Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN

KONSEP DASAR HEMODIALISA DAN CAPD

PEMINATAN HEMODIALISA

OLEH :

FRANSISKA PRAMEISELA
201920461011004

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
A. Konsep Dasar Hemodialisis
1. Pengertian Hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan pengobatan yang dilakukan pada pasien CKD
supaya mampu bertahan hidup. Namun demikian, tindakan tersebut mempunyai efek
samping pada kondisi fisik serta psikologis pendetita CKD (Kemenkes RI, 2017).
Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal yang dilakukan dengan mengalirkan
darah ke dalam tabung ginjal buatan yang bertujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa
metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit antara
kompartemen dialisat melalui membran semipermeable. Hemodialisis perlu dilakukan
untuk mengganti fungsi ekskresi ginjal sehingga tidak terjadi gejala uremia yang lebih
berat (Manus, Moeis & Mandang, 2015). Tujuan utama hemodialisis menghilangkan
gejala yaitu mengendalikan uremia, kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit
yang terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik. Dosis hemodialisis yang diberikan
umumnya 2 kali dalam seminggu dengan setiap hemodialisis 5 jam atau sebanyak 3
kali seminggu dengan setiap hemodialisis selama 4 jam. Lamanya hemodialisis
berkaitan erat dengan efisiensi dan adekuasi hemodialisis, sehingga lama hemodialisis
juga dipengaruhi oleh tingkat uremia akibat progresivitas perburukan fungsi ginjalnya
dan faktor-faktor komorbiditasnya, serta kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran
dialisat (Rahman, Kaunang & Elim, 2016).

2. Indikasi dan Kontraindikasi Hemodialisis


Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi hemodialisis segera (emergency), dan
hemodialisis kronik (Rocco et al, 2015).
1. Indikasi hemodialisis segera
Hemodialisa segera merupakan hemodialisa yang harus dilakukan dengan segera,
indikasinya antara lain:
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oliguria (Produksi urin < 200 ml/12 jam)
c. Anuria (Produksi urin < 50 ml/ 12 jam)
d. Hiperkalemia (Terutapa jika terjadi perubahan ECG, biasanya K> 6,5
mmol/l)
e. Asidosis berat (PH<7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia (BUN>150 ml/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati atau miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na>160 mmol/L atau < 115 mmol/L)
k. Keracunan akut (alkohol dan obat-obatan) yang dapat melewati membran
dialisis.
2. Indikasi Hemodialisa Kronik
Hemodialisa kronik merupakan hemodialisa yang dilakukan secara terus menerus
atau seumur hidup pasien. Sehingga hemodialisa dianggap perlu jika memiliki
indikasi sebagai berikut:’
a. LFG < 15 ml/menit
b. Gejala uremia meliputi: latergia, anoreksia, nausea, dan vomit
c. Adanya malnutrisi atau kehilangan massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
Kontraindikasi dilakukannya hemodialisa dibedakan menjadi 2, yaitu
kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif. Kontaindikasi absolut merupakan
kontraindikasi apabila tidak didapatkannya akses vaskular, sedangkan kontraindikasi
relatif merupakan kontraindikasi apabila ditemukannya kesulitan akses vaskular,
gagal jantung dan koagulopati (Setiati et al, 2014).

3. Jenis Dialisis
Dikenal jenis-jenis dialisis seperti:
1. Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis (CAPD)
Continouse Ambulatory Peritoneal Dialisis merupakan terapi bagi pasien yang
mengalami gagal ginjal. Prinsip kerja dari terapi CAPD ini yaitu bekerja didalam
tubuh menggunakan membran peritoneal yang mana dapat membuang sampah
sisa metabolisme dalam darah. Membran peritoneal menghubungkan dengan
rongga perut dan melindungi organ di dalamnya. Membran peritoneal ini bersifat
semi permiabel yang secara alami dapat dilewati oleh beberapa subtansi. Terapi
CAPD ini diawali dengan pemasangan kateter peritoneal yang dipasang kedalam
rongga perut melalui insisi kecil. Kateter ini berfungsi untuk mengalirkan dialisat
ke dalam rongga perut. Dialisat biasanya berupa cairan yang mengandung
glukosa dan subtansi lain yang sama dimiliki oleh tubuh. Ketika dialisat dialirkan
kedalam rongga perut, rongga perut bekerja sebagai penerima yang menahan
cairan dialisat. Sampah sisa metabolisme melewati membran peritoneal dan
sampai ke dialisat. Setelah 30 – 45 menit, dialisat yang telah digunakan yang
mengandung sampah sisa metabolisme dari darah di keluarkan dari rongga perut.
Dan digantikan dengan cairan yang baru. Proses ini berlangsung berulang secara
terus menerus. Diantara waktu pertukaran ini pasien bebas melakukan aktifitas
(Kidney Health Australia & Hospital, 2016).
2. Hemodialisis
Haemodialisis merupakan pengobatan (replacement treatment) pada penderita
gagal ginjal kronik stadium terminal, jadi fungsi ginjal digantikan oleh alat yang
disebut dyalizer (artifical kidney), pada dialyzer ini terjadi proses pemindahan
zat-zat terlarut dalam darah kedalam cairan dialisa atau sebaliknya. Hemodialisis
dilakukan dengan menggunakan akses vaskuler (Wiliyanarti & Muhith, 2019).
3. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal telah menjadi pilihan utama terapi bagi pasien dengan
penyakit ginjal tahap akhir, baik yang berasal dari donor hidup maupun jenazah.
Transplantasi ginjal memiliki risiko yang lebih rendah baik untuk mortalitas
maupun kejadian kardiovaskular, serta memiliki kualitas hidup yang lebih baik
dibandingkan pasien yang menjalani dialisis kronis, baik hemodialisis maupun
dialisis peritoneal. Donor ginjal terbagi atas dua, yaitu donor yang memiliki
hubungan keluarga (related) ataupun tidak (emotionally-related) (Susilowati et al,
2019).
4. Akses Hemodialisis
Beberapa akses hemodialisis yang bisa dilakukan pada pasien CKD menurut
Zasra, Harun & Azmi (2018) adalah sebagai berikut:

