Anda di halaman 1dari 23

DIALISIS PADA ANAK

I. Terapi Pengganti Ginjal: Kapan Mulai Dilakukan?

A. Pengertian
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal selama >3
bulan yang berdampak pada kesehatan. (KDIGO, 2012)

B. Terapi pengganti ginjal


Persiapan:
• Pasien yang telah mencapai PGK derajat 4 harus mendapat edukasi mengenai
gagal ginjal terminal serta pilihan RRT, yaitu: (1) transplantasi ginjal, (2)
peritoneal dialisis (PD), (3) hemodialisis (HD); dan terapi konservatif.
• Pastikan pasien telah mendapat imunisasi hepatitis B, influenza, dan
pneumokokus

Rujukan untuk persiapan RRT


Rujukan untuk persiapan RRT pada pasien dengan PGK progresif yang berisiko
mengalami gagal ginjal dalam waktu 1 tahun sebesar ≥10-20%.

Waktu inisiasi
Terdapat 2 studi yang dapat menjadi rujukan untuk menentukan waktu inisiasi
dialisis:

1. IDEAL study (Initiation of dialysis study):


• Early group: perhitungan CrCl dihitung dengan formula CG (Cockroft-Gault)
adalah 10-14 mL/menit/1,73 m2
• Late group: perhitungan CrCl dihitung dengan formula CG (Cockroft-Gault)
adalah 5-7 mL/menit/1,73 m 2

Rerata pada IDEAL study CrCl adalah 9-12 mL/menit/1,73 m2.


Akan tetapi, kriteria “early” dan “late” tidak direkomendasikan pada anak karena
tidak mempertimbangkan faktor khusus pada anak, seperti pertumbuhan dan
perkembangan psikososial.

2. Greenbaum dan Schaeffer, 2012:


a. Indikasi absolut untuk inisiasi dialisis:
• Gangguan neurologis akibat uremia: ensefalopati, asteriksis, kejang,
mioklonus, wrist drop, atau foot drop
• Hipertensi yang tidak berespons dengan terapi antihipertensi
• Edema paru akibat overload cairan yang tidak berespons dengan diuretik
• Perikarditis
• Perdarahan diatesis
• Mual dan muntah yang refrakter
• Nefrektomi bilateral
• Anuria

b. Indikasi relatif untuk inisiasi dialisis:


• Gejala uremia yang tidak seberat pada indikasi absolut: mudah lelah,
kelemahan umum, disfungsi kognitif, penurunan performa di sekolah,
pruritus, depresi, mual, muntah, anoreksia, restless leg syndrome, dan
gangguan pola tidur
• Hiperkalemia
• Hiperfosfatemia
• Malnutrisi
• Gagal tumbuh

Pemilihan modallitas:
Pemilihan modalitas RRT harus mempertimbangkan keinginan pasien/keluarga,
ukuran tubuh pasien, kondisi komorbid, dan dukungan keluarga.

Pilihan RRT:
• Peritoneal dialisis (PD), adalah pilihan utama pada pasien anak dengan PGK
derajat 5 sebagai inisiasi dialisis jangka panjang
• Hemodialisis (HD)
• Persiapan (pre-emptive) transplantasi ginjal
II. Resep Hemodialisis

Pengertian :
Resep hemodialisis adalah resep dosis dialisis yang dibuat pada tiap sesi
hemodialisis, yang menyebutkan secara spesifik mengenai jenis dialiser, durasi
dialisis, kandungan cairan dialisat, blood flow, dialysate flow, dan obat-obat lain yang
perlu diberikan dalam dialisis.

Prosedur :
A. Jenis hemodialisis (HD)
1. HD konvensional
• Dialiser high flux atau low flux
• Frekuensi: ≥4 jam, 3x dalam seminggu

2. Hemodiafiltrasi
• Hemofilter high flux mencapai ultrafiltrasi hingga 30% volume darah yang
melalui filter
• Replacement fluid dialirkan ke sirkuit darah

3. Short daily HD
• Frekuensi: 2-3 jam/hari selama 5-6 hari

4. Slow overnight home HD


• Aliran darah lebih lambat dari konvensional HD 8 mL/kg/menit
• Frekuensi: 6-8 jam/malam selama 5-7 hari

B. Akses vaskular
Blood flow maksimum
BB (kg) Ukuran kateter
(mL/menit)
<3 5 Fr 2 single lumen 15 cm 50-75
17 cm
3-9 7 Fr double lumen 10 cm
10-17 8 Fr double lumen 10 cm 75-100
12 cm
18-30 10 Fr double lumen 12 cm 100-250
16 cm
>30 11 Fr double lumen 13,5 cm hingga 350
11,5 Fr 16 cm
12,5 Fr 21 cm
33 cm
C. Lines
1. Volume sirkuit ≤8 mL/kg
2. Extra-corporeal volume ≤10% volume darah
<10 kg: volume darah = 80 mL/kg
>10 kg: volume darah = 70 mL/kg
3. Pada pasien anefrik, volume darah ≤7% volume darah
Lines Filling volume (FV) (mL) Arteri (A) Vena (V) (mL)
(mL)
Neonatus 61 25 36
Pediatrik 74
Dewasa 128

D. Dialiser
BB (kg) Area permukaan (m 2)
0-10 0,3
10-20 0,5
20-30 0,7
30-40 0,9
>40 ≥1,0

1. Area permukaan dialiser harus besar, namun tidak melebihi body surface area
anak
2. Pada hemodialisis akut, dialiser dengan area permukaan yang kecil harus
digunakan untuk mencegah disekuilibrium, sekurang-kurangnya pada
dialisis yang pertama
3. Kuf menyatakan kemampuan dialiser untuk menarik air:
• Kuf 2,0 berarti ultrafiltrasi 2 mL/menit akan terjadi pada setiap mmHg
tekanan transmembran/transmembrane pressure (TMP)
• Kuf<10: low flux
• Kuf 15-60 mL/jam/mmHg: high flux

E. Dialysate bath (kandungan elektrolit dalam cairan dialisat)


1. Kalium: 2 mmol/L
2. Bikarbonat: 35 mmol/L
3. Kalsium: 1,25; 1,5; atau 1,75 mmol/L
4. Glukosa: 0 atau 2 mmol/L
F. Blood flow
1. Anak: 150-200 mL/m2/menit atau 5-7 mL/kg/menit (minimal 3-5 mL/kg/menit)
BB <10 kg: blood flow≤100 mL/menit
BB 10-40 kg: blood flow (mL/menit) = 2,5 x BB (kg) + 100 mL/menit
BB >40 kg: blood flow hingga 250 mL/menit
2. Target urea clearance 2-3 mL/menit/kg
3. Untuk dialisis pertama, mulai dengan blood flow yang rendah untuk mencegah
disekuilibrium

