Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagal Ginjal Kronik merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting
mengingat selain insidens dan pravelensinya yang semakin meningkat,
pengobatan pengganti ginjal yang harus di jalani oleh penderita gagal ginjal
merupakan pengobatan yang sangat mahal. Dialisis adalah suatu tindakan terapi
yang dilakukan pada penderita gagal ginjal terminal. Tindakan ini sering disebut
sebagai terapi pengganti karena berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal.
Terapi pengganti yang sering di lakukan rumah sakit adalah hemodialisis dan
peritoneal dialisis. Diantara kedua jenis terapi tersebut, yang menjadi pilihan
utama dan metode perawatan yang umum dilakukan oleh penderita gagal ginjal
adalah terapi hemodialisis (Arliza 2019).
Prevalensi gagal ginjal kronik (GGK) setiap tahun di Amerika Serikat
dengan jumlah penderita selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2018 jumlah
penderita sekitar 131.600 orang, dan sedang mengalami pengobatan sekitar
780,600 orang di amerika sendiri, sedangkan Di indonesia prevalensi penderita
gagal ginjal kronik pada tahun 2018 jumlah pasien mencapai 713.784 orang,
penderita dengan angka tertinggi di duduki oleh provinsi jawa barat dengan
jumlah 131,846 penderita dan angka terendah berada di kalimantan utara dengan
1.838 penderita GGK (Riskesdas, 2018).

hidup pasien yang menjalani terapi hemodialisis lebih rendah dibanding penyakit
yang lain. Kepatuhan pasien gagal ginjal kronik dalam menjalani terapi
hemodialisis juga akan mempengaruhi kualitas hidup pasien yang menjalani terapi
hemodialisis di rumah sakit.
Rumah sakit Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny.R.A Habibie merupakan
rumah sakit kelas c dan sudah lulus KARS pada tingkat paripurna . Selain itu
rumah sakit Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny.R.A Habibie adalah rumah sakit yang
menjadi rumah sakit rujukan dari berbagai rumah sakit yang pertama di kota
Bandung khusus ginjal dan dialisis pertama kali sehingga banyak pasien yang
melakukan pengobatan dan teraphy dialisis dirumah sakit tersebut, pasien
penderita gagal ginjal kronik yang melakukan terapi hemodialisis diruang
hemodialisa. Jumlah alat yang sangat banyak dibandingkan ruamh sakit lainya.
Community Acquired Pneumonia (CAP) merupakan penyebab terbesar
morbiditas dan mortalitas karena infeksi di rumah sakit (Ilma, Wahyono, & Sari,
2019). Pneumonia komunitas merupakan infeksi komorbid yang sering dijumpai
pada pasien dengan gagal ginjal. Luaran klinis pasien yang menderita gagal ginjal
dan infeksi lebih buruk dibandingkan dengan pasien tanpa gagal ginjal (Rini,
Taruna, & Kurniawaty, 2016).

Selain berpengaruh terhadap luaran klinis pasien, proses farmakokinetika


seperti distribusi obat (termasuk volume distribusi dan ikatan protein) dan
eliminasi (termasuk biotransformasi dan ekskresi ginjal) dapat berubah karena
gangguan ginjal (Ilma et al., 2019). Pada pasien dengan penyakit ginjal kronis
(CKD), pneumonia komunitas merupakan penyebab signifikan rawat inap terkait
infeksi.

Beberapa penelitian telah menunjukkan peningkatan risiko rawat inap terkait


pneumonia dan kematian pada pasien dengan CKD. Selain itu, pada pasien yang
dirawat di rumah sakit dengan pneumonia komunitas, cedera ginjal akut (AKI)
dikaitkan dengan hasil yang merugikan. Temuan ini menunjukkan hubungan
antara penurunan fungsi ginjal dan hasil yang merugikan untuk pneumonia
komunitas (Chen et al., 2019). Penyakit ginjal kronis (CKD), ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal, merupakan masalah kesehatan masyarakat utama yang
mempengaruhi 10% dari populasi orang dewasa global (Ilma et al., 2019)

Gagal ginjal kronik ditandai dengan adanya gangguan fungsi ginjal dan
penurunan progresif dan irreversible dari laju filtrasi glomerulus (GFR) (Rini et
al., 2016). Pneumonia komunitas adalah salah satu sumber infeksi yang paling
umum morbiditasnya pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD).
Pneumonia komunitas pada pasien dengan CKD dikaitkan dengan peningkatan
rawat inap, kejadian kardiovaskular dan mortalitas. Tingkat kematian terkait
pneumonia komunitas pada pasien dengan CKD adalah 14 hingga 16 kali lipat
lebih tinggi dari pada populasi umum. Risikonya pneumonia komunitas rawat
inap dan mortalitas dalam waktu 30 hari meningkat seiring dengan penurunan
fungsi ginjal pada pasien CKD (Chou et al., 2014).

CKD dikaitkan dengan peningkatan resiko pneumonia komunitas pasien


rawat jalan dan rawat inap. resiko pneumonia komunitas adalah 1,97 kali lipat
lebih tinggi pada pasien dengan CKD, 1,4 kali lipat lebih tinggi untuk pneumonia
komunitas rawat jalan dan 2,17 kali lipat lebih tinggi untuk pneumonia komunitas
rawat inap dibandingkan dengan pasien tanpa CKD. Pasien dengan CKD tidak
hanya meningkatkan resiko pneumonia komunitas, tetapi juga peningkatan
keparahan pneumonia komunitas dibandingkan dengan pasien tanpa CKD. Resiko
keseluruhan pneumonia komunitas lebih tinggi pada pasien CKD dibandingkan
dengan penyakit penyerta lainnya (PPOK, asma dan diabetes) (Chou et al., 2014).

Studi ini dilaksanakan di RS Khusus Ginjal Ny R.A Habibie pada pasien


Community Acquired Pneumonia (CAP) dengan gagal ginjal kronis di Ruang
Teratai.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana konsep community acquired pneumonia (CAP) pada


pasien hemodialisis?

