Anda di halaman 1dari 67

KASUS SEMINAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.

L
DENGAN DIAGNOSA GAGAL GINJAL KRONIK DI RUANG
HEMODIALISA RSD GUNUNG JATI CIREBON

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktik Program Profesi Ners


Mata Kuliah PPKMB

Disusun Oleh Kelompok 4 :


1. Iman Sobirin R230417061
2. Intan Cahaya R230417006
3. Nurhalissa Qotrunnada R230417054
4. Putri Rakhmatul Jannah R230417037
5. Rina Hardianti R230417043
6. Yola Maefani R230417053

YAYASAN INDRA HUSADA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) INDRAMAYU
PROGRAM PROFESI NERS
2023
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif

dan ireversibel atau tidak dapat di rubah, dimana tubuh kurang mampu

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan juga elektrolit, yang

dapat menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).

Ini bisa disebabkan oleh penyakit sistemik contohnya diabetes mellitus,

glomerulonephritis kronik, hipertensi yang tidak dapat dikendalikan dan lain

sebagainya. Lingkungan dan agens yang mengancam dapat mempengaruhi gagal

ginjal kronik. Akibat dari uremia yaitu terjadinya mual, apatis, kelemahan dan

keletihan (Smeltzer & Barre, 2015; Lemone, Burke, & Bauldoff, 2016).

Menurut World Health Oganization (WHO) (2019) menyebutkan bahwa

prevalensi penyakit ginjal telah meningkat dari sebelumnya peringkat ke 13

menjadi peringkat ke 10 penyebab kematian di dunia. Kematian telah meningkat

dari 813.000 di tahun 2000 dan bertambah menjadi 1,3 Juta pada tahun 2019.

Menurut Indonesian Renal Registry (IRR) (2018) jumlah pasien penyakit gagal

ginjal kronik yang harus menjalani hemodialisa di Indonesia sebanyak 66.433 dan

pasien aktif hemodialisa 132.142 (Indonesia Renal Registry, 2018). Menurut data

dari laporan provinsi Jawa Barat menjelaskan bahwa penderita gagal ginjal kronik

di Jawa Barat pada tahun 2018 mencapai 52.511 (Kemenkes RI, 2018).
Penyakit gagal ginjal kronik memiliki 5 stadium, dimana kondisi tersebut

berbeda-beda tergantung pada tingkat stadiumnya. Stadium 5 merupakan suatu

kondisi dimana ginjal sudah hampir tidak berfungsi atau bahkan tidak berfungsi

sama sekali. Pasien yang mengalami kondisi tersebut membutuhkan terapi

pengganti ginjal jangka panjang. Salah satu terapi pengganti ginjal yaitu

hemodialisa (Siregar, 2020)

Hemodialisa merupakan terapi yang digunakan untuk pembuangan zat

sisa atau limbah dalam darah. Pasien yang terindikasi mengalami ketidaknormalan

Glomerurlus Filtration Rate (GFR), akan mengalami peningkatan nilai Blood

Urea Nitrogen (BUN) dan kosentrasi kreatinin. Pasien yang menjalani terapi

hemodialisa biasanya dijadwalkan 2-3 kali dalam seminggu dengan durasi 3-5

jam. Terapi ini harus terus dilakukan sampai pasien mendapatkan ginjal baru

(Maimunah & Hutaehan , 2021)

Pasien gagal ginjal kronis yang menggunakan terapi hemodialisa harus

menjalani terapi tersebut sepanjang hidupnya. Terapi hemodialisa memerlukan

waktu perawatan selama 12-15 jam setiap minggunya. Pada pasien yang

menjalani hemodialisa dalam jangka panjang mempunyai resiko yang lebih tinggi

terkena komplikasi bahkan sampai kematian. Komplikasi yang mungkin terjadi

pada pasien hemodialisa yaitu seperti hipotensi, emboli udara, nyeri dada,

gangguan keseimbangan dialisis dan pruritus (Siregar, 2020).

Proses terapi hemodialisa yang membutuhkan waktu lama dapat

menimbulkan stress fisik pada pasien. Kelelahan atau juga bisa disebut fatigue

merupakan keluhan utama yang dirasakan pada pasien hemodialisa. Hal ini dapat
ditimbulkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu, pasien akan merasakan

kelelahan, sakit kepala dan keluar keringat dingin akibat tekanan darah yang

menurun. Selain itu juga kadar oksigen rendah karena anemia yang akan

menyebabkan menurunya produksi energi sehingga pasien mengalami fatigue.

Faktor fisiologis terjadi saat menjalani hemodialisa yang meliputi

berkurangnya aktivitas, seperti tidak bisa bekerja sepanjang waktu sehingga

pasien mengalami kelemahan otot. Faktor demografi, meliputi gaya hidup yang

mencangkup kebiasaan yang kurang baik dan kurangnya latihan fisik sehingga

menyebabkan kurangnya energi. Faktor psikologis meliputi ansietas, depresi, dan

stress. Pasien yang mendapatkan terapi hemodialisa merasakan depresi, dan

kelemahan otot yang diakibatkan terjadinya fatigue (Sulistini, 2020).

Berdasarkan fenomena tersebut diketahui banyaknya pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisa. Oleh karena itu kami tertarik untuk

melakukan asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalan

hemodialisa di RSD Gunung Jati Kota Cirebon..

B. Rumusan Masalah

Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresive

dan ireversibel atau tidak dapat diubah, dimana tubuh kurang mampu

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan juga elektrolit. Gagal

ginjal kronik sendiri memiliki tingkatan, dimana tingkatan yang paling berat itu

ada pada stadium 5, pada kondisi ini ginjal hampir tidak berfungsi, oleh karena itu
membutuhkan terapi ginjal yaitu hemodialisa. Proses terapi hemodialisa

membutuhkan waktu lama.

Maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah belum diketahui

gambaran kejadian asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa di RSD Gunung Jati Kota Cirebon. Sehingga pertanyaan

penelitian ini adalah “bagaimana asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisa di RSD Gunung Jati Kota Cirebon?”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah mampu menerapkan asuhan

keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSD

Gunung Jati Kota Cirebon.

Tujuan Khusus

Tujuan khususnya adalah :

a. Mengkaji klien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa di RSD Gunung Jati Kota Cirebon.

b. Menyusun analisa data klien dengan gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa di RSD Gunung Jati Kota Cirebon.

c. Menegakkan diagnosa klien dengan gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa di RSD Gunung Jati Kota Cirebon.

d. Menyusun perencanaan asuhan keperawatan klien dengan gagal

ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSD Gunung Jati Kota Cirebon.
e. Melakukan implementasi asuhan keperawatan klien dengan gagal

ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSD Gunung Jati Kota Cirebon.

f. Mengevaluasi asuhan keperawatan klien dengan gagal ginjal kronik

yang menjalani hemodialisa di RSD Gunung Jati Kota Cirebon.

g. Mendokumentasikan asuhan keperawatan klien dengan gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisa di RSD Gunung Jati Kota Cirebon.

D. Manfaat

1. Bagi Pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tentang data

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa, serta dapat memberikan

masukan bagi perawat/rumah sakit untuk mengkaji atau mengenali tanda dan

gejala yang menyebabkan gagal ginjal kronik.

2. Bagi Insitusi Pendidikan Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan kepustakaan serta

pengetahuan mahasiswa mengenai asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisa. hal ini diharapkan dapat memicu institusi

pendidikan menciptakan penelitian-penelitian lain yang dapat mendukung dan

menguatkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber dalam melakukan penelitian

lebih lanjut tentang kejadian komplikasi lain pada pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Gagal Ginjal Kronik

1. Definisi Gagal Ginjal Kronik

Gagal ginjal kronik (GGK) diartikan sebagai gagalnya fungsi ginjal

terutama di unit nefron yang berlangsung perlahan-lahan karena penyebab yang

berlangsung lama, menetap dan mengakibatkan penumpukan sisa metabolik atau

toxic uremic, hal ini menyebabkan ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan seperti

biasanya sehingga menimbulkan gejala sakit (Black & Hawks, 2014).

Gagal ginjal kronik atau juga bisa disebut penyakit renal tahap akhir

merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel, dimana

kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan

cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen

lain dalam darah) yaitu adanya urea atau produk buangan nitrogen lain dalam

jumlah berlebih yang ada dalam darah. Penurunan fungsi ginjal progresif

mengarah pada penyakit tahap akhir juga kematian (Smeltzer & Barre, 2015).

Penyakit gagal ginjal kronik adalah penurunan progresif fungsi ginjal

dalam beberapa bulan atau tahun. Penyakit gagal ginjal kronis didefinisikan

sebagai kerusakan ginjal atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang

dari 2 60ml/min1,73 selama minimal 3 bulan (Infodatin Pusat Data dan Informasi

Kementrian Kesehatan RI, 2017).


2. Etiologi Gagal Ginjal Kronik

Gagal ginjal kronik sering kali menjadi penyakit komplikasi dari

penyakit lainya, sehingga merupakan penyakit sekunder. Penyebab dari gagal

ginjal kronik itu yang sering adalah diabetes melitus dan hipertensi selain itu, ada

beberapa penyebab lainya dari gagal ginjal kronis yaitu penyakit glomerular

kronik, infeksi kronis, kelainan kongenital, penyakit vaskuler, obstruksi saluran

kemih, penyakit kolagen dan obat-obatan nefrotoksik (Prabowo & Pranata, 2014)

3. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

Patogenesis GGK melibatkan deteriorasi dan kerusakan nefron dengan

kehilangan bertahap fungsi ginjal. Oleh karena GFR total menurun dan klirens

menurun, maka kadar serum ureum nitrmogen dan kreatinin meningkat.

Menyisakan nefron hipertrofi yang berfungsi karena harus menyaring larutan

yang lebih besar. Konsekuensinya adalah ginjal kehilangan kemampuanya untuk

mengonsentrasikan urine dengan memadai. Untuk terus mengekskresikan larutan,

sejumlah besar urine encer dapat keluar, yang membuat klien rentan terhadap

deplesi cairan. Tubulus perlahan-lahan kehilangan kemampuanya untuk menyerap

kembali elektrolit. Kadang kala, akibatnya adalah pengeluaran garam, dimana

urine berisi sejumlah besar natrium, yang mengakibatkan poliuri berlebih.

Oleh karena gagal ginjal berkembang dan jumlah nefron yang berfungsi

menurun, GFR total menurun lebih jauh. Dengan demikian tubuh menjadi tidak

mampu membebaskan diri dari kelebihan air, garam, dan produksi sisa lainya

melalui ginjal. Ketika GFR kurang dari 10 sampai 20 ml/menit, efek toksin
uremia pada tubuh menjadi bukti. Jika penyakit tidak diobati dengan dialisis

transplantasi, hasil ESRD adalah uremia dan kematian (Lemone, Burke, &

Bauldoff, 2016).

