 2005; Thomas, 2003). Nyeri dada saat hemodialisis dapat menimbulkan masalah keperawatan
penurunan curah jantung, gangguan rasa nyaman dan intoleransi terhadap aktifitas. Nyeri dada
yang terjadi perlu dicegah dan diatasi oleh perawat. Observasi monitor volume darah dan
hematokrit dapat mencegah resiko timbulnya nyeri dada. Perawat dapat berkolaborasi
memberikan nitroglisernin dan obat anti angina untuk mengurangi nyeri dada (Kallenbach, et al,
2005). Pemberian oksigen, menurunkan Qb dan TMP juga meringankan nyeri dada.

6) Demam dan menggigil


FMNCA (2007) mendefinisikan demam selama hemodialisis sebagai peningkatan suhu
tubuh selama hemodialisis lebih dari 0.5 C atau suhu rektal atau aksila selama dialisis lebih dari
38 C. Mayoritas (70%) reaksi febris berhubungan dengan infeksi akses vaskuler, perkemihan
dan pernafasan. Demam selama hemodialisis juga berhubungan dengan jenis dialisat yang
digunakan dan reaksi hipersensitifitas (FMCNA, 2007; Daugirdas, Blake & Ing, 2007).
Selama prosedur hemodialisis perubahan suhu dialisat juga dapat meningkatkan atau
menurunkan suhu tubuh. Suhu dialisat yang tinggi (lebih dari 37,5 C) bisa menyebabkan
demam. Sementara itu suhu dialisat yang terlalu dingin (34-35.5C) dapat menyebabkan
perubahan kardiovaskuler, menyebabkan vasokonstriksi dan menggigil (Pergola, Habiba, &
Johnson, 2004). Kadang-kadang menggigil merupakan indikasi pertama penurunan suhu dialisat.
Holley, Berns dan Post (2007), Daugirdas, Blake dan Ing (2007) serta Teta (2008)
menyebutkan bahwa frekwensi demam dan menggigil saat hemodialisis adalah kurang dari 1%.
Meskipun demikian demam dan menggigil selama hemodialisis juga perlu diwaspadai. Demam
mengakibatkan vasodilatasasi pembuluh darah dan meningkatkan resiko ketidakstabilan
kardiovaskuler dan hipotensi (Pergola, Habiba, & Johnson, 2004). Demam juga membahayakan
karena bisa mencetuskan kejang yang mengakibatkan kerusakan serebral.
Pencegahan demam saat hemodialisis dilakukan dengan memberikan edukasi tentang
perawatan akses vaskuler, memantau tanda infeksi dan mengatur suhu dialisat dengan tepat.
Adapun manajemen demam dan menggigil saat dialisis yaitu: mengatur ulang suhu dialisat pada
suhu 36,7-38,3C, memberikan selimut tebal, memberikan kompres hangat, monitor suhu tubuh
dan memberikan antipiretik (Daugirdas, Blake & Ing, 2007)

7) Hipertensi intradialisis
Sedikit pasien bisa mengalami hipertensi intradialisis (Hudak & Gallo, 1999). Pasien
yang mungkin normotensi sebelum dialisis dapat menjadi hipertensi selama dialisis.
Peningkatannnya dapat terjadi secara bertahap atau mendadak. Pasien dikatakan mengalami
hipertensi jika memiliki tekanan darah 140/90 mmHg (Corwin, 2008). Sedangkan hipertensi
intradialisis adalah apabila tekanan darah saat dialisis 140/90 mmHg atau terjadi peningkatan
tekanan pada pasien yang sudah mengalami hipertensi pradialisis. Pasien juga dikatakan
mengalami hipertensi intradialisis jika nilai tekanan darah rata-rata (Mean Blood Pressure/ MBP)
selama hemodialisis 107 mmHg atau terjadi peningkatan MBP pada pasien yang nilai MBP
pradialisis diatas normal. WHO (dalam Schmig, Eisenhardt, & Ritz, 2001) menyebutkan bahwa
pasien memiliki tekanan darah normal dengan MBP dibawah 107 mmHg.
Penyebab hipertensi intradialisis adalah kelebihan cairan, syndrome diseqilibrium, dan
respon renin terhadap ultrafiltrasi (Hudak & Gallo, 1999; Kallenbach, et al, 2005; Tomson,
2009). Lebih lanjut Kallenbach, et al (2005) menyebutkan bahwa overhidrasi pradialisis akan
meningkatkan cardiac output, meningkatkan resistensi vaskuler yang mengakibatkan hipertensi.
Peningkatan renin yang mencetuskan hipertensi juga terjadi pada pasien usia tua dan muda
karena respon penurunan aliran darah dan penggunaan dialiser dengan luas permukaan yang
kecil. Faktor lain yang berhubungan dengan timbulnya hipertensi saat hemodialisis adalah karena
adanya ansietas (Hudak & Gallo, 1999). Tomson (2009) juga menyebutkan bahwa penyebab
hipertensi intradialisis adalah vasokonstriksi karena peningkatan aktivitas saraf simpatis,
turunnya aktivitas nitric oxide activity, dan rendahnya vasodilator.
Patofisiologi terjadinya hipertensi saat hemodialisis lebih sering terjadi akibat
peningkatan tahanan perifer. Penelitian yang dilakukan oleh Landry, Oliver, Chou, Lee, Chen,
Chiou, Hsu, Chung, Liu & Fang (2006) menunjukkan bahwa pada pasien yang mengalami
intradialysis hypertension terjadi peningkatan tahanan perifer / perifer vascular resistance (PVR)
yang signifikan. Peningkatan resistensi vaskuler dapat dipicu oleh kelebihan cairan pradialisis
juga akan meningkatkan resistensi vaskuler. Akibatnya curah jantung meningkat, menyebabkan
peningkatan tekanan darah selama dialisis.
Meskipun tidak banyak dialami oleh pasien namun hipertensi intradialisis perlu
diwaspadai. Hipertensi intradialisis bisa mencetuskan sakit kepala dan meningkatkan
ketidaknyamanan pasien. Hipertensi intradialisis juga berkontribusi terhadap berkembangnya left
ventricular hypertrophy (LVH), pembesaran ruang jantung, peningkatan tekanan dinding
ventrikel, gangguan aliran darah jantung, iskemik miokard, fibrosis miokard, gagal jantung, dan
aritmia (Stephen, Thakur, Zhang & Reisin, 2003). Sebuah penelitian yang dilakukan pada 405
pasien hemodialisis juga menunjukkan bahwa pasien dengan tekanan darah sistolik > 160 mmHg
memiliki resiko mortalitas yang tinggi (Mazzuchi, Carbonell & Cean, 2000).
Hipertensi intradialisis dapat dicegah dengan edukasi tentang modifikasi gaya hidup
seperti penurunan berat badan, modifikasi diit, pembatasan garam dan cairan. Pengaturan Qb dan
menghindari pemakaian dialiser dengan luas permukaan yang kecil juga mencegah hipertensi
(FMNCA, 2007; Kallenbach, et al, 2005). Manajemen hipertensi intradialisis adalah observasi
tekanan darah dan nadi secara berkala, mengatur ulang Qb, UFR dan TMP.