2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien Hemodialisis dengan


CAP?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui konsep community acquired pneumonia (CAP)


pada pasien hemodialisis.

2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien HD dengan CAP.


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Chronic Kidney Disease (CKD)

1. Definisi CKD

CKD Secara definisi, penyakit ginjal kronik disebut juga sebagai Chronic
Kidney Disease (CKD). Penyakit ginjal kronik atau penyakit gagal ginjal
stadium akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible
dimana kemapuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan serta elektrolit sehingga menyebabkan uremia yaitu
retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer and Bare, 2014).

Penyakit ginjal kronis merupakan penyakit pada ginjal yang perisisten


(berlangsung lebih dari 3 bulan) dengan kerusakan ginjal dan kerusakan
Glomerular Fitration Rate (GFR) dengan angka GFR lebih dari 60
ml/menit/1.73 m2 (Prabowo dan Pranata, 2014).

2. Tanda dan gejala CKD

Menurut Haryono (2013) CKD memiliki tanda dan gejala sebagai berikut:

a. Ginjal dan gastrointestinal biasanya muncul hiponatremi maka akan


muncul hipotensi karena ginjal tidak bisa mengatur keseimbangan cairan
dan elektrolit dan gangguan reabsorpsi menyebabkan sebagian zat ikut
terbuang bersama urine sehingga tidak bisa menyimpan garam dan air
dengan baik. Saat terjadi uremia maka akan merangsang reflek muntah
pada otak.

b. Kardiovaskuler biasanya terjadi aritmia, hipertensi, kardiomiopati, pitting


edema, pembesaran vena leher.
c. Respiratory system akan terjadi edema pleura, sesak napas, nyeri pleura,
nafas dangkal, kusmaull, sputum kental dan liat.

d. Integumen maka pada kulit akan tampak pucat, kekuning-kuningan


kecoklatan, biasanya juga terdapat purpura, peteki, timbunan urea pada
kulit, warna kulit abu-abu mengilat, pruritus, kulit kering bersisik,
ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar

e. Neurologis biasanya ada neuropathy perifer, nyeri, gatal pada lengan dan
kaki, daya memori menurun, apatis, rasa kantuk meningkat.

f. Endokrin maka terjadi infertilitas dan penurunan libido, gangguan siklus


menstruasi pada wanita, impoten, kerusakan metabolisme karbohidrat.

g. Sistem muskulosekeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur


tulang.

h. Sistem reproduksi: amenore, atrofi testis.

3. Pemeriksaan penunjang CKD

Berikut adalah pemeriksaan penunjang menurut Prabowo dan Pranata (2014)


yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis CKD :

a. Biokimiawi Pemeriksaan utama dari analisa fungsi ginjal adalah ureum


dan keratin plasma. Hasil yang lebih akurat untuk mengetahui fungsi
ginjal adalah dengan analisa creatinine clearance (klirens kreatinin).

b. Urinalisasi Dilakukan untuk menapis ada atau tidaknya infeksi ginjal atau
perdarahan aktif akibat infamasi pada jaringan ginjal.

c. Ultrasonografi Ginjal Memberikan informasi yang mendukung


menegakkan diagnosis gagal ginjal.
4. Penatalaksanaan CKD

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi, terapi spesifik terhadap


penyakit yang mendasarinya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid,
pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuar, pencegahan dan terapi
terhadap komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi
ginjal. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya diberikan ketika sebelum terjadi
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), sehingga perburukan fungsi ginjal tidak
terjadi. Jika sudah terjadi penurunan LFG maka terapi terhadap penyakit dasarnya
ini sudah tidak banyak bermanfaat. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi
komorbid juga penting, sedangkan terapi pengganti ginjal dilakukan pada
penyakit ginjal kronik stadium 5 ketika LFG kurang dari 15 ml/menit (Sudoyo
dan Setiyohadi, 2006).

B. Konsep Dasar Hemodialisis

1. Definisi hemodialisis

Terapi hemodialisis merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk


mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah
manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-
zat lain melalui membran semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan
dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi
(Brunner and Suddarth, 2013). Dializer merupakan suatu membran atau selaput
semi 10 permiabel, membran ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat
sampah. Proses ini disebut dialisis yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan
melalui membran semi permiabel (Pardede, 2016)

Tujuan dari hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik
dari dalam darah klien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan ketubuh klien. Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis
yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Bagi penderita penyakit ginjal kronis,
hemodialisis akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisis tidak
menyebabkan penyembuhan atau pemulihan penyakit ginjal dan tidak mampu
mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan
ginjal dan tampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup klien
(Pardede, 2016)

2. Prinsip hemodialisis

Dialisis berkesinambungan merupakan terapi pengganti (replacement


treatment) pada klien CKD stadium terminal. Dialisis digunakan untuk
mengeluarkan cairan dan produk-produk sampah dari dalam tubuh saat ginjal
tidak dapat melakukanya lagi. Prinsip hemodialisis adalah menempatkan darah
berdampingan dengan cairan dialisat yang dipisahkan oleh suatu membrane
(selaput tipis) yang disebut membrane semi permeable. Membran hanya dapat
dilalui oleh air dan zat tertentu (zat sampah). Ada 3 prinsip dasar dalam HD yang
bekerja pada saat yang sama menurut Pardede (2016) yaitu:

a) Proses Difusi

Merupakan proses berpindahnya suatu zat terlarut yang disebabkan karena


adanya perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut dalam darah dan dialisat.
Perpindahan 11 molekul terjadi dari zat yang berkonsentrasi tinggi ke yang
berkonsentrasi lebih rendah. Pada hemodialisis pergerakan molekul/zat ini melalui
suatu membrane semi permeable yang membatasi kompartemen darah dan
kompartemen dialisat.

b) Proses Ultrafiltrasi

Berpindahnya zat pelarut (air) melalui membrane semi permeable akibat


perbedaan tekanan hidrostatik pada kompartemen darah dan kompartemen
dialisat. Tekanan hidrostatik / ultrafiltrasi adalah yang memaksa air keluar dari
kompartemen darah ke kompartemen dialisat. Besar tekanan ini ditentukan oleh
tekanan positif dalam kompartemen darah (positive pressure) dan tekanan negatif
dalam kompartemen dialisat (negative pressure) yang disebut TMP (trans
membrane pressure) dalam mmHg.

c) Proses Osmosis

Berpindahnya air karena tenaga kimiawi yang terjadi karena adanya perbedaan
tekanan osmotik (osmolaritas) darah dan dialisat. Proses osmosis ini lebih banyak
ditemukan pada peritoneal dialysis.

