Anda di halaman 1dari 8

LATAR BELAKANG

Hemodialisa merupakan salah satu metode pengobatan gagal ginjal tahap akhir yang
dianggap dapat menyelamatkan jiwa pasien (Alikari et al., 2015). Data penyakit Gagal Ginjal
Kronik stadium 5 sangat beragam sesuai dengan keadaan Negara. Amerika Serikat insiden
terjadinya Gagal Ginjal Kronik berjumlah 338 kasus baru persejuta orang. Menurut US Renal
Data System (Sistem data ginjal AS), pada tahun 2003 total 441.051 orang dirawat dengan
Gagal Ginjal Kronik; 28% melakukan transplantasi, 67% hemodialisa, dan 5% dialysis (Black
& Hawks, 2014).Indonesia termasuk Negara dengan tingkat penderita gagal ginjal kronik yang
cukup tinggi. Menurut Indonesian Renal Registry pada tahun 2007 jumlah pasien aktif
hemodialisa berjumlah 1885 jiwa sedangkan pada tahun 2013 jumlah pasien aktif hemodialisa
meningkat sebanyak 9396 jiwa. Jumlah pasien baru yang menjalankan hemodialisa ditahun
2007 berjumlah 4977 jiwa dan meningkat pada tahun 2013 menjadi 15.128 jiwa.
Hemodialisis merupakan salah satu terapi ginjal pengganti yang paling umum dijalani
oleh pasien CKD. Tingginya insiden dan prevalensi CKD baik di negara-negara maju maupun
berkembang termasuk Indonesia menjadi masalah baik medik, ekonomik dan sosial bagi
pasien, keluarga maupun beban negara. Ketika seseorang memulai terapi ginjal pengganti
(hemodialisis) maka ketika itulah pasien harus merubah seluruh aspek kehidupannya dalam
jangka waktu yang lama, bahkan untuk seumur hidupnya. Salah satunya yang berubah juga
kualitas tidur dimana ini masalah umum pada pasien gagal ginjal kronik dan memiliki angka
prevalensi 44% (20-83%), (Khalili, Hooshmand, Jahani &Shariati, 2012).

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah dari Hemodialisa
2. Apa pengertian dari Hemodialisa
3. Kapan pasien memulai hemodialisa
4. Bagaimana Kualitas hidup pasien Hemodialisa
5. Bagaimana Kepatuhan pasien Hemodialisa
6. Bagaimana Perawatan diri pada pasien Hemodialisa