4. Klasifikasi Stadium Gagal Ginjal Kronik

Menurut (Siregar, 2020) diklasifikasikan penyakit gagal ginjal kronik

terdapat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.1
Stadum Penyakit Gagal Ginjal Kronis

GFR
Stadium Penjelasan
(ml/mnt/1,73m2)

Stadium 1 ≥90 Rusaknya ginjal dengan GFR


normal

Stadium 2 60-89 Kerusakan ginjal dengan


penurunan GFR ringan

Stadium 3 30-59 Kerusakan ginjal dengan


penurunan GFR sedang

Stadium 4 15-29 Kerusakan ginjal dengan


penurunan GFR berat

Stadium 5 <15 Gagal ginjal

5. Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronis

Manifestasi klinik yang dialami penderita gagal ginjal kronik pada

stadium paling awal, renal reverse atau kehilangan daya cadang ginjal mulai

terjadi. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) masih dalam keadaan normal dan

meningkat. Secara perlahan, penurunan fungsi nefron terjadi secara progresif

ditandai dengan peningkatan urea dan kreatinin serum. Saat LFG sebesar 60%
masih belum merasakan keluhan apapun, hanya peningkatan kadar urea dan

kreatinin serum.

Berdasarkan laju filtrasi glomerulus sebesar 30% maka keluhan seperti

nokturia, badan terasa lemah, mual, pengurangan nafsu makan dan menurunya

berat badan mulai terasa. Ketika LFG mencapai <30% dapat terlihat tanda dan

gejala uremia nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, mual dan lainya,

dan saat LFG berada pada presentase 15% terjadi gejala dan komplikasi serius

seperti dialisis dan transplantasi ginjal (Mailani, 2022).

6. Komplikasi Gagal Ginjal Kronik

Fungsi ginjal yang mengalami gangguan mengakibatkan terjadinya

komplikasi yang berbeda berdasarkan besar kerusakan nefron yang terjadi.

Menurut Siregar, (2020) Masalah yang disebabkan oleh penumpukan sisa hasil

metabolisme yang tidak dapat dikeluarkan tubuh dan produksi hormon yang tidak

mencukupi dapat mengakibatkan:

a. Anemia yang terjadi karena ketidakmampuan ginjal memproduksi

eritpoetin mengakibatkan penurunan hemoglobin

b. Hipertensi terjadi akibat penimbunan natrium dan air didalam tubuh.

Kondisi ini mengakibatkan kelebihan volume darah dan berkurangnya kerja

renin-angiotensin-aldosteron untuk menstabilkan tekanan darah. Kardiomiopati

dilatasi atau hipertrofi ventrikel kiri akibat dari hipervolemia.

c. Kulit terasa gatal karena adanya penumpukan kalsium fosfat pada

area jaringan
d. Komplikasi neurologis dan psikiatrik disebabkan oleh penumpukan

ureum dalam darah.

e. Disfungsi seksual mengakibatkan penurunan libido, gangguan

impotensi dan terjadi hiperprolaktinemia atau kondisi ketika kadar hormone

prolactin dalam darah lebih tinggi dari normal pada wanita.

7. Pemeriksaan Penunjang Gagal Ginjal Kronik

Menurut siregar, (2020) terdapat pemeriksaan laboratorium dan

diagnostik yang dibutuhkan untuk menetapkan penurunan fungsi ginjal sebagai

berikut:

a. Pemeriksaan darah, pemeriksaan ini dilakukan agar dapat mengukur

kadar kreatinin dan juga urea yang ada didalam darah.

b. Pemeriksaan urin, dilakukan untuk mengidentifikasi keadaan ginjal.

Pemeriksaan urin terdiri dari analisa kimia untuk mendeteksi protein, kreatinin,

gula dan juga keton.untuk melihat bentuk dan struktur ginjal dan mengidentifikasi

apakah ada penyumbatan pada saluran kemih.

c. Biopsi ginjal, untuk mengambil sampel kecil pada jaringan ginjal

dengan tujuan mendiagnosis radang ginjal.

d. Pielogram intravena,untuk mengetahui terjadinya kelainan pada

sistem perkemihan.

e. Angiografi dan venografi ginjal

f. Foto polos abdomen

g. Pemindaian ultrasound
h. Biokimiawi, pemeriksaan utama dari analisa fungsi ginjal yaitu

ureum dan kreatinin plasma, pemeriksaan kadar elektrolit juga perlu dilakukan

untuk mengetahui bagaimana status keseimbangan elektrolit dalam tubuh sebagai

kinerja ginjal.

i. Urinalis, dilakukan untuk menyaring ada atau tidak adanya infeksi

pada ginjal, atau ada maupun tidak adanya perdarahan aktif akibat inflamasi pada

jaringan perenkrim ginjal.

j. Ultrasonografi ginjal, gambaran dari ultrasonografi dapat

memberikan informasi yang dapat membantu dalam penegakan diagnosa gagal

ginjal. Pada klien yang mengalami gagal ginjal biasanya akan menunjukan adanya

obstuksi pada ginjal. Selain itu, ukuran dari ginjal juga akan terlihat

8. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik Menurut Prabowo dan Pranata,

(2014) yaitu:

a. Perawatan kulit yang baik. Perlu memperhatikan hygiene secara rutin

melalui personal hygiene yang baik

b. Berikan dukungan nutrisi. Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk

menyajikan makanan yang menarik sesuai dengan anjuran diet yang diberikan.

c. Pantau adanya hiperkalemia. Kondisi seperti ini biasanya terjadi

kejang/kram pada lengan dan area abdomen, hiperkalemia dapat di atasi dengan

dilakukan dialisis.

d. Pemberian antasida untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia dan

hipokalsemia.
e. Berikan cairan 500-600 ml atau lebih dan hitung pengeluaran urin

output selama 24 jam.

f. Kontrol tekanan darah untuk mencegah terjadinya hipertensi.

g. Latih pasien batuk efektif untuk mencegah terjadinya gagal nafas

obstruksi.

h. Berikan tata laksana dialisis atau transplantasi ginjal untuk

membantu mengoptimalkan fungsi ginjal

9. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


PENGKAJIAN
IdentitasPasien
1. Nama
2. Umur
3. Nomor RM
4. Suku Bangsa
5. Agam
6. Pekerjaan
7. Alamat
8. Status Perkawinan
9. Tanggal Masuk
10.Diagnosa medis
11.Sumber Info
12.keluhan utama
13. keluhan saat ini

Pemeriksaan fisik
a. Pernapasan : nafas pendek, dispnea, batuk
b. Makan dan minum : peningkatan berat badan cepat (odema), penurun berat
badan (malnutrisi), anoreksia, mual, muntah, perubahan turgor kulit.
c. Eleminasi : penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria
d. Aktifitas dan istirahat : kelelahan, kelemahan otot,penurunan rentang
gerak, kehilangan tonus, malaisie
e. Sirkulasi : riwayat hipertensi nyeri dada, odema jaringan umum (kaki
tangan)
f. Integritas ego : factor stress, perasaan tak berdaya, tak ada kekuatan,
perubahan kepribadian takut.
g. Neurosensori : sakit kepala,penglihatan kabur, keram otot/kejang,
kehilangan memori, penurunan kesadaran
h. Seksualitas : penurunan libido, amenoria, infertilitas
i. Penyuluhan dan pembelajaran : riwayat dalam keluarga, penyakit
polikistik, nefrtis herideter, penggunaan antibiotik,terpejam toksik
j. Keamanan : kulit gatal, pruritis, demam

B. AnalisaData
1. Fase Pre Dialisa
No Data Etiologi Problem

1. DS: Kelebihan asupan cairanHipervolemia


1.
DO:
1.Terdapar edema
2.BB meningkat
3.Refleks
hepatojugular positif

Diagnosa keperawatan
1. Hipervolemia b.d Kelebihan cairan d.d BB naik

2. Fase Intra Dialisa


No Data Etiologi Problem

1. DS: - Proses penyakit Termoregulasi tidak


efektif
DO :
1. Kulit
dingin/hangat
2. Menggigil
3. Suhu tubuh
fluktuatif

2. DS: Kondisi fisiologis Keletihan

DO :
1. Tidak mampu
mempertahankan
aktivitas rutin
2. Tampak lesu

Diagnosa keperawatan:
1. Termoregulasi tidak efektif b.d proses penyakit d.d tampak
menggigil dan berkeringat dingin
2. Keletihan b.d Kondisi fisiologis d.d lemah dan lesu

3. Fase post dialisa


No Data Etiologi Problem

1. DS : Hambatan upaya nafas Pola nafas tidak


efektif
DO:
1. Penggunaan otot
bantu napas
2. Pola napas
abnormal
3. Fase ekspirasi
memanjang
1. DS: Efek agen farmakologis Nausea
1.Mengeluh mual
2. ingin muntah
3.tidak nafsu makan

DO:

Diagnosa keperawatan:
1. Pola nafas tidak efektif b. hambatan upaya nafas d.d
menggunakan alat bantu napas
2. Nausea b.d efek agen farmakologis d.d mual, pucat, lemas
3.
C. Intervensi Keperawatan
1. Pase fre dialisa
No Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan Rasional
Keperawat
an
1. Hipervolem Setelah dilakukan tindakan 1x24 Observasi Observasi
jam hipervolemia dapat teratasi 1. Periksa tanda dan 1. Untuk
gejala hipervolemia mengetahui tanda
Indikator IR ER dan gejala
Asupan cairan 2 5 hipervolemia
Output urin 2 5 2. Identifikasi penyebab 2. Untuk
Tekanan darah 2 5 hipervolemia mengetahui
Frekuensi nadi 2 5 penyebab
hipervolemia

Terapeutik Terapeutik
1. Timbang berat badan 1. Untuk
setiap hari pada waktu mengetahui berat
yang sama badan pasien

Edukasi
Edukasi 1. Agar pasien
1. Ajarkan membatasi dapat
asupan cairan menerapkan cara
untuk membatasi
asupan cairan
agar tidak
kelebihan cairan

Kolaborasi
1. Untuk terapi
pengganti ginjal
Kolaborasi pasien
1. Kolaborasi pemberian
continuous renal
replacement therapy

2. Fase Intra Dialisa


No Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan Rasional
Keperawat
an
1. Termoregul Setelah dilakukan tindakan 1x24 Observasi Observasi
asi tidak jam termoregulasi tidak efektif 1. Monitor tekanan darah, 1. Untuk
efektif dapat teratasi frekuensi pernafasan mengetahui
dan nadi tekanan darah
Indikator IR ER dan frekuensi
Menggigil 2 5 pernafasan dan
Suhu tubuh 2 5 nadi
Takikardia 2 5 2. Monitor dan catat tanda 2. Untuk
Tekanan darah 2 5 dan gejala hipertermia mengetahui tanda
dan gejala
hipertermia

Terapeutik Terapeutik
1. Sesuaikan suhu 1. Agar suhu
lingkungan dengan tubuh pasien
kebutuhan pasien stabil

Edukasi Edukasi
1. Jelaskan cara 1. Agar pasien
pencegahan mengetahui
hipotermia karena cara
terpapar udara pencegahan
dingin hipotermia