3. Indikasi Hemodialisis

Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisis pada penyakit ginjal kronis
adalah laju filtrasi glomerulus (LFG) sudah kurang dari 5 mL/menit, sehingga
dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut
dibawah :

a) Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

b) K serum > 6 mEq/L

c) Ureum darah > 200 mg/Dl

d) pH darah < 7,1 12

e) Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )

f) Fluid overloaded (Price and Sylvia, 2005)

4. Komplikasi Hemodialisis

Hemodialisis merupakan intervensi untuk mengganti sebagian dari fungsi


ginjal. Intervensi ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal tahap akhir
stadium akhir. Intervensi hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang
cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat
menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang
menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya
menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat
hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani
hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari responden hemodialisis tekanan
darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau
intradialytic hypertension (Agarwal and Light, 2017).

1) Komplikasi Akut

Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama


hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya
adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada,
sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil (Sudoyo dan Setiyohadi,
2006).

2) Komplikasi kronik

Komplikasi kronik yang terjadi pada responden hemodialisis yaitu


penyakit jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, renal
osteodystrophy, 13 neuropati, disfungsi reproduksi, komplikasi pada
akses, gangguan perdarahan, infeksi, amiloidosis, dan acquired cystic
kidney disease (Agarwal and Light, 2017).

C. Konsep Community-acquired pneumonia (CAP)

1. Definisi

Community-acquired pneumonia (CAP) merupakan penyakit infeksi pada


jaringan paru atau radang paru yang didapatkan oleh masyarakat didefinisikan
sebagai suatu penyakit yang dimulai di luar rumah sakit. Bakteri umum yang
disebabkan CAP adalah Streotococcus pneumoniae. Dan bakteri lain yang
menyebabkan CAP meliputi Haemophillus influenza, Strephylococcus aureus,
Moraxella catarrhalis, Pseudomonas aeruginosa, dan bakteri gram negatife lainnya
(Musher and Thorner, 2014).

2. Patogenesis

Pada kondisi tubuh sehat di paru tidak akan terjadi pertumbuhan


mikroorganisme. Oleh kerana dalam tubuh ada mekanisme pertahanan paru.
Dalam keadaan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh menyebabkan
mikroorganisme ini dapat hidup berkembang biak dan akan menimbulkan
penyakit. Ada beberapa cara mikroorganisme untuk mencapai permukaan epitel
saluran napas, yaitu :

a. inokulasi langsung,

b. penyebaran melalui,

c. inhalasi bahan aerosol, dan

d. kolonisasi dipermukaan mukosa.

Cara untuk mencapai permukaan epitel saluran napas tersebut sangat


mempengaruhi besar kecilnya resiko infeksi pada paru-paru (PDPI, 2003).

3. Gejala

1) Anamnesis

Community-acquired pneumonia (CAP) uumumnya ditandai dengan


demam, menggigil, suhu badan dapat meningkat hingga lebih dari 40°C,
sesak napas dan nyeri dada, dan batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadangkadang disertai darah (PDPI, 2003).

2) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernapas dengan suara napas bronchial kadang-kadang melemah.
Didapatkan ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar
pada stadium resolusi.

3) Gambaran radiologik

Foto toraks, merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat penting. Foto


toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia,
hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi. Gambaran
konsolidasi dengan “air bronchogram” (pneumonia lobaris), tersering
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae. Gambaran radiologis pada
pneumonia yang disebabkan kuman klebsiela sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan, kadang-kadang dapat
mengenai beberapa lobus. Gambaran lainnya dapat berupa bercak-bercak
dan kaviti. Kelainan radiologis lain yang khas yaitu penebalan (“bulging”)
fisura interlobar. Pneumonia yang disebabkan kuman pseudomonas sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia.

4. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah


leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul,
dan pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang
tidak diobati. Kadang-kadang didapat peningkatan kadar ureum darah,
akan tetapi kreatinin masih dalam batas normal. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik (PDPI, 2003).

5. Penatalaksaan

Penatalaksanaan kasus CAP pada umumnya dengan terapi suportif


simptomatik. Terapi suportif / simptomatik yaitu pemberian oksigen,
hidrasi, nutrisi yang baik dan elektrolit, pemberian obat simptomatik
seperti antipiretik, mukolitik maupun ekspektoran dan terapi kuratif
sebagai pemberian antibiotic (PDPI, 2003).

6. Antibiotik

1. Antibiotik pada Community-acquired pneumonia (CAP)

Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi


pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris
dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri
patogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum
sempit sesuai patogen (Departemen Kesehatan RI D.B.F.K & K,2005).

Proses kultur dari mikroba penginfeksi membutuhkan waktu yang lama


menyebabkan terapi antibiotik secara empiris merupaka pilihan terapi pertama
bagi pasien. Sesuai pedoman pelayanan kefarmasian untuk terapi antibiotik,
farmasis diharapkan berperan aktif dalam mendorong penggunaan antibiotik yang
bijak (Kementerian kesehatan RI, 2011)

Etiologi CAP yang telah diidentifikasi berdasarkan metode


mikrobiologis,terapi antimikroba harus diarahkan pada patogen penyebabnya
(Mandell et al., 2007).

