Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Gagal Ginjal Kronik merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting mengingat

selain insidens dan pravelensinya yang semakin meningkat, pengobatan pengganti ginjal

yang harus di jalani oleh penderita gagal ginjal merupakan pengobatan yang sangat

mahal. Dialisis adalah suatu tindakan terapi yang dilakukan pada penderita gagal ginjal

terminal. Tindakan ini sering disebut sebagai terapi pengganti karena berfungsi

menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang sering di lakukan rumah

sakit adalah hemodialisis dan peritoneal dialisis. Diantara kedua jenis terapi tersebut,

yang menjadi pilihan utama dan metode perawatan yang umum dilakukan oleh penderita

gagal ginjal adalah terapi hemodialisis (Arliza,…).

Prevalensi gagal ginjal kronik (GGK) setiap tahun di Amerika Serikat dengan jumlah

penderita selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 jumlah penderita sekitar

80.000 orang, tahun 2010 mengalami peningkatan menjadi 660.000 orang. Di indonesia

prevalensi penderita gagal ginjal kronik pada tahun 2007 jumlah pasien mencapai 2.148

orang, dan tahun 2008 menjadi 2.260 orang (Alam dan Hadibroto, 2008).
2

Berdasarkan diagnosis dokter prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sebesar 0,2%.

Provinsi yang menempati urutan pertama dan mempunyai prevalensi 0,5% dari 33

provinsi pada tahun 2013 adalah provinsi Sulawasi Tengah diikuti Aceh, Gorontalo, dan

Sulawesi utara masing-masing 0,4%. Untuk provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi

Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur masing-

masing 0,3% (Riskesdas, 2013).

Hemodialisis merupakan proses terapi sebagai pengganti ginjal yang menggunakan

selaput membran semi permeabel berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan

produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan maupun

elektrolit pada pasien gagal ginjal. Hemodialisis yang dijalani oleh pasien dapat

mempertahankan kelangsungan hidup sekaligus merubah pola hidup pasien. Perubahan

yang akan terjadi mencakup diet pasien, tidur dan istirahat, penggunaan obat-obatan, dan

aktivitas sehari-hari. Pasien yang menjalani hemodialisis juga rentan terhadap masalah

emosional seperti stress berkaitan dengan pembatasan diet dan cairan, keterbatasan fisik,

penyakit, efek samping obat, serta ketergantungan terhadap dialisis yang akan berdampak

terhadap menurunnya kualitas hidup pasien (Mailani, 2015).

Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik semakin menurun karena pasien tidak hanya

menghadapi masalah kesehatannya tetapi juga masalah terapi yang akan berlangsung

seumur hidup, akibatnya kualitas


3

hidup pasien yang menjalani terapi hemodialisis lebih rendah dibanding penyakit yang

lain. Kepatuhan pasien gagal ginjal kronik dalam menjalani terapi hemodialisis juga akan

mempengaruhi kualitas hidup pasien yang menjalani terapi hemodialisis di rumah sakit.

Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny R. A Habibie merupakan rumah sakit kelas C dan sudah

lulus pada tingkat paripurna. Selain itu Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny R. A Habibie

adalah rumah sakit yang menjadi rumah sakit rujukan dari berbagai rumah sakit yang

pertama di daerah Bandung sehingga banyak pasien yang melakukan pengobatan

dirumah sakit tersebut, termasuk pasien penderita gagal ginjal kronik yang melakukan

terapi hemodialisis diruang hemodialisa.

Data rekam medik pada tanggal 19 Oktober 2023 didapatkan pasien gagal ginjal kronik

yang melakukan rawat jalan di Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny R. A Habibie.


4

Hasil pengkajian yang dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2023 terhadap keluarga dan tn

A.

Maka dari kelompok 6 tertarik untuk mengambil study kasus pada tn. A hemodialisis

dengan chronic kidney disease (CKD) St Van HD + Overhidrasi di rumah sakit RSKG

Ny. RA Habibi

Tujuan

Tujuan Study Kasus ini dibagi menjadi dua, yaitu :

Tujuan Umum

Mengetahui sejauh mana efektifitas teraphy hemodialisis dalam peningkatan kualitas

hidup pada tn A hemodialisis dengan chronic kidney disease (CKD) St Van HD +

Overhidrasi di rumah sakit RSKG Ny. RA Habibi

Tujuan Khusus

Menge tahui kualitas hidup pada pasien chronic kidney disease(CKD)


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Hemodialisis

Pengertian

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan

memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien

dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan

terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat

nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan

Madjid, 2009).

Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Hemodialisis

digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang

membutuhkan dialisis waktu singkat. Penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah

kematian. Hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu

mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak

dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2006 ;

Nursalam, 2006).
6

15
16

Tujuan

Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut diantaranya adalah

menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi (membuang sisa-sisa metabolisme dalam

tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal

dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat,

meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal serta Menggantikan

fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan Madjid, 2009).

Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang melalui membran semipermeabel

sesuai dengan gradien konsentrasi elektrokimia. Tujuan utama Hemodialisis adalah untuk

mengembalikan suasana cairan ekstra dan intrasel yang sebenarnya merupakan fungsi dari ginjal

normal. Dialisis dilakukan dengan memindahkan beberapa zat terlarut seperti urea dari darah ke

dialisat. dan dengan memindahkan zat terlarut lain seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam darah.

Konsentrasi zat terlarut dan berat molekul merupakan penentu utama laju difusi. Molekul kecil,

seperti urea, cepat berdifusi, sedangkan molekul yang susunan yang kompleks serta molekul

besar, seperti fosfat, β2- microglobulin, dan albumin, dan zat terlarut yang terikat protein seperti

p- cresol, lebih lambat berdifusi. Disamping difusi, zat terlarut dapat melalui lubang kecil (pori-

pori) di membran dengan bantuan proses konveksi yang ditentukan oleh gradien tekanan

hidrostatik dan osmotik – sebuah proses


17

yang dinamakan ultrafiltrasi (Cahyaning, 2009)). Ultrafiltrasi saat berlangsung, tidak ada

perubahan dalam konsentrasi zat terlarut; tujuan utama dari ultrafiltrasi ini adalah untuk

membuang kelebihan cairan tubuh total. Sesi tiap dialisis, status fisiologis pasien harus diperiksa

agar peresepan dialisis dapat disesuaikan dengan tujuan untuk masing-masing sesi. Hal ini dapat

dilakukan dengan menyatukan komponen peresepan dialisis yang terpisah namun berkaitan untuk

mencapai laju dan jumlah keseluruhan pembuangan cairan dan zat terlarut yang diinginkan.

Dialisis ditujukan untuk menghilangkan komplek gejala (symptoms) yang dikenal sebagai

sindrom uremi (uremic syndrome), walaupun sulit membuktikan bahwa disfungsi sel ataupun

organ tertentu merupakan penyebab dari akumulasi zat terlarut tertentu pada kasus uremia

(Lindley, 2011).

Prinsip yang mendasari kerja hemodialisis

Aliran darah pada hemodialisis yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari

tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke

tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata atau ginjal serat artificial

berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan bekerja sebagai membran

semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi

di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui

membrane semipermeabel tubulus (Brunner & Suddarth, 2006).


18

Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, ultrafiltrasi. Toksin dan zat

limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang

memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah (Lavey,

2011). Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel

yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran

air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah

dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat).

Gradient ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai

ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan

penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Elizabeth, et all, 2011)).

Akses sirkulasi darah pasien

Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan femoralis, fistula, dan tandur.

Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai melalui kateterisasi

subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam

pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara (Barnett & Pinikaha, 2007).

Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan pada lengan

bawah) dengan cara menghubungkan atau


19

menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan antara

ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi

matang sebelum siap digunakan (Brruner & Suddart, 2011). Waktu ini diperlukan untuk

memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula berdilatasi dengan baik

sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke

dalam pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui dializer.

Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis

(Barnett & Pinikaha, 2007).

Tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh darah arteri atau vena dari materia

gore-tex (heterograf) pada saat menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis.

Ttandur dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula (Brunner &

Suddart, 2008).

Penatalakasanaan pasien yang menjalani hemodialisis

Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya memperpanjang usia

penderita. Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan penyakit ginjal yang diderita pasien tetapi

hemodialisis dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal (Anita,

2012).

Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang

baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang


20

penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2

gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium

diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi

kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. Jumlah asupan

cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang ada ditambah insensible water loss. Asupan

natrium dibatasi 40-

120 mEq.hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan

menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan

berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar

(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).

Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang

memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus

dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan jaringan

dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Resiko timbulnya efek toksik akibat

obat harus dipertimbangkan (Hudak & Gallo, 2010).

Komplikasi

Komplikasi terapi dialisis mencakup beberapa hal seperti hipotensi, emboli udara, nyeri dada,

gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus. Masing – masing dari point tersebut (hipotensi,

emboli udara, nyeri dada,


21

gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus) disebabkan oleh beberapa faktor. Hipotensi terjadi

selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan. Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena

pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisis natrium, penyakit jantung, aterosklerotik, neuropati

otonomik, dan kelebihan berat cairan. Emboli udara terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler

pasien (Hudak & Gallo, 2010 ). Nyeri dada dapat terjadi karena PCO₂ menurun bersamaan

dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh, sedangkan gangguan keseimbangan dialisis terjadi

karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini

kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat. Pruritus terjadi selama

terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit (Smelzer, 2008)

Terapi hemodialisis juga dapat mengakibatkan komplikasi sindrom disekuilibirum, reaksi dializer,

aritmia, temponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi

komplemen akibat dialisis dan hipoksemia, namun komplikasi tersebut jarang terjadi. (Brunner &

Suddarth, 2008).

Status Cairan Pada Pasien Hemodialisis

Kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lama tanpa asupan cairan dibandingkan dengan

makanan namun pasien dengan hemodialisis mengontrol asupan cairan merupakan salah satu

masalah yang utama karena ketidaktepatan dalam mengontrol asupan cairan akan menimbulkan

beberapa
22

komplikasi.perburukan pada kondisi pasien. Tujuan penatalaksanaan cairan pada pasien yang

menjalani hemodialisis adalah untuk dapat mempertahankan status cairan yang optimal (Barnet &

Pinika, 2007).

