Oleh :
NI PUTU EKA SINTIA DEWI ASTITI
1202106023
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui efektivitas intradialytic massage untuk mengatasi keram kaki
pada pasien yang menjalani hemodialisa.
1.3.2 Untuk mengetahui implikasi keperawatan yang dapat dilakukan dalam penerapan
efektivitas intradialytic massage untuk mengatasi keram kaki pada pasien yang
menjalani hemodialisa
1.4 Manfaat
1.4.1 Dapat memahami bagaimana efektivitas intradialytic massage untuk mengatasi
keram kaki pada pasien yang menjalani hemodialisa.
1.4.2 Dapat memahami implikasi keperawatan yang dapat dilakukan dalam penerapan
efektivitas intradialytic massage untuk mengatasi keram kaki pada pasien yang
menjalani hemodialisa
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5) Nyeri dada
Frekwensi nyeri dada saat hemodialisis adalah 2-5% dari keseluruhan hemodialisis
(Holley, Berns & Post, 2007; Daugirdas, Blake & Ing, 2007; Teta, 2008). Lebih lanjut Daugirdas,
Blake dan Ing (2008) menyebutkan bahwa nyeri dada hebat saat hemodialisis frekwensinya
adalah 1-4%. Nyeri dada saat hemodialisis dapat terjadi pada pasien akibat penurunan hematokrit
dan perubahan volume darah karena penarikan cairan (Kallenbach, et al, 2005). Perubahan dalam
volume darah menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah miokard dan mengakibatkan
berkurangnya oksigen miokard.
Nyeri dada juga bisa menyertai komplikasi emboli udara dan hemolisis (Kallenbach, et
al, 2005; Thomas, 2003). Nyeri dada saat hemodialisis dapat menimbulkan masalah keperawatan
penurunan curah jantung, gangguan rasa nyaman dan intoleransi terhadap aktifitas. Nyeri dada
yang terjadi perlu dicegah dan diatasi oleh perawat. Observasi monitor volume darah dan
hematokrit dapat mencegah resiko timbulnya nyeri dada. Perawat dapat berkolaborasi
memberikan nitroglisernin dan obat anti angina untuk mengurangi nyeri dada (Kallenbach, et al,
2005). Pemberian oksigen, menurunkan Qb dan TMP juga meringankan nyeri dada.
7) Hipertensi intradialisis
Sedikit pasien bisa mengalami hipertensi intradialisis (Hudak & Gallo, 1999). Pasien
yang mungkin normotensi sebelum dialisis dapat menjadi hipertensi selama dialisis.
Peningkatannnya dapat terjadi secara bertahap atau mendadak. Pasien dikatakan mengalami
hipertensi jika memiliki tekanan darah 140/90 mmHg (Corwin, 2008). Sedangkan hipertensi
intradialisis adalah apabila tekanan darah saat dialisis 140/90 mmHg atau terjadi peningkatan
tekanan pada pasien yang sudah mengalami hipertensi pradialisis. Pasien juga dikatakan
mengalami hipertensi intradialisis jika nilai tekanan darah rata-rata (Mean Blood Pressure/ MBP)
selama hemodialisis 107 mmHg atau terjadi peningkatan MBP pada pasien yang nilai MBP
pradialisis diatas normal. WHO (dalam Schmig, Eisenhardt, & Ritz, 2001) menyebutkan bahwa
pasien memiliki tekanan darah normal dengan MBP dibawah 107 mmHg.
Penyebab hipertensi intradialisis adalah kelebihan cairan, syndrome diseqilibrium, dan
respon renin terhadap ultrafiltrasi (Hudak & Gallo, 1999; Kallenbach, et al, 2005; Tomson,
2009). Lebih lanjut Kallenbach, et al (2005) menyebutkan bahwa overhidrasi pradialisis akan
meningkatkan cardiac output, meningkatkan resistensi vaskuler yang mengakibatkan hipertensi.