G. Dialysate flow
• Dialysate flow biasanya adalah dua kali lipat kecepatan aliran darah dengan
aliran rata-rata 300 mL/menit untuk anak yang kecil dan 500 mL/menit untuk
anak yang lebih besar (berkisar antara 300-800 mL/menit)
• Untuk dialisis akut dengan ureum darah ≥360 mg/dL, buat setting mula-mula
untuk blood flow dan dialysate flow menjadi concurrent, bukan countercurrent
untuk mencegah disekuilibrium

H. Durasi
1. Rata-rata 4 jam
2. 2-3 jam jika sudah HD pada hari sebelumnya
3. ≥4 jam jika ada indikasi

I. Ultrafiltrasi
1. Ultrafiltrasi berkisar 0,2 mL/kg/menit untuk durasi dialisis 4 jam
• Tidak boleh >1,5  0,5% BB/jam
2. Total ultrafiltrasi tidak >5% BB pada satu sesi dialisis untuk mencegah
hipotensi berat
3. Sequential UF (SQUF) jika terjadi overload cairan yang berat
4. Pada pasien dengan gangguan ginjal akut, target ultrafiltrasi tidak boleh >0,2
mL/kg/menit
Catatan: semua mesin memiliki obligate UF 100 mL/jam

J. Anti koagulan heparin


Heparin Loading dose Dosis rumatan
(U/kg) (U/kg/jam)
Free heparin (NaCl flush setiap 15-30 menit) Tidak ada Tidak ada
• Neonatus: 50 mL
• Pediatrik: 60 mL
Heparin regular 50 50
Heparin low dose >15 kg: 10-20 5-10
≤15 kg: 5-10
K. Blood pressure support
1. NaCl 0,9% 10-20 mL/kg
2. NaCl 3% 1-2 mL/kg
3. Albumin 5% 10 mL/kg
4. Albumin 20% 1 g/kg atau 5 mL/kg

L. Target berat badan pasca dialisis


1. Penilaian
• Berat badan midweek pasca dialisis
• Adanya edema
• Tekanan darah
• Parameter laboraturium seperti hematokrit, albumin, dan natrium
• Intradialytic noninvasive blood volume monitoring

2. Intradialytic noninvasive blood volume monitoring


Pemantauan pada beberapa sesi dialisis pertama menggunakan monitor blood
volume

M. Obat-obatan
1. Digunakan sebagai pencegahan disekuilibrium pada 2-3 sesi HD pertama
pada HD akut ketika ureum dalam darah ≥360 mg/dL
2. Obat:
• Fenobarbital IV 3-5 mg/kg/dosis pra dan atau pasca dialisis.
• Manitol IV 0,5-1,0 g/kg/dosis selama dialisis (maksimal 12,5 g/jam).
N. Pemeriksaan laboraturium
1. Pra-HD
• Hemoglobin, hematokrit
• Ureum, kreatinin
• Kalium (jika tinggi)
2. Metode pengambilan sampel darah pasca-HD untuk menghindari rebound
• 30-60 menit setelah dialisis selesai (optimal)
• Turunkan blood flow menjadi 50 mL/jam dan hentikan dialysate flow, ambil
sampel darah setelah 3 menit

O. Masalah HD pada bayi


1. Pertimbangkan mengganti cairan priming dengan selain NaCl (misal:
albumin) sebanyak 40-60 mL untuk mengurangi kehilangan volume darah
bayi pada extracorporeal volume.
2. Pertimbangkan “air return” untuk mengembalikan darah sebanyak mungkin
pada terminasi HD (sekitar 40-60 mL).
3. Priming dengan darah dapat menyebabkan tambahan kalium 40 mmol/L
pada volume blood prime, sehingga bayi berisiko mengalami henti jantung
saat inisiasi HD. Untuk mencegah hal ini, dapat dilakukan dialisis sirkuit
selama satu jam sebelum melakukan koneksi.
4. Target single pool Kt/V pada bayi harus >2 karena status katabolisme yang
tinggi.

P. Durasi HD berdasarkan urea clearance


1. One-compartment model
• Kt/V = -In C1/C0
• K = K0A (ureum), t = waktu (menit), V = total body water (mL)
• C1 = kadar ureum pasca dialisis, C0 = kadar ureum pra dialisis

2. Dialyzer urea clearance


a. Nipro- Sureflux G- Syntethic Hollow Fiber Dialyzer- Low Flux (lihat
lampiran)
b. Nipro- Elisio H-Syntethic Hollow Fiber Dialyzer- High Flux (lihat lampiran)
c. Fresenius

3. Perhitungan total body water (V)


a. Formula Mellits Cheek (<18 tahun):
Laki-laki (TB <132,7 cm): V (L) = (-1,927 + 0,465*BB + 0,045*TB)
Laki-laki (TB ≥132,7 cm): V (L) = (-21,993 + 0,406*BB + 0,209*TB)
Perempuan (TB <110,8 cm): V (L) = (0,076 + 0,507*BB + 0,013*TB)
Perempuan (TB ≥110,8 cm): V (L) = (-10,313 + 0,252*BB + 0,154*TB)
b. Nomogram untuk estimasi nilai V berdasarkan metode heavy water dilution
menggunakan Morgenstern equation (lihat Tabel pada Lampiran):
Laki-laki: V (L) = 0,10 x (TB*BB)0,68 – 0,37 x BB
V (L) = 20,88 x BSA -4,29
Perempuan: V (L) = 0,14 x (TB*BB)0,64 – 0,35 x BB
V (L) = 16,92 x BSA – 1,81
Catatan: BSA = body surface area (m2)
c. Bioimpedansi spektroskopi untuk mengukur komposisi total body water (L)
dari berbagai kompartemen jaringan. (lihat Lampiran)

4. Perhitungan desired urea clearance


Untuk HD akut, targetnya adalah meningkatkan urea clearance secara bertahap
dalam 3 sesi untuk mencegah komplikasi disekuilibrium:
• Sesi pertama: 30%
• Sesi kedua: 50%
• Sesi ketiga: 70%
• Sesi keempat: 90%