Status cairan merupakan suatu keadaan atau kondisi pada pasien untuk menentukan kecukupan

cairan dan terapi cairan selanjutnya. Status cairan pada pasien gagal ginjal kronik dapat

dimanifestasikan dengan pemeriksaan edema, tekanan darah, kekuatan otot, lingkar lengan atas,

nilai IDWG dan biochemical marker yang meliputi natrium, kalium, kalsium, magnesium, florida,

bikarbonat dan fosfat (Istanti, 2011)

Edema

Definisi

Edema didefinisikan sebagai akumulasi abnormal cairan di dalam ruang interstitial (celah di

antara sel) atau jaringan tubuh yang menimbulkan pembengkakan. Pada kondisi yang normal

secara umum cairan tubuh yang terdapat di luar sel akan disimpan di dalam dua ruangan yaitu

pembuluh darah dan ruang – ruang interstitial. Apabila terdapat gangguan pada keseimbangan

pengaturan cairan tubuh, maka cairan dapat berakumulasi berlebihan di dalam ruang interstitial

(Isroin, Istanti & Soejono, 2013). Cairan edema diberi istilah transudat, memiliki berat jenis dan

kadar protein rendah, jernih tidak berwarna atau jernih kekuningan dan merupakan cairan yang

encer atau mirip gelatin bila mengandung di dalamnya sejumlah fibrinogen plasma (kamaludin &

Rahayu, 2009).
23

Etiologi

Edema yang terlihat pada gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh berbagai hal. Ginjal sering

tidak dapat mengeksresikan natrium yang masuk melalui makanan dengan cepat, sehingga

natrium akan tertimbun dalam ruang ekstraseluler dan menarik air (Hidayati, 2012)

Jumlah cairan yang tidak seimbang dapat menyebabkan terjadinya edema paru ataupun hipertensi

pada 2 – 3 orang pasien hemodialisis. Ketidakseimbangan cairan juga dapat menyebabkan

terjadinya hipertrovi pada ventrikel kiri. Hasil rontgen dada pasien dengan edema akibat gagal

ginjal biasanya menunjukkan adanya kongesti paru-paru sebelum pembesaran jantung terjadi

secara signifikan. Namun biasanya tidak terdapat ortopnea. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal

kronis juga dapat mengalami edema akibat retensi primer garam dan air (Lindberg, 2010).

Mekanisme terjadinya edema

Kondisi vena yang terbendung (kongesti), menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik intra

vaskula (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskula oleh kerja pompa jantung)

yang akhirnya menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan

plasma ini akan mengisi pada sela- sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (Isroin, 2013).

Mekanisme edema disebabkan juga karena adanya obstruksi limfatik yang mana apabila terjadi

gangguan aliran limfe pada suatu daerah


24

(obstruksi/penyumbatan), maka cairan tubuh yang berasal dari plasma darah dan hasil

metabolisme yang masuk ke dalam saluran limfe akan tertimbun (Arnold, 2008).

Endotel kapiler merupakan suatu membran semi permeabel yang dapat dilalui oleh air dan

elektrolit secara bebas, sedangkan protein plasma hanya dapat melaluinya sedikit atau terbatas.

Tekanan osmotic darah lebih besar dari pada limfe. Daya permeabilitas ini bergantung kepada

substansi yang mengikat sel-sel endotel tersebut (Perry & Potter, 2011). Pada keadaan tertentu,

misalnya akibat pengaruh toksin yang bekerja terhadap endotel, permeabilitas kapiler dapat

bertambah. Akibatnya ialah protein plasma keluar kapiler, sehingga tekanan osmotik koloid darah

menurun dan sebaliknya tekanan osmotik cairan interstitium bertambah. Hal ini mengakibatkan

makin banyak cairan yang meninggalkan kapiler dan menimbulkan edema (Lindley, 2011).

Menurunnya jumlah protein darah (hipoproteinemia) menimbulkan rendahnya daya ikat air

protein plasma yang tersisa, sehingga cairan plasma merembes keluar vaskula sebagai cairan

edema. Kondisi hipoproteinemia dapat diakibatkan kehilangan darah secara kronis oleh cacing

Haemonchus contortus yang menghisap darah di dalam mukosa lambung kelenjar (abomasum)

dan akibat kerusakan pada ginjal yang menimbulkan gejala albuminuria (proteinuria, protein

darah albumin keluar bersama urin)


25

berkepanjangan. Hipoproteinemia ini biasanya mengakibatkan edema umum (Isroin, 2013 ;

Hidayat, 2011).

Tekanan osmotik koloid dalam jaringan biasanya hanya kecil sekali, sehingga tidak dapat

melawan tekanan osmotik yang terdapat dalam darah. Tetapi pada keadaan tertentu jumlah

protein dalam jaringan dapat meninggi, misalnya jika permeabilitas kapiler bertambah. Dalam hal

ini maka tekanan osmotik jaringan dapat menyebabkan edema (Perry & Potter, 2011). Filtrasi

cairan plasma juga mendapat perlawanan dari tekanan jaringan (tissue tension). Tekanan ini

berbeda-beda pada berbagai jaringan. Pada jaringan subcutis yang renggang seperti kelopak mata,

tekanan sangat rendah, oleh karena itu pada tempat tersebut mudah timbul edema (Garthwaite,

2013)

Retensi natrium terjadi bila eksresi natrium dalam urin lebih kecil dari pada yang masuk (intake).

Karena konsentrasi natrium meninggi maka akan terjadi hipertoni. Hipertoni menyebabkan air

ditahan, sehingga jumlah cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler (cairan interstitium) bertambah.

Akibatnya terjadi edema (Arifin, 2010 & Burhan, 2010).

Derajat edema

Derajat dari edema sendiri diklasifikasikan menjadi 4 yaitu derajat 1 jika edema menekan

sedalam 1 - 3 mm akan kembali dengan cepat (3 detik). Derajat 2 jika menekan lebih dalam

4mm dan akan


26

kembali dalam waktu 5 detik. derajat 3 jika menekan lebih dalam 5 – 7 mm akan kemabli dalam

waktu 7 detik, tampak bengkak dan derajat 4 jika menekan lebih dalam lagi 8mm akan kembali

dalam waktu 7 menit, tampak sangat bengkak yang nyata (Isroin, 2013).

Tekanan darah

Peningkatan jumlah penderita gagal ginjal kronik dengan terapi hemodialisis dari waktu ke waktu

menunjukkan peningkatan yang sangat cepat, hal ini berhubungan dengan adanya peningkatan

jumlah tindakan hemodialisis dari tahun ke tahun. Pada penderita Gagal ginjal kronik hampir

selalu dosertai dengan hipertensi, karena hipertensi dan penyakit ginjal kronik merupakan dua hal

yang selalu berhubungn erat. Richard Bright seorang pionir Guy’s hospital menyampaikan bahwa

penyakit ginjal telah lama dikenal sebagai penyebab hipertensi sekunder. Hipertensi terjadi pada

80% penderita Gagal ginjal kronik Guyton & Hall, 2007)

Kelebihan cairan pradialisis akan meningkatkan resistensi vaskuler dan pompa jantung. Pasien

yang mengalami hipertensi intradialisis terjadi peningkatan nilai tahanan vaskuler perifer yang

bermakna pada jam akhir dialisis. Jika terjadi kenaikan tekanan darah postdialysis mencerminkan

kelebihan volume subklinis (Wuchang & Yao-ping 2012). Penelitian yang dilakukan oleh

Joseph menunjukkan bahwa peningkatan tekanan darah pada pasien hemodialisis disebabkan

karena adanya peningkatan volume cairan, peningkatan sekresi renin, & asupan natrium. Akibat
27

peningkatan tekanan darah dalam jangka panjang dapat menyebabkan penebalan dinding

ventrikel kiri (Yao-ping, 2012)

Tekanan darah melebihi 140/90 mmHg diklasifikasikan sebagai hipertensi. The National Heart,

Lung and Blood institute mengklasifikasikan hipertensi dalam dua tingkatan. Tekanan darah

normal adalah 120/80 mmHg. Prehipertensi tekanan sistolik 120 – 139 mmHg, tekanan diastolik

80 – 89 mmHg. Tekanan darah tinggi tingkat pertama, tekanan sistolik 140 – 159 mmHg, tekanan

diastolik 90 – 99, dan tekanan darah tinggi tingkat kedua tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan

diastolik 100 mmHg atau lebih (Williamm, 2008 ; Lazarus, 2009).

Kekuatan otot

Otot merupakan sistem organisasi tingkat tinggi dari material organik yang menggunakan energi

kimia untuk menghasilkan kerja mekanik dibawah kontrol sistem persyarafan. Sel-sel otot dapat

dirangsang secara kimiawi, listrik, dan mekanik untuk membangkitkan potensial aksi yang

dihantarkan sepanjang membran sel. Kekuatan otot sendiri didefinisikan secara singkat sebagai

kekuatan atau tenaga otot yang dihasilkan selama kontraksi maksimal (Isroin, 2013).

Pada dasarnya tubuh merupakan suatu jaringan listrik yang begitu kompleks. Yang mana

didalamnya terdapat pembangkit seperti jantung, otak, ginjal serta sel – sel otot. Untuk bisa

mengalirkan listrik diperlukan ion – ion yang akan mengantarkan perintah dari jantung, otak

ataupun ginjal ke sel – sel otot. Ion – ion tersebut disebut dengan elektrolit. Jika
28

terjadi gangguan pada cairan & elektrolit maka aktivitas tersebut tidak adekuat dan begitu juga

sebaliknya. Jika kekuatan otot tersebut baik, akan memperluas pembuluh darah & mempengaruhi

masa otot yang dimanifestasikan dengan lingkar lengan (Hidayati, 2012). Hal ini sesuai dengan

penelitian tentang managemen cairan yang dilakukan oleh Isroin (2013) didapatkan perbedaan

kekuatan otot lengan sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan signifikan.

Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami pengurangan aktivitas dan mengalami

pengurangan kapasitas fungsional. Permasalahan yang juga sering dikeluhkan pasien adalah

kelemahan otot. Pasien dengan hemodialisis rutin mempunyai kekuatan otot yang lebih lemah

dibandingkan dengan populasi normal. Kelemahan otot tersebut disebabkan adanya pengurangan

aktivitas, atrofi otot, miopati otot, neuropati atau kombinasi diantaranya (Arnold, 2008).

Kekuatan otot juga dapat disebabkan oleh hipokalemi. Menurut Dawodu (2004), hipokalemia

ringan biasanya tidak menyebabkan gejala sama sekali. Hipokalemia yang lebih berat bisa

menyebabkan kelemahan otot, kejang otot dan bahkan kelumpuhan. Irama jantung menjadi tidak

normal, terutama pada penderita penyakit jantung.