Peningkatan renin yang mencetuskan hipertensi juga terjadi pada pasien usia tua dan muda
karena respon penurunan aliran darah dan penggunaan dialiser dengan luas permukaan yang
kecil. Faktor lain yang berhubungan dengan timbulnya hipertensi saat hemodialisis adalah karena
adanya ansietas (Hudak & Gallo, 1999). Tomson (2009) juga menyebutkan bahwa penyebab
hipertensi intradialisis adalah vasokonstriksi karena peningkatan aktivitas saraf simpatis,
turunnya aktivitas nitric oxide activity, dan rendahnya vasodilator.
Patofisiologi terjadinya hipertensi saat hemodialisis lebih sering terjadi akibat
peningkatan tahanan perifer. Penelitian yang dilakukan oleh Landry, Oliver, Chou, Lee, Chen,
Chiou, Hsu, Chung, Liu & Fang (2006) menunjukkan bahwa pada pasien yang mengalami
intradialysis hypertension terjadi peningkatan tahanan perifer / perifer vascular resistance (PVR)
yang signifikan. Peningkatan resistensi vaskuler dapat dipicu oleh kelebihan cairan pradialisis
juga akan meningkatkan resistensi vaskuler. Akibatnya curah jantung meningkat, menyebabkan
peningkatan tekanan darah selama dialisis.
Meskipun tidak banyak dialami oleh pasien namun hipertensi intradialisis perlu
diwaspadai. Hipertensi intradialisis bisa mencetuskan sakit kepala dan meningkatkan
ketidaknyamanan pasien. Hipertensi intradialisis juga berkontribusi terhadap berkembangnya left
ventricular hypertrophy (LVH), pembesaran ruang jantung, peningkatan tekanan dinding
ventrikel, gangguan aliran darah jantung, iskemik miokard, fibrosis miokard, gagal jantung, dan
aritmia (Stephen, Thakur, Zhang & Reisin, 2003). Sebuah penelitian yang dilakukan pada 405
pasien hemodialisis juga menunjukkan bahwa pasien dengan tekanan darah sistolik > 160 mmHg
memiliki resiko mortalitas yang tinggi (Mazzuchi, Carbonell & Cean, 2000).
Hipertensi intradialisis dapat dicegah dengan edukasi tentang modifikasi gaya hidup
seperti penurunan berat badan, modifikasi diit, pembatasan garam dan cairan. Pengaturan Qb dan
menghindari pemakaian dialiser dengan luas permukaan yang kecil juga mencegah hipertensi
(FMNCA, 2007; Kallenbach, et al, 2005). Manajemen hipertensi intradialisis adalah observasi
tekanan darah dan nadi secara berkala, mengatur ulang Qb, UFR dan TMP.
8) Sindrom disequilibrium
Sindrom disequilibrium dimanifestasikan oleh sekelompok gejala yang diduga terjadi
karena adanya disfungsi serebral. Kumpulan gejala disfungsi serebral terdiri dari sakit kepala
berat, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran yaitu disorientasi sampai koma (Thomas,
2003). Sindrom disequilibrium tidak banyak dialami pasien saat hemodialisis. Sindrom
disequilibrium saat hemodialisis biasa terjadi pada pasien dengan kondisi tertentu yaitu: 1)
Pertama memulai dialisis; 2) Usia lanjut dan anak-anak; 3) Adanya lesi saraf pusat (akibat stroke
atau trauma) atau kondisi yang meningkatkan edema serebral (hipertensi berat, hiponatremi, dan
ensefalopati hepatik); 4) Kadar ureum pradialisis yang tinggi, dan 5) Asidosis metabolic yang
berat (Lopezalmaraz, 2008; Mailloux, Bern & Post, 2007; FMNCA, 2007). Disfungsi serebral ini
terjadi akibat edema serebral karena dialysis yang cepat dan perubahan pH serta osmolalitas
cairan (Lopezalmaraz, 2008).