1. Arterivenous Shunt/Fistula
Prosedur operasi kecil untuk menghubungkan salah satu pembuluh arteri dengan
pembuluh vena. Penggunaan arterivenous shunt/fistula membutuhkan insersi
jarum melalui penusukan atau kanulasi pada saat akan dilakukan hemodialisis.
Insersi jarum atau penusukan pada arterivenous fistula dilakukan setiap pasien
akan dilakukan hemodialisis (Desnita, 2018).
2. Arterivenous graft
Koneksi antara arteri dan vena yang dibuat dengan menempatkan bahan graft di
antara arteri dan vena tersebut. AV graft  dibuat untuk menggantikan pembuluh
darah (Desnita, 2018). 
3. Kateter Double Lumen
Kateter hemodialisis double lumen memiliki dua koaksial lumen arteri dan vena
yang terpisah dan diposisikan dalam satu kateter. Lubang arteri pada ujung
kateter umumnya 2-3 cm proksimal lubang vena. Kateter hemodialisis non-
tunnelled memiliki panjang antara 12-24 cm dan diameter lumen antara 11-14
French (Fr). Secara umum kateter hemodialisis yang lebih panjang dipakai pada
tempat insersi di vena jugularis kiri atau vena femoralis, untuk memastikan
bahwa ujung kateter terletak pada posisi yang tepat. Diameter lumen kateter yang
lebih besar dapat memberikan volume darah yang lebih besar pada saat dialisis.
Volume darah yang dianjurkan oleh NKF KDOQI adalah lebih dari 350 ml per
menit (NKFKDOQI, 2015).

5. Prinsip Hemodialisis
Prinsip Hemodialisis pada dasarnya sama seperti pada ginjal, ada tiga prinsip
yang mendasari kerja hemodialisia, yaitu difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Sehingga
terapi Hemodialisis ini cukup berfungsi dan berguna dilakukan serta diterapkan
kepada pasien yang mengindap penyakit ginjal kronik. Pada proses Hemodialisis
terjadi difusi larutan antara darah dan dialisat yang mengalir kearah berlawanan, dan
dipisahkan oleh membran semipermeabel (Agustina & Wardani, 2019).
Sistem hemodialisis terdiri dari sistem vaskuler eksternal yang akan dilewati
saat darah pasien di transfer ke dalam sistem pipa polietilena steril menuju ke filter
dialisis/dialiser menggunakan pompa mekanik. Darah pasien akan ditransfer menuju
sistem vaskuler eksternal tersebut melalui akses vaskuler, yang merupakan akses
permanen ke aliran darah untuk hemodialisis (Dipiro et al, 2016).

6. Dosis dan Adekuasi


Kecukupan dialisis ditentukan berdasarkan kriteria klinis, dan atas dasar
formula Kxt/V, seperti yang direkomendasikan oleh KDOQI. K adalah klirens urea
dari dialiser, t adalah lama dialisis, dan V adalah volume distribusi urea (Rocco et al.,
2015). Dosis hemodialisis merupakan jumlah bersihan fraksi urea dalam satu sesi
dialisis yang dipengaruhi oleh ukuran tubuh pasien, fungsi ginjal sisa, asupan protein
dalam makanan, derajat anabolisme atau katabolisme, dan adanya komorbid.
Kecukupan (adequacy) dialisis menjadi target dosis dialisis Saat ini dipakai juga URR
(% Urea Reduction Rate) atau besarnya penurunan ureum dalam persen. URR = 100%
x (1-(ureum sebelum/ureum sesudah dialisis)) (Setiati et al, 2014).
Adekuasi hemodialisis dinilai dengan memakai perhitungan Kt/V atau URR
sebagai standar adekuasi hemodialisis di Indonesia yang tercantum dalam Pedoman
Nasional Pelayanan Kesehatan di bidang terapi pengganti ginjal, HD 2 kali seminggu
dengan target minimal Kt/V 1,8. Selain Kt/V parameter yang lebih sederhana yaitu
URR sering juga digunakan, target nya minimal 80% (Indonesian Renal Registry
(IRR), 2018).

7. Komplikasi
Komplikasi yang akan terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa yaitu:
1. Hipotensi
Penurunan tekanan darah atau hipotensi pada pasien posthemodialisis. Hipotensi
posthemodialisis ini biasanya hanya terjadi 1 - 3 jam. Hipotensi posthemodialisis
akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan (serebral, renal, miokard, perifer).
Bila masalah ini tidak diatasi dapat terjadi kerusakan organ tubuh permanen dan
bahkan dapat meningkatkan kematian. Saat aliran dan tekanan darah terlalu
rendah, maka pengiriman nutrisi dan oksigen ke organ vital seperti otak, jantung,
ginjal dan organ lain akan berkurang bahkan akan dapat mengakibatkan
kerusakan (Nuriya & Taufik, 2019).
2. Anemia
Pasien yang menjalani Hemodialisis juga dapat mengalami anemia, karena
kehilangan darah yang menyertai pengobatannya. Kehilangan darah dalam
dialiser mungkin dikarenakan beberapa penyebab seperti episode clotting selama
dialisis dan darah yang tertinggal di mesin dialiser. Clotting merupakan salah satu
komplikasi utama pada akses dialiser dan dapat menyebabkan penutupan akses
tersebut. Pada akhir setiap perlakuan Hemodialisis, sejumlah kecil darah biasanya
tertinggal di dalam dialiser. Hal ini dapat menjadi sumber kekurangan zat besi
dari waktu ke waktu, sehingga dapat menimbulkan anemia (NKFKDOQI, 2015).
3. Ensefalopati Uremikum
Komplikasi neurologis sering mempengaruhi pasien CKD berupa gangguan pada
pusat ataupun perifer dan jarang terdiagnosis maupun terobati. Ensefalopati
uremikum merupakan salah satu manifestasi klinis akibat uremia yang paling
berat. Terapi dialisis dapat memperbaiki tampilan klinis dan perkembangan
komplikasi neurologis pada pasien, tetapi mungkin juga secara langsung dapat
menginduksi kelainan terkait dialisis (Aisara, Azmi, & Yanni, 2018).
4. Perdarahan
Perdarahan sendiri terjadi karena trombositopenia yang disebabkan karena adanya
sindrom uremia ataupun efek samping dari penggunaan antikoogulan heparin
dalam jangka waktu yang lama (Himmelfrab, 2011).