TUJUAN
1. Mengetahui dan memahami sejarah dari Hemodialisa
2. Mengetahui dan memahami pengertian dari Hemodialisa
3. Mengetahui dan memahami Kapan pasien memulai hemodialisa
4. Mengetahui dan memahami Bagaimana Kualitas hidup pasien Hemodialisa
5. Mengetahui dan memahami Bagaimana Kepatuhan pasien Hemodialisa
6. Mengetahui dan memahami Bagaimana Perawatan diri pada pasien Hemodialisa
PEMBAHASAN
A. Sejarah Hemodialisis
Peristiwa difusi zat terlarut dari suatu larutan berkonsentrasi tinggi ke larutan
berkonsentrasi lebih rendah merupakan dasar dari subtitusi fungsi ginjal pada masa sekarang.
Graham saat itu mempelajari apa yang terjadi bila suatu membran yang sangat tipis
ditempatkan di antara 2 larutan yang berbeda konsentrasinya, ternyata membran tersebut
memungkinkan partikel-partikel yang sangat kecil dari larutan yang berkonsentrasi tinggi untu
melewatinya.
Sedangkan partikel-partikel yang lebih besar ukuranya tidak dapat melewatinya.
Membran semipermeable ini merupakan bagian yang terpenting dari dializer. Aftificial kidney
(ginjal buatan) pertama kali digunakan untuk mengerjakan HD pada hewan percobaan, dibuat
pertama kali oleh Abel dkk dari Universitas Baltimore AS. Pada tahun 1913, mereka membuat
tabung dari bahan kolodion, yang kemudian diujicobakan untuk mendialisis binatang
percobaan tersebut.
Persoalan yang mereka hadapi adalah bagaimana mencegah darah anjing percobaan
tersebut tidak membeku selama proses dialisis. Untuk itu mereka mencoba menggunakan
ekstrak lintah yang disiapkan dalam keadaan segar tiap mengoperasikan mesin. Ternyata anjing
percobaan tersebut mati karena hipersensitivitas terhadap hirudin yang terdapat pada lintah
tersebut. Penggunaan dialisis pada manusia pertama kali diperkenalkan oleh Nicholas & Lim
pada tahun 1926 waktu Perang Dunia II di Belanda. Tahun 1942 – 1943 William Kolf membuat
mesin dialisis yang berupa drum berputar-putar (rotating drum) dalam air dialysat untuk
pengobatan GGA.
Ukuran mesin dan ginjal buatan yang dibuat cukup besar tidak seperti sekarang. Kolf
kemudian mengembangkan dialyzer kecil yang sekali pakai pada tahun 1956, dan dipakai di
indonesia sampai tahun 1985. Keuntungan penggunaan HD untuk menangani pasien GG baru
disadari sekitar tahun 1960. Penggunaan temporary dialysa untu menangani pasien GGA sudah
banyak dilakukan di senter-senter dialisis di dunia.
Persoalan yang dihadapi adalah bagaimana cara mengalirkan darah keluar dari tubuh
pasien, dialirkan ke mesin, kemudian dimasukkan lagi ke tubuh pasien secara berulang-ulang.
Pada waktu itu canula pembuluh darah yang ada hanya bertahan sebentar, dan akan rusak
karena proses dialisis. Sehingga HD pada waktu itu hanya bisa dilakukan dalam waktu
beberapa hari, bahkan beberapa minggu.
Pada waktu tahun 1959 Scribner, Guinton dkk mengenalkan canula baru terbuat dari
silicon yang dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Baru pada tahun 1965 dikembangkan
fistula arteriovenous internal internal oleh Brescvia dan Cimino. Dializer yang dapat dipakai
secara terus menerus sudah dibuat dalam waktu 2 sampai 3 tahun dan seorang pasien sudah
berhasil menggunakan secara teratur.
Shaldon adalah orang pertama yang melaksanakan home dialisis, ginjal Hollow Fiber
dibuat dan diujicobakan pada tahun 1967 , dan tahun 1974 sudah muncul dializer dengan luas
permukaan yang besar. Perkembangan dializer sangat pesat dengan pemakaian sellulosa. Yang
dimodifikasi, membran sintetik yang mempunyai klirens dan filtrasi besar. Pada tahun 1989
hormon erytroprotein rekombinan mulai dipakai, sehingga saat ini dimulai era kualitas hidup
optimal bagi pasien gagal ginjal.

B. Pengertian Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu tindakan membersihkan racun dalam tubuh, karena ginjal
tidak mampu lagi membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh. Hemodialisis dilakukan pada
pasien dengan penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal akut dalam kondisi tertentu.
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang dialami selama 3 bulan atau lebih dengan
definisi sebagai abnormalitas struktural atau fungsional ginjal. Penyakit ginjal kronik dapat
sampai ke tingkat cuci darah secara bertahap namun progresif dan bersifat irreversibel, Jadi
bila pasien ini memerlukan cuci darah berarti kerusakan ginjal sudah berlangsung lama dan
biasanya memerlukan cuci darah seumur hidup.
Penyakit ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak
dimana sebelumnya ginjal dalam keadaan normal dan pada beberapa kasus perlu dilakukan
cuci darah. Pasien dengan penyakit ginjal akut bila penyebab penyakit ginjalnya dapat diobati
maka fungsi ginjal akan kembali membaik dan tidak memerlukan cuci darah lagi.

