Anda di halaman 1dari 13

BAB 15

PEWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI


YANG MAKIN KUKUH

Secara umum, hingga saat ini dapat dikatakan bahwa proses


demokratisasi telah berjalan pada jalur dan arah yang benar. Namun,
tantangan yang sangat berat masih akan dihadapi oleh seluruh
masyarakat Indonesia di dalam mempertahankan proses demokratisasi
yang sudah berjalan tersebut secara berkelanjutan. Masih belianya
usia demokrasi yang ditandai dengan belum kukuhnya struktur
kelembagaan demokrasi, masih lemahnya pelaksanaan proses politik
yang demokratis, serta masih lemahnya penerapan budaya politik
merupakan potensi yang justru dapat menghalangi dan mengganggu
perjalananan proses demokratisasi ke depan. Di samping itu, berbagai
kelemahan yang ada itu dapat dimanfaatkan oleh kekuatan kelompok
yang tidak menginginkan demokrasi berjalan di Indonesia dengan
memperlihatkan berbagai kerentanan dan kelemahan demokrasi yang
terjadi di Indonesia.
I. Permasalahan yang Dihadapi
Perkembangan demokrasi di tanah air menunjukkan bahwa pada
tingkat masyarakat, antusiasme berpolitik melalui organisasi partai
politik cukup tinggi walaupun masih tetap terlihat adanya ancaman
terhadap kebebasan berekspresi dan partisipasi masyarakat dalam
proses demokratisasi. Hal itu ditandai dengan masih kuatnya budaya
kekerasan dan meluasnya praktik-praktik politik uang, terutama dalam
pemilihan pimpinan elite politik. Di samping itu, peran masyarakat
madani di dalam menyuarakan kepentingan masyarakat masih belum
optimal. Permasalahan utama adalah belum cukup besarnya kapasitas
kelas menengah yang dibutuhkan bagi pembangunan masyarakat
madani (civil society), baik dari segi ekonomi maupun dari segi
pendidikan. Pada tingkat negara, tampak ada konsensus yang cukup
tinggi untuk terus membenahi dan memberdayakan lembaga-lembaga
penting demokrasi pada semua tingkat meskipun tetap menghadapi
hambatan berupa masih longgarnya nilai-nilai kepatuhan pada
peraturan perundangan dan lemahnya tradisi dalam berdemokrasi.
Berbagai kelemahan ini justru yang mengakibatkan tidak berfungsinya
secara optimal fungsi dan peran lembaga politik yang ada.
Berkenaan dengan hubungan kelembagaan pusat dan daerah,
permasalahan yang ada adalah bahwa pelaksanaan otonomi daerah
menghadapi kendala yang diakibatkan oleh distorsi dan inkonsistensi
peraturan perundangan serta masih belum dapat menghilangkan
dampak buruk sentralisasi kekuasaan.
Permasalahan lain yang dihadapi dalam menjaga momentum
demokrasi tersebut adalah belum adanya kesepakatan mengenai
pentingnya konstitusi yang demokratis. Proses amandemen UUD 1945
yang sudah berlangsung empat tahap masih menyisakan berbagai
persoalan ketidaksempurnaan dalam hal filosofi maupun substansi
konstitusional, terutama dalam kaitannya dengan pelembagaan dan
penerapan nilai-nilai demokrasi secara luas. Hal itu terlihat, antara
lain, dengan adanya perkembangan politik yang menunjukkan belum
optimalnya hubungan antara lembaga legislatif Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Konsolidasi demokrasi mensyaratkan pentingnya persatuan
nasional. Stabilitas sosial politik sangat diperlukan untuk menjaga

