Disusun oleh:
Mira Rahmawati
220112160510
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi ginjal untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air,
natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi
permeable sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses
difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Kusuma & Nurarif, 2012).
Hemodialisa berasal dari kata hemo = darah, dan dialisis = pemisahan atau filtrasi.
Hemodialisis adalah suatu metode terapi dialis yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut ataupun secara progresif ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut. Tetapi ini dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin yang
dilengkapi dengan membran penyaring semipermeabel (ginjal buatan). Hemodialisis dapat
dilakukan pada saar toksin atau zat beracun harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan
permanen atau menyebabkan kematian (Mutaqin & Sari, 2011).
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang terjadi
akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis
dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury)
yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD kronik/reguler
(Daurgirdas et al., 2007).
Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari
darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat
dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan.
Hemodialisis di Indonesia mulai tahun 1970 dan sampai sekarang telah dapatdilaksanakan di
banyak rumah sakit rujukan. Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik danpanjang umur yang
tertinggi sampai sekarang 14 tahun.Indonesia termasuk Negara dengantingkat penderita gagal
ginjal yang cukup tinggi.Saat ini jumlah penderita gagal ginjalmencapai 4500 orang. Dari jumlah
itu banyak penderita yang meninggal dunia akibat tidakmampu berobat atau cuci darah
(hemodialisis) karena biaya yang sangat mahal.
3. ETIOLOGI
Hemodialisa dilakukan kerena pasien menderita gagal ginjal akut dan kronik akibat dari :
azotemia, simtomatis berupa enselfalopati, perikarditis, uremia, hiperkalemia berat, kelebihan
cairan yang tidak responsive dengan diuretic, asidosis yang tidak bisa diatasi, batu ginjal, dan
sindrom hepatorenal.
4. PATOFISIOLOGI
Ginjal adalah organ penting bagi hidup manusia yang mempunyai fungsi utama untuk
menyaring / membersihkan darah. Gangguan pada ginjal bisa terjadi karena sebab primer
ataupun sebab sekunder dari penyakit lain. Gangguan pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya
gagal ginjal atau kegagalan fungsi ginjal dalam menyaring / membersihkan darah. Penyebab
gagal ginjal dapat dibedakan menjadi gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik. Dialisis
merupakan salah satu modalitas pada penanganan pasien dengan gagal ginjal, namun tidak
semua gagal ginjal memerlukan dialisis. Dialisis sering tidak diperlukan pada pasien dengan
gagal ginjal akut yang tidak terkomplikasi, atau bisa juga dilakukan hanya untuk indikasi tunggal
seperti hiperkalemia. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan sebelum melalui hemodialisis
pada pasien gagal ginjal kronik terdiri dari keadaan penyakit penyerta dan kebiasaan pasien.
Waktu untuk terapi ditentukan oleh kadar kimia serum dan gejala-gejala.Hemodialisis biasanya
dimulai ketika bersihan kreatin menurun dibawah 10 ml/mnt, yang biasanya sebanding dengan
kadar kreatinin serum 8-10 mge/dL namun demikian yang lebih penting dari nilai laboratorium
absolut adalah terdapatnya gejala-gejala uremia.
5. INDIKASI HEMODIALISA
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik. Hemodialis
segera adalah HD yang harus segera dilakukan, Indikasi hemodialisis segera antara lain
(D87uaurgirdas et al., 2007):
A. Kegawatan ginjal
g) Ensefalopati uremikum
h) Neuropati/miopati uremikum
i) Perikarditis uremikum
k) Hipertermia
7. TUJUAN
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam
tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan
sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan
individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa
idealnya dilakukan 10 15 jam/minggu dengan Blood flow (QB) 200300 mL/menit. Sedangkan
menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 3 5 jam dan dilakukan 3 kali
seminggu. Pada akhir interval 2 3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH
sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel
darah merah rusak dalam proses hemodialisa.