B. Konsep Continuose Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)


1. Pengertian Continuose Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Menurut Smeltzer and Bare (2008: 1397) menjelaskan bahwa Continuose
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) merupakan suatu alternatif dialisis dengan
cara menarik cairan dan substrat dari dalam sirkulasi menggunakan membran
peritoneum sebagai membran dialisis endogen yang bersifat semipermiabel dengan cara
mengalirkan cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan yang
lebih encer (konsentrasi solut lebih rendah).
2. Tujuan Continuose Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Tujuan dari dialisis alternatif ini adalah untuk mengeluarkan zatzat toksin serta
limbah hasil metabolisme dalam tubuh. Selain itu, untuk mengembalikan keseimbangan
cairan yang berlebihan, dan memulihkan keseimbangan elektrolit (Smeltzer and Bare,
2008: 1405).
3. Indikasi dan Kontraindikasi
(Brunner and Suddarth, 2008 :1410 ) dan (Sudoyo, 2006 : 581) menjelaskan jika
indikasi dan kontraindikasi untuk pemasangan Continuose Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) adalah sebagai berikut :
a. Indikasi
1. Penyakit ginjal dengan stadium kronik maupun terminal yang terjadi akibat
hipertensi dan diabetes melitus sering menjadi pertimbangan sebagai indikasi
CAPD karena hipertensi, uremia, dan hiperglikemia lebih mudah diatasi dengan
cara dialisis ini.
2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, atau asam basa.
3. Intoksikasi obat atau bahan kimia lainnya.
4. Pasien yang tidak mampu ataupun tidak mau menjalani hemodialisa.
5. Pasien yang memiliki resiko rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit, dan
metabolik yang cepat atau keadaan hemodinamik yang tidak stabil.
b. Kontraindikasi
1. Terdapat luka bakar pada dinding abdomen yang cukup luas terutama bila
disertai infeksi dan perawatan luka yang tidak adekuat.
2. Adanya perlengketan akibat pembedahan atau penyakit inflamasi sitemik yang
dialami sebelumnya.
3. Adanya riwayat kolostomi, ileostomi, nefrostomi atau ileal conduit karena hal
ini dapat meningkatkan resiko peritonitis.
4. Adanya diskus lumbalis, hernia pada dinding abdomen, distensi usus, kelainan
abdomen yang belum diketahui, dan obesitas akan memiliki potensi lebih besar
timbulnya komplikasi apabila terpasang CAPD.
4. Cara Kerja Continuose Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
a. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal

Akses ini berupa kateter yang “ditanam” di dalam rongga perut dengan
pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar. Lokasi dimana sebagian
kateter muncul dari dalam perut disebut “exit site”
b. Pemasukan Cairan Dialisat
Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus
untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama
4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat zat racun dari dalam
darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan
dialisat. Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan
dialisat melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai
“alat penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi. Cairan dialisat mengandung
dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk menarik kelebihan air, proses
penarikan air kedalam cairan dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.
5. Pemasangan Kateter Continuose Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Keberhasilan penempatan kateter adalah hal yang paling utama pada Continuose
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), karena alat tersebut bersifat permanen dan
menjadi kebutuhan dasar untuk pembuangan limbah dari tubuh pada pasien gagal ginjal
kronik. Komplikasi yang berhubungan dengan kateter termasuk infeksi exit site dan
tunel merupakan kegagalan dialisis ini karena dapat menyebabkan infeksi peritonitis.
Namun, penempatan kateter yang tepat dan perawatan kateter dapat mengurangi
komplikasi tersebut. Letak exit site sebaiknya pada posisi lateral dan ditempatkan di
atas atau di bawah garis pinggang, alangkah baiknya tidak pada bekas luka atau di
bawah lipatan lemak. Anestesi diberikan secara lokal dengan lidocain 2% subkutan
tanpa epinefrin. Meskipun anestesi lokal sudah cukup, namun perlu menghubungi
dokter anestesi untuk mencegah komplikasi. Jarak 2 cm dari bawah umbilikus arah ke
kanan atau ke kiri dibuat insisi transverse paramedian 3 cm sampai ke rektus fascia
anterior.
Kateter dimasukkan secara kaudal ke arah pelvik minor untuk memungkinkan
terjadinya gravitasi pada waktu drain. Pergerakan kateter selama dialisa sangat
diharapkan karena posisi tersebut mengoptimalkan pada waktu cairan masuk atau
keluar. Dengan tehnik Purse string peritoneum ditutup dengan pas menggunakan
benang yang dapat diserap di bawah cuff. Selanjutnya kateter melalui tunel dan keluar
pada exit site dan mengarah ke bawah. Jika kateter telah terpasang dengan tepat,
pemasukan cairan tidak akan memberikan rasa sakit serta cairan dapat keluar dengan
lancar. Untuk meminimalkan pergerakan kateter dari exit site sebaiknya difiksasi.
Perawatan luka operasi yang tepat merupakan metode terbaik pencegahan infeksi.
Idealnya CAPD ditunda sampai 10-14 hari setelah pemasangan kateter. Pada masa ini
pasien perlu dilakukan hemodialisa atau intermiten peritoneal dialisa.
6. Cairan Dialisat
Di Indonesia, terdapat 3 macam konsentrasi cairan dialisat dalam CAPD, yaitu
cairan dialisat dengan kadar dekstrose 1,5%, dekstrose 2,5% (hipertonik), dan dekstrose
4,25% (hipertonik) dalam kemasan 2 liter (Sudoyo, 2006: 583). Komponen yang
terdapat pada cairan dialisat sama dengan komponen elektrolit plasma darah normal
tanpa kalium. Dekstrose 1,5% dapat menarik cairan sebanyak 200-400 mL dan
digunakan untuk pasien dehidrasi atau pasien dengan berat badan turun.
Dialisat ini mengandung 110 kalori. Dekstrose 2,3% yang mengandung 180
kalori dapat menarik cairan sebanyak 400-600 mL dan umumnya digunakan pada
pasien overload atau kelebihan cairan, sedangkan dekstrose 4,25 % dapat menarik
cairan sebanyak 600-800 mL dan juga digunakan untuk pasien overload. Dialisat
dengan konsentrasi 4,25% ini mengandung 250 kalori (Saidu, dkk, 2016:15). Heparin
dapat ditambahkan pada dalam cairan dialisat dengan tujuan untuk mencegah
pembentukkan fibrin yang dapat menyumbat kateter. Biasa nya heparin diberikan

