PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal Ginjal Kronik merupakan penurunan fungsi ginjal progresif
yang ireversibel ketika ginjal tidak mampu mempertahankan
keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang menyebabkan
terjadinya uremia dan azotemia (Bayhakki, 2012). Gagal ginjal kronik
secara progresif kehilangan fungsi ginjal nefronnya satu persatu yang
secara bertahap menurunkan keseluruhan fungsi ginjal (Sjamsuhidajat &
Jong, 2011). Ginjal merupakan salah satu organ penting di dalam tubuh,
yang berfungsi untuk menyaring (filtrasi) dan mengeluarkan zat-zat sisa
metabolisme (racun) dari darah menjadi urine. Pada keadaan gagal ginjal
kronik (Chronic Renal Failure) terjadi penurunan fungsi ginjal secara
progresif dan tidak dapat pulih kembali.
Menurut WHO (World Health Organization), pada tahun 2005
proporsi kesakitan dan kematian di dunia yang disebabkan oleh penyakit
tidak menular sebesar 47% kesakitan dan 54% kematian, dan diperkirakan
pada tahun 2020 proporsi kesakitan ini akan rneningkat menjadi 60% dan
proporsi kematian menjadi 73%. Menurut WHO, pada tahun 2008
terdapat 57 juta kematian di dunia, dimana Proportional Mortality Rate
(PMR) penyakit tidak menular di dunia adalait sebesar 36 juta (63%)
(WHO, 2011). Angka penyakit tidak menular juga terus mengalami
peningkatan. Salah satu penyakit tidak menular yang juga mengalami
peningkatan adalah Gagal Ginjal Kronik (GGK) (Bustan, 2015).
The United States Renal Data System (USRDS) mencatat bahwa
jumlah pasien yang dirawat karena end stage renal disease (ERDS) atau
gagal ginjal kronis global diperkirakan 3.010.000 pada tahun 2012 dengan
tingkat pertumbuhan 7%. Prevalensi gagal ginjal kronis terus mengalami
peningkatan, misalnya, di Taiwan (2.990/1.000.000 penduduk), jepang
1
(2.590/1.000.000 penduduk), dan Amerika Serikat (2.020/1.000.000
penduduk) (ESRD, 2012).
Tingginya prevalensi gagal ginjal kronis juga terjadi di Indonesia,
karena angka ini dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Jumlah
penderita gagal ginjal kronis di Indonesia pada tahun 2011 tercatat 22.304
dengan 68,8% kasus baru dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 28.782
dengan 68,1% kasus baru (PERNEFRI, 2012). Menurut data Riset
Kesehatan Dasar (Riskedas) tahun 2013, gagal ginjal kronis masuk dalam
daftar 10 penyakit tidak menular.
Prevalensi gagal ginjal di Indonesia sekitar 0,2%. Prevalensi pada
kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan
umur 55-74 tahun (0,5%) dan tertinggi pada kelompok umur >75
tahun (0,6%). Prevalensi gagal ginjal kronis tertinggi di tiga provinsi yaitu
provinsi Sulawesi Tengah yaitu 0,5% kemudian provinsi Aceh, Sulawesi
Utara, Gorontalo yaitu 0,4% dan kemudian provinsi Jawa Tengah, Jawa
Barat, DIY, Jawa Timur, Banten yaitu sebesar 0,3%. Prevalensi gagal
ginjal tertinggi di Provinsi Jawa Tengah adalah Kabupaten Klaten 0,7%
(Kemenkes, 2013). Di Kota Surakarta, prevalensi gagal ginjal kronis
sebesar 0,0%, sedangkan prevalensi pada kelompok usia 15-24 tahun
(0,0%), 2534 tahun (0,1%), 35-44 tahun (0,3%), 45-54 tahun (0,4%), 55-
64 tahun (0,4%), 65T74 tahun (0,4%), 75+ tahun (0,6%).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup antara
lain usia, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, dan status gizi (Kurniawati
dan Asikin, 2018). Tingkat pendidikan erat kaitannya dengan tingkat
kesehatan. Karena masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah
akan tetap mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan
makanan, sehingga sulit menerima informasi di bidang gizi dan bidang
kesehatan lainnya. Tingkat pendidikan juga merupakan faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan, dengan tingkat pengetahuan yang
tinggi maka akan semakin mudah untuk menerima konsep hidup sehat
secara mandiri, kreatif, dan berkesinambungan.(Gambaran Tingkat
2
Pengetahuan Penyakit Ginjal dan Terapi Diet Ginjal dan Kualitas Hidup
Pasien Hemodialisis di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya)
Tingkat insiden beberapa kasus Gagal Ginjal Kronik dibutuhkan
upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien
dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan selain dengan perawatan
kuratif dan rehabilitatif bagi pasien dengan stadium terminal (Fitria C.N,
2010).
Menurut jurnal Rakernas Aipkemia (2016), pada pasien yang
mengalami CKD on HD awal menjalani hemodialisis hampir semua
antisipan mengeluh merasa stress, sedih, marah, tidak bisa menerima dan
menyangkal. Perasaan berduka yang di alami naik turun. Kecemasan,
depresi, dan ide untuk bunuh diri. Ada juga yang mengatakan khawatir
dengan kondisinya tidak mau berbagi dengan orang lain dan merasa putus
asa untuk melakukan pengobatan.
Berdasarkan jurnal keperawatan Sriwijaya (2016) beberapa klien
yang mengalami Gagal Ginjal Kronik menyatakan kualitas hidupnya
kurang baik karena sudah tidak mampu untuk bekerja, sehingga klien
merasa dirinya kurang berarti dan tidak dapat beraktualisasi diri seperti
sebelum sakit. Sebelum melakukan implementasi self care, klien diberi
pendidikan kesehatan tentang diet dan pembatasan cairan pada Gagal
Ginjal Kronik. Kemudian klien melakukan self care di rumah dalam
pengaturan diet dan pembatasan cairan. Pada saat awal minggu pertama
sangat berat dalam pelaksanaan self care mengingat beberapa kondisi yang
menyebabkan kesulitan pelaksanaan pembatsan cairan diantaranya adalah
kondisi lingkungan di daerah Provinsi Riau yang panas sehingga merasa
haus dan ingin minum terus menerus, kurangnya dukungan keluarga dalam
penyediaan diet yang sesuai dengan Gagal Ginjal Kronik.
Upaya tersebut dapat diwujudkan dengan dilakukannya
pengembangan dua peningkatan mutu perawatan paliatif yang tidak hanya
diperlukan pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan kesehatan dan non
kesehatan, tetapi kualitas kemampuan perawat dalam memberikan
perawatan yang sesuai dengan keadaan pasien berdasarkan pengetahuan,
3
sikap, dan keterampilan yang di miliki dan diperoleh dari pendidikan
dalam menjalankan program pelayanan tersebut. Karena kualitas sumber
daya manusia atau karyawan tersebut di ukur dari kinerja karyawan itu
sendiri (Notoatmodjo, 2007 dalam Kurniawati 2012). Perawatan paliatif
dapat di lakukan melalui intervensi dengan pendekatan psikologis
(psychological intervention) yang diharapkan mampu meningkatkan
adaptasi dan motivasi pasien sehingga mampu membangun mekanisme
koping yang efektif dan dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Dhina
Widayati dan Nove Lestari, 2017 dalam Jurnal Ilmu Kesehatan)
Menurut Sagita Tifanny, dkk (2018) mengatakan keparahan gagal
ginjal kronik dengan kejadian jantung coroner memberikan hasil bahwa
penurunan laju filtrasi yang merupakan prediktor keparahan gagal ginjal
apabila semakin turun akan meningkatkan terjadinya kejadian penyakit
jantung koroner. Semakin besar derajat keparahan gagal ginjal kronik,
maka kejadian penyakit jantung coroner akan meningkat. Kejadian
penyakit jantung koroner juga dapat di sebabkan selain gagal ginjal kronik
seperti jenis kelamin, hipertensi, merokok, dislipidemia, dan diabetes
mellitus.
Menurut Hanafi, dkk (2016) dalam jurnal keperawatan mengatakan
kerjasama antara perawat dan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien. Seperti peran perawat dengan memberikan asuhan
keperawatan yang holistic dan sikap yang baik kepada pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis. Karena itu pelayanan keperawatan
yang holistic dari tenaga kesehatan membuat kualitas hidup pasien
penyakit gagal ginjal kronik dapat meningkat.
Berdasarkan fenomena dan fakta-fakta yang telah dijabarkan diatas
perlunya pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif pada klien
dengan GGK. Pada kesempatan ini, kelompok akan membahas mengenai
“Asuhan Keperawatan pada Klien dengan GGK di Ruang HCU IGD
Lantai 2 RSUP Fatmawati”. Diharapkan makalah ini dapat
4
menggambarkan proses pemberian asuhan keperawatan yang bermanfaat
dalam peningkatan kualitas pelayanan keperawatan.
B. Tujuan Penulis
1. Tujuan Umum
Memberikan gambaran tentang Asuhan Keperawatan pada Tn. F yang
mengalami Gagal Ginjal Kronik di Ruang HCU IGD Transit Lantai 2
RSUP Fatmawati.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu:
a. Menjelaskan anatomi fisiologi
b. Menjelaskan pengertian dari gagal ginjal kroni
c. Menjelaskan etiologi dari gagal ginjal kronik
d. Menjelaskan klasifikasi dari gagal ginjal kronik
e. Menjelaskan manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik
f. Menjelaskan patofisiologis dari gagal ginjal kronis
g. Menjelaskan komplikasi dari gagal ginjal kronik
h. Menjelaskan pemeriksaan penunjang dari gagal ginjal kronik
i. Menjelaskan penatalaksanaan dari gagal ginjal kronik
j. Menjelaskan konsep dasar Asuhan keperawatan gagal ginjal kronik
C. Manfaat Penulisan
1. Penulis
Menambah pengetahuan serta memahami dan meningkatkan wawasan
dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif pada
pasien dengan Gagal Ginjal Kronik secara holistik.
2. Institusi Pendidikan
a. Makalah ini dapat dipakai untuk sebagai salah satu bahan bacaan
kepustakaan.
5
b. Dapat sebagai wacana bagi institusi pendidikan dalam
pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan dimasa yang
akan datang.
6
BAB II
TINJAUAN TEORI
Gambar 2.1
7
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume
dan komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh
dengan mengekresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi
vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus
dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah
yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan
air di eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem
pengumpulan urin (Price dan Wilson, 2012).
8
2. Pengertian Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (End - Stage
Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).(Chang,
Dalli dan Elliot, 2010).
Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu derajat
dimana memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis
atau transplantasi ginjal. Salah satu sindrom klinik yang terjadi pada
gagal ginjal adalah uremia. Hal ini disebabkan karena menurunnya
fungsi ginjal (Sudoyo, 2014).
Gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah kerusakan
ginjal progresif yang berakibat fatal dan di tandai dengan uremia (urea
dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta
komplikasinya jika tidak dilakukan dialysis atau transplantasi ginjal).
9
dapat berkembang menjadi gagal ginjal walaupun dengan pengobatan
yang tepat.
10
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)
Rumus LFG
11
b. Dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus,
ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Paru-paru
Ronchi basah kasar (krekels), sputum kental dan lengket, napas
dangkal, pernapasan Kussmaul, penurunan reflex batuk, nyeri
pleura, sesak nafas, takipnea, pneumonitis uremik, pleura, sesak
nafas, takipnea, pneumonitis uremik.
d. Gastrointestinal
Napas berbau ammonia, pengecapan rasa logam, cegukan,
ulserasi dan pendarahan pada mulut, anoreksia, mual dan
muntah, konstipasi dan diare, pendarahan pada saluran
gastrointestinal
e. Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, ketidakmampuan
berkonsentrasi, disorientasi, tremor, kejang, asteriksis,
kelemahan tungkai, panas pada telapak kaki, perubahan
perilaku.
f. Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop, nyeri
tulang, kulai kaki.
g. Reproduksi
Amenorea, atrofi testis, ketidaksuburan, penurunan libido.
h. Hematologi :Anemia, trombositopenia.
12
yang mengarah pada glomerulosklerosis (Sudoyo, 2014). Tingginya
tekanan darah juga menyebabkan terjadi GGK. Tekanan darah
yang tinggi menyebabkan perlukaan pada arteriol aferen ginjal
sehingga dapat terjadi penurunan filtrasi (NIDDK, 2014).
Pada glomerulonefritis, saat antigen dari luar memicu antibodi
spesifik dan membentuk kompleks imun yang terdiri dari
antigen, antibodi, dan sistem komplemen. Endapan kompleks imun
akanmemicu proses inflamasi dalam glomerulus. Endapan kompleks
imun akan mengaktivasi jalur klasik dan menghasilkan Membrane
Attack Complex yang menyebabkan lisisnya sel epitel glomerulus
(Sudoyo, 2014).
Terdapat mekanisme progresif berupa hiperfiltrasi dan
hipertrofi pada nefron yang masih sehat sebagai kompensasi ginjal
akibat pengurangan nefron. Namun, proses kompensasi ini
berlangsung singkat, yang akhirnya diikuti oleh proses maladaptif
berupa nekrosis nefron yang tersisa (Harrison, 2012). Proses tersebut
akan menyebabkan penurunan fungsi nefron secara progresif. Selain
itu, aktivitas dari renin-angiotensin- aldosteron juga berkontribusi
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresivitas dari nefron
(Sudoyo, 2014). Hal ini disebabkan karena aktivitas renin-
angiotensin-aldosteron menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
vasokonstriksi dari arteriol aferen (Tortora, 2013).
Pada pasien GGK, terjadi peningkatan kadar air dan natrium
dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena gangguan ginjal dapat
mengganggu keseimbangan glomerulotubular sehingga terjadi
peningkatan intake natrium yang akan menyebabkan retensi
natrium dan meningkatkan volume cairan ekstrasel (Harrison, 2012).
Reabsorbsi natrium akan menstimulasi osmosis air dari lumen tubulus
menuju kapiler peritubular sehingga dapat terjadi hipertensi (Tortora,
2013). Hipertensi akan menyebabkan kerja jantung meningkat dan
merusak pembuluh darah ginjal. Rusaknya pembuluh darah ginjal
13
mengakibatkan gangguan filtrasi dan meningkatkan keparahan dari
hipertensi (Saad, 2014).
Gangguan proses filtrasi menyebabkan banyak substansi dapat
melewati glomerulus dan keluar bersamaan dengan urin, contohnya
seperti eritrosit, leukosit, dan protein (Harrison, 2012). Penurunan
kadar protein dalam tubuh mengakibatkan edema karena terjadi
penurunan tekanan osmotik plasma sehingga cairan dapat berpindah
dari intravaskular menuju interstitial (Kidney Failure, 2013). Sistem
renin-angiotensin-aldosteron juga memiliki peranan dalam hal ini.
Perpindahan cairan dari intravaskular menuju interstitial
menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal. Turunnya
aliran darah ke ginjal akan mengaktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron sehingga terjadi peningkatan aliran darah
(Tortora, 2013).
Gagal ginjal kronik menyebabkan insufisiensi produksi
eritropoetin (EPO). Eritropoetin merupakan faktor pertumbuhan
hemopoetik yang mengatur diferensiasi dan proliferasi prekursor
eritrosit. Gangguan pada EPO menyebabkan terjadinya penurunan
produksi eritrosit dan mengakibatkan anemia (Harrison, 2012).
14
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat,
kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang
abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan
nitrogen dan ion anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
8. Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan Carpenito, L. J (2013)
a. Hitung darah lengkap (HDL) untuk mengetahui anemia
b. Analisa Gas Darah: Ureum dan Kreatinin
c. Penurunan serum kalsium, bikarbonat, dan protein (albumin)
d. Plelogram retrograde : menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal
dan ureter
e. Arteriogram ginjal : mengkaji sirkulasi ginjal dan
mengidentifikasi ekstravaskuler
f. Ultrasono ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya massa,
kista, obstruksi
g. Biopsi ginjal : menentukan sel jaringan untuk diagnosis
histologis
h. EKG : menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa
15
2) Pengangkatan Batu
a) Pemeriksaan Sistostopik
b) Analisis kimiawi
3) Ureteroskopi
Mencakup visualisasi dan akses ureter dengan memasukkan
suatu alat ureter oskop melalui sistoskop batu dapat
dihancurkan melalui laser, ultrasound kemudian diangka.
4) Pelarutan Batu
Infus cairan kemolitik dan pembuat asam untuk melarutkan
batu.
5) Pengangkatan Bedah
Jika batu terletak didalam ginjal, pembedahan dilakukan
dengan nefrolitothomi, jika ginjal tidak berfungsi akibat
infeksi / hidronefrosis.
6) Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu proses pengubahan komposisi
solute darah oleh larutan lain (cairan dialisat) melalui
membrane premiabel (membrane dialisis) tetapi pada
prinsipnya, hemodialisis adalah suatu proses pemisahan
atau penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu
membrane semipremiabel yang dilakukan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal baik akut maupun kronik
(Suhardjono, 2014)
Indikasi hemodialis :
a) Kelebihan atau overload cairan ekstraseluler yang sulit
dikendalikan atau hipertensi
b) Hyperkalemia yang refrakter terhadap retstriksi diit dan
terapi farmakologis
c) Asidosis metabolic yang refrakter terhadap terapi
pemberian bikarbornat
d) Hiperfosmatemia yang refrakter terhadap retriksi obat
dan terapi pengikat fosfat.
16
e) Anemia yang refraktren terhadap pemberian
eritropoetin dan besi
f) Adanya penurunan kapasistas fungsional atau kualitas
hidup tanpa sebab yang jelas
g) Penuruna berat atau malnutrisi
h) Adanya gangguan neurologis
b. Penatalaksanaan Farmakologis
Komplikasi dapat di cegah atau ditunda dengan pemberian
agens pengikat fospat, suplemen kalsium, obat antihipertensi
dan obat jantung, obat antikejang, dan eritropoitein (Epogen).
1) Hiperfosfatemia dan hipokalsemia ditangani dengan obat
yang dapat mengikat fosfat dalam saluran cerna (mis:
kalsium karbonat, kalsium asetat, sevelamer hydrochloride),
semua agens pengikat harus diberikan bersama makanan.
2) Hipertensi ditangani dengan pengontrolan volume
intravascular dan obat anti hipertensi.
3) Gagal jantung dan edema pulmonal ditangani dengan
pembatasan cairan, diet rendah natrium, diuresis, agens
inotropic (mis: digoksin atau dobutamin) dan dialisis.
4) Asidosis metabolik diatasi, jika perlu, dengan suplemen
natrium bikarbonat atau dialisis.
5) Pasien observasi untuk melihat tanda awal kelainan
neurologic (mis: kedutan, sakit kepala, delirium, atau
17
aktivitas kejang) diazepam intravaskular (Valium) atau
fenitoin (Dilantin) diberikan untuk mengatasi kejang.
6) Anemia ditangani dengan rekombinaan eritropoietin
manusia (Epogren), hemoglobin dan hematocrit dipantau
secara berkala.
7) Heparin diberikan sesuai kebutuhan untuk mencegah
pembekuan darah pada jalur dialisis selama terapi.
8) Suplemen besi dapat diresepkan.
9) Tekanan darah dan kalium serum dipantau secara terus-
menerus.
a. Identitas
Tidak ada spesifikasi khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun
laki – laki sering memiliki resiko lebih tinggi terkait dengan
pekerjaan dan pola hidup sehat. Gagal ginjal kronik merupakan
periode lanjut dari insiden gagal ginjal akut sehingga tidak berdiri
sendiri (Prabowo & Pranata, 2014, p. 204)
18
b. Keluhan Utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder
yang menyertai. Keluhan biasa berupa urine output yang menurun
(oliguria) sampai pada anuria, penurunan kesadaran karena
komplikasi pada system sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual dan
muntah, diaphoresis, fatigue, nafas berbau urea, dan pruritus.
Kondisi ini dipicu oleh karena penumpukan (akumulasi) zat sisa
metabolism/toksin dalam tubuh karena ginjal mengalami kegagalan
filtrasi (Prabowo & Pranata, 2014, pp. 204-205).
19
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Gagal ginjal kronik bukan penyakit menular dan menurun,
sehingga silsilah keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit
ini. Namun, pencetus sekunder seperti DM dan hipertensi memiliki
pengaruh terhadap kejadian penyakit gagal ginjal kronik, karena
penyakit tersebut bersifat herediter. Hasil dari pola kesehatan
keluarga yang diterapkan jika anggota keluarga yang sakit,
misalnya minum jamu saat sakit (Pranata, 2014, p. 205).
f. Riwayat Psikososial
Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika klien memiliki koping
adaptif yang baik. Pada klien gagal ginjal kronis, biasanya
perubahan psikososial terjadi pada waktu klien mengalami
perubahan struktur fungsi tubuh dan menjalani proses dialisa. Klien
akan mengurung diri dan lebih banyak berdian diri ( murung ).
Selain itu, kondisi ini juga dipicu oleh biaya yang dikeluarkan
selama proses pengobatan, sehingga klien mengalami kecemasan.
(Prabowo & Pranata, 2014, p. 205)
g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum dan Tanda – Tanda Vital
Kondisi klien gagal ginjal kronik biasanya lemah (fatigue), tingkat
kesadaran bergantung pada tingkat toksisitas. Pada pemeriksaan
TTV sering didapatkan RR meningkat (tachypneu),
hipertensi/hipotensi sesuai dengan kondisi fluktuatif (Prabowo &
Pranata, 2014, p. 206).
20
h. Pemeriksaan Fisik Persistem
1) Sistem persyarafan
Manifestasi SSP terjadi lebih awal dan mencakup perubahan
mental, kesulitan berkonsentrasi, keletihan, dan insomnia.
Geajala psikotik, kejang, dan koma dikaitkan dengan
ensefalopati uremik lanjut (Priscilla LeMone, dkk, 2017, hal.
1065).
2) Sistem pengindraan
Biasanya pada pasien gagal ginjal kronik ditemukan
konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur,
edema periorbital (Black, 2014, hal. 280).
3) Sistem pernafasan
Adanya bau urea pada bau napas. Jika terjadi komplikasi
asidosis/alkalosis respiratorik maka kondisi pernapasan akan
mengalami patologis gangguan. Pola napas akan semakin cepat
dan dalam sebagai bentuk kompensasi tubuh mempertahankan
ventilasi ( kussmaul ). (Prabowo & Pranata, 2014, p. 206).
4) Sistem kardiovaskuler
Penyakit yang berhubungan langsung dengan kejadian gagal
ginjal kronik salah satunya hipertensi. Tekanan darah yang
tinggi diatas ambang kewajaran akan mmpengaruhi volume
vaskuler. Stagnasi ini akan memicu retensi natrium dan air
sehingga akan meningkatkan beban jantung (Prabowo &
Pranata, 2014, p. 206).
5) Sistem pencernaan
Anoreksia, mual dan muntah adalah gejala paling awal uremia.
Cegukan biasa dialami, nyeri perut, fetor uremik, bau napas
seperti urine seringkali dapat menyebabkan anoreksia (Priscilla
LeMone, dkk, 2017, hal. 1065).
21
6) Sistem perkemihan
Dengan gangguan/kegagalan fungsi ginjal secara kompleks
(filtrasi, sekresi, reabsorbsi dan ekskresi ), maka manifestasi
yang paling menonjol adalah penurunan urine output < 400
ml/hari bahkn sampai pada anuria (tidak adanya urine output
(Prabowo & Pranata, 2014, p. 207).
7) Sistem musculoskeletal
Ostedistrofi ditandai dengan osteomalasia, pelunakan tulang,
dan osteoporosis, penurunan masa tulang. Kista pada tulang
dapat terjadi. Manifestasi osteodistrofi mencakup nyeri tekan
pada tulang, nyeri, dan kelemahan otot. Pasien berisiko
mengalami fraktur spontan (Priscilla LeMone, dkk, 2017, hal.
1065).
8) Sistem integument
Pucat, warna kulit uremik (kuning-hijau), kulit kering, turgor
buruk, pruritis, ekimosis, bekuan uremik (Priscilla LeMone,
dkk, 2017, hal. 1066).
9) Sistem endokrin
Berhubungan dengan pola seksualitas, klien dengn gagal ginjal
kronis akan mengalami disfungsi seksualitas karena penurunan
hormone reproduksi. Selain itu, jika kondisi gagal ginjal kronik
berhubungahn dengan penyakit diabetes mellitus, maka akan
ada gangguan dalam sekresi insulin yang berdampak pada
proses metabolisme (Prabowo & Pranata, 2014, p. 206).
22
10) Sistem reproduksi
Terjadi amenorea pada wanita, impotensi pada pria,
kemungkinan komplikasi terjadi aborsi spontan (Priscilla
LeMone, dkk, 2017, hal. 1066).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilain klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial
(SDKI,2017). Berdasarkan SDKI, 2017 diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul pada Gagal Ginjal Kronik adalah :
a. Pola napas tidak efektif b.d Hambatan upaya napas, penurunan
energy
b. Gangguan pertukaran gas b.d Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
c. Resiko penurunan curah jantung b.d Perubahan afterload,
perubahan frekuensi jantung, perubahan irama jantung, perubahan
kontraktilitas, perubahan preload
d. Resiko perfusi perifer tidak efektif b.d Hiperglikemia, gaya hidup
kurang gerak, hipertensi
e. Defisit nutrisi b.d Ketidakmampuan menelan makanan,
ketidakmampuan mencerna makanan, ketidakmampuan
23
mengabsorbsi nutrien, peningkatan kebutuhan metabolisme faktor
psikologis
f. Hipervolemia b.d Gangguan mekanisme regulasi, Kelebihan
asupan cairan, kelebihan asupan natrium
g. Intoleransi aktifitas b.d Ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen, kelemahan
3. Perencanaan Keperawatan
Intervensi yang digunakan untuk memenuhi asuhan keperawan kepada
klien menggunakan (SIKI, 2018). SIKI (Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia) merupakan tolak ukur yang dipergunakan
sebagai panduan dalam penyusunan intervensi keperawatan dalam
rangka memberikan asuhan keperawatan yang aman, efektif, dan
etis.intervensi yang dibuat ada jenis tindakan yaitu observasi,
terapeutik, edukasi, dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain.
Intervensi pada klien dengan Gagal Ginjal Kronis berdasarkan SIKI,
2018 adalah sebagai berikut :
Terapeutik
1) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head tilt dan chin lift
( jaw thrust jika curiga trauma servikal )
2) Posisikan semi fowler atau fowler
3) Berikan minum hangat
24
4) Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
6) Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
7) Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
8) Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
Kolaborasi
Terapeutik
25
Edukasi
26
10) Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum pemberian
obat (mis. beta blocker, ACE inhibitor, calcium channel blocker,
digoksin)
Terapeutik
Edukasi
Kolaborasi
27
1) Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi,
frekuensi napas, TD, MAP)
2) Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
3) Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit,
CRT)
4) Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
5) Periksa riwayat alergi
Terapeutik
Edukasi
Kolaborasi
28
Observasi
1) Identifikasi status nutrisi
2) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
3) Identifikasi makanan yang disukai
4) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
5) Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastric
6) Monitor asupan makanan
7) Monitor berat badan
8) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
Edukasi
Kolaborasi
29
Tindakan
Observasi
1) Monitor status hidrasi (mis. frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral,
pengisian kapiler. membran mukosa, turgor kulit, tekanan darah)
2) Monitor berat badan harian
3) Monitor berat badan sebelum dan sesudah dialysis
4) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (mis. hematokrit, Na,
K, Cl, berat jenis urine, BUN)
5) Monitor status hemodinamik (mis. MAP, CVP, PAP, PCWP
jika tersedia)
Terapeutik
Kolaborasi
30
Terapeutik
Edukasi
Kolaborasi
4. Implementasi Keperawatan
Langkah ke empat dalam asuhan keperawatan adalah implementasi.
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukanoleh perawat untuk membantu klien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Potter & Perry, 2010).
31
implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi. (Kozier et al.,
2011).
a. Odem berkurang
e. Fungsi paru dalam batas normal, tidak ada bunyi napas tambahan
32
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian Keperawatan
Nama Tn. F jenis kelamin laki-laki, usia 40 tahun, Agama Islam,
status sudah menikah, pekerjaan pegawai swasta (security), alamat Jl.
Swadaya RT 06/RW 05, kelurahan Pondok Benda, Kecamatan Pamulang,
Banten (15416). Berdasarkan pemeriksaan tenaga kesehatan klien di
diagnosa medis Dispnoe ec CKD on HD, Anemia Renal, Edema Anasarka,
HT grade II, Hipoalbumin, Asidosis Metabolik. Klien dirawat di ruang
HCU IGD Lantai 2 Bed 18 RSUP Fatmawati dengan nomor registrasi
01717984. Klien masuk IGD tanggal 26 Oktober 2019 pukul 23.14 dan
dilakukan tindakan pemberian obat Lasix 4 ml (inj), pemeriksaan EKG,
pemeriksaan Lab AGD, kimia klinik, albumin, darah lengkap, oksigen
nasal kanul 3 lpm, dipasangkan urine cateter. Klien masuk ke ruang HCU
IGD Lantai 2 pada 27 Oktober 2019.
Pada tanggal 30 September 2019 pukul 08.00 WIB, kelompok
melakukan pengkajian kepada klien dan di dapatkan data yaitu, klien
mengatakan pernah di rawat di RS Bhakti Husada pada tahun 2014 selama
1 minggu karena DM tipe II dengan keluhan kaki kesemutan, luka sulit
sembuh, di RS Bhakti Husada klien post op pada ibu jari kaki kanan. Klien
mengatakan masuk ke IGD RSUP Fatmawati karena sesak nafas, badan
semua terasa bengkak sejak seminggu SMRS (tangan, kaki, dan sekitar
mata), lemas, nafsu makan menurun, serta rasa mual, muntah (-). Klien
tidak memiliki alergi pada makanan, obat dan lingkungan. Riwayat
kesehatan keluarga. Ibu klien memiliki riwayat DM dan hipertensi.
Riwayat pemakaian obat, klien mengatakan mendapat terapi obat untuk
DM dan HT, namun klien tidak mengingat obat-obatan tersebut.
Pengkajian saat ini, Klien mengatakan sesak nafas, badan semua
terasa bengkak, lemas, nafsu makan menurun, serta rasa mual, muntah (-).
Nafsu makan klien tidak baik. Selama dirawat di rumah sakit mendapat
33
makan 3x/hari tetapi nafsu makan klien menurun, klien mengatakan
dahulu memiliki kebiasaan merokok 3x1 hari. Klien mengatakan belum
BAK setelah sakit terpasang kateter, pengeluaran ± 300 cc/8 jam. Warna
urine kuning jernih, tidak ada darah, tidak ada keluhan. BAB normal
1x/hari, tidak menentu.
Pernapasan klien saat dikaji frekuensi 26x/menit, resonan pada
semua lapang paru. Suara napas ronchi pada apeks paru kiri dan kanan.
Tekanan darah klien 166/76 mmHg, nadi 97 x/menit, nadi teraba lemah,
mukosa bibir tidak pucat, capillary refill 3 detik, bunyi jantung S1 dan 2
normal, JVP 5cm, terpasang oksigen nasal kanul 3 liter/menit.
Indeks Masa Tubuh klien mencapai 24,4 kg/m2 (ket: berat badan
normal) dengan tinggi badan 170 cm dan berat badan BB saat ini ( BB
dengan Oedema ) Formula Crandal (Estimasi LILA) Laki-laki = - 93,2 +
(3,29 x LILA) + ( 0,43 x TB ) = - 93,2 + ( 3,29 x 41 ) + ( 0,43 x 170 ) =
114,79 Kg. BB Kering = BB saat ini - ( Koreksi BB Oedema anasarka ) -
Ascites = 114,79 – ( 114,79 x 30 % ) – 10 Kg = 114,79 - 34,437 - 10 Kg =
70,4 Kg. IMT = 70,4 / ( 1,7 )2 = 24,4 (Normal). BB Ideal = ( 170 – 100 )
– 10% ( 170 – 100 ) = 70 – 7 = 63 Kg. Auskultasi bising usus 10x/menit.
Total Intake cairan : 640 cc, total output : 2.342 cc. Balance cairan : (-)
1.702. Kekuatan Otot.
5555 ⎸5555
5555 ⎸5555
34
tanggal 27 September 2019. Kesan : Suspek gambaran awal bendungan
paru, kemungkinan disertai infeksi, DD/ pneumonia, Kardiomegali, DD/
cardiomyopathy, efusi pericardium. Klien mendapatkan Diit CKD ginjal
1700 kkal per oral. Klien juga mendapat terapi obat sebagai berikut. Mulai
tanggal 27/09/19 terapi obat Bicarbonat 3 x 500 mg via oral (jam 07.00,
13.00, 19.00), CaCO3 3 x 500 mg via oral (jam 07.00, 13.00, 19.00) NAC
3 x 20 mg via oral (jam 07.00, 13.00, 19.00). Mulai tanggal 29/09/19
terapi obat Valsartan 1 x 100 mg via oral (jam 19.00), Amlodipin 1x 10
mg via oral (jam 19.00). Mulai tanggal 27/09/19 terapi obat Drip Lasix
5mg/0,5ml/jam via IV, Bicarbonate 100mg dalam NS 200 cc via IV (jam
03.00) (Ekstra ), Perdipin 2,5mg/jam/5mikro via IV. Mulai tanggal
01/10/19 terapi obat Kalsium Glukonat 2x1000mg via IV (jam 07.00, jam
19.00). Ket: Lasix diberikan pada tanggal 27, 29 September dan 01
Oktober 2019 (stop pada tanggal 02 Oktober 2019) dan perdipin diberikan
pada tanggal 27 dan 29 September 2019. Hemodialisa yang sudah
dijalankan Klien, pada tanggal 27, 28 September dan 01 Oktober 2019.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa pertama yang kelompok angkat adalah hipervolemia b.d
gangguan mekanisme regulasi d.d dispneu, edema anasarka, berat badan
meningkat dalam waktu singkat. Diagnosa tersebut diperkuat dengan hasil
pengkajian TTV : TD 166/76 mmHg, Nadi 97x/menit, Respirasi
26x/menit, Suhu : 36,5ºC, pemeriksaan abdomen inspeksi asites, palpasi
tidak ada nyeri tekan, hepar tidak teraba, oedema anasarka pada seluruh
ekstremitas ± 3mm, balance cairan -1702cc, hasil lab tgl 27/919 ureum
darah meningkat 334mg/dl, kreatinin darah meningkat 22,1mg/dl, GFR
total 7,2 mm/-/1,73mm2, hasil USG abdomen dan pelvis dengan kesan
chronis renal disease bilateral derajat 2-3, pleural effusion bilateral.
Diagnosa selnajutnya yang kelompok angkat adalah gangguan
pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi perfusi d.d PCO2
menurun, PO2 menurun, ph menurun, bunyi nafas tambahan. Diagnosa
tersebut diperkuat dengan hasil pengkajian klien mengatakan sesak ± 15
35
menit hilang timbul, TD : 166/76 mmHg , RR : 26 x/m, N : 97x/menit , S :
36,5˚C, pemeriksaan thorax pada inspeksi pernafasan sesak dengan
frekuensi nafas cepat dan dalam, traktil fremitus melemah di kedua lapang
paru, palpasi dullness di kedua lapang paru, auskultasi ronkhi basah di
kedua lapang paru, Hasil Lab Tgl 27/09/2019PH : 7,267 rendah ( Nilai
kritis ) PCO2 rendah 29,5 mmHg , PO2 rendah 79 mmHg , Total CO2
rendah 14,1 mmol/L, interpretasi : Asidosis Metabolik, Hasil USG
abdomen dan pelvis Tgl 30/09/2019Kesan : Chronic renal disease bilateral
derajat 2 – 3, pleural effusion bilateral.
Diagnosa selanjutnya yang kelompok angkat adalah resiko defisit
nutrisi dd peningkatan kebutuhan metabolisme. Diagnosa tersebut
diperkuat dengan hasil pengkajian klien mengatakan lemas, nafsu makan
menurun dan mual, klien tampak lemah, hanya menghabiskan ½ porsi
makanan, status gizi antropometri LP : 126 cm, LILA : 41 cm, TB : 170
cm, BB Saat ini (BB dengan Oedema)Formula Crandal (Estimasi LILA)
Laki-laki = -93,2+ (3,29 x LILA) +( 0,43 x TB ) = - 93,2 + ( 3,29 x 41 ) +
( 0,43 x 170 ) = 114,79 Kg, BB Kering = BB saat ini - ( Koreksi BB
Oedema anasarka ) - Ascites = 114,79 – ( 114,79 x 30 % )– 10 Kg = 114,
79 – 34,437 – 10 Kg= 70,4 Kg, IMT = 70,4 Kg / ( 1,7 )2 = 24,2 ( Normal ),
BB Ideal = (170 – 100) – 10 % (170 - 100) = 63 Kg. Biokimia Hasil Lab
Tgl 27/09/2019Ureum darah meingkat : 334 mg/dl, kreatinin darah
meningkat 22,1 mg/dl , albumin : 2,6 g/dl ( Interpretasi : Hipoalbumin ).
Hasil lab tgl 30/9/2019 Hb menurun 8,2 g/Dl, Ht menurun28 %. Clinical
TD : 166/76 mmHg , RR : 26 x/m, N : 97x/menit , S : 36,5˚C, warna kulit
pucat, turgor kulit buruk, mukosa bibir kering dan pucat, konjungtiva
anemis. Diit ckd ginjal rendah protein 1700 kkal.
Diagnosa selanjutnya yang kelompok angkat adalah defisit
pengetahuan b.d kurang terpapar informasi tentang penyakit gagal ginjal
kronik d.d menanyakan masalah yang dihadapi. Diagnosa tersebut
diperkuat dengan data pengkajian klien mengatakan tidak mengetahui
penyakit yang dialaminta, klien bertanya mengapa klien menderita gagagl
ginjal kronik dan minumnya dibatasi.
36
C. Intervensi Keperawatan
Kelompok menyusun rencana tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam yang bertujuan untuk mengatasi masalah hipervolemia dengan
kriteria hasil sesak nafas dan bengkak berkurang, tanda-tanda vital dalam
rentang normal 110-130/70-90 mmHg, N : 80-100x/menit, respirasi 18-
20x/menit, suhu 36,5ºC – 37,5 ºC, traktil fremitus teraba jelas di kedua
lapang paru, perkusi sonor di kedua lapang paru, suara nafas Suara napas
vesikuler di kedua lapang paru, bentuk abdomen datar, perkusi timpani
tidak bergeser, tidak teraba gelombang, derajat oedema anasarka menurun
( Derajat 1 ) LP <90 cm, LILA <32 cm, BB kering tidak lebih dari 1,5 Kg
saat Hemodialisa, BB Ideal 63 Kg, balance cairan ( Intake = Output ), hasil
lab dbn (Ureum : 20-40 mg/dl, Kreatinin : 0,6 – 1,5 mg/dl, Albumin : 3,4 –
4,8 g/dl, Hb : 13,2 – 17,3 g/dL, Ht : 33 – 45 %, Leukosit : 5 – 10 ribu/ul,
Eritrosit : 4,4 – 5,9 juta/u, Ferritin : 22-322 ng/mL, Klorida : 95 – 108
mmol/L, GFR meningkat ( 15 – 29 ml/min/1,73 m2 ). Tindakan
keperawatan yang kelompok rencanankan adalah periksa tanda dan gejala
hipervolemia, identifikasi penyebab hipervolemia, monitor status
hemodinamik, monitor intake output, anjurkan cara membatasi cairan,
kolaborasi dalam tindakan hemodialisa pada tanggal01/10/209, kolaborasi
pemberian diuretikDrip lasix 5 mg/0,5 ml/jam via IV (tgl 01/10/2019)
Diagnosa kedua, Kelompok menyusun rencana tindakan
keperawatan selama 3x24 jam yang bertujuan untuk mengatasi masalah
gangguan pertukaran gas dengan kriteria hasil klien mengatakan sesak
napas berkurang, TTV dbn, TD : 110 – 130 / 70 – 90 mmHg, N : 80 – 100
x/m, RR : 18-20 x/m, S : 36,5 – 37,5 ˚C, Taktil fremitus teraba jelas di
kedua lapang paru, Perkusi sonor di kedua lapang paru, suara napas
vesikuler di kedua lapang paru, warna kulit normal, turgor kulit baik,
mukosa bibir lembab, konjungtiva ananemis, hasil lab AGD dbn, PH :
7,370 – 7,440, PCO2 : 35 – 45 mmHg, PO2 : 83 – 108 mmHg, HCO3 : 21
– 28 mmol/L, BE : -2,5 – 2,5 mmol/L , total CO2 : 19 – 24 mmol/L,
tindakan keperawatan yang kelompok rencanakan yaitu monitor frekuensi,
irama, kedalaman, dan upaya nafas, monitor pola nafas, auskultasi bunyi
37
nafas, mnitor saturasi oksigen, monitor nilai AGD, monitor hasil X-Ray
Thorax, kolaborasi pemberian Oksigen nasal kanul 3 lpm
Diagnosa ketiga, kelompok menyusun rencana tindakan
keperawatan selama 3x 24 jam yang bertujuan agar masalah defisit nutrisi
teratasi dengan kriteria hasil TTV dbn, TD : 110 – 130 / 70 – 90 mmHg, N
: 80 – 100 x/m, RR : 18-20 x/m , S : 36,5 – 37,5 ˚C, klien mengatakan
nafsu makan bertambah, klien tidak mengeluh mual, klien menghabiskan 1
porsi makan, tidak terjadi penurunan BB Kering , LP <90 cm , LILA <32
cm, BB Ideal 63 Kg, IMT dbn ( 18 – 25 ), warna kulit normal, turgor kulit
baik, mukosa bibir lembab, konjungtiva ananemis, hasil Lab dbn, Ureum :
20-40 mg/dl, Kreatinin : 0,6 – 1,5 mg/dl, Albumin : 3,4 – 4,8 g/dl, Hb :
13,2 – 17,3 g/dL, Ht : 33 – 45 % , Leukosit : 5 – 10 ribu/ul , Eritrosit : 4,4
– 5,9 juta/ul, Natrium : 135 – 147 mmol/l, tindakan keperawatan yang
kelompok rencanakan, identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien,
monitor asupan makanan, monitor hasil pemeriksaan laboraturium, ajarkan
diet yang diprogramkan, kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan ( Diit CKD ginjal, rendah
protein 1700 kkal ), kolaborasi dalam pemberian obat antasida.
Diagnosa keempat, kelompok menyusun rencana tindakan
keperawatan selama 3x 24 jam yang bertujuan pehamahan mengenai
penyakit GGK teratasi, tindakan keperawatan yang kelompok kami ambil
yaitu, identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi, sediakan
materi dan media pendidikan kesehatan ( Lembar balik dan Leaflet ),
jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan ( Tgl 01/10/2019 Jam
10.00 – 10.15 ), berikan kesempatan untuk bertanya, jelaskan definisi,
etiologi, manifestasi klinik, komplikasi dan penatalaksanaan penyakit
GGK.
38
D. Evaluasi Keperawatan
Kelompok melakukan evaluasi tindakan keperawatan dimulai dari
tanggal 30 September 2019 sampai 2 Oktober 2019 dengan hasil evaluasi
yang didapatkan kelompok pada setiap diagnosa sebagai berikut :
Diagnosa pertama hipervolema pada tanggal 30/9/2019 klien tidak
mengatakan keluhan tetapi dari data objektif didapatkan TTV =
150/72mmHg, nadi = 88x/menit, RR = 24x/menit, suhu = 36ºC, intake
640cc, output 2342cc, balance cairan -1720cc. Masalah hipervolemia
belum teratasi, intervensi dilanjutkan.
Diagnosa kedua gangguan pertukaran gas pada tanggal 30/9/2019
klien mengatakan sesak, data objektif yang didapat TTV : TD =
166/76mmHg, Nadi = 97x/menit, RR = 26x/menit, S : 36ºC, pergerakkan
dinding dada simetris, ekspansi dinding dada simetris, tidak ada otot bantu
pernafasan, terpasang O2 nassal kanul 3lpm, traktil fremitus melemah
dikedua lapang paru, perkusi dullness dikedua lapang paru, auskultasi
ronkhi basah dikedua lapang paru. Masalah gangguan pertukaran gas
belum teratasi, intervensi dilanjutkan.
Diagnosa ketiga resiko defisit nutrisi pada tanggal 30/9/2019 Klien
mengeluh lemas, lemah, nafsu makan menurun, data objektif didapatkan
Bicarbonate 500mg peroral, makanan dihabiskan ½ porsi, tidak ada
muntah. Masalah resiko defisit nutrisi belum teratasi, intervensi
dilanjutkan.
Diagnosa keempat defisit pengetahuan pada tanggal 30/9/2019
klien mengatakan tidak mengetahui kondisi penyakitnya sekarang,
bertanya mengapa klien menderita penyakit GGK, klien tampak bingung
ketika perawat mengkaji penyakit yang dialaminya. Masalah defisit
pengetahuan belum teratasi, intervensi dilanjutkan.
Diagnosa pertama hipervolemia pada tanggal 01/10/2019
didapatkan hasil klien mengatakan seluruh badannya terasa bengkak, dan
begah pada seluruh badannya, terdapat edema anasarka, lila 36cm,
abdomen asites, Lp =126cm, intake 772cc, output 5522cc. Masalah
hipervolemia belum teratasi, intervensi dilanjutkan.
39
Diagnosa kedua gangguan pertukaran gas pada tanggal 01/10/2019
didapatkan hasil klien mengatakan sesak dan pusing, TTV : TD : 166/76
mmHg , RR : 24x/menit, N : 86x/menit , S : 36,5˚C, saturasi oksigen 98,
inspeksi : pergerakkan dinding dada simetris, ekspasnsi dinding dada
simetris, tidak menggunakan otot bantu nafas, frekuensi nafas cepat, irama
teratur, terpasang O2 nasal kanul 3lpm, auskultasi nafas ronkhi basah
dikedua rongga paru, traktil fremitus melemah dikedua lapang paru, tidak
ada nyeri tekan, perkusi dullness dikedua lapang paru. Masalah gangguan
pertukaran gas belum teratasi, intervensi dilanjutkan.
Diagnosa ketiga resiko defisit nutrisi pada tanggal 01/10/2019
didapatkan hasil klien mengatakanmmual, lemas , nafsu makan menurun,
makanan habis ½ porsi, tidak ada muntah, mukosa bibir kering, turgor
kulit buruk. Masalah resiko defisit nutrisi teratasi sebagian, intervensi
dilanjutkan.
Diagnosa keempat defisit pengetahuan pada tanggal 01/10/2019
didapatkan hasil klien mengatakan sudah mengerti dan memahami
penyakit GGK, dapat menyebutkan kembali pengertian, penyebab, tanda
gejala, komplikasi dan penatalaksannaan GGK. Masalah defisit
pengetahuan sudah teratasi, intervensi dihentikan.
Diagnosa pertama hipervolemia pada tanggal 02/10/2019 masih
terdpat edema anasarka, pitting edema ±2cm, lila, 36cm, intake 660cc,
output 2322, balance cairan masalah hipervolemia teratasi sebagian,
intervensi sebagian.
Diagnosa kedua gangguan pertukaran gas pada tanggal 02/10/2019
klien merasa sesak berkurang, TTV : TD= 130/90mmHg, nadi 80x/menit,
RR = 20x/menit, suhu 36ºC, terpasang O2 nasal kanul 3lpm, traktil
fremitus teraba jelas dikedua lapang paru, tidak ada nyeri tekan,
pergerakkan dinding dada simetris, tidak ada penggunaan ototo bantu
nafas, perkusi dullness dikedua lapang paru, auskultasi ronkhi basah
dikedua lapang paru. Masalah gangguan pertukaran gas belum
teratasi,intervensi dilanjutkan.
40
Diagnosa ketiga resiko defisit nutrisi pada tanggal 02/10/2019
klien mengatakan sudah tidak mual, nafsu makan bertambah, turgor kulit
baik, mukosa bibir lembab, klien menghabiskan 1 porsi makanan, tidak
ada muntah, dibderikan obat bicarbonate 500mg via oral. Masalah resiko
defisit nutrisi teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan.
41
BAB IV
PEMBAHASAN
42
merupakan membran yang memisahkan paru-paru dengan dinding
dada bagian dalam, cairan yang di produksi pleura ini sebenarnya
berfungsi sebagai pelumas yang membantu kelancaran paru-paru
ketika bernafas, namun ketika cairan tersebut berlebihan dan
menumpuk, maka bisa mengakibatkan ekpansi paru tidak adekuat
sehingga terjadilah sesak nafas. (Arif Riswahyudi, 2017)
d. Mual dan Nafsu makan menurun, hal ini terjadi akibat fungsi ginjal
tidak lagi dapat menyaring zat sisa metabolisme atau limbah tubuh
yang seharusnya dikeluarkan lewat urin, sehingga zat sisa tersebut
menumpuk di dalam darah yang membuat rasa makanan terasa
berbeda dan menyebabkan nafsu makan menurun. ( Arif
Riswahyudi, 2017 )
43
2. Pemeriksaan fisik :
a. Pemeriksaan Fisik Thorax
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, Ekspansi dinding
dada simetris, penggunaan otot bantu nafas (-), pernapasan sesak,
frekuensi napas cepat dan dalam, irama teratur, RR = 26 x/menit,
lesi/massa (-), jejas (-).
Palpasi : Temperatur kulit hangat, taktil fremitus melemah di
kedua lapang paru , nyeri tekan (-)
Perkusi : Dullness di kedua lapang paru
Auskultasi : Ronkhi basah kasar di kedua lapang paru
44
medulla masih tampak, Tak tampak pelebaran calix, Batu ( - ),
SOL ( - )
Vesica urinaria : Isi tak optimal, Batu ( - ), SOL ( - )
Aortae : Kaliber normal, tak tampak pembesaran Kgb para Aortae.
Kesan : Chronic renal disease bilateral derajat 2 – 3 Pleural
effusion bilateral
Penjelasan :
Ketidakmampuan ginjal untuk membuang cairan menyebabkan
terjadinya overload cairan pada tubuh dan akhirnya peningkatan
tekanan hidrostatik yang berujung pada kebocoran cairan ke ruang-
ruang potensial tubuh termasuk rongga pleura dan menimbulkan
efusi pleura.
Pada CKD, klien sering mengalami juga penurunan kadar albumin
/ protein dalam darah sehingga terjadi penurunan tekanan onkotik
yang menahan cairan tetap di dalam pembuluh darah dan akhirnya
cairan merembes ke ruang potensial menimbulkan efusi pleura. (
Ratnawati, 2017 )
b. Hasil Laboratorium
Pada tanggal 27/09/19 dan 30/09/19
Ureum Darah : 334 mg/dl (Nilai Kritis) ( N = 20 – 40 )
Penjelasan : Blood Urea Nitrogen atau ureum adalah produk
limbah hasil metabolisme protein yang bersifat racun bagi tubuh.
Kadar ureum darah perlu diuji melalui tes Blood Urea Nitrogen
(BUN) untuk mengetahui nilai ureum normal atau tidak(
Ratnawati, 2017 ). Pada Tn. F, Nilai ureum tinggi dikarenakan
adanya gangguan fungsi ginjal atau kerusakan ginjal yang bersifat
kronis.
Kreatinin Darah : 22.1 mg/dl (Nilai Kritis) ( N = 0,6 – 1,5 )
Penjelasan : Kreatinin adalah produk limbah dari kerusakan normal
jaringan otot. Saat kreatinin dihasilkan, itu disaring melalui ginjal
dan dikeluarkan melalui urin.Kemampuan ginjal untuk menangani
45
kreatinin disebut tingkat bersihan kreatinin, yang membantu
memperkirakan laju filtrasi glomerulus (GFR) - laju aliran darah
melalui ginjal. Ketika ada kerusakan ginjal atau penyakit ginjal dan
ginjal tidak dapat menyaring limbah secara efisien, kemungkinan
akan terjadi peningkatan kadar kreatinin dalam darah. ( Ratnawati,
2017 ).
Pemeriksaan Ureum darah dan kreatinin darah, digunakan sebagai
data penunjang ditegakkannya diagnosa hipervolemia pada Tn.F
PH : 7.267 ( Nilai Kritis) ( N = 7.370-7.440 )
PCO2 :29.5 mmHg ( Nilai Kritis) ( N = 35.0-45.0 )
PO2 : 79 mmHg ( N = 83.0-108.0 )
Interpretasi : Asidosis Metabolik
Penjelasan : Analisa gas darah ( AGD ) merupakan pemeriksaan
laboratorium yang sangat penting untuk mengukur kadar oksigen,
karbon dioksida, dan tingkat asam basa ( ph ) di dalam darah. Pada
Tn. F, didapatkan hasil yang menginterpretasikan terjadinya
asidosis metabolik. Asidosis metabolik adalah kondisi yang terjadi
ketika kadar asam didalam tubuh sangat tinggi. Asidosis metabolik
terjadi karena ketidakmampuan ginjal mengeliminasi asam
berlebih dalam tubuh. ( Ratnawati, 2017 )
Pemeriksaan AGD, digunakan sebagai data penunjang
ditegakkannya diagnosa Gangguan pertukaran gas pada Tn.F
46
lainnya dari anemia pada orang dengan penyakit ginjal termasuk
kehilangan darah dari hemodialisis dan rendahnya tingkat nutrisi
berikut yang ditemukan dalam makanan Zat besi, Vitamin B12 dan
Asam folat ( Ratnawati, 2017 ).
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah langkah kedua dari proses keperawatan
yang menggambarkan penilaian klinis tentang respon individu, keluarga,
kelompok maupun masyarakat terhadap permasalahan kesehatan baik
aktual maupun potensial. Dimana perawat mempunyai lisensi dan
kompetensi untuk mengtasinya ( Sumijatun, 2013 ). Diagnosa keperawatan
adalah pernyataan yang jelas, singkat dan pasti tentang masalah pasien
yang nyata serta penyebabnya dapat dipecahkan atau diubah melalui
tindakan keperawatan (Dermawan, 2012).
47
Definisi : Peningkatan volume cairan intravaskuler, interstisial,
dan/atau intraselular
Gejala dan Tanda Mayor pada Tn. F : Edema anasarka, berat badan
meningkat dalam waktu singkat
Gejala dan Tanda Minor pada Tn. F : Terdengar suara napas tambahan
ronkhi basah krekels, kadar Hb/Ht turun dan oliguria
2. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi perfusi
Definisi : Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan/atau eliminasi
karbondioksida pada membran alveolus-kapiler
Gejala dan Tanda Mayor pada Tn. F : PCO2 menurun, PO2 menurun,
pH arteri menurun, bunyi napas tambahan ronkhi basah krekels
Gejala dan Tanda Minor pada Tn. F : Pola napas abnormal ( dalam ),
warna kulit pucat
3. Resiko defisit nutrisi b.d peningkatan kebutuhan metabolisme
Definisi : Beresiko mengalami asupan nutrisi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme
Faktor resiko : Peningkatan kebutuhan metabolisme
4. Defisit pengetahuan tentang penyakit gagal ginjal kronik b.d kurang
terpaparnya informasi tentang GGK
Definisi : Ketiadaan atau kurangnya informasi kognitif yang berkaitan
dengan topik tertentu
Gejala dan Tanda Mayor pada Tn. F : Menanyakan masalah yang
dihadapi
Kondisi Klinis Terkait : Penyakit kronis ( Gagal Ginjal Kronis )
C. Intervensi Keperawatan
Langkah ketiga dari proses keperawatan adalah perencanaan. Perencanaan
adalah sesuatu yang telah dipertimbangkan secara mendalam, tahap yang
sistematis dari proses keperawatan meliputi kegiatan pembuatan keputusan
dan pemecahan masalah. Dalam perencanaan keperawatan, perawat
menetapkannya berdasarkan hasil pengumpulan data dan rumusan
diagnosa keperawatan yang merupakan petunjuk dalam membuat tujuan
48
dan asuhan keperawatan untuk mencegah,menurunkan, atau
mengeliminasi masalah kesehatan klien. (Kozier et al, 2011)
49
Di intervensi juga dituliskan rasional dari setiap intervensinya untuk
menunjukkan bahwa tindakan tersebut dilakukan karena tindakan itu
berguna untuk memenuhi kebutuhan klien sesuai kondisi klien, rasional ini
diambil dari (Doenges, 2012). Selanjutnya kriteria hasil dibuat untuk
menjadi tolak ukur pencapaian yang diharapkan pada klien setelah
dilakukan tindakan keperawatan, kriteria hasil diambil berdasarkan analisa
data yang merupakan aspek-aspek yang dapat diobservasi dan diukur
meliputi kondisi, perilaku, atau dari persepsi klien, keluarga atau
komunitas sebagai respons terhadap intervensi keperawatan.
Berdasarkan pengkajian dan diagnosa keperawatan pada Tn. F, berikut
merupakan intervensi yang akan kelompok lakukan pada Tn. F :
1. Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi
Untuk melakukan asuhan keperawatan pada Tn. F dengan diagnosa
tersebut maka penulis melakukan intervensi keperawatan sesuai fokus
keluhan utama klien yaitu : Manajemen Hipervolemia,
Observasi:Periksa tanda dan gejala hipervolemia, Identifikasi
penyebab hipervolemia, Monitor status hemodinamik, Monitor intake
output. Edukasi : Anjurkan cara membatasi cairan. Kolaborasi :
Kolaborasi dalam tindakan Hemodialisa pada Tanggal
01/10/2019.Kolaborasi pemberian diuretik : Drip lasix 5 mg/0,5
ml/jam via IV (tgl 01/10/2019). Kolaborasi dalam pemberian obat anti
Hipertensi : Valsartan 1 x 100 mg via Oral ( Jam 19.00 ) dan
Amlodipine 1 x 10 mg via Oral ( Jam 19.00 ).
50
3. Resiko defisit nutrisi b.d peningkatan kebutuhan metabolism
Untuk melakukan asuhan keperawatan pada Tn. F dengan diagnosa
tersebut maka penulis melakukan intervensi keperawatan sesuai fokus
keluhan utama klien yaitu : Manajemen Nutrisi. Observasi :
Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien, Monitor asupan
makanan, Monitor hasil pemeriksaan laboraturium. Edukasi : Ajarkan
diet yang diprogramkan.Kolaborasi : Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan ( Diit
CKD ginjal, rendah protein 1700 kkal ) dan Kolaborasi dalam
pemberian obat bicarbonat 500mg.
D. Implementasi Keperawatan
Langkah ke empat dalam asuhan keperawatan adalah implementasi.
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukanoleh perawat untuk membantu klien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Potter & Perry, 2010).
51
Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar
sesuaidengan rencana keperawatan, perawat harus mempunyai
kemampuan kognitif (intelektual), kemampuan dalam hubungan
interpersonal, dan keterampilan dalam melakukan tindakan. Proses
pelaksanaan implementasi harus berpusat kepadakebutuhan klien, faktor-
faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan,strategi
implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi. (Kozier et al., 2011).
E. Evaluasi Keperawatan
Tahap evaluasi merupakan perbandingan yang sistematik danterencana
tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukanberkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga
kesehatan lainnya. Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan
dalam menilai tindakan keperawatan yangtelah ditentukan, untuk
mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur
hasil dari proses keperawatan
52
Setelah dilakukan implementasi keperawatan selama 3x 24 jam kemudian
dilakukan evaluasi mengenai masalah keperawatan dan di dapatkan hasil :
53
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu derajat dimana
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. Salah satu sindrom klinik yang terjadi pada gagal
ginjal adalah uremia. Hal ini disebabkan karena menurunnya fungsi ginjal
(Sudoyo, 2014).
Pengkajian keperawatan yang dilakukan meliputi riwayat
kesehatan sekarang dan riwayat kesehatan masa lalu. Pada saat pengkajian,
klien mengatakan sesak napas, badan semua terasa bengkak, lemas, tidak
nafsu makan, serta merasa mual. Klien mengatakan pernah di rawat di RS
Bakti Husada pada tahun 2014 selama 1 minggu karena DM tipe II dengan
keluhan, kaki kesemutan, luka sulit sembuh dan klien pernah melakukan
Post-op pada ibu jari kaki kanan.
Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien yaitu Hipervolemia
berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi, Gangguan pertukaran
gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi , Risiko
defisit nutrisi berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme.
Intervensi merupakan suatu petunjuk sebagai acuan dalam
melakukan asuhan keperawatan, intervensi yang di buat antara lain
monitor TTV tiap 8 jam, periksa tanda dan gejala hipervolemia,
identifikasi penyebab hipervolemia, monitor status hemodinamik, monitor
intake output, anjurkan cara membatasi cairan, kolaborasi dalam tindakan
hemodialisa , kolaborasi pemberian diuretik, kolaborasi dalam pemberian
obat anti hipertensi, monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya
nafas, monitor pola nafas, auskultasi bunyi nafas, monitor saturasi
oksigen, monitor nilai AGD, kolaborasi pemberian oksigen nasal kanul 3
lpm, identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien, monitor asupan
54
makanan, monitor hasil pemeriksaan laboraturium, ajarkan diet yang
diprogramkan, kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan ( Diit CKD ginjal, rendah protein
1700 kkal, identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi,
sediakan materi dan media pendidikan kesehatan, jadwalkan pendidikan
kesehatan sesuai kesehatan sesuai kesepakatan, Jelaskan definisi, etiologi,
manifestasi klinik, komplikasi dan penatalaksanaan penyakit GGK.
Implementasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan perawat
dalam mengaplikasikan apa yang telah direncanakan sebelumnya, untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan. Pada implementasi peran perawat perlu
memberi dukungan kepada klien untuk selalu berpartisipasi dalam
mengonsumsi obat secara teratur serta menghindari segala faktor resiko
penyakit GGK
Evaluasi sebagai penilaian apakah tidakan asuhan keperawatan
yang telah dilakukan sudah maksimal sehingga tujuan yang diinginkan
dapat tercapai. Evaluasi yang didapatkan pada klien belum teratasi
sebagian hal ini dikarenakan klien masih terdapat edema anasarka,
auskultasi Ronkhi basah di kedua lapang paru, dan nafsu makan mulai
bertambah.
B. Saran
1. Mahasiswa
Mahasiswa keperawatan sebaiknya dapat mengasah keterampilan
yang telah dipelajari di kampus, supaya dalam melakukan asuhan
keperawatan dapat dilakukan dengan baik, sehingga tujuan serta
kriteria hasil dapat tercapai.
2. Institusi Pendidikan
Diharapkan dosen dapat memberikan arahan yang cukup jelas
dan dapat dimengerti mahasiswa serta memberikan pengetahuan
terkait penyakit gagal ginjal kronik, sehingga mahasiswa dapat
menambah wawasan dan mengaplikasikan ilmu yang didapat.
55
3. Institusi Rumah Sakit
Penulis berharap rumah sakit dapat meningkatkan kelengkapan
dokumentasi keperawatan, serta mempertahankan dan
meningkatkan kinerja maupun kekompakan dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien.
56