c. AksesVaskularHemodialisis
Untukmelakukanhemodialisisintermitenjangkapanjang,makaperluadajalanmasukkedalamsiste
m vascularpenderita.Darahharuskeluardanmasuktubuhpenderitadengankecepatan 200 sampai 400
ml/menit.Teknikakses vascular diklasifikasikansebagaiberikut:
1. AksesVaskulerEksternal (sementara)
a. Pirauarteriovenosa (AV) atau system kanula diciptakan dengan menempatkan ujung kanula dari
Teflon dalam arteri dan sebuah vena yang berdekatan. Ujung kanula dihubungkan dengan selang
karet silicon dan suatu sambungan teflon yang melengkapi pirau.
b. Kateter vena femoralis sering dipakai pada kasus gagal ginjal akut bila diperlukan akses vascular
sementara, atau bila teknik akses vaskuler lain tidak dapat berfungsi. Terdapat dua tipe kateter
dialysis femoralis. Kateter saldona dalah kateter berlumen tunggal yang memerlukan akses
kedua. Tipe kateter femoralis yang lebih baru memiliki lumen ganda, satu lumen untuk
mengeluarkan darah menuju alat dialysis dan satu lagi untuk mengembalikan darah ketubuh
penderita. Komplikasi pada kateter vena femoralis adalah laserasi arteriafemoralis, perdarahan,
thrombosis, emboli, hematoma, daninfeksi.
c. Kateter vena sub klavia semakin banyak dipakai sebagai alat akses vascular karena pemasangan
yang mudah dan komplikasinya lebih sedikit dibanding kateter vena femoralis. Kateter vena sub
klavia mempunyai lumen ganda untuk aliran masuk dan keluar. Kateter vena subklavia dapat
digunakan sampai empat minggu sedangkan kateter vena femoralis dibuang setelah satu sampai
dua hari setelah pemasangan. Komplikasi yang disebabkan oleh katerisasi vena subklavia serupa
dengan katerisasi vena femoralis yang termasuk pneumotoraks robeknya arteria subklavia,
perdarahan, thrombosis, embolus, hematoma, daninfeksi.
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis mengingat
adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengeksresikan produk akhir
metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja
sebagai racun atau toksik. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif
dikenal sebagai gejala uremik dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Lebih banyak toksin
yang menumpuk, lebih berat gejala yang timbul. Diet rend protein akan mengurangi
penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala. Penumpukan cairan
juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan
demikian, pembatasan cairan juga merupakan bagian dengan resep diet untuk pasien ini.
Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki
meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian atau pembatasan pada asupan protein,
natrium, kalium dan cairan. Berkaitan dengan pembatasan protein, maka protein dari makanan
harus memiliki nilai biologis yang tinggi dan tersusun dari asam-amino esensial untuk mencegah
penggunaan protein yang buruk serta mempertahankan keseimbangan nitrogen yang positif.
Contoh protein dengan nilai biologis yang tinggi adalah telur, daging, susu dan ikan.
Diet yang bersifat membatasi akan merubah gaya hidup dan dirasakan pasien sebagai
gangguan serta tidak disukai bagi banyak penderita gagal ginjal kronis. Karena makanan dan
minuman merupakan aspek penting dalam sosialisasi, pasien sering merasa disingkirkan ketika
berada bersama orang-orang lain karena hanya ada beberapa pilihan makanan saja yang tersedia
baginya. Jika pembatasan ini dibiasakan, komplikasi yang dapat membawa kematian seperti
hiperkalemia dan edema paru dapat terjadi.
C. Pertimbangan medikasi
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang
memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus
dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam darah dan jaringan dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Beberapa obat akan dikeluarkan dari darah
pada saat dialisis oleh karena itu, penyesuaian dosis oleh dokter mungkin diperlukan. Obat-obat
yang terikat dengan protein tidak akan dikeluarkan selama dialisis. Pengeluaran metabolit obat
yang lain bergantung pada berat dan ukuran molekulnya. Apabila seorang pasien menjalani
dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus dievaluasi dengan cermat. Pasien harus mengetahui
kapan minum obat dan kapan menundanya. Sebagai contoh, jika obat antihipertensi diminum
pada hari yang sama dengan saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama
hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya.
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
a. Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa sampai
mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi
(penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
b. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisat natrium,
penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
c. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium,
magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien
hemodialisa.
