Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

HEMODIALISIS DAN DIALISIS PERITONEAL


Dosen pengampu : apt. Karol Giovani Battista Leki, M.Farm

Kelompok 4 :

1. Amalia Ajeng L 1192065


2. Andhi Fajar W 1192060
3. Anisa Fitriyani M 1191008
4. Ardiyan Angga P 1192068
5. Fadilla Khairun N 1192078

PROGRAM STUDI DIPLOMA III


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI NUSAPUTERA SEMARANG
2021
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan suatu keadaan
dimana ginjal secara permanen kehilangan fungsi untuk membuang zat-zat hasil metabolisme dan
gangguan dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan zat-zat dalam tubuh dan
menyebabkan uremia. Terapi pengganti ginjal, berupa dialisis dan transplantasi ginjal merupakan
satu-satunya cara untuk mempertahankan fungsi tubuh pada kondisi penyakit ginjal kronik.
Dialisis dapat dilakukan dengan hemodialisis dan peritoneal dialisis. Peritoneal Dialisis dapat
berupa Intermitten Peritoneal Dialysis (IPD), Continous Cyclic Peritoneal Dialysis (CCPD), dan
Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Di Indonesia peritoneal dialisis yang tersedia
adalah Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis (CAPD) yang relatif baru.

Hemodialisa merupakan tindakan pengobatan yang dilakukan pada pasien GGK supaya
mampu bertahan hidup. Namun demikian, tindakan tersebut mempunyai efek samping pada
kondisi fisik serta psikologis pendetita GGK (Kemenkes, 2018). Haemodialisa merupakan
pengobatan (replacement treatment) pada penderita gagal ginjal kronik stadium terminal, jadi
fungsi ginjal digantikan oleh alat yang disebut dyalizer (artifical kidney), pada dialyzer ini terjadi
proses pemindahan zat-zat terlarut dalam darah kedalam cairan dialisa atau sebaliknya.
Hamodialisa adalah suatu proses dimana komposisi solute darah diubah oleh larutan lain melalui
membran semi permiabel, hemodialisa terbukti sangat bermanfaat dan meningkatkan kualitas
hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2005; Wijaya, 2013).

B. Perumusan masalah
1. Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis (CAPD) dapat dijadikan pilihan selain
hemodialisis dan transplantasi ginjal pada pasien penyakit ginjal kronik stadium akhir.
Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis adalah terapi pengganti ginjal yang dapat
dilakukan secara mandiri tanpa harus ke rumah sakit atau melibatkan tenaga kesehatan
dan mesin dialiser sehingga lebih efisien.
C. Tujuan makalah
1. Untuk mengetahui pengalaman hidup pasien ginjal kronik yang menggunakan metode
Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis (CAPD) sebagai terapi pengganti ginjal.
2. Pengetahuan tentang terapi haemodialysis, dampak terapi hemodialisis, mekanisme
koping selama terapi, dukungan keluarga selama terapi, harapan pasien gagal ginjal
kronis dengan hemodialisis.
BAB II

Tinjauan pustaka

A. Tinjauan Teori
1. Pengertian ginjal kronik
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada fungsi ginjal yang bersifat
terus menerus (progresif) dan tidak dapat kembali seperti semula (irreversibel) sehingga
tubuh tidak bisa mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga menyebabkan uremia.

2. Etiologi
Penyakit ginjal kronik terjadi apabila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidupnya. Eksaserbasi nefritis,
obstruksi saluran kemih kerusakan vascular akibat diabetes mellitus, dan hipertensi yang
berlangsung terus-menerus dapat mengakibatkan pembentukan jaringan parut pembuluh
darah dan hilangnya fungsi ginjal secara progresif. Penyebab utama penyakit ginjal
kronik berbeda-beda pada setiap individu dan lingkungan tempat tinggal (bervariasi setiap
negara).

