Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Ketika ginjal mengalami kerusakan maka ginjal tidak dapat membersihkan tubuh
dari sisa – sisa metabolisme. Sisa – sisa metabolisme serta kelebihan air menumpuk dan
lama – kelamaan menjadi banyak didalam darah yang disebut uremia.1 Gagal ginjal
kronik berarti kehilangan fungsi ginjal yang dapat terjadi secara cepat atau lambat dalam
beberapa tahun. End stage renal disease (ESRD) terjadi ketika ginjal mengalami
kerusakan tahap akhir dan ginjal tidak dapat bekerja dengan baik untuk menjaga
keseimbangan zat – zat kimia tubuh yang diperlukan untuk hidup.1

Gambar 1. Sistem urinarius6

Di negara berkembang, morbiditas dan mortalitas pasien dengan end stage renal
disease (ESRD) masih tinggi dengan angka mortalitas sekitar 22%. Jumlah pasien gagal
ginjal yang diterapi dengan dialisis dan transplantasi diprediksi terus meningkat dari
340.000 pada tahun 1999 dan mencapai 651.000 pada 2010. Tingginya morbiditas dan
mortalitas ini dapat diturunkan secara bermakna jika pasien secara dini mendapat renal
replacement therapy (RRT). Selain itu, dengan peningkatan pengetahuan proses
penyakit ini, pandangan baru tentang patogenesis dan pilihan terapi yang baru dapat

1
meningkatkan angka ketahanan hidup dan kualitas hidup pada pasien ESRD. Sampai
saat ini ada tiga jenis RRT, yaitu hemodialisis (HD), dialisis peritoneal dan transplantasi
ginjal. Sudah lebih dari 35 tahun RRT dengan cara dialisis dan transplantasi ini dapat
memperpanjang hidup ratusan dari ribuan pasien ESRD. Pilihan terapi yang tersedia
untuk pasien gagal ginjal bergantung pada onset-nya, akut atau kronik. Pada gagal ginjal
kronik atau ESRD pilihan terapi meliputi hemodialisis, dialisis peritoneal atau
transplantasi ginjal.2
Pada anak dengan End Stage Renal Disease (ESRD), transplantasi ginjal dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien, namun terapi dialisis seringkali dilakukan sebagai
terapi sementara untuk memperpanjang hidup pasien sampai transplantasi ginjal dapat
dilakukan.1 Setidaknya 2,6 juta orang dewasa dan anak-anak diseluruh dunia dengan
ESRD menerima dialisis sebagai pengobatan penyakit ginjal tahap akhir.2 Secara global,
hampir 90% pasien dialisis jangka panjang menerima hemodialisis (HD) dan sisanya
menerima dialisis peritoneal (PD).3
Tujuan tata laksana gagal ginjal terminal pada anak adalah memperpanjang usia
dan memberikan kehidupan yang berkualitas. Saat ini penanganan gagal ginjal terminal
dapat dianggap sebagai suatu siklus yang berulang dan bukan lagi peralihan dari gagal
ginjal praterminal ke dialisis dan berakhir pada transplantasi. Anak dengan gagal ginjal
praterminal dapat langsung menjalani transplantasi atau menjalani dialisis dahulu
sebelum transplantasi.4

Gambar 2. Model sirkular penanganan gagal ginjal terminal6

2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi
Hemodialisis pertama kali diperkenalkan pada anak dan remaja dengan gagal
ginjal kronik dilaporkan oleh Hutching dkk, pada sekitar tahun 1966 yang kemudian diikuti
perkembangan teknologi yang pesat dan penanganan terkini dalam bidang hemodialisis
pada anak dalam 20 tahun belakangan ini. Di Inggris, anak dengan chronic kidney
disease (CKD) yang mendapat terapi dengan peritoneal dialisis hampir dua kali lipat
jumlahnya dibanding hemodialisis. Hemodialisis menjadi tantangan tersendiri pada anak
karena adanya kesulitan seperti volume ekstrakorporeal dan mempertahankan akses
vaskuler.5
Di Inggris, keputusan untuk memulai terapi pengganti ginjal/renal replacement
therapy (RRT) pada anak adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 15
mL/menit/1,73 m2 atau anak memiliki gejala uremia, over load cairan atau gagal tumbuh
meskipun dengan terapi yang adekuat. Tindakan dialisis baik peritoneal dialisis maupun
hemodialisis harus dilakukan sebelum LFG mencapai 10 mL/menit/1,73 m 2. Tindakan
dialisis harus dilakukan dini bila ditemukan osteodistrofi ginjal, gangguan pertumbuhan
dan perkembangan, atau gagal jantung. Waktu yang optimal bervariasi antar pasien dan
tidak hanya dibutuhkan penilaian fungsi ginjal, keadaan cairan tubuh, atau kelainan
biokimiawi, namun juga kesehatan psikososial dan fisik. Pada beberapa anak dengan
kelainan struktur ginjal, fungsi ginjal masih dapat stabil beberapa tahun sehingga hanya
memerlukan pengobatan dan diet.5 .,/.
Dialisis adalah suatu proses perubahan komposisi zat terlarut dalam suatu larutan
A saat dipaparkan pada larutan B melalui membran semipermiabel.6 Pemilihan cara
dialisis berbeda – beda di setiap negara bergantung pada tenaga ahli dan fasilitas yang
tersedia. Dialisis kronik, baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal sudah dapat
dilakukan pada anak.3
Hemodialisis (HD) adalah merupakan suatu proses pemindahan zat toksin dari
darah melalui membran semipermiabel didalam ginjal buatan yang disebut dialiser dan

3
selanjutnya dibuang melalui cairan dialisis yang disebut dialisat. Sistem hemodialisis
terdiri dari 3 elemen dasar, yaitu sistem sirkulasi darah diluar tubuh (ekstra korporeal),
dialiser, dan sistem sirkulasi dialisat. Hemodialisis relatif lebih sulit dilakukan pada anak
karena masalah yang berhubungan dengan akses pembuluh darah dan resiko yang
disebabkan karena ketidakseimbangan hemodinamik.5

2.2 Epidemiologi
Insidensi didunia pada anak – anak < 20 tahun dengan ESRD yang memerlukan
RRT adalah sebesar 9 pmarp (per million of age-related population), sementara
prevalensinya sebesar 65 pmarp. Data dari North American Pediatric Renal Trials and
Collaborative Studies (NAPRTCS) menunjukkan bahwa 15,5% anak dengan ESRD
menjalani dialisis, sedangkan di Italia adalah sebesar 12,5%. Di Finlandia sebanyak 47%
anak menjalani dialisis, diduga karena tingginya angka kejadian sindroma nefrotik
kongenital.7
Kejadian PGK di setiap negara berbeda dan diperkirakan kejadian PGK lebih tinggi
dari data yang ada karena banyak kasus yang tidak terdeteksi.8 Penelitian Italkid-project
melaporkan prevalens PGK pada anak mencapai 12,1 kasus/tahun/1 juta anak dengan
rentang usia 8,8-13,9 tahun atau 74,4 per satu juta pada populasi yang sama. Prevalens
PGK stadium I dan II dilaporkan mencapai 18,5-58,3 per satu juta anak. Penelitian
multisenter di Turki melaporkan insidens PGK mencapai 10,9 kasus per satu juta anak,
dengan mayoritas stadium V (32,5%), stadium IV (29,8%), dan stadium III (25,8%).
Sekitar 68% anak dengan PGK berkembang menjadi GGT (gagal ginjal terminal) pada
usia 20 tahun. Anak dengan GGT mempunyai angka kelangsungan hidup sekitar 3%
pada usia 20 tahun. Di Amerika Utara, prevalens GGT meningkat 32% sejak tahun
1990.8
Angka kejadian penyakit ginjal kronik pada anak di Indonesia yang bersifat
nasional belum ada. Pada penelitian di 7 Rumah Sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak
di Indonesia didapatkan 2% dari 2.889 anak yang dirawat dengan penyakit ginjal (tahun
1984-1988) menderita penyakit ginjal kronik. Di RSCM Jakarta antara tahun 1991 sampai
tahun 1995 ditemukan GGK sebesar 4,9% dari 668 anak penderita penyakit ginjal yang

4
dirawat inap dan 2,6% dari 865 penderita penyakit ginjal yang berobat jalan. Tahun 2006
dan 2007 dijumpai 382 pasien PGK yang berobat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSCM Jakarta.8

2.3 Prinsip Dasar Hemodialisis


Pada ginjal normal, air dikeluarkan dari darah secara ultrafiltrasi, sedangkan solut
dikeluarkan melalui proses konveksi. Solut dengan berat molekul (BM) < 40.000 Dalton
dapat bebas melewati membran basal glomerulus, sedangkan protein plasma yang
mempunyai BM lebih besar tidak dapat melewatinya. Prinsip inilah yang digunakan pada
hemodialisis dengan mengambil peran glomerulus oleh alat yang disebut dialiser.
Membran semipermiabel pada dialiser memungkinkan pergerakan air dan molekul
dengan BM rendah dan menghambat pergerakan molekul yang lebih besar. Transfer
solut (clearance) terjadi secara difusi serta konveksi dan air dikeluarkan secara
ultrafiltrasi.9
2.3.1 Difusi
Difusi adalah pergerakan zat – zat terlarut dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi
rendah. Kecepatan difusi dipengaruhi oleh berat molekul, suhu larutan yakni
dialisat, permeabilitas membran, gradien konsentrasi transmembran, dan muatan
listrik solut. Luas permukaan membran juga berperan dalam difusi. 6 Gradien
konsentrasi transmembran dipertahankan dan dioptimalisasikan dengan
kecepatan aliran darah dan dialisat dengan arah yang berlawanan (counter
current). Selain sebagai mekanisme utama dalam pengeluaran zat – zat terlarut,
difusi juga membantu pembentukan bikarbonat dalam plasma.9
2.3.2 Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi adalah proses pergerakan air melalui membran karena perbedaan
tekanan osmotik dan hidrostatik yang ditimbulkan oleh tekanan transmembran
didalam kompartemen dialisat. Kecepatan ultrafiltrasi tersebut dipengaruhi oleh
luas permukaan membran, struktur dan tebal dialiser, kecepatan aliran darah,
serta tekanan hidrostatik dan onkotik transmembran.9