Saat dialisis terjadi proses difusi salut melalui membran semipermeabel dialiser dan
dalam membran semipermeabel pada seluruh kompartemen tubuh dari kompartemen intraseluler,
interstistial dan intravaskuler. Proses difusi ini seharusnya sama agar terjadi keseimbangan.
Penarikan ureum yang terlalu cepat dari tubuh mengakibatkan plasma darah menjadi lebih
hipotonik dari pada cairan di dalam sel. Akibatnya akan meningkatkan tekanan osmotik. Hal ini
mengakibatkan perubahan signifikan pada cairan cerebrospinal dan sel otak. Perubahan tekanan
osmotik menyebabkan pergerakan air kedalam sel otak sehingga terjadi edema serebral.
Perubahan gradient CO2 antara cairan serebrospinal dan plasma juga menyebabkan penurunan
pH intraseluler dalam serebral dan jaringan otak. Perubahan ini meningkatkan osmolalitas sel
otak karena peningkatan konsentrasi H+. Edema otak akhirnya akan menyebabkan disfungsi
serebral (Thomas, 2003; Mailloux, Bern & Post, 2007; Lopezalmaraz, 2008)
Pencegahan sindrom disequilibrium bisa dilakukan perawat dengan cara: menggunakan
dialiser dengan luas membran <1,0 m2, mengatur Qb <200 ml/menit, hemodialisis harian sampai
nilai laboratorium normal, memperpanjang waktu dialisis dan menggunakan dialisat bicarbonat
dengan kadar natrium 145-150 mol/L (Thomas, 2003; Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Profilaksis
juga bisa dilakukan dengan memberikan obat yang bersifat osmosis (mannitol, glucose,
fructose). Pemberian infus manitol 2% 50 ml/jam yang ditambahkan dengan diazepam dapat
diberikan pada pasien yang beresiko (FMNCA, 2007)
9) Aritmia
Aritmia saat hemodialisis perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan disfungsi miokard
yang akan membahayakan pasien, bahkan mengakibatkan kematian. Aritmia dikarakteristikkan
dengan adanya perubahan pola denyut jantung dalam frekwensi, kekuatan dan atau iramanya
(Potter & Perry, 2005; Smeltzer, et al, 2008). Aritmia adalah komplikasi intradialisis yang jarang
dialami (Daugirdas, Blake & Ing, 2007; Teta, 2008). Namun penelitian pada 38 pasien CKD
dengan hemodialisis menunjukkan ventricular arrhythmias dialami 29% pasien (Narula,
Vivekanand, Bali, Sakhuja, & Sapru, 2000).
Aritmia saat hemodialisis dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu: adanya hipertensi,
penyakit jantung (LVH, gagal jantung, Ischemic heart disease), penarikan kalium yang
berlebihan dan terapi digoxin (Thomas, 2003; FMNCA, 2007). Lebih lanjut FMNCA (2007)
menyebutkan bahwa faktor lain yang dapat meningkatkan resiko terjadinya aritmia saat
hemodialisis adalah usia lanjut, penarikan volume cairan ekstraseluler yang berlebihan,
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, serta adanya disfungsi miokard. Aritmia juga bisa
meningkat pada kondisi cemas (Smeltzer, et al, 2008).
Aritmia dapat dicegah dengan menggunakan dialisat yang rendah natrium, menghentikan
terapi digoksin pada saat hemodialisis dan mengendalikan penyakit jantung. Aritmia yang terjadi
saat hemodialisis perlu atasi dengan: memonitor EKG secara berkala, monitor nilai kalium,
kalsium dan magnesium, serta memberikan terapi anti aritmia (Kallenbach, et al, 2005)
10) Hemolisis
Hemolisis adalah kerusakan atau pecahnya sel darah merah akibat pelepasan kalium
intraseluler (Thomas, 2003). Hemolisis dapat terjadi karena masalah kimia, termal dan
mekanikal. Masalah kimia terjadi karena adanya paparan bahan kimia dalam darah seperti
sodium hipoklorit, formaldehid, atau nitrat. Thermal hemolysis dapat terjadi karena dialisat yang
terlalu panas (diatas 42C). Sedangkan penyebab mekanis adalah peningkatan tekanan vena
akibat adanya sumbatan akses selang darah dan sumbatan pada pompa darah, peningkatan
tekanan negatif yang berlebihan karena penggunaan jarum yang kecil pada kondisi aliran darah
yang tinggi, atau posisi jarum yang tidak tepat. Penyebab lain hemolisis adalah penggunaan
dialisat hipotonik (Thomas, 2003; Kallenbach et al, 2005).