8) Sindrom disequilibrium
Sindrom disequilibrium dimanifestasikan oleh sekelompok gejala yang diduga terjadi
karena adanya disfungsi serebral. Kumpulan gejala disfungsi serebral terdiri dari sakit kepala
berat, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran yaitu disorientasi sampai koma (Thomas,
2003). Sindrom disequilibrium tidak banyak dialami pasien saat hemodialisis. Sindrom
disequilibrium saat hemodialisis biasa terjadi pada pasien dengan kondisi tertentu yaitu: 1)
Pertama memulai dialisis; 2) Usia lanjut dan anak-anak; 3) Adanya lesi saraf pusat (akibat stroke
atau trauma) atau kondisi yang meningkatkan edema serebral (hipertensi berat, hiponatremi, dan
ensefalopati hepatik); 4) Kadar ureum pradialisis yang tinggi, dan 5) Asidosis metabolic yang
berat (Lopezalmaraz, 2008; Mailloux, Bern & Post, 2007; FMNCA, 2007). Disfungsi serebral ini
terjadi akibat edema serebral karena dialysis yang cepat dan perubahan pH serta osmolalitas
cairan (Lopezalmaraz, 2008).
Saat dialisis terjadi proses difusi salut melalui membran semipermeabel dialiser dan
dalam membran semipermeabel pada seluruh kompartemen tubuh dari kompartemen intraseluler,
interstistial dan intravaskuler. Proses difusi ini seharusnya sama agar terjadi keseimbangan.
Penarikan ureum yang terlalu cepat dari tubuh mengakibatkan plasma darah menjadi lebih
hipotonik dari pada cairan di dalam sel. Akibatnya akan meningkatkan tekanan osmotik. Hal ini
mengakibatkan perubahan signifikan pada cairan cerebrospinal dan sel otak. Perubahan tekanan
osmotik menyebabkan pergerakan air kedalam sel otak sehingga terjadi edema serebral.
Perubahan gradient CO2 antara cairan serebrospinal dan plasma juga menyebabkan penurunan
pH intraseluler dalam serebral dan jaringan otak. Perubahan ini meningkatkan osmolalitas sel
otak karena peningkatan konsentrasi H+. Edema otak akhirnya akan menyebabkan disfungsi
serebral (Thomas, 2003; Mailloux, Bern & Post, 2007; Lopezalmaraz, 2008)
Pencegahan sindrom disequilibrium bisa dilakukan perawat dengan cara: menggunakan
dialiser dengan luas membran <1,0 m2, mengatur Qb <200 ml/menit, hemodialisis harian sampai
nilai laboratorium normal, memperpanjang waktu dialisis dan menggunakan dialisat bicarbonat
dengan kadar natrium 145-150 mol/L (Thomas, 2003; Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Profilaksis
juga bisa dilakukan dengan memberikan obat yang bersifat osmosis (mannitol, glucose,
fructose). Pemberian infus manitol 2% 50 ml/jam yang ditambahkan dengan diazepam dapat
diberikan pada pasien yang beresiko (FMNCA, 2007)

9) Aritmia
Aritmia saat hemodialisis perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan disfungsi miokard
yang akan membahayakan pasien, bahkan mengakibatkan kematian. Aritmia dikarakteristikkan
dengan adanya perubahan pola denyut jantung dalam frekwensi, kekuatan dan atau iramanya
(Potter & Perry, 2005; Smeltzer, et al, 2008). Aritmia adalah komplikasi intradialisis yang jarang
dialami (Daugirdas, Blake & Ing, 2007; Teta, 2008). Namun penelitian pada 38 pasien CKD
dengan hemodialisis menunjukkan ventricular arrhythmias dialami 29% pasien (Narula,
Vivekanand, Bali, Sakhuja, & Sapru, 2000).
Aritmia saat hemodialisis dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu: adanya hipertensi,
penyakit jantung (LVH, gagal jantung, Ischemic heart disease), penarikan kalium yang
berlebihan dan terapi digoxin (Thomas, 2003; FMNCA, 2007). Lebih lanjut FMNCA (2007)
menyebutkan bahwa faktor lain yang dapat meningkatkan resiko terjadinya aritmia saat
hemodialisis adalah usia lanjut, penarikan volume cairan ekstraseluler yang berlebihan,
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, serta adanya disfungsi miokard. Aritmia juga bisa
meningkat pada kondisi cemas (Smeltzer, et al, 2008).
Aritmia dapat dicegah dengan menggunakan dialisat yang rendah natrium, menghentikan
terapi digoksin pada saat hemodialisis dan mengendalikan penyakit jantung. Aritmia yang terjadi
saat hemodialisis perlu atasi dengan: memonitor EKG secara berkala, monitor nilai kalium,
kalsium dan magnesium, serta memberikan terapi anti aritmia (Kallenbach, et al, 2005)