5
a) Ultrafiltrasi hidrostatik
Pergerakan air terjadi dari kompartemen yang bertekanan hidrostatik tinggi ke
kompartemen yang bertekanan hidrostatik rendah. Ultrafiltrasi ini bergantung
pada6,10
1. Tekanan transmembran (Transmembrane pressure = TMP).
Saat hemodialisis, air bersama zat terlarut berukuran kecil bergerak dari
darah ke dialisat dalam dialiser karena gradien tekanan hidrostatik antara
darah dan kompartemen dialisat. Kecepatan ultrafiltrasi ini bergantung pada
perbedaan tekanan total melewati membran.6
2. Koefisian ultrafiltrasi (Kuf).
Permeabilitas membran dialiser terhadap air dapat bervariasi dan fungsinya
bergantung pada ukuran pori dan tebal membran. Permeabilitas membran
terhadap air ditunjukkan oleh koefisien ultrafiltrasi Kuf, yaitu jumlah milliliter
cairan per jam yang akan dipindahkan melalui membran per mmHg gradien
tekanan.6
b) Ultrafiltrasi onkotik
Perpindahan air terjadi dari kompartemen yang bertekanan osmotik rendah ke
kompartemen yang bertekanan osmotik tinggi sampai tercapai keseimbangan
tekanan osmotik di kedua kompartemen.11

2.3.3 Konveksi
Konveksi adalah pergerakan pasif zat – zat terlarut yang terbawa oleh pergerakan
air karena perbedaan tekanan hidrostatik dengan osmotik. Kecepatan ultrafiltrasi
dan koefisien dialiser ikut mempengaruhi mekanisme ini.12

6
Gambar 3. Proses difusi dan ultrafiltrasi6
Zat terlarut berat molekul kecil dapat melewati membran semipermeabel

2.4 Indikasi Medis Dialisis


Pada umumnya dialysis dimulai jika eGFR sudah menurun hingga 10
mL/menit/1,73 m2. Namun, evaluasi terhadap kebutuhan dialisis harus dimulai lebih dini
saat eGFR 15 – 20 mL/menit/1,73 m2. Masalah pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal disertai kelebihan cairan, hiperkalemia, dan gagal tumbuh mungkin menyebabkan
perlunya dialysis dimulai lebih cepat.12 Pada tabel 1 dapat dilihat indikasi untuk
dilakukannya terapi sulih ginjal (Renal Replacement Therapy).12

7
Tabel 1. Komplikasi yang memerlukan inisiasi segera untuk terapi sulih ginjal (Renal
Replacement Therapy)12

Hipertensi dan atau kelebihan cairan ekstraseluler yang intraktabel.


Hiperkalemia refrakter terhadap restriksi diet dan terapi farmakologi.
Asidosis metabolic refrakter dengan terapi bikarbonat.
Hiperfosfatemia refrakter dengan terapi dietetik dan pengikat fosfat.
Anemia refrakter terhadap eritropoietin dan terapi besi.
Penurunan fungsi ginjal yang tidak diketahui penyebabnya.
Penurunan berat badan dan perburukan status gizi terutama yang disertai mual, muntah,
atau gejala gastroduodenitis lainnya.

Indikasi segera
Disfungsi neurologik : neuropati, ensefalopati, kelainan psikiatri.
Pleuritis dan perikarditis.
Diatesis hemoragik yang ditandai dengan masa perdarahan yang memanjang.

2.5 Akses Vaskular Hemodialisis (AVH)


Dalam proses hemodialisis diperlukan Akses Vaskuler (pembuluh darah)
Hemodialisis (AVH) yang cukup baik agar dapat diperoleh aliran darah yang cukup besar,
yaitu diperlukan kecepatan darah sebesar 200-300 ml/menit secara kontinu selama
hemodialisis 4-5 jam. Akses vaskular yang baik sangat penting untuk kesuksesan dialisis.
Akses vaskular yang ideal adalah akses vaskular yang mampu memberikan aliran yang
cukup untuk dialisis, mempunyai masa guna yang panjang, dan sedikit komplikasi.
Kebutuhan akses vaskular dibedakan atas akses sementara dengan akses permanen.
Akses sementara dapat dipergunakan dalam beberapa jam (dialisis tunggal) atau
beberapa bulan sampai menunggu fistula arteriovenosa matang.13
Akses hemodialisis pertama adalah Scribner shunt yang diperkenalkan pada
tahun 1960. Scribner shunt terdiri dari dua kanul eksternal, satu kanul pada arteri radialis

8
dan satu kanul pada vena cephalica. Dengan cara ini, 50% penderita memerlukan
pemasangan ulang dan 40% penderita mengalami komplikasi, para ahli kemudian
mencari metode lain untuk pemasangan akses hemodialisis. Akses vaskular untuk
hemodialisis kronik pada anak didapat dengan pembuatan fistula arteriovena /
arteriovenous fistula (AVF), arteriovenous graft (AVG), atau pemakaian cuffed central
venous catheter (CVC). Pilihan akses vaskular berdasarkan diagnosis, ukuran, resiko
prosedur, dan ketahanan jangka panjang.13

2.5.1 Akses arteriovenosa (Brescia-Cimino Shunt)


AVF pada umumnya dibuat antara arteri radialis dan vena sefalika pada
pergelangan tangan (Brescia-Cimino shunt), tetapi dapat juga pada fossa ante
cubiti, dan antara arteri dan vena pada ekstremitas bawah walaupun jarang. Tabel
2 menunjukkan lokasi fistula arteriovenosa.14

Tabel 2. Lokasi Fistula Arteriovena15

Arteri Vena Fistula

Radialis Sefalika Pergelangan tangan


Brakialis Sefalika Antekubiti
Brakialis Basilika Lengan bawah
Brakialis Basilika Lengan atas
Femoralis Savena Paha

AVF pada anak dengan berat badan > 20 kg dapat dilakukan tanpa banyak
kesulitan teknis, tetapi sangat sulit dilakukan pada anak yang lebih kecil.
Pendekatan bedah seperti pemakaian kaca pembesar atau mikroskop operasi
memberikan keberhasilan pembuatan AVF pada anak dengan berat badan 5 kg. 16
Fistula dibuat secara surgikal dengan cara melakukan anastomosis antara arteri
dan vena, maka tekanan yang lebih tinggi dalam vena akan menyebabkan

9
pelebaran vena sehingga akan memudahkan penusukan jarum dan aliran darah
yang tinggi saat dialisis. Fistula dapat dibuat dipergelangan tangan (radiosefalika
atau radiobasilika) seperti pada gambar 4, disiku (brakiosefalika), atau brakio
basilika seperti pada gambar 5. Fistula sebaiknya dibuat 6 minggu diawal supaya
matang (mature). Jarum ditempatkan proksimal dari fistula dengan jarum arteri
lebih distal daripada jarum vena. Pada tandur-alih (graft) arteriovenosa digunakan
conduit (suatu slang dari bahan prostetik) untuk menghubungkan arteri dan vena.
Cara ini memungkinkan penggunaan lebih awal dibanding fistula, tetapi dianjurkan
menunda 1 – 3 minggu untuk menunggu penyembuhan luka. Secara umum fistula
arteriovenosa lebih unggul karena kemungkinan timbulnya stenosis disebabkan
oleh hiperplasia intima lebih kecil dan lebih jarang terjadi infeksi.16

Gambar 4. Fistula Arteriovenosa (AV) Radiosefalik.16


Tampak aliran darah dan posisi dari jarum

10
Maturasi AVF pada anak – anak memerlukan waktu lebih lama dibandingkan
orang dewasa, mencapai 4 bulan pada beberapa penderita, sedangkan pada
remaja dan orang dewasa memerlukan waktu 6 minggu. Pengambilan darah vena
dan pengukuran tekanan darah pada ekstremitas ipsilateral terhadap AVF atau
AVG harus dihindari untuk mencegah tekanan berlebihan. Pada anak dengan
pembuluh darah yang hipereaktif, pemakaian calcium channel blocker seperti
amlodipin atau nifedipin dapat mengurangi resiko thrombosis.18

2.5.2 Arteriovenous Graft (AVG)


AVG memakai pembuluh darah sintetik untuk membuat anastomosis arteri vena
jika AVF gagal atau tidak dapat dilakukan seperti pada gambar 6. Poly tetra fluoro
ethylene (PTFE) merupakan pembuluh sintetik untuk AVG pada anak,
dikarenakan bio kompatibilitas yang lebih baik dibandingkan bahan yang lain. AVG
dapat digunakan 2-4 minggu setelah pemasangan dan ketahanan yang lebih tinggi
dibandingkan AVF. Sheth dkk menyebutkan bahwa angka kegagalan AVG adalah
3,7% dan AVF 33%.19,20 Sedangkan suatu penelitian di Inggris oleh Ramage dkk
menyebutkan bahwa angka kegagalan AVG sebesar 60% sedangkan AVF
sebesar 23%. Komplikasi jangka panjang AVG juga lebih besar dibandingkan
AVF. Resiko Komplikasi infeksi juga lebih tinggi sepuluh kali lipat pada AVG
dibandingkan AVF. Sebuah studi retrospektif membandingkan AVF dan AVG di 19
dan 23 pasien anak, masing-masing didapatkan peningkatan risiko trombosis,
stenosis, dan infeksi dengan AVG, tetapi tingkat kegagalan akses primer yang
lebih tinggi dengan AVF.21
Stenosis pada lokasi dekat anastomosis vena sering ditemukan dan pada anak –
anak dengan AVG pada daerah dengan aliran darah tinggi seperti AVG pada
daerah femoralis dapat beresiko mengakibatkan partumbuhan kaki yang tidak
simetris dan munculnya fenomena steal. Lokasi paling sering untuk pemasangan
AVG adalah pada lengan bawah dengan straight graft (arteri radialis – vena
brachialis) pada anak yang lebih kecil dan loop graft (arteri brachialis – vena
brachialis) untuk anak yang lebih besar. Lokasi alternative adalah lengan atas

11
(arteri brachialis – vena brachialis distal / vena aksilaris) dan paha (arteri femoralis
– vena femoralis).19,20

Gambar 5. Dua Tipe Graft AV.17


A. Graft lurus antara arteri radialis dan vena basilica
B. Graft lengkung antara arteri brakialis dan vena basilika

2.5.3 Akses Kateter Vena Sentral / Central Venous Catheter (CVC)


Kateter hemodialisis eksternal seringkali menjadi akses pertama pada anak
dengan ESRD, dan bagi beberapa penderita merupakan satu – satunya akses
vaskular yang dapat dibuat. Terdapat kecenderungan penurunan dalam hal
pemakaian CVC pada anak dengan ESRD, tetapi masih merupakan akses
vaskular yang umum dipakai. Data dari NAPRTCS menyebutkan hanya 11,4%
anak dengan hemodialisis kronik memakai fistula arteriovena / arteriovenous
fistula (AVF) dan 12,3% memakai arteriovenous graft (AVG) dan sisanya memakai
CVC sebagai akses vaskular. Faktor penting pemakaian CVC pada hemodialisis