2. Resistensi Antibiotic

Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai


permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi
bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas,
juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi
(Kementerian kesehatan RI, 2011). Resistensi dapat terjadi dengan beberapa cara,
yaitu:

a. Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.

b. Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.

c. Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.


d. Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat

dinding sel bakteri.

e. Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari

dalam sel melalui mekanisme transport aktif keluar sel.

BAB III

PEMBAHASAN

A. PENGKAJIAN

1. IDENTITAS PASIEN

NAMA : Ny. A

Umur : 55 tahun

Tanggal lahir : 16 april 1968

Agama : islam

Alamat : Kebon Gedang, Rt/Rw 01/08, Maleer,


Batununggal, Bandung

Dialisis ke : 439

Tanggal masuk : 24-10-2023

Tanggal pengkajian : 24-10-2023

Diagnosa : CKD On HD ec HT dd CAP

2. IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB

NAMA : Tn. T

HUBUNGAN : Suami
PEKERJAAN : Wiraswasta

ALAMAT : Kebon Gedang, Rt/Rw 01/08, Maleer,


Batununggal, Bandung

3. RIWAYAT KESEHATAN

3.1 KELUHAN UTAMA

Pada Saat Pengkajian Pasien Mengeluh Sesak Nafas

1) Keluhan utama
Klien mengatakan sesak napas
2) Riwayat keluhan
Klien mengatakan saat berbaring ia merasa sesak.
1. Penyebab/faktor pencetus: Klien mengatakan
penyebab sesak karena penyakitnya
2. Sifat keluhan: Nyeri seperti tertusuk-tusuk
3. Lokasi dan penyebarannya: Klien mengatakan bagian
dada
4. Skala keluhan: Skala nyeri 3
5. Mulai lamanya keluhan: 3 hari yang lalu
6. Hal-hal yang meringankan/memperberat: Hal yang
meringankan dengan meminum obat dan yang
memperberat saat makan dan minum
b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Klien mengatakan punya riwayat hipertensi
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang
mempunyai penyakit yang sama dengan pasien
Pengkajian genogram sebagai berikut.

Genogram
1. Genogram :

Gambar 4.1 Genogram tiga generasi

Keterangan :

: Laki-Laki

: Perempuan

: Klien

: Tinggal serumah
: Meninggal dunia

: Hubungan perkawinan

Riwayat kesehatan anggota keluarga diketahui tidak ada anggota


keluarga yang menderita penyakit serupa dan tidak ada keluarga
yang mempunyai penyakit menular atau menurun

3.2 Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan umum
Keadaan umum pasien lemah
b. Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien komposmentis dengan GCS E3 M6
V5 .. Tanda-tanda vital
1. Tekanan darah: 160/90 MmHg
2. Pernapsan : 21 kali/menit
3. Nadi : 90 kali/menit
4. Suhu: 36oC
c. Berat badan dan tinggi badan
1. Berat badan: 30,70 kg
2. Tinggi badan : 140 cm
d. Kepala
1. Kepala

Bentuk kepala normal (bulat), keadaan kulit kepala bersih tidak


ada kotoran, tidak ada nyeri nyeri kepala, rambut tidak mudah.
tercabut, tidak mengalami alopesia, sebagian rambut memutih.
2. Mata
Mata simetris kanan dan kiri, sclera tidak ikterik, tidak ada
edema pada kelopak mata, konjungtiva ananemis, pupil isokor,
tidak mengalami ptosis, reflex kornea normal.
3. Telinga
Pengkajian pada telinga ditemukan telinga simetris,tidak ada
sekret dan serumen, ketajaman pendengaran baik dan tidak ada
tinnitus dan nyeri. Pengkajian pada hidung didapatkan hidung
simetris, tidak ada perdarahan, secret dan nyeri, fungsi
penciuman baik
4. Hidung
Pengkajian pada hidung didapatkan hidung simetris, tidak ada
perdarahan, secret dan nyeri, fungsi penciuman baik.
5. Mulut
Hasil pengkajian pada mulut didapatkan bahwa fungsi berbicara
tidak baik kelembaban bibir lembab, posisi uvula normal,
mukosa bibir lembab, keadaan tonsil baik tidak ada radang,
stomatitis dan tremor lidah tidak ada, warna lidah merah
muda dan nampak bersih, mulut agak berbau, gigi nampak
tidak lengkap, gigi kurang bersih, ada karies, suara parau tidak
ada, tidak kesulitan menelan dan tidak nyeri saat menelan,
kemampuan mengunyah baik dan fungsi mengecap normal.
6. Leher
Hasil pengkajian pada leher diperoleh mobilitas leher normal,tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid dan pembesaran kelenjar limfe serta tidak
ada pelebaran vena jugularis dan pada trakhaea adanya hambatan jalan
udara pada paru-paru.
7) Thoraks
Pengkajian pada dada didapatkan bahwa dada simetris kiri dan
kanan, pengembangan dada normal, tidak ada retraksi dinding
dada, tanda jejas tidak ada, taktil fremitus sama antara kanan
dan kiri, massa tidak ada dispnea ada sesak napas (ronki)
maupun ortopnea terjadi pada saat pasien baring. Perkusi
thoraks tidak normal adanya suara napas tambahan
whengi,suara nafas wheezing : bunyi nafas tambahan (ronchi)
dan terdapat nyeri pada dada.Hasil pengkajian pada jantung
diperoleh iktus kordis normal, adanya tonjokan kecil yang
sifatnya lokal, ukuran jantung normal, adanya nyeri dada dan
palpitasi, bunyi jantung normal (lup-dup). Hasil pengkajian
abdomen diperoleh warnakulit abdomen sawo matang, tidak ada
distensi abdomen, ostomy tidak ada, tanda jejas dan massa.
Peristaltik16x/mnt, suara perkusi abdomen timpani dan tidak
ada nyeri tekan.
8) Jantung
Hasil pengkajian pada jantung diperoleh iktus kordis normal,
bunyi jantung normal (lup-dup)