Kolaborasi Kolaborasi
1. Kolaborasi 1. Untuk
pemberian meredakan
antipiretik demam
2. Keletihan Setelah dilakukan tindakan 1x24 Observasi Observasi
jam keletihan dapat teratasi 1. Monitor kelelahan fisik 1. Untuk
dan emosional mengetahui
Indikator IR ER kelelahan dan
Tenaga 2 5 emosional pasien
Lesu 2 5
Sakit kepala 2 5 Terapeutik Terapeutik
1. Sediakan lingkungan 1. Agar pasien
nyaman dan rendah nyaman
stimulus

Edukasi Edukasi
1. Anjurkan tirah baring 1. Untuk
mengurangi
keletihan pada
pasien
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli Kolaborasi
gizi tentang cara 1. Agar asupan
meningkatkan asupan makanan pasien
makanan terpenuhi dengan
maksimal dan
pasien
mempunyai
energi lagi

3. Fase Post Dialisa


No Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan Rasional
Keperawat
an
1. Pola nafas Setelah dilakukan tindakan 1x24 Observasi Observasi
tidak efektif jam pola nafas tidak efektif dapat 1. Monitor pola nafas 1. Untuk
teratasi mengetahui pola
nafas pasien
Indikator IR ER 2. Monitor bunyi nafas 2. Untuk
Dispnea 2 5 tambahan mengetahui
Penggunaan 2 5 bunyi nafas
otot bantu tambahan pasien
Frekuensi nafas 2 5
Terapeutik Terapeutik
1. Posisikan fowler 1. Untuk mengurangi
sesak nafas pasien

Edukasi Edukasi
1. Anjurkan asupan 1. Agar asupan
cairan 2000ml/hari cairan pasien
terpenuhi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian Kolaborasi
bronkodilator 1. Untuk
mengurangi
sesak nafas pada
pasien
2. Nausea Setelah dilakukan tindakan 1x24 Observasi Observasi
jam nausea dapat teratasi 1. Identifikasi faktor 1. Untuk
penyebab mual mengetahui
Indikator IR ER faktor penyebab
Perasaan ingin 2 5 mual
muntah
Pucat 2 5 Terapeutik Terapeutik
Takikardia 2 5 1. Kurangi atau hilangkan 1. Agar pasien
keadaan penyebab mual tidak mual terus
menerus
Edukasi
1. Anjurkan istirahat dan Edukasi
tidur yang cukup 1. Agar pasien
nyaman
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian Kolaborasi
antiemetic 1. Untuk mengatasi
mual
B. Konsep Hemodialisa

1. Pengertian Hemodialisa

Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi

ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari

peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin,

asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeable sebagai pemisah

darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis

dan ultra filtrasi (Kusuma & Nurarif, 2012).

Hemodialisa berasal dari kata hemo = darah, dan dialisis = pemisahan atau

filtrasi. Hemodialisis adalah suatu metode terapi dialis yang digunakan untuk

mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut

ataupun secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Tetapi

ini dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin yang dilengkapi dengan

membran penyaring semipermeabel (ginjal buatan). Hemodialisis dapat dilakukan

pada saar toksin atau zat beracun harus segera dikeluarkan untuk mencegah

kerusakan permanen atau menyebabkan kematian (Mutaqin & Sari, 2011).

Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi

darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan

menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk

terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan

sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK

stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan

terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan


menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD

kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).

2. Tujuan Hemodialisa

Tujuan dari hemodilisis adalah untuk memindahkan produk-produk limbah

terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikeluarkan ke dalam mesin dialisis. Pada

klien gagal ginjal kronik, tindakan hemodialisis dapat menurunkan risiko

kerusakan organ-organ vital lainnya akibat akumulasi zat toksik dalam sirkulasi,

tetapi tindakan hemodialisis tidak menyembuhkan atau mengembalikan fungsi

ginjal secara permanen. Klien GGK biasanya harus menjalani terapi dialiss

sepanjang hidupnya (biasanya tiga kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4

jam perkali terapi) atau sampai mendapat ginjal baru melalui transplantasi ginjal

(Mutaqin & Sari, 2011).

3. Indikasi hemodialisa

Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD

kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan, Indikasi

hemodialisis segera antara lain (D87uaurgirdas et al., 2007):

a. Kegawatan ginjal

1) Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi

2) Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)

3) Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)

4) Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5

mmol/l )
5) Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)

6) Uremia ( BUN >150 mg/dL)

7) Ensefalopati uremikum

8) Neuropati/miopati uremikum

9) Perikarditis uremikum

10) Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L

11) Hipertermia

b. Keracunan akut akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati

membran dialysis.

Indikasi Hemodialisis Kronik. Hemodialisis kronik adalah hemodialisis

yang dikerjakan berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan

mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt.

Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga

dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di

bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):

a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis

b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.

c. adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.

d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.

e. Komplikasi metabolik yang refrakter.


4. Pathway
5. Prinsip hemodialisa

Seperti pada ginjal, ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis,

yaitu: difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.

a. Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan

kadar di dalam darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat.

b. Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi

yaitu perbedaan osmolalitas dan dialisat.

c. Proses Ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena

perbedaan hidrostatik didalam darah dan dialisat.

Luas permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi

jumlah zat dan air yang berpindah. Pada saat dialisis, pasien, dialiser dan

rendaman dialisat memerlukan pemantauan yang konstan untuk mendeteksi

berbagai komplikasi yang dapat terjadi, misalnya: emboli udara, ultrafiltrasi yang

tidak adekuat atau berlebihan (hipotensi, kram, muntah) perembesan darah,

kontaminasi, dan komplikasi terbentuknya pirau atau fistula (Mutaqin & Sari,

2011)

6. Komplikasi

Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari

fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik

(PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini

mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang

mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi
pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik. Tekanan

darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan cairan saat

HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani H

reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat.

Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (HID)

(Agarwal dan Light, 2010). Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi

akut dan komplikasi kronik (Daurgirdas et al., 2007).

Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis

berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual

muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil

(Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup

sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi

saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium,

reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,

hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia

(Daurgirdas et al., 2007).

Komplikasi Kronik adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan

hemodialisis kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada

Tabel 2.4 di bawah ini (Bieber dan Himmelfarb, 2013).

a. Penyakit jantung

b. Malnutrisi

c. Hipertensi / volume excess

d. Anemia
e. Renal osteodystrophy

f. Neurophaty

g. Disfungsi reproduksi

h. Komplikasi pada akses

i. Gangguan perdarahan

j. Infeksi

k. Amiloidosis

l. Acquired cystic kidney disease

7. Diagnosa Keperawatan

a. Kelebihan produk sisa metabolit pada sirkulasi b.d ketidakmampuan

ginjal dalam mengeksresikan keluar tubuh, ketidakmampuan dalam pembentukan

urine

b. Kelebihan volume cairan b.d penurunan volume urine, retensi cairan

dan natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penuruan GFR

c. Ketidakseimbangan cairan dan elektroli b.d ketidakmampuan ginjal

dalam mengatur reabsorsi dan sekresi elektrolit

d. Aktual/ risiko tinggi cedera b.d tindakan invasif hemodialisa,

gangguan faktor pembekuan, peningkatan kerapuhan vaskular

e. Risiko tinggi infeksi b.d adanya pintu masuk kuman respons sekunder

dari timdakan invasif hemodalisis.

f. Kurangnya pengetahuan tentang prosdur tindakan hemodialisis b.d

tindakan hemodialisis yang pertama kali


g. Gangguan konsep diri (gambaran diri) b.d penurunan fungsi tubuh,

tindakan dialisis, koping maladaptif

h. Kecemasan b.d prognosis penyakir dan tindakan hemodialisis yang

pertama kali

8. Pedoman pengkajian pra prosedur hemodialisa

Untuk memudahkan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan

pasien dengan hemodialisis yang komprehensif, berikut adalah pedoman dalam

melakukan pengkajian keperawatan praprosedur hemodialisa.

a. Pengkajian Anamnesis

1) Kaji identitas klien

Rasional: memudahkan kelengkapan asuhan

2) Kaji adanya progam dokter tentang pelaksanaan hemodilasis

Rasional: Sebagai peran kolaboratif untuk melaksanakan intervensi

keperawatan yang sesuai dengan progam dokter

3) Kaji kondisi psikologis, mekanisme koping, dan adanya kecemasan

praprosedur

Rasional: mekanisme koping maladktif terutama pada pasein yang pertama

kali divonis untuk cuci darah dapat memepengaruhi pelaksanaan. Peran perawat

sangat penting untuk membantu pasien dalam mencari mekanisme koping yang

positif. Prosedu kecemasan merupakan hal yang paling sering dialami pasien yang

pertama kali dilakukan hemodilalisis. Peran perawat memberikan dukungan dan

penjelasan yang ringkas dan mudah dimengerti agar bisa menurunkan kecemasan

pasien.
4) Kaji pengetahuan pasien tentang prosedur hemodialysis

Rasional: untuk menentukan tingkat koorperatif dan sebaga materi dasar

untuk memberikan penjelasan prosedur hemodialisis sesuai dengan tingkat

pengetahuannya.

5) Beri penjelasan prosedur pemasangan dan lakukan penandatangan

informed consent

Rasional: hemodialisis dapat menimbulkan komplikasi. Klien perlu diberi

penjelasan dan menyatakan persetujuannya melalui surat pesetujuan tindakan.

6) Kaji adanya riwayat dilakukan hemodialisis sebelumnya.

Rasional: untuk memantau reaksi pasca hemodialysis

7) Kaji pemakaian obat-obatan sebelumnya

Rasional: klien yang meminum obat-obatan (preparat glikosida jantung,

antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk

memastikan agar kadar obat ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan

tanpa menimbulkan akumulasi toksis. Beberapa obat akan dikeluarkan dari darah

pada saat dialisis, oleh karena itu penyesuaian dosis oleh dokter mungkin

diperlukan. Obat-obat yang terikat dengan protein tidak akan dikeluarkan selama

dialisis. Pengeluaran metabolit obat yang lain bergantung pada berat dan ukuran

molekulnya. Apabila seorang pasien menjalani dialisis, semua jenis obat dan

dosisinya harus dievaluasi dengan cermat. Terapi antihipertensi yang sering

merupakan bagian dari susunan terapi dialisis meruapakan salah satu contih

dimana komunikasi, pendidikan dan evalusasi dapat memberikan hasil yang

berbeda. Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan kapan menundanya.
Sebagai contoh, jika obat antihipertensi diminum pada pagi hari yang sama

dengan saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama

hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya

b. Pemeriksaan fisik

1) Timbang berat badan pasien

Rasional: sebagai pengukuran standar sebelum dilaksanakan hemodialisis.

Berat badan akan menurun pada saat prosedur selesai dilaksanakan.

2) Periksa Tanda-tanda vital

Rasional: Sebelum dilakukan prosedur hemodialisis. Denyut nadi dan

tekanan darah biasanya diatas rentang normal. Kondisi ini harus diukur pada saat

selesai prosedur dengan membandingkan hasil pra dan sesudah prosedur.