12
adalah pemilihan lokasi kateter. Tidak dianjurkan pemasangan CVC pada vena
subklavia karena stenosis vena subklavia sering didapatkan setelah pemasangan
CVC. Schillinger dkk melaporkan rata – rata stenosis vena subklavia sebesar 42%
dibandingkan dengan stenosis pada vena jugularis interna sebesar 10%. 22
Akses vaskular untuk hemodialisis akut didapat dengan memakai kateter lumen
ganda tanpa katup yang dimasukkan ke dalam vena cava superior atau inferior,
memakai teknik Seldinger. Semakin besar ukuran kateter maka dialysis akan
semakin efisien tetapi resiko thrombosis meningkat. Rute femoral lebih disukai
untuk hemodialisis dengan pemakaian beberapa minggu. Semakin kecil anak,
maka penusukan pada vena subklavia akan meningkatkan resiko stenosis karena
diameter vena yang kecil. Hal ini penting karena pemasangan AVF pada
ekstremitas ipsilateral akan gagal karena adanya stenosis minor pada vena
subklavia. Jika akses vena femoralis tidak dapat dilakukan maka dilakukan
pemasangan kateter pada vena jugularis interna.23
Pemasangan CVC memerlukan perhatian khusus karena ukuran tubuh yang
berbeda dan ketidaksediaan ukuran kateter yang ideal. Perkiraan ukuran kateter
yang digunakan pada anak berdasarkan atas berat badan dapat dilihat pada tabel
3.

Tabel 3. Perkiraan ukuran kateter berdasarkan atas berat badan 23

Berat Badan Pasien (kg) Pilihan Kateter

< 10 7 atau 8 Fr dual lumen, 8 Fr dual lumen


10 – 20 7 Fr Tesio
20 – 25 10 Fr dual lumen, 10 Fr Ash-split
19 Fr Tesio
20 – 40 10 Fr Tesio
 40 11,5 atau 12,5 Fr dual lumen

13
Akses vaskular untuk hemodialisis dilakukan dengan insersi kateter per kutan ke
dalam vena besar (vena jugularis interna, femoral). Lokasi ini memiliki aliran darah
yang cukup lancar. Pemasangan kateter pada vena subklavia hendaknya dihindari
karena resiko stenosis vena. Pemasangan kateter 'dual lumen' ini memakai teknik
Seldinger. Posisi akhir bagian paling distal kateter adalah pada proksimal atrium
kanan jantung. Dikulit, katup kateter diletakkan 1,5-2 cm dari lokasi keluar kateter
untuk pertumbuhan epitel kulit yang optimal. Untuk mencegah terjadinya
trombosis maka diberikan heparin atau sitrat kedalam kateter. Gambar 6
menunjukkan lokasi pemasangan kateter vena sentral. Kateter yang digunakan
biasanya jenis cuffed catheter untuk mengurangi resiko infeksi. Bentuk kateter
'double D', kateter vena 'dual lumen' yang kedua lumennya terletak berdampingan
sering dipergunakan. Di Amerika Serikat akses vena sentral lebih sering
dipergunakan dibanding dengan akses fistula dan tandur-alih arteriovenosa.24

Gambar 6. Lokasi pemasangan kateter vena sentral17

14
Komplikasi CVC dapat berupa komplikasi yang berhubungan dengan insersi
kateter, yaitu perforasi pembuluh darah, perdarahan, pneumothoraks,
hemothoraks, emboli, dan aritmia yang berhubungan dengan posisi ujung kateter.
Komplikasi jangka panjang yaitu infeksi dan thrombosis.24

2.6 Sistem Hemodialisis


2.6.1 Mesin hemodialisis dan sirkuit darah
Hemodialisis adalah sistem dialisis (cuci darah) menggunakan mesin yang terdiri
atas mesin hemodialisis, sirkuit yang terdiri atas selang dan dialiser, yaitu alat berupa
tabung yang didalamnya terdapat kapiler semipermiabel. Dalam mesin hemodialisis
terdapat 2 sirkuit, yaitu sirkuit darah (blood circuit) dan sirkuit dialisat (dialysate circuit)
yang berjalan dalam arah yang berlawanan dan dipisahkan oleh membran semipermiabel
dalam dialiser. Sirkuit darah meliputi alat akses vascular, selang darah (arteri dan vena),
pompa darah, monitor tekanan dan kebocoran, dan klem pengaman. Selang yang
berjalan dari pasien ke dialiser dan kembali lagi ke pasien. Selang yang mengambil darah
dari pasien disebut selang arteri (selang merah) dan selang yang kembali ke pasien
disebut selang vena (selang biru). Tekanan arteri dan vena dimonitor dengan alat yang
dapat mendeteksi gangguan pada akses vaskular. Tekanan arteri yang rendah
menunjukkan aliran darah kurang untuk dapat mencapai pompa darah. Tekanan arteri
150-200 mmHg akan mengurangi trauma pada endotel vascular. Tekanan vena yang
rendah menunjukkan aliran darah yang buruk, sedangkan tekanan vena yang tinggi
menunjukkan oklusi atau sumbatan pada selang. Sirkuit dialisat dipisahkan dari sirkuit
darah oleh membran semipermiabel dialiser. Sirkuit dialisat membutuhkan minimal satu
atau dua pompa larutan dialysis, dan system untuk control ultrafiltrasi dan
menghangatkan larutan dialysis. Komposisi larutan dialysis, kecepatan aliran tekanan,
dan keberadaan darah pada larutan dialisat dimonitor secara kontinu. Dialiser sebagai
komponen utama hemodialisis terdiri dari membran semipermiabel untuk membuang zat
– zat sisa, elekrolit dan kelebihan cairan.25
Mesin hemodialisis dapat memurnikan air dengan cara reverse osmosis dan
mempersiapkan cairan dialisat dengan mencampur air, elektrolit, dan bikarbonat. Mesin
hemodialisis pada anak harus mampu mengalirkan daran dengan kecepatan rendah,

15
menggunakan bermacam selang untuk volume darah yang bervariasi, serta mengukur
dan menarik cairan dalam jumlah kecil sehingga dapat digunakan pada bayi. 25

2.6.1.1 Extracorporeal Blood Circuit


Darah dipompakan dari akses vascular ke dialiser (disebut segmen arterial). Darah
yang telah terdialisis dialirkan kembali ke tubuh penderita, melewati air trap. Segmen
antara dialiser dan penderita disebut segmen vena. Tekanan pada selang darah
dimonitor antara pompa darah arterial dan dialiser, serta pada venous air trap. Klem
pengaman terletak pada awal segmen arterial dan pada lubang keluar dari venous air
trap. Bila alarm berbunyi maka pompa darah segera dihentikan dan kedua selang darah
akan diklem untuk melindungi penderita. Untuk sirkuit darah dapat dilihat pada gambar
8. 25

Gambar 7. Sirkuit darah dan dialisat1

16
2.6.1.2 Selang darah
Selang darah biasanya terbuat dari polyvinylchloride dan polycarbonate. Sterilisasi
dengan penguapan lebih disukai daripada memakai etilen oksida, karena dapat
menginduksi reaksi anafilaksis. Selang untuk hemodialisis pada anak kecil dan bayi
memiliki diameter dan volume yang lebih kecil 50-80 mL, jumlah volume total darah
ekstrakorporeal tidak boleh melebihi 10% dari total darah penderita. Selang darah dan
hemodialiser anak dapat mentoleransi 8% dari total volume darah penderita, dengan
perkiraan total volume darah 80 mL/kg untuk bayi dan 70 mL untuk anak yang lebih
besar.25,26

2.6.1.3 Pompa darah


Selang darah pada anak-anak memiliki diameter lebih kecil yang menyebabkan
pompa darah harus memakai kecepatan yang lebih tinggi, yaitu 8-10 mL/kg/menit
sedangkan pada hemodialisis dewasa memakai kecepatan 3-5 mL/kg/menit. Pengaturan
harus dilakukan untuk mencegah hemolisis atau aliran balik darah.25

2.6.1.4 Tekanan
Pengawasan tekanan pada blood circuit dapat mendeteksi obstruksi pada selang
yang disebabkan bekuan darah atau lekukan pada selang. Tekanan pada sirkulasi
ekstracorporeal diukur pada segemen arterial, pada selang vena sebelum darah kembali
ke pasien, dan pada penghubung antara pompa dan dialiser. Tekanan antara akses
vaskular dan pompa darah adalah negative dikarenakan tahanan pada selang. Tekanan
arterial, vena dan larutan dialisat dipakai untuk mengukur tekanan
transmembran/transmembranous pressure (TMP) yang merupakan faktor utama
terjadinya ultrafiltrasi.27,28
Batas maksimal tekanan vena tidak melebihi +200 mmHg, sedangkan tekanan
arteri minimal sekitar -300 mmHg, tetapi dianjurkan antara -150 mmHg dan 200 mmHg
untuk mencegah terjadinya trauma endotelial. Aliran darah dari akses vaskular kesegmen
arterial bergantung dari tekanan negatif selang arteri dan tekanan pada akses vaskular.
Tekanan pada akses vaskular sekitar 25 mmHg pada AVF dan 50 mmHg pada AVG. 29

17
2.6.1.5 Air Traps
Air Traps terletak antara segmen arterial dan segmen vena. Detektor udara,
terletak pada selang vena, diperlukan untuk mencegah embolisme udara. Detektor yang
dipakai memakai alat ultrasonik yang mendeteksi perubahan transmisi ultrasonik yang
disebabkan oleh gelembung udara. Perubahan tekanan dan pompa darah dapat
menyebabkan pembentukan gelembung udara mikro, hal ini dapat mengaktifkan platelet
dan pembentukan mikroemboli.29