3. Patofisiologi
Saat penderita penyakit ginjal dengan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) sebesar 60%
akibat berbagai penyebab, tanda dan gejala penyakit tersebut belum tampak karena
sebagian nefron yang masih utuh dan berfungsi mengambil alih fungsi nefron yang telah
rusak. Penurunan fungsi ginjal pada PGK mengakibatkan produk akhir metabolisme
protein yang mulanya diekskresikan melalui urin tertimbun di dalam darah. Hal ini
menyebabkan uremia yang mempengaruhi sistem tubuh dan menyebabkan tanda gejala
penyakit ginjal yang dialami semakin berat. Selanjutnya saat LFG sudah dibawah 15%
maka penderita memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara
lain dialisis atau transplantasi ginjal.

B. Metode penyembuhan penyakit ginjal akut


1. Definisi Hemodalysis therapy
Hamodialisa adalah suatu proses dimana komposisi solute darah diubah oleh larutan
lain melalui membran semi permiabel, hemodialisa terbukti sangat bermanfaat dan
meningkatkan kualitas hidup pasien. Pada umumnya hemodialisa pada pasien GKK
dilakukan 1 atau 2 kali seminggu dan sekurang-kurangnya berlangsung selama 3 bulan
secara berkelanjutan.

a. Prinsip yang mendasari kerja hemodialisis

Aliran darah pada hemodialisis yang penuh dengan toksin dan limbah
nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan
kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan
lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan
yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati
tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya.

Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan,


dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke
tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan melalui
penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis.

b. Akses sirkulasi darah pasien

Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan femoralis,
fistula, dan tandur. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat
dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Fistula yang
lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan pada lengan bawah)
dengan cara menghubungkan atau 19 menyambung (anastomosis) pembuluh arteri
dengan vena secara side to side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah).
Fistula tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang sebelum
siap digunakan.

Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus) darah


yang sudah didialisis (Barnett & Pinikaha, 2007). Tandur dapat dibuat dengan cara
menjahit sepotong pembuluh darah arteri atau vena dari materia gore-tex (heterograf)
pada saat menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis. Ttandur
dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula
(Brunner & Suddart, 2008).

c. Penatalakasanaan pasien yang menjalani hemodialisis

Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap
dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang 20 penting untuk
terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2
gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan protein dengan nilai biologis tinggi.
Asupan kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan,
karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak
dianjurkan untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah
urin yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40- 120
mEq.hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan
menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila
asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan terjadi kenaikan
berat badan yang besar (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia,
2006).

Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian melalui


ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik,
antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar
obat-obatan ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan
akumulasi toksik. Resiko timbulnya efek toksik akibat obat harus dipertimbangkan
(Hudak & Gallo, 2010).

d. Komplikasi

Komplikasi terapi dialisis mencakup beberapa hal seperti hipotensi, emboli


udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus. Masing – masing
dari point tersebut (hipotensi, emboli udara, nyeri dada, 21 gangguan keseimbangan
dialisis, dan pruritus) disebabkan oleh beberapa faktor. Hipotensi terjadi selama terapi
dialisis ketika cairan dikeluarkan. Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena
pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisis natrium, penyakit jantung,
aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan berat cairan. Emboli udara terjadi
jika udara memasuki sistem vaskuler pasien (Hudak & Gallo, 2010 ). Nyeri dada
dapat terjadi karena PCO₂ menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah
diluar tubuh, sedangkan gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan
cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan
terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat. Pruritus terjadi selama
terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit (Smelzer, 2008).

Terapi hemodialisis juga dapat mengakibatkan komplikasi sindrom


disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan intrakranial,
kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan
hipoksemia, namun komplikasi tersebut jarang terjadi. (Brunner & Suddarth, 2008).
2. Definisi Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