10) Hemolisis
Hemolisis adalah kerusakan atau pecahnya sel darah merah akibat pelepasan kalium
intraseluler (Thomas, 2003). Hemolisis dapat terjadi karena masalah kimia, termal dan
mekanikal. Masalah kimia terjadi karena adanya paparan bahan kimia dalam darah seperti
sodium hipoklorit, formaldehid, atau nitrat. Thermal hemolysis dapat terjadi karena dialisat yang
terlalu panas (diatas 42C). Sedangkan penyebab mekanis adalah peningkatan tekanan vena
akibat adanya sumbatan akses selang darah dan sumbatan pada pompa darah, peningkatan
tekanan negatif yang berlebihan karena penggunaan jarum yang kecil pada kondisi aliran darah
yang tinggi, atau posisi jarum yang tidak tepat. Penyebab lain hemolisis adalah penggunaan
dialisat hipotonik (Thomas, 2003; Kallenbach et al, 2005).
Hemolisis dapat bersifat akut dan kronis, mungkin ringan tapi juga bisa mengancam
nyawa dan memerlukan tindakan segara (Kallenbach et al, 2005). Apabila hemolisis terjadi,
pasien akan mengeluh rasa terbakar pada area akses vaskuler, nyeri dada, sesak nafas, kram,
mual dan muntah bahkan pingsan. Saat terjadi hemolisis darah dalam ekstracorporeal circuit
akan tampak lebih transparan dan lebih terang. Hemolisis massif meningkatkan resiko
hiperkalemi, aritmia dan henti jantung (Thomas, 2003).
Thomas (2003) dan Kallenbach, et al (2005) menyebutkan bahwa hemolisis dapat
dicegah dengan menggunakan low shearing pumps, memastikan tekanan vena tidak terlalu tinggi
dan mengatur ulang suhu dialisat. Saat hemolisis terjadi perawat perlu melakukan beberapa
tindakan yaitu: menghentikan pompa darah, menutup aliran, kolaborasi pemberian oksigen,
pemberian tranfusi serta pemeriksaan kalium dan sel darah merah.

2.3 Konsep Dasar Keram Otot


2.3.1 Definisi
Kram otot (kontraksi otot involunter berhubungan dengan sakit parah) sering terjadi pada
pasien yang menjalani hemodialisis. Kram otot paling umum terjadi pada kaki, tapi dapat juga
melibatkan tangan dan lengan, dan juga otot perut. Perkiraan 33% sampai 80% pasien yang
menerima dialisis mengalami kram otot. Dalam sebuah penelitian dari tahun 2001, 25% dari
pasien hemodialisis melaporkan dua atau lebih kram mingguan. Kram otot diawali dengan
kedutan otot, dan dapat menjadi sangat menyakitkan pada beberapa situasi bahkan dapat
menyebabkan sulit bergerak. Merupakan hal yang jarang kram bisa menyebabkan hemodialisa
dihentikan lebih awal dari waktu yang ditentukan, mengarah pada perawatan hemodialisa yang
kurang efektif, sesuatu yang sebaiknya dihindari untuk kesehatan jangka panjang. Etiologi pasti
dari kram pada pasien dialisis tidak diketahui. Karena kram cenderung terjadi paling sering pada
akhir perawatan hemodialisis, dikaitkan dengan perubahan plasma osmolalitas dan/atau volume
cairan ekstraseluler. Dalam sebuah penelitian di London pada tahun 2011, kram intradialytic
adalah gejala yang paling umum dilaporkan (74%) dengan hipotensi (76%).

2.3.2 Etiologi
Meskipun penyebab pasti kram otot tidak diketahui, beberapa faktor risiko telah
dikemukakan, diantaranya volume ultrafiltrasi sampai memperoleh berat kering yang berlebihan,
konsentrasi natrium darah rendah, magnesium tubuh rendah, dan defisiensi karnitin. Penyebab
yang paling sering dikaitkan adalah volume ultrafiltrasi berlebihan, baik karena memperoleh
hasil yang kurang dari berat kering, maupun kehilangan cairan dengan cepat dalam jumlah besar
sehingga` dapat mengakibatkan kram. Konsentrasi natrium yang rendah dalam tubuh juga dapat
menyebabkan kram. Ada banyak faktor yang secara langsung berkontribusi terhadap kram otot
pasien gagal ginjal kronis yang menerima dialisis termasuk penurunan volume cairan tubuh,
tekanan darah rendah (hipotensi), perubahan keseimbangan elektrolit dan air, rendahnya tingkat
natrium, oksigen yang tidak memadai, magnesium rendah dalam darah, kekurangan karnitin
(asam amino).
Kram sering terjadi pada pasien yang membutuhkan tingkat ultrafitrasi tinggi sehingga
menyebabkan penurunan perfusi otot dalam merespon hipovolemia. Perubahan keseimbangan
intra atau ekstraseluler kalium dan konsentrasi kalsium terionisasi dapat mengganggu transmisi
neuromuskular dan menghasilkan kram. Dalam artikel review tentang Kram Otot Intra Dialisis,
menyebutkan bahwa etiologi kram otot adalah sebagai berikut:
1) Hipotensi
Hipotensi Intra-dialytic (IDH) didefinisikan sebagai kegagalan dalam sistolik atau
tekanan arteri lebih dari 20 mmHg yang mengakibatkan gejala klinis, dan terjadi pada 20-30%
dari perawatan IDH. Ini adalah penyebab paling sering kram otot selama hemodialisis.
Etiologinya multifaktorial termasuk fungsi miskin jantung, gain cairan interdialytic, salah berat
badan ideal (IBW), UF berlebihan dan durasi pendek dari hemodialisis konvensional.
2) Hypoosmolality
Merupakan penyebab paling sering kedua dari kram otot selama hemodialisis. Perubahan
osmolaritas menyebabkan efek samping hemodialisis akut yang merugikan seperti hipotensi,
kejang otot, ketidakseimbangan osmotik
3) Gangguan elektrolit dan mineral
Gangguan pada elektrolit dan metabolisme mineral, seperti kalsium plasma meningkat,
fosfor, dan penurunan natrium, potasium dan magnesium tingkat bisa menyebabkan kram otot,
meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada hemodialisis dan dialisis peritoneal pasien.
Perubahan konsentrasi natrium plasma selama hemodialisis sangat mempengaruhi distribusi
antara volume cairan ekstraseluler dan intraseluler dan mengarah ke ultrafiltrasi yang lebih
efisien dan kram otot selama hemodialisis. Selain natrium; level kalsium dan fosfor dapat
menyebabkan kram otot. Telah dikemukakan bahwa hiperkalsemia, hiperfosfatemia,
hipermagnesamia dan hipomagnesemia bisa menyebabkan kram otot. Dalam sebuah studi lain,
pasien dengan level plasma fosfor dan kalsium cukup tinggi, risiko kram otot dan nyeri
ditemukan 20% meningkat bila dibandingkan dengan pasien yang memenuhi target.
4) Defisit Karnitin
L-karnitin adalah amina kuartener yang diketahui untuk mentransfer asam lemak rantai
panjang dari sitoplasma ke dalam matriks mitokondria untuk dioksidasi. Carnitine memainkan
peran penting dalam metabolisme energi. Ada pengurangan yang ditandai dalam produksi
karnitin di stadium akhir pasien penyakit ginjal, dan berkurang secara signifikan pada pasien
hemodialisis. L-karnitin secara luas dihapus oleh dialyser selama sesi dialisis tunggal, karena
berat molekul rendah senyawa dan hidrofilisitas tinggi dalam kombinasi dengan kurangnya
pengikatan protein. Pengobatan hemodialisis kronis telah terbukti berhubungan dengan
penurunan konsentrasi L-karnitin plasma dan jaringan dan akumulasi acylcarnitines.
5) Defisiensi Vitamin C
Tingkat vitamin C telah dilaporkan menjadi rendah di uremia, dan menunjukkan bahwa
subklinis deplesi vitamin C mungkin berkontribusi terhadap kram hemodialisis.