9) Abdomen
Hasil pengkajian abdomen diperoleh warna kulit abdomen sawo
matang, tidak ada distensi abdomen, ostomy tidak ada, tanda
jejas dan massa. Peristaltik 16x/mnt, suara perkusi abdomen
timpani dan tidak ada nyeri tekan.
10) Pengkajian sistem saraf diperoleh tingkat kesadaran compos
mentis,, koordinasi baik, memori mampu mengingat dengan
baik, orientasi baik, keseimbangan nampak baik serta tidak ada
konfusi, kelumpuhan, gangguan sensasi dan kejang-kejang.
11) Pengkajian oksigenasi
Dasar pada kebutuhan oksigenasi didapatkan bahwa klien batuk,
klien tidak mampu mengeluarkan sputum, ada produksi sputum,
dispnea adanya sesak napas, dan ortopnea, tidak bisa baring
karena sesak, menggunakan otot bantu pernafasan dan sianosis
adanya sianosis berwarna ke abu-abuan.
12) Kebutuhan cairan dan elektrolit
Pada pengkajiuan kebutuhan cairan dan elektrolit frekuensi
minum sehari sebelum sakit 2 liter perhari dan sesudah sakit
satu liter perhari,jenis minuman yang tidak disukai sebelum
sakit tidak ada dan sesudah sakit tidak ada,jenis minuman yang
disukai sebelum sakit teh dan sesudah sakit tidak ada, persaan
haus sebelum sakit tidak ada dan sesudah sakit haus, kelemahan
sebelum sakit tidak lemah dan sesudah sakit lemah, program
pembatasan cairan sebelum sakit tidak ada dan sesudah sakit
ada pembatasan.

Perhitungan pembatasan intake cairan minum sebelum sakit


1500-2000 ml setelah sakit 600-800 ml, makan sebelum sakit
normal sesudah sakit tidak normal (Sering tidak Habis), cairan
intravena sebelum sakit tidak ada setelah sakit ada (Neurobion
dan Nacl). BAK sebelum sakit baik setelah sakit sedikit.
Kulit sebelum sakit normal setelah sakit nampak kulit
pucat,peningkatan suhu tubuh sebelum sakit tidak, tidak
mengalami diplopia, tidak mengalami photopobiaada.

4. PRESKRIPSI HEMODIALISA

1. Dialisis ke : 439

Mesin no : F-75 (Fresenius)

Type dialyzer : ABN

Jenis dialisat : Bicarbonat, Acid

Conductivity : 14,0 Ms

2. Heparinisasi
Dosis sirkulasi : 5000 IU

Dosis awal : tidak diberikan

Dosis maintenance : tidak diberikan

3. Vaskular Akses : AV-Shunt kiri

4. Program HD

Mulai jam : 07.30 WIB s/d 12.00 WIB

BB post Hd yang lalu : 29,9 kg

BB pre HD : 30,70 kg

BB post HD : 30,30 kg

BB kering : 28.5 kg

Time dialysis : 4.30 jam

QB : 150

QD : 300

TMP :0

UF Goal : 1200

Base Na : 138

Suhu mesin :36,50C

Status Gizi

Bb :Tb(m)xTb(m)

28,5 :1,40x1.40

= 14,5

Masuk klasifikasi sangat kurus


5. Pengawasan Selama Hd

Jam QB QD UF TD Nadi Resp UF Tindakan


(ml/mnt) (ml/ Rate (mmHg) (x/mnt) (x/mnt) Vol
mnt) (ml) (ml)
07.3 100 -Pasien pulang
0 150 300 419 130/90 90 22 0 ranap rskg dengan
CAP
-HD mulai
-O2 3 lpm
09.0 150 300 419 130/80 92 22 421
0
10.0 150 300 312 80/p 104 23 625 -Pusing , UFG ↓
0 ↓ 1000, drip NaCl
120/70 200 cc
- TD 110/70
mmHg
- GDS : 125
11.30 150 300 312 130/70 90 22 718

12.0 150 300 312 130/80 98 23 100 HD Selesai


0 0

6. TERAPI

1. Amlodipin : 1 x 10 mg
2. Concor : 1 x 2,5 mg
3. Spironilaktone : 1 x 25 mg
4. Bicnat : 3 x 1 tab
5. Calos : 3x1
6. As. Folat : 3x1
7. Calcitrol : 2 x 0,25 mg
8. Lansoprazole : k/p
B. ANALISA DATA
No Diagnosa Etiologi Masalah
1. DS: Gagal ginjal Penuerunan fungsi Pola napas tidak
ginjal
- Klien mengatakan mengatakan efektif
batuk Retensi Na
- Klien mengatakan tidak
mampu batuk karena
Total CES, tekanan kapiler, volume intertisial naik
sesak
- Klien mengatakan sulit
Udema pada proload naik
berbicara karena
sesaknya
- Klien mengatakan ia Beban jantung naik
tidak bisa baring
karena sesak
Hipertrofi ventrikal kiri terjadi payah
DO:
- Nampak klien tidak bisa baring
karena sesak jantung kiri
- Nampak klien terpasang (02) 3
liter/menit
Bendungan atrium kiri naik
- Nampak klien tidak mampu
batuk
- Nampak sputum berlebihan
Tekanan vena pulmonalis
- Nampak klien gelisah Stimulus kronis pada ginjal
- Nampak bunyi napas menurun
- Nampak frekuensi napas Fungsi ginjal abnormal
berubah
- Nampak pola napas berubah
Penurunan eksresi natrium dan air
- TTV:
Edema
TD: 130/90 Mmhg
P: 22 X/M
N: 90X/menit Kapiler paru naik terjadi odema paru
S:36 °C
Ekspansi paru menurun