Hemolisis dapat bersifat akut dan kronis, mungkin ringan tapi juga bisa mengancam
nyawa dan memerlukan tindakan segara (Kallenbach et al, 2005). Apabila hemolisis terjadi,
pasien akan mengeluh rasa terbakar pada area akses vaskuler, nyeri dada, sesak nafas, kram,
mual dan muntah bahkan pingsan. Saat terjadi hemolisis darah dalam ekstracorporeal circuit
akan tampak lebih transparan dan lebih terang. Hemolisis massif meningkatkan resiko
hiperkalemi, aritmia dan henti jantung (Thomas, 2003).
Thomas (2003) dan Kallenbach, et al (2005) menyebutkan bahwa hemolisis dapat
dicegah dengan menggunakan low shearing pumps, memastikan tekanan vena tidak terlalu tinggi
dan mengatur ulang suhu dialisat. Saat hemolisis terjadi perawat perlu melakukan beberapa
tindakan yaitu: menghentikan pompa darah, menutup aliran, kolaborasi pemberian oksigen,
pemberian tranfusi serta pemeriksaan kalium dan sel darah merah.
2.3.2 Etiologi
Meskipun penyebab pasti kram otot tidak diketahui, beberapa faktor risiko telah
dikemukakan, diantaranya volume ultrafiltrasi sampai memperoleh berat kering yang berlebihan,
konsentrasi natrium darah rendah, magnesium tubuh rendah, dan defisiensi karnitin. Penyebab
yang paling sering dikaitkan adalah volume ultrafiltrasi berlebihan, baik karena memperoleh
hasil yang kurang dari berat kering, maupun kehilangan cairan dengan cepat dalam jumlah besar
sehingga` dapat mengakibatkan kram. Konsentrasi natrium yang rendah dalam tubuh juga dapat
menyebabkan kram. Ada banyak faktor yang secara langsung berkontribusi terhadap kram otot
pasien gagal ginjal kronis yang menerima dialisis termasuk penurunan volume cairan tubuh,
tekanan darah rendah (hipotensi), perubahan keseimbangan elektrolit dan air, rendahnya tingkat
natrium, oksigen yang tidak memadai, magnesium rendah dalam darah, kekurangan karnitin
(asam amino).
Kram sering terjadi pada pasien yang membutuhkan tingkat ultrafitrasi tinggi sehingga
menyebabkan penurunan perfusi otot dalam merespon hipovolemia. Perubahan keseimbangan
intra atau ekstraseluler kalium dan konsentrasi kalsium terionisasi dapat mengganggu transmisi
neuromuskular dan menghasilkan kram. Dalam artikel review tentang Kram Otot Intra Dialisis,
menyebutkan bahwa etiologi kram otot adalah sebagai berikut:
1) Hipotensi
Hipotensi Intra-dialytic (IDH) didefinisikan sebagai kegagalan dalam sistolik atau
tekanan arteri lebih dari 20 mmHg yang mengakibatkan gejala klinis, dan terjadi pada 20-30%
dari perawatan IDH. Ini adalah penyebab paling sering kram otot selama hemodialisis.
Etiologinya multifaktorial termasuk fungsi miskin jantung, gain cairan interdialytic, salah berat
badan ideal (IBW), UF berlebihan dan durasi pendek dari hemodialisis konvensional.