2.3.3 Penatalaksanaan
Strategi non-farmakologis dapat digunakan untuk mencegah kram pada pasien
hemodialisis. Volume kontraksi dan hiponatremia adalah faktor yang paling umum yang
menyebabkan kram sehubungan dengan prosedur hemodialisis itu sendiri. Untuk mencegah
masalah ini, dan hipotensi yang dihasilkan harus secara teratur mengevaluasi berat kering yang
tepat termasuk meminimalkan peningkatan berat badan pasien selama perawatan dialisis. Juga,
meningkatkan frekuensi hemodialisis, atau beralih ke dialisis peritoneal yang telah efektif dalam
mengurangi frekuensi kram. Jika kram terjadi selama dialisis, penting untuk menilai hipotensi.
-Dialisis terkait hipotensi dapat diobati melalui memperlambat atau menghentikan ultrafiltrasi,
berbaring di posisi Trendelenberg (telentang), atau mengurangi laju aliran darah.
Pijat lokal dari otot yang terkena dampak dan aplikasi sesuatu yang panas dan lembab
dapat memberikan beberapa kenyamanan. Strategi berisiko rendah lainnya termasuk melakukan
latihan peregangan sebelum dialisis, melakukan olahraga ringan seperti naik sepeda stasioner
selama dialisis atau sebelum tidur, meminimalkan alkohol dan kafein, dan menjaga bed cover
longgar dan tidak terselip di untuk mencegah kram. Panas lokal (termasuk mandi atau mandi)
atau es, pijat, berjalan atau kaki bergoyang diikuti oleh elevasi kaki, metode lain yang dilaporkan
untuk membantu meringankan kram otot.
Banyak dari strategi pengobatan sama dengan yang digunakan untuk mengobati hipotensi
intradialytic:
1) Manuver fisik seperti pijat otot betis dan dorsofleksi kaki sangat membantu
2) Pengobatan segera adalah untuk meningkatkan volume intravaskular dengan mengganggu
atau memperlambat ultrafiltrasi dan administrasi saline, manitol atau glukosa. Selain
mempengaruhi pergeseran intravaskular air, larutan hipertonik dapat langsung meningkatkan
aliran darah ke otot-otot.
3) Penggunaan natrium dialisat, kalium atau kalsium modifikasi. Konsep individualisasi
komposisi dialisat tampaknya menjadi metode pencegahan yang baik.
4) Pengkajian ulang cermat dari berat kering, konseling pasien untuk mengurangi berat badan
interdialytic dan menggunakan dialisis bikarbonat.

2.4 KONSEP DASAR MASSAGE


2.4.1 Definisi
Massage berasal dari bahasa Arab Maas yang berarti menyentuh atau meraba. Massage
diambil dari bahasa Francis. Dalam bahasa Indonesia disebut pijat atau mengurut
(lutut). Massage dapat diartikan pijat yang telah disempurnakan dengan ilmu-ilmu tentang tubuh
manusia. Dapat pula didefinisikan dengan gerakan-gerakan tangan yang mekanis terhadap tubuh
manusia dengan mempergunakan bermacam-macam bentuk pegangan atau manipulasi. Massage
merupakan salah satu cara perawatan tubuh paling tua dan paling bermanfaat dalam perawatan
fisik (badan). Massage mengarahkan penerapan manipulasi (penanganan) perawatan dari bagian
luar tubuh yang dilakukan dengan perantaraan tangan atau dengan bantuan alat-alat listrik
(mekanik) seperti steamer facial, vibrator dan sebagainya.

2.4.2 Sejarah Perkembangan


Sejarah menunjukkan bahwa pijat merupakan kegiatan tertua yang digunakan manusia
untuk mengusir kelelahan dan stres. Terapi pijat akhirnya diakui merupakan salah satu cara
paling jitu untuk meredakan rasa lelah, stres, otot kaku dan pegal-pegal. Di negara-negara Barat,
pijat dikenal dengan istilah massage. Menurut buku Terapi Pijat karangan Jordy Becker, kata
massage berasal dari bahasa Arab mash, yang berarti menekan dengan lembut. Teori lainnya
menyatakan bahwa kata itu berasal dari bahasa Yunani massein yang artinya menggosok. Bisa
juga dari bahasa Perancis masser yang artinya meremas.
Di Cina, teks tulisan paling tua tentang masalah medis Nei Ching yang ditulis oleh Kaisar
Kuning berisi banyak referensi mengenai pijat untuk tujuan pengobatan. Di Mesir juga
dibuktikan gambar pijat tangan dan kaki di lukisan dinding yang ada di sebuah kuburan seorang
dukun di Saqqara pada tahun 2330 sebelum Masehi. Sistem pengobatan tradisional India yang
dikenal dengan nama Ayurveda yang berasal dari ratusan tahun yang lalu menyatakan bahwa
betapa pentingnya pijat dalam kehidupan. Ada bukti juga dari Yunani dan Roma kuno bahwa
Socrates, Plato, dan Heroditus sangat percaya dengan terapi pijat. Di awal abad ke-5 SM,
Hippocrates seorang ahli pengobatan bangsa Yunani yang terkenal sebagai the father of
medicine menulis bahwa pijat mampu melemaskan sendi yang terlalu kaku dan menyatukan
organ tubuh dengan gosokan yang kuat.
Galen seorang pengobat Kaisar Romawi menggunakan pijat untuk mengobati para
gladiator yang cedera dan untuk persiapan para prajurit. Julius Caesar, yang sering mengalami
sakit kepala, memperoleh perawatan pijat setiap hari untuk mengobati sakitnya tersebut. Pada
awal abad ke-19 Per Henrik Ling (1776-1839) seorang mahaguru Swedia, mengembangkan
teknik pijat yang disebut Swedish Massage atau pijat Swedia. Dia mendirikan sebuah institut di
Stockholm. Disitu pijat dan senam remedial menjadi salah satu mata kuliah yang diajarkan, dan
pada tahun 1887 pijat Swedia di bawa ke Amerika oleh Dr.Mitchel. pada tahun 1894, di Inggris
didirikan sebuah organisasi bernama The Society Of Trained Masseuses (Mayarakat Pramupijat
Terampil). Sampai kini terapi pijat tak hanya digunakan di salon dan spa saja tapi juga di
berbagai rumah sakit dan pusat perawatan kesehatan.
Relief-relief di candi Borobudur dan Prambanan yang menggambarkan raja maupun ratu
yang sedang dipijat oleh para dayang-dayang telah membuktikan, bahwa budaya pijat sudah
dikenal dan digunakan sejak zaman dulu. Kini perawatan semakin populer karena dipergunakan
di salon, sapa, maupun pusat kebugaran lainnya seperti tempat-tempat refleksi. Disamping
pemijat, para terapis spa sekarang juga dituntut menguasai anatomi dan fisiologi tubuh agar
menguasai keterampilan pijatan yang nyaman dan sesuai kebutuhan klien mereka.