15 - 2
konsolidasi demokrasi. Persatuan nasional perlu didasarkan aspek
keanekaragaman, desentralisasi dan keadilan sosial. Namun,
perkembangan politik sampai saat ini menunjukkan bahwa masih
banyak permasalahan politik yang berpotensi mengganggu persatuan
nasional seperti masalah federalisme, masalah hubungan negara dan
agama, dan seterusnya. Permasalahan politik lain adalah belum
tuntasnya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat
dan tindakan kejahatan politik yang dilakukan atas nama negara.
Permasalahan ini berpotensi mengganggu stabilitas sosial politik yang
sangat diperlukan dalam melaksanakan konsolidasi demokrasi.
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) telah diantisipasi
akan berpotensi mengganggu stabilitas politik di daerah. Mobilisasi
massa melalui penggunaan politik uang (money politics) akan menjadi
faktor pemicu konflik di dalam pelaksanaan Pilkada. Dalam konteks
persatuan dan kesatuan, pelaksanaan Pilkada yang jujur, aman, dan
adil adalah sasaran utama yang akan dicapai dalam proses
demokratisasi.
Permasalahan lain dalam menjaga momentum konsolidasi
demokrasi adalah belum terlembaganya kebebasan pers/media massa
di dalam masyarakat. Akses masyarakat ke informasi yang bebas dan
terbuka dalam banyak hal akan lebih memudahkan kontrol pemenuhan
kepentingan publik. Peran media massa seringkali menjadi penting
dalam proses menemukan dan mencegah penyelewengan kekuasaan
dan korupsi. Kebijakan komunikasi dan informasi nasional juga belum
optimal, karena intervensi kebijakannya terlalu besar dalam
diseminasi informasi, seperti kebijakan sensor yang berlebihan dan
informasi sepihak yang berakibat pada kontraproduktif dalam
masyarakat. Berdasarkan hasil pengkajian akademik, pelaksanan
Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers masih
dirasa belum cukup memberikan perlindungan bagi pers itu sendiri,
khususnya bagi wartawan dan masyarakat. Walaupun sudah berada di
tangan insan pers sendiri, kemerdekaan pers itu belum dipergunakan
dengan sebaik-baiknya. Selain itu, masih ada ketentuan peraturan
perundangan di bidang pers yang tidak implementatif, yang dapat
menyebabkan penafsiran beragam, bahkan dimungkinkan
menimbulkan masalah dalam pelaksanaan kebebasan pers.

15 - 3
II. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Langkah kebijakan di dalam menjaga proses konsolidasi
demokrasi, antara lain, adalah penyempurnaan dan penguatan struktur
politik dan peraturan perundangan, tata kelembagaan, dan hubungan
antarlembaga negara sebagai dasar bagi konsolidasi demokrasi
selanjutnya. Hal penting di dalam pelaksanaan kebijakan ini adalah
penguatan fondasi demokrasi melalui penerapan nilai-nilai demokrasi
terhadap lembaga politik sehingga diharapkan dapat menjalankan
tugas dan wewenangnya sebagaimana diamanatkan di dalam
konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku.
Terkait dengan pelaksanaan kebijakan ini, berbagai upaya
sedang dan terus dilakukan, antara lain, dengan melaksanakan
pembangunan kapasitas (capacity building) bagi lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Setelah pemilihan umum
langsung pada tahun 2004, Pemerintah telah memfasilitasi
pelaksanaan kegiatan orientasi atau pendidikan dan pelatihan
pembekalan 11.735 orang anggota DPRD. Muatan materi
pembangunan kapasitas DPRD tersebut adalah konsep politik dalam
negeri, wawasan kebangsaan, pemerintahan umum, dan otonomi
daerah, serta kedudukan, tugas, dan fungsi DPRD dalam tatanan
politik pemerintahan. Dampak pembekalan ini dapat terlihat pada
realitas politik penyelenggaraan pemerintahan di dalam parlemen itu
sendiri.
Dalam rangka mendukung peran DPRD, Pemerintah telah pula
memfasilitasi pembahasan rumusan revisi PP No. 25 Tahun 2004
tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. Sementara itu, pada
tataran lembaga eksekutif, Pemerintah telah pula merumuskan
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Diharapkan dengan adanya
mekanisme yang jelas, tegas, dan pasti mengenai laporan kepala
daerah itu akan dapat mengefektifkan pelaksanaan tugas dan
wewenang pemerintah daerah yang akuntabel dan transparan.
Pembangunan kapasitas lembaga-lembaga eksekutif masih
dipersiapkan untuk dilakukan tidak hanya akan dibiayai dari dana
pemerintah, tetapi juga mendapatkan dukungan bantuan teknis dari
masyarakat internasional seperti UNDP dan USAID.