2) Hypoosmolality
Merupakan penyebab paling sering kedua dari kram otot selama hemodialisis. Perubahan
osmolaritas menyebabkan efek samping hemodialisis akut yang merugikan seperti hipotensi,
kejang otot, ketidakseimbangan osmotik
3) Gangguan elektrolit dan mineral
Gangguan pada elektrolit dan metabolisme mineral, seperti kalsium plasma meningkat,
fosfor, dan penurunan natrium, potasium dan magnesium tingkat bisa menyebabkan kram otot,
meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada hemodialisis dan dialisis peritoneal pasien.
Perubahan konsentrasi natrium plasma selama hemodialisis sangat mempengaruhi distribusi
antara volume cairan ekstraseluler dan intraseluler dan mengarah ke ultrafiltrasi yang lebih
efisien dan kram otot selama hemodialisis. Selain natrium; level kalsium dan fosfor dapat
menyebabkan kram otot. Telah dikemukakan bahwa hiperkalsemia, hiperfosfatemia,
hipermagnesamia dan hipomagnesemia bisa menyebabkan kram otot. Dalam sebuah studi lain,
pasien dengan level plasma fosfor dan kalsium cukup tinggi, risiko kram otot dan nyeri
ditemukan 20% meningkat bila dibandingkan dengan pasien yang memenuhi target.
4) Defisit Karnitin
L-karnitin adalah amina kuartener yang diketahui untuk mentransfer asam lemak rantai
panjang dari sitoplasma ke dalam matriks mitokondria untuk dioksidasi. Carnitine memainkan
peran penting dalam metabolisme energi. Ada pengurangan yang ditandai dalam produksi
karnitin di stadium akhir pasien penyakit ginjal, dan berkurang secara signifikan pada pasien
hemodialisis. L-karnitin secara luas dihapus oleh dialyser selama sesi dialisis tunggal, karena
berat molekul rendah senyawa dan hidrofilisitas tinggi dalam kombinasi dengan kurangnya
pengikatan protein. Pengobatan hemodialisis kronis telah terbukti berhubungan dengan
penurunan konsentrasi L-karnitin plasma dan jaringan dan akumulasi acylcarnitines.
5) Defisiensi Vitamin C
Tingkat vitamin C telah dilaporkan menjadi rendah di uremia, dan menunjukkan bahwa
subklinis deplesi vitamin C mungkin berkontribusi terhadap kram hemodialisis.
2.3.3 Penatalaksanaan
Strategi non-farmakologis dapat digunakan untuk mencegah kram pada pasien
hemodialisis. Volume kontraksi dan hiponatremia adalah faktor yang paling umum yang
menyebabkan kram sehubungan dengan prosedur hemodialisis itu sendiri. Untuk mencegah
masalah ini, dan hipotensi yang dihasilkan harus secara teratur mengevaluasi berat kering yang
tepat termasuk meminimalkan peningkatan berat badan pasien selama perawatan dialisis. Juga,
meningkatkan frekuensi hemodialisis, atau beralih ke dialisis peritoneal yang telah efektif dalam
mengurangi frekuensi kram. Jika kram terjadi selama dialisis, penting untuk menilai hipotensi.
-Dialisis terkait hipotensi dapat diobati melalui memperlambat atau menghentikan ultrafiltrasi,
berbaring di posisi Trendelenberg (telentang), atau mengurangi laju aliran darah.
Pijat lokal dari otot yang terkena dampak dan aplikasi sesuatu yang panas dan lembab
dapat memberikan beberapa kenyamanan. Strategi berisiko rendah lainnya termasuk melakukan
latihan peregangan sebelum dialisis, melakukan olahraga ringan seperti naik sepeda stasioner
selama dialisis atau sebelum tidur, meminimalkan alkohol dan kafein, dan menjaga bed cover
longgar dan tidak terselip di untuk mencegah kram. Panas lokal (termasuk mandi atau mandi)
atau es, pijat, berjalan atau kaki bergoyang diikuti oleh elevasi kaki, metode lain yang dilaporkan
untuk membantu meringankan kram otot.