2.4.3 Aplikasi Massage


Bagian tubuh yang dapat di massage terutama pada bagian kulit kepala, wajah, leher,
bahu, punggung, dada bagian atas, tangan dan lengan. Hal hal yang perlu dilakukan dalam
melakukan massage: Massage tidak dilakukan pada kondisi jantung tidak baik, tekanan darah
tinggi sendi dan kelenjar membengkak, kulit lecet, pembuluh kapiler pecah. Massage
membutuhkan sentuhan yang pasti dan kuat, hingga membangkitkan kepercayaan pada orang
yang diurut. Mengerjakan massage merupakan gabungan atau kombinasi dari satu atau lebih
gerakan dasar sesuai kondisi orang yang diurut serta hasil yang diinginkan. Hasil perawatan
massage tergantung atas besarnya tekanan, arah gerakan, dan lamanya masing-masing jenis
pengurutan.

2.4.4 Macam-macam Massage


1) Sport Massage
Sport massage adalah pijat yang dipakai dalam lapangan sport. Ditujukan untuk
membentuk dan memelihara kondisi badan para oleh ragawan agar konstan baik
2) Segment Massage
Segment massage adalah pijat yang dilakukan untuk mengobati beberapa macam
penyakit tanpa memasukkan obat ke dalam tubuh. Ditujukan untuk meringankan atau
menyembuhkan beberapa macam penyakit yang boleh dipijat
3) Cosmetic Massage
Cosmetic massage adalah pijat yang dipakai dalam bidang pemeliharaan kecantikan.
Ditujukan untuk membersihkan dan menghaluskan kulit, juga untuk menjaga agar kulit tidak
lekas mengkerut (awet muda).

2.4.5 Khasiat fisiologis pengurutan


Khasiat pengurutan badan, lengan, dan tungkai pada jaringan-jaringan tubuh :
1) Meningkatkan peredaran darah kulit, dan merangsang susunan sensorik kulit secara
berirama
2) Meningkatkan peredaran darah otot dan menghilangkan tegangan serabut-serabut otot
3) Memperbaiki gangguan ikat-ikat (ligamentum)
4) Melancarkan peredaran darah dan limfe
5) Merangsang susunan saraf secara berirama untuk mencapai efek seudatif (merangsang dan
menenangkan
6) Jaringan lemak : tidak terpengaruh oleh massage

2.4.6 Metode Pengurutan

Pengurutan secara umum


a. Kerasnya gerakan dan kecepatan gerakan urut :
Ketenangan orang yang dimassage, diperoleh dengan melakukan gerakan pengurutan
yang halus, ringan, perlahan dan berirama
b. Frekuensi :
Seringnya pengurutan terutama untuk muka, tergantung pada keadaan kulit, umur dan
tujuan perawatan
c. Arah pengurutan :
Semua gerakan urut dilakukan tegak lurus terhadap lipatan kulit atau sejajar dengan
jalannya serabut-serabut otot. Pengurutan tangan dan kaki di mulai dari ujung jari tangan
dan kaki dan selalu menuju ke arah jantung. Pada punggung, mulai dari kuduk terus ke
bahu dan dari pinggang ke atas ke arah bahu

