Anda di halaman 1dari 36

PROPOSAL PENELITIAN

I. JUDUL PENELITIAN

GAMBARAN SELF MANAGEMENT PASIEN CHRONIC KIDNEY

DISEASE YANG MENJALANI HEMODIALISA DI RSUD LABUANG

BAJI MAKASSAR

II. RUANG LINGKUP

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

III. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat

global dengan prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis

yang buruk dan biaya yang tinggi [ CITATION Inf17 \l 1057 ] . Meningkatnya

penderita dipengaruhi oleh Systemic Arterial Hypertension (PAH) dan

Diabetes Mellitus (DM) [ CITATION Bar17 \l 1033 ]. Penyakit ginjal kronis

mencakup berbagai tingkat keparahan penyakit dan heterogenitas yang

signifikan dalam risiko perkembangan menjadi penyakit ginjal tahap akhir,

morbiditas, dan mortalitas[ CITATION Vas16 \l 1033 ].

Menurut Global Burden of Disease (2015), sekitar 1,7 juta orang setiap

tahunnya diperkirakan meninggal karena gagal ginjal kronik. Secara

keseluruhan, diperkirakan 5-10 juta orang meninggal setiap tahun karena

penyakit ginjal[ CITATION Luy18 \l 1033 ]. Data RISKESDAS tahun 2018, yang

didiagnosis penyakit gagal ginjal kronis menurut provinsi pada tahun 2018

1
2

sebanyak 19,3%. Prevalensi gagal ginjal kronis yang terdiagnosis tertinggi

terdapat di Daerah DKI Jakarta sebesar 38,7% dan terendah terdapat pada

daerah Sulawesi Utara sebanyak 2% [ CITATION Placeholder1 \l 1033 ] . Di

Sulawesi Selatan tahun 2014 sebesar 11,34% dan menyebabkan kematian

sebesar 20,45% pada penderitanya[ CITATION Din14 \l 1033 ].

Mengingat fungsi ginjal yang rusak sangat sulit untuk dilakukan

pengembalian, maka tujuan dari penatalaksanaan klien gagal ginjal kronis

adalah untuk mengoptimalkan fungsi ginjal yang ada dan mempertahankan

keseimbangan secara maksimal untuk memperpanjang harapan hidup klien

membutuhkan penatalaksanaan terpadu dan serius, sehingga akan

meminimalisir komplikasi dan meningkatkan harapan hidup klien[ CITATION

Pra14 \l 1033 ]. Oleh karena itu, dialisis bisa digunakan sebagai pengobatan

jangka panjang untuk GGK atau sebagai pengobatan sementara sebelum

penderita menjalani pencangkokan ginjal[CITATION Rud13 \l 1033 ].

Hemodialisa adalah suata teknologi tinggi sebagai terapi pengganti

fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu

dari peredaran darah manusia [CITATION Ren12 \l 1057 ]. Kondisi pengobatan

ini membatasi pengidap gagal ginjal kronik sehingga dapat berdampak pada

faktor agresif yang memicu stres, isolasi sosial serta keterbatasan pada

kemungkinan pergerakan, penurunan aktivitas fisik, ketergantungan dan

perasaan takut dan ketidakpastian tentang kesehatan dan kesejahteraan

[ CITATION Cos \l 1033 ] . Hemodialisis terdiri dari prosedur kompleks untuk

pasien yang memerlukan kunjungan ke rumah sakit atau pusat dialisis,


3

terutama tiga kali seminggu, sehingga menyiratkan perubahan substansial

dalam cara normal hidup pasien [ CITATION Ger15 \l 1033 ].

Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering terjadi pada

saat dilakukan terapi adalah hipotensi akibat kekurangan cairan[CITATION

Ren12 \l 1057 ]. Sehingga dibutuhkan self manajegement dalam memperbaiki

kondisi pasien selama hemodialisa salah satunya pengelolaan diet nutrisi. Self

manajegement dalam pengelolaan diet nutrisi adalah suatu proses

pengambilan keputusan secara aktif yang meliputi pemilihan tingkah laku

untuk mempertahankan stabilitas fisilogis (maintenance) serta bagaimana

keyakinan pasien terhadap keseluruhan upaya self care yang telah

dilakukannya (confidence) [ CITATION Her161 \l 1033 ]. Namun, self

manajegement bersifat kompleks dan membutuhkan dukungan dalam

manajemen diri harian dari penyakit mereka. Program manajemen diri adalah

penting bagi individu dan dalam meningkatkan keterampilan yang dapat

diterapkan untuk mengelola sendiri penyakitnya [ CITATION Hav16 \l 1033 ].

Pasien hemodialisis yang melaksanakan self manajegement dapat

menurunkan masalah kesehatan ditandai dengan adanya penurunan nilai

ureum dan kreatinin, kalium, tekanan darah normal dan kulit gatal berkurang.

Kemampuan perawatan diri yang dilakukan melalui self management akan

memberikan dampak positif terhadap pencapaian hasil yang baik.

Mewujudkan self manajegement yang optimum pada pasien hemodialisis

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia, jenis kelamin, pernikahan,


4

pendidikan dan pekerjaan, lama dialisis, frekuensi hemodialisis, komplikasi

yang muncul dan psikologis[ CITATION Ast18 \l 1033 ].

Berdasarkan data dari RSUD Labuang Baji Makassar, menunjukkan

bahwa jumlah pasien yang menjalani hemodialisa pada tahun 2016 sebanyak

231 pasien meningkat pada tahun 2017 sebanyak 246 pasien meningkat

kembali pada tahun 2018 sebanyak 256 pasien, sedangkan pada bulan Januari

sampai Agustus 2019 sebanyak 272 pasien, dengan rata-rata perbulan

sebanyak 34 pasien (Rekam Medik RSUD Labuang Baji Makassar, 2019).