3) Kaji adanya akses vakuler

Rasional: Pengkajian akses vaskular diperlukan dalam pengkajian

praprosedur. Berikut beberapa akses saat melakukan hemodialisa yaitu:

a) Subklavia dan femoralis

Rasional: akses segera kedalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis

darurat dicapai melalui katerisasi subklavia untuk pemakaian sementara. Kateter

dwi lumen atau multi lumen dimasukkan ke dalam vena subklavia. Meskipun

metode akses vaskular ini memiliki risiko misalnya dapat menyebabkan cedera

vaskuler seperti hematom, pneumothoraks, infeksi, trombosis vena subklavia, dan

aliran darah yang tidak adekuar. Namun metode tersebut biasanya dapat

digunakan selama beberapa minggu. Kateter femoralis dapat dimasukan ke dalam

pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara. Kateter


tersebut dikeluarkan jika sudah tidak diperlukan karena kondisi pasein telah

membaik, atau terdapat cara akses lain. Oleh karena mayoritas pasien

hemodialisis jangka panjang yang harus dirawat dirumah sakit merupakan pasien

dengan kegagalan akses sirkulasi yang permanen, maka salah satu prioritas dalam

perawatan pasien hemodilasis adalah perlindungan terhadap akses sirkulasi

tersebut.

b) Fistula arteri vena

Rasional: Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan yang

biasanya dilakukan pada lengan bawah dengan cara menghubungkan atau

menyambung pembuluh arteri dengan vena secara dihubungkan antar sisi atau

dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah. Fistula tersebutkan

memerlukan waktu 4 hingga 6 minggu untuk menjadi matang sebelum siap

digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih

dn segmen vena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum

berlumen besar dengan ukuran – 14 sampai – 16. Jarum ditusukan ke dalam

pembuluh darah agar cukup aliran darah yang akan mengalir melalui dialiser.

Segmen arteri fistula digunakan untuk aliran darah arteri dan segmen vena

digunakan untuk memasukan kembali reinfus darah yang sudah didialisis. Untuk

menampung aliran darah ini, segmen arteri vena fistula tersebut harus lebih besar

daripada pembuluh darah normal. Pasien dianjurkan untuk melakukan latihan

guna meningkatkan ukuran pembuluh darah yaitu dengan meremas remas bola

karet untuk melatih fistula yang dibuar dilengan bawah sehingga pembuluh darah
yang sudah lebar dapat menerima jarum berukuran besar yang digunakand alam

proses hemodialisis.

c) Shunt/ Tandur

Rasional: dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum

dialisis, sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh

arteri atau vena dari sapi, materia; gore tex (heterografi) atau tandur vena safena

dari pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien

tidak cocok untuk dijadikan fistula. Tandur biasanya dipasang pada lengan bawah,

lengan atas atau paha bagian atas. Pasien dengan sistem vaskular yang terganggu

seperti pasien diabetes, biasanya memerlukan pemasangan tandur sebelum

menjalani hemodialisis. Oleh karena tandur tersebut merupakan pembuluh darah

artifisial, risiko infkesi akan meningkat.

c. Pengkajian penunjang

1) Kaji pemeriksaan laboratorium

Rasional: pemeriksaan lab menjadi parameter untuk dilakukan

hemodialisis, meliputi Hb, Hematokrit, kadar albumin, BUN, Kreatinin dan

elektrolit.

2) Konfirmasi pemeriksaan HbSag dan status HIV

Rasional: Preventif perawat dalam menjaga atau mempertahankan

universa; precaution dan mencegahan menular

3) Kaji adanya peningkatan kadar SGOT/PT

Rasional: Menilai keterlibatan hati dengan melihat peningkatan enzim

serum hati
9. Perawatan Hemodialisa

a. Perawatan sebelum hemodialisis (Pra HD)

1) Persiapan mesin

a) Listrik - air (sudah melalui pengolahan)

b) Saluran pembuangan - Dialyzer (ginjal buatan)

c) AV Blood line - AV Fistula/ Abocath

d) Infuse set - Spuit 50cc, 5 cc

e) Insulin, Heparin Injeksi - Xylocain (anestesi local)

f) Nacl 0,90% - Kain Kasa/ Gaas Steril

g) Persiapan peralatan & obat2 - Duk steril

h) Sarung tangan steril - Bak & mangkuk steril kecil

i) Klem, Plester - Desinfektan (alkohol, betadin)

j) Gelas ukur - Timbangan BB

2) Langkah-langkah

a) Letakkan GB (ginjal buatan) pada holder dengan posisi merah diatas

b) Hubungkan ujung putih pada ABL dengan GB ujung merah

c) Hubungkan uung putih VBL dengan GB ujung biru, ujung biru VBL

dihubungkan dengan alat penampung/ matkan

d) Letakkan posisi GB terbalik yaitu yang tanda merah dibawah, biru

diatas

e) Gantungkan NaCl 0,9% (2-3 Kolf)

f) Pasang inus set pada kolf NaCl


g) Hubungkan ujung infus set dengan ujung merah ABL atau tempat

khusus

h) Tutup semua klem yang ada pada slang ABL, VBL, 9untuk hubungan

tekanan arteri, tekanan vena, pemberian obat-obatan)

i) Buka klem ujung dari ABL, VBL dan infus set

j) Jalankan Qb dengan kecapatan kurang lebih dari 100 ml/m

k) Udara yang ada dalam GB harus hilang sampai bebas udara degan

cara menekan nekan VBL

l) Air trap/ bubble trap disisi 2/3 – ¾ bagian

m) Setiap kolf NaCl sesudah/ hendak mengganti kolf baru Qb dimatikan

n) Setelah udara dalam GB habis, hubungkan ujung ABL dengan ujung

VBL, klem tetap dilepas

o) Masukan heparin dalam sirkulasi darah sebanyak 1500-2000 U

p) Ganti kolf NaCl dengan baru yang telah diberi heparin 500 U dan

klem infus dibuka

q) Jalankan sirkulasi darah dan soaking (melembabkan GB) selama 10-

15 menit sebelum dihubungkan dengan sirkulasi sistemik pasien


BAB III

TINJAUAN KASUS

LAPORAN RESUME PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK


DIRUANG HEMODIALISA RSD GUNUNG JATI CIREBON

A. IdentitasPasien
1. Nama : Ny.L
2. Umur : 62 Tahun
3. Nomor RM : 867446
4. Suku Bangsa : Indonesia
5. Agama : Kristen
6. Pekerjaan :IRT
7. Alamat :Kepilang Raya
8. Status Perkawinan :Menikah
9. Tanggal Masuk : Rabu, 06 Desember 2023
10.Diagnosa medis :CKD on HD
11.Sumber Info :Pasien

B. Fase Pre Dialisa


1. Status Kesehatan Saat Ini
a. Alasan Masuk ke rumah sakit
Pada tanggal 6 Desember 2023 pukul 07.00 wib, pasien diantar
oleh suami untuk melakukan hemodialisa yang sudah
dijadwalkan setiap hari rabu dan sabtu, pada saat dirumah
pasien mengatakan merasakan pusing, vertigo, pundak sakit,
sesak nafas jika pasien melakukan aktivitas yang berlebihan,
nyeri dirasakan hilang timbul, nyeri pada saat aktivitas, nyeri
tidak menyebar, skala nyeri 4 dari (0-10)
b. Keluhan utama saat ini
Pasien mengatakan pusing, lemas dan sesak nafas, pasien
mengatakan sering merasa haus dan banyak minum
c. Riwayat penyakit sebelumnya
Pasien mengatakan mempunyai riwayat penyakit hipertensi
d. Riwayat penyakit keturunan
Pasien mengatakan sebelumnya mempunyai riwayat keturunan
hipertensi

2. Dialisis
a. Dialisis ke 33 kali
b. Dializer:
1) Baru: √
2) Re – Use........kali
c. Jenis dialisat: Bikarbonat
3. PemeriksaanFisik

d. Keadaan umum : Sedang


e. Kesadaran : Compos mentis
c.Tanda-tanda vital :;TD= 104/50 ;RR= 20x/menit ;HR:
70x/menit ; Suhu= 36.60c
d.Hasil pemeriksaan sistem pencernaan, perkemihan,
kardiovaskuler, dll(data focussaja)
e.Berat Badan
Sebelum HD saat ini 44.20 kg
Setelah HD periode sebelumnya 41.50 kg

Kenaikn BB
interdialisis 2.7 kg
IDWG = BB pre HD1 – BB post HD1 x 100 %
BB pre HD1
= 44.20 – 41.50 x 100%
44.20
= 2.7 x 100%
44.20
= 6.1 %

C. Fase Intra Dialisa


1. Keluhan utama saat ini:
a. Subjektif : Pasien mengatakan mengeluh badan dingin, pusing
b. Objektif : Pasien tampak menggigil, suhu 38,0oc, tampak lemas
c. Tanda-tanda vital: TD 157/75 mmhg, S: 380C, N: 106x/menit,
RR: 22x/menit
2. Waktu Dialisa
a. Mulai: pukul 07.40 wib
b. UF Target 1,5 kg
3. Akses Dialisis
Akses : Subclavicula
4 . Heparinisasi
Awal 2000 unit

Continue 1000 unit/jam

D. Fase Post Hemodialisa


1. Keluhan utama saat ini
a. Subjektif : Pasien mengatakan mengeluh sesak nafas, pusing,
mual
b. Objektif : RR 26x/menit, tampak lemas
c. Tanda-tanda vital: TD 130/70 mmhg, S: 37,80C, N: 108x/menit,
RR: 26x/menit
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum: Sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Berat badan 43,55 kg
3. Waktu Dialisis
a. Selesai : pukul 11.50 wib
b. UF Goal 1,5 kg
c. Pengurangan BB 0,6 kg
4. Heparinisasi
Total 5000 unit
D. DataPenunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal Jenis Hasil Nilai Interpretasi
Pemeriksaan normal
dalam
satuan

E. Terapi yang diberikan


Tanggal Jenis Rute Dosis Waktu Indikasi
Terapi

6 Desember Heparin IV 5000 4 Jam Mencegah


2023 terjadinya
pembekuan
darah

6 Desember PCT Oral 500 ml Untuk


2023 mengatasi
pusing

F. AnalisaData
1. Fase Pre Dialisa
No Data Etiologi Problem

1. DS: Kelebihan asupan cairan Hipervolemia


2. Pasien
mengatakan
merasa lemah dan
lemas
3. Pasien
mengatakan
sering merasa
haus dan banyak
minum
DO:
1. BB sebelum HD
44.2 kg, BB
setelah HD
periode
sebelumnya
41.50 kg
2. Penambahan BB
yaitu 2.7 kg
3. IDWG 6.1 %
4. Intake 850 cc/hari,
output 400 cc/hari
5. BAK sedikit
6. TD= 104/50 mmHg
7. RR= 20x/menit
8. HR: 70x/menit
9. Suhu= 36.60c