Teknik Pengurutan secara khusus


Pengurutan sempurna, terdiri atas lima macam gerakan pokok :
a. Effleurage atau mengusap
Effleurage adalah gerakan urut mengusap yang dilakukan secara berirama dan berturut-
turut ke arah atas. Gerakan mengusap, yaitu gerakan ringan dan terus menerus yang
dilakukan dengan ujung jari bagian bawah pada bagian wajah yang sempit seperti hidung
dan dagu, dan dengan telapak tangan pada bagian wajah yang lebar seperti dahi dan pipi.
Effleurage sering dipakai untuk muka, leher, kulit kepala, punggung, dada, lengan dan
kaki. Effleurage memiliki efek seudatif yaitu memberikan efek menenangkan, hingga
selalu dipakai diawal dan akhir pengurutan. Khasiat gerakan urut ini :
1) Menghilangkan secara mekanis sel-sel epitel yang telah mati
2) Mempercepat pengangkutan zat-zat sampah dan darah yang mengandung
karbondioksida, memperlancar aliran limfe baru dan darah yang mengandung sari
makanan dan oksigen
3) Pertukaran zat (metabolisme) di semua jaringan meningkat dan pemberian makanan
kepada kulit dari dalam tubuh lebih terjamin.
b. Friction atau menggosok
Gerakan ini memberi tekanan pada kulit untuk memperlancar sirkulasi darah,
mengaktifkan kelenjar kulit, menghilangkan kerut dan memperkuat otot kulit. Lakukan
pijatan melingkar ringan dengan dua ujung jari yang ditekankan tegak lurus pada bagian
yang dipijat. Khasiat gerakan friction yaitu :
1) Berpengaruh terhadap penyembuhan bagian-bagian jaringan yang sakit atau kurang
sempurna
2) Produksi kelenjar-kelenjar palit atau lemak oleh tekanan dan pelepasan urutan
menggosok ini, dirangsang hingga cara ini berfaedah terutama untuk kulit
kering.Friction mempunyai pengaruh yang nyata terhadap peredaran darah dan
aktivitas kelenjar-kelenjar dalam kulit
c. Petrisage atau memijit/meremas
Gerakan ini menggunakan ujung jari dan telapak tangan untuk menjepit beberapa bagian
kulit. Pijatan jenis ini perlu sedikit tekanan (pressure) yang dilakukan secara ringan dan
berirama. Fulling adalah suatu bentuk petrisage yang kebanyakan dipakai untuk mengurut
lengan. Dengan jari kedua belah tangan, lengan dipegang dan satu gerakan memijat
dilakukan pada otot. Khasiat gerakan petrisage adalah memperlancar penyaluran zat-zat
dalam jaringan ke dalam pembuluh-pembuluh darah dan getah bening. Darah dan getah
bening mengantarkan sari makanan ke jaringan dan membawa ampas pertukaran zat dari
jaringan ke alat-alat pembuangan. Jika aliran darah dan getah bening tidak lancar, maka
terjadilah pembendungan yang dapat dihindarkan secara positif melalui pengurutan
meremas
d. Tapotage atau mengetik/menepuk
Tapotage merupakan gerakan ketukan yang berturut-turut dan cepat,yang dilakukan
dengan seluruh tangan atau ujung jari. Ketukan dilakukan untuk mengembalikan tonis
otot-otot yang kendur dan pula untuk merangsang ujung urat syaraf 5Gerakan
mencincang adalah gerakan menepuk yang dilakukan dengan menggunakan bagian
samping luar kedua tangan, yang ditepukkan pada kulit secara berturut-turut dan berganti-
ganti untuk pengurutan punggung, bahu dan lenganKhasiat gerakan tapotage yaitu
menyegarkan otot-otot, melancarkan peredaran darah dan getah bening pada tempat yang
diurut.
e. Vibratie atau menggetar
Vibrasi adalah gerakan menggetar untuk merangsang atau menenangkan urat syaraf dan
menghilangkan kerut pada wajah. Pada pijatan ini gunakan ujung jari dan telapak tangan
untuk menggetarkan kulit secara bergantianVibrasi dapat menggunakan alat yang disebut
vibrator. Gerakan menggetar yang dilakukan dengan menggetarkan ujung jari di atas urat
syaraf dan merangsangnya dinamakan vibrasi statis dan gerakan menggetar yang
bertujuan untuk menenangkan dan dilakukan sepanjang jalannya syaraf dengan ujung
jari dinamakan vibrasi dinamis.Khasiat gerakan vibrasi adalah untuk melemaskan
jaringan-jaringan dan menghilangkan ketegangan.

Gerakan Terpadu
Gerakan terpadu dilakukan terbatas pada pengurutan lengan, tangan dan kaki yaitu pada
sendi, baik gerakan ke muka, ke belakang atau memutar. Macam gerakan :
a. Gerakan pasif dari pergelangan, dilakukan dengan cara melengkungkan tangan ke
belakang. Gerakan serupa dapat dilakukan pada jari-jari kaki atau pada kaki
b. Gerakan ke arah telapak tangan secara pasif dilakukan dari pergelangan dengan
melengkungkan tangan ke bawah. Gerakan serupa dapat dilakukan pada jari-jari tangan
dan kaki
c. Gerakan memutar jari-jari secara pasif. Gerakan serupa dapat dilakukan untuk lengan
bawah, jari kaki atau kaki
2.4.6 Kontraindikasi Pijat pada Berbagai Kondisi
Tahapan kontraindikasi perlu dilakukan sebelum perawatan tubuh secara massage
dilakukan, dengan tujuan untuk mengetahui kelainan atau kelunakan yang ada di dalam tubuh
klien. Dengan kontraindikasi dapat ditentukan volume atau tekanan gerakan atau tekanan
gerakan pijat yang sesuai dengan kondisi tubuh atau bagian tubuh tertentu dari tubuh klien
tersebut. Pada kontraindikasi dapat dilakukan pemeriksaan antara lain:
1. Refleksi dan relaksasi otot
Refleksi dan relaksasi otot dilakukan dengan menyentuh, meraba dan menekan pada bagian-
bagian tubuh sehingga dapat diketahui apakah ada yang memar, bengkak, nyeri,
penggumpalan jaringan lemak atau selulit, tekstur kulit dan tonus susunan otot.
Contohnya: Thrombo-Phlebitis dan kondisi sejenis yaitu radang dari pembuluh darah vena.
Kulit di sekitarnya tampak kemerahan, panas, dan bengkak. Jika kulit sekitarnya disentuh,
terasa lembek dan sakit. Jika terbentuk gumpalan darah beku di dalam vena, maka dengan
pemijatan gumpalan tersebut akan bergerak dan bisa berakibat fatal (kematian) jika
menggumpal di dalam vena.
2. Temperatur Tinggi / Demam
Tubuh dalam keadaan demam akan mengeluarkan toksin. Maka tidak dianjurkan melakukan
pemijatan, karena akan memicu produksi toksin di dalam tubuh.
3. Infeksi Penyakit Kulit
Penyakit kulit sejenis jerawat dan eksim tidak menular, bahkan akan sembuh dengan
menggunakan minyak esensial lavender. Pijat dilarang untuk permukaan kulit yang
menderita radang di bawah kulit seperti bisul.
4. Bekas Luka atau Operasi Baru
Bekas luka yang masih baru atau luka terbuka pada klien sebaiknya tidak dipijat pada bagian
tersebut.
5. Kondisi Peradangan (Bursitis)
Gejala di bagian peradangan adalah warna kemerahan, terasa panas, lunak dan sakit jika
disentuh dan sebaiknya bagian yang meradang tersebut dilarang dipijat.
6. Kanker
Pijat yang lembut bermanfaat bagi para pasien kanker. Produksi hormon edorfin sebagai
reaksi pemijatan, dapat meredakan rasa sakit yang disebabkan kanker.
BAB III
RINGKASAN JURNAL