Tabel perhitungan desired urea celarance

5. Worked example using Nomogram


Anak laki-laki berat badan 30 kg direncanakan HD akut menggunakan dialiser
Elisio-11H. Blood flow adalah 200 mL/menit dan ini adalah dialisis yang pertama,
akan menggunakan dialiser Nipro. Target urea clearance adalah 30 %. Estimasi
durasi HD untuk dialisis pertama ini adalah:
BB = 30 kg, TB = 138 cm
Dialyzer urea clearance K = 193 (untuk blood flow 200 mL/menit)
Kt/V = -In C1/C0 = - In 0,7 = -0,357
t = 19300 x – (-0,357) / 193 = 35,7 menit  1/2 jam
III. Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik dan Renal Replacement Therapy

Algoritma Tata Laksana Renal Anemia pada Anak dengan Penyakit Ginjal Kronik

Renal anemia pada anak

Eksklusi dan obati penyebab anemia

Hb >10 g/dL Hb ≤10 g/dL

asimptomatis simptomatis Periksa feritin, TSAT

Tidak perlu ESAs Feritin ≥100 ng/mL Feritin <100 ng/mL


TSAT ≥20% TSAT <20%

Pantau:
• Tekanan darah ESAs Suplementasi besi
• Hb, retikulosit
• TSAT
• Feritin
Respons peningkatan Hb buruk
• Kalium serum
• Fosfat serum
Evaluasi penyebab anemia lain

Tidak ada

Naikkan dosis ESAs

1. Definisi
Anemia pada anak dengan penyakit ginjal kronik (PGK) adalah jika Hb <11 g/dL
pada usia 0,5-5 tahun, <11,5 g/dL pada usia 5-12 tahun, dan <12 g/dL pada usia
12-15 tahun. Anemia pada anak dengan PGK usia >15 tahun adalah ketika Hb
<13 g/dL pada laki-laki dan <12 g/dL pada perempuan.
2. Kriteria diagnosis
1. Pada anak dengan PGK, anemia ditegakkan berdasarkan kadar Hb
sesuai dengan definisi World Health Organization (WHO).

Tabel 1. Kadar Hb berdasarkan WHO3


Usia (tahun) Hb (g/dL)
0,5 – 5 tahun < 11
5 – 12 tahun < 11,5
12 – 15 tahun < 12
>15 tahun
• Laki-laki <13
• Perempuan <12

2. Evaluasi anemia dilakukan pada Hb yang turun di bawah persentil 5


(2 standar deviasi) dari nilai normal berdasarkan usia dan jenis kelamin.

Tabel 2. Kadar Hb berdasarkan usia dan jenis kelamin 1 hari – 24 bulan


Usia Nilai Rerata Hb (5th
Hb percentile)
Bayi baru lahir aterm 16,5 13,5
(darah tali pusat)
1 – 3 hari 18,5 14,5
1 minggu 17,5 13,5
2 minggu 16,5 12,5
1 bulan 14,0 10,0
2 bulan 11,5 9,0
3 – 6 bulan 11,5 9,5
6 – 24 bulan 12,0 10,5

Tabel 3. Nilai Hb berdasarkan usia 1 tahun – dewasa


Usia (tahun) Nilai Hb g/dL ( 5th percentile )
Laki-laki Perempuan
1-2 10,7 10,8
3-5 11,2 11,1
6-8 11,5 11,5
9-11 12,0 11,9
12-14 12,4 11,7
15-19 13,5 11,5
Dewasa 13,5 12,0

3. Diagnosis banding
Diagnosis banding dari anemia pada anak dengan PGK adalah:
a. Defisiensi eritropoietin (EPO)
b. Defisiensi besi (defisiensi besi dari diet, kehilangan besi dari
gastrointestinal, flebotomi, dan haid, absorpsi yang buruk terhadap besi
per oral, kekurangan besi karena penggunaan erythropoietin stimulating
agents (ESAs),
c. Inflamasi kronik (aktivasi komplemen dari dialisis, penyakit inflamasi
sistemik, prosedur bedah)
d. Supresi sumsum tulang (faktor inhibisi, hiperparatiroidisme, obat-
obatan)
e. Peningkatan siklus eritrosit (defisiensi karnitin, penyakit ginjal primer)
f. Malnutrisi: defisiensi B12, asam folat, defisiensi karnitin), toksisitas
alumunium.

4. Pemeriksaan penunjang
3.1. Penilaian Awal
a. Darah perifer lengkap (DPL) termasuk indeks sel darah merah; mean
corpuscular hemoglobin (MCH), mean corpuscular volume (MCV), mean
corpuscular hemoglobin concentration (MCHC).
b. Hitung retikulosit absolut
c. Panel besi:
- Feritin serum
- Besi serum
- Transferin
- TIBC (total iron binding capacity) = 0,26 x transferrin
- Saturasi transferin (TSAT) = besi serum/TIBC x100 (%)
d. Kadar asam folat dan vitamin B12

3.2. Evaluasi anemia


a. Pengukuran kadar Hb pada pasien PGK tanpa anemia dilakukan ketika ada
indikasi klinis dan :
- Sekurang-kurangnya setiap tahun pada PGK stadium 3
- Sekurangnya dua kali per tahun pada PGK stadium 4-5 non-dialisis (ND)
- Sekurangnya tiap tiga bulan pada PGK stadium 5 dengan peritoneal
dialisis (5PD) dan stadium 5 dengan hemodialisis (5HD)
b. Pengukuran kadar Hb pada pasien PGK dengan anemia yang tidak diterapi
dengan erythropoietin stimulating agent (ESAs) dilakukan ketika ada indikasi
klinis dan:
- Sekurang-kurangnya setiap tiga bulan pada PGK stadium 3-5 non-dialisis
dan pada PGK stadium 5PD
- Sekurang-kurangnya setiap bulan pada PGK stadium 5HD

5. Terapi
5.1. Terapi besi
a. Panduan pemberian besi pada PGK harus mempertimbangkan:
- Respons Hb dalam terapi besi saat ini
- Kehilangan darah yang sedang terjadi
- Status besi (TSAT dan feritin serum)
- Kadar Hb
- Respons terhadap ESAs dan dosis ESAs pada pasien dengan terapi ESAs
- Trend perubahan laboratorium evaluasi anemia, kondisi klinis pasien.
b. Terapi besi dipertimbangkan pada pasien: PGK dengan TSAT ≤20% dan
feritin serum ≤100 ng/mL
c. Pemilihan rute pemberian besi pada PGK ND dan PD berdasarkan keparahan
dari defisiensi besi, ketersediaan akses vena, respons terhadap terapi besi oral
sebelumnya, efek samping, kepatuhan pasien dan biaya, sedangkan pada
PGK HD direkomendasikan besi intravena.
d. Target terapi besi:
- PGK 5HD: feritin serum >200 ng/mL dan TSAT >20%, atau reticulocyte
hemoglobin content (CHr) >29 pg/cell 

- PGK 5ND dan PGK 5PD: feritin serum > 100 ng/mL dan TSAT >20%
- PGK dalam terapi ESAS yang tidak mendapat suplementasi besi,

direkomendasikan besi oral (atau besi intravena pada PGK HD) untuk

mempertahankan TSAT >20% dan feritin >100 ng/mL1
e. Suplementasi besi oral
- Dosis
• Besi elemental: 2-3 mg/kgBB/hari sampai 6mg/kgBB/hari (maksimal
150-300 mg/hari terbagi dalam 2-3 dosis).
• Diminum 2 jam sebelum atau 1 jam setelah mengonsumsi obat
pengikat berbahan dasar kalsium (calcium-containing binders) dan
makanan yang mengandung kalsium.