Suplai oksigen menurun

Sesak
2 Retensi natrium dan air karena proses dialisis penurunan curah
DS:
jantung
Klien mengatakan sesak napas dan
nyeri dada dan berdebar
vasopresin dan aldosteron

DO :
- Nampak membran mukosa kering Regangan dinding ventrikel semakin berat dan
- Nampak tekanan darah dilatasi (remodelling)

- Warna kulit pucat


- (CRT) > 3
TD:80/Mmh fungsi ventrikel semakin menurun
P: 30 X/M
N: 80 X/menit
S: 36,6 °C Gagal jantung memberat

DS : Berkurangnya makanan Defisit Nutrisi


- Klien mengatakan mengalami
penurunan berat badan sekitar yang masuk ke dalam tubuh
10 kilogram selama hd
Sebelumnya 40 kg
pola makanan yang tidak teratur
- Klien mengatakan makan
sedikit tidak pernah habis
nyeri karena kesulitan saat menelan makanan

DO :
rasa yang tidak nyaman
- Nampak lemas saat pengkajian
- BB post Hd yang lalu :
29,9 kg nafsu makan menurun

- BB pre HD :
gangguan nutrisi
30,70 kg

- BB post HD :
30,30 kg

- BB kering :
28.5 kg

Bb :Tb(m)xTb(m)

28,5 :1,40x1.40

= 14,5

Masuk klasifikasi sangat


kurus

C. Diagnosa kepearwatan

1.Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas dibuktikan

dengan sesak napas


2.Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama jantung dibuktikan

dengan dada berdebar

3.Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan dibuktikan

dengan berat badan menurun 10% dari berat badan ideal.

D. Intervensi keperawatan

NO DAIGNOSA TUJUAN INTERVENSI


KEPERAWATAN
1 Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas
keperawatan selama tindakan Observasi :
berhubungan dengan
keperawatan selama 5 jam maka Identifikasi dan mengelola pola kepatenan jalan napas Monitor
hambatan upaya napas bersihan jalan meningkat dengan
pola napas
dibuktikan dengan sesak kriteria hasil:
Monitor bunyi napas
nafas Batuk efektif menurun menjadi
Monitor sputum (jumlah,warna,aroma) Terapeutik
meningkat Produksi sputum meningkat
menjadi menurun
:

Mengi meningkat menjadi menurun Pertahankan kepatenan jalan napas Posisikan


wheezing meningkat menjadi semi fowler atau fowler Lakukan fisioterapi
memburuk dispnea meninmgkat dada jika perlu Periksa oksigen jika perlu
menjadi menurun ortopnea Edukasi:
meningkat menjadi menurun sulit Anjurkan asupan cairan 600ml/hari, jika perlu Ajarkan
berbicara meningkat menjadi teknik batuk efektif
menurun
Kolaborasi:
sianosis meningkat menjadi
kolaborasi pemberian bronkodilator, espektoran, mukolitik,
menurun gelisah meningkat
jika perlu,
menjadi menurun frekuensi napas
memburuk menjadi membaik
pola napas memburuk menjadi membaik.
2 Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan keperawatan Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung
selama 5 jam maka status cairan (meliputi: dispnea, kelelahan, edema, ortopnea, PND,
jantung berhubungan
membaik dengan kriteria hasil:
dengan perubahan irama peningkatan CVP).
Kekuatan nadi menurun menjadi
jantung dibuktikan dada Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah jantung
meningkat Turgor kulit menurun
menurun menjadi meningkat (meliputi: peningkatan berat badan, hepatomegaly, distensi
berdebar
Ortopnea meningkat menjadi menurun vena jugularis, palpitasi, ronkhi basah, oliguria, batuk, kulit
Dispnea meningkat menjadi menurun pucat)
Suara napas tambahan meningkat
Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortostatik,
menjadi menurun
jika perlu)
Perasaan lemah meningkat menjadi
menurun Monitor intake dan output cairan
Keluhan haus meningkat menjadi Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama
menurun Frekuensi nadi memburuk Monitor saturasi oksigen
menjadi membaik Monitor keluhan nyeri dada (mis: intensitas, lokasi, radiasi,
Tekanan darah memburuk menjadi
durasi, presipitasi yang mengurangi nyeri)
membaik
Monitor EKG 12 sadapan
Tekanan nadi memburuk menjadi
membaik Membran mukosa memburuk Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
menjadi membaik Monitor nilai laboratorium jantung (mis: elektrolit, enzim
Kadar hb memburuk menjadi membaik jantung, BNP, NTpro-BNP)
Berat badan memburuk menjadi membaik Monitor fungsi alat pacu jantung
Intake cairan memburuk menjadi
Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum dan
membaik Status mental memburuk
sesudah aktivitas
menjadi membaik Suhu tubuh memburuk
menjadi membaik Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum pemberian
obat (mis: beta blocker, ACE Inhibitor, calcium channel
blocker, digoksin)

Terapeutik

Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki ke


bawah atau posisi nyaman
Berikan diet jantung yang sesuai (mis: batasi asupan kafein,
natrium, kolesterol, dan makanan tinggi lemak)
Gunakan stocking elastis atau pneumatik intermitten, sesuai
indikasi
Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya hidup
sehat
Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stress, jika perlu
Berikan dukungan emosional dan spiritual
Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >
94%