2.6.2 Dialisat
Dialisat adalah cairan / larutan isoosmolar yang digunakan untuk hemodialisis,
dibuat oleh mesin hemodialisis dengan mencampur air murni dengan natrium, kalium,
magnesium, kalsium, klorida, dekstrosa, dan bikarbonat. Sebagian besar cairan dialisis
tersebut menggunakan natrium bikarbonat sebagai buffer. Konsentrat bikarbonat ini
mempunyai komponen asam yang terpisah untuk mencegah terjadi presipitasi dari
kalsium dan magnesium karbonat. Cairan dialisat tersebut dihangatkan sebelum dialirkan
ke dialiser dengan suhu 34,5-37,5⁰C. Kecepatan alirran dialisat adalah 500 mL/menit
(300-800 mL/menit).30
Larutan dialisat dapat disiapkan dengan dua macam system, yaitu :32
 Batch system
Pada system ini, volume dialisat sebesar 100 liter dialirkan melalui dialiser dan
kembali ke reservoir. Sistem ini mempunyai keuntungan terhadap control
keseimbangan volume dan ultrafiltrasi. Kurangnya efisiensi terapi dan resiko
kontaminasi bakteri menyebabkan system ini mulai ditinggalkan.
 Single-pass system
Produksi kontinu larutan dialisat diperoleh melalui system yang mengukur
dengan tepat kebutuhan konsentrat yang akan dicampur dengan air.
Pengukuran konduktivitas elektrik pada larutan dialisat berguna dalam
mendeteksi kesalahan dalam pengaturan komposisi larutan dialisat.
Kadar natrium pada larutan dialisat yang dianjurkan adalah sebesar 138-140
mmol/L. Kadar natrium > 145 mmol/L akan menyebabkan ambilan cairan yang

18
berlebihan, sedangkan bila < 138 mmol?L akan menyebabkan kram otot dan hipotensi.
Kadar kalium biasanya 2 mmol/L tetapi dapat diturunkan menjadi 1 mmol/L pada kondisi
hiperkalemia atau menjadi 3-4 mmol bila kadar kalium predialisis penderita normal.32
Kadar kalsium yang dianjurkan adalah 1,25-1,5 mmol/L. Pada kondisi hiperkalsemia
maka kadarnya diturunkan menjadi 0,75-1,25 mmol/L, pada kondisi hipokalsemia
dinaikkan menjadi 1,75 mmol/L. Kadar magnesium berkisar antara 0,5-1 mmol/L.33 Tabel
4 menunjukkan komposisi standar cairan dialisat.

Tabel 4. Komposisi Standar Cairan Dialisat.31

Komponen Konsentrasi (mM)


Natrium 135-145
Kalium 0-4
Kalsium 1,25-1,75 (2,5-3,5 mEq/L)
Magnesium 0,25-0,375 (0,5-0,75 mEq/L)
Klorida 98-124
Asetat atau sitrat 2-4
Bikarbonat 30-40
Glukose 0-11
PCO2 40-110 (mmHg)
pH 7,1-7,3 (unit)

2.6.3. Dialysate Circuit


Proses pencucian darah yang optimal memerlukan rasio minimal antara larutan
dialisat dan laju aliran darah sebesar 1,5-2. Laju aliran dialisat yang lebih tinggi hanya
memberikan sedikit keuntungan, sedangkan aliran dialisat yang lebih rendah
menghasilkan penurunan klirens. Gambar skema dialysate circuit dapat dilihat pada
gambar . Mesin dialisis bekerja dengan laju aliran dialisat 500 mL/menit, memerlukan 120
liter larutan dialisat selama 4 jam proses hemodialisis. Temperatur larutan dialisat
dimonitor dan dipertahankan untuk mencegah terjadinya hipo atau hipertermia.34

19
2.6.4 Pemurnian Air / Water Purification
Pada saat hemodialisis, darah pasien akan terpapar langsung dengan kurang
lebih 120 liter air dan semua kontaminan didalam air yang dapat membahayakan
penderita seperti ion, zat organik, nitrogen, mikroorganisme, dan toksinnya. Oleh karena
itu air yang digunakan untuk dialisis diolah secara khusus melalui alat water treatment
sebelum mencapai dialiser. Alat pemurnian air terdiri dari water softener, filter karbon,
filter sedimen dan system reverse osmosis. Water softener mengandung resin yang
dapat mencegah pertumbuhan bakteri pada larutan dialisat. Filter karbon dan sedimen
akan membuang kloramin, dan pertikel organik lainnya. Sesudah itu sebagai langkah
terakhir, unit reverse osmosis akan memurnikan air yang sudah disaring sehingga dapat
digunakan untuk dialisis, dimana air akan melewati membran polyamide atau polysulfone
semipermiabel yang akan membuang 90-99% komponen organik dan anorganik,
pirogen, dan bakteri. Batas kontaminasi mikroba maksimal adalah 200 colony forming
unit (CFU) pada air yang sudah dimurnikan dan mencapai 2.000 CFU pada larutan
dialisat setelah proses hemosialisis berakhir. akan memurnikan air yang sudah disaring
sehingga dapat digunakan untuk dialisis. Kualitas air dibedakan atas 'pure' dengan
'ultrapure'.25 Pada dialisis konvensional cukup digunakan air "pure", namun air 'ultrapure'
saat ini lebih dipilih terutama untuk dialiser high flux dan pada hemofiltrasi high flow.30
Belakangan ini ada alat hemodialisis tanpa menggunakan water treatment. Tabel 5
menunjukkan kualitas air yang digunakan pada hemodialisis.

20
Tabel 5. Definisi Kualitas Air dan Dialisat (Batas yang diberikan, yaitu Batas Atas Kualitas
Air)34

Pertumbuhan Endotoksin (EU mL-1) Induksi


Bakteri (cfu mL-1) Sitokin

Mains water 200 5 +


Regular water 100 0,25 +
Ultrapure 0,01 0,03 -
Steril 10-6 0,03 -

2.6.5 Hemodialiser
Dialiser merupakan komponen utama system hemodialisis dimana terjadi proses
"pencucian darah". Darah dan larutan dialisis dipisahkan oleh membran semipermiabel
yang akan melewati dialiser dengan arah yang berlawanan. Terdapat dua macam jenis
bahan membran semipermiabel, yaitu selulosa dan sintetik. Membran selulosa lebih
mudah didapat dengan harga tidak terlalu mahal. Membran sintetik lebih sering
menyebabkan aktivasi koagulasi sehingga dianjurkan pemberian heparin pada
pemakaian membrane sintetik. Ukuran pori – pori yang besar dan struktur dinding yang
tebal memberikan laju ultrafiltrasi yang tinggi dengan tekanan transmembran yang
rendah. Membran sintetik ini terbuat dari polimer yang berasal dari polysulfone,
polyamide, polyethersulfone, polyarylethersulfone/polyamide, atau
polymethylmethacrylate (PMMA). Beberapa membran polimer sintetik bersifat
hindrofobik dan memerlukan zat hidrofilik untuk mengurangi absorpsi berlebihan dari
protein.35
Dialiser terdiri atas 2 kompartemen, yaitu kompartemen darah dan dialisat yang
dipisahkan oleh membrane semipermiabel. Struktur dialiser dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu hollow fiber (kapiler) dan dialiser parallel-plate (lempeng parallel) seperti yang
ditunjukkan pada gambar 105. Dialiser yang umum dipergunakan adalah dialiser hollow
fiber, sedangkan dialiser lempeng parallel sudah jarang atau tidak dipergunakan lagi.

21
Setiap tipe dialiser mempunyai koefisien ultrafiltrasi (KUf), yaitu volume (mL) air plasma
yang diiltrasi setiap jam setiap mmHg tekanan transmembran. 36 KUf bergantung pada
daerah permukaan dialiser dan juga karakteristik membrannya. Dialiser dengan KUf <10
mL/jam/mmHg disebut low flux, sedangkan dialiser dengan KUf 15-60 mL/jam/mmHg
disebut high flux. Setiap dialiser mempunyai mass transfer coefficient (KoA) yang
mencerminkan kemampuan transport zat-zat terlarut dari membran dialiser. Dialiser pada
umumnya (usual efficiency) mempunyai KoA 300-500, sedangkan dialiser dengan
efisiensi tinggi (high efficiency) mempunyai KoA lebih dari 700. Dialiser dapat disterilisasi
dengan iradiasi, panas atau ethylene oxide. Priming sirkuit dengan larutan garam
sebanyak 1-2 L akan mengeluarkan udara dalam dialiser dan mempersiapkan kapiler
sebelum digunakan dan dapat pula membuang ethylene oxide atau komponen terlarut
lainnya dalam sirkuit yang dapat menimbulkan reaksi alergi saat dialisis. 36

Gambar 8. Kompartemen Darah dan Dialisat pada Dialiser Hollow-Fiber dan Parallel-
Plate.36

22
Tekanan hidrostatik membran (dan ultrafiltrasi) disesuaikan dengan mengatur
resistensi terhadap cairan dialisis yang masuk. Posisi katup yang mengatur tekanan pada
aliran keluar darah dan dialisat juga tampak pada gambar 106. Pada gambar ini tekanan
transmembran adalah 300 mmHg (+50 mmHg di outlet darah - - 250 mmHg di outlet
dialisat.36

Gambar 9. Darah dan Dialisat dalam Dialiser Mengalir dengan Arah Berlawanan
atau Aliran counter current.36

Prinsip hemodialisis sama seperti metoda dialisis. Melibatkan difusi zat terlarut
keseberang suatu selaput semipermiabel. Prinsip pemisahan menggunakan membran ini
terjadi pada dialyzer. Darah yang mengandung sisa- sisa metabolisme dengan
konsentrasi yang tinggi dilewatkan pada membran semipermeabel yang terdapat dalam
dialyzer, dimana dalam dialyzer tersebut dialirkan dialysate dengan arah yang
berlawanan (counter current). Driving force yang digunakan adalah perbedaan
konsentrasi zat terlarut berupa racun seperti parrikel-partikel kecil, seperti urea, kalium,
uric acid, fosfat dan kelebihan klorida pada darah dan dialysate. Semakin besar beda
konsentrasi racun tersebut di dalam darah dan dialysate maka proses difusi akan
semakin cepat. Berlawanan dengan peritoneal dialysis, dimana pengangkutan adalah