Peritoneal dialisis merupakan suatu proses dialisis di dalam rongga perut yang
bekerja sebagai penampung cairan dialisis dan peritoneum sebagai membran
semipermeabel yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan
dan solute yang berisi racun ureum yang akan dibuang. Peritoneal dialisis ini secara
prinsip mirip dengan hemodialisis. Keduanya sama-sama tergantung pada pergerakan
pasif dari air dan solute melewati membrane semipermeabel. Proses ini disebut sebagai
difusi. Pada zaman dulu peritoneal dialisis dilakukan secara intermiten, dimana pasien
harus melakukan pergantian cairan secara rutin setiap 8 jam atau lebih (biasanya
sepanjang malam), 3 atau 4 kali seminggu.
Kemudian pada tahun 1976 diperkenalkan salah satu tenik peritoneal dialisis yaitu
continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), dan langsung dapat diterima sebagai
terapi alternative untuk 24 pasien dengan gagal ginjal. Continuous pada CAPD ini berarti
bahwa cairan dialisat selalu berhubungan dengan membran peritoneum, kecuali pada saat
penggantian cairan dialisat.
a. Prinsip dan teknik CAPD

Tehnik dari CAPD ini lebih sederhana dan sudah ada beberapa alat yang
dikembangkan untuk mempermudah proses penggantian cairan dialisat. Pada CAPD ini,
rongga abdomen/peritoneum pasien selalu terisi cairan dialisat yang merupakan cairan
khusus yang terdiri dari elektrolit dan dekstrosa. Cairan dialisat ini perlu diganti secara
periodik ketika konsentrasi dari produk buangan (waste product) meningkat. Waste
product ini berdifusi dari darah pasien melewati membran peritoneum dan masuk ke
rongga abdomen. Dekstrosa atau gula pada cairan dialisat akan menarik air melalui proses
osmosis dari tubuh menuju ke rongga peritoneum. Karena sejumlah dekstrosa diserap
melalui proses difusi masuk ke dalam tubuh pasien dan karena konsentrasi dekstrosa di
dalam rongga peritoneum menurun karena penambahan air, maka pergerakan cairan juga
menurun dan pada saat inilah diperlukan penggantian cairan dialisat. Proses penggantian
cairan dialisat ini diulang 3 sampai 5 kali sehari, pada umumnya 4 kali sehari. Proses
penggantian cairan dialisat ini harus menggunakan tehnik aseptik untuk mencegah
terjadinya kontaminasi cairan dialisat. Untuk mencapai akses ke peritoneum digunakan
alat berupa tube kecil atau kateter yang dimasukkan secara bedah ke dalam rongga
abdomen.

b. Pemasangan Kateter Peritoneal Dialisis

Keberhasilan penempatan kateter adalah hal yang paling utama, karena alat tersebut
bersifat permanen. Komplikasi yang berhubungan dengan kateter termasuk infeksi exit
site dan tunel telah diidentifikasi sebagai kegagalan tehnik yang diperkirakan 1/3 dari
kegagalan peritoneal dialisis dan harus kembali ke hemodialisa. Sehari sebelum operasi
pasien menjalani hemodialisis terlebih dahulu. Letak exit site sebaiknya ditentukan lebih
dulu serta diberi tanda. Letak exit site sebaiknya pada posisi lateral dan ditempatkan di
atas atau di bawah garis pinggang dan sebaiknya tidak pada bekas luka atau di bawah
lipatan lemak.

c. Cairan Dialisat

Ada 3 macam konsentrasi cairan dialisat dalam CAPD, yaitu dekstrose 1,5%,
dekstrose 2,5% (hipertonik), dan dekstrose 4,25% (hipertonik). Dekstrose 1,5% dapat
menarik cairan sebanyak 200-400 mL dan digunakan untuk pasien dehidrasi atau pasien
dengan berat badan turun. Dialisat ini mengandung 110 kalori. Dekstrose 2,3% yang
mengandung 180 kalori dapat menarik cairan sebanyak 400-600 mL dan umumnya
digunakan pada pasien overload atau kelebihan cairan, sedangkan dekstrose 4,25 % dapat
menarik cairan sebanyak 600-800 mL dan juga digunakan untuk pasien overload. Dialisat
dengan konsentrasi 4,25% ini mengandung 250 kalori.