Diagnosakeperawatan
2. Hipervolemia berhubungan dengan Kelebihan cairan ditandai
dengan BB sebelum HD 44,2 kg, BB setelah HD sebelumnya
41,50 kg, penambahan BB yaitu 2.7 kg, IDWG 6.1 %

2. Fase Intra Dialisa


No Data Etiologi Problem

1. DS: Proses penyakit Termoregulasi tidak


1. Pasien efektif
mengatakan
merasa dingin
DO :
4. Pasien tampak
menggigil
5. Pasien tampak
berkeringat dingin
6. Pasien tampak
pucat
7. Suhu 38oC

2. DS: Kondisi fisiologis Keletihan


1. Pasien
mengatakan
badannya lemas
DO :
3. Pasien tampak
lesu
4. Pasien tampak
tidur terus
menerus
5. Pasien tampak
lemah

Diagnosa keperawatan:
3. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan proses penyakit
ditandai dengan pasien tampak menggigil dan berkeringat
dingin, suhu 38c
4. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis ditandai
dengan pasien tampak lemah dan lesu

3. Fase post dialisa


No Data Etiologi Problem

1. DS : Hambatan upaya nafas Pola nafas tidak


2. Pasien efektif
mengatakan sesak
nafas
DO:
4. Pola napas tidak
teratur
5. Pasien
menggunakan
nasal kanul
6. RR 26x/menit
7. Pasien tampak
sesak nafas
8. TD 130/70 mmHg
9. N: 108 x/menit
2. DS: Efek agen farmakologis Nausea
1. Pasien
mengatakan mual
dan ingin muntah
DO:
1. Pasien tampak
pucat
2. Nadi 108x/menit
3. Pasien tampak
lemas
4. TD : 130/70
mmHg
5. RR: 26 x/menit
Diagnosa keperawatan:
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya
nafas ditandai dengan Pasien sesak, menggunakan nasal kanul,
RR 26x/menit
5. Nausea berhubungan dengan efek agen farmakologis ditandai
dengan pasien mual, ingin muntah, pucat, lemas.

G. Intervensi Keperawatan
1. Pase fre dialisa
No Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan Rasional
Keperawata
n
1. Hipervolemi Setelah dilakukan tindakan Observasi Observasi
a 1x24 jam hipervolemia dapat 3. Periksa tanda dan 3. Untuk
teratasi gejala hipervolemia mengetahui tanda
dan gejala
Indikator IR ER hipervolemia
Berat badan 2 5 4. Identifikasi penyebab 4. Untuk
Haluaran urin 2 5 hipervolemia mengetahui
Tekanan darah 2 5 penyebab
Frekuensi nadi 2 5 hipervolemia

Terapeutik Terapeutik
2. Timbang berat badan 2. Untuk
setiap hari pada waktu mengetahui berat
yang sama badan pasien

Edukasi
Edukasi 2. Agar pasien
2. Ajarkan membatasi dapat
asupan cairan menerapkan cara
untuk membatasi
asupan cairan
agar tidak
kelebihan cairan

Kolaborasi
2. Untuk terapi
pengganti ginjal
Kolaborasi pasien
2. Kolaborasi pemberian
continuous renal
replacement therapy

2. Fase Intra Dialisa

No Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan Rasional


Keperawat
an
1. Termoregul Setelah dilakukan tindakan 1x24 Observasi Observasi
asi tidak jam termoregulasi tidak efektif 3. Monitor tekanan darah, 3. Untuk
efektif dapat teratasi frekuensi pernafasan mengetahui
dan nadi tekanan darah
Indikator IR ER dan frekuensi
Menggigil 2 5 pernafasan dan
Suhu tubuh 2 5 nadi
Suhu kulit 2 5 4. Monitor dan catat tanda 4. Untuk
Tekanan darah 2 5 dan gejala hipertermia mengetahui tanda
dan gejala
hipertermia

Terapeutik Terapeutik
2. Sesuaikan suhu 2. Agar suhu
lingkungan dengan tubuh pasien
kebutuhan pasien stabil

Edukasi Edukasi
2. Jelaskan cara 2. Agar pasien
pencegahan mengetahui
hipotermia karena cara
terpapar udara pencegahan
dingin hipotermia

Kolaborasi Kolaborasi
2. Kolaborasi 2. Untuk
pemberian meredakan
antipiretik demam
2. Keletihan Setelah dilakukan tindakan 1x24 Observasi Observasi
jam keletihan dapat teratasi 2. Monitor kelelahan fisik 2. Untuk
dan emosional mengetahui
Indikator IR ER kelelahan dan
Tenaga 2 5 emosional pasien
Lesu 2 5
Lelah 2 5 Terapeutik Terapeutik
Sakit kepala 2 5 2. Sediakan lingkungan 2. Agar pasien
nyaman dan rendah nyaman
stimulus

Edukasi Edukasi
2. Anjurkan tirah baring 2. Untuk
mengurangi
keletihan pada
pasien
Kolaborasi
2. Kolaborasi dengan ahli Kolaborasi
gizi tentang cara 2. Agar asupan
meningkatkan asupan makanan pasien
makanan terpenuhi dengan
maksimal dan
pasien
mempunyai
energi lagi

3. Fase Post Dialisa

No Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan Rasional


Keperawat
an
1. Pola nafas Setelah dilakukan tindakan 1x24 Observasi Observasi
tidak efektif jam pola nafas tidak efektif dapat 3. Monitor pola nafas 3. Untuk
teratasi mengetahui pola
nafas pasien
Indikator IR ER 4. Monitor bunyi nafas 4. Untuk
Dispnea 2 5 tambahan mengetahui
Penggunaan 2 5 bunyi nafas
otot bantu tambahan pasien
napas
Frekuensi nafas 2 5 Terapeutik Terapeutik
Kedalaman 2 5 2. Posisikan fowler 2. Untuk mengurangi
napas sesak nafas pasien
Edukasi Edukasi
2. Anjurkan asupan 2. Agar asupan
cairan 2000ml/hari cairan pasien
terpenuhi
Kolaborasi
2. Kolaborasi pemberian Kolaborasi
bronkodilator 2. Untuk
mengurangi
sesak nafas pada
pasien
2. Nausea Setelah dilakukan tindakan 1x24 Observasi Observasi
jam nausea dapat teratasi 2. Identifikasi faktor 2. Untuk
penyebab mual mengetahui
Indikator IR ER faktor penyebab
Perasaan ingin 2 5 mual
muntah
Pucat 2 5 Terapeutik Terapeutik
Takikardia 2 5 2. Kurangi atau hilangkan 2. Agar pasien
keadaan penyebab mual tidak mual terus
menerus
Edukasi
2. Anjurkan istirahat dan Edukasi
tidur yang cukup 2. Agar pasien
nyaman
Kolaborasi
2. Kolaborasi pemberian Kolaborasi
antiemetic 2. Untuk mengatasi
mual
H. Implementasi Keperawatan
Diagnosa: Hipervolemia
Hari/Tanggal Jam Implementasi Evaluasi Paraf

Rabu, 06 Tindakan Kelompok


Desember 2023 1. Memeriksa tanda dan S: 4
gejala hipervolemia 1. Pasien mengatakan merasa
R/S : lelah
a. Pasien mengatakan 2. Pasien mengatakan sering
merasa lelah merasa haus dan banyak
b. Pasien mengatakan sering minum
merasa haus dan banyak O :
minum 1. BB sebelum HD 44,2 kg, BB
R/O: sesudah HD 41,50 kg
a. BB sebelum HD 44,2 kg, 2. Intake input 850 cc/Hari,
BB sesudah HD 41,50 kg intake output 400 cc/hari
b. Intake input 850 cc/Hari, A : Masalah teratasi
intake output 400 cc/hari P : Intervensi dihentikan

2. Mengidentifikas
penyebab hipervolemia
R/S:
a. Pasien mengatakan sering
merasa haus dan banyak
minum
R/O:
a. Intake input 850 cc/hari,
intake output 400 cc/hari

3. Menimbang berat badan


sebelum dan sesudah HD
R/S:

R/O:
a. BB sebelum HD 44,2 kg,
BB sesudah HD 41,50 kg.
Diagnosa: Termoregulasi tidak efektif dan keletihan
Hari/Tanggal Jam Implementasi Evaluasi Paraf

Rabu, 06 Tindakan S:- Kelompok


Desember 2023 1. Memonitor tekanan darah O: 4
frekuensi pernafasan dan 1. TD 157/75 mmhg
nadi 2. RR 22x/menit
R/S : - 3. Nadi 106x/menit
R/O : 4. Pasien tampak menggigil
a. TD 157/75 mmhg 5. Pasien tampak pucat
b. RR 22x/menit 6. Pasien tampak berkeringat
c. Nadi 106x/menit dingin
7. 37,4oc
2. Memonitor dan catat A : Masalah teratasi sebagian
tanda gejala P : Intervensi dihentikan karena
hipotermia pasien selasai dialisa
R/S:-
R/O:
a. Pasien tampak menggigil
b. Pasien tampak pucat
c. Pasien tampak
berkeringat dingin

3. Berkolaborasi peberian
PCT
R/S: -
R/O:
a. 37,4oc

Rabu, 06 Tindakan S: Kelompok


Desember 2023 1. Memonitor kelelahan 1. Pasien mengatakan 4
fisik dan emosional badannya lemas
R/S: 2. Pasien mengatakan nyaman
a. Pasien mengatakan pada saat bebaring
badannya lemas
R/O: O:
a. Pasien tampak lesu 1. Pasien tampak lesu
b. Pasien tampak tidur terus 2. Pasien tampak tidur terus
menerus selama dialisa menerus selama dialisa
c. Pasien tampak lemah 3. Pasien tampak lemah
4. Pasien tampak nyaman
2. Menyediakan lingkungan
nyaman dan rendah A: Masalah belum teratasi
stimulus
R/S: - P: Intervensi dilanjutkan dirumah
R/O:
a. Pasien tampak nyaman

3. Menganjurkan tirah
baring
R/S:
a. Pasien mengatakan
nyaman pada saat
bebaring
R/O:
a. Pasien tampak nyaman

Diagnosa: Pola nafas tidak efektif dan nausea


Hari/Tanggal Jam Implementasi Evaluasi Paraf

Rabu, 06 Tindakan S: Kelompok


Desember 2023 1. Memonitor pola nafas a. Pasien mengatakan sesak 4
R/S: nafas
a. Pasien mengatakan sesak b. Pasien mengatakan nyaman
nafas dengan posisi duduk
R/O: O:
a. Pasien tampak sesak a. Pasien tampak sesak
b. RR 23x/menit b. RR 23x/menit
c. Menggunakan nasal kanul c. Menggunakan nasal kanul

2. Memonitor bunyi nafas b. Tidak ada bunyi nafas


tambahan tambahan
R/S:- c. Pasien tampak rileks dan
R/O: nyaman
a. Tidak ada bunyi nafas
tambahan A : Masalah teratasi

3. Memposisikan pasien P: Intervensi dihentikan


fowler
R/S:
a. Pasien mengatakan
nyaman dengan posisi
duduk
R/O:
a. Pasien tampak rileks dan
nyaman
Rabu,06 Tindakan S: Kelompok
Desember 2023 1. Mengidentifikasi a. Pasien mengatakan mual 4
faktor penyebab mual
R/S: O:
a. Pasien mengatakan a. Pasien tampak mual pada
mual saat post dialisa
R/O: b. Pasien tampak nyaman
a. Pasien tampak mual
pada saat post dialisa A: Masalah belum teratasi

2. Menganjurkan istirahat P: Intervensi dihentikan karena


dan tidur yang cukup pasien pulang
R/S:-
R/O:
a. Pasien tampak nyaman
BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil kasus asuhan keperawatan yang dilakukan pada Ny. L

dengan diagnosa medis gagal ginjal kronik di ruang hemodialisa RSD Gunung

Jati Cirebon, maka dalam bab ini penulis akan membahas kesenjangan teori dan

praktik serta kesulitan yang ditemukan dalam memberikan asuhan keperawatan

terhadap Ny. L, dalam penyusunan asuhan keperawatan penulis merencanakan

keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa dan intervensi dengan uraian

sebagai berikut:

A. Analisi Pengkajian

Pengkajian keperawatan adalah tahap dasar dari seluruh proses

keperawatan dengan tujuan mengumpulkan informasi dan data-data pasien,

supaya dapat mengidentifikasi masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan

keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Pengkajian yang

lengkap, akurat, sesuai kenyataan, kebenaran data sangat penting untuk

merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan dalam memberikan asuhan

keperawatan sesuai respon individu (Rizal, 2017).