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-
osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang
mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik
ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini
tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan
azotemia berat.
e. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada pasien yang
mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
f. Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai dengan
mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga merupakan faktor
risiko terjadinya perdarahan.
g. Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan karena
hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala.
i. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak adekuat
ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HEMODIALISIS
1. PENGKAJIAN
a. Keluhan utama
Keluhan utama pada pasien hemodialisa adalah
a. Sindrom uremia
b. Mual, muntah, perdarahan GI.
c. Pusing, nafas kusmaul, koma.
d. Perikarditis, cardiar aritmia
e. Edema, gagal jantung, edema paru
f. Hipertensi
Tanda-tanda dan gejala uremia yang mengenai system tubuh (mual, muntah, anoreksia berat,
peningkatan letargi, konfunsi mental), kadar serum yang meningkat. (Brunner & Suddarth, 2001
: 1397)
c. Riwayat obat-obatan
Pasien yang menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus dievaluasi dengan cermat. Terapi
antihipertensi, yang sering merupakan bagian dari susunan terapi dialysis, merupakan salah satu
contoh di mana komunikasi, pendidikan dan evaluasi dapat memberikan hasil yang berbeda.
Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan kapan menundanya. Sebagai contoh, obat
antihipertensi diminum pada hari yang sama dengan saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi
dapat terjadi selama hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah rendah yang
berbahaya. (Brunner & Suddarth, 2001: 1401)
d. Psikospiritual
Penderita hemodialisis jangka panjang sering merasa kuatir akan kondisi penyakitnya yang tidak dapat
diramalkan. Biasanya menghadapi masalah financial, kesulitan dalam mempertahankan
pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi, dipresi akibat sakit yang kronis
dan ketakutan terhadap kematian.(Brunner & Suddarth, 2001: 1402)
Prosedur kecemasan merupakan hal yang paling sering dialami pasien yang pertama kali dilakukan
hemodialisis. (Muttaqin, 2011: 267)
f. Pemeriksaan fisik
BB : Setelah melakukan hemodialisis biasanya berat badan akan menurun.
TTV: Sebelum dilakukan prosedur hemodialisis biasanya denyut nadi dan tekanan darah diatas rentang
normal. Kondisi ini harus di ukur kembali pada saat prosedur selesai dengan membandingkan
hasil pra dan sesudah prosedur. (Muttaqin, 2011: 268)
Manifestasi klinik
a. Kulit : kulit kekuningan, pucat, kering dan bersisik, pruritus atau gatal-gatal
b. Kuku : kuku tipis dan rapuh
c. Rambut : kering dan rapuh
d. Oral : halitosis / faktor uremic, perdarahan gusi
e. Lambung : mual, muntah, anoreksia, gastritis ulceration.
f. Pulmonary : uremic lung atau pnemonia
g. Asam basa : asidosis metabolik
h. Neurologic : letih, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan otot : pegal
i. Hematologi : perdarahan
g. Pemeriksaan Penunjang
Kadar kreatinin serum diatas 6 mg/dl pada laki-laki, 4mg/dl pada perempuan, dan GFR 4
ml/detik. (Sylvia A. Potter, 2005 : 971)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pre HD
1. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, Hb 7 gr/dl, Pneumonitis dan
Perikarditis d.dPenggunaan otot aksesoris untuk bernafas, Pernafasan cuping hidung, Perubahan
kedalaman nafas, dan Dipneu
2. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urine, diet cairan berlebih, retensi cairan &
natrium b.dPerubahan berat badan dalam waktu sangat singkat, Gelisah, Efusi pleura, Oliguria,
Asupa melebihi haluran, Edema, Dispnea, Penurunan hemoglobin, Perubahan pola pernapasan ,
dan Perubahan tekanan darah
3. Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual & muntah,
pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa oral d.d nyeri abdomen bising usus
hiperaktif, kurang makanan, diare, kurang minat pada makanan, dan berat badan 20% atau lebih
dibawah berat badan ideal.