- Penyebab kegagalan terapi
• Tidak patuh
• Gangguan absorbsi pada uremia
• Gangguan absorbsi makanan karena inhibisi dari pengikat fosfat atau
achlohydria fungsional akibat penggunaan proton pump inhibitors (PPI)
atau
penghambat reseptor H2 

f. Suplementasi besi parenteral
- Indikasi
• Defisiensi besi
• Tidak berespons dengan terapi besi oral
• Tidak patuh
• Intoleransi terhadap preparat besi oral
• Defisiensi besi fungsional, tidak berespons terhadap ESAS yaitu kadar
TSAT >20% tetapi <30% dan feritin serum >100 ng/mL tetapi <300
ng/mL
- Kontraindikasi
• Anemia bukan karena defisiensi besi
• Hipersensitivitas terhadap preparat besi parenteral
• Riwayat asma berat atau eksema berat
• Infeksi akut atau kronik
• Hepatitis kronik atau enzim transaminase >3 kali di atas batas
normal
• Infeksi akut atau kronik
- Preparat dan dosis
• Besi sukrosa, misalnya Iron [III]-hydroxide sucrose complex : tiap ampul
5 mL 
mengandung 20 mg/mL besi [III] atau 100 mg besi [III]. 

• Dosis
pemberian besi intravena terdiri atas dua jenis dosis, yaitu
dosis loading (untuk koreksi deplesi besi) dan dosis rumatan.
• Dosis loading (koreksi deplesi besi)
Dosis dan jadwal pemberian
dilakukan berdasarkan perhitungan defisit besi total (formula
Ganzoni)

Perkiraan dosis berdasarkan berat badan dan kadar Hb:

Defisit besi total = Berat badan (kg) x (Hb target – Hb aktual [g/dL] x 2,4 + depot besi [mg]

Berat badan <35 kg:
Target Hb 11,0 g/dL dan depot besi = 15 mg/kgBB, berat badan
≥35 kg:
Target Hb 11,5 g/dL dan depot besi = 500 mg. Dosis maksimal per hari 7
mg/kgBB atau 0,35 mL/kg/hari, tidak melebihi 500 mg iron (III) atau 5 ampul
diencerkan dengan NaCl 0,9% berikan selama 4 jam.

• Dosis rumatan: Diberikan ketika pasien sudah memperoleh besi IV


dosis loading dan deplesi besi sudah terkoreksi.
• Dosis: PGK HD: dosis 2 mg/kgBB IV setiap 2 minggu, PGK PD: dosis
2 mg/kgBB IV setiap 4 minggu

Tabel 4. Perkiraan dosis besi intravena berdasarkan berat badan

*Pasien yang sebelumnya mendapat dosis rhEPO <100 IU/kgBB/minggu, penurunan dosis
adalah 25-50% dari dosis sebelumnya berdasarkan berat badan
Catatan: Total perhitungan dosis diberikan dalam dosis terbagi 3 kali/minggu jika melebihi
dosis maksimum yang direkomendasikan.

- Cara pemberian
• Infus drip intravena (lebih dianjurkan)
i. Encerkan ampul 5 mL (100 mg besi sukrosa) dalam 100 mL NaCl
0,9% untuk membuat konsentrasi 1 mg/mL 

ii. Dosis uji (test dose) (untuk dosis pertama) 0,5 mL/kgBB (maksimum
25 mg) diberikan dalam 15 menit
iii. Dosis berikutnya, diberikan tidak lebih dari 125 mL/jam
• Injeksi intravena 

i. Injeksi intravena secara perlahan dengan kecepatan 1 mL/menit
(tidak diencerkan) dan tidak melebihi 2 ampul (200 mg besi
sukrosa).
ii. Dosis uji (test dose) (kapanpun hendak diberikan) 0,4 mg/kgBB
(maksimum 20 mg) diberikan dalam 2 menit dan diobservasi
selama 15 menit sesudahnya 

iii. Dosis sisa dari test dose diberikan dengan kecepatan 1 mL/menit jika
tidak ada efek samping
• Injeksi ke dalam dialiser: berikan dosis besi sukrosa pada pertengahan
sesi HD dengan dilusi
- Pemantauan selama dan setelah pemberian besi intravena
• Tersedia alat resusitasi jantung-paru
• Pantau tanda vital (frekuensi nadi, frekuensi napas, saturasi O 2, tekanan
darah): Tiap 15 menit dalam 1 jam pertama, tiap 30 menit untuk 2 jam
berikutnya dan satu jam setelahnya
• Segera lapor ke Ahli Nefrologi Anak, jika: Takikardi (>120 x/menit),
hipotensi (diastolik <60 mmHg, sistolik <80 mmHg), urtikaria
Catatan: tekanan sistolik terendah = 70 + [2x usia (dalam tahun)] mmHg
- Penanganan efek samping
• Anafilaksis
i. Stop segera infus besi sukrosa
ii. Resusitasi kardiopulmoner
iii. Adrenalin IV (1: 10.000) 0,05-0,1 ml/kgBB
iv. Hidrokortison IV 5 mg/kgBB atau deksametason IV 0,1 mg/kgBB
• Reaksi alergi ringan
i. Stop segera infus besi sukrosa (regimen bolus lambat) telah
diberikan.
ii. Berikan besi IV dengan infus drip IV jika reaksi alergi terjadi pada
jalur pemberian injeksi IV
iii. Klorfeniramin per oral (PO) 0,1 mg/kgBB (maksimum 4 mg) atau
difenhidramin IV 0,5-1,0 mg/kgBB (maksimum 50 mg) atau
hidrokortison IV 5 mg/kgBB tergantung tingkat keparahan reaksi
alergi
- Tindak lanjut dan pemantauan terapi besi intravena
• DPL dan hitung retikulosit absolut tiap minggu dan dilanjutkan tiap
bulan jika respons baik.
• Pemantauan status besi:
i. TSAT dan feritin tiap bulan kemudian tiap 3 bulan jika target Hb
sudah tercapai
ii. Dosis besi intravena tidak perlu distop sebelum penilaian ulang
status besi jika dosis ≤100 mg/minggu
iii. Dosis besi intravena perlu distop selama 2 minggu sebelum
penilaian ulang status besi jika dosis >1.000 mg/minggu
iv. Pemeriksaan status besi dapat dilakukan lebih sering ketika
memulai atau menaikkan dosis ESA, atau ketika terdapat
kehilangan darah, saat memonitor respons setelah pemberian besi
intravena atau pada keadaan lain dimana penyimpanan besi dapat
berkurang.
v. Pasien diperkirakan tidak akan berespons terhadap terapi besi IV
berupa terjadi peningkatan Hb jika TSAT ≥50% dan/atau feritin
serum ≥800 ng/mL