Pernafasan

Sesak napas merupakan keluhan subyektif (keluhan yang dirasakan oleh pasien) berupa rasa tidak

nyaman, nyeri atau sensasi berat, selama proses pernapasan. Pada sesak napas, frekuensi

pernapasan meningkat di
29

atas 24 kali per menit. Sesak napas dapat digolongkan menjadi 2 kelompok besar berdasarkan

penyebabnya, yaitu organik yaitu adanya kelainan pada organ tubuh dan non organik yaitu berupa

gangguan psikis yang tidak disertai kelainan fisik. Sesak napas organik tidak hanya disebabkan

oleh kelainan organ pernapasan, tetapi penyakit pada organ seperti jantung dan ginjal pun dapat

menyebabkan terjadinya keluhan sesak napas (Hidayati & Wahyuni, 2012)

Sesak nafas yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis terjadi

karena dua faktor. Faktor pertama adanya penumpukan cairan yang diakibatkan oleh rusaknya

ginjal, sehingga cairan tersebut akan memutus saluran paru – paru dan membuat sesak nafas.

Faktor kedua disebabkan karena anemia yang mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen ( Hudak

& Gallo, 2010).

Interdialytic Weight Gain (IDWG)

Mayoritas klien yang menjalani terapi hemodialisis di Indonesia menjalani terapi 2 kali seminggu

antara 4 – 5 jam pertindakan, itu artinya tubuh harus menanggung kelebihan cairan diantara dua

waktu terapi (Sari, 2009). Pembatasan asupan cairan bergantung pada haluaran urine. Berasal dari

insensible water loss ditambah dengan haluaran urin per 24 jam yang diperbolehkan untuk pasien

dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani dialisis (Smeltzer & Bare, 2002).

Kondisi ketidaktepatan managemen cairan akan membuat tekanan darah meningkat dan

memperberat kerja jantung. Penumpukan cairan juga


30

akan masuk ke paru – paru sehingga membuat pasien mengalami sesak nafas, karena itulah pasien

perlu mengontrol dan membatasi jumlah asupan cairan yang masuk dalam tubuh (Smeltzer &

Bare, 2002).

Penilaian umum mengenai berat badan bersih adalah penting untuk mempermudah perawat dan

pasien dalam mengurangi kelebihan cairan selama pelaksanaan dialisis. 1 kg BB sebanding

dengan 1 L cairan, artinya berat badan pasien adalah metode yang sederhana dan akurat untuk

menilai pertambahan maupun pengurangan cairan (Morton & Fontaine, 2009)

Definisi

IDWG adalah peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan

sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik (Arnold,

2007).

IDWG adalah peningkatan berat badan antar hemodialisis yang paling utama dihasilkan oleh

asupan garam dan cairan. IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah lebih dari 1,0 – 1,5 kg

atau tidak lebih dari 3% dari berat kering (Istanti, 2011). Klasifikasi menurut Neumann (2013)

IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah tidak lebih dari 3% dari berat kering.

Pengukuran IDWG

IDWG merupakan indikator kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan. IDWG diukur

berdasarkan dry weight (berat badan


31

kering) pasien dan juga dari pengukuran kondisi klinis pasien. Berat badan kering adalah berat

badan tanpa kelebihan yang terbentuk setelah tindakan hemodialisis atau berat terendah yang

aman dicapai pasien setelah dilakukan dialisis (Kallenbach, 2005 ; Fielding, 2006)

Berat badan pasien ditimbang secara rutin sebelum dan sesudah hemodialisis. IDWG diukur

dengan cara menghitung berat badan pasien setelah (post) HD pada periode hemodialisis pertama

(pengukuran I). Periode hemodialisis kedua, berat badan pasien ditimbang lagi sebelum (pre) HD

(pengukuran II), selanjutnya menghitung selisih antara pengukuran II dikurangi pengukuran I

dibagi pengukuran II dikalikan 100%. Misalnya BB pasien post HD ke 1 adalah 54 kg,, BB

pasien ke 2 adalah 58 kg, prosentase IDWG (58 – 54) : 58 X 100% = 6,8 % (Istanti, 2009)

Faktor – faktor yang mempengaruhi IDWG

IDWG dipengaruhi dari faktor dari pasien sendiri (internal) dan faktor eksternal seperti faktor

fisik dan psikososial. Faktor – faktor yang berpengaruh pada kenaikan berat badan interdialitik

adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, rasa haus, stress, self effiacy, dukungan keluarga,

sosial, jumlah intake cairan

Usia

Peningkatan IDWG dapat terjadi pada setiap umur, hal ini berhubungan dengan kepatuhan

pemasukan cairan. Sesuai dengan penelitian oleh Sapri (2004), tidak ada pengaruh antara umur
32

pasien dengan kepatuhan dalam mengurangi asupan cairan pada pasien yang menjalani

hemodialisis. Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Kimmel, (2000) menunjukkan bahwa

umur merupakan faktor yang kuat terhadap tingkat kepatuhan pasien. Pasien berumur muda

mempunyai tingkat kepatuhan yang rendah dibandingkan dengan pasien berumur tua.

Jenis Kelamin

IDWG berhubungan dengan perilaku patuh pasien dalam menjalani hemodialisis, baik laki – laki

maupun perempuan mempunyai perilaku yang sama untuk terjadi peningkatan IDWG, hal ini

dipengaruhi oleh kepatuhan pasien (Isroin, 2013).

Air total laki – laki membentuk 60% berat badannya, sedangkan air tubuh total perempuan

membentuk 50% berat badannya. Laki – laki memiliki komposisi tubuh yang berbeda dengan

perempuan. Jaringan otot laki – laki lebih banyak dibandingkan perempuan yang memiliki lebih

banyak jaringan lemak (Marron, 2008). Lemak merupakan zat yang bebas air, maka makin

sedikit lemak akan mengakibatkan makin tinggi presentase dari BB seseorang. Total air tubuh

akan memberikan penambahan berat badan yang meningkat lebih cepat daripada penambahan

yang disebabkan oleh kalori. Terkait dengan hal tersebut, pada pasien hemodialisis,

penambahan BB diantara
33

dialisis pada laki – laki lebih tinggi dari pada perempuan (Charra, et al, 2007).

Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan sering dihubungkan dengan pengetahuan. Seseorang yang berpendidikan

tinggi diasusmsikan lebih mudah menyerap informasi sehingga pemberian asuhan keperawatan

dapat disesuaikan dengan tingkat pendidikan yang mencerminkan tingkat kemampuan

pemahaman & kemampuan menyerap edukasi selfcare (Sukandar, 2006).

Kemampuan melakukan perawatan mandiri selama hemodialisis terutama pengelolaan IDWG

tidak hanya dipengaruhi oleh hasil interaksi antara pengetahuan, sikap & tindakan pasien terhadap

pengelolaan cairan, diit, yang diperoleh melalui pemgalaman sendiri / orang lain dan sumber

informasi lain seperti media (Sonier, 2010). Studi yang dilakukan oleh Barnett (2008)

menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak memberikan perbedaan terhadap kemampuan

melakukan perawatan mandiri pada pasien hemodialisis.

Rasa Haus

Pasien dengan gagal ginjal kronik meskipun dengan kondisi hipervolemia, sering mengalami

rasa haus yang berlebihan yang merupakan salah satu stimulus timbulnya sensasi haus (Black &

Hawks, 2005). Merespon rasa haus normalnya adalah dengan


34

minum, tetapi pasien-pasien gagal ginjal kronik tidak diijinkan untuk berespon dengan cara yang

normal terhadap rasa haus yang mereka rasakan. Rasa haus atau keinginan untuk minum

disebabkan oleh berbagai faktor diantaraya masukan sodium, kadar sodium yang tinggi,

penurunan kadar posatium, angiotensin II, peningkatan urea plasma, urea plasma yang mengalami

peningkatan, hipovolemia post dialisis dan faktor psikologis (Istanti, 2009).

Depresi

Stress dapat mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit didalam tubuh. Stress

meningkatkan kadar aldosteron dan glukokortikoid, menyebabkan retensi natrium dan garam.

Respon stress dapat meningkatkan volume cairan akibatnya curah jantung, tekanan darah, dan

perfusi jaringan menurun. Cairan merupakan salah satu stressor utama yang dialami oleh pasien

yang menjalani hemodialisis (Potter & Perry, 2006).

Penyesuaian diri terhadap kondisi sakit juga menimbulkan stress pada pasien, sehingga

mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan pasien. Dampak psikologis pasien GGK

yang menjalani HD dapat dimanifestasikan dalam serangkaian perubahan perilaku antara lain

menjadi pasif, ketergantungan, merasa tidak aman, bingung dan menderita. Pasien merasa

mengalami kehilangan kebebasan, harapan umur panjang dan


35

fungsi seksual sehingga dapat menimbulkan kemarahan yang akhirnya timbul suatu keadaan

depresi. Menurut Istanti (2009) stress pada pasien HD dapat menyebabkan pasien berhenti

memonitoring asupan cairan, bahkan ada juga yang berhenti melakukan terapi hemodialisis,

kejadian ini secara langsung dapat berakibat pada IDWG.

Self Efficacy

Self Efficacy yaitu kekuatan yang berasal dari seseorang yang bisa mengeluarkan energi positif

melalui kognitif, motivasional, afektif dan proses seleksi. Self Efficacy dapat mempengaruhi rasa

percaya diri pasien dalam menjalani terapinya (hemodialisis). Self Efficacy yang tinggi

dibutuhkan untuk memunculkan motivasi dari dalam diri agar dapat mematuhi terapi dan

pengendalian cairan dengan baik, sehingga dapat mencegah peningkatan IDWG Bandura (2000)

dalam (Istanti, 2009).

Dukungan sosial dan keluarga

Dukungan keluarga berhubungan erat dengan IDWG, sehingga keluarga diharapkan dapat

memberikan dukungan dalam memonitor IDWG untuk mencegah komplikasi selama menjalani

hemodialisis. Tindakan hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik dapat menimbulkan stress

bagi pasien. Dukungan keluarga dan sosial sangat dibutuhkan untuk pasien. Dukungan keluarga

dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan berhubungan


36

dengan kepatuhan pasien untuk menjalankan terapi (Cahyaning, 2009)

Neck Veins

Jugularis venous pressure (JVP) atau tekanan vena jugularis adalah tekanan sistem vena yang

dapat diamati secara tidak langsung. Pengukuran tekanan vena jugularis merupakan tindakan

mengukur besarnya jarak pertemuan dua sudut antara pulsasi vena jugularis dan sudut sternum

tepatnya di Angle of Louis yang berguna untuk mengetahui tentang fungsi jantung klien.