23
antar kompartemen cairan yang statis, hemodialisis bersandar pada pengangkutan
konvektif dan menggunakan konter mengalir, dimana jika diasylate mengalir berlawanan
arah dengan mengalir extracorporeal sirkuit. Metoda ini dapat meningkatkan efektifitas
dialisis. Dialysate yang digunakan adalah larutan ion mineral yang sudah disterilkan. Urea
dan sisa metabolisme lainnya, seperti kalium dan fosfat, berdifusi ke dalam dialysate.37
Selain itu, untuk memisahkan yang terlarut dalam darah digunakan prinsip
ultrafiltrasi. Driving force yang digunakan pada ultrafiltrasi ini adalah perbedaan tekanan
hidrosatik antara darah dan dialyzer. Tekanan darah yang lebih tinggi dari dialyzer
memaksa air melewati membran. Jika tekanan dari dialyzer diturunkan maka kecepatan
ultrafiltrasi air dari darah akan meningkat. Jika kedua proses digabungkan, maka akan
didapatkan darah yang bersih setelah dilewatkan melalui dialyzer. Prinsip inilah yang
digunakan pada mesin hemodialisi modern, sehingga keefektifitasannya dalam
menggantikan peran ginjal sangatlah tinggi.37

Gambar 10. Proses difusi partikel racun dari darah ke dialysate melalui membran
semipermeabel pada mesin hemodialisis.37

24
Gambar 11. Proses ultrafiltrasi partikel air dari darah ke dialysate melalui membran
semipermeabel pada mesin hemodialisis.37

Gambar 12. Proses yang terjadi di dalam dialyzer pada mesin hemodialysis.37

25
2.6.6 Antikoagulan
Penderita hemodialisis beresiko mengalami perdarahan dan trombosis. Faktor
utama penyebab perdarahan adalah disfungsi platelet karena uremia, inflamasi jaringan,
dan pemakaian antikoagulan pada hemodialisis. AVF endogen, AVG sintetik, dan kateter
vena permanen untuk akses vaskular hemodialisis beresiko menyebabkan trombosis
berulang. Kontak darah dengan selang dan membran dialiser mengaktifkan dua
mekanisme pembentukan trombus, (1) jalur koagulasi intrinsik dimulai dengan
pembentukan trombin dan bekuan fibrin melalui reaksi enzimatik dan (2) adesi dan
aktivasi platelet.38
Antikoagulan diperlukan untuk mencegah bekuan darah pada prosedur
hemodialisis. Heparin adalah antikoagulan standar yang digunakan saat hemodialisis,
merupakan campuran heterogen dari acidic glycosaminoglycans dengan berat molekul
antara 3.000-60.000 Dalton, mempercepat pembentukan kompleks molekul antara
antithrombin III dan faktor koagulasi (faktor Xa dan thrombin), mengakibatkan inaktivasi.
Heparin dipakai luas sebagai antikoagulan karena mudah didapat dan harganya murah.38
Pemberiannya dilakukan secara infus lambat dan berkesinambungan dengan kecepatan
5-50 unit/kgBB/jam selama dialisis untuk mencegah timbulnya bekuan darah dalam
sirkuit dan sebelum dihubungkan dengan extracorporeal circuit, dilanjutkan dengan infus
kontinu sebanyak 10-20 IU/kg/jam selama hemodialisis berlangsung. Infus heparin
dihentikan 30-60 menit sebelum hemodialisis selesai untuk mencegah terlambatnya
pengembalian hemostasis tubuh.39
Beberapa unit hemodialisis menggunakan heparin low molecular weight yang
diberikan secara bolus 1 mg/kgBB pada awal sesi dialisis. Dialisis tanpa heparin dapat
dilakukan misalnya saat dialisis dilakukan sebelum operasi, pada pasien dengan
perdarahan akut, pasien dengan resiko perdarahan sedang dan tinggi, dan pasien
dengan kontraindikasi heparin. Beberapa teknik dialisis bebas heparin adalah dengan
melakukan priming dengan garam faali yang dicampur heparin (3.000-5.000 unit/L),
kecepatan aliran darah yang tinggi (400 mL/menit), atau jika ada kontraindikasi dapat
menggunakan dialiser dengan luas permukaan yang kecil dan memperlambat kecepatan
aliran tersebut.30,42

26
Tabel 6. Indikasi Dialisis Bebas Heparin42

Perikarditis
Pasca operasi dengan risiko perdarahan terutama operasi jantung dan vaskular,
operasi retina dan katarak, transplantasi ginjal, serta operasi otak
Koagulopati
Trombositopenia
Perdarahan intraserebral
Perdarahan aktif
Dialisis rutin pada pasien sakit akut diberbagai pelayanan intensif

Alat dialisis sebelum dipergunakan hendaknya dibilas dengan minimal 1 liter


cairan normal salin untuk membuang kontaminan. Untuk mengurangi trombogenisitas
alat dialisis, heparin (5.000 IU/L) dicampur ke dalam cairan bilasan tersebut. Pemantauan
terhadap activated clotting time harus dilakukan dalam pemakaian heparin selama
hemodialisis. Target ACT selama hemodialisis adalah 1,5-2 kali lipat nilai normal (120-
140 detik). Pemeriksaan activated partial thromboplastin time (aPTT) dapat juga
dilakukan selama hemodialisis tetapi hasilnya tidak dapat diukur karena melebihi nilai
yang dapat diukur.39

2.7 Faktor Yang Mempengaruhi Preskripsi Dialisis


2.7.1 Tipe dialisis
Hemodialisis konvensional menggunakan membran low flux (ukuran pori kecil)
dan zat yang terlarut terutama dikeluarkan secara difusi. Hemodialisis high efficiency
mengeluarkan urea, K+, dan zat terlarut kecil lainnya dengan cepat. Hal ini dicapai
dengan mempergunakan membran low flux dengan high efficiency (KoA) untuk
mengeluarkan zat terlarut kecil.40
Hemodialisis high flux menggunakan membran high flux (ukuran pori besar) yang
lebih efisien mengeluarkan zat terlarut yang lebih besar dari urea. Dialiser high flux dapat

27
dipergunakan oleh anak besar, sedangkan low flux sintetik dan selulosa modifikasi sering
dipergunakan anak pada umumnya.40

2.7.2 Ukuran sirkuit ekstrakorporeal


Dalam memilih selang (line) dan hemodialiser pada anak harus diingat bahwa
hanya 8-10% volume darah total yang berada didalam sirkuit ekstrakorporeal. Volume
darah total diperkirakan 80 mL/kg berat kering. Jadi anak dengan berat badan (BB) 10
kg mempunyai volume darah total sebesar 800 mL (10x80 mL) sehingga volume darah
ekstrakorporeal, baik diselang maupun di dialiser tidak boleh melebihi 64-80 mL.30 Tabel
7 menunjukkan volume selang dialisis berdasar atas besar pasien.

Tabel 7. Volume Selang Dialisis Berdasarkan Atas Berat Pasien30

Ukuran Pasien Vena (mL) Arteri(mL) Total (mL)

Mini neonatal (< 6 kg) 21 8 29


Neonatal (6-12 kg) 22 18 40
Anak 42 30 72
Dewasa 70 62 132

Priming ialah tindakan awal yang dilakukan sebelum hemodialisis dimulai, yaitu
mengisi sirkuit selang dengan garam faali. Akan tetapi, pada anak kecil priming dilakukan
dengan darah untuk menghindari jumlah darah berlebihan ekstrakorporeal. Dialiser dipilih
berdasar atas luas permukaan dan volume priming. Saat ini luas permukaan dialiser
bervariasi dari 0,25 m2 sampai 1,7 m2. Semakin besar luas permukaan semakin banyak
juga bersihan air dan zat terlarut.30

2.7.3 Frekuensi sesi dialisis


Umumnya dialisis dilakukan selama 4 jam dengan frekuensi 3 kali per minggu.
Belakangan ini, dibeberapa pusat pelayanan dialisis, frekuensi dialisis seperti ini sudah
mulai ditinggalkan karena karena ternyata jumlah sesi dialisis yang intensif lebih

28
menguntungkan. Hemodialisis intermiten dilakukan sebanyak 3-7 kali per minggu dengan
lama 6-8 jam atau hemodialisis yang singkat 2-3 jam dengan frekuensi 5-7x per minggu.
Dari beberapa laporan tampak perbaikan nafsu makan, pertumbuhan, tekanan darah,
dan kualitas hidup dengan peningkatan frekuensi dialisis.41,42 Namun dikebanyakan pusat
pekayanan dialisis terutama dinegara berkembang termasuk Indonesia, pada umumnya
dialisis diperlakukan 2-3 kali seminggu dengan lama 3-4 jam karena berbagai
pertimbangan.1

2.7.4 Kecepatan pompa darah


Kecepatan darah yang dipompa kedalam sirkuit dihitung berdasar atas volume
ekstrakorporeal total, yaitu BB (kg) x 8 mL/min. Pada anak BB 10 kg dengan volume
ekstrakorporeal 64-80 mL dapat mempunayi kecepatan pompa darah hingga 80
mL/min.30

2.7.5 Estimasi berat kering dan penarikan cairan


Penentuan berat badan kering pada anak sering sulit dilakukan dan dinilai setiap
bulannya terutama pada anak kecil atau bayi. Berat badan kering ini ditentukan saat
tekanan darah normal tercapai sesudah penarikan cairan berulang. Hasil yang lebih baik
akan tampak jika dialisis dilakukan setiap hari. Jumlah cairan yang ditarik dihitung dari
besar kenaikan BB dari sesi dialisis sebelumnya (dengan mengganggap BB kering sudah
tercapai), jumlah garam faali yang digunakan untuk washback, dan jumlah air yang
diminum saat dialisis. Mesin hemodialisis akan mengatur TMP bergantung pada waktu
dan tekanan vena sehingga kecepatan ultrafiltrasi per jam dapat ditentukan. Ultrafiltrasi
isolated dapat digunakan pada saat mengeluarkan banyak cairan. Jumlah cairan yang
keluar pada sesi awal sekitar 10 mL/kbGG/jam dan tidak menarik cairan lebih dari 5%
atau 0,2 mL/kgBB/min.30,31

2.7.6 Konsentrasi elektrolit dalam dialisat dan biokimiawi darah


Kadar natrium dalam dialisat sebaiknya sekitar 10 mmol dari natrium plasma untuk
menghindari disekuilibrium. Penurunan kadar urea serum yang terlalu cepat dapat

29
menimbulkan sindrom disekuilibrium terutama jika kadar urea lebih tinggi dari 40
mmol/L.32,33

2.7.7 Pemberian produk darah


Keadaan hipoalbuminemia dapat menimbulkan kesulitan menarik air. Oleh sebab
itu, jika anak mengalami oligouria dapat diberika albumin 20% pada saat dialisis. Darah
juga dibutuhkan untuk priming terutama pada bayi. Jika terdapat anemia, dibutuhkan
pemberian darah sebesar = BB (kg) x 3 x gram Hb yang ditambah.34,35