Banyak dari strategi pengobatan sama dengan yang digunakan untuk mengobati hipotensi
intradialytic:
1) Manuver fisik seperti pijat otot betis dan dorsofleksi kaki sangat membantu
2) Pengobatan segera adalah untuk meningkatkan volume intravaskular dengan mengganggu
atau memperlambat ultrafiltrasi dan administrasi saline, manitol atau glukosa. Selain
mempengaruhi pergeseran intravaskular air, larutan hipertonik dapat langsung meningkatkan
aliran darah ke otot-otot.
3) Penggunaan natrium dialisat, kalium atau kalsium modifikasi. Konsep individualisasi
komposisi dialisat tampaknya menjadi metode pencegahan yang baik.
4) Pengkajian ulang cermat dari berat kering, konseling pasien untuk mengurangi berat badan
interdialytic dan menggunakan dialisis bikarbonat.
Gerakan Terpadu
Gerakan terpadu dilakukan terbatas pada pengurutan lengan, tangan dan kaki yaitu pada
sendi, baik gerakan ke muka, ke belakang atau memutar. Macam gerakan :
a. Gerakan pasif dari pergelangan, dilakukan dengan cara melengkungkan tangan ke
belakang. Gerakan serupa dapat dilakukan pada jari-jari kaki atau pada kaki
b. Gerakan ke arah telapak tangan secara pasif dilakukan dari pergelangan dengan
melengkungkan tangan ke bawah. Gerakan serupa dapat dilakukan pada jari-jari tangan
dan kaki
c. Gerakan memutar jari-jari secara pasif. Gerakan serupa dapat dilakukan untuk lengan
bawah, jari kaki atau kaki
2.4.6 Kontraindikasi Pijat pada Berbagai Kondisi
Tahapan kontraindikasi perlu dilakukan sebelum perawatan tubuh secara massage
dilakukan, dengan tujuan untuk mengetahui kelainan atau kelunakan yang ada di dalam tubuh
klien. Dengan kontraindikasi dapat ditentukan volume atau tekanan gerakan atau tekanan
gerakan pijat yang sesuai dengan kondisi tubuh atau bagian tubuh tertentu dari tubuh klien
tersebut. Pada kontraindikasi dapat dilakukan pemeriksaan antara lain:
1. Refleksi dan relaksasi otot
Refleksi dan relaksasi otot dilakukan dengan menyentuh, meraba dan menekan pada bagian-
bagian tubuh sehingga dapat diketahui apakah ada yang memar, bengkak, nyeri,
penggumpalan jaringan lemak atau selulit, tekstur kulit dan tonus susunan otot.
Contohnya: Thrombo-Phlebitis dan kondisi sejenis yaitu radang dari pembuluh darah vena.
Kulit di sekitarnya tampak kemerahan, panas, dan bengkak. Jika kulit sekitarnya disentuh,
terasa lembek dan sakit. Jika terbentuk gumpalan darah beku di dalam vena, maka dengan
pemijatan gumpalan tersebut akan bergerak dan bisa berakibat fatal (kematian) jika
menggumpal di dalam vena.
2. Temperatur Tinggi / Demam
Tubuh dalam keadaan demam akan mengeluarkan toksin. Maka tidak dianjurkan melakukan
pemijatan, karena akan memicu produksi toksin di dalam tubuh.
3. Infeksi Penyakit Kulit
Penyakit kulit sejenis jerawat dan eksim tidak menular, bahkan akan sembuh dengan
menggunakan minyak esensial lavender. Pijat dilarang untuk permukaan kulit yang
menderita radang di bawah kulit seperti bisul.
4. Bekas Luka atau Operasi Baru
Bekas luka yang masih baru atau luka terbuka pada klien sebaiknya tidak dipijat pada bagian
tersebut.
5. Kondisi Peradangan (Bursitis)
Gejala di bagian peradangan adalah warna kemerahan, terasa panas, lunak dan sakit jika
disentuh dan sebaiknya bagian yang meradang tersebut dilarang dipijat.