Pengukuran system sirkulasi vena sendiri dapat dilakukan dengan metode non – invasif dengan

menggunakan vena jugularis (externa dexter) sebagai pengganti sphygmomanometer dengan titik

nol (zero point) di tengah atrium kanan. Titik ini kira – kira berada pada perpotongan antara garis

tegak lurus dari angulus Ludovici ke bidang yang dibentuk kedua linea midaxilaris. vena jugularis

tidak terlihat pada orang normal dengan posisi tegak. Ia baru terlihat dalam posisi berbaring di

sepanjang permukaan musculus sternocleidomastoideus. Pada orang sehat, JVP maksimum 3 – 4

cm diatas sudut sternum.

Distensi vena jugularis disebabkan oleh peningkatan volume dan tekanan pengisian pada sisi

kanan jantung. Distensi >2 cm pada klien dalam posisi duduk, dapat mengindikasikan kelebihan

volume cairan. Naiknya JVP yang diikuti dengan suara jantung ketiga, merupakan tanda yang

spesifik dari gagal jantung (De Laune, 2002)

Pengukuran JVP bertujuan untuk melihat adanya distensi vena jugularis, memperkirakan tekanan

vena sentral (CVP), memberikan informasi


37

mengenai fungsi jantung, terutama ventrikel kanan, fungsi paru, dan merupakan komponen

terpenting untuk menilai volume darah.

Biochemical Marker Cairan

Natrium (Na+) merupakan kation paling banyak dalam cairan ekstrasel. Na+ mempengaruhi

keseimbanagan air, hantaran impuls saraf dan kontraksi otot. Ion natrium di dapat dari saluran

pencernaan, makanan atau minuman masuk ke dalam cairan ekstrasel melalui proses difusi.

Pengeluaran ion natrium melalui ginjal, pernapasan, saluran pencarnaan, dan kulit. Pengaturan

konsentrasi ion di lakukan oleh ginjal (Hidayat, 2011).

Pasien gagal ginjal, natrium perlu dibatasai karena natrium dipertahankan didalam tubuh

walaupun faal ginjal menurun. Hal ini penting apabila terjadi hipertensi, oedema dan bendungan

paru. Pemberian natrium harus dilakukan pada tahap yang ditolerir dengan tujuan untuk

mempertahankan volume cairan ekstraseluler (Hidayat, 2009

; Perry & Potter, 2011)

Kalium (K+) merupakan kation utama cairan intrasel, berfungsi sebagai excitability

neuromuskuler dan kontraksi otot. Diperlukan untuk pembentukan glikogen, sintesa protein,

pengaturan keseimbanagan asam basa, karena ion K+ dapat diubah menjadi ion hidrogen (H+)

(Hidayat, 2009). Kalium dapat diperoleh melalui makanan seperti daging, buah- buahan dan

sayur-sayuran. Kalium dapat dikeluarkan melalui ginjal, keringat dan saluran pencernaan.

Pengaturan konsentrasi kalium


38

dipengaruhi oleh perubahan ion kalium dalam cairan ekstrasel. Kalium jarang meningkat pada

gagal ginjal kronik, apabila terjadi hiperkalemi biasanya berkaitan dengan oliguri, kejadian

katabolik, obat-obatan yang mengandung kalium, hiperkalemi dapat menimbulkan kegawatan

bagi jantung (Hidayat 2008).

Kalsium merupakan ion yang paling banyak dalam tubuh, berguna untuk integritas kulit dan

struktur sel, konduksi jantung, pembekuan darah, serta pembentukan tulang dan gigi. Kalsium

dalam cairan ekstrasel diatur oleh kelenjar paratiroid dan tiroid. Hormon para tiroid mengabsorpsi

kalisum melalui gastrointestinal, sekresi melalui ginjal. Hormon thirocalcitonin menghambat

penyerapan Ca+ tulang. Kalsium diperoleh dari absorpsi usus dan resorpsi tulang dan di keluaran

melalui ginjal, sedikit melalui keringat serta di simpan dalam tulang (Perry & Potter,

2011).

Magnesium (Mg2+) merupakan kation terbanyak kedua pada cairan

intrasel. Sangat penting untuk aktivitas enzim, neurochemia, dan muscular excibility. Sumber

magnesium didapat dari makanan seperti sayuran hijau, daging dan ikan (Hidayat, 2009). Klorida

Terdapat pada cairan ekstrasel dan intrasel, berperan dalam pengaturan osmolaritas serum dan

volume darah, regulasi asam basa, berperan dalam bufer pertukaran oksigen, dan karbon dioksida

dalam sel darah merah. Klorida disekresi dan di absorpsi bersama natrium di ginjal dan

pengaturan klorida oleh hormin aldosteron (Perry & Potter, 2011). Bikarbonat (HCO3)

merupakan buffer
39

kimia utama dalam tubuh dan terdapat pada cairan ekstrasel dan intrasel dengan fungsi utama

adalah regulasi keseimbangan asam basa. Biknat diatur oleh ginjal (Claire, 2012). Fosfat

merupakan anion buffer dalam cairan intrasel dan ekstrasel. Berfungsi untuk meningkatkan

kegiatan neuromuskular, metabolism karbohidrat, pengaturan asam basa. Pengaturan oleh

hormone paratiroid (Perry & Potter, 2011).

Konsep Dasar Selfcare Orem

Definisi

Keperawatan mandiri (selfcare) menurut orem adalah suatu pelaksanaan kegiatan yang

diprakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna

mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya sesuai keadaan, baik sehat maupun

sakit (Britz & dunn, 2010). Kemampuan melakukan kegiatan dalam memenuhi kebutuhan

individu dengan mempertahankan kesehatan dan kesempurnaan baik bio, psiko, sosial, dan

spiritual. Perawatan diri mandiri tingkah laku yang dipelajari, dipengaruhi meta paradigma

tentang individu, kesehatan, lingkungan, keperawatan (Alligood, 2008).

Konsep Orem telah memaparkan secara jelas, sesungguhnya setiap individu dengan keadaan dan

usia tertentu sesuai dengan kondisi dasarnya memiliki naluri serta kemampuan tubuh untuk dapat

merawat, melindungi, mengontrol, meminimalisir serta mengelola dampak negatif guna dapat
40

menjalankan hidup secara optimal untuk hidup dan sehat, pemulihan dari sakit atau trauma atau

koping dan dampaknya (Nurhidayah, 2007).

Faktor Pendukung Dan Penghambat Pasien Penyakit Ginjal Kronik Dalam Memenuhi self care

Faktor pendukung dan penghambat yang muncul pada saat seseorang melakukan tindakan

pemenuhan kebutuhan dapat mempengaruhi hasil pencapaian kondisi tubuh secara optimal.

Pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis perlu menganalisa dari pengalamannya

agar dapat mengontrol faktor pendukung dan penghambat yang terjadi sebagai bentuk upaya

dalam mempertahankan kondisi tubuh (Villar, Wellstred, Chandra & Roger, 2010 ;

Noorzji,2011).

Setiap informan memiliki faktor pendukung dan penghambat yang berbeda. Namun memiliki

tujuan pemenuhan kebutuhan tubuh yang sama. Kendala yang dialami oleh 5 informan bersumber

dari kendala internal maupun eksternal tubuh. Faktor ekonomi, faktor mental serta faktor

pengelolaan asupan cairan dan nutrisi pada pasien ginjal kronik diungkapkan informan dapat

menimbulkan kendala yang dapat menghamba pasien untuk memaksimalkan kondisi tubuhnya

(Farrington, 2009). Seluruh informan membutuhkan tercapainya kebutuhan secara holistic baik

dari segi biologi, psikologi, sosiokultural, spiritual, pemanfaatan sumber fasilitas kesehatan,

pelayanan kesehatan hingga ekonomi guna meminimalisir faktor pengahambat terjadinya defisit
41

perawatan diri. Latar belakang basic conditioning factor dapat menentukan tindakan yang akan

dilakukan informan dalam mencapai kebutuhan tubuh secara optimal dengan cara berbeda (Orem,

2007)

Penelitian pengalaman self care pada pasien gagal ginjal kronik yang dilakukan oleh Wahyuni

dan Hidayati (2012) menyatakan bahwa Upaya dan strategi masing-masing informan dalam

memenuhi kebutuhan dan pengoptimalan kondisi tubuh berbeda-beda sesuai dengan basic

conditioning factor yang mampu dimodikasi sehingga informan dapat melakukan tindakan secara

efektif dalam pemenuhan kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan teori self-care deficit yang

menyebutkan bahwa Basic conditioning factor merupakan indikasi peristiwa yang terjadi kepada

seseorang yang akan mengakibatkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan self-care secara

berbeda. Seseorang yang terlibat dalam pemenuhan tindakan self-care secara langsung ataupun

tidak langsung dapat mempengaruhi kebutuhan yang diharapkan sesuai dengan self-care

requisites. Dengan demikian basic conditioning factor yang dimodifikasi melalui self-care

requisites dapat memaksimalkan kebutuhan therapeutik self-care demand (Dimas, 2009).

Ghaddar S (2012) mengembangkan sebuah model terkait karakteristik individu yang

dikategorikan sebagai faktor prediktor kemampuan self care pada pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisis, yaitu :


42

Usia

Perbedaan tingkat kemampuan self care dapat disebabkan karena pengaruh usia,

hal ini berhubungan dengan berbagai keterbatasan maupun kerusakan

fungsi sensori yang dimiliki setiap individu. Penelitian yang dilakukan oleh De Geest et. al.

(2004) dalam Anita (2012) yaitu terjadi penurunan kemampuan belajar dan

mendemonstrasikan aktivitas self care pada pasien yang mengalami gangguan kronik sebagai

akibat penurunan fungsi sensori. Selain itu bertambahnya usia berpengaruh terhadap

perkembangan disfungsi organ sebagai akibat upaya tubuh untuk mempertahankan homeostasis.

Usia lanjut dibagi menjadi 3 (tiga) grup yaitu usia lanjut muda (60-74 tahun), usia lanjut (75-85

tahun) dan usia sangat lanjut (>85 tahun). Sedangkan Syamsiah N. (2011) mengklasifikan usia me

jadi usia dewasa muda (21-40 tahun), usia dewasa menengah (40-65 tahun) dan usia lanjut (.65

tahun) Gerontologis dalam Karavidas, Lazaros, Tsiachris & Pyrgakis (2010). Siagian (2001 dalam

Rohman 2007) menyatakan bahwa umur berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau

maturitas, yang berarti bahwa semakin meningkat umur seseorang, akan semakin meningkat pula

kedewasaannya atau kematangannya baik secara teknis, psikologis maupun spiritual, serta akan

semakin mampu melaksanakan tugasnya. Umur yang semakin meningkat akan meningkatkan

pula kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan, berfikir rasional, mengendalikan

emosi, toleran
43

dan semakin terbuka terhadap pandangan orang lain termasuk pula keputusannya untuk mengikuti

program-program terapi yang berdampak pada kesehatannya.