Dari uraian tersebut, maka penulis akan melakukan penelitian tentang

“Gambaran Self Management Pasien Chronic Kidney Disease yang Menjalani

Hemodialisa di RSUD Labuang Baji Makassar”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah: “bagaimana gambaran self management pasien chronic kidney

disease yang menjalani hemodialisa di RSUD Labuang Baji Makassar?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui gambaran self management pasien chronic kidney

disease yang menjalani hemodialisa di RSUD Labuang Baji Makassar.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui karakteristik pasien chronic kidney disease yang menjalani

hemodialisa di RSUD Labuang Baji Makassar.


5

b. Untuk mengetahui gambaran self management pasien chronic kidney disease

yang menjalani hemodialisa di RSUD Labuang Baji Makassar.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat ilmiah

Penelitian dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian

berikutnya khususnya bagi tenaga pendidik dalam upaya pemantapan

kemampuan professional perawat dalam pendidikan kesehatan dan sekaligus

sebagai untuk peneliti selanjutnya yang tertarik meneliti terkait self

management pasien chronic kidney disease yang menjalani hemodialisa.

2. Manfaat institusi

Penelitian ini dapat digunakan sebagai dokumentasi pada perpustakaan

Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Makassar

serta dapat dikembangkan lebih luas dalam penelitian selanjutnya.

3. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai manfaatnya bagi peneliti

terutama untuk menambah wawasan dalam hal mengetahui gambaran self

management pasien chronic kidney disease yang menjalani hemodialisa.

4. Manfaat bagi masyarakat

Penelitian ini dapat digunakan sebagai manfaatnya bagi masyarakat

terutama masyarakat untuk menambah pengetahuan tentang self management

pasien chronic kidney disease yang menjalani hemodialisa sehingga dapat

meningkatkan derajat kesehatan yang optimal di lingkungan masyarakat.


6

IV. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Chronic Kidney Disease

1. Pengertian

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kemunduran fungsi yang

progresif dan irreversibel dimana terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk

mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang

mengakibatkan uremia atau azotemia. Gagal ginjal kronik adalah suatu

sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat

menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut[ CITATION Wij13 \l 1033 ].

Gagal ginjal kronik biasanya merupakan akibat akhir kehilangan fungsi

ginjal lanjut secara bertahap. Gagal ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah

tidak mampu mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan

kehidupan dan pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu

transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban

dan menunggu beberapa tahun. Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap

akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan

irreversible di mana kemampuan tubuh gagal mempertahankan metabolisme

dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea

dan sampah nitrogen lain dalam darah). Gagal ginjal kronik merupakan

perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat, biasanya berlangsung

beberapa tahun. Gagal ginjal kronik adalah sindrom klinis yang umum pada

stadium lanjut dari semua penyakit ginjal kronik yang ditandai oleh

uremia[CITATION Rud13 \l 1033 ].


7

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal

ditandai dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung

lebih dari 3 bulan. PGK ditandai dengan satu atau lebih tanda kerusakan

ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas sedimen urin, elektrolit, histologi,

struktur ginjal, ataupun adanya riwayat transplantasi ginjal, juga disertai

penurunan laju filtrasi glomerulus[ CITATION Ais18 \l 1033 ].

2. Anatomi ginjal

Ginjal terletak di belakang peritoneum yang melapisi rongga abdomen

(retroperitoneal). Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3.

Ginjal kanan biasanya terletak sedikit di bawah ginjal kiri untuk memberi

tempat untuk hati. Sebagian dari bagian atas ginjal terlindungi oleh iga

kesebelas dan duabelas. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak

(lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam goncangan.

Ureter menghubungkan antara ginjal dengan kandung kemih. Di dalam

kandung kemih urine terkumpul dan siap untulk tikeluarkan setelah mencapai

votume tertentu [ CITATION Hid13 \l 1033 ].

Gambar 1. Anatomi Ginjal


Sumber: https://analisd3kesehatan.files.wordpress.com
8

Bila sebuah ginjal kita iris memanjang, akan tampak bahwa ginjal

terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian kulit (korteks), sumsum ginjal (medula),

dan bagian rongga ginjal (pelvis renalis)

3. Etiologi

Gagal ginjal kronik sering kali menjadi penyakit komplikasi dari

penyakit lainnya, sehingga merupakan penyakit sekunder (secondary illness).

Penyebab yang sering adalah diabetes mellitus dan hipertensi. Selain itu, ada

beberapa penyebab lainnya dari ginjal kronik, yaitu[ CITATION Pra14 \l 1057 ]:

a. Penyakit glomerular kronis (glomerulonefritis)

b. Infeksi kronis (pyelonefritis kronis, tuberkulosis)

c. Kelainan kongenital (polikistik ginjal)

d. Penyakit vaskuler (renal nephrosclersis)

e. Obstruksi saluran kemih (nephrolithisis)

f. Penyakit kolagen (Systemic Lupus Erythematosus)

g. Obat-obatan nefrotoksik (aminoglikosida).

4. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala klinis pada pasien gagal ginjal kronik dikarenakan

gangguan yang bersifat sistemik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam

peran sirkulasi memiliki fungsi yang banyak (organs multifunction), sehingga

kerusakan kronis secara fisiologi ginjal akan mendapatkan gangguan

keseimbangan sirkulasi dan fasomotor. Berikut ini adalah tanda dan gejala

yang ditunjukkan oleh gagal Ginjal Dan Gastrointestinal [ CITATION Pra14 \l

1033 ].
9

Sebagai akibat dari hiponatremi maka timbul hipotensi, mulut kering,

penurunan turgor kulit, kelemahan, fatique, dan mual. Kemudian terjadi

penurunan kesadaran (somnolen) dan nyeri kepala yang hebat. Dampak dari

peningkatan kalium adalah peningkatan cairan yang tidak terkompensasi akan

mengakibatkan asidisis metabolik. Tanda paling khas adalah terjadinya

penurunan urine output dengan sedimentasi yang tinggi.

a. Kardiovaskuler

Biasanya terjadi hipertensi, aritmia, kardiomypati, uremic percarditis,

effusi perikardial (kemungkinan bisa terjadi tamponade jantung), gagal

jantung, edema periorbital dan edema perifer.

b. Respiratory Sistem

Biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan efusi

pleura, crackles, sputum yang kental, uremic pleuritis dan uremic lung, dan

sesak napas.