Pada kasus ini diagnosa medis Ny. L yaitu Gagal ginjal kronik atau dapat

disingkat GGK. Gagal ginjal kronik adalah penurunan progresif fungsi ginjal

dalam beberapa bulan atau tahun. Penyakit gagal ginjal kronis didefinisikan

sebagai kerusakan ginjal atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang

dari 2 60ml/min1,73 selama minimal 3 bulan (Infodatin Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI, 2017). Gagal ginjal kronik sering kali menjadi

penyakit komplikasi dari penyakit lainya, sehingga merupakan penyakit sekunder.

Penyebab dari gagal ginjal kronik adalah diabetes melitus dan hipertensi selain

itu, ada beberapa penyebab lainya dari gagal ginjal kronis yaitu penyakit

glomerular kronik, infeksi kronis, kelainan kongenital, penyakit vaskuler,

obstruksi saluran kemih, penyakit kolagen dan obat-obatan nefrotoksik.

Patogenesis GGK melibatkan deteriorasi dan kerusakan nefron dengan

kehilangan bertahap fungsi ginjal. Oleh karena GFR total menurun dan klirens

menurun, maka kadar serum ureum nitrmogen dan kreatinin meningkat.

Menyisakan nefron hipertrofi yang berfungsi karena harus menyaring larutan

yang lebih besar. Konsekuensinya adalah ginjal kehilangan kemampuanya untuk

mengonsentrasikan urine dengan memadai. Oleh karena gagal ginjal berkembang

dan jumlah nefron yang berfungsi menurun, GFR total menurun lebih jauh.

Dengan demikian tubuh menjadi tidak mampu membebaskan diri dari kelebihan

air, garam, dan produksi sisa lainya melalui ginjal. Ketika GFR kurang dari 10

sampai 20 ml/menit, efek toksin uremia pada tubuh menjadi bukti. Jika penyakit

tidak diobati dengan dialisis transplantasi, hasil ESRD adalah uremia dan

kematian (Lemone, Burke, & Bauldoff, 2016)

Manifestasi klinik yang dialami penderita gagal ginjal kronik pada

stadium paling awal yaitu saat Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) masih dalam

keadaan normal dan meningkat atau sebesar 60% pasien masih belum merasakan

keluhan apapun, hanya peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sedangkan

jika laju filtrasi glomerulus sebesar 30% maka keluhan yang muncul seperti
nokturia, badan terasa lemah, mual, pengurangan nafsu makan dan menurunya

berat badan mulai terasa dan ketika LFG mencapai <30% dapat terlihat tanda dan

gejala uremia nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, mual dan lainya,

dan saat LFG berada pada presentase 15% terjadi gejala dan komplikasi serius

seperti dialisis dan transplantasi ginjal (Mailani, 2022).

Pada tanggal 6 Desember 2023 pukul 07.00 WIB, pasien diantar oleh

suami untuk melakukan hemodialisa yang sudah dijadwalkan setiap hari rabu dan

sabtu, pada saat dirumah pasien mengatakan merasakan pusing, vertigo, pundak

sakit, sesak nafas jika pasien melakukan aktivitas yang berlebihan, nyeri dirasakan

hilang timbul, nyeri pada saat aktivitas, nyeri tidak menyebar, skala nyeri 4 dari

(0-10). Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi dan juga sebelum didiagnosa

GGK pola kehidupan yang kurang sehat, pasien sering mengkonsumsi makanan

yang tidak sehat seperti frozen foot, makanan yang banyak mengandung lemak,

minum minuman berasa dan bersoda dan banyak lain sebagainya. Pasien juga

belum bisa mengontrol rasa hausnya sehingga masih belum bisa menyesuaikan

cairan yang masuk dengan kebutuhan tubuhnya.

Pengkajian awal dilakukan pada tanggal 06 Desember 2023 pada Ny. L

hasil pengkajian pre dialisa diperoleh data subjektif pasien mengatakan merasa

lemah dan lemas, pasien mengatakan sering merasa haus dan banyak minum.

Sedangkan data objektif yaitu BB sebelum HD 44.2 kg, BB setelah HD periode

sebelumnya 41.50 kg, Penambahan BB yaitu 2.7 kg , IDWG 6.1 %, Intake 850

cc/hari, output 400 cc/hari, BAK sedikit. TD= 104/50 mmHg ;RR=

20x/menit ;HR: 70x/menit ; Suhu= 36.60c.


Hasil pengkajian intra dialisa diperoleh data subjektif pasien mengatakan

merasa dingin, pasien mengatakan badannya lemas. Sedangkan data objektif yaitu

pasien tampak menggigil, pasien tampak berkeringat dingin, pasien tampak pucat,

suhu 38C, pasien tampak lesu, pasien tampak tidur terus menerus, pasien tampak

lemah.

Hasil pengkajian post dialisa diperoleh data subjektif pasien mengatakan

sesak nafas, merasakan mual dan ingin muntah. Sedangkan data objektif yang

didapat yaitu pola napas tidak teratur, pasien menggunakan nasal kanul, pasien

tampak sesak nafas, pasien tampak pucat, pasien tampak lemas TD 130/70 mmhg,

S: 37,8C, N: 108x/menit, RR: 26x/menit.

Berdasarkan data yang ada secara spesifik tidak ada kesenjangan atara

kasus pasien Ny.L dengan teori yang telah dikemukakan oleh beberapa referensi

B. Analisis Diagnosa Keperawatan

1. Diagnosa keperawatan yang muncul

Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis terhadap pengalaman

atau respon individu, keluarga, atau komunitas pada masalah kesehatan, pada

resiko masalah kesehatan atau pada proses kehidupan. Diagnosa keperawatan

merupakan bagian vital dalam menentukan asuhan keperawatan yang sesuai yang

membantu klien mencapai kesehatan yang optimal (SDKI, 2017). Pada asuhan

keperawatan kasus Ny. L diagnosa keperawatan yang muncul dibagi menjadi tiga

diagnosa keperawatan yaitu pre dialisa, intra dialisa dan post dialisa. Diagnosa

keperawatan pre dialisa yaitu hypervolemia. Diagnosa keperawatan intra dialisa


yaitu termoregulasi tidak efektif, keletihan dan diagnosa keperawatan post dialisa

yaitu pola napas tidak efektif dan nausea.

a. Diagnosa Keperawatan Pre Dialisa

1) Hipervolemia berhubungan dengan Kelebihan cairan ditandai dengan

BB sebelum HD 44,2 kg, BB setelah HD sebelumnya 41,50 kg, penambahan BB

yaitu 2.7 kg, IDWG 6.1 %

Pada kasus Ny. L diagnosa utama dan prioritas yang harus segera ditangani

adalah hypervolemia. Menurut PPNI (2017) Hipervolemia adalah peningkatan

volume cairan intravaskular, interstisial dan/atau intraselular. Penyebab yang

mendasari penegakan diagnosa hipervolemia yaitu kelebihan cairan disebabkan

oleh gagal ginjal kronik. Gejala dan tanda mayor pada hipervolemia yaitu terjadi

ortopnea, dyspnea, paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), edema anasarka, atau

edema perifer, berat badan meningkat dalam waktu singkat, JVP dan CVP

meningkat, refleks hepotojugular. Sedangkan gejala dan tanda minor yaitu

distensi vena jugularis, terdengar suara napas tambahan, hepatomegali, kadar

hb/ht turun, oliguria, intake lebih banyak dari output, kongesti paru.

Diagnosa keperawatan hipervolemia diangkat menjadi diagnosa utama

karena masalah hipervolemia menjadi diagnosa actual. Diagnosa aktual adalah

diagnosa yang menggambarkan respon klien terhadap kondisi kesehatan atau

proses kehidupannya yang menyebabkan klien mengalami masalah kesehatan.

Pada diagnosa actual, tanda dan gejala mayor maupun minor dapat ditemukan dan

divalidasi pada klien (Rulino, L. 2021)


Berdasarkan data yang ada secara spesifik tidak ditemukan kesenjangan

yang signifikan antara kasus Ny. L dengan teori yang ditemukan oleh beberapa

referensi. hal ini dibuktikan dengan saat pengkajian didapatkan pasien BB

sebelum HD 44,2 kg, BB setelah HD sebelumnya 41,50 kg, penambahan BB

yaitu 2.7 kg, IDWG 6.1 %, Intake 850 cc/hari, output 400 cc/hari, BAK sedikit.

b. Diagnosa Keperawatan Intra Dialisa

1) Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan proses penyakit

ditandai dengan pasien tampak menggigil dan berkeringat dingin, suhu 38c.

Diagnosa keperawatan pada intra dialisa yang pertama yaitu termoregulasi

tidak efektif. Menurut PPNI (2017) Termoregulasi tidak efektif adalah kegagalan

untuk mempertahankan suhu tubuh dalam rentang normal. Banyak faktor yang

mengakibatkan terjadinya termoregulasi tidak efektif yaitu stimulasi pusat

termoregulasi hipotalamus fluktuasi suhu lingkungan, proses penyakit, proses

penuaan, dehidrasi, ketidaksesuaian pakaian untuk suhu lingkungan, peningkatan

kebutuhan oksigen, perubahan laju metabolism, suhu lingkungan esktrem,

ketidakadekuatan suplai lemak subkutan, berat badan ekstrem, dan efek agen

farmakologis. Gejala dan tanda mayor yaitu kulit dingin/hangat, menggigil, dan

suhu tubuh fluktuatif. Sedangkan gejala dan tanda minor yaitu piloereksi,

pengisian kapiler >3 detik, tekanan darah meningkat, pucat, frekuensi napas

meningkat, takikardia, kejang, kulit kemerahan, dasar kuku sianotik.