Azwar (2005) dalam Syamsiah (2011) menyatakan dua hipotesisnya terkait dengan usia dan

pembentukan sikap dan perilaku. Hipotesis pertama mengenai adanya tahun-tahun tertentu dalam

kehidupan dimana individu sangat rawan terhadap persuasi. Hipotesis ini menyatakan bahwa

sikap akan terbentuk secara kuat dalam tahun- tahun ini dan stabil untuk jangka waktu lama.

Hipotesis kedua beranggapan bahwa semakin lama (tua) individu akan semakin tahan terhadap

persuasi. Dalam hipotesis ini dinyatakan bahwa orang akan lebih rawan terhadap persuasi

sewaktu masih muda dan kemudian dengan bertambahnya usia akan semakin kuat dan kurang

peka sehingga lebih stabil sampai usia tengah baya dimana orang mencapai puncak keteguhan

sikapnya.

Berdasarkan hasil penelitian DOPPS (Dialysis Outcomes dan Practise Pattern Study), usia muda

menjadi prediktor peluang untuk ketidakpatuhan yang lebih tinggi dibandingkan usia yang lebih

tua terutama untuk melewatkankan sesi hemodialisis, memperpendek waktu dialysis, IDWG

berlebihan dan hiperphospatemia (Kamerrer, 2007). Penelitian klasik lama oleh Levinson dalam

Berk, (2007) telah mengidentifikasi fase-fase perkembangan dewasa awal dan tengah berikut ini

(Perry & Potter, 2005) :


44

Awal transisi dewasa (usia 18 sampai 20), ketika seseorang berpisah dari keluarga dan merasakan

kebebasan.

Memasuki dunia kedewasaan (usia 21 sampai 27), ketika seseorang menyiapkan dan mencoba

karier dan gaya hidup.

Masa transisi (usia 28 sampai 32), ketika seseorang secara besar- besaran memodifikasi aktivitas

kehidupannya dan memikirkan tujuan masa depan.

Masa tenang (usia 33 sampai 39), ketika seseorang mengalami stabilitas yang lebih besar.

Tahun keberhasilan (usia 40 sampai 65) waktu untuk pengaruh maksimal, membimbing diri

sendiri dan menilai diri sendiri.

Jenis kelamin

Beberapa studi yang memperlihatkan adanya perbedaan yang berkaitan dengan gender dalam hal

cara berfungsinya intelek cenderung terlalu melebih-lebihkan hasil temuan mereka. Hasil dari

studi yang tidak memperlihatkan perbedaan gender biasanya tidak diterbitkan atau hasil

temuannya kurang diperhatikan (Gage & Berliener, 1992 dalam Rohman, 2007). Oleh karena itu,

mengenai sejauh mana hasil pembelajaran itu dipengaruhi oleh perbedaan gender hingga kini

masih terus dipertanyakan dan dikaji. Laki-laki dan perempuan sudah pasti berbeda. Berbeda

dalam cara berespon, bertindak, dan bekerja di dalam situasi yang mempengaruhi setiap segi

kehidupan. Misalnya dalam hubungan antar manusia, intuisi


45

perempuan cenderung ditampakkan dengan nada suara dan air muka yang lembut, sedangkan

laki-laki cenderung tidak peka terhadap tanda- tanda komunikasi tersebut. Dalam hal navigasi

perempuan cenderung mengalami kesulitan untuk menemukan jalan, sedangkan laki-laki lebih

kuat pengenalan arahnya. Sementara itu, dalam bidang kognitif, perempuan lebih unggul di

bidang bahasa dan verbalisasi, sedangkan laki-laki menunjukkan kelebihannya dalam kemampuan

mengenali ruang dan matematika.

Laki-laki dan perempuan memperlihatkan budaya sosial yang berbeda satu sama lain. Mereka

menggunakan simbol, sistem kepercayaan, dan cara-cara yang berbeda untuk mengekspresikan

dirinya. Johnson (2000) dalam Rohman (2007) misalnya mencontohkan bahwa perempuan

cenderung mampu untuk menjadi pendengar yang baik dan dapat langsung menangkap fokus

permasalahan dalam diskusi dan tidak terfokus pada diri sendiri. Mereka cenderung lebih banyak

menjawab, dan lebih peka terhadap orang lain. Sementara laki-laki disisi lain lebih pandai

memimpin diskusi. Sikap inipun baik untuk digunakan dalam mengambil keputusan terhadap

dirinya termasuk permasalah kesehatan untuk dirinya. Riset menunjukkan jenis kelamin

perempuan memiliki prediktor yang kuat untuk ketidakpatuhan terutama untuk IDWG berlebihan

(Saran et. al. 2003 dalam Kamerrer, 2007).


46

Tingkat pendidikan

Perbedaan tingkat pendidikan seseorang sering dihubungkan dengan pengetahuan. Seseorang

yang berpendidikan tinggi diasumsikan lebih mudah menyerap informasi sehingga dapat

membawa seseorang kedalam perilaku yang positif seperti dalam hal mengembangkan

kemampuan dan kualitas pribadinya (Gibson, 2011).

Beberapa bukti menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pasien berperan dalam kepatuhan, tetapi

memahami instruksi pengobatan dan pentingnya perawatan mungkin lebih penting daripada

tingkat pendidikan pasien (Krueger et al, 2005 dalam Kamerrer, 2007).

Lama HD

Periode sakit dapat mempengaruhi kepatuhan. Beberapa penyakit yang tergolong penyakit kronik,

banyak mengalami masalah kepatuhan. Pengaruh sakit yang lama, belum lagi perubahan pola

hidup yang kompleks serta komplikasi-komplikasi yang sering muncul sebagai dampak sakit

yang lama mempengaruhi bukan hanya pada fisik pasien, namun lebih jauh emosional,

psikologis dan sosial pasien. Pada pasien hemodialisis didapatkan hasil riset yang

memperlihatkan perbedaan kepatuhan pada pasien yang sakit kurang dari 1 tahun dengan yang

lebih dari 1 tahun. Semakin lama sakit yang diderita, maka resiko terjadi penurunan tingkat

kepatuhan semakin tinggi (Kamerrer, 2007).


47

Penghasilan keluarga

Penghasilan sering dikaitkan dengan status sosial ekonomi seseorang. Bagi banyak pasien dewasa

yang hidup dalam kondisi sosial ekonomi rendah serta tidak memiliki pendapatan tambahan

selain gaji, akan mengalami kesulitan dalam beberapa aspek self care.

Misalnya berhubungan dengan kepatuhan terhadap diet rendah garam, dan mengikuti program

terapi sesuai anjuran (Moser & Watkins, 2008). Self care yang kurang akan menyebabkan pasien

menjalani hospitalisasi dan ini akan berefek terhadap pembiayaan selama pasien diraat di rumah

sakit.

Dukungan keluarga

Keluarga merupakan faktor eksternal yang memiliki hubungan paling kuat dengan pasien.

Keberadaan keluarga mampu memberikan motivasi yang sangat bermakna pada pasien disaat

pasien memiliki berbagai permasalahan perubahan pola kehidupan yang demikian rumit,

menjenuhkan dengan segala macam program kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Kugler &

Maes (2005) membuktikan bahwa terdapat hubungan yang positif antara dukungan keluarga

dengan meningkatnya angka kepatuhan pasien hemodialisis dengan r = 0,584 and p = 0,003.

stage of motivaton

Motif seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan

gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat.


48

Jadi motif tersebut merupakan suatu driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah-

laku, dan di dalam perbuatanya itu mempunyai tujuan tertentu. Beberapa pengertian motivasi

yaitu : Menurut Syamsiah (2011) motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula

diartikan hal atau keadaan menjadi motif.

Dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah merupakan sejumlah proses - proses psikologikal,

yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela

(volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu, baik yang bersifat internal, atau eksternal bagi

seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi. Penelitian

membuktikan bahwa motivasi yang kuat memiliki hubungan yang kuat dengan kepatuhan

(Kamerrer, 2007).

Perubahan berdasarkan model transteoritikal terbagi menjadi 6 tahapan, diantaranya adalah

prekontemplasi

Pada tahap ini klien belum menyadari adanya permasalahan ataupun kebutuhan untuk melakukan

perubahan, oleh karena itu memerlukan informasi dan umpan balik untuk menimbulkan

kesadaran akan adanya masalah dan kemungkinan untuk berubah. Nasehat mengenai perubahan

diit tidak akan berhasil bila dilakukan pada tahap ini


49

kontemplasi

Pasien Sudah timbul kesadaran akan adanya masalah. namun masih dalam tahap keragu-raguan.

Menimbang-nimbang antara alasan untuk berubah ataupun tidak. Konselor mendisukusikan

keuntungan dan kerugian perubahan pola diit.

preparasi

Jendela kesempatan untuk melangkah maju atau kembali ke tahap kontemplasi. (pasien perlu

bantuan dalam menentukan strategi atau goal perubahan yang dapat diterima, dapat dicapai dan

layak).

Aksi

Pasien mulai melakukan perubahan. (Goalnya adalah dihasilkannya perubahan perilaku sesuai

masalah).

Pemeliharaan

Pemeliharaan perubahan perilaku yang telah dicapai perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya

kekambuhan.

Relaps

Saat terjadi kekambuhan, proses perubahan perlu diawali kembali. Tahapan ini bertujuan untuk

kembalinya upaya aksi.


50

Dimensi Selfcare

Self care dibagi menjadi 3 dimensi yaitu Self care maintenance, Self care management, dan

Self care confidence. Self care maintenance


51

pada pasien Gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis menggambarkan pengetahuan

pasien dalam mengambil keputusan selama tindakan selama perawatan. Aktivitas yang dinilai

dalam selfcare maintenance meliputi terapi diit cairan sesuai dengan ketentuan yang telah

ditetapkan, kemampuan mengenal status ciran serta memonitor perubahan yang terjadi pada tubuh

(Alligood, 2014).

Self care management pada .pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis

menggambarkan kepatuhan pasien dalam menentukan tindakan selama perawatan yang mana

upaya tersebut bertujuan untuk mempertahankan kesehatan. Aktivitas yang dinilai dalam dimensi

ini meliputi meningkatnya kepatuhan dalam pengelolaan cairan seperti menjaga berat badan,

menghitung jumlah cairan yang masuk dalam tubuh dan keluar dari tubuh (Lowrie, 2005). Self

convidence menggambarkan kepercayaan diri pasien dalam mengikuti semua petunjuk tentang

self care yang mana hal tersebut dapat dilihat melalui kepercayaan diri terhadap perasaan bebas

dari penyakit.