c. Gastrointestinal

Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa

gastrointestinal karena stomatitis, ulserasi dan perdarahan gusi, dan

kemungkinan juga disertai parotitis, esofagitis, gastritis, ulseratif duodenal,

lesi pada usus halus/usus besar, colitis, dan pankreatitis. Kejadian sekunder

biasanya mengikuti seperti anoreksia, nausea dan vomiting.

d. Integumen
10

Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan scalp. Selain

itu, biasanya juga menunjukkan adanya purpura, ekimosis, petechiae, dan

timbunan urea pada kulit.

e. Neurologis

Biasanya ditunjukkan dengan adanya neuropathy perifer, nyeri gatal

pada lengan dan kaki. Selain itu, juga adanya kram pada otot dan refleks

kedutan, daya memoti menurun, apatis, rasa kantuk meningkat, iritabilitas,

pusing, koma, dan kejang. Dari hasil EEG menunjukkan adanya perubahan

metabolik encephalophaty.

f. Endokrin

Bisa terjadi infertilitas dan penurunan libido, amennorrhea dan

gangguan siklus menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi sperma,

peningkatan sekresi aldesteron, dan kerusakan metabolisme karbohidrat.

g. Hematopoitiec

Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah,

trombositopenia (dampak dan dialysis), dan kerusakan platelet. Biasanya

masalah yang serius pada sistem hematologi ditunjukan dengan adanya

perdarahan (purpura, ekimosis, dan petechiae).

h. Muskuloskeletal

Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur pathologis,

dan kalsifikasi (otak, mata, gusi, sendi, miokard).

5. Pemeriksaan
11

Berikut ini adalah pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk

menegakkan diagnosa gagal ginjal kronik, antara lain[ CITATION Pra14 \l

1033 ]:

a. Biokimiawi

Pemeriksaan utama dari analisa fungsi ginjal adalah ureum dan

keratinin plasma. Untuk hasil yang lebih akurat untuk mengetahui fungsi

ginjal adalah dengan analisa creatinine clearence (klirens kreatinin). Selain

pemeriksaan fungsi ginjal (Renal Function Test), pemeriksaan kadar elektrolit

juga harus dilakukan untuk mengetahui status keseimbangan elektrolit dalam

tubuh sebagai bentuk kinerja ginjal.

b. Urinalisis

Urinalisis dilakukan untuk menapis ada/tidaknya infeksi pada ginjal

atau perdarahan aktif akibat inflamasi pada jaringan parenkim ginjal.

c. Ultrasonografi ginjal

Gambaran dari ultrasonografi akan memberikan informasi yang

mendukung untuk menegakkan diagnosis gagal ginjal. Pada klien gagal ginjal

biasanya menunjukan adanya obstruksi atau jaringan parut pada ginjal. Selain

itu, ukuran dari ginjal pun akan terlihat.

6. Penatalaksanaan

Mengingat fungsi ginjal yang rusak sangat sulit untuk dilakukan

pengembalian, maka tujuan dari penatalaksanaan klien gagal ginjal kronik

adalah untuk mengoptimalkan fungsi ginjal yang ada dan mempertahankan

kesimbangan secara maksimal untuk memperpanjang harapan hidup klien.


12

Sebagai penyakit yang kompleks, gagal ginjal kronik membutuhkan

penatalaksanaan terpadu dan serius, sehingga akan meminimalisir komplikasi

dan meningkatkan harapan hidup klien. Oleh karena itu, beberapa hal yang

harus diperhatikan dalam melakukan penatalaksanaan pada klien gagal ginjal

kronik, sebagai berikut[ CITATION Pra14 \l 1033 ]:

a. Perawatan kulit yang baik

Perhatikan higiene kulit penderita dengan baik melalui personal hygiene

(mandi/seka) secara rutin. Gunakan sabun yang mengandung lemak dan

lotion tanpa alkohol untuk mengurangi rasa gatal. Jangan gunakan

gliserin/sabun yang mengandung gliserin karena akan mengakibatkan kulit

tambah kering.

b. Jaga kebersihan oral

Lakukan perawtan oral hygiene melalui sikat gigi denga bulu sikat yang

lembut/spon. Kurangi konsumsi gula (bahan makanan manis) untuk

mengurangi rasa tidak nyaman di mulut.

c. Beri dukungan nutrisi

Kolaborasi dengan nutritionist untuk menyediakan menu makanan

favorit sesuai dengan anjuran diet.

1) Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam

Biasanya diusahakan sehingga tekanan vena jugularis sedikit meningkat

dan terdapat edema betis ringan. Pengawasan dlakukan melalui berat badan,

urin dan pencatatan keseimbangan cairan.

2) Diet tinggi kalori dan rendah protein


13

Diet rendah protein (20-40 g/hari) dan tinggi kalori menghilangkan

gejala anoreksia dan nausea dari uremia, menyebabkan penurunan uremia,

menyebabkan penurunan ureum dan perbaikan gejala. Hindari masukan

berlebih dari kalium dan garam.

3) Kontrol ketidakseimbangan elektrolit

Yang sering ditemukan adalah hiperkalemia dan asidosis berat. Untuk

mencegah hiperkalemia, dihindari masukan kalium yang besar (batasi hingga

60 mmol/hari), diuretik hemat kalium, obat-obat yang berhubungan dengan

ekskresi kalium (misalnya, penghambat ACE dan obat anti inflamasi

nonsteroid), asidosis berat, atau kekurangan garam yang menyebabkan

pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaliuresis. Deteksi melalui kadar

kalium plasma dan EKG.

d. Pantau adanya hiperkalemia

Hiperkalemia biasanya ditunjukkan dengan adanya kejang/kram pada

lengan dan abdomen, dan diarea. Selain itu pemantauan hiperkalemia dengan

hasil EKG. Hiperkalemia bisa diatasi dengan dialisis.

e. Atasi hiperfosfatemia dan hipokalsemia

Kondisi hiperfosfatemia dan hipokalsemia bisa diatasi dengan

pemberian antasida (kandungan alumunium/kalsium karbonat).