2.8 Komplikasi
Hemodialisis merupakan terapi standar untuk anak dengan ESRD dan seperti
terapi medis lainnya yang memiliki efek samping. Komplikasi akut dan atau masalah
teknis dapat muncul selama hemodialisis dan pada pemakaian hemodialisis lama dapat
muncul komplikasi kronik.36

2.8.1 Komplikasi Akut


1. Disequilibrium Sindrom
Dialysis Disequilibrium Syndrome (DDS) disebabkan penurunan cepat
konsentrasi ureum plasma secara cepat dengan perpindahan ureum yang lambat dari
jaringan ke plasma, menyebabkan perbedaan tekanan osmotik antara plasma dan sel
sehingga air akan berpindah dari plasma ke jaringan, termasuk jaringan otak yang
akan menyebabkan edema serebral. Kejadian ini biasanya terjadi pada pasien dengan
kadar urea plasma yang tinggi saat dimulai dialisis. Terdapat beberapa mekanisme
yang dapat menyebabkan DDS, yaitu :37
 Reverse urea effect. Klirens urea dari plasma yang cepat selama proses
hemodialisis menghasilkan tekanan osmotik yang menyebabkan air akan masuk ke
otak melewati aquaporin dan menghasilkan edema otak.
 Kadar pH cairan serebrospinal dan intraseluler otak. Selama hemodialisis, koreksi
cepat asidosis metabolik menyebabkan hipoventilasi sekunder dengan peningkatan
kadar CO2 plasma. CO2 pad plasma akan berdifusi secara cepat ke dalam cairan
serebrospinalis tetapi bikarbonat pada plasma lebih lambat melewati blood brain

30
barrier sehingga cairan serebrospinal menjadi asam dan konsentrasi ion H+ akan
meningkat menyebabkan peningkatan sebesar 12% kandungan air pada otak.
Resiko DDS lebih tinggi pada penderita dengan konsentrasi ureum plasma
yang tinggi dan pembuangan ureum yang agresif. DDS lebih banyak ditemukan pada
anak, penderita dengan riwayat penyakit neurologis, hipertensi, dan asidosis metabolik
berat . Gejala yang muncul adalah mual, muntah, nyeri kepala, penglihatan kabur,
disorientasi, hipertensi, tremor, kejang, dan koma.38,39 Gejala klinis akan muncul pada
akhir proses hemodialisis seperti yang ditampilkan pada tabel 8.

Tabel 8. Faktor resiko terjadinya Dialysis Disequilibrium Syndrome.40

Faktor resiko Gejala Pencegahan

Ureum predialisis tinggi Mual, muntah Pengurangan ureum bertahap


selama hemodialisis
Pembuangan ureum Nyeri kepala Mengurangi waktu dialisis
(2 jam)
Penyakit neurologis Penglihatan Laju aliran darah lambat
kabur (2-3 mL/kg/menit)
Hipertensi maligna Twitching, Penurunan laju larutan dialisat
Hiponatremia Disorientasi Dialisis secara bertahap
Asidosis metabolik Tremor, Peningkatan konsentrasi natrium
berat kelelahan

Pendekatan manajemen terapi pada DDS adalah preventif. Pada anak yang
memulai proses hemodialisis, sangat penting melakukan hemodialisis secara bertahap
untuk menurunkan kadar ureum plasma secara perlahan-lahan. Hal ini diperoleh
dengan pemakaian dialiser yang lebih kecil, mengurangi waktu dialisis (2 jam) dan
menurunkan laju filtrasi aliran darah (2-3 mL/kg/menit).40

31
Beberapa anak dapat mengalami DDS secara berulang sehingga diperlukan
strategi untuk mengurangi frekuensi dan keparahan DDS tanpa mengurangi efisiensi
hemodialisis. Salah satu tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah
menaikkan konsentrasi natrium pada larutan dialisat. Konsentrasi natrium dianikkan
secara bertahap dari 135-137 mmol/L sampai 142-148 mmol/L selama proses
hemodialisis. Peningkatan kadar natrium berperan sebagai pengimbang dalam
penurunan cepat osmolaritas plasma karena pembuangan ureum. Alternatif lainnya
adalah dengan pemberian manitol.40
Manitol merupakan larutan osmotik aktif yang tidak berpindah ke ruangan
interstitial sehingga menghasilkan efek efek onkotik. Manitol juga menurunkan secara
cepat tekanan intrakranial dalam hitungan menit setelah pemberian, dengan efek
maksimal dalam 20-40 menit. Penderita dengan kecenderungan kejang, dapat
diberikan fenitoin profilaksis tetapi obat ini tidak memiliki efek terhadapa edema
serebral.40

2. Reaksi Anafilaksis
Paparan darah terhadap benda asing dalam sirkuit ekstrakorporeal dapat
menyebabkan berbagai efek samping salah satunya adalah reaksi anafilaksis. Reaksi
anafilaksis terhadap dialiser dapat terjadi kapan pun, namun biasanya terjadi saat
pertama kali dialisis dan gejala klinik muncul beberapa menit setelah darah kembali ke
tubuh penderita. Reaksi ini dapat menjadi berat dan berakibat fatal, biasanya
diperantarai oleh kompleks antigen-antibodi. Gejala yang muncul dapat berupa sesak
napas, kemerahan pada kulit, nyeri kepala, hipotensi, sampai dengan manifestasi
yang berat seperti hipoksia, gangguan kardiovaskuler, bahkan kematian. Beberapa
komponen yang dapat memberikan reaksi alergi diantaranya adalah membran
semipermiabel, cairan sterilisasi terutama etilen oksida), serta antikoagulan yang
dipakai (heparin).42
Terapi pada penderita yang mengalami reaksi anafilaksis adalah penghentian
segera proses hemodialisis dan terapi suportif seperti antihistamin, steroid dan
epinefrin intravena. Penderita yang mengalami bronkospasme dapat diberikan oksigen
dan bronkodilator inhalasi.42

32
Tabel 9. Beberapa alergen pada proses hemodialisis.42

Alergen Manifestasi

Cairan sterilisasi (Etilen oksida) Beberapa saat setelah mulai hemodialisis


Demam, malaise
Antikoagulan (Heparin) Jarang
Heparin induced thrombocytopenia
Membran dialiser Beberapa menit setelah darah kontak dengan
Membran
Hipotensi, anafilaksis

3. Hipotensi
Komplikasi tersering saat hemodialisis adalah hipotensi yang terjadi
disebabkan oleh pergerakan aliran dari ruang ekstraseluler ke intraseluler akibat
penurunan osmolalitas serum, gangguan aktivitas saraf simpatik, vasodilatasi karena
suhu dialisat yang hangat, atau pooling darah didaerah splanknik karena makan saat
dialisis. Hipotensi dapat juga disebabkan oleh kebutuhan ultrafiltrasi yang berlebih
atau penggunaan obat antihipertensi. Gejalanya dapat berupa mual, muntah, gatal-
gatal, nyeri, dan keram. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian larutan garam faali 5
ml/kgBB dan penghentian ultrafiltrasi.40

4. Hemolisis
Hemolisis dapat timbul karena pemanasan berlebih, kontaminasi atau
hipotonisitas dialisat, tertekuknya selang, atau pompa yang malfungsi. Dialisis harus
dihentikan segera dan dilakukan pemeriksaan kadar kalium. Gejalanya berupa nyeri
dan mual disertai gambaran darah vena yang menghitam.40

33
5. Emboli udara
Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat berakibat fatal.
Insidensi adalah 1 dari 2000 proses hemodialisis. Dengan standar keamanan alat
hemodialisis yang lebih baik maka insidensi dapat berkurang. Komplikasi embolisme
udara berhubungan dengan akses vaskular memakai kateter vena sentral. Pada
pemakaian AVF, udara dapat masuk ke sirkuit jika jarum arteri berubah posisinya dan
hal ini biasanya terjadi sebelum ke pompa darah. Udara juga dapat masuk jika
sambungan akses vaskular terlepas, adanya defek pada selang darah, atau jika cairan
dialisat berkurang. Keadaan ini jarang karena alat hemodialisis saat ini dilengkapi
dengan detektor udara yang akan mendeteksi udara dalam sirkuit dan dapat segera
menghentikan laju aliran darah sehingga dapat mencegah komplikasi lebih lanjut.
Udara sebanyak 1 mL/kgBB dapat bersifat fatal. Gejala emboli udara dapat berupa
kejang, koma atau sesak napas. Penanganannya adalah dengan menutup selang,
menghentikan pompa, meletakkan pasien dengan posisi kepala ke bawah pada posisi
lateral kiri, serta memberikan oksigen 100%.40

6. Amiloidosis
Kasus ini jarang terjadi pada anak dan biasanya timbul 7-10 tahun sesudah
hemodialisis. Keadaan ini disebabkan oleh kondisi progresif dari polimerisasi tendon,
sinovial, dan jaringan beta-2 mikroglobulin, suatu molekul dengan BM 11,600 yang
dilepas ke dalam sirkulasi karena terjadi penggantian sel normal, namun pada gagal
ginjal kronik tidak diekskresi dan tidak dibuang oleh membran selulosa.40

2.8.2 Komplikasi Kronik41


1. Malnutrisi
2. Osteodistrofi ginjal
3. Anemia
4. Gangguan pertumbuhan dan pubertas
5. Gangguan kardiovaskular

34
2.8.3 Komplikasi Pada Akses Pembuluh Darah
1. Infeksi pada kateter vaskular
Infeksi pada kateter vaskular dapat terjadi pada exit site, tunnel subkutan, atau
pada kateternya. Faktor yang meningkatkan risiko infeksi kateter adalah infeksi pada
exit site atau tunnel, kontaminasi dari hub, kegagalan dalam teknik aseptik, pemakaian
kateter yang sering dan lama saat dialisis, penggunaan selang non-tunneled,
imunosupresi, hipoalbuminemia, diabetes, serta kolonisasi hidung dan kulit oleh
bakteri Staphylococcus aureus.43
Gambar 13 menunjukkan tahap-tahap penanganan infeksi pada exit site,
tunnel, dan kateter. Infeksi pada exit site memperlihatkan eritema dan nyeri pada
daerah 2 cm sekitar exit site disertai keluarnya cairan. Infeksi exit site dapat meluas
ke daerah tunnel disubkutan yang akan memperlihatkan eritema, indurasi, dan nyeri
pada pada daerah >2 cm dari exit site. Infeksi daerah tunnel lebih sulit ditangani dan
dapat meluas ke darah sehingga timbul septikemia. Penanganannya dengan
pemberian antibiotik intrevena serta antijamur hingga 4 minggu, dan bila belum ada
perbaikan maka kateter dilepas dan diganti sesudah 24-48 jam. Antibiotic lock
dilakukan dengan mempergunakan antibiotik yang sensitif terhadap organisme
tertentu dan diinstilasi ke dalam lumen kateter sesudah dialisis.43