Framework Orem Theory

Nursing Agency (Agen Keperawatan)

Nursing Agency adalah karakteristik orang yang mampu memenuhi status perawat dalam

kelompok – kelompok sosial. “tersedianya perawatan bagi individu laki – laki, wanita, dan anak

atau kumpulan manusia seperti keluarga – keluarga, memerlukan agar


52

perawat memiliki kemampuan khusus yang memungkinkan mereka memberikan perawatan yang

atan menggantikan kerugian akan bantuan dalam mengatasi tuntutan kesehatan atau hubungan

perawatan mandiri – kesehatan atau perawatan dependen deficit bagi orang lain. Kemampuan

yang khusus merupakan agen keperawatan (Alligood, 2014).

Self care agency ( Agen Perawatan sendiri)

Self – care agency adalah kekuatan individu yang berhubungan dengan perkiraan dan essensial

operasi – operasi produksi untuk perawatan mandiri

Therapeutik self – care demand (permintaan perawatan sendiri)

Self – care demand adalah totalitas upaya – upaya perawatan sendiri yang ditampilkan untuk

beberapa waktu agar menemukan syarat – syarat perawatan mandiri dengan cara menggunakan

metode – metode yang valid dan berhubungan dengan perangkat – perangkat operasi atau

penanganan (Peixoto, 2008).

Self – care (Perawatan sendiri)

Self – care adalah suatu kontribusi berkelanjutan orang dewasa bagi eksistensinya, kesehatannya

dan kesejahteraannya. Perawatan sendiri adalah latihan aktivitas yang individu – individunya

memulai dan menampilkan kepentingan mereka dalam mempertahankan individu, kesehatan dan

kesejahteraan (Alligood, 2011).


53

Self – care defisit

Self – care difisit adalah hubungan antara self – care agency dengan self care demand yang di

dalamnya self care agency tidak cukup mampu memenuhi self care demand.

Tipe Sistem Keperawatan Orem

Orem mengemukakan ada 3 tipe sistem keperawatan :

Sistem bantuan secara penuh (Wholly Compensatory System)

Wholly Compensatory System merupakan suatu tindakan keperawatan dengan memberikan

bantuan secara penuh pada pasien dikarenakan ketidakmampuan pasien dalam memenuhi

tindakan perawatan secara mandiri yang memerlukan bantuan dalam pergerakan, pengontrolan,

dan ambulasi serta adanya manipulasi gerakan (Alligood, 2011).

Tindakan perawat dalam sistem ini adalah menyelesaikan therapeutik self – care klien,

kompensasi ketidakmampuan dalam memenuhi self – care, mendukung dan melindungi klien

(Alligood, 2011, Natallie, 2010)

Sistem Bantuan Sebagian (Partially Compensatory System)

Partially Compensatory System Merupakan sistem dalam pemberian perawatan diri sendiri secara

sebagian saja dan ditujukan kepada pasien yang memerlukan bantuan secara maksimal.
54

Tindakan perawat dalam sistem ini adalah menjalankan sebagian kegiatan self care, kompensasi

ketidakmampuan dalam memenuhi self – care, membantu sesuai dengan kebutuhan

Sistem Supportif dan Educatif (Supportive Educative System)

Supportive Educative System merupakan sistem bantuan yang diberikan pada pasien yang

membutuhakan dukungan pendidikan dengan harapan pasien mampu memerlukan perawatan

secara mandiri

Tindakan perawat dalam sistem ini adalah melakukan dan menyelesaikan self – care, mengatur

latihan dan mengembangkan kemampuan self – care (Sweering & Kauffman, 2010).

SMDC (Self Management Detary Counseling)

konseling menurut bahasa indonesia adalah pemberian bimbingan oleh yang ahli kepada

seseorang dengan menggunakan metode psikologis sehingga pemahaman terhadap kemampuan

diri sendiri meningkat dalam memecahkan berbagai masalah (Sagala, 2011). Counselling

keperawatan merupakan bantuan yang diberikan perawat melalui interaksi yang mendalam,

dalam bentuk kesiapan perawat untuk menampung ungkapan perasaan dan permasalahan pasien

(meliputi aspek kognitif, afektif, behavioural, sosial, emosional, dan religious) kemudian perawat

sebagai konselor berusaha keras untuk memberikan alternatif pemecahan masalah untuk menjaga

kestabilan emosi dan motivasi pasien (konseli) dalam menghadapi masalah kesehatan (Mundakir,

2006, hlm.98 ; Gibson & Mitchell, 2006).


55

Konseling yang efektif adalah komunikasi dua arah antara pasien dan konselor tentang segala

sesuatu yang memungkinkan terjadinya perubahan perilaku pasien (Cornelia, 2013). Hal tersebut

dapat dicapai apabila konselor dapat menumbuhkan kepercayaan diri pasien sehingga mau dan

mampu melakukan perilaku baru untuk mencapai status kesehatan yang optimal. Oleh karena itu,

seorang konselor harus menguasai dan menerapkan ketrampilan berkomunikasi yang baik dalam

proses konseling. Ketrampilan tersebut antara lain ketrampian mendengar dan mempelajari,

ketrampilan membangun percaya diri dan memberi dukungan, ketrampilan menyimak,

ketrampilan leading (memberi arahan), ketrampilan memantulkan, ketrampilan merangkum dan

ketrampilan memperhadapkan (Cornelia, 2013, hlm.13-15; Mundakir, 2006, hlm.104-106).

Self Management merupakan serangkaian teknis untuk mengubah perilaku pikiran dan perasaan

yang meliputi pemantauan diri ( self monitoring), reinforcement yang positif (self reward),

perjanjian dengan diri sendiri (self contracting), penguasaan terhadap rangsang ( stimulus

kontrol). (yatter dalam miltenberg, 2008)

SMDC (Self Management Detary Counselling) merupakan intervensi yang digunakan sebagai

terapi pendekatan behavior kognitif. SMDC ini mengandung unsur komunikasi yang efekktif,

dimana perawat dapat mengetahui perasaan dan pengalaman seseorang terhadap perilakunya,

selain itu juga membahas tentang kepribadian dan sistem yang terorganisir dari terapi

interaksional. Terapi interaksional ini, perawat dapat menganalisis yang


56

dapat digunakan untuk memahami faktor – faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi pasien,

menghargai keragaman yang diciptakan oleh kepribadian yang berbeda serta melibatkan pasien

berdasarkan interaksi sebagai orang dewasa (Lawrence, 2007). Terapi ini bertujuan untuk

meningkatkan pengetahuan pasien dan partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan kesehatan

untuk meningkatkan kepatuhan dan outcome clinic. Oleh karena itu, konsep ini perlu diterapkan

dalam keperawatan untuk menangani pasien – pasien dengan penyakit kronis, seperti diabetes

mellitus dan gagal ginjal kronis (Egan, Rivera, Robillard & Hanson, 2012).

SMDC bisa dikolaborasikan dengan games. Games tersebut pada hakekatnya bertujuan untuk

merubah patient knowledge (PK) respoden karena berisikan permainan – permainan interaktif

yang berisikan materi tentang diet pada pasien HD (Ghaddar, 2012). SMDC mengandung unsur

komunikasi efektif dimana perawat dapat mengetahui perasaan dan pengalaman seseorang

terhadap perilakunya. Teori ini membahas tentang kepribadian dan sistem yang terorganisir dari

terapi interaksional.

Pengaruh SMDC (Self Management Dietary Counseling) terhadap status cairan

Pasien Gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis harus memiliki pengetahuan tentang

penatalaksanaan diet nutrisi maupun asupan cairan yang dikonsumsi. Faktor kurangnya

pengetahuan akan dapat mengakibatkan beberapa perburukan fisik yang meliputi kenaikan berat

badan
57

yang cepat melebihi 5%, edema, ronkhi basah dalam paru - paru, kelopak mata yang bengkak

dan sesak nafas (Smeltzer & Bare, 2002).

Program konseling pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis membantu untuk

memberikan penjelasan yang lebih baik terhadap manifestasi yang diderita. Tindakan konseling

dilakukan sebagai langkah awal tindakan preventif. Konseling mempunyai peran besar dalam

perbaikan fungsi ginjal dan mempunyai pengaruh terhadap penurunan IDWG pasien. Hal tersebut

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2012) dengan hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa ada perbedaan rata- rata IDWG sebelum konseling sebesar 2,65 kg menjadi

1,92 kg sesudah konseling (p= 0,003, α < 0,05) pada kelompok intervensi.

Penelitian yang dilakukan oleh supriyadi (2014) tentang efektifitas konseling diet cairan terhadap

pengontrolan interdialytic weight gain (IDWG) pasien hemodialisis di RS Telogorejo Semarang

didapatkan perbedaan yang signifikan antara IDWG sebelum dan setelah diberikan konseling

pada kelompok intervensi (p= 0,000), sedangkan pada kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan

yang signifikan antara pengukuran sebelum dan sesudah (p= 0,607). Pemberian konseling diet

cairan terbukti efektif terhadap pengontrolan IDWG pasien hemodialisis di RS Telogorejo

Semarang (p= 0,000).

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya suatu tindakan, perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada

yang tidak didasari pengetahuan.


58

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Kamaludin dan Rahayu (2009) yang

menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kepatuhan

asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik. Hasil penelitian lain yang di lakukan oleh Irawat

& Hertiningsi (2014) menunjukkan bahwa self management mempengaruhi nilai IDWG

responden. Pada dimensi self monitoring, responden dengan self monitoring baik, memiliki nilai

IDWG pada rentang ringan – sedang. Self monitoring itu sendiri merupakan suatu proses

klien mengamati dan mencatat segala sesuatu tentang dirinya sendiri. Self monitoring yang

diperlukan pasien hemodialisis adalah kemampuan pasien untuk memonitor asupan cairan dan

nutrisi sesuai

diit pasien.