dengan dosis 500-1000 unit tiap 2 liter cairan (Sudoyo, 2006: 581).
7. Pergantian Cairan Dialisat
Pada saat proses penggantian cairan dialisat pasien harus ditempatkan pada
tempat yang tenang dan bersih untuk mencegah kemungkinan kontaminasi. Setelah cuci
tangan dengan bersih dan menyiapkan beberapa alat, pasien mulai untuk mengalirkan
cairan dialisat lama yang sudah berada di rongga peritoneum secara gravitasi keluar
dari rongga abdomennya. Proses ini disebut sebagai drain dan biasanya membutuhkan
waktu 10 sampai 20 menit. Langkah selanjutnya adalah melepas tube dari kantong
dialisat lama dan menghubungkan tube ke kantong dialisat yang baru. Setelah tube
terhubung ke kantong dialisat yang baru, kantong tersebut harus diletakkan di atas
abdomen pasien sehingga dialisat yang baru dapat mengalir ke dalam rongga
peritoneum pasien secara gravitasi. Proses ini dikenal dengan istilah infusion. Setelah
semua cairan dialisat masuk ke rongga peritoneum pasien melepaskan tube dari
kantong dialisat tersebut dan pasien bisa beraktifitas seperti biasa. Keseluruhan proses
penggantian cairan dialisat ini membutuhkan waktu sekitar 20 sampai 30 menit.
8. Prinsip Continuose Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Pada dialisis peritoneal, cairan diinfuskan melalui selang kedalam rongga
peritoneum. Air dan zat terlarut kemudian bergerak melewati membran peritoneal yang
bersifat semipermiabel (Callaghan, 2009: 98). Membran ini terdiri dari tiga lapisan
yaitu mesotel, intestinum, dan dinding kapiler peritoneum. Ketika cairan dialisat
dimasukkan ke dalam rongga peritoneum, air bergerak dari plasma ke larutan dialisat
denga kadar glukosa tinggi secara osmosis. Sedangkan, molekul lain seperti asam
amino, dapat digunakan untuk menggantikan glukosa dalam cairan dialisis.
Smeltzer and Bare (2008:1406) menjelaskan jika Continuose Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) bekerja berdasarkan prinsipprinsip yang sama seperti
dialisis pada umumnya, yaitu: difusi dan osmosis. Difusi sendiri merupakan proses
perpindahan cairan dari daerah yang memiliki konsentrasi tinggi ke daerah yang
konsentrasi rendah, dimana proses ini berlangsung ketika cairan dialisat dimasukkan ke
dalam rongga peritoneum. Konsentrasi cairan CAPD lebih rendah dari plasma darah,
karena cairan plasma banyak mengandung toksin uremik. Toksin uremik berpindah dari
plasma ke cairan CAPD. Sedangkan osmosis sendiri merupakan perpindahan air
melewati membrane semi permeable dari daerah yang memiiki konsentrasi rendah
(kadar air tinggi) ke daerah yang memiliki konsentrasi tinggi (kadar air rendah).
Osmosis dipengaruhi oleh tekanan osmotic dan hidrostatik antara darah dan cairan
dialisat. Osmosis pada peritoneum terjadi karena glukosa pada cairan CAPD
menyebabkan tekanan osmotic cairan CAPD lebih tinggi (hipertonik) dibanding
plasma, sehingga air akan berpindah dari kapiler pembuluh darah ke cairan dialisat
(ultrafiltrasi) Kandungan glucose yang lebih tinggi akan mengambil air lebih banyak.
Terapi ini CAPD ini bersifat continue sehingga kadar limbah nitrogen dalam
serum cenderung lebih stabil. Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih
tersisa, volume dialisa setiap hari, dan kecepatan produk limbah tesebut diproduksi.
Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada CAPD tidak bergitu ekstrim jika
dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten karena proses dialysis berlangsung
secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada dalam kisaran normal. Semakin
lama waktu retensi, klirens molekul yang berukuran sedang semakin baik. Diperkirakan
molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang signifikan. Dengan CAPD kliren
molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti ureum, akan
berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis daripada molekul berukuran sedang,
meskipun pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama hemodialisa.
Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialysis peritonial dicapai dengan
menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi
sehingga tercipta gradient osmotik.
Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan bebepara ukuran
volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml sehingga memungkinkan pemulihan
dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien.
Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar gradient osmotic dan semakin
banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan cara memilih larutan glukosa
yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Teknik ini berlangsung secara kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7
hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan pertukaran dengan interval yang
didistribusikan sepanjang hari (misalnya, pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00
sore dan 10.00 malam). Dan dapat tidur pada malam harinya. Setiap pertukaran
biasanya memerlukan waktu 30-60 menit atau lebih. menit, 30 menit atau lebih.
9. Kelebihan dan Kekurangan Continuose Ambulatory Peritoneal Dialysis