35
Gambar 13. Pencegahan dan tatalaksana infeksi yang berhubungan dengan
kateter hemodialisis.43

2. Trombosis
Trombosis biasa terjadi pada AVF dan AVG, bila terjadi trombosis dapat dilakukan
trombektomi atau pemberian trombolitik seperti urokinase. Pemberian urokinase 5000
IU/mL cairan fisiologis selama 30 menit atau diantara terapi dialisis pada kateter yang
mengalami trombosis.44

36
2.9 Adekuasi Dialisis
Adekuasi dialisis ialah jumlah terkecil klirens urea dan asupan nutrisi yang
mencegah timbulnya hasil simpang. Konsep adekuasi dialisis ini dahulu
diperkenalkan untuk menggambarkan preskripsi dialisis yang dibutuhkan untuk
mengurangi mortalitas dan morbiditas pasien. Klirens urea dipilih sebagai dasar
perhitungan adekuasi dialisis. Urea mudah diukur dan berada dalam konsentrasi
tinggi pada pasien uremik.45
Efikasi dialisis dalam mengeluarkan urea bergantung pada kapasitas klirens
urea dialiser, kecepatan aliran darah, dan dialisat serta lama dialisis.45
Metode pengukuran dosis dialisis dapat dilaksanakan dengan menghitung
urea reduction ratio (URR) atau menghitung Kt/V. Cara paling mudah untuk menilai
adekuasi dialisis adalah menghitung URR, yaitu :45

URR =,1-* konsentrasi BUN posdialisis (pos-BUN) / konsentrasi BUN predialisis


(pre-BUN)]} x 100

Misalnya pre-BUN = 90 mg/dL, pos-BUN = 25 mg/dL maka URR = {1-(25/90)} x


100 = 72%. Saat ini URR sebesar 65% (ekuivalen dengan Kt/V 1,2) adalah batas
minimal dari adekuasi dialisis.45
Penilaian adekuasi dialisis lainnya yang sering dilakukan adalah dengan
mengukur Kt/V, yaitu K adalah klirens urea dari dialiser, T adalah waktu dialisis dan
V adalah volume air tubuh pasien (0,6 x BB dalam kg). Kt/V dapat diprediksi berdasar
atas kadar urea pre dan posdialisis, penurunan badan berat dan lama dialisis.
Perhitungan Kt/V yang sering digunakan adalah formula Daugirdas II, yaitu : 45

Kt/V = *-ln (R-0,008 x t) ++*(4-3,5 x R) x (UF/W)

R = pos-BUN/pre-BUN (mg/dL); UF = BB predialisis-BB posdialisis/volume ultrafiltrasi


(kg), W = BB posdialisis (kg); In = natural log; t = lama dialisis dalam jam.45
Misalnya R = 25/90 = 0,27; t = 3 jam; UF = 2 kg; W = 70 kg; maka Kt/V = 1,41

37
Pengukuran adekuasi dialisis pada anak belum ditentukan, namun secara
konsensus adekuasi pada anak sekurang-kurangnya sama dengan atau lebih baik
daripada rekomendasiuntuk dewasa, yaitu Kt/v > 1,2 dan URR >65%. 45

2.10 Prosedur Hemodialisis


Contoh Kasus
An. LL, perempuan, 16 tahun 11 bulan, BB 49 kg, TB 155 cm, dengan diagnosa
Chronic Kidney Disease, sindrom nefrotik, dan hipertensi grade I. Laju filtrasi
glomerulus di bawah 30 selama lebih dari 3 bulan. Pada pemeriksaan terakhir,
kadar ureum darah 87 dan kreatinin 7,8 (laju filtrasi glomerulus = 10,9). Pasien
direncanakan untuk dilakukan hemodialisis.

Peresepan Hemodialisis
A. Frekuensi: 2 kali per minggu
B. Durasi: 3 jam
C. Tipe akses vaskular: AV fistula
D. Dialyzer: Polypure 16 S (Micro-Undulated, Polysulfone, Hollow Fiber
Hemodialyzer)
E. Tubing set: pediatric tubing
F. Kecepatan aliran darah (quick blood [Qb]): 100 ml/menit (2-3
mL/kg/menit)
G. Kecepatan dialisat (quick dyalisate [Qd]): 400 ml/menit (300-800
ml/menit)
H. Komponen dialisat: Bicacid® dan Bicasol® (Tabel 4)
I. Antikoagulan: heparin 500 unit/jam (10-25 unit/kg/jam)
J. Ultrafiltration goal (UF): 2000 ml (<5% dari berat badan)
K. Monitoring: keadaan umum, tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu
setiap 30 menit selama hemodialisa

38
Prosedur Hemodialisis
A. Persiapan alat
1. Satu set HD Pack
2. Trolley
3. Plester dan micropone, gunting
4. Masker, apron
5. Larutan normal salin 0,9% secukupnya
B. Cara kerja
1. Membersihkan kateter
a. Observasi keadaan umum pasien
b. Observasi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, pernapasan dan
suhu)
c. Jika perlu pasang oksigen
d. Berikan posisi tidur yang nyaman
e. Jelaskan kepada pasien tindakan yang akan dilakukan
f. Letakkan periak (alas) dibawah tempat kateter double lumen
g. Bukalah tutup kateter dengan kassa betadine dan lepaskan pelan-pelan
h. Perhatikan posisi kateter double lumen :
- Apakah tertekuk?
- Apakah letak/posisi kateter berubah?
- Bagaimana keadaan exit site, adakah peradangan/nanah?
i. Dekatkan alat-alat ke pasien
j. Perawat mencuci tangan, memakai masker dan apron
k. Buka HD Pack
l. Pakai sarung tangan steril, lakukan desinfeksi dengan cara:
- Desinfeksi sekitar kulit
- Desinfeksi sekitar kateter double lumen
m. Letakkan kain belah steril dengan betadine dibawah kateter double
lumen, ujung kain dijepit dengan klem punksi yang telah digunakan tadi
n. Tutup sekitar exit site dengan kassa betadine baru

39
2. Melakukan tes kelancaran kateter
a. Gunakan spuit 5 cc atau 10 cc, hisaplah heparin dan bekuan darah yang
berada dalam kateter lalu cairan heparin dan bekuan darah dibuang ke
kantong plastik penampungan
b. Bilas kateter dengan normal salin 0,9% secukupnya, lakukan test
dengan cara aspirasi dan masukkan kembali darah kedalam kateter
sambal rasakan lancer atau tidaknya aliran darah (dapat diulangi
sampai lancar)
c. Pengetesan ini dapat dilakukan satu persatu (selang arteria atau
venous lebih dahulu)
d. Tutup selang kateter double lumen dengan masing-masing spuit 5 cc
atau 10 cc atau penutupnya. Posisi selang kateter double lumen dalam
keadaan terklem
e. Tentukan posisi kateter double lumen dengan tepat dan benar, untuk
menghindari kemacetan selama proses dialisis berlangsung
f. Kateter difiksasi
g. Kateter double lumen siap digunakan pada pasien
h. Perawat mencuci tangan

3. Menyambung ke selang dialysis


a. Kecilkan Qb sampai 100 Rpm, matikan pompa darah.
b. Lepaskan selang arteri dari sambungan sirkulasi tertutup.
c. Selang infus dalam posisi terklem.
d. Sambungkan selang darah arteri dengan selang arteri kateter double
lumen (warna merah), gunakan kassa betadine sebagai alas untuk
menyambung (hindari masukan udara).
e. Kencangkan kedua selang tersebut.
f. Buka klem selang darah dan kateter double lumen, lalu hidupkan pompa
darah mulai dengan kecepatan 100 Rpm.
g. Jika darah sudah lewat buble trap venous, klem selang venous dan
matikan pompa darah lalu sambungkan selang darah venous kateter

40
double lumen (warna biru) gunakan kassa betadine sebagai alas untuk
menyambung, kencangkan sambungannya.
h. Buka klem pada selang darah venous dan klem pada kateter, pastikan
tidak ada udara yang masuk kedalam tubuh pasien.
i. Hidupkan pompa darah mulai dengan kecepatan 100 Rpm lalu naikkan
secara bertahap sesuai dengan tekanan darah dan keluhan pasien.
Dilakukan pengaturan setting Qb, Qd, UF goal, dan heparin sesuai
peresepan yang telah direncanakan.
j. Program mesin sesuai dengan keadaan pasien dan dari hasil klinis
pasien.
k. Observasi tanda-tanda vital dan keluhan pasien selama proses dialisis
berlangsung.
l. Catat semua kegiatan pasien dan masukkan kedalam berkas rekam
medis pasien.