f. Kaji status hidrasi dengan hati-hati

Dilakukan dengan memeriksa ada/tidaknya distensi vena jugularis,

ada/tidaknya crackles pada auskultasi paru. Selain itu, status hidrasi bisa

dilihat dari keringat berlebihan pada aksila, lidah yang kering, hipertensi, dan
14

edema perifer. Cairan hidrasi yang diperbolehkan adalah 500-600 ml atau

lebih dari haluan urine 24 jam.

g. Kontrol tekanan darah

Tekanan diupayakan dalam kondisi normal. Hipertensi dicegah dengan

mengontrol volume intravaskuler dan obat-obatan antihipertensi.

h. Pantau ada/tidaknya komplikasi pada tulang dan sendi.

i. Latih klien napas dalam dan batuk efektif untuk mencegah terjadinya

kegagalan napas akibat obstruksi.

j. Jaga kondisi septic dan aseptic setiap prosedur perawatan (pada perawatan

luka operasi).

k. Observasi adanya tanda-tanda perdarahan

Pantau kadar hemoglobin dan hematokrit klien. Pemberian heparin

selama klien menjalani dialysis harus disesuaikan dengan kebutuhan.

l. Observasi adanya gejala neurologis

Laporkan segera jika dijumpai kedutan, sakit kepala, kesadaran

delirium, dan kejang otot. Berikan diazepam/fenitoin jika dijumpai kejang.

m. Atasi komplikasi dari penyakit

Sebagai penyakit yang sangat mudah menimbulkan komplikasi, maka

harus dipantau secara ketat. Gagal jantung kongestif dan edema pulmonal

dapat diatasi dengan membatasi cairan, diet rendah natrium, diuretik, preparat

inotropik (digitalis/dobutamin) dan dilakukan dialysis jika perlu. Kondisi

asidosis metabolik bisa diatasi dengan pemberian natrium bikarbonat atau

dialysis.
15

n. Laporkan segera jika ditemui tanda-tanda perikarditis (friction rub dan nyeri

dada).

o. Tata laksana dialysis/transplantasi ginjal

Membantu mengoptimalkan fungsi ginjal maka dilakukan dialysis. Jika

memungkinkan koordinasikan untuk dilakukan transplantasi ginjal.

7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronik

adalah[ CITATION Pra14 \l 1033 ]:

a. Penyakit tulang

Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan

mengakibatkan dekalsifikasi matriks tulang, sehingga tulang akan menjadi

rapuh (osteoporosis) dan jika berlangsung lama akan menyebabkan fraktur

pathologis.

b. Penyakit kardiovaskuler

Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara

sistematik berupa hipertensi, kelainan lipid, intoleransi glukosa, dan kelainan

hemodinamik (sering terjadi hipertrofi ventrikel kiri).

c. Anemia

Selain berfungsi dalam sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam rangkaian

hormonal (endokrin). Sekresi eritropoetin yang mengalami defisiensi di ginjal

akan mengakibatkan penurunan hemoglobin.

d. Disfungsi seksual
16

Dengan gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering mengalami

penurunan dan terjadi impotensi pada pria. Pada wanita, dapat terjadi

hiperprolaktinemia.

B. Tinjauan Umum tentang Hemodialisa

1. Pengertian

Hemodialisa adalah suata teknologi tinggi sebagai terapi pengganti

fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu

dari peredaran darah manusia sperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea,

kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeable

sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi

proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Dialisis bisa digunakan sebagai

pengobatan jangka panjang untuk GGK atau sebagai pengobatan sementara

sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal[CITATION Rud13 \l 1033 ].

Hemodialisa adalah suata teknologi tinggi sebagai terapi pengganti

fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu

dari peredaran darah manusia sperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea,

kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeable

sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi

proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi [CITATION Ren12 \l 1057 ].

2. Peralatan hemodialisa

Menurut Haryono [CITATION Rud13 \n \t \l 1033 ] peralatan hemodialisa

adalah:
17

a. Dialiser (Dialyzer)

Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan

kompartemen darah dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur

fisik dan tipe membran yang digunakan untuk membentuk kompartemen

darah. Semua faktor ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang mengacu

pada kemampuannya membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa

(klirens). Adapun fungsi dari dialiser yaitu:

1) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat.

2) Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara

darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus darah

dan tekanan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat (proses

ultrafiltrasi).

3) Memepertahankan dan mengembalikan sistem buffer tubuh.

4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

b. Dialisat atau cairan dialisis

Dialisat atau bath adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama

dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam sistem bersih dengan air keran

dan bahan kimia disaring. Bukan merupakan sistem yang steril, karena

bakteri terlalu besar untuk melewati membran dan potensial terjadi infeksi

pada penderita minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat

menyebabkan reaksi pirogenik, air untuk dialisat harus aman secara

bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik komersial.


18

Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis, tetapi dapat dibuat

variasinya untuk memenuhi kebutuhan penderita tertentu.

Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu penderita,

sistem pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit penderita.

Pada kedua sistem, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan alat pengukur

serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air.

c. Asesori peralatan

Peranti keras yang digunakan pada kebanyakan sistem dialisat meliputi

pompa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk

pendeteksi suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat,

perubahan tekanan, udara dan kebocoran darah.

3. Kapan harus hemodialisa

Cuci darah dilakukan jika[CITATION Ren12 \l 1057 ]:

a. Kelainan fungsi otak (ensefalopati uremik)

b. Perikarditis (Peradangan kantong jantung)

c. Asidosis (peningkatan keasaman darah) yang tidak memberikan respon

terhadap pengobatan lainnya.

d. Gagal Jantung

e. Hiperkalemia (kadar kalium yang sangat tinggi dalam darah)

4. Keunggulan hemodialisa

Adapun keunggulan dari CAPD, antara lain[CITATION Ren12 \l 1057 ]:

a. Proses dialysis peritoneal ini tidak menimbulkan rasa sakit.

b. Membutuhkan waktu yang singkat, terdiri dari 3 langkah.


19

1) Pertama, masukkan dialisat berlangsung selama 10 menit.