Sudoyo (2006: 581), menjelaskan jika penggunakan CAPD pada pasien gagal ginjal
kronik maupun terminal memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Kelebihan
1. Secara tekhnis cara kerja lebih sederhana, cukup aman, dan cukup efisien, serta
tidak memerlukan fasilitas khusus sehingga dapat dilakukan di rumah maupun
rumah sakit.
2. Karena penggunaan nya yang sederhana, pasien dapat melakukan secara
mandiri dirumah dan beraktivitas sehari hari.
3. Bisa mempertahankan fungsi ginjal yang masih tersisa.
4. Dari segi ekonomi lebih terjangkau karena biaya untuk perawatan, tenaga, dan
fasilitas kesehatan relatif rendah.
5. Penderita tidak perlu ditusuk berkali-kali seperti hemodialisa pada umumnya.
6. Pasien dapat lebih leluasa memilih jenis makanan dan minuman yang
dikonsumsi.
7. Dapat mengurangi gejala uremia dengan baik pada penderita.
8. Meningkatkan asupan cairan, menaikan hematokrit serum, dan mengontrol
tekanan darah
9. Kadar ureum, kreatinin, natrium, dan kalium dalam serum relatif stabil.
10. Kebutuhan elektrolit dalam tubuh dengan cepat dapat segera terpenuhi dan
cenderung dalam batas normal.
b. Kekurangan
1. Resiko tinggi infeksi pada rongga peritoneum (peritonitis).
2. Akan terjadi kenaikan berat badan akibat glukosa yang diabsorbsi.
3. Terjadi kehilangan protein dalam jumlah yang cukup besar akibat proses
dialisis.
10. Komplikasi
Meskipun alternatif dialisis ini memiliki banyak keuntungan, tentunya hal ini
memiliki resiko timbulnya komplikasi yang akan berdampak dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Pada awalnya, komplikasi yang ditimbulkan bersifat ringan,
meskipun beberapa diantaranya jika tidak diatasi akan membawa dampak yang cukup
serius (Smeltzer and Bare, 2008 :1410 ).
Menurut (Brunner and Suddarth, 2008 :1411 ) dan (Sudoyo, 2006 : 583)
memaparkan jika komplikasi yang dapat ditimbulkan dari pemasangan CAPD adalah
sebagai berikut:
a. Peritonitis
Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi ditemukan dan paling
serius. Komplikasi ini sebgaian besar disebabkan oleh adanya kontaminasi dari
Staphylococcuss epidermidis yang bersifat aksidental dengan gejala yang
ditimbulkan relatif ringan, dan Staphylococcus aureus dengan angka morbiditas
tinggi, dan prognosis lebih serius serta lebih lama. Mikroorganisme tersebut
berasal dari usus dan bersifat anaerob.
Manifestasi yang ditunjukkan dari peritonitis yaitu cairan drainasi (effluent)
dialisat yang keruh, nyeri abdomen yang difus. Selain itu, hipotensi serta tanda-
tanda syok lainnya juga muncul apabila penyebabnya adalah Staphylococcus
aureus. Pemeriksaan cairan drainage untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan
Gram, dan pemeriksaan kultur untuk mengenali jenis mikroorganisme dan arahan
pemberian terapi yang tepat.
b. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat yang biasa terjadi melalui luka insisi atau luka
pemasangan kateter setelah kateter terpasang. Kebocoran akan berhenti spontan
jika terapi dialisis ditunda selama beberapa hari sampai luka insisi dan tempat
keluarnya kateter sembuh. Dalam periode ini, faktor-faktor yang dapat
memperlambat proses penyembuhan seperti aktivitas abdomen yang berlebihan
dan mengejan pada saat buang air besar harus dikurangi.
Meskipun demikian, kebocoran dapat dihindari dengan cara memulai infus
cairan dialisat dengan volume kecil (100-200 ml) dan secara bertahap
meningkatkan volume mencapai 2000 ml.
c. Perdarahan
Cairan drainase (effuent) dialisat akan nampak bercampur darah apabila
komplikasi ini terjadi, khususnya pada wanita yang sedang menstruasi (cairan
hipertonik menarik darah dari uterus melewati orifium tuba fallopi yang bermuara
kedalam kavum peritoneal). Kejadian ini dapat terjadi selama beberapa kali
penggantian cairan mengingat darah akibat prosedur tersebut tetap berada pada
rongga abdomen. Penyebab lain terjadinya perdarahan karena pergeseran kateter
dari pelvis serta pada pasien yang habis menjalani pemeriksaan enema atau
mengalami trauma. Pada prinsipnya tidak memerluka suatu intervensi yang khusus.
Namun, perdarahan ini dapat dihentikan dengan cara melakukan pertukaran cairan
lebih sering untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.
d. Komplikasi lain
1. Hernia abdomen, yang ditimbulkan akibat meningkatnnya tekanan intra
abdomen yang terus-menerus. Apabila keadaan ini terus berlanjut, maka akan
menimbulkan komplikasi kearah hernia hiatus dan hemorhoid.
2. Hipertrigliseridemia, komplikasi ini sering dijumpai pada pasien yang