5.2. Terapi Erythropoietin-Stimulating Agents (ESAs)1,3-5


a. Inisiasi terapi
- Sebelum memulai terapi, evaluasi dan koreksi semua penyebab anemia yang
mungkin. Lakukan penilaian faktor berikut:
• Nutrisi pasien adekuat
• Berikan obat hematinik seperti besi, vitamin B12, dan asam folat
• Koreksi hiperparatiroidisme berat
• Cegah toksisitas alumunium
• Tata laksana infeksi kronik atau inflamasi kronik
- Untuk memulai dan merumat terapi ESAs, keputusan penggunaan ESAs
harus mempertimbangkan manfaat menghindari transfusi, gejala anemia,
serta risiko efek samping ESAs pada pasien (misalnya stroke dan hipertensi)
- Hati-hati dalam penggunaan ESAs pada pasien PGK dengan riwayat
keganasan atau terdapat keganasan
- Pemilihan kadar Hb untuk memulai ESAs dapat berbeda antar pasien dengan
mempertimbangkan manfaat (perbaikkan kualitas hidup, performa di
sekolah/absen kehadiran di sekolah, dan menghindari transfusi) dan risiko
efek samping
- Pertimbangkan memulai ESAs pada:
• Anak: Hb ≤10 g/dL
• Pasien Hb >10 g/dL yang mempunyai gejala akibat anemia dan terapi
ESAs dapat berguna untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
• Pertimbangkan pemberian ESAs melalui jalur IV atau subkutan pada
pasien HD, dan jalur subkutan pada pasien ND dan PD
- Peningkatan risiko kematian, efek kardiovaskular, dan stroke dari hasil studi.
- Pada terapi rumatan ESAs, target Hb tidak >11,5 g/dL, tetapi secara
individual disesuaikan dengan keuntungan dan risiko, beberapa diantaranya
bahkan mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik

b. Penyesuain dosis
- Berdasarkan Hb, rerata perubahan Hb, dosis ESAs saat ini, dan kondisi klinis
- Target peningkatan Hb = 0,25 g/dL per minggu
- Peningkatan Hb jangan melebihi 0,5 g/dL per minggu
- Jika Hb melebihi target, dosis ESAs sebaiknya diturunkan, namun jangan
dihentikan
- Re-evaluasi dosis ESAs jika:
- Pasien mengalami reaksi simpang ESAs
- Pasien mengalami penyakit akut atau progresif yang menyebabkan
terjadinya hiperesponsivitas terhadap ESAs

c. Pemantauan
- Pada saat titrasi dosis ESAs (terapi ESAs baru dimulai), pemeriksaan DPL
dan hitung retikulosit absolut dapat dilakukan tiap 1-2 minggu hingga target
Hb tercapai
- Jika target Hb sudah tercapai dan pasien sudah mendapat dosis ESAs yang
stabil, pemeriksaan DPL dan panel besi dalam fase rumatan dilakukan
sebagai berikut:
• PGK 5D: pemeriksaan kadar Hb dilakukan tiap bulan
• PGK ND: pemeriksaan kadar Hb sekurang-kurangnya tiap 3 bulan

d. Rekomendasi target Hb: 11-12 g/dL

e. Jalur pemberian: PGK HD: IV atau SK, PGK ND dan PGK PD: SK

f. Frekuensi pemberian ESAs berdasarkan derajat PGK, rencana tata laksana,


kemungkinan efektivitas terapi, pilihan pasien, toleransi pasien, dan jenis
ESAs

g. Jenis-Jenis ESAs (Erythropoietin Stimulating Agents)


Pemilihan ESAs dilakukan berdasarkan pertimbangan farmakodinamik,
informasi keamanan, data luaran klinis, biaya dan ketersediaan
- rhEPO-alfa intravena (IV)
• Direkomendasikan untuk pasien HD
• Dosis:
i. Dosis awal: 50-75 IU/kg, 3 kali/minggu, cek Hb tiap 1-2 minggu
hingga target Hb tercapai
ii. Naikkan hingga dosis maksimum 240 IU/kgBB/dosis, 3 kali/minggu
jika target Hb belum tercapai
iii. Dosis rumatan: 100-300 IU/kgBB/minggu
• Pantau tekanan darah untuk melihat jika hipertensi memburuk
(mungkin sebagai efek samping ESAs) yang harus ditata laksana segera
• Pemberian rhEPO-alfa IV tidak dianjurkan secara subkutan karena
kemungkinan efek samping berupa pure red cell aplasia (PRCA)

- rhEPO-beta
• Direkomendasikan untuk pasien pre-dialisis (sebelum inisiasi dialisis
dilakukan) dan pada pasien PD
• Penggunaan rhEPO-beta secara subkutan (SK) dihubungkan dengan
kejadian PRCA
• Dosis:
i Fase koreksi: 75-150 IU/kg/minggu
- Tingkatkan dosis 25-50 IU/kg/minggu per bulan hingga dosis
maksimum 240 IU/kg/minggu
- Target Hb harus tercapai dalam waktu 3 bulan
ii Fase rumatan:
- Setelah Hb target tercapai di fase koreksi, dosis dapat
diturunkan sebanyak 25-50% untuk mempertahankan Hb pada
kadar tersebut
- Jika diperlukan, pengurangan dosis selanjutnya dapat dilakukan
untuk memastikan bahwa Hb tidak lebih dari 13 g/dL
iii Jika peningkatan Hb >2 g/dL dalam 4 minggu, maka dosis
diturunkan sebanyak 25-50% dosis sebelumnya
• Penggunaan rhEPO-beta intravena memiliki waktu paruh yang lebih
singkat dibandingkan subkutan, sehingga diperlukan interval dosis
yang lebih singkat pada jalur intravena
i Waktu paruh IV: 4-12 jam
ii Waktu paruh SK: 13-28 jam
• Pada pasien yang sudah stabil dengan dosis SK satu kali per minggu,
dosis dapat diubah menjadi satu kali tiap 2 minggu.Pada pemberian
tiap 2 minggu, peningkatan dosis mungkin diperlukan.