Pasien pada hemodialisis sering mengalami kram otot yang mengakibatkan


ketidaknyamanan, waktu dialysis yang diperpendek, dan dosis dialisis yang tidak efektif. Kram
telah dikaitkan dengan mempengaruhi tidur dan kualitas hidup kesehatan, depresi dan kecemasan
pada pasien hemodialisa. Massage telah terbukti menunjukkan efektivitas dalam penurunan rasa
sakit, pembengkakan, dan perasaan cemas pada pasien kanker. Sehingga korelasi ini dapat
menunjukkan efektivitas pijat merupakan terapi modalitas untuk pasien yang menjalani
hemodialisa berhubungan dengan kejadian kram otot ekstremitas bawah. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui keefektifan
Intradialysis massage pada frekuensi kram ekstremitas bawah pada pasien hemodialisis.
Peserta pada penelitian ini adalah 26 pasien yang menjalani hemodialisa dan sering mengalami
kram ekstremitas bawah di tiga pusat hemodialisis rawat jalan timur laut Ohio. Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan metode randomized controlled trial secara acak. Peserta dibagi
menjadi dua kelompok menjadi kelompok intervensi dan kelompok kotrol. Kelompok intervensi
akan mendapatkan massage intradialytic selama 20 menit pada ekstremitas bawah tiga kali per
minggu sesuai jadwal hemodialisa selama dua minggu. Sedangkan kelompok kontrol merupakan
kelompok yang mendapatkan perawatan hemodialisa seperti biasa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi pasien
melaporkanterjadi penurunan 1,3 episode kram di rumah sedangkan pada kelompok control
terjadi 0,2 episode per minggu. Pada kelompok kontrol pasien melaporkan kram selama dialisis
menurun sebesar 0.8 episode (p = 0,005). Pada kelompok intervensi dibandingkan dengan 0,4
episode pada kelompok kontrol (p = 0,44). Sehingga dapat disimpulakan Intradialytic Massage
bisa digunakan sebagai cara yang efektif untuk mengatasi kram otot pada pasien hemodialisa.

BAB IV
PEMBAHASAN

3.1 Intradialytic Massage for Leg Cramps Among Hemodialysis Patients


Untuk mengetahui efektivitas dalam penggunaan transcateter dalam penutupan atrial septal
defect yang dinyatakan dalam jurnal yang berjudul Intradialytic Massage for Leg Cramps
Among Hemodialysis Patients.Uraian PICOT yang dinyatakan dalam jurnal dapat dilihat
sebagai berikut ;
Population
Jurnal ini memanfaatkan tiga fasilitas hemodialisis dengan total sekitar 500 pasien yang
menjalani dialisis di jaringan Centers for Dialysis Care di Cleveland, OH. Pada penelitian ini
terdapat 16 peserta pada kelompok intervensi dan 16 orang peserta pada kelompok kontrol.
Sebelum memulai persetujuan ditemukan dua peserta pada kelompok intervensi dan satu peserta
pada kelompok kontrol tidak memenuhi kriteria kelayakan. Selain itu, tiga peserta pada
kelompok intervensi tidak dapat menerima terapi massage yang terjadwal.
Kriteria inklusi yang ditentukan pada penelitian ini adalah pasien yang memiliki satu atau
lebih episode kram ekstremitas bawah selama atau setelah dialisis dua minggu sebelumnya,
berusia 18-90 tahun, menjalani hemodialisa setidaknya selama enam bulan, memiliki berat
kering yang stabil bulan sebelumnya (kurang dari 2 kg berubah), dan bersedia mengisi informed
consent. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien baru sebagai beberapa bulan pertama
dialysis, seringkali mengalami ketidakstabilan hemodinamik, dan pasien dengan berat kering
berfluktuasi, pasien dengan luka, luka, amputasi, dermatitis, atau edema ekstremitas bawah,
dengan riwayat trombosis vena dalam (DVT) yang sudah dikenal Penyakit vaskular perifer
(PVD), atau dengan pembuluh darah di ekstremitas bawah.