41
BAB III
RINGKASAN

Hemodialisis merupakan suatu proses pemisahan zat toksin dari darah melalui
membran semipermiabel didalam ginjal buatan yang disebut dialiser dan
selanjutnya dibuang melalui cairan dialysis yang disebut dialisat.
Insidensi di dunia pada anak – anak < 20 tahun dengan ESRD yang memerlukan
RRT adalah sebesar 9 pmarp (per million of age-related population), sementara
prevalensinya sebesar 65 pmarp.
Prinsip dasar hemodialisis adalah difusi, ultrafiltrasi, konveksi.
Indikasi : AKI disertai kondisi kelebihan cairan, gangguan metabolik berat, asidosis
metabolic, hiperurikemia, ESRD.
Akses vaskular hemodialisis : Akses arteriovenosa (Brescia-Cimino Shunt),
arteriovenous graft (AVG), akses kateter vena sentral / central venous catheter
(CVC).
Sistem hemodialisis terdiri dari mesin hemodialisis dan sirkuit darah, dialysate,
dialysate circuit, pemurnian air (water purification), hemodialiser, antikoagulan.
Faktor Yang Mempengaruhi Preskripsi Dialisis adalah tipe dialisis, ukuran sirkuit
ekstrakorporeal, frekuensi sesi dialisis, kecepatan pompa darah, estimasi berat
kering dan penarikan cairan, konsentrasi elektrolit dalam dialisat dan biokimiawi
darah, pemberian produk darah.
Komplikasi akut terdiri dari disekuilibrium sindrom, reaksi anafilaksis, hipotensi,
emboli udara, hemolisis, amyloidosis.
Komplikasi kronik terdiri dari malnutrisi, osteodistrofi ginjal, anemia, gangguan
pertumbuhan dan pubertas, gangguan kardiovaskular.
Komplikasi pada akses vaskular terdiri dari infeksi pada kateter vaskular,
trombosis.
Adekuasi dialisis ialah jumlah terkecil klirens urea dan asupan nutrisi yang
mencegah timbulnya hasil simpang. Konsep adekuasi dialisis ini dahulu
diperkenalkan untuk menggambarkan preskripsi dialisis yang dibutuhkan untuk
mengurangi mortalitas dan morbiditas pasien.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Dedi R, Nanan S, Dany H, Herry G. Hemodialisis. Buku ajar nefrologi anak. Edisi
ketiga. Jakarta Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017. h. 671-80.
2. Liyanage T, Ninomiya T, Jha V, Neal B, Patrice HM, Okpechi I, Zhao MH, Lv J, Garg
AX, Knight J, et al. Worldwide access to treatment for end-stage kidney disease: a
systematic review. Lancet. 2015;385(9981):1975–82.
3. Trinh E, Chan CT, Perl J. Dialysis modality and survival: done to death. Semin Dial.
2018;31(4):315–24.
4. Ridgen SPA. The management of chronic end stage renal failure in children. Dalam;
Webb NJA, Postlethwaite RJ, penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-3.
United states:Oxford; 2015. H.427-45.
5. Becherucci F, Roperto RM, Materasi M, Romagnani P. Chronic kidney disease in
children. Clinical Kidney Journal. 2016;7:1-9.
6. Daugirdas JT. Physiologic principles and urea kinetic modeling. Dalam: Daugirdas JT,
Blake PG, Ing TS, penyunting. Handbook of dialysis. Edisi keempat. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2017. h. 25-57.
7. Kaddourah A, Basu RK, Bagshaw SM, Goldstein SL, AWARE Investigators.
Epidemiology of acute kidney injury in critically ill children and young adults. N Engl J
Med. 2017:376:11–20.
8. Sudung OP, Swanty C. Penyakit ginjal kronik. Sari Pediatri. Jakarta; 2009;11(3):199-
206.
9. Ricci Z, Romagnoli S, Ronco C. High cut-off membranes in acute kidney injury and
continuous renal replacement therapy. Int J Artif Organs. 2017:40:657–664.
10. Atan R, Peck L, Prowle J, Licari E, Eastwood GM, Storr M, Goehl H, Bellomo R. A
double-blind randomized controlled trial of high cutoff versus standard hemofiltration
in critically ill patients with acute kidney injury. Crit Care Med. 2018:46:e988–e994.
11. Pirkle JL Jr, Comeau ME, Langefeld CD, et al. Effects of weight-based ultrafiltration
rate limits on intradialytic hypotension in hemodialysis. Hemodial Int. 2018;22:270–
278.

43
12. Rees L, Schaefer F, Schmitt CP, Shroff R, Warady BA. Chronic dialysis in children
and adolescents: Challenges and outcomes. Lancet Child Adolesc Health.
2017;1:68–77.
13. Chand DH, Brandt ML. Hemodialysis vascular access in children. Dalam: Warady
BA, Schaefer F, Alexander SR, editor. Pediatric dialysis. Edisi kedua. New York:
Springer; 2016. H. 275-86.
14. Rukshana S, Francis C, Sevcan B, Evi VN, Sam S, Lynsey S, et all. Behalf of the
European Society for Paediatric Nephrology Dialysis Working Group Vascular access
in children requiring maintenance haemodialysis: a consensus document by the
European Society for Paediatric Nephrology Dialysis Working Group. Nephrol Dial
Transplant: 2019;1–20.
15. Michael B, Marjolein B, Marlies N, Jérôme H, Jaap WG, Ángel AM, et all.
Hemodialysis vascular access and subsequent transplantation: a report from the
ESPN/ERA-EDTA Registry. Pediatric Nephrology: 2019;34:713–721.
16. Rukshana S, Francis C, Sevcan B, Evi VN, Sam S, Lynsey S, et all. Vascular access
in children requiring maintenance haemodialysis: a consensus document by the
European Society for Paediatric Nephrology Dialysis Working Group. Nephrol Dial
Transplant: 2019;1–20.
17. Trond EW. Diagnostics and treatment of arteriovenous fistulas. Project assignment
at the medical faculty. University of Oslo. Norwegia: 2016;1-23.
18. Chand DH, Bednarz D, Eagleton M, Krajewski L. A vascular access team can
increase AV Fistula creation in pediatric ESRD patients: a single center experience.
Semin Dial. 2015;22(6):679-83.
19. Sheth RD, Brandt ML, Brewer ED, Nuchtern JG, Kale AS, Goldstein SL. Permanent
hemodialysis vascular access survival in children and adolescent with end-stage
renal disease. Kidney Int. 2012;62:1864-9.
20. Ramage IJ, Bailie A, Tyerman KS, McColl JH, Pollard SG, Fitzpatrick MM. Vascular
access survival in children and young adults receiving long-term hemodialysis. Am J
Kidney Dis. 2015;45(4):708-14.

44
21. Paglialonga F, Consolo S, Pecoraro C. Chronic haemodialysis in small children: a
retrospective study of the Italian Pediatric Dialysis Registry. Pediatr Nephrol 2016;
31: 833–841.
22. North American Pediatric Renal Trials and Collaborative Studies (NAPRTCS).
Dialysis access data. Annual report:2018;25-34.
23. Cass DL, Nuchtern JG. Vascular access in children. Dalam: Nissenson AR, Fine RN,
penyunting. Handbook of dialysis therapy. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders
Elsevier;2015. H.1247-61.
24. Shin HS, Towbin AJ, Zhang B. Venous thrombosis and stenosis after peripherally
inserted central catheter placement in children. Pediatr Radiol:2017; 47: 1670–1675.
25. Benz MR, Schaefer F. Technical aspects of hemodialysis in children. Dalam: Warady
BA, Schaefer F, Alexander SR, editor. Pediatric dialysis. Edisi kedua. New York:
Springer;2012.h.287-312.
26. Kaur A, Davenport A. Hemodialysis for infants, children, and adolescents. Hemodial
Int. 2014;18:573-82.
27. Agbas¸ A, Canpolat N, Çalıs¸kan S, Yılmaz A, Ekmekçi H,Mayes M, et al.:
Hemodiafiltration is associated with reduced inflammation, oxidative stress and
improved endothelial risk profile compared to high-flux hemodialysis in children. PLoS
One 13:2018;23-35.
28. de Roij van Zuijdewijn CLM, Chapdelaine I, Nubé MJ, Blankestijn PJ, Bots ML,
Konings CJAM, et al. Achieving high convection volumes in postdilution online
hemodiafiltration: A prospective multicenter study. Clin Kidney J 10:2017; 804–812.
29. Marshall MR: Measuring the patient response to dialysis therapy: Hemodiafiltration
and clinical trials. Kidney Int 91:2017;1279–1282.
30. Rees L. Hemodialysis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N,
penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-6. Berlin: Springer-Verlag; 2009. H.1817-
66.
31. Ward RA, Ing TS. Product water and hemodialysis solution preparation. Dalam:
Daugirdas JT, Blake PG, Ing TS, penyunting. Handbook of dialysis. Edisi ke-4.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. H. 79-86.

45
32. Marsenic O, Anderson M, Couloures KG, Hong WS, Hall K, Dahl N. Effect of the
decrease in dialysate sodium in pediatric patients on chronic hemodialysis. Hemodial
Int. 2016; 20:277-85.
33. Gennari FJ. Acid-base balance in dialysis patients. Semin Dial. 2016; 13:235-9.
34. Fischbach M, Edefonti A, Schrӧder HC, Watson A. Hemodialysis in children: general
practical guidelines. Pediatr Nephrol. 2015;20:1054-66.
35. Tattersall JE, Ward RA. EUDIAL group: Online haemodiafiltration: Definition, dose
quantification and safety revisited. Nephrol Dial Transplant 2013;28: 542–550.
36. Ahmad S, Misra M, Hoenich N, Daugirdas JT. Hemodialysis apparatus. Dalam:
Daugirdas JT, Blake PG, Ing TS, penyunting. Handbook of dialysis. Edisi ke-7.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2017. H.59-78.
37. Akash D, Stuart LG. Critical Care Nephrology and Renal Replacement Therapy in
Children. London. 2017;271-90.
38. Musielak A, Warzywoda A, Wojtalik M, Koci ński B, Kroll P, Ostalska-Nowicka D,
Zachwieja J. Outcomes of continuous renal replacement therapy with regional citrate
anticoagulation in small children after cardiac surgery: experience and protocol from
a single center. Ther Apher Dial. 2016;20(6):639–44.
39. Raymakers-Janssen PAMA, Lilien M, van Kessel IA, Veldhoen ES, Wösten-van
Asperen RM, Van Gestel JPJ. Citrate versus heparin anticoagulation in continuous
renal replacement therapy in small children. Pediatr Nephrol. 2017;32(10):1971–8.
40. Viegas M, Candido C, Felqueiras J, Clemente J, Barros S, Farbota R, Vera F, Matos
A, Sousa F. Dialysate bicarbonate variation in maintenance hemodiafiltration
patients: impact on serum bicarbonate, intradialytic hypotension and interdialytic
weight gain. Hemodial Int. 2017;21(3):385–92.
41. FHN Trial Group, Chertow GM, Levin NW, Beck GJ, Depner TA, Eggers PW, dkk. In-
center hemodialysis six times per week versus three times per week. N Eng J Med.
2010;363(24):2287-99.
42. Davenport A. Alternatives to standard unfractionated heparin for pediatric
hemodialysis treatments. Pediatr Nephrol. 2012;27(10):1869–79.
43. Kishore P, Paul G, Martin B. Manual of pediatric nephrology. Springer. London.
2017:401-428.

46
44. Ellis DA, William EH, Patrick N, Norishige Y, Francisco E, Stuart LG. Pediatric
Nephrology. Sevent Edition. IPNA. Springer. USA. 2018;2433-56.
45. Suhail A. Dose of hemodialysis. Dalam: Suhail A, penyunting. Manual of clinical
dialysis. Edisi kedua. New York: Springer-Verlag; 2009. H.79-93.

47
LAMPIRAN

48

Anda mungkin juga menyukai