- Darbepoetin-alfa
- Merupakan analog rhEPO yaitu rekombinan baru dari protein yang
menstimulasi eritropoiesis (recombinant erythropoiesis stimulating protein)
dengan ekstra dua rantai oligosakarida, yang menghasilkan efek terapi yang
lebih lama, sehingga kebutuhan dosis lebih rendah dibandingkan rhEPO
• Farmakokinetik pada anak 7-16 tahun
i Waktu paruh pada pemberian IV adalah 21 jam (12-25 jam)
ii Waktu paruh pada pemberian SK adalah 33 jam (16-44 jam)
Bioavaibilitas SK adalah 52% (32-70%)
• Dosis
i Mulai dosis SK atau IV 0,45 mcg/kgBB per minggu (kurang lebih
setara dengan rhEPO 100 IU/kgBB per minggu

Tabel 5. Perhitungan dan penyeseuain dosis darbepoietin alfa


Pasien yang sebelumnya mendapat dosis rhEPO < 100 IU/kgBB/minggu, penurunan
dosis adalah 25-50% dari dosis sebelumnya berdasarkan berat badan

• Penggantian rhEPO dengan darbepoetin-alfa


i Berdasarkan pengalaman klinis, pasien yang mendapat dosis
rhEPO sebanyak 2-3 kali per minggu, dapat diubah menjadi
darbepoetin-alfa satu kali per minggu. Pada pasien dengan dosis
rhEPO satu kali per minggu diubah menjadi darbepoetin-alfa satu
kali tiap 2 minggu
ii Pengantian rhEPO menjadi darbepoetin-alfa harus berdasarkan
dosis rhEPO pasien saat penggantian, dan jalur pemberian harus
sama
iii Dosis awal darbepoetin-alfa jalur SK (mcg/minggu) adalah total
dosis mingguan rhEPO SK (IU/minggu) dibagi 200
iv Dosis awal darbepoetin-alfa (mcg/minggu) adalah dosis rhEPO-alfa
IV tiap 2 minggu (IU/minggu) dibagi dengan faktor sesuai tabel:

Tabel 6. Dosis penyesuaian darbepoietin berdasarkan rhEPO


Dosis rhEPO-alfa tiap 2 Dosis darbepoetin-alfa
minggu (IU/2 tiap 2 minggu (mcg/2 Rasio konversi
minggu) minggu)
5000 25 200:1
7500 25 300:1
10.000 25 400:1
15.000 40 375:1
20.000 60 333:1
25.000 60 417:1
30.000 60 500:1
40.000 100 400:1
60.000 100 600:1
80.000 100 800:1
100.000 200 500:1

• Dosis titrasi selanjutnya


i Periksa DPL tiap 2-4 minggu
ii Jika Hb tidak meningkat sekurang-kurangnya 1 g/dL dalam 4
minggu dan cadangan besi sudah dadekuat, dosis darbepoetin-alfa
dapat ditingkatkan sebanyak 25%. Peningkatan dosis selanjutnya
dapat dilakukan tiap 4 minggu hingga respons yang diinginkan
tercapai
iii Jika Hb meningkat >2,5 g/dL dalam 4 minggu, dosis darbepoetin-
alfa diturunkan 25-50% tergantung pada kecepatan peningkatan
Hb yang sudah terjadi
iv Jika Hb >13 g/dL, hentikan pemberian darbepoetin-alfa sampai Hb
<12 g/dL, kemudian mulai kembali darbepoetin-alfa dengan dosis
25% di bawah dosis sebelumnya
v Perubahan dosis pada fase rumatan sebaiknya tidak dilakukan
lebih sering dari interval setiap 2 minggu
vi Belum ada ketentuan mengenai jumlah maksimum darbepoetin-
alfa yang aman baik dalam bentuk dosis tunggal atau dosis
multipel. Dosis >3 mcg/kgBB/minggu untuk 28 minggu sudah
diberikan pada pasien PGK tanpa efek samping
vii Perubahan jalur pemberian
Dilakukan pada dosis yang sama dan kadar Hb dipantau sehingga
penyesuaian dosis darbepoetin-alfa dapat dilakukan untuk
mencapai target Hb yang diinginkan

- Methoxy polyethylene glycol-epoetin beta


• Continuous erythropoietin receptor activator (CERA) adalah istilah generik
dari obat-obat dalam kelas ESAs generasi ketiga
• Methoxy polyethylene glycol-opoetin beta adalah satu dari jenis CERAs
yang tersedia di pasaran, memiliki struktur yang sama dengan sintetik
EPOs. Perbedaanya, pada methoxy polyethylene glycol-opoetin beta
memiliki ikatan dengan polyethylene glycol sehingga obat ini memiliki
waktu paruh yang lebih lama (6 kali lebih lama dibandingkan dengan
darbepoetin-alfa dan 20 kali lebih lama dibandingkan dengan epoietin
lainnya)
• Farmakokinetik
i Setelah pemberian IV pada pasien PGK, obat ini memiliki waktu
paruh 134 jam (atau 5,6 hari) dan total pembersihan sistemik (total
systemic clearance) 0,494 mL/jam/kgBB
ii Setelah pemberian SK, obat ini memiliki waktu paruh 139 jam (atau
5,8 hari)
• Penyesuaian dosis awal
i Dosis awal 0,6 mg/kgBB, secara IV atau SK, diberikan tiap 2
minggu hingga Hb ≥11g/dL
ii Jika Hb ≥11g/dL telah tercapai, obat ini dapat diteruskan satu kali
per bulan dengan dosis yang sama atau satu kali tiap dua minggu
dengan dosis dua kali dosis sebelumnya
iii Jika peningkatan Hb <1 g/dL dalam satu bulan, dosis ditingkatkan
~25% dari dosis sebelumnya
iv Selanjutnya, dosis dapat ditingkatkan ~25% tiap bulan hingga
target Hb tercapai
• Dosis titrasi selanjutnya
i Periksa DPL setiap bulan
ii Jika peningkatan Hb >2 g/dL dalam satu bulan atau jika kadar Hb
meningkat dan mendekati 12 g/dL, dosis diturunkan ~25%
iii Jika kadar Hb terus meningkat, obat ini harus dihentikan
sementara hingga kadar Hb menurun, kemudian obat ini dimulai
kembali dengan dosis ~25% di bawah dosis sebelumnya
iv Setelah dosis terapi dihentikan sementara, diperkirakan terjadi
penurunan Hb ~0,35 g/dL tiap minggu
v Penyesuaian dosis sebaiknya tidak dilakukan lebih dari satu kali
per bulan