Edukasi

Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi


Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output
cairan harian

Kolaborasi

Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu


Rujuk ke program rehabilitasi jantung

3 Defisit Setelah dilakukan tindakan keperawatan Identifikasi status nutrisi


selama 5 jam diharapkan pemenuhan
nutrisi berhubun Identifikasi makanan yang disukai
kebutuhan nutrisi pasien tercukupi
dengan kriteria hasil: Monitor asupan makanan
gan
dengan ketidak 1. intake nutrisi tercukupi Monitor berat badan
2. asupan makanan dan cairan tercukupi
mampuan Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
menelan
Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
makanan dibukti
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
kan berat badan jenis nutrisi yang dibutuhkan, jika perlu
menurun 10% Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
dari berat badan Kolab orasi pemberian medikasi sebelum makan (mis: Pereda
ideal nyeri, antiemetik utuk sakit menelan), jika perlu
E. Implementasi dan Evaluasi
No Diagnosa Hari/tgl Jam Impelemntasi keperawatan Evaluasi keperawatan
1 Pola napas Selasa 24 07:00 Mengidentifikasi dan mengelola S:
oktober 2023 kepatenan jalan napas Klien Mengatakan masih sedikit gatal di
tidak
Hasil: tenggorokan
efektif Adanya benda asing dijalan napas O:
08:00
berhubung Memonitor Pola Nafas Klien tampak lebih rileks

an dengan Hasil: Rr :20x/m


08:40
Klien masih sesak (dispnea) A:
hambatan
Memonitor Bunyi Nafas Hasil Masalah teratasi sementara
upaya 09:40
Bunyi napas (wheezing) terdengar P:
napas seperti siulan yang sangat lirih. interfensi dilanjutkan
Monitor sputum
dibuktikan
Hasil :
dengan
Jumlah, warna, aroma. Memposisikan
sesak Semi fowler posisi setengah duduk
11:00
nafas setelah 2 jam Hasil:
Klien mengatakan dengan pemberian
perubahan posisi semi fowler sesaknya
berkurang dan ia merasa nyaman
Mengajarkan teknik batuk efektif
Hasil :
Dengan melakukan teknik batuk
efektif klien merasa nyaman saat
menarik napas
Memberikan oksigen
Hasil:
Terapi oksigen 3 liter lpm
. kolaborasin pemberian obat
2 Penurunan Selasa 24 10:00 Memeriksa tanda dan gejala S:
oktober penurunan curah jantung. Klien Mengatakan dadanya tidak
curah
2023 , Hasil: berdebar kencang
jantung berhu Nadi 104 kali/menit reguler O:
bungan Td 80/p Nadi : 98x/m

dengan peruba Tekanan darah menurun GDS : 125


80/p MmHg Turgor Td: 130/80 mmhg
han irama
kulit menurun Hasil A:
jantung dibukt Nampak turgor kulit pucat Masalah teratasi
ikan dada . Membran mukosa kering P:
. Hasil interfensi dilanjutkan
berdebar
Nampak bibir pucat
enurun haus meningkat
hasil:
Menghitung kebutuhan cairan
10.10 hasil:
klien membutuhkan banyak cairan
Memberikan asupan cairan oral dan
10:30 iv Hasil:
load 200cc Asupan oral klien l

3 Defisit Selasa 24 08:00 Mengidentifikasi status nutrisi S:


oktober Mentifikasi makanan yang disukai Klien Mengatakan masih sedikit gatal di
nutrisi berhub
2023 Memonitor asupan makanan tenggorokan dan mampu menyebutkan
ungan makanan yang baik untuk pasien dialisis
Memonitor berat badan
dengan ketida O:
Melakukan oral hygiene
k mampuan Klien tampak menghabiskan snacknya setelah
sebelum makan, jika perlu
diberikan penjelasan pentingnya nutrisi
menelan Menyajikan makanan secara
09:00 A:
makanan di Menarik dan suhu yang sesuai Masalah teratasi sementara
tandai dengan Meerikan makanan tinggi serat P:
untuk mencegah konstipasi interfensi dilanjutkan
berat badan
Mengkolaborasi dengan ahli gizi
menurun 10%
untuk menentukan jumlah kalori
dari berat dan jenis nutrisi yang dibutuhkan,
badan ideal jika perlu
09:30
Mengkolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
Meng Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan (mis:
Pereda nyeri, antiemetik), jika
perlu
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrien yang dibutuhkan, jika
perlu
BAB V
PENUTP

Setelah menguraikan asuhan keperawatan pada Ny.A dengan Gagal


Ginjal Kronik yang merupakan pengamatan dan pengkajian langsung pada
klien yang di rawat di Ruang Teratai Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. R. A
Habibie. Maka dalam bab ini penulis akan menyimpulkan saran-saran guna
memberikan peningkatan mutu pelayanan pasien dengan kasus Gagal Ginjal
Kronik dan rekan-rekan keperawatan pada umumnya. Adapun kesimpulan dan
saran sebagai berikut :
A. Kesimpulan

Gagal ginjal kronik merupakan penyakit ginjal tahap akhir yang


menyebabkan gangguan fungsi normal ginjal yang disebabkan oleh
beberapa faktor. Pada kasus Ny. A ini gagal ginjal kronis dengan cap
yang dipengaruhi oleh pola hidup Ny.A, pemeriksaan laboratorium dan
diagnostik penulis mampu mengangkat diagnosa keperawatan
diantaranya
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas

dibuktikan dengan sesak, Penurunan curah jantung berhubungan

dengan perubahan irama jantung dibuktikan dengan dada berdebar, Defisit

nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan menelan

makanan dibuktikan dengan berat badan menurun 10% dari berat badan

ideal. asuhan keperawatan gagal ginjal kronik lebih diutamakan monitoring

keseimbangan cairan, intake dan output dengan tujuan untuk meminimalkan

komplikasi lainnya.
B. Saran

Setelah melakukan asuhan keperawatan pada Ny. A dengan Gagal Ginjal


Kronik di Ruang Teratai Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. R. A Habibie,
maka disamping kesimpulan diatas,penulis akan memberikan saran guna
untuk meningkatkan mutu pelayanan terutama pada pasien gagal ginjal
konik ataupun pasien yang lain yaitu sebagai berikut :
1. Untuk perawat di Ruang Teratai Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. R. A
Habibie, hendaknya penanganan pasien gagal ginjal kronik lebih
ditingkatkan lagi kerja sama antar petugas pelayanan kesehatan dalam hal
diutamakan untuk pasien gagal ginjal kronik dan memonitor intake dan
output. Tindakan keperawatan selalu menjaga prinsip aseptic agar tidak
terjadi infeksi
2. Untuk pasien gagal ginjal kronik hendaknya bisa hidup tegar dengan
menerima kondisi penyakit dengan ikhlas. Hidup sehat dengan pola baru
yaitu dengan penuh kesadaran. Mawas diri, ikuti diit rendah kalori, batasi
input cairan, kelola stress.
3. Untuk keluarga memberikan support dan motivasi untuk menumbuhkan
semangat hidup pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Atoilah, Elang M. Kusnadi, Engkus. (2013). Asuhan Keperawatan pada


Klien dengan Gangguan Kebutuhan Dasar Manusia. Garut : In Media.