d. Penggantian cairan dialisat

Pada saat proses penggantian cairan dialisat pasien harus ditempatkan pada tempat
yang tenang dan bersih untuk mencegah kemungkinan kontaminasi. Setelah cuci tangan
dengan bersih dan menyiapkan beberapa alat, pasien mulai untuk mengalirkan solute
lama yang sudah berada di rongga peritoneum secara gravitasi keluar dari rongga.
Langkah selanjutnya adalah melepas tube dari kantong dialisat lama dan menghubungkan
tube ke kantong dialisat yang baru.abdomennya. Proses ini disebut sebagai drain dan
biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 menit. Penggantian cairan dialisat ini pada
umumnya berlangsung 4 kali sehari, yaitu pada pagi hari, kemudian siang hari, sore hari
dan sebelum waktu tidur. Untuk efisiensi yang maksimum, dwell time yaitu waktu saat
cairan dialisat berada di abdomen, sebaiknya paling sedikit 4 jam. Selama dialisat berada
dalam abdomen, pasien selalu dalam kondisi didialisis. Oleh karena itu, pembuangan
waste product dan air berlangsung secara gradual dan kontinu. Proses ini hampir
mendekati fungsi ekskresi dari ginjal normal.

e. Komplikasi pada CAPD

Komplikasi yang berhubungan dengan CAPD secara umum dapat dibagi menjadi 3
kategori yaitu mekanik, medis, dan infeksi. Komplikasi mekanik terdiri dari aspek tehnik
sistem dialisat. Komplikasi yang berhubungan dengan kateter dapat terjadi. Misalnya
nyeri pada exit site yang disebabkan karena gerakan yang berlebihan dari kateter karen
perlekatan yang tidak adekuat pada dinding abdomen. Hal ini juga dapat mengakibatkan
kebocoran cairan dialisat di sekitar exit site dan memungkinkan terjadinya infeksi di
jaringan sekitarnya. Nyeri intra abdomen juga dapat disebabkan karena instilasi cairan
dialisat yang terlalu cepat sehingga menyebabkan jet effect. Komplikasi mekanik lainnya
meliputi sumbatan atau tertekuknya kateter. Hal ini dapat diperbaiki dengan melakukan
revisi atau repair dari kateter.

Komplikasi medis dapat berupa gatal, gangguan elektrolit, malnutrisi, edema akibat
kelebihan cairan, dehidrasi, konstipasi, fibrosis peritoneal, perdarahan, dan efusi pleura
akibat kebocoran cairan dialisat melalui diafragma. Beberapa penyakit juga dapat
menyertai CAPD seperti gagal jantung kongestif akibat kelebihan cairan. Komplikasi
infeksi dapat berupa infeksi pada exit site dan tunnel serta peritonitis. Kedua jenis infeksi
ini merupakan komplikasi CAPD yang cukup sering terjadi. Infeksi exit site dan tunnel
ditandai dengan kemerahan, indurasi, dan mungkin adanya cairan purulen di sekitar exit
site. Pada umumnya infeksi pada exit site dan tunnel disebabkan oleh Staphilococcus
aureus.

Peritonitis merupakan penyebab utama kegagalan CAPD. Meskipun insiden dari


komplikasi ini sangat bervariasi, namun angka kejadiannya meningkat pada pasien
diabetes dan usia tua. Pasien mengeluh nyeri atau rasa tidak nyaman pada daerah
abdomen, mual, muntah, atau diare bisa disertai dengan demam atau tidak, sedangkan
cairan yang keluar dari rongga peritoneum biasanya keruh. Peritonitis karena CAPD ini
biasanya disebabkan oleh kokus gram positif yang berasal dari flora normal kulit pasien.
Tetapi bila terjadi infeksi peritoneal yang berat biasanya disebabkan karena perforasi
organ visera yang akan mengakibatkan infeksi polimikrobial meliputi bakteri anaerobik
dan aerobik gram negatif. Peritonitis karena infeksi bakteri anaerobik tanpa perforasi usus
jarang terjadi. Infeksi karena jamur juga jarang terjadi, namun bila ada biasanya
disebabkan oleh kandida, dapat juga disebabkan Fusarium, Aspergillus, atau Drechslera.

Anda mungkin juga menyukai