Pengaruh SMDC (Self Management Dietary Counseling) terhadap peningkatan selfcare

Self management dapat meningkatkan hubungan dengan orang lain. Berhubungan dengan orang

lain menjadi lebih mampu membentuk dan mempertahankan hubungan yang bermakna dan

memuaskan dengan orang lain, misalnya dalam keluarga atau ditempat kerja. Konseling juga

dapat meningkatkan kesadaran diri, penerimaan diri, pemacahan masalah, perubahan kognitif dan

perubahan tingkah laku (Ahmad, 2005). Kesadaran diri menjadi lebih peka terhadap pemikiran

dan perasaan yang selama ini ditahan atau ditolak, atau mengembangkan perasaan yang lebih

akurat berkenaan dengan bagaimana penerimaan orang terhadap diri (Dahlani, 2011 ;

Anita ,2012).
59

Ghaddar S. (2012) dalam penelitian menyatakan bahwa pasien dengan gagal ginjal kronik sering

berhadapan dengan banyak perubahan, seperti regimen yang komplek yang harus mereka ikuti

dan rendahnya persepsi mereka terhadap efek dari terapi yang djalani. Hasilnya sering kita

temukan pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis yang mempunyai kesulitan dalam

mematuhi diit yang direkomendasikan.

Pada beberapa negara telah banyak menerapkan SMDC tersebut untuk beberapa penyakit kronik,

seperti hasil penelitian Ghaddar S (2012) di Lebanon yang dilakukan pada pasien hemodialisis.

Penelitian ini menunjukkan perubahan yang signifikan pada peningkatan PK (Patient

Knowledge), kepatuhan serta biochemical clinik. SMDC juga dilakukan pada pasien dengan

penyakit kronik , yang pernah diteliti di California tahun 2002 yang memberikan laporan bahwa

terdapat peningkatan PK (Patient Knowledge) yang memberikan perubahan yang signifikan

terhadap perilaku kesehatan, status kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. SMDC

dapat diterapkan pada pasien Gagal ginjal kronik yang tidak patuh terhadap diit baik dari diit

nutrisi ataupun cairan, sehingga terjadi peningkatan berat badan yang berlebihan (Lawrence,

2007)

Asuhan Keperawatan (Askep) Gagal Ginjal kronik Sdki Slki dan Siki

Pengkajian

Fokus Pengkajian keperawatan pada askep gagal ginjal kronik meliputi:

Kaji status cairan meliputi berat badan harian, intake dan output, turgor kulit, distensi vena leher,

tanda vital, dan usaha pernafasan.

Kaji pola diet nutrisi meliputi riwayat diet, preferensi makanan, dan jumlah kalori.

Kaji status nutrisi mencakup perubahan berat badan, nilai laboratorium.

Kaji pemahaman tentang penyebab gagal ginjal, akibat dan pengobatannya.

Kaji respons dan reaksi pasien dan keluarga terhadap penyakit dan pengobatan.
60

Kaji tanda-tanda hiperkalemia.

Diagnosa, Luaran, dan Intervensi Keperawatan

1. Hipervolemia b/d gangguan mekanisme regulasi (D.0022)

Luaran: Keseimbangan cairan meningkat (L.03020)

Haluaran Urin meningkat

Asupan Makanan meningkat

Edema menurun

Asites menurun

Konfusi menurun

Denyut nadi radial membaik

Tekanan darah membaik

Tekanan arteri rata-rata membaik

Turgor kulit dan berat badan membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Hipervolemia (I.03114)

Periksa tanda dan gejala hypervolemia

Identifikasi penyebab hypervolemia

Monitor status hemodinamik, tekanan darah, MAP, CVP, PAP, PCWP, CO jika tersedia

Monitor intaje dan output cairan

Monitor tanda hemokonsentrasi ( kadar Natrium, BUN, hematocrit, berat jenis urine)

Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma

Monitor kecepatan infus secara ketat

Monitor efek samping diuretik

Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama

Batasi asupan cairan dan garam

Tinggikan kepala tempat tidur 30-40 derajat

Anjurkan melapor jika haluaran urine <0.5 ml/kg/jam dalam 6 jam


61

Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg dalam sehari

Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluaran cairan

Ajarkan cara membatasi cairan

Kolaborasi pemberian diuritik

Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretic

Kolaborasi pemberian continuous renal replacement therapy

b. Pemantauan Cairan (I.03121)

Monitor frekuensi dan kekuatan nadi

Monitor frekuensi nafas

Monitor tekanan darah

Monitor berat badan

Monitor waktu pengisian kapiler

Monitor elastisitas atau turgor kulit

Monitor jumlah, waktu dan berat jenis urine

Monitor kadar albumin dan protein total

Monitor hasil pemeriksaan serum (mis. Osmolaritas serum, hematocrit, natrium, kalium, BUN)

Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan

darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membrane mukosa kering,

volume urine menurun, hematocrit meningkat, haus, lemah, konsentrasi urine meningkat, berat

badan menurun dalam waktu singkat)

Identifikasi tanda-tanda hypervolemia 9mis. Dyspnea, edema perifer, edema anasarka, JVP

meningkat, CVP meningkat, refleks hepatojogular positif, berat badan menurun dalam waktu

singkat)

Identifikasi factor resiko ketidakseimbangan cairan (mis. Prosedur pembedahan mayor,

trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi intestinal, peradangan pankreas, penyakit

ginjal dan kelenjar, disfungsi intestinal)

Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien


62

Dokumentasi hasil pemantauan

Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

2. Risiko Perfusi Renal Tidak Efektif b/d Disfungsi Ginjal (D.0016)

Luaran: Perfusi Renal Meningkat (L.02013)

Jumlah urine meningkat

Mual muntah menurun

Distensi abdomen menurun

Kadar urea nitrogen darah membaik

Tekanan arteri rata-rata membaik

Kadar kreatinin plasma membaik

Tekanan darah membaik

Kadar elektrolit membaik

Keseimbangan asam basa membaik

Intervensi Keperawatan: Pencegahan Syok (I.14545)

Monitor status kardiopulmunal (frekwensi dan kekuatan nadi, frekwensi nafas, TD, MAP)

Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)

Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit, CRT)

Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil

Periksa riwayat alergi

Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >94%

Persiapan intubasi dan ventilasi mekanik, jika perlu

Pasang jalur IV, jika perlu

Pasang kateter urine untuk menilai produksi urin, jika perlu

Lakukan skinen skine test untuk mencegah reaksi alergi

Jelaskan penyebab/ faktor resiko syok

Jelaskan tanda dan gejala awal syok


63

Anjurkan melapor jika menemukan/ merasakan tanda dan gejala syok

Anjurkan memperbanyak asupan oral

Anjurkan menghindari alergen

Kolaborasi pemberian IV, jika perlu

Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu

3. Risiko ketidakseimbangan elektrolit b/d Disfungsi Ginjal (D.0037)

Luaran: Keseimbangan Elektrolit meningkat (L.03021)

Intervensi Keperawatan:

a. Pemantauan Elektrolit (I.03122)

Identifkasi kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit

Monitor kadar eletrolit serum

Monitor mual, muntah dan diare

Monitor kehilangan cairan, jika perlu

Monitor tanda dan gejala hypokalemia (mis. Kelemahan otot, interval QT memanjang, gelombang

T datar atau terbalik, depresi segmen ST, gelombang U, kelelahan, parestesia, penurunan refleks,

anoreksia, konstipasi, motilitas usus menurun, pusing, depresi pernapasan)

Monitor tanda dan gejala hyperkalemia (mis. Peka rangsang, gelisah, mual, munta, takikardia

mengarah ke bradikardia, fibrilasi/takikardia ventrikel, gelombang T tinggi, gelombang P datar,

kompleks QRS tumpul, blok jantung mengarah asistol)

Monitor tanda dan gejala hipontremia (mis. Disorientasi, otot berkedut, sakit kepala, membrane

mukosa kering, hipotensi postural, kejang, letargi, penurunan kesadaran)

Monitor tanda dan gejala hypernatremia (mis. Haus, demam, mual, muntah, gelisah, peka

rangsang, membrane mukosa kering, takikardia, hipotensi, letargi, konfusi, kejang)

Monitor tanda dan gejala hipokalsemia (mis. Peka rangsang, tanda Chvostek [spasme otot wajah],

tanda Trousseau [spasme karpal], kram otot, interval QT memanjang)

Monitor tanda dan gejala hiperkalsemia (mis. Nyeri tulang, haus, anoreksia, letargi, kelemahan

otot, segmen QT memendek, gelombang T lebar, kompleks QRS lebar, interval PR memanjang)
64

Monitor tanda dan gejala hipomagnesemia (mis. Depresi pernapasan, apatis, tanda Chvostek,

tanda Trousseau, konfusi, disritmia)

Monitor tanda dan gejala hipomagnesia (mis. Kelemahan otot, hiporefleks, bradikardia, depresi

SSP, letargi, koma, depresi)

Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien

Dokumentasikan hasil pemantauan

Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

b. Manajemen Cairan (I.03098)

Monitor status hidrasi ( mis, frek nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler, kelembapan

mukosa, turgor kulit, tekanan darah)

Monitor berat badan harian

Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (mis. Hematokrit, Na, K, Cl, berat jenis urin , BUN)

Monitor status hemodinamik ( Mis. MAP, CVP, PCWP jika tersedia)

Catat intake output dan hitung balans cairan dalam 24 jam

Berikan asupan cairan sesuai kebutuhan

Berikan cairan intravena bila perlu

Kolaborasi pemberian diuretik, jika perlu

4. Intoleransi aktivitas b/d Kelemahan (D.0056)

Luaran: Toleransi Aktivitas meningkat

Saturasi oksigen meningkat

Frekwensi Nadi meningkat

Kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari hari meningkat

Kekuatan tubuh bagian atas dan bawah meningkat

Dyspnea saat dan setelah melakukan aktivitas menurun

Perasaan lemah menurun

Warna kulit membaik


65

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Energi (I.05178)

Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan

Monitor kelelahan fisik dan emosional

Monitor pola dan jam tidur

Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas

Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus seperti cahaya, suara, dan kunjungan

Lakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif

Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan

Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan

Anjurkan tirah baring

Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap

Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang

Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan

Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan

b. Terapi Aktivitas (I.05186)

Identifikasi deficit tingkat aktivitas

Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivotas tertentu

Identifikasi sumber daya untuk aktivitas yang diinginkan

Identifikasi strategi meningkatkan partisipasi dalam aktivitas

Monitor respon emosional, fisik, social, dan spiritual terhadap aktivitas

Fasilitasi focus pada kemampuan, bukan deficit yang dialami

Koordinasikan pemilihan aktivitas sesuai usia

Fasilitasi makna aktivitas yang dipilih

Fasilitasi aktivitas fisik rutin (mis. ambulansi, mobilisasi, dan perawatan diri), sesuai kebutuhan

Fasilitasi aktivitas pengganti saat mengalami keterbatasan waktu, energy, atau gerak

Tingkatkan aktivitas fisik untuk memelihara berat badan, jika sesuai


66

Fasilitasi aktivitas motorik untuk merelaksasi otot

Libatkan keluarga dalam aktivitas, jika perlu

Fasilitasi mengembankan motivasi dan penguatan diri

Fasilitasi pasien dan keluarga memantau kemajuannya sendiri untuk mencapai tujuan