Brunner, & Suddarth. (2014). Keperawatan Medikal-Bedah (12th ed.; Eka


Anisa Mardela, Ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Doenges E, Marilynn, dkk. (2012). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman


Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi
3. Jakarta : EGC.

Deswani. (2011). Proses Keperawatan dan Berpikir Kritis. Jakarta.

Dermawan, D. (2012). Proses Keperawatan Penerapan Konsep & Kerangka Kerja


(1st ed.). Yogyakarta: Gosyen Publishing

Ernawati. (2012). Konsep dan Aplikasi Keperawatan dalam Pemenuhan


Kebutuhan Dasar Manusia. (A. Rifai, Ed.). Jakarta: Trans Info Media.

Huda, Nuratif dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa NANDA NIC-NOC. Jakarta : Media Action.

Kozier, et al. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses,


dan Praktik Edisi 7. Jakarta: EGC

LeMone, Priscillia, dkk. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi

4. Alih bahasa: Egi Komara Yudha, dkk. Jakarta: EGC.


Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta :
Media Aesculapius.

Medical Record RSIJ Cempaka Putih. (2016). Data Pasien CKD yang Di Rawat
Inap 3Bulan Terakhir. Jakarta: tidak di publikasi.

Potter, P. A & Perry, A. G. (2012). Buku Ajar Fundamental Keperawatan:


Konsep, Proses, dan Praktik, Alih bahasa: Renata Komalasari. Jakarta: EGC.

Price, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. 2010.

Purwaningsih, Wahyu; Karlina, Ina. (2010). Asuhan Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta : Muha Medika.

Ruth M. 2015. Physiotherapy For Respiratory And Cardiac Problems.


Churchill Livingstone : London.

Smeltzer & Bare. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 12. Alih bahasa: Devi Yulianti, Amelia Kimin.
Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth.

Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC. 2014.

Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2015.
Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, et al., 3rd ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing2015 : 1035-1040.
Suryono. (2011). Metodelogi penelitian kesehatan. Jogjakarta: Mitra
Cendikia. Saputra, 2013. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia,
Yogyakarta : Numed
Tarwoto dan Wartonah. 2011. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan Jakarta. Salemba Medika.

Wong, D.L,dkk. 2008. Pedoman Klinik Keperawatan Pediatrik. Jakarta. Buku


Kedokte

Chen, C. you, Hsu, S. chang, Hsieh, H. ling, Suk, C. won, Hsu, Y. pin, Sue, Y.
mou, … Liu, C. te. (2019). Microbial etiology of pneumonia in patients
with decreased renal function. PLoS ONE, 14(5), 1–14.
https://doi.org/10.1371/journal.pon e.0216367

Chou, C. Y., Wang, S. M., Liang, C. C., Chang, C. T., Liu, J. H., Wang, I. K., …
Wang, R. Y. (2014). Risk of

pneumonia among patients with chronic kidney disease in outpatient and inpatient
settings. Medicine (United States), 93(27), 1–4.
https://doi.org/10.1097/MD.00000 00000000174

Fadhilah, A. Z. (2016). Chronic Kidney Disease, Stage V. J Agromed Unila, 1(2),


109–113. https://doi.org/10.32388/yzopkc

Fatchur, M. F., Ulastyawati, & Palupi, L. M. (2020). Kombinasi Ankle Pumping


Exercise dan Contrast Bath Terhadap Penurunan Edema Kaki Pada
Pasien Gagal Ginjal Kronik. Indonesian Journal of Nursing Health
Science ISSN, 5(1), 1–10.

Harun, S., Sujianto, U., & Johan, A. (2022). Pengkajian Resiko Jatuh Skala
MORSE DAN STRATIFY. Jurnal Ilmiah, 17(1), 1–13.

Ilma, D. L., Wahyono, D., & Sari, I. P. (2019). Perkiraan Kadar Seftazidim dalam
Darah pada Pasien Pneumonia dengan Gangguan Fungsi Ginjal. Jurnal
Manajemen Dan Pelayanan Farmasi (Journal of Management and
Pharmacy Practice), 9(3), 143–150. https://doi.org/10.22146/jmpf.3762 4

Karinda, T. U. S., Sugeng, C. E. C., & Moeis, E. S. (2019). Gambaran


Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik Non Dialisis di Poliklinik
GinjalHipertensi RSUP Prof . Dr . R . D . Kandou. Jurnal E-Clinic (eCl),
7(2), 169–175. Retrieved from https://ejournal.unsrat.ac.id/index.p
hp/eclinic/article/view/26878

Loho, I. K. A., Rambert, G. I., & Wowor, M. F. (2016). Gambaran kadar ureum
pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 non dialisis. Jurnal E-
Biomedik, 4(2), 2–7. https://doi.org/10.35790/ebm.4.2.2 016.12658

Michael, O. A., Gbadebo, A. O., & AT, A. (2018). Prevalence, pattern and
determinants of myths and misconceptions among patients with diabetes
mellitus in South West Nigeria. Annals of Medical and Health Sciences
Research, 8(2), 62–67.

Anda mungkin juga menyukai