2) Kedua, cairan dibiarkan dalam rongga perut untuk selama periode waktu

tertentu (4-6 jam).

3) Ketiga, pengeluaran cairan yang berlangsung selama 20 menit.

c. Ketiga proses diatas dilakukan beberapa kali tergantung kebutuhan dan bisa

dilakukan oleh pasien sendiri secara mandiri setelah dilatih dan tidak perlu ke

rumah sakit.

5. Komplikasi pada hemodialisa

Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering terjadi pada

saat dilakukan terapi adalah[CITATION Ren12 \l 1057 ]:

a. Hipotensi.

b. Kram otot.

c. Mual atau muntah.

d. Sakit kepala.

e. Sakit dada.

f. Gatal-gatal.

g. Demam dan menggigil.

h. Kejang

6. Prosedur hemodialisa

Setelah pengkajian pra dialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa

keamanan peralatan, perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses

ke sistem sirkulasi dicapai melalui salah satu dari beberapa pilihan: fistula

atau tandur arteriovenosa (AV) atau kateter hemodialisis dua lumen. Dua
20

jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk mengkanulasi

fistula atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena

subklavikula, jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi

aseptik sesuai dengan kebijakan institusi[CITATION Rud13 \l 1033 ].

Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh

pompa darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan

sebagai aliran arterial, keduanya untuk membedakan darah yang masuk ke

dalamnya sebagai darah yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan

untuk meletakkan jarum. Jarum arterial diletakkan paling dekat dengan

anastomosis AV pada fistula atau tandur untuk memaksimalkan aliran darah.

Kantong cairan normal salin yang diklem selalu disambungkan ke sirkuit

tepat sebelum pompa darah. Pada kejadian hipotensi, darah yang mengalir

dari penderita dapat diklem sementara cairan normal salin yang diklem

dibuka dan memungkinkan dengan cepat untuk memperbaiki tekanan darah.

Tranfusi darah dan plasma ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit

pada keadaan ini dan dibiarkan menetes, dibantu pompa darah. Infus heparin

dapat diletakkan sebelum ataupun sesudah pompa darah, tergantung peralatan

yang digunakan[CITATION Rud13 \l 1033 ].

Dialiser adalah komponen pentingselanjutnya dari sirkuit. Darah

mengalir ke dalam kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya

pertukaran cairan dan zat sisa. Darah yang meninggalkan dialiser melewati

detector udara dan foam yang mengklem dan menghentikan pompa darah bila

terdeteksi adanya udara. Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan
21

diberikan pada dialisis diberikan melalui port obat-obatan. Penting untuk

diingat, bagaimanapun, bahwa kebanyakan obat-obatan ditunda

pemberiannya sampai dialisis selesai kecuali memang diperintahkan[CITATION

Rud13 \l 1033 ].

Darah yang telah melewati dialisis kembali ke penderita melalui venosa

atau selang post dialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialisis

diakhiri dengan mengklem darah dari penderita, membuka selang aliran

normal salin, dan membilas sirkuit untuk mengembalikan darah penderita.

Selang dan dialiser dibuang ke dalam perangkat akut, meskipun program

dialisis kronik sering membeli peralatan untuk membersihkan dan

menggunakan ulang dialiser. Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti

dengan teliti sepanjang tindakan dialisis karena pemajanan terhadap darah.

Masker pelindung wajah dan sarung tangan wajib digunakan oleh perawat

yang melakukan hemodialis[CITATION Rud13 \l 1033 ].

C. Tinjauan Umum tentang Self Management

1. Pengertian

Self management merupakan salah satu teknik dalam konseling

behavior, yang mempelajari tingkah laku (individu manusia) yang bertujuan

merubah perilaku maladaptif menjadi adaptif. Self management adalah suatu

prosedur dimana individu mengatur perilakunya sendiri. Dalam penerapan

teknik self management tanggung jawab keberhasilan konseling berada di

tangan konseli. Konselor berperan sebagai pencetus gagasan, fasilitator yang


22

membantu merancang program serta motivator bagi konseli[ CITATION Sad16 \l

1033 ].

Menurut Mochammad Nusalim (2013) dalam Salmiati & Astuti

[CITATION Sal18 \n \t \l 1033 ] bahwa self-management adalah suatu proses di

mana konseli mengarahkan perubahan tingkah laku mereka sendiri dengan

menggunakan satu strategi atau kombinasi strategi. Terkait dengan kasus

perilaku agresif siswa, dalam penerapan teknik self manajement guru

pembimbing berperan membantu siswa agar mereka dapat mengembangkan

potensi dan memecahkan setiap masalahnya dengan mengimplementasikan

seperangkat prinsip atau teknik tersebut.

2. Tahap self management

Menurut Soekadji dalam Sa’diyah, dkk., [CITATION Sad16 \n \t \l 1033 ] ,

ada empat tahap untuk menerapkan teknik self management ini, yaitu:

a. Tahap monitor atau observasi diri, pada tahap ini subjek atau siswa dengan

sengaja mengamati perilakunya sendiri dan mencatat jenis, waktu, durasi

perilaku yang ada pada diri subjek yang akan dimodifikasi.

b. Mengatur lingkungan, pada tahap ini lingkungan perlu diatur, sehingga dapat

mengurangi atau meniadakan perilaku-perilaku yang memungkinkan

mendapatkan pengukuhan segera.

c. Tahap evaluasi diri, pada tahap ini subjek membandingkan apa yang tercatat

sebagai kenyataan dengan apa yang seharusnya dilakukan. Catatan data

observasi perilaku yang teratur sangat penting untuk mengevaluasi efisiensi


23

dan efektivitas program. Bila evaluasi data menunjukkan bahwa program

tidak berhasil, maka perlu ditinjau kembali.

d. Tahap pemberian pengukuhan, penghapusan atau hukuman. Pada tahap ini

diperlukan kemauan diri yang kuat untuk menentukan dan memilih

pengukuhan apa yang perlu segera dihadirkan atau perilaku mana yang segera

dihapus dan bahkan hukuman diri sendiri apa yang harus segera diterapkan.