C. Memulai Hemodialisis
Cuci darah dilakukan bila fungsi ginjal (Laju Filtrasi Glomerolus/LFG) kurang dari 15
ml/menit. Namun dalam pelaksanaannya ada beberapa pedoman yaitu, LFG kurang dari 10
ml/menit dengan disertai gejala uremia dan malnutrisi. Atau LFG kurang dari 5 ml/menit untuk
pasien dengan kerusakan ginjal akibat diabetes (Nefropati Diabetik) walaupun tanpa gejala
dapat dilakukan lebih awal untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Kondisi-kondisi tertentu yang perlu segera (cito) dilakukan hemodialisis yaitu:
- Asidosis berat, yaitu kondisi pH darah pasien yang sangat rendah dan tidak dapat
dikoreksi lagi dengan obat-obatan.
- Intoksikasi : kondisi keracunan, dilakukan cuci darah untuk membantu menurunkan
tingkat
keparahannya, contohnya keracunan methanol.
- Uremia: kondisi pasien dengan tingkat sisa metabolisme ureum dalam tubuh sangat
tinggi
dengan gejala klinis: mual muntah, kecegukan yang tidak berhenti,
penurunan kesadaran, bahkan kejang - kejang.
- Elektrolit imbalance. Pada pasien dengan penyakit ginjal terjadi gangguan elektrolit
dalam
tubuh, umumnya yang menjadi masalah adalah kelebihan kalium, menjadi
hiperkalemi.
Kondisi ini bila tidak segera diatasi akan menyebabkan gangguan pada jantung.
- Overload, terjadi penumpukan cairan di dalam tubuh. Biasanya terjadi penumpukan
cairan
dalam paru-paru yang disebut sebagai Edema Paru, sehingga menyebabkan pasien
menjadi
sesak nafas hebat.

D. Kualitas hidup pasien hemodialisa


Pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis sering dilaporkan mengalami
penurunan kualitas hidup, menurut Rahman et al (2013) pada pasien CKD terdapat penurunan
kualitas hidup pasien baik dari segi fisik, mental, sosial dan lingkungan. Kualitas hidup pasien
CKD yang menjalani HD menjadi hal yang menarik perhatian paramedis, karena hakikatnya
tujuan HD adalah untuk mempertahankan kualitas hidup pasien. Lacson (2010) menjelaskan
bahwa pada pasien CKD terjadi terjadi penurunan kualitas hidup yang meliputi kesejahteraan
fisik, mental dan sosial. World Health Organization Quality of Life mengemukakan kualitas
hidup adalah persepsi individu dalam kemampuan, keterbatasan, gejala serta sifat psikososial
hidupnya dalam konteks budaya dan sistem nilai untuk menjalankan peran dan fungsinya
(WHO, 2016).
Penelitian yang dilakukan Sathvik et al (2008) di salah satu unit pelayanan kesehatan
di India dengan menggunakan WHOQOL-Breef sebagai instrumen menunjukan bahwa
kualitas hidup individu sehat atau transplantasi ginjal jauh lebih baik dibandingkan dengan
pasien yang menjalani HD. Kualitas hidup dijadikan sebagai aspek untuk menggambarkan
kondisi kesehatan dapat dinilai berdasarkan kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial dan
lingkungan. Dalam kondisi sehat kualitas hidup manusia akan selalu terjaga dimana ke empat
aspek tersebut dapat dijalankan dengan baik.
Hal ini akan berbeda jika manusia dalam kondisi sakit, dimana faktor yang paling
terlihat dalam penurunan kualitas hidupnya adalah kondisi fisik. Terlebih pada penderita
penyakit kronis, salah satunya adalah CKD. Pada pasien CKD terjadi penurunan kondisi fisik
seperti berat badan dan kemampuan mobilitasnya. Pasien CKD harus menjalani hemodialisa
dengan penjadwalan teratur dari 1 (satu) sampai 3 (tiga) kali dalam seminggu, hal ini dapat
mempengaruhi hubungan sosial dan psikologisnya secara tidak langsung. Terkait dengan
beberapa permasalahan tersebut, peran farmasis sebagai tenaga kesehatan sangat dibutuhkan
untuk menjaga dan meningkatkan kualitas hidup pasien CKD.