6. Kanker
Pijat yang lembut bermanfaat bagi para pasien kanker. Produksi hormon edorfin sebagai
reaksi pemijatan, dapat meredakan rasa sakit yang disebabkan kanker.
BAB III
RINGKASAN JURNAL
BAB IV
PEMBAHASAN
Intervention
Pada kelompok intervensi dilakukan massage selama 20 menit oleh terapis pijat
berlisensi terlatih selama setiap menjalani perawatan hemodialisis yaitu sekitar enam sessi pijat
selama 2 minggu. Sebelum melakukan pemijatan perlu dilakukan pemeriksaan untuk
menentukan kondisi klinis. Pasien dialisis yang menerima perawatan massage untuk mengatasi
kram otot diminta menahan diri untuk tidak makan selama sesi pijat. Pijat dilakukan pada telapak
kaki, betis sampai lutut. Pijat yang dilakukan diantaranya gerakan gesekan sentripetal, pengaduk
dan kompresi titik ke perut, dan persendian otot myotendinous. Adapun langkah-langkah dalam
melakukan massage intradialisis antara lain:
Massage intaradialitic dimulai dengan kaki kiri dan selesai di kaki kanan, rutin dilakukan 2 kali
pada kaki kiri lalu kaki kanan, sampai total 20 menit. Total waktu yang diperlukan selama 4
menit 10 detik. Ulangi langkah-langkah ini total 2 kali pada setiap kaki).
1) Mulailah dengan sentuhan pasif, pegang tumit kiri pasien dengan tangan kiri, tangan kanan
pada jari telunjuk posterior di belakang lutut; 5 dtk.
2) Tempatkan krim/minyak pada kaki dengan 8 goresan gesekan sentripetal bergantian dari
distal ke proksimal (telapak kaki sampai lutut) dimulai dengan kiri.
3) Tangan kiri diletakkan pada kaki bawah posterior dan tangan kanan di atas. Jari tangan kiri
di bagian medial anterior betis, 4 jari di punggung betis.
4) Jari tangan kanan pada bagian lateral anterior betis, 4 jari di bagian belakang betis; 2 kali
selama 35 detik
5) Lakukan tiga goresan gesekan sentripetal dengan tangan bersama dari pergelangan kaki
sampai lutut (jempol anterior, 4 jari di punggung saling berhadapan) selama 12 dtk
6) Telapak tangan meremas dari pergelangan kaki sampai lutut mengompres dan mengangkat
(aspek posterior dan lateral kaki bagian bawah) 3 kali selama 18 dtk
7) Lakukan tiga goresan gesekan sentripetal dengan tangan bersama dari pergelangan kaki
sampai lutut (jempol anterior, 4 jari di punggung saling berhadapan) selama 12 dtk
8) Tekanan puncak di atas lutut (superior medial ke patela pada tendon), kondilus femoralis
lateral dan medial, dan di bawah lutut (Inferior terhadap patella di persimpangan femoral-
tibialis) tahan selama 3 detik
9) Lakukan kompresi/penekanan di atas betis (lampiran proksimal gastrocnemius) tangan
kanan lateral, penahan medial kiri selama 3 detik.
10) Lakukan kompresi/penekanan tengah betis (perut soleus) tahan selama 3 detik
11) Lakukan kompresi/penekanan bagian bawah betis (sambungan musculotendinous tendon
gastronemus dan soleous -Achilles) tahan selama 3 detik
12) Lakukan kompresi/penekanan ke permukaan plantar dan dorsal kaki; 12 dtk
13) Lakukan tiga goresan gesekan sentripetal dengan tangan bersama dari pergelangan kaki
sampai lutut (jempol anterior, 4 jari di punggung saling berhadapan) selama 12 dtk
14) Lakukan peremasan pada jari kaki secara digital; 12 dtk
15) Lakukan tiga goresan gesekan sentripetal dengan tangan bersama dari pergelangan kaki
sampai lutut (tangan kiri di atas kaki, kanan di bagian bawah, di pergelangan kaki sebelah
kanan, medial kiri jempol anterior, 4 jari di belakang saling berhadapan) selama 24 dtk).