Melalui teknik self management dengan empat tahap itulah agresifitas remaja

diharapkan berubah.

3. Faktor yang dapat meningkatkan self-management

Hasil identifikasi bahwa usia, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan,

dukungan sosial, keparahan gejala dan komorbiditas merupakan beberapa

faktor yang dapat mempengaruhi self-management pada pasien dengan

penyakit kronis, salah satunya penyakit DM. Menurut Chlebowy et.all,

menjelaskan bahwa faktor eksternal dan faktor internal dapat mempengaruhi

self-management. Faktor eksternal meliputi kepatuhan penderita terhadap

self-management itu sendiri yang meliputi dukungan keluarga, kelompok

sebaya, dan tim medis yang dapat memberikan arahan yang dapat

memberikan arahan, penghargaan serta pengetahuan terkait penyakit yang

mereka derita. Faktor internal terkait rintangan untuk melakukan self-

management itu sendiri seperti ketakutan untuk melakukan cek glukosa

darah, rendahnya kesadaran untuk mengontrol diri sendiri terkait kebiasaan

makan, fikiran-fikran terkait kegagalan dalam melakukan program, serta


24

perasaan merasa kurangnya kontrol diri terhadap control penyakitnya

[ CITATION Peñ15 \l 1033 ].

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi diabetes self

management seseorang, adalah sebagi berikut:

a. Edukasi

Self-management dapat tercapai dengan dengan edukasi terkait diabetes

self-management. Edukasi dapat menyiapkan pasien terkait penyakitnya dan

bagaimana pasien harus berprilaku, memberikan pengetahuan bagaimana cara

merubaha gaya hidup. Harapan dari edukasi ini adalah agar pasien dapat lebih

memahami terkait penyakitnya dan dapat berperan aktif dalam perawatan

diabetes. Pengetahuan serta pemahaman yang baik merupakan komponen

terpenting untuk memberikan kesadaran pada pasien mengenai self-

management pada penyakit mereka.

b. Self monitoring of blood glucose (SBMG)

Self monitoring of blood glucose (SBMG) dan mengukur tekanan darah

merupakan komponenen terpenting untuk memantau kondisi penderita.

Monitoring terhadap glukosa darah merupakan hal penting pada pasien

DMT2, penderita akan lebih mandiri dalam menangani penyakit mereka

dengan cara memonitori kadar glukosa darah. mereka akan mendapatkan

pemahaman yang baik terkait faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

penyakit mereka sehingga mereka dapat merasakan kualitas hidup yang lebih

baik.
25

c. Kebudayaan

Kebudayaan sangat berpengaruh dalam kesehatan serta dapat

mempengaruhi tujuan dari kesembuhan. Beberapa jenis etnis tertentu dan

kelompok minoritas disuatu daerah biasanya akan dapat mempengaruhi sikap,

kepercayaan, dan nilai-nilai terkait kesehatan.

d. Dukungan keluarga

Ketika keluarga terlibata dalam proses self-management mereka dapat

memberikan dukungan yang nantinya akan dapat membantu mencapai tujuan

pengobatan. Pasien dengan tingkat dukungan keluarga yang baik

menunjukkan perilaku self management yang baik. Karakter dari keluarga

yang sehat meliputi komunikasi yang baik, perilaku saling mendukung seperti

memberikan kepercayaan, menghibur dan bermain, berbagi tanggung jawab,

bersedia menolong anggota keluarga lainnya dalam menyelesaikan

masalahnya. Anggota keluarga dapat mendukung kegiatan self-management

pasien dengan meningkatkan kesadaran pasien dan membantu pasien dalam

menentukan tujuan dari pengobatan serta rencana yang akan dilakukan.

e. Tingkat pengetahuan pasien

Kurangnya tingkat pengetahuan merupakan penghalang bagi pasien

dalam mengelola self-management. Pasien dengan tingkat pengetahuan

rendah mengenai penyakit mereka akan kesusahan untuk mempelajari skill

yang dibutuhkan dalam perawatan.


26

f. Motivasi dan faktor psikologis

Motivasi merupakan penghalang terbesar untuk melakukan self-

management. Motivasi merupakan faktor ekstrinsik yang meliputi tipe

motivasi yang disediakan oleh tim medis. Beberapa penelitian menunjukkan

mengenai efek negatif terhadap individu dalam mengurus diri mereka. Pasien

menjadi tidak tertarik dan tidak ingin membuat keputusan untuk mampu

menyelesaikan pengobatan.

D. Penelitian Terkait

Tabel 1
Sintesa Hasil Penelitian Sebelumnya
Populasi dan
Judul penelitian Jenis Hasil
sampel
Purba, Deskriptif Populasi dalam Hasil penelitian
Emaliyawati, & kuantitatif penelitian ini menunjukkan self
Sriati [CITATION adalah semua efficacy pada pasien
Pur183 \n \l 1033 ] pasien dengan dengan gagal ginjal
gagal ginjal kronik kronis dengan
dengan hemodialisis tinggi
hemodialisis (54,7%) dan perilaku
dengan jumlah self management
sampel melibatkan berada dalam kategori
75 pasien. baik (53,3%).
Wijayanti, Analitik Populasi pada Hasil penelitian
Dinarwiyata, & dengan penelitian ini menunjukkan self
Tumini [CITATION pendekatan adalah 60 pasien care management
Wij172 \n \l 1033 ] cross hemodialisis yang pasien penyakit ginjal
sectional terjadwal perhari, kronik yang menjalani
yang berobat di hemodialisa di RSUD
poli hemodialisa Dr. Soetomo Surabaya
RSUD Dr.Soetomo sebagian besar
Surabaya dengan (53,8%) telah
jumlah sampel mencapai kategori
sebanyak 52 orang. sedang.
Jasitasari & Bahri Deskriptif Populasi adalah Hasil penelitian
[CITATION Jas \n \l eksploratif semua pasien menunjukkan bahwa
1033 ] hemodialisa di Unit perilaku mengontrol
Dialisis Rumah cairan di Rumah Sakit
Sakit Umum Umum Daerah dr.
27

Daerah dr. Zainoel Zainoel Abidin Banda


Abiidin Banda Aceh ada pada
Aceh dengan kategori baik,
jumlah sampel sebanyak 54 orang
sebanyak 92 pasien (58,7%).
hemodialisis.
Wijayanti, Isroin, Deskriptif Populasi sebanyak Hasil penelitian
& Purwanti 250 pasien terhadap 38 responden
[CITATION hemodialisis di didapatkan 20
Wij171 \n \l 1033 ] RSUD Dr. Harjono responden (52,63%)
Ponorogo dengan memiliki perilaku
sampel sebanyak buruk dan 18
38 responden. responden (47,36%)
memiliki perilaku
baik.

V. KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti

Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering terjadi pada

saat dilakukan terapi adalah hipotensi akibat kekurangan cairanSehingga

dibutuhkan self manajegement dalam memperbaiki kondisi pasien selama

hemodialisa salah satunya pengelolaan diet nutrisi. Self manajegement dalam

pengelolaan diet nutrisi adalah suatu proses pengambilan keputusan secara

aktif yang meliputi pemilihan tingkah laku untuk mempertahankan stabilitas

fisilogis (maintenance) serta bagaimana keyakinan pasien terhadap

keseluruhan upaya self care yang telah dilakukannya (confidence) [ CITATION

Her161 \l 1033 ]. Namun, self manajegement bersifat kompleks dan

membutuhkan dukungan dalam manajemen diri harian dari penyakit mereka.

Program manajemen diri adalah penting bagi individu dan dalam

meningkatkan keterampilan yang dapat diterapkan untuk mengelola sendiri

penyakitnya [ CITATION Hav16 \l 1033 ].


28

B. Pola Pikir Variabel yang Diteliti

Pasien chronic kidney


Self Management disease yang menjalani
hemodialisa

Gambar 2. Bagan Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

Self management pasien chronic kidney disease yang menjalani hemodialisa

Self management adalah upaya dari responden untuk untuk mengelola

hidup dengan penyakit kronis yang melibatkan pemantauan kondisi,

mengikuti perawatan dan menanggapi mempertahankan kualitas hidup seperti

memodifikasi diet selama sakit yang diuji menggunakan kuesioner sebanyak

25 item pertanyaan yang telah disediakan.

Kriteria Objektif :

Mampu : bila skor jawaban responden 77-100

Kurang mampu : bila skor jawaban responden 51-76

Tidak mampu : bila skor jawaban responden 25-50

VI. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

deskriptif yaitu suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk

mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah

maupun fenomena buatan manusia[ CITATION Don15 \l 1033 ].


29

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi

Penelitian ini akan dilaksanakan di ruang hemodialisis RSUD Labuang

Baji Makassar.

2. Waktu

Waktu penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan November sampai

Desember 2019.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah Populasi adalah kumpulan atau

agregat objek/unit analisis kemana generalisasi dirumuskan dan dari mana

sampel diambil [ CITATION Don15 \l 1057 ]. Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh pasien chronic kidney disease yang menjalani hemodialisis di

RSUD Labuang Baji Kota Makassar yaitu sebanyak 34 orang.

2. Sampel

Sampel merupakan sebagian dari jumlah dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya

[ CITATION Don15 \l 1057 ] . Sampel dalam penelitian ini adalah pasien chronic

kidney disease yang menjalani hemodialisis di RSUD Labuang Baji Kota

Makassar yaitu sebanyak 34 orang.


30

3. Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling.

Total sampling adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi

digunakan sebagai sampel [ CITATION Don15 \l 1033 ].

D. Pengumpulan Data

1. Jenis data

a. Data primer

Data primer adalah data yang diambil langsung oleh peneliti dari subjek

penelitian. Data primer diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan

menggunakan lembar observasi yang telah disediakan.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak

langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitinya. Pengumpulan data

sekunder diperoleh dari RSUD Labuang Baji Makassar.

2. Instrumen

Instrument yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner yaitu

merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi

seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada para responden untuk

dijawab. Kuesioner Self management bersumber dari penelitian Hermawati

[CITATION Her16 \n \t \l 1033 ] dengan nilai Cronbach's Alpha sebesar 0.832.

Pertanyaan Self management berisi 25 item pertanyaan. Self care

management terdiri 6 (enam) item pertanyaan yang terbagi atas 1 (satu) item

pertanyaan symptom recognize dengan skala penilaian Likert yaitu 1= tidak


31

cepat mengenalinya, 2= agak cepat mengenali, 3= cepat mengenali, dan 4=

sangat cepat mengenali, 4 (empat) item pertanyaan untuk treatment

implementation dengan skala penilaian rentang yaitu 1= tidak pernah, 2=

kadang-kadang, 3= sering, dan 4= selalu, dan 1 (satu) item pertanyaan untuk

treatment evaluation dengan skala penilaian Likert yaitu 1 = tidak yakin, 2 =

agak yakin, 3 = yakin, dan 4= sangat yakin. Dimensi self care confidence

memiliki 11 (sebelas) item pertanyaan dengan skala penilaian Likert yaitu 1=

tidak yakin, 2= agak yakin, 3= yakin, dan 4= sangat yakin. Hasil skor

pengukuran self care berdasarkan skor total rentang 25-100.

3. Prosedur penelitian

Dalam melakukan pengumpulan data peneliti mengambil data terlebih

dahulu buku register RSUD Labuang Baji Makassar. Setelah data terkumpul,

selanjutnya dikategorikan sampel yang ingin diteliti, sampel yang ingin

diteliti dikelompokkan menjadi 1 kelompok. Kemudian dilakukan pemberian

kuesioner pada pasien untuk mengetahui self management pasien chronic

kidney disease yang menjalani hemodialisa.

E. Pengolahan Data

1. Editing

Hasil wawancara atau angket yang diperolehkan atau dikumpulkan

melalui kuesioner perlu disunting (edit) terlebih dahulu. Kalau tenyata masih

ada data atau informasi yang tidak lengkap, dan tidak mungkin dilakukan

wawancara ulang, maka kuesioner tersebut dikeluarkan (drop out).