Pada Ny. L tanda dan gejala yang muncul adalah pasien mengatakan

merasa dingin, pasien tampak menggigil, pasien tampak berkeringat dingin,

pasien tampak pucat, dan suhu tubuh 38C. berdasarkan data yang ada secara
spesifik tidak ada kesenjangan dan adanya kesamaan antara kasus Ny.L dengan

teori yang dikemukaan oleh beberapa referensi.

2) Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis ditandai dengan

pasien tampak lemah dan lesu.

Diagnosa keperawatan intra dialisa yang ke dua yaitu keletihan. Menurut

PPNI, (2017) Keletihan adalah penurunan kapasitas kerja fisik dan mental yang

tidak pulih dengan istirahat. Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya

keletihan yaitu gangguan suhu, gaya hidup monoton, kondisi fisiologis, perawatan

atau pengobatan jangka panjang, peristiwa hidup negatif, stress yang berlebih dan

depresi. Gejala dan tanda mayor keletihan yaitu merasa energi tidak pulih

walaupun telah tidur, merasa kurang tenaga, mengeluh lelah, tidak mampu

mempertahankan aktifitas rutin, tampak lesu. Sedangkan gejala dan tanda minor

keletihan yaitu merasa bersalah akibat tidak mampu menjalankan tanggung jawab,

libido menurun, kebutuhan istirahat meningkat.

Pada Ny. L tanda dan gejala yang muncul adalah pasien mengatakan

badannya lemas, pasien tampak lesu, pasien tampak tidur terus menerus dan

pasien tampak lemah. Berdasarkan data yang ada secara spesifik tidak ada

kesenjangan dan adanya kesamaan antara kasus Ny.L dengan teori yang

dikemukaan oleh beberapa referensi.

c. Diagnosa Keperawatan Post Dialisa

1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas

ditandai dengan pasien sesak, menggunakan nasal kanul, RR 26x/menit.


Diagnosa keperawatan post dialisa yang pertama adalah pola napas tidak

efektif. Menurut PPNI (2017) pola napas tidak efektif adalah inspirasi dan/ atau

ekspirasi yang tidak memeberikan ventilasi adekuat. Banyak faktor yang

mengakibatkan terjadinya pola napas tidak efektif yaitu depresi pusat pernapasan,

hambatan upaya napas, deformitas dinding dada, deformitas tulang dada,

gangguan neurologis, imaturitas neurologis, penurunan energi, obesitas, posisi

tubuh yang menghambat ekspirasi paru, sindrom hipoventilasi, kerusakan inervasi

diagfragma, cedera pada medulla spinalis, efek agen farmakologis dan kecemasan.

Gejala dan tanda mayor pola napas tidak efektif adalah dyspnea, penggunaan otot

bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang dan pola napas abnormal. Sedangkan

gejala dan tanda minor yaitu ortopnea, pernapasan pursed lip, pernapasan cuping

hidung, diameter thoraks anterior-posterior meningkat, ventilasi semenit menurun,

kapasitas vital menurun, tekanan inspirasi menurun, tekanan eskpirasi menurun

dan eksursi dada berubah.

Pada Ny. L tanda dan gejala yang muncul adalah pasien mengatakan sesak

nafas, pola napas tidak teratur, pasien menggunakan nasal kanul, pasien tampak

sesak nafas, pasien tampak pucat, pasien tampak lemas TD 130/70 mmhg, S:

37,8C, N: 108x/menit, RR: 26x/menit. Berdasarkan data yang ada secara spesifik

tidak ada kesenjangan dan adanya kesamaan antara kasus Ny.L dengan teori yang

dikemukaan oleh beberapa referensi.

2) Nausea berhubungan dengan efek agen farmakologis ditandai dengan

pasien mual, ingin muntah, pucat, lemas.


Diagnosa keperawatan post dialisa yang kedua yaitu nausea. Menurut

PPNI (2017) Nausea adalah perasaan tidak nyaman pada bagian belakang

tenggorok atau lambung yang mengakibatkan muntah. Banyak faktor yang

mengakibatkan terjadinya nausea yaitu gangguan biokimiawi, gangguan pada

esophagus distensi lambung, iritasi lambung, gangguan pankreas, peregangan

kapsul limpa, tumor teralokalisasi, peningkatan tekanan intraabdomen,

peningkatan tekanan intracranial, peningkatan tekanan intraorbital, mabuk

perjalanan, kehamilan, aroma tidak sedap, rasa makanan/ minuman yang tidak

enak, stimulasi penglihatan tidak menyenangkan, faktor psikologis, efek agen

farmakologis dan efek agen toksin. Gejala dan tanda mayor nausea yaitu

mengeluh mual, merasa ingin muntah dan tidak berminat makan. Sedangkan

gejala dan tanda minor yaitu merasa asam dimulut, sensasi panas/dingin, sering

menelan, saliva meningkat, pucat, diaphoresis takikardia dan pupil dilatasi.

Pada Ny. L tanda dan gejala yang muncul adalah pasien mengatakan

merasakan mual dan ingin muntah, pasien tampak pucat dan pasien tampak lemas.

Berdasarkan data yang ada secara spesifik tidak ada kesenjangan dan adanya

kesamaan antara kasus Ny.L dengan teori yang dikemukaan oleh beberapa

referensi.

C. Analisis Intevensi

Intervensi keperawatan adalah segala bentuk terapi yang dikerjakan oleh

perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai
peningkatan, pencegahan, dan pemulihan klien individu, keluarga dan komunitas

(PPNI, 2018). Pada kasus ini penulis memberikan tindakan sebagai berikut:

1. Hipervolemia berhubungan dengan kelebihan cairan ditandai dengan

BB sebelum HD 44,2 kg, BB setelah HD sebelumnya 41,50 kg, penambahan BB

yaitu 2.7 kg, IDWG 6.1 %

Diagnosa yang pertama yaitu hipervolemia. Menurut PPNI (2018) tujuan

diberikannya tindakan keperawatan keseimbangan cairan adalah meningkatkan

asupan cairan, halusan cairan, kelembaban membran mukosa, kemudian

menurunkan tingkat edema dan dehidrasi serta dapat memperbaiki kadar tekanan

darah, denyut nadi, tekanan arteri, membran mukosa, mata cekung, turgor kulit

dan berat badan.

Menurut PPNI (2018) tindakan keperawatan yang dapat diberikan pada

diagnosa keperawatan hipervolemia yaitu untuk Observasi: periksa tanda dan

gejala hipervolemia, identifikasi penyebab hipervolemia, monitor status

hemodinamik, monitor intake dan output cairan, monitor tanda hemokonsentrasi,

monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma, monitor kecepatan infus

secara ketat dan monitor efek samping diuretik. Teraupetik: timbang berat badan

setiap hari pada waktu yang sama, batasi asupan cairan dan garam dan tinggikan

kepala tempat tidur 30-40. Edukasi anjurkan melaporkan jika halusan urine <0,5

ml/kg/jam dalam 6 jam, anjurkan melapor jika BB bertambah >1 kg dalam 1 hari,

ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan halusan cairan dan ajarkan cara

membatasi cairan. Kolaborasi: pemberian diuretik, penggantian kehilangan kalium

akibat diuretik dan pemberian continuous renal replacement therapy (CRRT).


Tujuan lakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pada Ny.L

diharapkan masalah keseimbangan cairan teratasi dengan kriteria hasil: Berat

badan membaik, Haluaran urin meningkat, Tekanan darah membaik dan

Frekuensi nadi membaik.

Tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan kondisi Ny. L pada

saat dilakukan pengkajian pada saat itu, perawat mengharapkan apa yang

diinginkan dan dilakukan sesuai dengan tujuan perawat dan memberikan hasil

sesuai dengan rencana tindakan dan pada saat itu dengan tindakan memeriksa

tanda dan gejala hipervolemia yang bertujuan untuk mengetahui tanda dan gejala

hipervolemia, selanjutnya mengidentifikasi penyebab hipervolemia yang

bertujuan untuk mengetahui penyebab dari hipervolemi terjadi, selanjutnya

timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama bertujuan untuk memantau

peningkatan berat badan yang esktream, selanjutnya ajarkan membatasi asupan

cairan bertujuan untuk mengurangi hypervolemia, selanjutnya kolaborasi

memberikan continuous renal replacement therapy bertujuan untuk menggantikan

fungsi ginjal dalam membuang zat hasil metabolism dan zat toksik yang tidak

dibutuhkan tubuh.

Berdasarkan tindakan keperawatan yang dilakukan pada Ny.L dengan

melihat kondisi pasien, secara spesifik tidak ada kesenjangan dan adanya

kesamaan antara kasus Ny.L dengan teori tindakan keperawatan yang dikemukaan

oleh beberapa referensi.

2. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan proses penyakit

ditandai dengan pasien tampak menggigil dan berkeringat dingin, suhu 38c
Diagnosa yang kedua yaitu termoregulasi tidak efektif. Menurut PPNI

(2018) tujuan diberikannya tindakan keperawatan termoregulasi adalah mengigil

menurun, suhu tubuh dan suhu kulit membaik.

Menurut PPNI (2018) tindakan keperawatan yang dapat diberikan pada

diagnosa keperawatan termoregulasi tidak efektif yaitu untuk Observasi: monitor

suhu sampai stabil, monitor suhu tubuh setiap 2 jam, monitor tekanan darah,

frekuensi napas dan nadi, monitor warna kulit dan suhu kulit, monitor dan catat

tanda dan gejala hipotermia atau hipertermia. Teraupetik: pasang alat pemantau

suhu kontinu, tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat, gunakan selimut

hangat dan penghangat ruangan untuk menaikkan suhu tubuh dan sesuaikan suhu

lingkungan dengan kebutuhan pasien. Edukasi: jelaskan cara pencegahan

hipotermi karena terpapar suhu dingin. Kolaborasi: pemberian antipiretik.

Tujuan lakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan

masalah termoregulasi Ny.L teratasi dengan kriteria hasil: Menggigil menurun,

Suhu tubuh membaik, Suhu kulit membaik dan Tekanan darah membaik.

Tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan kondisi Ny.L pada

saat dilakukan pengkajian pada saat itu, perawat mengharapkan apa yang

diinginkan dan dilakukan sesuai dengan tujuan perawat dan memberikan hasil

sesuai dengan rencana tindakan dan pada saat itu dengan tindakan monitor

tekanan darah, frekuensi pernafasan dan nadi yang bertujuan untuk memantau

kondisi pasien agar tidak memburuk, monitor dan catat tanda dan gejala

hipertermia bertujuan memantau kondisi pasien agar tetap normal, selanjutnya

sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien dengan harapan suhu pasien
kembali normal, selanjutnya jelaskan cara pencegahan hipotermia karena terpapar

udara dingin untuk menjegah perubahan suhu tubuh yang ekstrim, selanjutnya

kolaborasi dengan farmasi untuk pemberian antipiretik untuk menurunkan suhu

tubuh pasien.