h. Masalah yang berhubungan dengan terapi ESAs


- Efek samping: hipertensi, kejang, hiperkalemia, trombosis arteriovenous
fistula atau arteriovenous graft, penurunan klirens dialiser, hiperfosfatemia
akibat peningkatan nafsu makan dan penurunan klirens
- Kontraindikasi: Hipertensi tidak terkontrol, hipersensitivitas terhadap
eritropoietin atau bahan lain yang terkandung di dalamnya, sensitivitas
terhadap turunan produk yang mengandung sel mamalia pada penggunaan
rhEPOs
- Hiporesponsivitas terhadap ESAs
- Definisi: pasien terus menerus membutuhkan dosis ESAs yang tinggi >300
IU/kgBB/minggu EPO
• Hiporesponsivitas inisial: tidak terjadi peningkatan Hb dari kadar Hb
awal setelah penggunaan terapi ESAs dengan dosis sesuai berat badan
selama 1 bulan
• Hiporesponsivitas didapat pada pasien yang sudah sempat stabil
dengan dosis ESAs, kemudian pasien membutuhkan peningkatan dosis
ESAs lebih dari 50% dosis sebelumnya untuk mempertahankan kadar
Hb kembali stabil
- Hindari eskalasi dosis ESAs lebih dari dua kali lipat dosis inisial
berdasarkan berat badan
- Kemungkinan penyebab hiporesponsivitas: Kehilangan darah, terutama
pada pasien yang menjalani HD yang berpotensi mengalami kehilangan
darah dalam sirkuit atau dialiser pada setiap sesi HD, hemolisis, defisiensi
besi absolut atau fungsiona, defisiensi asam folat atau vitamin B12,
malnutrisi, underdialysis, hipotiroidisme, hiperparatiroidisme, penggunaan
ACE-inhibitor atau angiotensin receptor blockers (ARB), infeksi atau inflamasi,
keganasan, PRCA karena antibodi terhadap EPO, dan kelainan sumsum
tulang
• Anak: rerata kehilangan darah per hari melalui intestinal 6 mL/m 2
• Anak dengan HD, kehilangan darah dari sistem gastrointestinal
meningkat menjadi 11 mL/ m 2 dan kehilangan darah melalui sirkuit dan
dialiser pada tiap sesi HD sebanyak 8 mL/m 2
- Pure red cell aplasia yang dimediasi antibodi
• Dicurigai ketika pasien yang telah memperoleh ESAs selama lebih dari
8 minggu mengalami:
• Penurunan mendadak kadar Hb sebanyak 0,5-1 g/dL per minggu, atau
• Kebutuhan untuk transfusi darah sebanyak 1-2 kali per minggu, dan
• Hitung trombosit dan leukosit normal, dan
• Hitung retikulosit absolut <10.000/µL
- Infeksi parvovirus sudah dieksklusi
- Diagnosis definitif: terdapat antibodi terhadap EPO
- Biopsi sumsum tulang memperlihatkan penurunan jumlah atau tidak
adanya eritroblast
- Tata laksana:
• Terapi ESAs harus dihentikan pada PRCA
• Pertimbangkan pemberian obat imunosupresi
• Pada pasien yang tetap hiporesponsif walaupun kemungkinan
penyebab sudah dikoreksi, dengan mempertimbangkan risiko dan
manfaat maka ESAs dapat dilanjutkan jika diperlukan dan transfusi
darah.

6. Transfusi darah
a. Pada pasien anemia kronik, transfusi darah sebaiknya dihindari untuk
meminimalkan risiko terkait transfusi. Namun, dapat dilakukan jika
manfaatnya lebih besar dibandingkan dengan risikonya. Misalnya pada
kondisi sebagai berikut:
- Terapi ESAs tidak efektif, misalnya hemoglobinopati, kelainan sumsum
tulang (bone marrow failure), resistensi terhadap ESAs
- Risiko terapi ESAs lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya, misalnya
riwayat keganasan atau sedang mengalami keganasan, riwayat stroke
- Tidak didasarkan pada kadar Hb tertentu, namun pertimbangan adanya
gejala klinis anemia. Manfaat utama yang ingin dicapai dari transfusi sel
darah merah adalah:
• Mempertahankan kapasitas angkut oksigen yang adekuat dan
memperbaiki gejala dan tanda klinis akibat anemia, misalnya dispne
• Perdarahan akut yang berat yang sulit dihentikan segera
• Kondisi perdarahan akut yaitu dengan kehilangan darah >30-40% dari
volume darah (1.500-2.000 mL) dengan gejala kehilangan darah yang
berat
• Kondisi perdarahan akut dengan perkiraan <25-30% total volume darah
dan diduga masih ada sumber perdarahan lain, tanda-tanda
hipovolemia tetap terjadi walaupun sudah diberi resusitasi
kristaloid/koloid
• Pasien dengan faktor ko-morbid misalnya kardiomiopati dilatasi,
transfusi boleh dilakukan walaupun kehilangan darah lebih sedikit
• Kondisi gagal jantung dengan tetap memerhatikan status
volume/balans cairan
• Riwayat stroke dan riwayat keganasan atau kondisi keganasan saat ini
yang menyebabkan terapi ESAs memiliki risiko lebih besar
dibandingkan transfusi sel darah merah
b. Pada kandidat transplantasi organ, transfusi sel darah merah sebaiknya
dihindari untuk meminimalkan risiko allosensitisasi

7. Tata laksana darurat anemia


Disarankan jika terdapat kondisi di bawah ini:
- Perdarahan akut, penyakit arteri koroner yang tidak stabil, infark
miokardium ditujukan untuk stabilisasi pasien
- Kepentingan pre-operatif:
• Pada umumnya, tidak direkomendasikan pada kadar Hb ≥10 g/dL,
tetapi harus diberikan ketika kadar Hb <7g/dL
• Pasien berisiko tinggi misalnya dengan penyakit kardiovaskular atau
respiratorik yang diduga tidak toleran terhadap anemia, dapat
dilakukan transfusi ketika kadar Hb <8 g/dL
• Belum ada kesepakatan mengenai transfusi pada kadar Hb diantara 7
dan 10 g/dL

8. Edukasi
a. Hipoksia jaringan dan anemia mempercepat progresivitas penyakit
ginjal menuju gagal ginjal. Komplikasi lainnya: fibrosis intersisial,
kerusakan tubular, dan peningkatan matriks ekstraselular. Oleh sebab
itu, pada PGK, koreksi terhadap anemia adalah penting untuk
meningkatkan distribusi oksigen ke sel tubular, mengurangi kerusakan
tubular, dan mengurangi kerusakan nefron akibat cedera tubular.
b. Anemia kronik bermanifestasi klinis dalam bentuk takikardia dan napas
pendek ketika beraktivitas, dapat berlanjut menjadi kardiomiopati
dilatasi, hipertrofi ventrikel kiri, atau gagal jantung.
c. Anemia berdampak besar terhadap kualitas hidup pasien, namun
dengan tata laksana yang tepat, anemia dapat diperbaiki dan
menghasilkan luaran yang baik. Pada populasi PGK yang kadar Hb-nya
dipertahankan >11 g/dL, dapat dicapai perbaikan kualitas hidup dan
pola pertumbuhan serta penurunan frekuensi rawat inap di rumah
sakit, kebutuhan transfusi, dan mortalitas.

9. Prognosis
Anemia pada 30 hari pasca inisiasi dialisis berhubungan dengan kematian
dengan risiko relatif 1,25 (95% IK 1,03-2,26) dan anemia juga berhubungan
dengan peningkatan risiko rawat inap.

Daftar pustaka
1. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group.
KDIGO 2012: Clinical practice guideline for the evaluation and management of
chronic kidney disease. Kidney Inter., Suppl. 2013;3:1-150.
2. KDOQI clinical practice guidelines for nutrition in children with chronic kidney
disease: 2008 update. Am J Kidney Dis., Suppl. 2009;2:S35-S47.
3. Lau PYW, Yap HK. Evaluation of acid-base disorder. Dalam: Yap HK, Liu AD,
Ng KH, penyunting. Pediatric nephrology on-the-go. Edisi ke-2. Singapura:
Children’s Kidney Centre; 2015. hlm. 39-50.
4. Greenbaum LA, Schaefer F. The decision to initiate dialysis in the pediatric
patient. Dalam: Warady BA, Schaefer F, Alexander SR, penyunting. Pediatric
dialysis. Edisi ke-2. New York: Springer; 2012. hlm. 85-100.
5. Garcia-Nieto V, Santos F. Pruebas funcionales renales. Dalam: Garcia-Nieto V,
Santos F, penyunting. Nefrologia pediatrica. Madrid: Aula Medica; 2000. hlm. 15-
26.
6. Heilbron DC, Holliday MA, al-Dahwi A, Kogan BA. Expressing glomerular
filtration rate in children. Pediatric nephrol. 1991;5:5-11.
7. Schwartz GJ, Brion LP, Spitzer A. The use of plasma creatinine concentration for
estimating glomerular filtration rate in infants, children, adolescents. Pediatr Clin
North Am. 1987;34:571-90.
8. Srivastara T, Warady BA. Overview of the management of chronic kidney
disease in children. Diakses pada 21 Maret 2017. Diunduh dari:
https://www.uptodate.com/contents/overview-of-the-management-of-chronic-
kidney-disease-in-children.
9. Schwartz GJ, Muñoz A, Schneider MF, Mak RH, Kaskel F, Warady BA, dkk. New
Equations to Estimate GFR in Children with CKD. J Am Soc Nephrol.
2009;20:629-37.
10. Gheissari A, Roomizadeh P, Kelishadi R, Abedini A, Haghjooy-Javanmard S,
Abtahi SH, dkk. Comparison of the performance of the updated Schwartz and
the Grubb glomerular filtration rate equation in a general pediatric population.
Saudi J Kidney Dis Transpl. 2014;25:1004-10.
11. National Kidney Foundation. NKF-K/DOQI clinical practice guidelines and clinical
practice recommendations for 2006 updates: Hemodialysis adequacy, peritoneal
dialysis adequacy and vascular access. Am J Kidney Dis. 2006;48:S1-317.
12. Mailloux LU. Dialysis dysequilibrium syndrome. Dalam: Berns JS, Sheridan AM
(penyunting). UpToDate. November 2013.
13. Daugirdas JT, Blake PT, Ing TS. Handbook of dialysis. Edisi ke-4. Philadelphia
PA: Wolters Kluwer Lippincott Williams and Wilkins; 2007.
14. Yap HK, Kanitkar M. Hemodialysis orders. Dalam: Yap HK, Liu ID, Tay WC.
Pediatric Nephrology On-The-Go. Singapura: Children’s Kidney Centre-Shaw
Foundation-NKF; 2012. h. 260-4.
15. National Kidney Foundation. KDOQI clinical practice guidelines and clinical
practice recommendations for anemia in chronic kidney disease. Am J Kidney
Dis 47:S1-146, 2006 (suppl 3).
16. Kaspar CDW, Bholah R, Bunchman TE. A review of pediatric chronic kidney
disease. Blood Purification. 2016;41:211-7.
17. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Anemia Work Group.
KDIGO clinical practice guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney
Int. Suppl. 2012;2:279-335.
18. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Ng KH. Renal anemia. Dalam: Yap HK, Liu
ID, Ng KH. Pediatric nephrology on-the-go. Singapura: Children’s Kidney Centre-
Shaw Foundation- NKF; 2015. h. 323-38.
19. McAuley D. Intravenous dilution guidelines[internet]. 8 Juni 2016. [Diunduh pada
2 Sep 2016]. [Diunduh dari:
http://www.globalrph.com/iron_sucrose_dilution.htm].
20. Gerson A, Hwang W, Fiorenza J, Barth K, Kaskel F, Weiss L, dkk. Anemia and
health-related quality of life in adolescents with chronic kidney disease. Am J
Kidney Dis. 2004;44:1017-23.
21. Koshy SM, Geary DF. Anemia in children with chronic kidney disease. Pediatr
Nephrol. 2008;23:209–19.
22. Boehm M, Riesenhuber A, Winkelmayer WC, Arbeiter K, Mueller T, Aufricht C.
Early erythropoietin therapy is associated with improved growth in children with
chronic kidney disease. Pediatr Nephrol. 2007;22:1189–93.
23. Warady BA, Ho M. Morbidity and mortality in children with anemia at initiation of
dialysis. Pediatr Nephrol. 2003;18:1055-62.

Anda mungkin juga menyukai