Intervention
Pada kelompok intervensi dilakukan massage selama 20 menit oleh terapis pijat
berlisensi terlatih selama setiap menjalani perawatan hemodialisis yaitu sekitar enam sessi pijat
selama 2 minggu. Sebelum melakukan pemijatan perlu dilakukan pemeriksaan untuk
menentukan kondisi klinis. Pasien dialisis yang menerima perawatan massage untuk mengatasi
kram otot diminta menahan diri untuk tidak makan selama sesi pijat. Pijat dilakukan pada telapak
kaki, betis sampai lutut. Pijat yang dilakukan diantaranya gerakan gesekan sentripetal, pengaduk
dan kompresi titik ke perut, dan persendian otot myotendinous. Adapun langkah-langkah dalam
melakukan massage intradialisis antara lain:
Massage intaradialitic dimulai dengan kaki kiri dan selesai di kaki kanan, rutin dilakukan 2 kali
pada kaki kiri lalu kaki kanan, sampai total 20 menit. Total waktu yang diperlukan selama 4
menit 10 detik. Ulangi langkah-langkah ini total 2 kali pada setiap kaki).
1) Mulailah dengan sentuhan pasif, pegang tumit kiri pasien dengan tangan kiri, tangan kanan
pada jari telunjuk posterior di belakang lutut; 5 dtk.
2) Tempatkan krim/minyak pada kaki dengan 8 goresan gesekan sentripetal bergantian dari
distal ke proksimal (telapak kaki sampai lutut) dimulai dengan kiri.
3) Tangan kiri diletakkan pada kaki bawah posterior dan tangan kanan di atas. Jari tangan kiri
di bagian medial anterior betis, 4 jari di punggung betis.
4) Jari tangan kanan pada bagian lateral anterior betis, 4 jari di bagian belakang betis; 2 kali
selama 35 detik
5) Lakukan tiga goresan gesekan sentripetal dengan tangan bersama dari pergelangan kaki
sampai lutut (jempol anterior, 4 jari di punggung saling berhadapan) selama 12 dtk
6) Telapak tangan meremas dari pergelangan kaki sampai lutut mengompres dan mengangkat
(aspek posterior dan lateral kaki bagian bawah) 3 kali selama 18 dtk
7) Lakukan tiga goresan gesekan sentripetal dengan tangan bersama dari pergelangan kaki
sampai lutut (jempol anterior, 4 jari di punggung saling berhadapan) selama 12 dtk
8) Tekanan puncak di atas lutut (superior medial ke patela pada tendon), kondilus femoralis
lateral dan medial, dan di bawah lutut (Inferior terhadap patella di persimpangan femoral-
tibialis) tahan selama 3 detik
9) Lakukan kompresi/penekanan di atas betis (lampiran proksimal gastrocnemius) tangan
kanan lateral, penahan medial kiri selama 3 detik.
10) Lakukan kompresi/penekanan tengah betis (perut soleus) tahan selama 3 detik
11) Lakukan kompresi/penekanan bagian bawah betis (sambungan musculotendinous tendon
gastronemus dan soleous -Achilles) tahan selama 3 detik
12) Lakukan kompresi/penekanan ke permukaan plantar dan dorsal kaki; 12 dtk
13) Lakukan tiga goresan gesekan sentripetal dengan tangan bersama dari pergelangan kaki
sampai lutut (jempol anterior, 4 jari di punggung saling berhadapan) selama 12 dtk
14) Lakukan peremasan pada jari kaki secara digital; 12 dtk
15) Lakukan tiga goresan gesekan sentripetal dengan tangan bersama dari pergelangan kaki
sampai lutut (tangan kiri di atas kaki, kanan di bagian bawah, di pergelangan kaki sebelah
kanan, medial kiri jempol anterior, 4 jari di belakang saling berhadapan) selama 24 dtk).
16) Lakukan peremasan dari pergelangan kaki sampai lutut (aspek posterior dan lateral kaki
bagian bawah) 3 kali selama 18 dtk
17) Lakukan tiga goresan gesekan sentripetal dengan tangan bersama dari pergelangan kaki
sampai lutut (tangan kiri di atas kaki, kanan di bagian bawah, di pergelangan kaki sebelah
kanan, medial kiri jempol anterior, 4 jari di belakang saling berhadapan) selama 24 dtk).
18) Lakukan passive ROM, fleksi plantar pergelangan kaki dan dorsofleksi 3 kali (pegang
pergelangan kaki dengan tangan kiri, lakukan sedikit daya tarik dari pergelangan kaki, dan
letakkan tumit pada tangan kanan tepat di bawah bola kaki); 12 dtk
19) Passive ROM pada pergelangan kaki lingkaran searah jarum jam 3 kali (pegang
pergelangan kaki dengan tangan kiri, lakukan sedikit tarikan pergelangan kaki, dan letakkan
tumit pada tangan kanan tepat di bawah bola kaki); 18 dtk
20) Lakukan passive ROM, fleksi plantar pergelangan kaki dan dorsofleksi 3 kali (pegang
pergelangan kaki dengan tangan kiri, lakukan sedikit daya tarik dari pergelangan kaki, dan
letakkan tumit pada tangan kanan tepat di bawah bola kaki); 12 dtk
21) Lakukan 3 kali goresan gesekan sentripetal dari jari kaki sampai lutut; 24 dtk.

Comparison

Outcome
Penelitian ini menunjukkan rata-rata usia pada masing-masing kelompok intervensi yaitu
55 tahun dan kelompok control 52 tahun. Sebanyak 6 orang berjenis kelamin laki-laki pada
kelompok intervensi dan 5 orang pada kelompok control. Sebanyak 6 orang berjenis kelamin
perempuan pada kelompok intervensi dan 9 orang pada kelompok control. Sebagian besar pasien
pada kelompok intervensi menunjukkan penyebab dari gagal ginjal adalah hipertensi dan
diabetes, sedangkan pada kelompok control penyebab dari gagal ginjal adalah hipertensi,
glomerulonephritis dan diabetes. Rata-rata pasien pada kelompok intervensi menjalani
hemodialisa selama 3.9 tahun dan 9.9 tahun pada kelompok control.
Pada jurnal disebutkan efektivitas massage intradialitic pada pasien dengan kram otot
mendeteksi efek yang sangat kuat (p = .005). Pada jurnal dilaporkan penurunan episode di rumah
kram yang signifikan oleh 1,3 pada kelompok intervensi dan 0,2 pada kelompok kontrol (p =
0,005). Pasien juga melaporkan penurunan episode kram saat dialysis dari 0,8 pada kelompok
intervensi dan 0,4 pada kelompok control. Penurunan kejadian kram otot saat dialisis mencapai
signifikansi sekitar 40% di antara pasien yang mendapat pijatan. Statistik Kram di rumah
mengalami penurunan sekitar 80% dan selama dialysis.

Time
Studi ini dilakukan pasien yang menjalani dialisis di jaringan Centers for Dialysis Care di
Cleveland, OH yang mengalami kram otot selama proses hemodialisis. Penelitian ini dilakukan
setiap jadwal hemodialisa yang rata-rata 3 kali dalam seminggu selama 2 minggu atau sekitar 6
sesi. Prosedur massage dilakukan sekitar 20 menit yang dibagi menjadi 4 menit 10 detik 1 kali
massage, dan dilakukan 2 kali pada masing-masing kaki serta ekstra waktu 50 detik pada ukuran
kaki yang bervariasi. Jurnal penelitian ini diterbitak oleh Journal of Therapeutic Massage and
Bodywork pada bulan Juni 2016.

3.2 Implikasi keperawatan


Sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan (Care giver)
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan
memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian
pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan. Pemberian asuhan
keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks. Dalam hal penanganan
kram otot pada pasien hemodialisis berperan dalam penanganan gangguan rasa nyaman. Perawat
dapat memberikan tindakan keperawatan seperti massage intradialitic. Selain itu banyak hal-hal
yang dilakukan perawat dalam mengantisipasi kondisi kram otot misalnya saja memastikan
memantau tanda-tanda vital pasien.
Sebagai Advokasi
Perawat mempunyai peran penting sebagai advokat untuk memastikan bahwa massage
intradialitic ini adalah upaya yang dilakukan untuk menangani kram otot pada pasien dilakukan
atas keinginan pasien beserta keluarga dan perawat juga berperan memastikan bahwa pasien dan
keluarga mendapatkan informasi yang diperlukan tentang kram otot dan efek samping dari
tindakan massage intradialitic.
Sebagai Edukator
Sebagai edukator perawat berperan dalam pemberian pendidikan berupa informasi tentang
alat yang dibutuhkan, prosedur dan tujuan dilakukan massage intradialisis pada pasien yang
megalami kram otot. Pemahaman ini diperlukan juga untuk membantu menangani kecemasan,
mengatasi nyeri dan meningkatkan kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisa.
BAB IV
PENUTUP

3.1 Simpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai