1. Pendahuluan
Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal untuk pasien gagal ginjal tahap akhir yang
bertujuan menurunkan kadar toksin yang menyebabkan sindroma uremik pada pasien gagal
ginjal tahap akhir. Walaupun tidak semua molekul toksik ini tdak dapat dikenali secara pasti.
Urea telah dipakai sebagai penanda solut toksik yang dapat dipercaya untuk mendefinisikan
terapi hemodialisis yang adekuat melalui model kinetik urea yang dikembangkan oleh Gotch
dkk. Konsep ini menyatakan bahwa karena toksin yang sesungguhnya bertanggung jawab
terhadap sindroma uremik tidak diketahui, maka klirens urea dapat dipakai sebagai parameter
kemajuan dialisis, karena klirens dari semua toksin-toksin berkolerasi dengan klirens urea. Urea
dipilih sebagai penanda solut untuk mengukur dialisis dengan alasan :
Konsentrasinya dalam darah meningkat pada uremia
Memiliki berat molekul yang rendah (60 Da) sehingga dapat berdifusi antar kompartemen
tubuh dengan mudah dan dengan model single pool yang sederhana, hal ini dapat dengan
mudah diaplikasikan secara matematis
Urea berdistribusi secara merata pada seluruh cairan tubuh
Urea dapat berpindah dengan mudah kedalam membran dialiser
Konsentrasinya dalam darah dan dialisat mudah diukur
Urea merupakan produk akhir metabolisme protein, sehingga kinetik urea berkolerasi
dengan asupan protein makanan.
2. Indikator adekuasi hemodialisis
Adekuasi hemodialisis (HD) adalah kecukupan dosis HD yang diberikan kepada pasien
dengan tujuan untuk mengontrol gejala sindrom uremikum, tekanan darah, marker biokimia,
memeberikan rasa nyaman, status nutrisi yang baik. Dengan kata lain dapat disebutkan adekuasi
HD dapat dicapai bila kualitas hidup pasien menjadi lebih baik.
Umumnya adekuasi dialsis diukur dengan perhitungan terhadap bersihan toksin uremik,
yang diwakili oleh konsentrasi ureum darah. Adapun alat ukur yang biasa digunakan sebagai
indikator adalah URR, Kt/V dan UKM.
KDOQI merekomendasikan target Kt/V yang harus dicapai 1,4 atau URR 70% pada
pasien yang menjalani HD 3X/Minggu, 4 jam tiap sesi HD
Sedangkan Pernefri memberikan rekomendasi untuk target Kt/V yang diinginkan adalah
1,8 yang ekuivalen dengan URR 80% pada pasien yang menjalani HD 2X/Minggu, 5 jam tiap
sesi HD.
3. Penghitungan dosis dialisis
Cara yang saat ini paling sering digunakan adalah melihat bersihan urea dari proses
dialisis melalui rumus :
1. Urea Reduction Rate (URR)
Ket :
Co = Ureum pre dialisis, Ct = Ureum post dialisis
K(mL/Menit) x t (Menit)
V(mL)
Dengan asumsi tanpa ultrafiltrasi ataupun pembentukan urea, hasil Kt/V urea dapat
dihitung dari konsentrasi urea pre dan post HD menggunakan rumus Natural Logaritma (ln)
sebagai berikut :
Kt/V = ln (C0/Ct)
C0 = konsentrasi urea pre dialisis; Ct = konsentrasi urea post dialisis
Ket :
ln= natural log; R= Ureum post dialisis/ureum pre dialisis; t=durasi dialisis (jam);
UF=BB pre dialisis – BB post dialisis; W=BB post dialisis.
Namun rumus ini hanya efektif jika dialisis diberikan 3X/minggu dengan 2,5 – 5
jam.
b. Equilibrated Kt/V
Tidak seperti spKt/V, equilibrated Kt/V (eKt/V) mengakui bahwa urea tidak
hanya berada pada satu kompartemen tubuh. Meskipun urea akan lebih rendah saat
akhir sesi dialisis, urea akan berdifusi keluar sel dan kembali kedalam ruang
ekstraseluler. Faktanya, keseimbangan urea antara kompartemen darah dan
kompartemen jaringan adalah tidak cukup dalam 30-60 menit setelah dialisis. Perbedaan
konsentrasi urea darah di akhir dialisis dan konsentrasi urea setelah seimbang biasa
disebut “urea rebound”. Sejak spKt/V tidak memperhitungkan efek dari urea rebound
ini, mereka cenderung melebih-lebihkan dosis dialisis yang diterima oleh pasien.
Dengan demikian, eKt/v sering disebut ”double pool” Kt/V yang dikembangkan untuk
memperhitungkan efek urea rebound dan lebih akurat mencerminkan dosis dialisis yang
diberikan.
Untungnya, pasien tidak perlu kembali ke unit HD dalam 30-60 menit kemudian
setelah urea seimbang. Rebound dapat diprediksi dari konsentrasi non-equilibrated
serum urea post dialisis dan spKt/V. Perlu menjadi catatan adalah jenis akses yang
digunakan pasien apakah murni dari Vena (CVC) atau AV Shunt. Dengan rumus
perhitungan sebagai berikut :
Arterial Akses :
eKt/V = spKt/V – (0,6 x spK/V) + 0,03
Venous Akses :
eKt/V = spKt/V – (0,47 x spK/V) + 0,02
Convenor, Peter Kerr. Et al. 2005. The CARI Guidelines : Dialysis Adequacy (HD) Guidelines.
Nephrology 2005; 10, S61–S80.
NKF KDOQI. 2006. Updates Clinical Practice Guidelines and Recommendations
NKF KDOQI. 2015. Clinical Practice Guideline for Hemodialysis adequacy: 2015 update.
Tattersal, James. 2013. Do We Need Another Kt/V?. Nephrol Dial Transplant (2013) 28: 1963-
1966
Measuring Hemodialysis Dose. www.advancerenaleducation.com/content/measuring-
hemodialysis-dose Philadelphia : Lippincott
KDOQI (2016). Update Clinical Practice Guidelines and Rekomendation. National Kidney
Foundati
Guidelines on the management of Arterio Venus Fistula and Grafts (2014). Transplant, Urology
and Nephrology Directorate.
Kallenbach, .Z, Gutch, C.F., Stoner, M. H., dan Corca, A.L. 2005. Hemodialysis For Nurses and
Dialysis Personnl (8 th Edition). St. Louise Missouri : Elsevier Mosby.
Shalhub,et al (2017).Hemodialysis Acces Fundamental and Advance Management. Springer
International Publishing Switzerlan
Lambie SH, Taal MW, Fluck RJ, McIntyre CW (2004). Analysis of factors associated with
variability in haemodialysis adequacy. Nephrol Dial Transplant. 2004
Zeraati (2013). Access Recirculation Among End Stage Renal Disease Patients Undergoing
Maintenance Hemodialysis. Nephrourol Published online Mar 30, 2013.