menggunakan CAPD. Sehingga akan memicu timbulnya penyakit
kardiovaskuler dan jika keadaan ini terus berlanjut dapat menimbulkan
kematian.
3. Nyeri punggung bawah dan anoreksi, akibat terdapatnya cairan dalam rongga
abdomen dan kesan rasa manis yang selalu terasa pada indera pengecap akibat
absorbsi glukosa.
11. Prosedur Continuose Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Metode dialisis ini pada prinsipnya menggantikan fungsi ekskresi ginjal namun
tidak menggantikan fungsi endokrin dan metabolik ginjal (Nursalam, 2008:28). Tujuan
dari dialisis ini adalah membantu kehidupan dan kenyamanan pasien. Menurut
Nursalam (2008:30), memaparkan jika prosedur dalam pemasangan CAPD pada
penderita gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut:
a. Kateter ditanam kedalam peritoneum dan bagian internal kateter direkatkan
melalui pembentukan jaringan fibrus yang menstabilkan kateter dan
meminimalkan adanya lubang.
b. Selang penghubung disambungkan ke ujung internal dari insersi kateter ke
kantong plastik cairan dialisis.
c. Kantong dialisis diangkat setinggi bahu dan infus dengan gravitasi ke saluran
peritoneum (kurang lebih 10 menit sebanyak 2 liter).
d. Waktu yang dibutuhkan sekitar 4-6 menit.
e. Ketika waktu terakhir dialisis cairan dialirkan dari saluran peritoneum dengan
arah gravitasi. Drainase sebanyak 2 liter ditambah dengan ultrafiltrasi kurang
lebih 10-20 menit jika tetap berfungsi secara optimal.
f. Sesudah cairan dialisat dialirkan, sebuah kantong cairan dialisis segera diinfuskan
menggunakan teknik aseptik.
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, W & Wardani, E. K. (2019). Penurunan Hemoglobin pada Penyakit Ginjal Kronik
Setelah Hemodialisis di RSU “KH” Batu. Jurnal Ners Dan Kebidanan, 6(2), 142–147.
https://doi.org/10.26699/jnk.v6i2.ART.p142-147
Aisara, S, Azmi, S & Yanni, M. (2018). Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal Kronik
yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil padang. Jurnal Kesehatan
Andalas, 7(1).
Desnita, R. (2018). Pemijatan Pada Titik LI-4 Untuk Mengurangi Nyeri Kanulasi AV-Fistula
Pada Pasien Hemodialisis. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah.
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matske, G.R., Wells, B.G and Posey, L. M. (2016).
Pharmacotherapy A Patofisiologi Approach, Mc Grow Hill Profesional.
Himmelfrab, J. (2011). Curriculum in Nephrology Hemodialysis Complications National
Kidney Foundation. The England Journal of Medicine. https://doi.org/10.1053
Indonesian Renal Registry (IRR). (2018). 11th Report of Indonesian Renal Registry.
Sekretariat Registrasi Ginjal Indonesia.
Kemenkes RI. (2017). Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Pusat Data dan informasi Kementerian
Kesehatan RI.
Kidney Health Australia & Hospital, R. N. S. (2016). An Introduction to Peritoneal Dialysis.
Manus, S., Moeis, E & Mandang, V. (2015). Perbandingan Fungsi Kognitif Sebelm dan
Sesudah Dialisis Pada Subjek Penyakit Gagal Ginjal Kronis Yang Menjalani
Hemodialisis. Jurnal E-Clinic (Ecl), 3(3), 816–819.
NKFKDOQI. (2015). Iron Needs In Dialysis - The National Kidney Foundation. National
Kidney Foundation.
Nuriya, N & Taufik, A. (2019). Effect Ultrafiltration Rate on Blood Pressure Chronic Kidney
Disease Patient During Hemodyalisis: A Literature Review. Journal of Bionursing, 1(2).
Rahman, M. T. S. A., Kaunang, T. M. D & Elim, C. (2016). Hubungan Antara Lama
Menjalani Hemodialisis Dengan Kualitas Hidup Pasien Yang Menjalani Hemodialisis di
Unit Hemodialisis. Jurnal E-Clinic (Ecl), 4(1), 36–40.
Rocco, M., Daugirdas, J.T., Depner, T. A., Inrig, J., Mehrotra, R., Rocco, M. V. (2015).
KDOQI Clinical Practice Guideline for Hemodialysis Adequacy. Am J Kidney Dis,
66(5), 884–930.
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., Simandibrata, M., Setyohadi, B. (2014). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Interna Publishing.
Susilowati, U., Sutrisna, B., Marbun, M. B. H., Susalit, E. (2019). Survival Kidney
Transplantation from Related and Emotionally Related Living Donors in Cipto
Mangunkusumo Hospital 2010-2015. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 6(2).
Wiliyanarti, D. F & Muhith, A. (2019). Life Experience of Chronic Kidney Diseases
Undergoing Hemodialysis Therapy. NurseLine Journal, 4(1).
Zasra, R., Harun, H & Azmi, S. (2018). Indikasi dan Persiapan Hemodialisis Pada Penyakit
Ginjal Kronis. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(2).
ASUHAN KEPERAWATAN

A. CASE REPORT

Seorang lelaki asli Maya berusia 42 tahun datang ke klinik nirlaba di pedesaan
Guatemala dengan tanda, gejala, dan nilai laboratorium yang konsisten dengan
diabetes yang tidak terkontrol. Meskipun pengobatan yang tepat, sekitar 18 bulan
setelah presentasi, ia ditemukan memiliki penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) yang
ireversibel dari etiologi yang tidak pasti. datang ke klinik nirlaba di kota pertanian
pedesaan di Guatemala dengan penurunan berat badan, kelelahan, dan
kelemahan. Enam tahun sebelum presentasi, ia didiagnosis menderita diabetes dan
kemudian dirawat di rumah sakit regional dalam keadaan koma karena krisis
hiperglikemik. Setelah keluar dari rumah sakit, pasien kehilangan pekerjaannya
sebagai pekerja konstruksi. Karena ia tidak mampu membeli obat antidiabetes atau
biaya dokter pribadi, ia meninggalkan perawatan rawat jalan hingga dirujuk ke klinik
nirlaba.
Pada presentasi, pemeriksaannya penting untuk cachexia, ketidakmampuan untuk
ambulasi dan neuropati perifer yang parah. Bobotnya 32,7 kg dengan indeks massa
tubuh 14,5 kg / m 2, dan tekanan darahnya 90/60 mm Hg. Glukosa darah acak jari
lebih dari 600 mg / mL (normal <200 mg / mL), kreatinin serum 1,1 mg / dL (kisaran
normal 0,7-1,2 mg / dL) dan rasio albumin terhadap kreatinin urin (ACR) adalah 40
mg / g (normal <30 mg / g). Tes hemoglobin A1c tidak tersedia. Dia telah menjalani
operasi katarak bilateral kira-kira 2 tahun sebelum presentasi, dan evaluasi
oftalmologis pada waktu itu tidak mengungkapkan retinopati. Pasien mulai
menggunakan NPH insulin. Setelah presentasi awal, klinik nirlaba mengadakan
pengujian hemoglobin A1c titik perawatan, yang menghasilkan 7,0% (kisaran normal
3,9% -6,5%) 12 bulan setelah presentasi. Ulangi skrining kreatinin pada saat ini
kembali normal.
Sekitar 18 bulan setelah presentasi awal, pasien melaporkan kesulitan yang terus-
menerus untuk mendapatkan berat badan, serta perkembangan interval mual dan
anoreksia yang parah. Evaluasi kegagalan untuk berkembang dimulai di laboratorium
tingkat tinggi di ibukota daerah. Hasil penting untuk kreatinin serum 7,57 mg / dL
(laju filtrasi glomerulus 8,5 mL / min / 1,732) dan nitrogen urea darah 68,0 mg / dL
(kisaran normal 6,0-21 mg / dL), yang dikonfirmasi secara berulang. Kalium serum,
tes fungsi hati, protein reaktif C, tirotropin, HIV, antibodi hepatitis virus, antibodi
antinuklear, elektroforesis protein serum, dan urinalisis (dengan pengecualian
keberadaan glikosuria) adalah normal. Hemoglobin adalah 7,3 mg / dL (kisaran
normal 12-16 mg / dL) dengan volume sel rata-rata normal.USG ginjal menunjukkan
ginjal atrofi bilateral dengan peningkatan echogenisitas, dua fokus echogenik non-
obstruktif kecil yang menunjukkan batu ginjal dan tidak ada hidronefrosis yang
signifikan. Informasi tambahan yang diperoleh pada saat ini menegaskan bahwa
pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, infeksi saluran kemih (ISK), nefrolitiasis
atau paparan agen nefrotoksik.
Pasien dirujuk ke Pusat Nasional untuk Penyakit Ginjal Kronis (UNAERC), sebuah
lembaga di Kota Guatemala yang berfungsi sebagai pusat nefrologi publik. Di
UNAERC, etiologi penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) tidak dijelaskan secara
definitif, dan biopsi ginjal tidak dilakukan mengingat sifat kronis dan tidak dapat
disembuhkan dari penyakit ginjalnya. Terapi penggantian ginjal direkomendasikan,
dan pasien diberikan dua pilihan: hemodialisis dua kali seminggu di UNAERC, atau
dialisis peritoneal ambulatory terus menerus (CAPD) beberapa kali sehari di
rumahnya. Dia memilih CAPD, karena mobilitas terbatas dan keuangan menghalangi
dia bepergian ke Guatemala City, perjalanan bus 3 jam sekali jalan. Pasien memulai
CAPD di rumah setelah kateter perut ditempatkan dan ruang dialisis steril dibangun di
rumahnya.
Pada saat penulisan laporan kasus ini, pasien telah melakukan CAPD empat kali
sehari selama 3 tahun. Secara klinis, ia telah meningkat pesat. Dia memiliki lebih
banyak energi, dapat ambulasi dan telah memperoleh 10 kg. Dia tidak mengalami
episode peritonitis. Namun, karena neuropati perifer berat dan kelemahan, ia harus
selalu ditemani di luar rumah, tidur dengan susah payah dan membutuhkan bantuan
dengan sebagian besar kegiatan perawatan diri selain pertukaran dialisisnya. Dia
belum kembali bekerja.
Secara sosial ekonomi dan psikologis, pasien dan keluarganya telah berjuang. Istrinya
tidak dapat memiliki pekerjaan tetap mengingat perannya sebagai pengasuh utama,
dan Guatemala tidak memiliki program kecacatan nasional untuk mendukung individu
yang tidak dapat bekerja karena sakit atau cedera. Walaupun UNAERC menyediakan
konsultasi klinis gratis dan persediaan dialisis, UNAERC tidak mencakup aspek
perawatan lain termasuk transportasi, obat-obatan, suplemen nutrisi, perawatan primer
atau perawatan darurat. Pasien dan keluarganya telah mereda pada sumbangan dari
klinik nirlaba dan gereja lokal mereka, serta upah yang sedikit dari istrinya yang
menghasilkan ikat pinggang (US $ 33 per bulan). Pasien memiliki empat anak kecil,
dan dia selalu khawatir tentang masa depan. Penyakit kronisnya telah membuatnya
merasa tertekan, tidak berdaya dan malu,namun ia belum dievaluasi secara formal
untuk gangguan suasana hati atau kecemasan karena kurangnya praktisi kesehatan
mental di kota pedesaannya.

B. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS
a. Identitas Pasien
Nama : Tn
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjan : Pekerja konstruksi
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny
Umur :-
Jenis Kelamin : Perempuan
Hubungan dengan Klien : Istri
2. KELUHAN UTAMA
a. Keluhan Utama Saat MRS
Klien mengatakan mengalami penurunan berat badan, kelelahan, dan kelemahan
b. Keluhan Utama Saat Pengkajian
Klien mengalami kesulitan yang terus-menerus untuk meningkatkan berat badan,
serta perkembangan interval mual dan anoreksia yang parah.
3. DIAGNOSA MEDIS
ESRD
4. RIWAYAT KESEHATAN
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien datang ke klinik nirlaba di pedesaan Guatemala dengan tanda, gejala, dan
nilai laboratorium yang konsisten dengan diabetes yang tidak terkontrol. Memiliki
penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) yang ireversibel dari etiologi yang tidak
pasti.
b. Riwayat Kesehatan Yang Lalu
Klien mengatakan DM tipe 2 sejak 6 tahun yang lalu dan operasi katarak 2
tahun yang lalu
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak terkaji
5. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum
Klien lemah
b. Tanda – tanda vital
 TD : 90/60 mmHg
 BB : 32,7 kg
 IMT : 14,5 kg/m2
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Lengkap
Haemoglobin : 7,3 mg/dL ( N : 12.0 – 16 mg/dl )
b. Kimia Darah
Albumin : 40 mg/dL (N : < 30 mg/dL)
Kreatinin Serum : 1,1 mg/dL (N : 0,7-1,2 mg/dL)
Nitrogen Urea : 68 mg/dL (N : 6,0-21 mg/dL)
GDA : >600 mg/dL (N : <200 mg/dL)
c. Lab Lain
LFG : 8,5 ml/mnt/1,73 m2
d. USG : ginjal atrofi bilateral dengan peningkatan echogenisitas.
Dua fokus echogenik non-obstruktif kecil – BATU GINJAL
7. TINDAKAN DAN TERAPI
Klien mendapatkan NPH Insulin
Klien melakukan CAPD 4 kali sehari dan sudah dilakukan selama 3 tahun di
rumah

C. ANALISA DATA
No DATA PENUNJANG PENYEBAB MASALAH
1. DS: Gangguan Nausea (D.0076)
biokimiawi
- Pasien mengatakan (Uremia )
merasa mual
- Pasien mengatakan
anoreksia berat
DO :

- Pasien terlihat pucat


- Kadar ureum meningkat
(Ureum 68 mg/dl)
2. DS : Kelemahan Intoleransi Aktivitas
(D.0056)
- Pasien mengatakan
lemah
DO :

- TD 90/60 mmHg
- Aktivitas diluar rumah di
bantu
- Perlu bantuan untuk
perawatan diri
3. DS : Disfungsi sistem Ansietas (D.0080)
keluarga
- Pasien mengatakan
khawatir dengan masa
depan 4 anaknya
- Pasien mengatakan
bahwa penyakit kronisnya
telah membuatnya merasa
tertekan, tidak berdaya
dan malu
- Pasien mengatakan
anoreksia berat
- Pasien mengatakan
tidurnya tidak berdaya
DO :

- TD 90/60 mmHg
- Sulit tidur

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nausea b.d gangguan biokimiawi (uremia) (D.0076)
2. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan (D.0056)
3. Ansietas b.d disfungsi sistem keluarga (D.0080)

E. INTERVENSI DAN LUARAN


NO. SLKI SIKI
1. Setelah dilakukan tindakan “Manajemen Mual (I.03117)”
keperawatan selama 3x24 O
jam di harapkan Tingkat 1. Identifikasi pengalaman mual
Nauea Menurun (L.08065)
2. Monitor mual (mis. Frekuensi, durasi,
dengan kriteria hasil :
dan
Nafsu makan menurun 1
Keluhan mual menurun 5 3. tingkat keparahan)
Perasaan ingin muntah
menurun 5 4. Identifikasi dampak mual terhadap
Perasaan asam di mulut kualitas hidup (napsu makan,
menurun 5 aktifitas menurun)
Sensasi panas menurun 5 5. Monitor asupan nutrisi dan kalori
Sensasi dingin menurun 5
Frekuensi menelan T
menurun 5 6. Kendalikan faktor lingkungan
Diaforesis menurun 5 penyebab (mis.Bau tak sedap, suara,
Jumlah saliva menurun 5 dan rangsangan visual yang tidak
Pucat membaik 5 menyenangkan)
Takikardia membaik 5 7. Kurangi atau hilangkan keadaan
Dilatasi pupil membaik 5 penyebab mual (mis. Kecemasan,
ketakutan, kelelahan)
8. Berikan makanan dalam jumlah kecil
dan menarik
E
9. Anjurkan istirahat dan tidur cukup
10.Anjurkan sering membersihkan
mulut, kecuali jika merangsang mual
11.Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengatasi mual(mis. Relaksasi,
terapi musik, akupresur)
K
12.Kolaborasi pemberian antiemetik,
jika perlu
2. Setelah dilakukan tindakan “Manajemen Energi (I.05178)”
keperawatan selama 3x24 O
jam di harapkan Toleransi 1. Monitor kelelahan fisik dan
aktivitas Meningkat emosional
(L.05047) dengan kriteria
2. Monitor pola dan jam tidur
hasil :
Frekuensi nadi meningkat 5 3. Monitor lokasi dan
Saturasi oksigen meningkat ketidaknyamanan selama
5 melakukan aktivitas
Kecepatan berjalan
meningkat 5 T
Jarak berjalan meningkat 5 4. Sediakan lingkungan nyaman dan
Kekuatan tubuh bagian atas rendah stimulasi
dan bawah meningkat 5 5. Lakukan latihan rentang gerak
Toleransi naik tangga pasif/aktif
meningkat 5
Keluhan lelah meningkat 1 6. Berikan aktivitas distraksi yang
Dispnea saat dan setelah menenangkan
aktivitas meningkat 1 7. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur
Perasaan lemaah
meningkat 1 E
Perasaan lemah meningkat 8. Anjurkan melakukan aktifitas secara
1 bertahap
Sianosis meningkat 1
9. Anjurkan menghubungi perawat jika
Warna kulit membaik 5
tanda gejala kelelahan berkurang
Tekanan darah membaik 5
Frekuensi napas membaik 5 10.Ajarkan strategi koping untuk
EKG iskemia membaik 5 mengatasi kelelahan
K
11.Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan

Anda mungkin juga menyukai