Berdasarkan tindakan keperawatan yang dilakukan pada Ny.L dengan

melihat kondisi pasien, secara spesifik tidak ada kesenjangan dan adanya

kesamaan antara kasus Ny.L dengan teori tindakan keperawatan yang dikemukaan

oleh beberapa referensi.

3. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis ditandai dengan

pasien tampak lemah dan lesu.

Diagnosa yang ketiga yaitu keletihan. Menurut PPNI (2018) tujuan

diberikannya tindakan keperawatan keletihan adalah verbalisasi kepulisan energi,

tenaga, kemampuan melakukan aktivitas rutin meningkat, serta verbalisasi lelah

lesu, sakit kepala, gelisah, frekuensi napas dan sianosis menurun.

Menurut PPNI (2018) tindakan keperawatan yang dapat diberikan pada

diagnosa keperawatan keletihan yaitu Observasi: identifikasi gangguan fungsi

tubuh yang mengakibatkan kelelahan, monitor keletihan fisik dan emosional,

monitor pola tidur dan jam tidur, dan monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama

melakukan aktifitas. Teraupetik: sediakan lingkungan yang nyaman dan renadah

stimulus, lakukan latihan rentang gerak pasif atau aktif, berikan aktifitas distraksi

yang menenangkan dan fasilitasi duduk disisi tempat tidur. Edukasi: anjurkan

tirah baring, melakukan aktifitas secara bertahap, menghubungi perawat jika tanda

dan gejala kelelahan tidak berkurang dan ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan. Kolaborasi: dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan

asupan makanan.

Tujuan lakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan

masalah tingkat keletihan Ny.L teratasi dengan kriteria hasil: Tenaga meningkat,

lesu menurun, lelah menurun, sakit kepala menurun.

Tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan kondisi Ny.L pada

saat dilakukan pengkajian pada saat itu, perawat mengharapkan apa yang

diinginkan dan dilakukan sesuai dengan tujuan perawat dan memberikan hasil

sesuai dengan rencana tindakan dan pada saat itu dengan tindakan monitor

kelelahan fisik dan emosional yang bertujuan untuk mencegah bertambahnya

kelelahan fisik pada pasien, selanjutnya sediakan lingkungan nyaman dan rendah

stimulus bertujuan untuk meningkatkan rasa nyaman pasien, selanjutkan anjurkan

tirah baring bertujuan untuk mengembalikan energi yang hilang pada pasien,

selanjutnya kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan

makanan untuk mencukupi kebutuhan gizi pasien.

Berdasarkan tindakan keperawatan yang dilakukan pada Ny.L dengan

melihat kondisi pasien, secara spesifik tidak ada kesenjangan dan adanya

kesamaan antara kasus Ny.L dengan teori tindakan keperawatan yang dikemukaan

oleh beberapa referensi.

4. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas

ditandai dengan pasien sesak, menggunakan nasal kanul, RR 26x/menit.

Diagnosa yang keempat yaitu pola napas tidak efektif. Menurut PPNI

(2018) tujuan diberikannya tindakan keperawatan pola napas tidak efektif adalah
dispnea, penggunaan otot bantu napas, pemanjangan ekspirasi menjadi menurun,

serta frekuensi napas dan kedalaman napas menjadi membaik.

Menurut PPNI (2018) tindakan keperawatan yang dapat diberikan pada

diagnosa keperawatan pola napas tidak efektif yaitu Observasi: monitor pola

napas, monitor bunyi napas dan monitor sputum. Teraupetik: pertahankan

kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift, posisiskan semi fowler atau

fowler, berikan minuman hangat, lakukan fisioterapi dada, lakukan penghisapan

lendir kurang dari 15 detik, berikan oksigen. Edukasi: ajnurkan cairan 2000

ml/hari dan ajarkan teknik batuk efektif. Kolaborasi: pemberian bronkodilator,

ekspektoran dan mukolitik.

Tujuan lakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan

masalah pola napas Ny.L teratasi dengan kriteria hasil: Dispnea menurun,

penggunaan otot bantu napas menurun, frekuensi napas membaik, kedalaman

napas membaik.

Tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan kondisi pasien pada

saat dilakukan pengkajian pada saat itu, perawat mengharapkan apa yang

diinginkan dan dilakukan sesuai dengan tujuan perawat dan memberikan hasil

sesuai dengan rencana tindakan dan pada saat itu dengan tindakan monitor pola

nafas bertujuan untuk mencegah kondisi perburukan pada pasien, selanjutnya

monitor bunyi nafas tambahan untuk mengembalikan pola napas pasien menjadi

normal kembali, selanjutnya memposisikan fowler bertujuan menjaga pola napas

tetap teratur dan memudahkan pasien menjaga pola napas tetap normal,

selanjutnya anjurkan asupan cairan 2000ml/hari untuk menjaga kebutuhan cairan


dalam tubuh, selanjutnya kolaborasi pemberian bronkodilator untuk mencegah

bertambahnya sesak pada pasien.

Berdasarkan tindakan keperawatan yang dilakukan pada Ny.L dengan

melihat kondisi pasien, secara spesifik tidak ada kesenjangan dan adanya

kesamaan antara kasus Ny.L dengan teori tindakan keperawatan yang dikemukaan

oleh beberapa referensi.

5. Nausea berhubungan dengan efek agen farmakologis ditandai dengan

pasien mual, ingin muntah, pucat, lemas.

Diagnosa yang kelima yaitu nausea. Menurut PPNI (2018) tujuan

diberikannya tindakan keperawatan nausea adalah keluhan mual, perasaan ingin

muntah, perasaan asam dimulut, sensasi panas, dingin, frekuensi menelan dan

disforesis menurun. Serta keadaan pucat, takikardia dan dilatasi pupil membaik.

Menurut PPNI (2018) tindakan keperawatan yang dapat diberikan pada

diagnosa keperawatan nausea yaitu Observasi: identifikasi karakteristik muntah,

periksa volume muntah, identifikasi faktor penyebab muntah, identifikasi efek

manajemen muntah secara menyeluruh dan monitor kesimbangan cairan dan

elektrolit. Terupetik: kontrol faktor lingkungan penyebab muntah, kurangi atau

hilangkan keadaan penyebab muntah, atur posisi untuk mencegah aspirasi,

pertahankan kepatenan jalan napas, bersihkan mulut dan hidung, berikan

dukungan fisik saat muntah, berikan cairan yang mengandung karbonasi minimal

30 menit setelah muntah. Edukasi: anjurkan membawa kantong plastik untuk

menampung muntah, anjurkan perbanyak istirahat dan ajarkan penggunaan teknik

farmakologis untuk mengelola muntah. Kolaborasi pemberian antiemetik.


Tujuan lakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan

masalah tingkat nausea Ny. L teratasi dengan kriteria hasil: Perasaan ingin muntah

menurun, pucat membaik, takikardia membaik.

Tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan kondisi Ny. L pada

saat dilakukan pengkajian pada saat itu, perawat mengharapkan apa yang

diinginkan dan dilakukan sesuai dengan tujuan perawat dan memberikan hasil

sesuai dengan rencana tindakan dan pada saat itu dengan tindakan identifikasi

faktor penyebab mual yang bertujuan untuk mengurangi rasa mual pasien,

selanjutnya kurangi atau hilangkan keadaan penyebab mual yang bertujuan untuk

mencegah rasa mual bertambah, selanjunya anjurkan istirahat dan tidur yang

cukup untuk mengembalikan tenaga pasien, selanjutnya kolaborasi pemberian

antiemetik untuk mengurangi perasaan mual dan ingin muntah.

Berdasarkan tindakan keperawatan yang dilakukan pada Ny.L dengan

melihat kondisi pasien, secara spesifik tidak ada kesenjangan dan adanya

kesamaan antara kasus Ny.L dengan teori tindakan keperawatan yang dikemukaan

oleh beberapa referensi.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Gagal ginjal kronik (GGK) diartikan sebagai gagalnya fungsi ginjal

terutama di unit nefron yang berlangsung perlahan-lahan karena penyebab yang

berlangsung lama, menetap dan mengakibatkan penumpukan sisa metabolik atau

toxic uremic, hal ini menyebabkan ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan seperti

biasanya sehingga menimbulkan gejala sakit.

Penyebab dari gagal ginjal kronik itu yang sering adalah diabetes melitus

dan hipertensi selain itu, ada beberapa penyebab lainya dari gagal ginjal kronis

yaitu penyakit glomerular kronik, infeksi kronis, kelainan kongenital, penyakit

vaskuler, obstruksi saluran kemih, penyakit kolagen dan obat-obatan nefrotoksik

Penatalaksanaannya sendiri yaitu berikan dukungan nutrisi, pantau adanya

hyperkalemia, hitung pengeluaran urin 24 jam, kontrol pemberian cairan,control

tekanan darah dan berikan tata laksana dialisis atau transplantasi ginjal.

Diagnosa yang diangkat dalam kasus ini yaitu hipervolemia, termoregulasi

tidak efektif, keletihan, pola napas tidak efektif dan nausea.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan dari makalah ini penulis merekomendasikan

beberapa tindakan yang dapat mengatasi terjadinya hypervolemia pada penderita

GGK yaitu dengan mengajarkan pasien tentang tanda dan gejala hypervolemia,

mengidentifikasi penyebab hypervolemia, melakukan penimbang berat badan

setiap hari pada waktu yang sama, mengajarkan membatasi asupan cairan.
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Indonesia:


Elsevier.

Indonesia Renal Registry (IRR). (2018). Program Indonesia renal registry.


https://www.indonesianrenalregistry.org/data/IRR 2018.pdf

Infodatin Pusat Data dan Informasi kementrian Kesehatan RI. (2017). situasi
penyakit ginjal kronis.

Kemenkes RI. (2018). Laporan Provinsi Jawa Barat Riskesdas.


https://www.litbang.kemenkes.go.id/laporan-riset-kesehatan-dasar-riskesdas

Lemone, P., Burke, K, M., & Bauldoff, G. (2016). Buku ajar keperawatan
medikal bedah (edisi 5). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Mailani Fitri. (2022). Pengetahuan Sel-Management dan Sel-Efficacy Pasien


Penyakit Gagal Ginjal Kronik (1st ed.). Indramayu: CV Adanu Abimata.

Maimunah, H. S. (2021). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Ruang


Hemodialisa. Jakarta

Prabowo, E., & Pranata, A, E. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan (1st ed.). Yogyakarta: Nuha Medika.

Siregar, C (2020). Buku ajar manajemen komplikasi pasien hemodialisa.


Yogyakarta: CV Budi Utama.
Smeltzer., & Barre. (2015). Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner &
Suddarth (Edisi 8). Jakarta: EGC.

Sulistini, R. (2020). Fatigue Pasien Yang Menjalani Hemodialisa Pendekatan


Asuhan Keperawatan (1st ed.). Kediri: Chakra Brahmanda Lentera.

World Health Organization (WHO). (2019). The World Health Organization dari
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/the-top-10-causes-of-
death.

Anda mungkin juga menyukai