Berikan penguatan positfi atas partisipasi dalam aktivitas

Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari, jika perlu

Ajarkan cara melakukan aktivitas yang dipilih

Anjurkan melakukan aktivitas fisik, social, spiritual, dan kognitif, dalam menjaga fungsi dan

kesehatan

Anjurka terlibat dalam aktivitas kelompok atau terapi, jika sesuai

Anjurkan keluarga untuk member penguatan positif atas partisipasi dalam aktivitas

Kolaborasi dengan terapi okupasi dalam merencanakan dan memonitor program aktivitas, jika

sesuai

Rujuk pada pusat atau program aktivitas komunitas, jika perlu

5. Nausea b/d Gangguan biokimia (uremia) (D.0076)

Luaran: Tingkat nausea menurun (L.08065)

Nafsu makan meningkat

Keluhan mual menurun

Perasaan ingin muntah menurun

Perasaan asam dimulut menurun

Sensasi panas menurun

Diaforesis menurun

Jumlah saliva menurun

Pucat, takikardia, dan dilatasi pupil membaik

Intervensi Keperawatan: Manajemen Mual (I.03117)

Identifikasi pengalaman mual

Identifikasi isyarat nonverbal ketidak nyamanan (mis. Bayi, anak-anak, dan mereka yang tidak
67

dapat berkomunikasi secara efektif)

Identifikasi dampak mual terhadapkualitas hidup (mis. Nafsu makan, aktivitas, kinerja, tanggung

jawab peran, dan tidur)

Identifikasi faktor penyebab mual (mis. Pengobatan dan prosedur)

Identifikasi antiemetik untuk mencegah mual (kecuali mual pada kehamilan)

Monitor mual (mis. Frekuensi, durasi, dan tingkat keparahan)

Monitor asupan nutrisi dan kalori

Kendalikan faktor lingkungan penyebab mual (mis. Bau tak sedap, suara, dan rangsangan visual

yang tidak menyenangkan)

Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab mual (mis. Kecemasan, ketakutan, kelelahan)

Berikan makan dalam jumlah kecil dan menarik

Berikan makanan dingin, cairan bening, tidak berbau dan tidak berwarna, jika perlu

Anjurkan istirahat dan tidur yang cukup

Anjurkan sering membersihkan mulut, kecuali jika merangsang mual

Anjurkan makanan tinggi karbohidrat dan rendah lemak

Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis untuk mengatasi mual (mis. Biofeedback, hipnosis,

relaksasi, terapi musik, akupresur)

Kolaborasi pemberian antiemetik, jika perlu

6. Risiko distres spiritual b/d Sakit Kronis (D.0100)

Luaran: Status Spiritual membaik (L.09091)

Verbalisasi makna dan tujuan hidup meningkat

Verbalisasi kepuasan terhadap makna hidup meningkat

Verbalisasi perasaan keberdayaan meningkat

Verbalisasi perasaan tenang meningkat

Verbalisasi penerimaan meningkat

Perasaan takut menurun

Koping spiritual membaik


68

Interpretasi realistis membaik

Intervensi Keperawatan: Dukungan Perkembangan Spiritual (I.09269)

Sediakan lingkungan yang tenang untuk refleksi diri

Fasilitasi mengidentifikasi masalah spiritual

Fasilitasi mengidentifikasi hambatan dalam pengenalan diri

Fasilitasi mengeksplorasi keyakinan terkait pemuliahan tubuh, pikiran dan jiwa

Fasilitasi hubungan persahaban dengan orang lain dan pelayanan keagamaan

Anjurkan membuat komitmen spiritual berdasarkan keyakinan dan nilai

Anjurkan berpartisipasi dalam kegiatan ibadah (hari raya, ritual) dan meditasi

Rujuk pada pemuka agama/kelompok agama jika perlu

Rujuk kepada kelompok pendukung, swabantu, atau program spiritual, jika perlu
69
70

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

Identitas Pasien

Pasien bernama Tn. A, dengan Umur 52 tahun, jenis kelamin adalah Laki- laki dengan

NO RM 2023015212, Pendidikan terakhir SD dan bekerja sebagai petani, pasien masuk

RSUD Pandan Arang pada 29 april 2013 jam 11.20 WIB dengan keluhan sesak nafas dan

nyeri dada dengan diagnosa Obs. Dyspnea d/d CHF.

B. ANALISA DATA

No Data Fokus Problem Etiologi

1. DS : Ketidak efektifan Penurunan fungsi

Pasien mengatakan mengalami sesak nafas pola nafas ginjal

sejak semalam, tidak berkurang walaupun saat

istirahat

Pasien mengatakan pusing

Pasien mengatakan badan terasa lemas

DO :

Keadaan umum lemah

Pasien terpasang O2 nassal kanul

TTV

TD : 140/80 mmHg

RR : 28 kali/menit
71

N : 80 kali/menit

S : 36,50 C

I :ada retraksi dinding dada

P:simetris, ada otot bantu pernafasan

P:sonor

A:terdengar ronchi basah/crales

Terdapat cupping hidung

Mukosa bibir pucat

Pasien tampak gelisah


72

2. DS : Nyeri akut

Pasien mengatakan nyeri dibagian kepala

P : nyeri karena

Q : Rasanya seperti berputar

R : dada bagian kiri menjalar ke perut kuadran

atas

S : skala nyeri 7 T : hilang timbul

DO :

TTV

TD :140/80 mmHg

RR : 28 kali/menit

N : 80 kali/mnt

S : 36,50 C

I : ictus cordis tampak melebar P : ictus cordis

melebar ke lateral P : batas jantung melebar

A: S1 = S2 reguler tunggal lemah

EKG tidak ada ST elevasi

Perut tidak simetris


73

Perut teraba kencang dibagian kuadran atas Intoleransi Ketidakseimbangan

DS : aktivitas antara suplai oksigen

3. Pasien mengatakan badan terasa lemas dan kebutuhan

Keluarga pasien mengatakan dalam oksigen

beraktivitas pasien harus dibantu

Pasien mengatakan mengalami sesak nafas,

tidak berkurang walaupun saat istirahat

DO :

TTV

TD : 153/80 mmHg

RR : 28 kali/menit

N : 80 kali/menit

S : 36,5 0 C

I :ada retraksi dinding dada P:simetris, ada otot

bantu pernafasan P:sonor

A:terdengar ronchi basah/crales

Warna kulit pucat, akral kulit dingin,

Terjadi kelelahan saat aktivitas

Ekstremitas atas dan bawah mengalami

kelemahan karena sesak nafas


74

DIAGNOSA KEPERAWATAN

A. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal

B. Nyeri akut berhubungan dengan

C. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan

kebutuhan oksigen
75

BAB IV

PEMBAHASAN

Dalam bab ini kami akan membahas mengenai masalah yang muncul dalam Asuhan

Keperawatan pada Tn. A dengan CKD St Van HD + Overhidrasi.

A. Pengkajian

Dari hasil pengkajian yang dilakukan secara langsung didapatkan data secara keseluruhan

terjadi kesesuaian antara teori dengan data yang didapatkan dari kasus, akan tetapi ada beberapa

ketidak sesuaian diantaranya pada :

B. Pola – pola fungsional :

a) Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan

b) Pola Nutrisi dan Cairan

c) Pola Eliminasi

C. Pemeriksaan Fisik :

Jantung pada pasien tidak mengalami takikardia, pasien mengalami gagal jantung kongestif

yakni ketidakmampuan pada kedua ventrikel untuk memompa darah, tidak ada bunyi S3 dan S4,

gambaran EKG sinus ritmia, terjadi kardiomegali karena didapatkan ictus cordis melebar, akan

tetapi rontgen thorax tidak dilakukan,


76

sehingga gambaran kardiomegali tidak bisa diperkuat dengan pemeriksaan penunjang.

Ekstremitas pada kasus tidak ada edema dependen maupun pitting edema, turgor kulit bagian

bawah pasien masih baik, walaupun pada pasien gagal jantung mengalami peningkatan tekanan

sistemik akan tetapi pasien tidak mengalami edema. Output urine pasien masih baik, karena

mendapatkan obat-obatan diuretik.

Diagnosa yang muncul pada kasus dan terdapat pada literatur

Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal.

Inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat (Nanda NICNOC,2012).

Diagnosa penulis tegakan menjadi prioritas diagnosa pertama karena ketidakefektifan pola nafas

akan memperburuk kondisi dan diagnosa yang lain seperti penurunan fungsi ginjal, nyeri dan

intoleransi aktivitas.

Diagnosa penulis tegakan sebagai prioritas diagnosa kedua karena penurunan curah jantung akan

menggangu sistem vaskularisasi darah, menyebabkan sel dan jaringan mengalami kekurangan

suplai oksigen maupun nutrient, menyebabkan perubahan membrane kapiler – alveolar, edema,

peningkatan tekanan vena porta.


77

Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan jantung. Diagnosa penulis tegakan sebagai

prioritas diagnosa ketiga karena nyeri / gangguan kenyamanan akan semakin memperberat

kondisi sesak nafas pada pasien, menambah kecemasan dan kegelisahan, serta sulit untuk

mempertahankan kondisi stabil untuk menurunkan sesak nafas.

intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan

kebutuhan oksigen. Diagnosa penulis tegakan sebagai diagnosa keempat karena intoleransi

aktivitas akan membatasi mobilisasi dari pasien, menurunkan kemampuan aktivitas mandiri,

meningkatkan resiko dekubitus karena tirah baring, meningkatakan resiko defisit perawatan diri

karena penurunan tingkat kemandirian dalam beraktivitas.

Diagnosa yang muncul pada literatur tetapi tidak muncul di kasus :

Kelebihan volume cairan berhubungan dengan peningkatan produksi hormone ADH.

Peningkatan retensi cairan isotonik (Nic Noc,2012:317).

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan produksi hormone ADH.

Kelebihan atau kekurangan oksigenasi/eliminasi karbondioksida di membrane kapiler

alveolar (Nanda NICNOC,2012).


78

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari asuhan keperawatan Pada Tn. S dengan CKD St Van HD + Overhidrasi RSKG

Ny. R. A Habibie Bandung. Kami melakukan tindakan selama 1 hari dan kami

menemukan 3 diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. S.

B. Saran

Mampu memberikan Asuhan Keperawatan sesuai dengan kondisi pada pasien CKD,

melakukan pengkajian secara lengkap untuk mengetahui keluhan yang muncul, dan

menyusun rencana keperawatan yang sesuai dengan kondisi dan prioritas masalah pasien.

Anda mungkin juga menyukai