E. Kepatuhan pasien hemodialisa


Kepatuhan (adherence) secara umum didefinisikan sebagai tingkatan perilaku
seseorang yang mendapatkan pengobatan, mengikuti diet, dan melaksanakan gaya hidupsesuai
dengan rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan (WHO, 2003 dalam Syamsiyah,2011).
Kepatuhan pasien terhadap rekomendasi dan perawatan dari pemberi pelayanan
kesehatan adalah penting untuk kesuksesan suatu intervensi. akan tetapi, ketidakpatuhan
menjadi masalah yang besar terutama pada pasien yang menjalani hemodialisis, sehingga
berdampak pada berbagai aspek perawatan pasien, termasuk konsistensi kunjungan, regimen
pengobatan serta pembatasan makanan dan cairan (Syamsiah, 2011).
Dalam jurnal hubungan kepatuhan menjalani terapi hemodialisa dengan kualitas hidup
pasien di unit hemodialisa RSUD CIBABAT-CIMAHI. Desain penelitian yang digunakan
adalah deskriptif korelasi dengan pengambilan sampel purpusive sampling. Instrumen
penelitian berupa kuesioner data demografi dan kualitas hidup. Penelitian yang dilakukan oleh
Yuliaw (2009) menyatakan, bahwa responden memiliki karakteristik individu baik dilihat dari
jenis kelamin, bahwa perempuan lebih banyak menderita penyakit gagal ginjal kronik,
sedangkan laki-laki lebih rendah dan responden laki-laki mempunyai kualitas hidup lebih
buruk dibandingkan perempuan, semakin lama menjalani terapi hemodialisa akan semakin
rendah kualitas hidup. Laki-laki memiliki peluang untuk lebih patuh dibandingkan dengan
responden perempuan. Hal tersebut dikarenakan perempuan umumnya dipengaruhi banyak
faktor dalam mempertahankan suatu perilaku disamping biasanya perempuan lebih labil
dibandingkan laki-laki lebih stabil dalam mempertahankan keyakinan maupun perilakunya.
(Syamsiah, 2011).
Septiwi (2011) di RS Prof Margono Soekarjo tingkatan perilaku seseorang yang
mendapatkan pengobatan, menginkuti diet, dan melaksanakan gaya hidup sesuai dengan
rekomendasi pemberi pelayanan (Widagdo, 2017). Dalam penelitian ini peneliti hanya
memeliti tenyang kepatuhan klien dalam melakukan terapi hemodialisa dimana kualitas hidup
tidak dilihat dari melakukan terapi hemodialisa saja namun dilihat dari (pengobatan,
menginkuti diet, dan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi pelayanan).
Kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan kepatuhan
menjalani terapi hemodialisa dengan kualitas hidup pada pasien di Unit Hemodialisa RSUD
Cibabat Cimahi pada tanggal 21- 27 Mei 2014 adalah sebagai berikut :
1. Sebagian besar responden (81,1%) patuh menjalani terapi hemodialisa
2. Sebagian besar responden (75,7%) mempunyai kualitas hidup yang baik
3. Tidak terdapat hubungan antara kepatuhan menjalani hemodialisa dengan kualitas
hidup pada pasien di RSUD Cibabat – Cimahi dengan hasil uji statistik menunjukan p
value = 1 (1 > 0,05).
http://www.husada.co.id/index.php/promo-kegiatan/tips-kesehatan/142-mengenal-cuci-darah-
hemodialisis

Anda mungkin juga menyukai