32

2. Coding sheet (membuat lembaran kode atau kartu kode).

Lembaran atau kartu kode adalah instrument berupa kolom-kolom

untuk merekam data secara manual. Lembaran atau kartu kode berisi nomor

responden, dan nomor-nomor pertanyaan.

3. Data entry (memasukan data)

Yakni mengisi kolom-kolom atau kotak-kotak lembar atau kartu kode

sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan.

4. Tabulasi

Yakni membuat tabel-tabel data, sesuai dengan tujuan penelitian atau

yang diinginkan oleh peneliti [ CITATION Soe \l 1033 ].

F. Analisis Data

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini

menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel [CITATION

Soe \t \l 1057 ].

G. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan dalam bentuk tebal distribusi frekuensi

variabel yang disertai dengan penjelasan.

H. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya

rekomendasi dari pihak institusi atas pihak lain dengan mengajukan

permohonan ijin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini Ketua

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Makassar. Setelah mendapat persetujuan


33

barulah dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika penelitian

yang meliputi [ CITATION Paw17 \l 1033 ]:

1. Lembar persetujuan (Informed consent) merupakan bentuk persetujuan antara

peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan

sebelum penelitian dilakukan agar subjek mengerti maksud dan tujuan

penelitian dan mengetahui dampaknya.

2. Tanpa nama (Anonymity) merupakan masalah yang memberikan jaminan

dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan

kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan

disajikan.

3. Kerahasiaan (Confidential) merupakan masalah etika dengan memberikan

jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-

masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan

dilaporkan pada hasil riset.


DAFTAR PUSTAKA

Aisara, S., Azmi, S., & Yanni, M. (2018). Gambaran Klinis Penderita Penyakit
Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 7 (1), 42-50.
Astuti, P., Herawati, T., & Kariasa, I. M. (2018). Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Self Management pada Pasien Hemodialisis di
Kota Bekasi. Healthcare Nursing Journal, Vol 1 No 1, 1-12.
Barbosa, J., Moura, E., Lira, C., & Marinho, P. (2017). Quality of Life and
Duration of Hemodialysis in Patients with Chronic Kidney Disease
(CKD): A Cross-Sectional Study. Fisioter. Mov. Curitiba, Vol. 30, No. 4,
781-788.
Costa, G., Pinheiro, M., Medeiros, S., Costa, R., & Cossi, M. (2016). Quality of
Life of Patients With Chronic Kidney Disease Undergoing Hemodialysis.
Enfermeria Global Nº 43, 87-99.
Dinkes Sulsel. (2015). Profil Kesehatan Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2014. Makassar: Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan.
Gerasimoula, K., Lefothea, L., Maria, L., Victoria, A., Paraskevi, T., & Maria, P.
(2015). Quality of Life in Hemodialysis Patients. Mater Sociomed.
Volume 27 (5), 305-309.
Haryono, R. (2018). Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: Rapha Publishing.
Havas, K., Bonner, A., & Douglas, C. (2016). Self-Management Support for
People with Chronic Kidney Disease: Patient Perspectives. Journal of
Renal Care 42 (1), 7-14.
Hermawati. (2016). Pengaruh Self Management Dietary Counseling (SMDC)
Terhadap Kemampuan Self Care dan Status Nutrisi pada Pasien
Hemodialisa. Tesis Program Magister Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Hermawati, Hidayati, T., & Chayati, N. (2016). Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Self Care Diet Nutrisi Pasien Hemodialisa di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. GASTER Vol. XIV No. 2, 38-49.
Hidayati, W. (2013). Metode Perawatan Pasien Gangguan Sistem Perkemihan
(Aplikasi Konsep Orem "Self Care Deficit" dan Studi Kasus). Jakarta:
Kencana.
Infodatin. (2017). Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta Selatan: Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Luyckx, V. A., Tonelli, M., & Stanifer, J. W. (2018). The Global Burden of
Kidney Disease and The Sustainable Development Goals. Bulletin of the
World Health Organization, Volume 96, Number 6, 414-422D.
Notoatmodjo, S. (2014). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Pawenrusi, E. P., Syatriani, S., Efendi, S., & Bustan, M. N. (2017). Pedoman
Penulisan Skripsi. Makassar: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Makassar.
Peñarrieta, M. I., Barrios, F. F., Gómez, T. G., Martínez, S. P., Gonzalez, E. R., &
Valle, L. Q. (2015). Self-Management and Family Support in Chronic
Diseases. Journal of Nursing Education and Practice, Vol. 5, No. 11, 73-
80.
Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Purba, A. K., Emaliyawati, E., & Sriati, A. (2018). Self-Management and Self-
Effcacy in Hemodialysis Patients. Journal of Nursing Care, Volume 1
Issue 2, 129-139.
Rendy, M. C., & Margareth. (2017). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sa’diyah, H., Chotim, M., & Triningtyas, D. A. (2016). Penerapan Teknik Self
Management untuk Mereduksi Agresifitas Remaja. Jurnal Ilmiah
Counsellia, Volume 6 No. 2, 67-78.
Salmiati, & Astuti, N. (2018). Penerapan Teknik Self Management Dalam
Mengurangi Tingkat Perilaku Agresif Siswa. Jurnal Konseling Andi
Matappa, Volume 2 Nomor 1, 67-71.
Setiawan, D., & Prasetyo, H. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan Untuk
Mahasiswa Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Vassalotti, J. A., Centor, R., Turner, B. J., Greer, R. C., Choi, M., & Sequist, T. D.
(2016). Practical Approach to Detection and Management of Chronic
Kidney Disease for the Primary Care Clinician. The American Journal of
Medicine, Vol 129, No 2, 153-162.
Wijaya, A., & Putri, Y. (2013). KMB 2: Keperawatan Medikal Bedah
(Keperawatan Dewasa). Yogyakarta: Nuha Medika.
Wijayanti, D., Dinarwiyata, & Tumini. (2017). Self Care Management Pasien
Hemodialisa Ditinjau dari Dukungan Keluarga di RSUD Dr.Soetomo
Surabaya. Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 6 No. 1, 109-117.

Anda mungkin juga menyukai