16) Lakukan peremasan dari pergelangan kaki sampai lutut (aspek posterior dan lateral kaki
bagian bawah) 3 kali selama 18 dtk
17) Lakukan tiga goresan gesekan sentripetal dengan tangan bersama dari pergelangan kaki
sampai lutut (tangan kiri di atas kaki, kanan di bagian bawah, di pergelangan kaki sebelah
kanan, medial kiri jempol anterior, 4 jari di belakang saling berhadapan) selama 24 dtk).
18) Lakukan passive ROM, fleksi plantar pergelangan kaki dan dorsofleksi 3 kali (pegang
pergelangan kaki dengan tangan kiri, lakukan sedikit daya tarik dari pergelangan kaki, dan
letakkan tumit pada tangan kanan tepat di bawah bola kaki); 12 dtk
19) Passive ROM pada pergelangan kaki lingkaran searah jarum jam 3 kali (pegang
pergelangan kaki dengan tangan kiri, lakukan sedikit tarikan pergelangan kaki, dan letakkan
tumit pada tangan kanan tepat di bawah bola kaki); 18 dtk
20) Lakukan passive ROM, fleksi plantar pergelangan kaki dan dorsofleksi 3 kali (pegang
pergelangan kaki dengan tangan kiri, lakukan sedikit daya tarik dari pergelangan kaki, dan
letakkan tumit pada tangan kanan tepat di bawah bola kaki); 12 dtk
21) Lakukan 3 kali goresan gesekan sentripetal dari jari kaki sampai lutut; 24 dtk.
Comparison
Outcome
Penelitian ini menunjukkan rata-rata usia pada masing-masing kelompok intervensi yaitu
55 tahun dan kelompok control 52 tahun. Sebanyak 6 orang berjenis kelamin laki-laki pada
kelompok intervensi dan 5 orang pada kelompok control. Sebanyak 6 orang berjenis kelamin
perempuan pada kelompok intervensi dan 9 orang pada kelompok control. Sebagian besar pasien
pada kelompok intervensi menunjukkan penyebab dari gagal ginjal adalah hipertensi dan
diabetes, sedangkan pada kelompok control penyebab dari gagal ginjal adalah hipertensi,
glomerulonephritis dan diabetes. Rata-rata pasien pada kelompok intervensi menjalani
hemodialisa selama 3.9 tahun dan 9.9 tahun pada kelompok control.
Pada jurnal disebutkan efektivitas massage intradialitic pada pasien dengan kram otot
mendeteksi efek yang sangat kuat (p = .005). Pada jurnal dilaporkan penurunan episode di rumah
kram yang signifikan oleh 1,3 pada kelompok intervensi dan 0,2 pada kelompok kontrol (p =
0,005). Pasien juga melaporkan penurunan episode kram saat dialysis dari 0,8 pada kelompok
intervensi dan 0,4 pada kelompok control. Penurunan kejadian kram otot saat dialisis mencapai
signifikansi sekitar 40% di antara pasien yang mendapat pijatan. Statistik Kram di rumah
mengalami penurunan sekitar 80% dan selama dialysis.
Time
Studi ini dilakukan pasien yang menjalani dialisis di jaringan Centers for Dialysis Care di
Cleveland, OH yang mengalami kram otot selama proses hemodialisis. Penelitian ini dilakukan
setiap jadwal hemodialisa yang rata-rata 3 kali dalam seminggu selama 2 minggu atau sekitar 6
sesi. Prosedur massage dilakukan sekitar 20 menit yang dibagi menjadi 4 menit 10 detik 1 kali
massage, dan dilakukan 2 kali pada masing-masing kaki serta ekstra waktu 50 detik pada ukuran
kaki yang bervariasi. Jurnal penelitian ini diterbitak oleh Journal of Therapeutic Massage and
Bodywork pada bulan Juni 2016.
3.1 Simpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA