Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah salah satu masalah kesehatan saat ini,
karena selain insidensi dan prevalensinya yang semakin meningkat, juga pengobatan
pengganti ginjal yang harus dijalani oleh penderita gagal ginjal merupakan pengobatan
yang sangat mahal. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu keadaan
berkurangnya kemampuan ginjal dalam fungsi ekskresinya, di mana hal tersebut
ditandai dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) ≤60 mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan
atau lebih. (NKF-K/DOQ, 2002; Manns B et al, 2010)
Menurut hasil Global Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan
penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi
urutan ke-18 pada tahun 2010. Akhir-akhir ini dunia kesehatan mulai memandang
PGK sebagai emerging public health problem karena angka kejadiannya meningkat
dari tahun ke tahun (Manns B et al, 2010).
Sekitar 1 dari 10 populasi dunia teridentifikasi mengalami penyakit ginjal
kronis (PGK). Hasil studi systematic review dan meta analisys yang dilakukan oleh
Hill dkk (2016) menunjukkan 13,4% penduduk dunia menderita PGK. Menurut
United State Renal Data System (USRDS) di Amerika Serikat prevalensi penyakit
gagal ginjal kronis meningkat sebesar 20 – 25% setiap tahunnya (Nadhiroh, 2013).
World Health Organization (WHO) memperkirakan akan terjadi peningkatan pasien
dengan penyakit ginjal di Indonesia sebesar 41,4% antara tahun 1995-2025(WHO,
2005).
Jumlah pasien yang dirawat karena menderita Gagal Ginjal Kronik (GGK)
secara global diperkirakan sebanyak 3.010.000 orang pada tahun 2012 (ESRD, 2012).
Dan di Amerika pada tahun 2012 jumlah pasien GGK sebanyak 114.814 orang dan
sebanyak 102.277 pasien GGK yang menjalani hemodialisis (USRD, 2014).
Di Indonesia jumlah pasien penyakit ginjal kronik (PGK) meningkat pesat
dengan angka kejadian pasien gagal ginjal tahap akhir (GGTA) yang menjalani
hemodialisa dari tahun 2002 sebanyak 2077 pasien dan pada tahun 2006 meningkat
mencapai 4344 pasien (Prodjosudjadi et al, 2009). Menurut data dari The United

1
States Renal Data System (USRDS,2009) tahun 2009 gagal ginjal tahap akhir (GGTA)
sering ditemukan dan prevalensinya sekitar 10-13%.
Menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI pada tahun 2018
(RISKESDAS 2018), prevalensi PGK berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk
usia ≥ 15 tahun mengalami peningkatan sebesar 1,8 % dari tahun 2013, dengan
proporsi pernah atau sedang melakukan hemodialisa sebesar 19,3%. Berdasarkan data
dalam Riskesdas (2018), pasien berusia 65 -74 tahun menduduki ranking teratas untuk
kelompok pasien GGK, yaitu sebesar 8,23 %.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Indonesian Renal Registry (IRR)
tahun 2018, jumlah pasien baru hemodialisa mengalami peningkatan dari tahun 2017
yaitu sebanyak 30.831 pasien menjadi 66.433 pasien pada tahun 2018, dangan
presentase kenaikan sebesar 1,15%. Untuk prevalensi pasien aktif hemodialisa pada
tahun 2018 juga ikut mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,7 % dari tahun 2017.
PGK merupakan suatu sindrom klinis yang disebabkan oleh penurunan
fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, serta
bersifat persisten dan irreversibel (Mansjoer, 2000).
Terapi pada pasien PGK adalah pengobatan konservatif, meliputi terapi
farmakologi, pengaturan diet, dialisis atau transplantasi ginjal. Dialisis merupakan
bagian dari tatalaksana PGK. Dialisis ada dua metode yaitu hemodialisis dan
peritoneal dialisis. Hemodialisis adalah pembuangan elemen tertentu dari darah
dengan memanfaatkan perbedaan kecepatan difusi melalui membran semipermeabel
dengan hemodialiser. Peritoneal dialisis adalah metode dialisis yang menggunakan
lapisan peritoneum untuk menyaring darah dalam tubuh (Dorland, 2012;
NKF-K/DOQI, 2016; NIDDK, 2016).
Terapi yang umum dilakukan pada penderita PGK stadium akhir adalah
hemodialisis. Keuntungan menjalani hemodialisis di pusat hemodialisis adalah orang-
orang yang melakukannya sudah terlatih, pasien tidak perlu melakukannya sendiri
sehingga resiko kesalahan dalam prosedur hemodialisis minimal dan kondisi pasien
lebih dapat terpantau selama hemodialisis. Kerugiannya adalah pasien harus mematuhi
jadwal tertentu, pasien harus pergi ke pusat hemodialisis, dan terdapat resiko
terjadinya hipotensi pada pasien selama prosedur hemodialisis (NKF-K/DOQI, 2016).

2
Tujuan utama dari hemodialisis adalah menggantikan fungsi ginjal sehingga
mampu mempertahankan homeostasis tubuh manusia. Terapi hemodialisis yang
memerlukan waktu jangka panjang akan mengakibatkan munculnya beberapa
komplikasi yaitu hipotensi dan kram otot, komplikasi tersebut dapat memberikan
stressor fisiologis kepada pasien. Selain mendapatkan stressor fisiologis, pasien yang
menjalani HD juga mengalami stressor psikologis. Stressor psikologis tersebut
diantaranya adalah pembatasan cairan, pembatasan konsumsi makanan, gangguan
tidur, ketidakjelasan tentang masa depan, pembatasan aktivitas rekreasi, penurunan
kehidupan sosial, pembatasan waktu dan tempat bekerja, serta faktor ekonomi
(Suwirta K, et al, 2014).
Status gizi kurang pada pasien HD dapat menyebabkan penderita
mengalami gejala seperti lelah dan malaise, sakit kepala, kehilangan berat badan,
kelemahan otot, infeksi berulang, penyembuhan luka yang lambat, serta gangguan
tulang, hal ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hidup pada pasien
hemodialisis (Afshar et al, 2007)
Masalah yang sering terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik dengan
hemodialisa yaitu tingginya angka malnutrisi. Penelitian mengenai keadaan gizi pasien
penyakit ginjal kronik dengan Tes Kliren Kreatinin (TKK) kurang lebih 15 ml/mt yang
memberikan terapi hemodialisa mengemukakan bahwa masih banyak dijumpai pasien
status gizi kurang yang disebabkan karena rendahnya asupan makanan.
Malnutrisi adalah suatu keadaan patologis akibat kekurangan atau kelebihan
secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi. Penyebab utama malnutrisi pada
penderita PGK karena asupan zat gizi yang tidak adekuat. Prevalensi malnutrisi
meningkat secara progresif sejalan dengan progresivitas penurunan fungsi ginjal.
Kasus malnutrisi ditemukan di awal hemodialisis pada penderita PGK sebanyak 40%.
Malnutrisi juga merupakan faktor penyebab meningkatnya morbiditas, mortalitas serta
menurunnya kualitas hidup pasien PGK dengan hemodialisa (PERNEFRI, 2011;
Locatelli et al., 2002).
Terjadinya malnutrisi juga disebabkan karena adanya respon inflamasi yang
ditandai dengan peningkatan kadar C-Reactive Protein (CRP) plasma. Peningkatan
level serum pro-inflamasi sitokin menyebabkan pasien kehilangan nafsu makan dan
mengakibatkan perubahan pada asupan makanan. Reaksi inflamasi yang kronik serta

3
kurangnya nafsu makan dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas. Faktor yang
mempengaruhi asupan makan bisa disebabkan karena adanya gangguan
gastrointestinal yaitu anoreksia dan mual, pembatasan diet, pengobatan yang dapat
menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan serta hemodialisis yang tidak
adekuat (Susetyowati, 2002). Selain itu malnutrisi dapat disebabkan karena faktor
psikologis seperti stress dan depresi. Pasien PGK dengan terapi hemodialisis berisiko
tinggi mengalami gangguan nutrisi.
Data yang diperoleh dari rekam medis rawat jalan Rumah Sakit Omni
Cikarang terdapat peningkatan jumlah pasien hemodialisa sejak tahun 2017 sampai
2019. Dimana jumlah pasien hemodialisa tahun 2017 sebanyak 30 pasien dan
meningkat menjadi 55 pasien pada tahun 2018. Pada tahun 2019 jumlah pasien
hemodialisa di Rumah Sakit Omni Cikarang meningkat menjadi 65 pasien.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik melakukan penelitian mengenai
“Hubungan Lama Menjalani Terapi Hemodialisis, Asupan Energi Protein Dengan
Status Gizi Dan Kadar Ureum Kreatinin Darah Pasien Gagal Ginjal Kronik di Unit
Hemodialisa Rumah Sakit Omni Cikarang Tahun 2020”.

1.2 Perumusan Masalah


Apakah ada hubungan lama menjalani terapi hemodialisis, asupan energi
protein dengan status gizi dan kadar ureum kreatinin darah pada pasien gagal ginjal
kronik di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Omni Cikarang tahun 2020?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan lama menjalani terapi hemodialisis, asupan
energi protein dengan status gizi dan kadar ureum kreatinin darah pada pasien gagal
ginjal kronik di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Omni Cikarang tahun 2020.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya distribusi frekuensi lama menjalani terapi hemodialisis
pada pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Omni
Cikarang tahun 2020

4
2. Diketahuinya distribusi frekuensi asupan energi dan protein pada pasien
gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Omni Cikarang
tahun 2020.
3. Diketahuinya distribusi frekuensi status gizi pada pasien gagal ginjal
kronik di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Omni Cikarang tahun 2020.
4. Diketahuinya distribusi frekuensi kadar ureum dan kreatinin pada
pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Omni
Cikarang tahun 2020.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman serta dapat
mengembangkan kemampuan di bidang penelitian gizi klinik khususnya untuk
penyakit gagal ginjal kronik dengan hemodialisis. Dapat mengaplikasikan ilmu yang
telah diperoleh penulis selama mengikuti pendidikan di S1 Gizi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas MH Thamrin.

1.4.2 Bagi Responden


Sebagai masukan bagi pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisa untuk
memperhatikan asupan energi dan protein serta status gizi pasien untuk mencegah
terjadinya malnutrisi dan mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut.
1.4.3 Bagi Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi rumah
sakit umumnya dan bagi unit hemodialisa khususnya terkait mengetahui hubungan
lama menjalani terapi hemodialisis, asupan energi protein dengan status gizi dan kadar
ureum kreatinin darah pada pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa Rumah
Sakit Omni Cikarang.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini terkait tentang hubungan lama menjalani terapi
hemodialisis, asupan energi protein dengan satatus gizi dan kadar ureum kreatinin
darah pada pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Omni

5
Cikarang tahun 2020. Variabel dependen pada penelitian ini adalah status gizi dan
kadar ureum kretinin darah sedangkan variable independennya adalah lama menjalani
terapi hemodialisis dan asupan energi protein. Penelitian ini akan di lakukan pada
bulan April – Mei 2020 dengan menggunakan desain penelitian crossectional study.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ginjal
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Ginjal merupakan sepasang organ yang terletak retroperitoneal pada regio
lumbal dan dilindungi oleh kosta 11 dan 12. Ginjal memiliki ukuran Panjang 10 – 12
cm, lebar 5 – 7 cm, dan berat 135 – 150 g. Ginjal dilapisi oleh 3 lapisan yaitu kapsula
renalis, kapsula adiposa dan fasia renalis. Lapisan paling dalam adalah kapsula renalis
dengan tekstur lembut dan transparan. Lapisan kapsula renalis berlanjut sampai ke
ureter. Fungsi lapisan kapsula renalis adalah melindungi ginjal dari trauma dan
memepertahankan bentuk ginjal. Lapisan selanjutnya adalah kapsula adiposa yang
berada di bagian tengah, berfungi melindungi ginjal dari trauma dari trauma dan
menjaga letak ginjal dalam rongga perut. Lapisan paling luar yaitu fascia renalis
berfungsi melekatkan ginjal ke rongga abdomen (Tortora GJ, 2012).
Ginjal terdiri atas bagian kortes dan bagian medula (Gambar 1). Bagian
medulla ginjal berbentuk seperti piramida dengan bagian dasarnya menghadap korteks
dan bagian apeks atau papilla ginjal menuju ke hilium. Korteks dan piramida medulla
membentuk perenkim ginjal yang di dalamnya terdapat nefron yaitu satuan unit fungsi
dari ginjal Tortora GJ, 2012).

Sumber: Dosenbiologi.com (2008)

Gambar 1. Anatomi Ginjal

7
2.1.2 Pembuluh Darah pada Ginjal

Sumber: Casiday, R., Frey, R. Maintaining the Body's Chemistry: Dialysis in the
Kidneys. Department of Chemistry, Washington University St. Louis. (2006)

Gambar 2. Pembuluh darah ginjal

Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter
per menit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit.
Normalnya 20% dari plasma disaring di glomerulus dengan GFR 120 ml/menit atau
sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih dari 99%
yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran urine terakhir 1-1,5 liter per hari.
Arteri renalis membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal. Cabang-
cabangnya beranting banyak di dalam ginjal dan menjadi arteriol aferen, dan masing-
masing membentuk simpul dari kapiler kapiler di dalam salah satu glomerulus.
Pembuluh eferen kemudian tampil sebagai arteriol eferen yang bercabang-cabang
membentuk jaringan kapiler sekeliling tubulus uriniferus. Kapiler-kapiler ini
kemudian bergabung lagi membentuk vena renalis, yang membawa darah dari ginjal
ke vena kava inferior. Maka darah yang beredar dalam ginjal mempunyai dua
kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah dapat lebih lama berada di sekitar
tubulus uriniferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut (Sennang et al,
2005).

8
2.1.3 Nefron Ginjal

(Sumber: Ralph E. Cutler, MD. Biologi Kidney of the Urinary Tract. Kidney. (2006)

Gambar 3. Nefron

Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter
per menit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit.
Normalnya 20% dari plasma disaring di glomerulus dengan GFR 120 ml/menit atau
sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih dari 99%
yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran urine terakhir 1-1,5 liter per hari.
Arteri renalis membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal. Cabang-
cabangnya beranting banyak di dalam ginjal dan menjadi arteriol aferen, dan masing-
masing membentuk simpul dari kapiler kapiler di dalam salah satu glomerulus.
Pembuluh eferen kemudian tampil sebagai arteriol eferen yang bercabang-cabang
membentuk jaringan kapiler sekeliling tubulus uriniferus. Kapiler-kapiler ini
kemudian bergabung lagi membentuk vena renalis, yang membawa darah dari ginjal
ke vena kava inferior. Maka darah yang beredar dalam ginjal mempunyai dua
kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah dapat lebih lama berada di sekitar

9
tubulus uriniferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut (Sennang et al,
2005).

2.1.4 Fungsi dan Kerja Ginjal


Beberapa fungsi ginjal antara lain:
1. Mengatur keseimbangan pH darah.
2. Meregulasikan tekanan darah. Ginjal menghasilkan enzim renin yang
bertugas mengontrol tekanan darah dan keseimbangan elektrolisis.
Renin mengubah protein dalam darah menjadi hormon angiotensin.
Selanjutnya angiotensin akan diubah menjadi aldosterone yang
mengabsorbsi sodium dan air ke dalam darah.
3. Memproses vitamin D sehingga dapat distimulasi oleh tulang.
4. Membuang racun dan produk buangan / limbah dari darah. Racun di
dalam darah diantaranya urea dan uric acid. Jika kandungan kedua
racun ini terlalu berlebihan, akan mengganggu metabolisme tubuh.
5. Menjaga kebersihan darah dengan meregulasi seluruh cairan (air dan
garam) di dalam tubuh (Susalit E, 2009).
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan
ekstrasel dalam batas-batas normal. Tentu saja ini dapat terlaksana dengan mengubah
ekskresi air dan solut dimana kecepatan filtrasi yang tinggi memungkinkan
pelaksanaan fungsi ini dengan ketepatan yang tinggi. Komposisi dan volume cairan
ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan sekresi tubulus. Fungsi
ginjal yang lainnya antara lain mengekskresikan bahan-bahan kimia tertentu (obat-
obatan dan sebagainya), hormon-hormon dan metabolit lain (Sutanto P, 2003).
Proses kerja ginjal:
1. Darah yang akan disaring dialirkan melalui arteri ginjal masuk ke dalam
ginjal yang di dalamnya terkandung air dan larutan lain. Sebagian
larutan yang tidak terfiltrasi akan kembali ke sirkulasi ke dalam vena.
2. Proses filtrasi / penyaringan dimana darah kemudian masuk ke kapiler
glomerulus. Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk

10
filtrasi atau penyaringan. Di dalam glomerulus ini zat terlarut dan air di
saring dan menghasilkan filtrate glomeruli (urin primer) untuk
disalurkan ke kapsul Bowman.
3. Filtrat glomeruli yang mengandung zat yang masih dapat dipakai oleh
tubuh misalnya asam amino, glukosa, air dan garam di bawa ke tubulus
proksimal, lengkung henle, dan tubulus distal untuk melalui proses
reabsorbsi (peyerapan kembali).
4. Cairan reabsorpsi tersebut melalui proses augmentasi dimana terjadi
penambahan (sekresi) zat-zat dari tubulus distal, antara lain ion
Hidrogen (H+), ion Klorida (Cl-), racun dan sisa obat yang tidak
terpakai.
5. Urin lalu menuju saluran pengumpulan pada medulla yang bermuara di
pelvis renal pada rongga ginjal. Urin lalu di alirkan ke ureter menuju
kandung kemih dan disalurkan ke uretra. (Fransisca K, 2011).

2.2 Penyakit Ginjal Kronik (PGK)


2.2.1 Definisi
Definisi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah gangguan struktu atau fungsi
ginjal lebih dari 3 bulan. Gangguan tersebut dapat ditunjukan dengan adanya satu atau
lebih penanda kerusakan ginjal atau terdapat penurunan laju filtrasi glomelurus (LFG)
kurang dari 60 mL/menit/1,73 m2. Penanda kerusakan ginjal tersebut antara lain
albuminaria, hasil sedimen urin abnormal, gangguan struktur ginjal yang diketahui
melalui pemeriksaan penunjang, dan adanya riwayat transplantasi ginjal (KDIGO,
2013).

2.2.2 Klasifikasi
Rekomendasi Kidney disease improving global outcomes (KDIGO) dalam
mengklasifikasikan PGK adalah berdasarkan penyebab, nilai LFG, dan nilai
albuminuria. Penilaian penyebab PGK dilakukan berdasarkan ada atau tidaknya
penyakit sistemik, gejala – gejala yang menunjukan gangguan pada bagian – bagian
ginjal, serta hasil patologi anatomi (KDIGO, 2013). Penilaian LFG terdapat pada
Tabel 2.1 dan penilaian albuminuria terdapat pada table 2.2

11
Tabel 2.1 Kategori LFG pada PGK
Derajat GFR (mL/menit/1,73 m2) Kategori
PGK
1 ≥ 90 Normal
2 60 – 89 Penurunan Sedang
3a 45 – 59 Penurunan ringan sedang
3b 30 – 44 Penurunan sedang berat
4 15 - 29 Penurunan berat
5 < 15 Gagal ginjal
Sumber: KDIGO (2013)

Table 2.2 Kategori Albumin Pada PGK


Derajat Albuminuria (mg/ (mg/g) Kategori
(mg/24 jam) mmol)
A1 < 30 <3 < 30 Normal atau peningkatan
sedikit
A2 30 – 300 3 - 30 30 - Peningkatan sedang
3000
A3 > 300 > 30 > 300 Peningkatan berat
Sumber: KDIGO (2013)

2.2.3 Etiologi dan Epidemiologi


Diperkirakan sekitar 6% populasi Amerika mengalami kerusakana ginjal
kronik dengan LFG > 60 mL/menit/1,73 m 2 yaitu PGK derajat 1 dan 2, sehingga
sangat beresiko mengalami penurunan LFG lebih lanjut. Sekitar 4,5% populasi
Amerika merupakan pasien PGK. Hipertensi merupakan penyebab dan akibat PGK
pada populasi Amerika merupakan pasien PGK derajat 3 dan 4. Nefropati diabetes dan
nefropati hipertensi merupakan etiologi utama PGK. Hipertensi merupakan penyebab
dan akibat PGK pada populasi geriatri yang cendrung mengalami iskemi ginjal kronik
akibat gangguan pembuluh darah ginjal yang tidak terdeteksi. Mortalitas akibat
kardiovaskuler biasanya terjadi pasien PGK sebelum mencapai derajat 5 (Wilkens KG,

12
2008). Adanya penurunan LFG jelas terlihat pada semua derajat PGK sehingga
penentuan etiologinya dapat dilakukan berdasarkan tanda dan gejala yang tercantum
pada table 2.3

Table 2.3. Tanda dan Gejala PGK Berdasarkan Penyebab


Penyebab Tanda dan Gejala
Nefropati DM Proteinuria, retinopati, riwayat
diabetes
Hipertensi Peningkatan tekanan darah, urinalis
normal, terdapat riwayat keluarga
Penyakit glomerulus bukan diabetes Gambaran nefritik atau nefrotik
Penyakit ginjal kistik Gejala saluran kemih, sedimen urin
abnormal, Gamabran radiologi
abnormal
Penyakit tubulointerstisial Riwayat infeksi dan refluks saluran
kemih, paparan obat dan terapi kronik,
gambaran radiologi saluran kemih
abnormal, sindrom tubulus meliputi
gangguan konsentrasi urin, hasil
urinalis abnormal
Sumber: KDIGO (2013)

2.2.5 Patofisiologi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) sering berlangsung secara progresif melalui
empat drajat. Penurunan cadangan ginjal menggambarkan LFG sebesar 35% sampai
50% laju filtrasi normal. Insufisiensi renal memiliki LFG 20% sampai 35% laju filtrasi
normal. Gagal ginjal mempunyai LFG 20% - 25% laju filtrasi normal, sementara
penyakit ginjal stadium terminal atau akhir (end stage renal disease) memiliki LFG <
20% laju filtrasi normal (Kowalak et al, 2011).
Proses terjadinya penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam proses perkembangannya yang terjadi kurang
lebih sama. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal untuk mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Penurunan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi

13
structural dan fungsional nefron yang masih bertahan (surviving nephrons) sebagai
upaya kompensasi ginjal untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth factors. Hal ini
menyebabkan peningkatan kecepatan filtrasi, yang disertai oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil untuk
mempertahankan keseimbangan elektrolit dan cairan tubuh, hingga ginjal dalam
tingkat fungsih yang sangat rendah. Pada akhirnya, jika 75 % massa nefron sudah
hancur, maka LFG dan beban zat terlarut bagi setiap nefron semakin tinggi, hingga
keseimbangan glomerulus – tubulus (kesimbangan antara peningkatan filtrasi dan
reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi,
Simadibrata K, & Setiati, 2007; Peince & Wilson, 2013).
Glomerulus yang masih sehat pada akhirnya harus menanggu beban kerja
yang terlalu berlebihan. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadi pada semua organ –
organ penting (Kowalak, Weish, & Mayer, 2011).

2.2.6 Manisfestasi Klinik


Manifestasi klinik yang dapat muncul di berbagai sistem tubuh akibat
penyakit ginjal kronik (PGK) menurut Baradero, Dayrit & Siswadi (2009) dan Price &
Wilson (20013) adalah sebagai berikut:
1. Sistem Hematopoietik
Manifestasi klinik pada sistem hematopoietic yang dapat muncul adalah
ekimosis, anemia, trombositopenia, kecendrungan perdarahan, dan
hemolisis.
2. Sistem Kardiovaskuler
Meifestasi klinik yang dapat muncul pada kardiovaskuler antara lain
hipertensi, retinopati dan ensefalopati hipertensif, disritmia, parikarditis
(friction rub), edema, beban sirkulasi berlebihan, hypervolemia,
takikardia, gagal jantung kongestif.
3. Sistem Respirasi
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem respirasi antara lain
sputum yang lengket, permafasan kusmaul, dipsnea, suhu tubuh

14
meningkat, pleural friction rub, takipnea, batuk disertai nyeri, hiliar
pneumonitis, edema paru, halitosis uremic atau fektor.
4. Sistem Gastrointestinal
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem gastrointestinal
manifestasi klinik yang dapat muncul adalah distensi abdomen, mual
dan muntah serta anoreksia menyebabkan penurunan berat badan, nafas
berbau amoniak, rasa kecap logam, mulut kering, stomatitis, parotitis,
gastritis, enteritis, diare dan konstipasi, perdarahan gastro intestinal.
5. Sistem Neurologi
Tanda yang dapat muncul dari terganggunya distribusi metabolik akibat
PGK antara lain penurunan ketajaman mental, perubahan tingkat
kesadaran, letargi/gelisah, binggung atau konsentrasi buruk, asteriksis,
stupor, tidur terganggu/insomnia, kejang hingga koma.
6. Sistem Muskuloskeletal
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem skeletal yaitu nyeri
sendi, perubahan motorik – foot drop yang berlanjut menjadi
paraplegia, osteodistrofi ginjal, pumbuhan lambat pada anak, rikets
ginjal.
7. Sistem Dermatologi
Manifestasi klinik yang dapat muncul dari terganggunya distribusi
metabolic akibat PGK antara lain ekimosis, uremic frost / “kristal”
uremik, lecet, pucat, pigmentasi, pruritus, perubahan rambut dan kuku
(kuku mudah patah, tipis, bergerigi, ada garis – garis merah – biru yang
berkaitan deangan kehilangan protein), kulit kering, memar.
8. Sistem Urologi
Manifestasi klinik pada sistem urologi dapat muncul seperti berat jenis
urin menurun, haluaran urin berkurang atau hiperuremia, azotemia,
proteinuria, hypermagnesemia, ketidakseimbangan natrium dan kalium,
frgmen dan sel dalam urin.
9. Sistem Reproduksi

15
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem reproduksi adalah
libido menurun, disfungsi ereksi, infertilitas, amenorea, lambat
pubertas.

2.2.7 Komplikasi
Komplikasi penyaki ginjal kronik (PGK) yang dapat muncul adalah anemia,
komplikasi kardiopulmunal, komplikasi GI (gastrointestinal), disfungsi seksual, defek
skeletal, parastesia, disfungsi saraf motoric seperti foot drop dan paralisis flasid, serta
fraktur patalogis (Kowalak, Weish, & Mayer, 2011).

2.2.8 Tatalaksana Medis


Panduan tatalaksana PGK berdasarkan derajatnya dari The National Kidney
Foundation Kidney Disesase Outcomes Quality Intiative (NKF KDOQI) teradapat
pada table 2.4
Tabel 2.4 Tatalaksana Klinis Berdasarkan Derajat PGK
Derajat Deskripsi LFG Tindakan
(mL/menit/1,73m2)
- Beresiko tinggi > 90 dengan faktor Skrining
risiko PGK turunkan resiko
PGK
1 Kerusakan ginjal ≥ 90 Diagnosa dan
dengan normal atau terapi
LFG meningkat
2 Kerusakan ginjal 60 - 89 Terapi keadaan
dengan penurunal komorbid
LFG ringan hentikan
progresivitas
3 Penurunan LFG 30 - 59 Evaluasi dan
sedang tangani
komplikasi
4 Penurunan LFG berat 15 - 29 Persiapan terapi
pengganti ginjal
5 Gagal Ginjal < 15 Terapi
pengganti ginjal
Sumber: KDIGO (2013)

16
Indikasi dilakukan terapi pengganti ginjal yaitu hemodialisi, dialisis
peritoneal, atau transplantasi ginjal adalah penurunan LFG sampai 5 mL/menit/1,73m2
dengan atau tanpa gejala uremia. Indikasi dialisis selain LFG adalah gejala uremia,
overload cairan yang tidak merespon diuresis, hiperkalemia menetap dan asidosis
metabolic berat dengan pH kurang dari 7,2. Edukasi pasien dan keluarga sangat
penting untuk mendapatkan pemahaman terapi mana yang paling tepat didukung
dengan tersedianya waktu untuk persiapan dialysis. Persiapan dialisis membutuhkan
kerja sama tema dengan keterlibatan dokter nefrologi, ahli gizi, dokter umum, perawat
dan tenaga social.

2.3 Hemodialisis
2.3.1 Definisi
Hemodialisis adalah pembuangan elemen tertentu dari darah dengan
memanfaatkan perbedaan kecepatan difusi melalui membran semipermeabel dengan
hemodialiser (Dorland, 2012). Hemodialisis adalah suatu proses menggunakan mesin
dialiser dan berbagai aksesorisnya, kemudian terjadi difusi partikel terlarut (salut) dan
air secara pasif melalui darah menuju kompartemen cairan dialisat melewati membran
semipermeabel dalam dialiser (Wilson, 2005).

2.3.2 Prosedur
Dalam hemodialisis terdapat sebuah mesin dialisis dan filter khusus yang
disebut ginjal buatan atau dialiser yang digunakan untuk membersihkan darah pasien.
Agar darah dapat masuk ke dalam dialiser maka perlu dibuat akses atau pintu masuk
ke dalam pembuluh darah pasien yaitu dengan cara operasi kecil yang biasanya
dilakukan pada lengan pasien. Pintu masuk atau akses tersebut dapat berupa fistula,
graft, dan kateter. Fistula adalah akses yang dibuat dengan menggabungkan arteri
radialis dan vena sepalica di lengan pasien. Graft adalah akses yang dibuat dengan
menggunakan tabung lunak untuk menggabungkan arteri dan vena tersebut di lengan
pasien. Sedangkan kateter adalah tabung lunak yang ditempatkan dalam pembuluh

17
darah besar, biasanya di leher. Fistula banyak dijadikan pilihan pertama karena
diperkirakan bertahan lebih lama, masalah terjadinya infeksi dan pembekuan lebih
kecil. Dialiser atau filter memiliki dua bagian, yaitu satu untuk darah dan satu untuk
cairan cuci disebut dialisat. Terdapat seperti membran tipis yang memisahkan dua
bagian ini. Sel darah, protein, dan zat-zat yang masih diperlukan oleh tubuh akan tetap
di dalam darah karena terlalu besar untuk melewati membran. Sedangkan produk
limbah yang lebih kecil di dalam darah, seperti ureum, kreatinin, kalium dan lainnya
akan keluar melalui membran (NKFK/DOQI, 2016).
Terdapat tiga prinsip kerja yang mendasari hemodialisis, yaitu difusi,
osmosis dan ultrafiltrasi. Pada difusi, toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan
dengan cara bergerak dari darah yang memiliki kosentrasi tinggi ke cairan dialisat
yang memiliki konsentrasi rendah. Pada osmosis, air yang berlebihan pada tubuh akan
dikeluarkan dari tubuh dengan membuat gradien tekanan yaitu air bergerak dari tubuh
pasien ke cairan dialisat. Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan
negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif
diterapkan pada alat hemodialisis sebagai kekuatan penghisap pada membran dan
memfasilitasi pengeluaran air. Kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan
hingga tercapai keseimbangan cairan pada tubuh pasien (Brunner dan Sudarth, 2002).

2.3.3 Malnutrisi Pada Pasien PGK


Malnutrisi banyak terjadi pada sebagian besar pasien PGK. Penyebab
malnutrisi pada pasien PGK multifaktorial, yaitu asupan makan yang kurang,
hilangnya zat makanan ke dalam cairan dialisat, meningkatnya katabolisme, infeksi
dan penyakit penyerta (Susetyowati, 2002).
Sebagian atau beberapa gejala yang disebabkan oleh sindroma uremia akan
menghilang setelah mulai menjalani hemodialisis, tetapi terdapat beberapa kasus yang
mengatakan bahwa prevalensi malnutrisi masih tinggi yaitu sekitar 23-76%. Hal ini
kemungkinan dapat terjadi sehubungan dengan beberapa faktor antara lain usia,
adanya penyakit lain yang memperburuk, kondisi komorbiditas dan kualitas terapi
hemodialisis (Moncef El et al., 2011).
Malnutrisi menjadi penyebab utama terjadinya kematian pada pasien PGK.
Untuk melihat adanya malnutrisi dapat dilakukan beberapa pengukuran status nutrisi

18
yaitu antropometri, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis dan analisis komposisi
tubuh. Sampai saat ini belum ada pengukuran atau pemeriksaan tunggal yang lengkap
dan jelas. Serum albumin merupakan salah satu pemeriksaan biokimia dan indikator
yang kuat untuk melihat kemungkinan risiko kematian pada pasien, namun nilainya
dipengaruhi juga oleh beberapa faktor non gizi (NKF/KDOQI, 2000).

2.3.4 Lama Hemodialisis dengan Status Nutrisi Pasien


Lama hemodialisis dapat menyebabkan masalah atau komplikasi, salah
satunya adalah malnutrisi. Malnutrisi umum terjadi pada pasien hemodialisis oleh
karena itu pasien harus menjaga asupan nutrisinya dengan adekuat. Modifikasi
makanan yang dilakukan sangat kompleks, sehingga konsultasi nutrisi sangat penting
dilakukan untuk menentukan keseimbangan kebutuhan nutrisi tubuh. Progresivitas
penyakit dari pasien juga harus diperhatikan untuk menentukan diet pasien PGK
(NIDDK, 2016).

2.4 Metode Penilaian Status Nutrisi


2.4.1 Antropometri
Antropometri mencakup pengukuran dari fisik dan komposisi nyata dari
tubuh (Supariasa dkk., 2001). Pengukuran antropometri dapat meliputi pengukuran
tinggi badan, lingkar dada, lingkar kepala, berat badan, lingkar lengan atas, ketebalan
lemak di bawah kulit. Antropometri memiliki banyak keuntungan yaitu dapat
menyediakan informasi mengenai riwayat gizi masa lalu, pengukurannya relatif cepat,
mudah, menggunakan peralatan yang mudah dibawa dan terkaliberasi, dan terdapat
metode-metode terstandarisasi (Gibson, 2005). Pengukuran antropometri dalam
penelitian ini adalah dengan mengukur tinggi badan dan berat badan untuk dilihat
status nutrisi berdasarkan IMT.

2.4.2 Pemeriksaan Klinis


Pemeriksaan klinis merupakan metode yang sangat penting untuk menilai
status nutrisi. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi dan
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel

19
seperti kulit, mata, rambut dan mukosa mulut atau pada organ-organ yang dekat
dengan permukaan tubuh (Supariasa dkk., 2001).

2.4.3 Pemeriksaan Biokimia


Pemeriksaan biokimia dapat dilakukan untuk melihat adanya perubahan
status nutrisi pada pasien PGK. Berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan, antara
lain serum albumin, serum transferrin, serum insulin like growth factor (igf)-1, serum
prealbumin, total kolesterol pada pasien dialisis kronis, plasma and muscle amino acid
concentration, serum kreatinin pada pasien dialisis tahap pemeliharaan, c-reactive
protein (CRP) yang hasilnya berkorelasi negatif dengan konsentrasi serum albumin,
dan blood urea nitrogen (BUN) pada pasien dialisis kronis. Pemeriksaan biokimia ini
memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan pemeriksaan biokimia adalah
hasilnya lebih akurat, dan dapat lebih cepat untuk menilai status nutrisi pada pasien
penyakit ginjal, sedangkan kekurangannya adalah biaya pemeriksaan ini cukup mahal
(Chung S et al., 2012).

2.4.4 Analisis Komposisi Tubuh


Komposisi tubuh manusia terdiri dari dua bagian utama yaitu jaringan
lemak (adiposa) dan jaringan bebas lemak (lean tissue). Secara konseptual, jaringan
bebas lemak sangat aktif dalam metabolisme. Oleh karena itu kebutuhan gizi erat
kaitannya dengan ukuran jaringan ini. Jaringan bebas lemak sangat heterogen yaitu
terdiri dari tulang, otot, air ekstra seluler, jaringan syaraf dan sel lainnya selain
adiposa. Adiposa sebaliknya, merupakan jaringan yang tidak aktif dalam proses
metabolisme dan fungsi utamanya adalah sebagai cadangan energi. Analisis komposisi
tubuh merupakan metode penilaian status gizi yang terbaik untuk pasien PGK, tetapi
dalam penelitian ini tidak dilakukan karena alat yang digunakan tidak tersedia
(Supariasa dkk., 2001).

2.5 Tatalaksana Nutrisi Pasien Ginjal Kronik dengan Hemodialisis


Tatalaksana nutrisi PGK dengan hemodialisis sangat penting untuk
memenuhi kebutuhan, mencegah komplikasi, dan meningkatan kualitas serta harapan

20
hidup pasien. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlakukan penilaian status nutrisi dan
persiapan program nutrisi yang akan diberikan (Gunes FE, 2013).
Penilaian status nutrisi rutin pada pasien PGK dengan hemodialisis penting
untuk mendeteksi malnutrisi disini sehingga dapat membantu memperbaiki keadaan
tersebut. Berbagai metode dapat digunakan untuk evaluasi status nutrisi pasien PGK
antara lain pengukuran antropometri, komposisi tubuh dan pemeriksaan laboratorium
biokimia (Gunes FE, 2013).
Metode Subjective Global Assessment (SGA) lebih dipilih untuk menilai
status nutrisi pasien PGK dengan dialisis karena cepat, mudah dan murah
dibandingkan metode yang lain. Rekomendasi NKF KDOQI untuk menggunakan
SGA dalam proses penilaian nutrisi pasien PGK dengan dialisis. Terdapat 7 komponen
dalam SGA yang terdiri atas 2 komponen terkait pemeriksaan fisik dan 5 komponen
terkait riwayat medis. Komponen pemeriksaan fisik adalah indikator hilangnya lemak,
otot dan status nutrisi terkait keseimbangan cairan. Komponen riwayat medis adalah
perubahan berat badan (BB), asupan, gejala saluran cerna, kapasitas fungsional,
penyakit, dan kebutuhan terkait nutrisi. Skor SGA dikategorikan 1 – 2 sebagai buruk,
3 – 5 sebagai sedang, 6 – 7 sebagai normal. Setelah dilakukan penilaian status nutrisi
pasien, tahap perikutnya adalah tatalaksana nutrisi adalah penentuan kebutuh pasien
(Gunes, 2010 & Tortora, 2012).

2.5.1 Energi
Pasien PGK dengan hemodialisis berisiko mengalami asupan energi tidak
adekuat disebabkan oleh peningkatan kebutuhan terkait gangguan ginjal dan anoreksia
yang dialami pasien. Pasien PGK khususnya dengan dialisis cendrung mengalami
anoreksia akibat gangguan psikologis, merasa menjalani dialisis sebagai suatu
ketergantungan sehingga menjadi beban dalam hidup. Penelitian yang dilakukan oleh
Burrowes dkk, menunjukan asupan pasien PGK pada hari dialisis lebih rendah 1,2
kkal/kg BB/hari dibandingkan hari non dialisis (Gunes, 2010).
Berbagai penelitian menunjukan diet rendah energi dan rendah protein
cendrung menyebabkan turunya berat badan dan malnutrisi pada pasien PGK, oleh
karena itu penentuan pemberian energi sebaiknya dilakukan berdasarkan panduan
yang ada. Berdasarkan NKF KDOQI, European Society of Enteral and Parenteral

21
Nutrition (ESPEN), pemberian energi pasien PGK pada umur kurang dari 60 tahun
adalah 35 kkal per kg BB ideal per hari, pada umur lebih dari 60 tahun yaitu 30 – 35
kkal per kg BB ideal per hari. Beberapa penelitian menunjukan pemberian energi pada
pasien PGK dengan hemodialisis sebaiknya adalah 30 – 40 kkal per kg BB per hari
(NKF/DOQI, 2002).

2.5.2 Protein
Kebutuhan protein pasien PGK dengan hemodialisis meningkat berdasarkan
peningkatan katabolisme, perubahan metabolisme serta hormonal, dan hilangnya asam
amino dalam proses dialisis. Hemodialisis menyebabkan peningkatan sitokin pro
inflamasi interleukin – 1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor (TNF-
α) sehingga menyebabkan peningkatan katabolisme protein. Terdapat 0,2 – 0,3 g per
kg atau 6 – 8 g per hari protein yang hilang selama hemodialisis. Hilangnya protein
tersebut sebaiknya segera diimbangi dengan asupan protein untuk mencegah imbangan
nitrogen negative. Berdasarkan NKF KDOQI pemberian protein pada pasien PGK
hemodialisa sebaiknya 1,2 g per kg per hari (NKF/DOQI, 2002).
Pemberian asam amino raantai cabang (AARC) dapat meningkatkan nafsu
makan pada pasien PGK dengan hemodialisis. Penelitian Cano menunjukan 6,6 – 15,7
g asupan AARC dalam sehari dapat memperbaiki indikator – indikator nutrisis pasien
PGK dengan hemodialisis. Pasien mengkonsumsi 12 g AARC dalam sehari
mengalami perbaikan metabolisme protein energi dalam 1 bulan dan kemudian
antropometri dalam 6 bulan. Terdapat peningkatan kadar albumin dari 3,31 g/dL
menjadi 3,93 g/dL (Cano, 2006 & Hiroshige 2001).

2.5.3 Karbohidrat
Asupan karbohidrat dibutuhkan untuk menyediakan energi yang cukup dan
untuk mempertahankan cadangan protein. Sebaiknya pasien PGK diberikan 60 – 65%
energi harian dari karbohidrat. Sebagian besar pasien sulit memenuhi kebutuhan
energi dengan diet rendah protein sehingga kekurangan energi dapat dipenuhi dengan
polimer glukosa (pati), gula sederhana, sumber KH murni. Pasien PGK dengan
hemodialisis yang menggunakan dialisat tanpa kandungan glukosa, selama 4 jam
dialisis akan mengalami kehilangan glukosa 28 g pada proses hemodialisis.

22
Penambahan 11 mmol/L glukosa kedalam dialisat memberi tambahan glukosa sekitar
23 g glukosa pada pasien PGK (Cano, 2006 & Hiroshige 2001).

2.5.4 Lipid
Pasien PGK dengan dialisis berisiko mengalami dislipidemia sehingga
diperlukan pengaturan jumlah dan jenis asupan lemak. Kebutuhan energi total dapat
dipenuhi dari lemak sekitar 25 – 30%. Seabaiknya asupan lemak jenuh dikurangi dan
asupan lemak tidak jenuh ditambah. Rekomendasi asupan lemak jenuh adalah kurang
dari 7% energi total, asupan lemak tidak jenuh rantai tunggal 15 – 20% energi total,
asupan lemak tidak jenuh rantai jamak 10% energi total, dan asupan kolesterol kurang
dari 200 mg. sebaiknya dilakukan pemeriksaan profil lipid pada pasien PGK. Apabila
terdapat dilipidemia, dibutuhkan pengaturan jumlah dan jenis lemak dalam diet,
aktifitas fisik, penurunan berat badan, dan restriksi gula murni (Wilkens KG, 2008).
Pasien PGK dengan malnutrisi mengalami penurunan kadar kreatinin akibat
keluarnya kreatinin ke dalam dilisat pada proses dialisis. Defisiensi kreatinin
menyebabkan gangguan oksidasi asam lemak rantai Panjang sehingga dapat
menyebabkan defisisensi energi. Literatur menyatakan pemberian suplementasi
kreatinin 750 mg/hari dari dapat menurunkan kadar trigliserida dan low density
lipoprotein (LDL) serta meningkatkan kadar HDL (Wilkens KG, 2008).
Pasien PGK dengan dialisis dapat mengalami kulit kering dan gatal, rambut
rontok sebagai tanda dan gejala defisiensi asam lemak esensial. Hasil penelitian
menunjukan suplementasi omega-3 bermanfaat dalam menurunkan kadar trigleserida,
LDL, dan C-reactive protein (CRP). Rasio omega-3 dan omega-6 juga diketahui
berperan dalam tingkat inflamasi dan mortalitas pasien PGK dengan hemodialisis
(Wilkens KG, 2008).

2.5.5 Cairan dan Elektrolit


Asupan cairan dan natrium pasien PGK dengan hemodialisis disesuaikan
berdasarkan jumlah urin, imbang cairan dan tekanan darah. Kenaikan berat badan
selama hemodialisis dianjurkan tidak melebihi 2 kg. Rekomendasi asupan cairan
harian pasien PGK dengan hemodialisis adalah sebesar 500 ml ditambah jumlah urin
dalam sehari. Restriksi natrium juga sebaiknya dilakukan berdasarkan jumlah urin.

23
Retriksi natrium juga sebaiknya dilakukan berdasarkan jumlah urin. Retriksi garam
ringan 3 – 4 g sehari dapat dilakukan pada pasien PGK dengan oliguria dan volume
urin lebih dari 1 L per hari. Pasien PGK dengan hemodialisis dan anuria dapat
mengkonsumsi 1 L cairan dengan restriksi garam 1-2 g per hari. Retriksi cairan dan
garam sebaikanya dipantau berkala jika PGK disertai dengan hipertensi atau gagal
jantung. Untuk mengurangi asupan natrium, makanan yang diawetkan, dikalengkan,
dapat dieliminasi dari diet. Kadar natrium dapat berubah dipengaruhi oleh absorpsi
dan ekskresi kalium saluran cerna (Wilkens KG, 2008).
Kadar kalium terkait dengan jumlah asupan kalium harian. Restriksi kalium
1600-2000 mg/hari diperlukan pada kasus anuria pasien PGK. Hipokalemia dapat
ditunjukkan dengan gejala muntah berat, diare, dan adanya penggunaan diuretik.
Keadaan – keadaan tersebut membutuhkan peningkatan asupan kalium (Lacey 2010).

2.5.6 Vitamin dan Mineral


Gangguan fungsi ginjal, gangguan metabolisme, asupan tidak adekuat dan
retriksi nutrient pada pasien PGK dapat mengakibatkan defisiensi berbagai vitamin
dan mineral. Difisiensi tersebut sebaiknya segera diatasi untuk menghindari komlikasi
yang lebih berat pada pasien PGK dengan hemodialisis (Lacey 2010).
Vitamin B6, Vitamin B12 dan asam folat terkait satu sama lain dalam
berbagai reaksi metabolisme. Hasil penelitian menunjukan kebutuhan vitamin B6,
vitamin B12 dan asam folat pasien PGK dengan dialisis lebih tinggi dibandingkan
individu sehat, sekitar 1 – 10 mg per hari (Lacey 2010).
Pemberian vitamin C sebaiknya sesuai dengan dosis yang diperlukan pada
pasien PGK karena terdapat vitamin C yang hilang dalam proses hemodialisis. Asupan
vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi saluran cerna, memperbaiki iron
overload, dan menurunkan insidensi anemia difisiensi zat besi. Jumlah asam askorbat
yang diberikan juga tidak boleh terlalu tinggi karena dapat menyebabkan akumulasi
pembentukan batu kalsium oksalat di ginjal, organ internal, pembuluh darah dengan
gejala hiperkalsemia dan hiperoksalatomia. Rekomendasi asupan vitamin C adalah 75
– 90 mg per hari (Lacey 2010).
Kadar 25(OH)D3 pada pasien PGK dengan dialisis lebih rendah
dibandingkan populasi normal. Terapi defisiensi vitamin D berperan penting dalam

24
memperlambat progresivitas dan meningkatkan kualitas hidup pasien PGK dengan
dialisis. Pemberian vitamin D yang dianjurkan pada pasien PGK adalah 1000 – 5000
IU (Lacey 2010).
Terapi hemodialisis tidak mengubah kadar vitamin A, β-carotene, ubiquinol,
dan kadar likopen pasien. Asupan vitamin A sebaiknya tidak melebihi angka
kecukupan gizi (AKG) pasien PGK dengan hemodialisis yaitu 800 – 1000 mg per hari.
Pasien PGK dengan hemodialisis mengalami peningkatan stress oksidatif dan resiko
kardiovaskular sehingga membutuhkan asupan vitamin E sebagai antioksidan yaitu
sebesar 400 – 800 IU (Lacey 2010).
Restriksi protein dan fosfor, hilangnya nafsu makan, dan difisiensi vitamin
D meningkatkan kebutuhan kalsium pada pasien PGK dengan hemodialisis.
Dianjurkan asupan kalsium dapat mencapai 1000 mg per hari pada pasien PGK.
Penurunan ekskresi fosfor pada pasien PGK terkait erat dengan penurunan LFG. Saat
salah satu nefron kehilangan fungsinya, tidak mampu mengeluarkan fosfor,
menyebabkan akumulasi fosfor di plasma. Jumlah asupan fosfor yang dianjurkan
adalah 800 – 1000 mg per hari. Teradapat keterbatasan pembatasan bahan makanan
sumber fosfor karena juga merupakan bahan makanan sumber protein dengan nilai
biologi tinggi, oleh karena itu absropsi fosfor dapat dicegah dengan pemberian
phosphor binding agent. Putih telur merupakan bahan makanan sumber dengan nilai
biologi yang tinggi dengan kadar fosfor dan kolesterol rendah sehingga dipilih sebagai
bahan makanan protein yang sehat bagi pasien PGK dengan dialisis (Lacey 2010).
Pasien PGK dengan dialisisi cendrung mengalami defisiensi zat besi karena
jumlah zat besi yang diabsorpsi di saluran cerna menurun, atau hilang melalui
perdarahan. Pasien PGK membutuhkan zat besi sekitar 10 – 18 mg per hari.
Suplementasi zat besi direkomendasikan setelah menilai kadar serum ferritin pasien
dan kadar serum zat besi. Terapi zat besi intarvena dapat diberikan pada pasien dengan
anemi. Terapi tersebut dapat memperbaiki kadar haemoglobin dari 5 – 7 menjadi
10g/dL (Lacey 2010).
Defisiensi zinc berkaitan dengan gejala uremia yaitu anoreksia, gangguan
sensasi pengecapan, penurunan stress oksidatif, peningkatan fungsi imun dan disfungsi
seksual pada pasien PGK dengan hemodialisis. Pasien PGK membutuhkan sekitar 15
mg zinc per hari. Defisiensi selenium meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler

25
pada pasien PGK dengan hemodialisis. Defiseinsi selenium ringan juga dapat
meningkatkan kerentanana terhadap stress oksidatif. Dibutuhkan minimal asupan
selenium 55 ug per hari (Lacey 2010).

2.6 Kerangka Teori

BAB III
KERANGKA PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep

Lama menjalani terapi hemodialisis

Status gizi dan kadar


ureum kreatinin darah

Asupan energi protein

3.2 Definisi Operasional

26
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
 1 Ureum Darah Kadar ureum Pengambilan Pemeriksaan -Kadar rendah, Ordinal
(Variabel dalam serum sample darah laboratorium jika 45 mg/dl
Dependen) darah sebagi vena dan menggunaka
sisa akhir pemeriksaan n alat -Normal, jika
metabolism kadar ureum di Biosystem 15-45 mg/dl
protein otot laboratorium.
yang diperiksa Dilakukan oleh -Kadar tinggi,
sebelum dan analis jika >45 mg/dl
setelah laboratorium.
hemodialysis
dengan satuan
mg/dl
 2 Kreatinin Kreatinin Pengambilan Pemeriksaan -Kadar rendah, Ordinal
Serum Darah merupakan sample darah laboratorium jika < 0,7
(Variabel hasil vena dan menggunaka mg/dl.
Dependen) pemecahan pemeriksaan n alat
kreatin fosfat kadar ureum di Biosystem -Normal, jika
otot, laboratorium. 0,7-1,2 mg/dl
diproduksi Dilakukan oleh
oleh tubuh analis -Kadar tinggi,
secara konstan laboratorium. jika >1,2 mg/dl
tergantung
massa otot.
 3 Status Gizi Keadaan tubuh Dengan cara Kuesioner -Status gizi Ordinal
(Variabel yang wawancara dan Form baik, jika
Dependen) merupakan dan SGA komponen
akibat dari pengamatan penilaian pada
asupan langsung form SGA
makanan dan menggunakan menunjukkan
penggunaan form SGA. >50% dengan
zat-zat gizi skor nilai A.
dalam tubuh

-  Status gizi
kurang
(tendensi
menjadi
malnutrisi),
jika komponen
penilaian pada
form SGA
menunjukkan
>50% dengan
skor nilai B.

-Status gizi

27
buruk, jika
komponen
penilaian pada
form SGA
menunjukkan
>50% dengan
skor nilai C
(Gibson, 2006)

 4 Asupan Banyaknya Wawancara Kuesioner - Baik: Interval


Protein asupan protein Kemudian Food Recall 80-100 %
((Variabel rata-rata per dihitung 2 X 24 jam.
Independen) hari penderita dengan system - Cukup:
yang diketahui data 70 – 79%
dari hasil recall nutrisurvey
terhadap -Kurang:
asupan energi 60 – 69%
pasien selama
2x24 -Lebih:
jam,kemudian >120 %
dibandingkan
dengan
kebutuhan dan
dikali 100%,
kemudian
dikategorikan
Febrian (2009)
 5 Asupan Banyaknya Wawancara Kuesioner - Baik: Interval
Energi asupan energi Kemudian Food Recall 80-100 %
(Variabel rata-rata per dihitung 2 X 24 jam.
Independen) hari penderita dengan system
yang diketahui data - Cukup:
dari hasil recall nutrisurvey 70 – 79%
terhadap
asupan energi
pasien selama -Kurang:
2x24 60 – 69%
jam,kemudian
dibandingkan -Lebih:
dengan >120 %
kebutuhan dan
dikali 100%,
kemudian
dikategorikan
Febrian (2009)
6 Lama Jangka waktu Pengambilan Kuesioner -  < 12 bulan Kategor

28
menjalani hemodialisis data rekam dan rekam ik
terapi yang telah medis pasien medis pasien - 13-24 bulan
hemodialisis dilakukan oleh dan di
(Variabel pasien PGK masukan
Independen) kedalam - >24 bulan
kuesioner
penelitian

3.3 Hipotesis
Ada hubungan lama menjalani terapi hemodialisis, asupan energi protein
dengan status gizi dan kadar ureum kreatinin darah pada pasien gagal ginjal kronik.

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain dan Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah analitik dengan desain penelitian crossectional
study, yaitu seluruh variabel yang diukur pada saat yang bersamaan pada waktu
penelitian berlangsung. Variabel dependen pada penelitian ini adalah status gizi dan
kadar ureum kreatinin darah sedangkan variable independennya adalah lama menjalani
terapi hemodialisis dan asupan energi protein.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di unit hemodialisa Rumah Sakit Omni Cikarang.
Penelitian dilakukan pada bulan April – Mei 2020.

4.3 Populasi dan Sample Penelitian

4.3.1 Populasi

29
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani
hemodialisis di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Omni Cikarang tahun 2020. Jumlah
populasi pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodilisa Rumah Sakit Omni
Cikarang yaitu sebanyak 58 orang
4.3.2 Sample
a. Besar Sample
Sampel adalah sebagian dari populasi yang nilai/karakteristiknya akan
diukur dan dipakai untuk menduga karakteristik dari populasi. Sampel dalam
penelitian ini yaitu semua yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisa
Rumah Sakit Omni Cikarang. Perhitungan total jumlah sampel sebanyak 58
responden didapatkan melalui teknik total sampling.
b. Teknik Pengambilan sample
Teknik pengambilan sample merupakan sebuah proses penyeleksian jumlah
dari populasi unyuk dapat mewakili populasi. Teknik pengambilan sample adalah
berbagai cara yang ditempuh untuk pengambilan sample agar mendapatkan
sample yang benar – benar sesuai dengan seluruh subjek penelitian tersebut
(Nursalam, 2013).
Teknik pengambilan sample dalam penelitian ini adalah total sampling.
Total sampling adalah Teknik pengambilan sample dimana jumlah sample sama
dengan populasi(sugiyono, 2011). Menurut Sugiyono (2011) total sampling dapat
digunakan jika populasi kurang dari 100. Alasan mengambil total sampling pada
penelitian ini karna jumlah populasi kurang dari 100, sehingga seluruh populasi
dijadikan sample.
1. Kriteria inklusi
- Bersedia menjadi responden
- Pasien berusia 15-75 tahun.
- Menyetujui mengisi informed consent.
- Mampu berkomunikasi dengan baik.

2. Kriteria ekslusi
- Drop out meninggal saat penelitian.
- Sepsis, menderita hepatitis B.

30
4.4 Teknik Pengumpulan Data
4.4.1 Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui
wawancara langsung dengan responden yang menggunakan kuesioner. Data primer
yang diambil meliputi :
1. Data pengukuran status gizi, didapatkan dengan cara melakukan
pengukuran antropometri menggunakan alat ukur tinggi badan dan
berat badan dan dilakukan pencatatan pada form kuesioner.
2. Data pengukuran asupan protein dan karbohidrat didapatkan dengan
cara melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner food
recall 2 X 24 jam.
4.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari rekam medis pasien , untuk
data prevalensi diperoleh dari hasil riset kesehatan dasar dan hasil penelitian. Data
sekunder yang diambil dari rekam medis pasien meliputi :
1. Data lama menjalani terapi hemodialisis.
2. Data ureum dan kreatinin darah.
3. Data personal responden, nama, jenis kelamin, usia.
4. Data prevalensi hasil riset kesehatan dasar dan hasil penelitian-
penelitian lainnya.

4.5 Pengolahan Data


Pengolahan data yang telah diperoleh dilakukan secara komputerisasi
dengan menggunakan program software pengolahan data. Adapun tahap-tahap dalam
pengolahan data yaitu sebagai berikut.

4.5.1 Editing
Tahap memeriksa kembali kuesioner jawaban responden tentang lama
menjalani terapi hemodialisis, konsumsi bahan makanan sumber karbohidrat dan
protein, status gizi, serta kadar ureum kreatinin darah pasien. Tujuannya untuk
melengkapi data yang kurang lengkap dan memeriksa kesalahan untuk diperbaiki.

31
4.5.2 Entry
Tahap memasukkan data penelitian ke komputer. Data dari hasil FFQ semi
kuantitatif untuk konsumsi asupan bahan makanan makanan sumber karbohidrat dan
protein, data lama menjalani terapi hemodialisis, data status gizi, serta data ureum
kreatinin darah terlebih dahulu dimasukkan kedalam Format excel kemudian dientri
menggunakan program SPSS versi 20.

4.5.3 Coding
Tahap memberikan kode dari kuesioner yang terkumpul pada setiap
pertanyaan dalam kuesioner. Coding bertujuan mempermudah saat analisa dan
mempercepat pemasukan data.

4.5.4 Processing
Pada tahap ini dilakukan analisis data, yaitu menganalisis data univariat dari
masing-masing variabel dan menganalisis data bivariat untuk melihat hubungan
anatara variabel independen dangan variabel dependen.

4.6 Analisis Data


4.6.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari
masing-masing variabel penelitian yang meliputi lama menjalani terapi hemodialisis,
asupan energi protein, status gizi, dan data ureum kreatinin darah).

4.6.2 Analisa Bivariat


Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan lama
menjalani terapi hemodialisis, asupan energi protein dengan status gizi dan kadar
ureum kreatinin darah pada pasien gagal ginjal kronik. Uji statistik yang digunakan
yaitu uji Correlate (korelasi) dengan tingkat kemaknaan alpha 5%. Korelasi di
samping dapat untuk mengetahui derajat/keeratan hubungan, korelasi dapat juga untuk

32
mengetahui sejauh mana kekuatan lama menjalani terapi hemodialisis, asupan energi
protein dengan status gizi dan kadar ureum kreatinin darah pada pasien gagal ginjal
kronik.
Nilai Korelasi (r):
1. Semakin mendekati -1, semakin kuat pengaruh linear negatifnya.
2. Semakin mendekati 1, semakin kuat hubungan linear positifnya.
3. Semakin mendekati 0, semakin lemah hubungan linearnya
Interpretasi dari nilai r yaitu:

r=0 Tidak ada hubungan


r = 0,01 – 0,20 Hubungan sangat rendah
r = 0,21 – 0,40 Hubungan rendah
r = 0,41 – 0,60 Agak Rendah
r = 0,61 – 0,80 Cukup
r = 0,81 – 0,99 Tinggi
r=1 Sangat Tinggi
Sumber : Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, 2011

Keputusan uji statistik Korelasi:

1. Bila nilai p ≤ 0,05 maka Ho ditolak berarti ada hubungan lama


menjalani terapi hemodialisis, asupan energi protein dengan status
gizi dan kadar ureum kreatinin darah pada pasien gagal ginjal
kronik.
2. Bila nilai p> 0,05 maka Ho gagal ditolak perhitungan statistik tidak
bermakna, ini berarti tidak ada hubungan lama menjalani terapi
hemodialisis, asupan energi protein dengan status gizi dan kadar
ureum kreatinin darah pada pasien gagal ginjal kronik.

33

Anda mungkin juga menyukai