4. Ansietas b.d krisis situasional d.d gelisah, wajah tegang, bingung, tampak waspada, ragu/tidak
percaya diri dan khawatir
5. Kerusakan integritas kulit b.d Gangguan sirkulasi, Iritasi zat kimia, Defisit cairan d.d Kerusakan
jaringan (Mis. Kornea, membrane mukosa, integument, atau subkutan) dan Kerusakan jaringan.
b. Intra HD
1. Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap penusukan & pemeliharaan
akses vaskuler.
2. Risiko terjadi perdarahan b.d penggunaan heparin dalam proses hemodialisa
c. Post HD
1. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisis d,d
menyatakan merasa lemah, menyatakan merasa letih, dispnea setelah beraktifitas,
ketidaknyamanan setelah beraktifitas, dan respon tekanan darah abnormal terhadap aktivitas.
2. Risiko Harga diri rendah b.d ketergantungan, perubahan peran dan perubahan citra tubuh dan
fungsi seksual d.d gangguan citra tubuh, Mengungkapkan perasaan yang mencerminkan
perubahan individudalam penampilan, Respon nonverbal terhadap persepsi perubahan pada
tubuh (mis;penampilan,steruktur,fungsi), Fokus pada perubahan, Perasaan negatif tentang
sesuatu
3. Resiko infeksi b.d prosedur invasif berulang
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Pre HD
No Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1 Pola nafas tidak efektif b.d Setelah diberikan asuhan1. Observasi penyebab nafas tidak
1. Untuk menentukan tindakan yang
edema paru, asidosis metabolic, keperawatan selama 1x24 efektif harus segera dilakukan
Hb 7 gr/dl, Pneumonitis dan jam diharapkan
Perikarditis Pola nafas efektif setelah 2. Menentukan tindakan
dilakukan tindakan HD 4-5
2. Observasi respirasi & nadi
jam, dengan Kriteria hasil:
a. Nafas 16-28 x/m 3. Berikan posisi semi fowler 3. Melapangkan dada klien sehingga
b. edema paru hilan
nafas lebih longgar
c. tidak sianosis
b. Intra HD
No Diagnosa Tujuan & Kriteria hasil Intervensi Rasional
1 Resiko cedera b.d akses Setelah dilakukan asuhan
1. Observasi kepatenan AV shunt
1. AV yg sudah tidak baik bila
vaskuler & komplikasi keperawatan selama 1x24 sebelum HD dipaksakan bisa terjadi rupture
sekunder terhadap jam diharapkan pasien vaskuler
penusukan & pemeliharaan tidak mengalami cedera
2. Monitor kepatenan kateter
akses vaskuler. dengan Kriteria hasil: 2. Posisi kateter yg berubah dapat
sedikitnya setiap 2 jam
a. Kulit pada sekitar AV terjadi rupture vaskuler/emboli
shunt utuh/tidak rusak
b. Pasien tidak mengalami
3. Kerusakan jaringan dapat
3. Observasi warna kulit, keutuhan
komplikasi HD
didahului tanda kelemahan pada
kulit, sensasi sekitar shunt
kulit, lecet bengkak, sensasi
E. EVALUASI
a. Pre HD
1. Nafas kembali normal, tidak terdapat edema paru dan sianosis
2. Volume cairan kembali dalam keadaan seimbang
3. Nutrisi pasien kembali dalam keadaan seimbang
4. Ansietas yang di alami menurun sampai tingkat dapat ditangani
5. Integritas kulit tidak mengalami kerusakan
b. Intra HD
1. Resiko cedera tidak terjadi
2. Tidak terjadi perdarahan
c. Post HD
1. Dapat beraktivitas seperti biasa
2. Harga diri rendah dapat teratasi karena pola koping klien efektif
3. Tidakterjadi infeksi
DAFTAR PUSTAKA
Beiber, S.D. dan Himmelfarb, J. 2013. Hemodialysis. In: Schriers Disease of the Kidney. 9th
edition. Coffman, T.M., Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson, E.C., Schrier, R.W. editors.
Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2007. Handbook of Dialysis. 4th ed. Phildelphia. Lipincott
Kusuma, Hardhi & Amin, Huda Nurarif. (2012). Handbook for Health Student. Yogyakarta:
Mediaction Publishing.
Mutaqqin, Arif & Kumala Sari. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi
8. Jakarta: EGC