15 - 4
Upaya lain yang dilakukan untuk memperkuat lembaga politik
pada tatatan infrastruktur politik adalah fasilitasi pemberian bantuan
keuangan terhadap partai politik (parpol) yang memiliki kursi di
lembaga perwakilan rakyat hasil Pemilihan Umum Tahun 2004.
Upaya pemberian bantuan keuangan tersebut diharapkan dapat juga
menghindari terjadinya praktik-praktik politik uang (money politics)
oleh partai-partai politik. Lebih jauh lagi, bantuan tersebut diharapkan
dapat turut mendukung terwujudnya kehidupan demokrasi di
Indonesia. Saat ini, telah ditetapkan PP No. 29 Tahun 2005 tentang
Bantuan Keuangan kepada Parpol yang diharapkan dapat segera
dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Upaya melakukan revisi terhadap UU No. 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan masih terus dilakukan melalui berbagai
kajian dan evaluasi, serta pelaksanaan dialog/forum untuk
memperkaya materi rumusan bagi revisi UU itu. Diharapkan dengan
dukungan masyarakat, revisi terhadap UU itu akan segera dilakukan.
UU No. 8 Tahun 1985 memang telah ditengarai tidak lagi cukup
akomodatif memberikan ruang kebebasan dan tanggung jawab kepada
masyarakat sipil yang jauh lebih besar, yang kemudian telah
berdampak pada belum cukup optimalnya peran masyarakat sipil di
dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di dalam
masyarakat secara mandiri.
Terkait dengan DPD, rumusan program pembangunan kapasitas
terutama bagi peningkatan peran dan fungsi serta kewenangannya saat
ini, masih disusun. Melalui program penguatan kelembagaan tersebut,
diharapkan peran DPD pada masa mendatang segera dapat dirasakan
manfaatnya, terutama bagi masyarakat yang menitipkan aspirasinya
untuk diperjuangkan melalui lembaga DPD tersebut.
Peran Mahkamah Konstitusi semakin mantap. Kesadaran
masyarakat mengenai keberadaan dan pentingnya peran Mahkamah
Konstitusi ini sudah semakin meluas walaupun ada kekhawatiran
beberapa pihak akan tumbuhnya lembaga superbody karena dengan
kewenangannya dapat menyelesaikan berbagai sengketa hukum,
terutama antara peraturan perundangan yang berlaku dengan
konstitusi itu sendiri. Peran masyarakat untuk mengawasi
penyelenggaraan Mahkamah Konstitusi menjadi faktor signifikan
dalam menjaga integritas institusi itu.

15 - 5
Berkenaan dengan konstitusi, pada tataran masyarakat diskusi
mengenai substansi konstitusi menjadi isu yang sangat menarik. Pada
tataran suprastruktur politik, upaya yang dilakukan Pemerintah adalah
memfasilitasi suatu forum yang melibatkan berbagai pemilik
kepentingan bangsa untuk mendiskusikan substansi dari konstitusi
tersebut. Komisi Konstitusi seringkali memfasilitasi forum untuk
membahas berbagai persoalan sekitar substansi pelaksanaan
konstitusi.
Kebijakan lain yang diterapkan adalah dengan meningkatkan
komitmen semua pihak mengenai pentingnya pemberdayaan dan
pelindungan hak-hak sosial politik masyarakat melalui jaminan
kebebasan berekspresi serta jaminan kebebasan pers dan media.
Jaminan terhadap kebebasan berekpresi masyarakat membutuhkan
juga peran masyarakat sipil di luar media massa. Terhadap jaminan
kebebasan pers, Pemerintah saat ini telah memfasilitasi suatu upaya
untuk melakukan revisi terhadap UU tentang Pers.
Sementara itu, yang berkenaan dengan jaminan kebebasan
berekspresi serta pelindungan hak-hak sosial politik masyarakat serta
penciptaan masyarakat informasi menuju good governance,
Pemerintah saat ini sedang menyusun piranti lunak dalam bentuk
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Informasi Publik, RUU
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), RUU tentang
Cybercrime, serta melaksanakan sosialisasi pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi untuk mengurangi kesenjangan digital
(digital devide) di masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan
peningkatan literasi media informasi, dan program One School One
Computer’s Laboratory (OSOL). Di samping itu, dalam rangka
memberikan pelayanan informasi sebagai wujud nyata untuk
memberikan jaminan terhadap hak-hak sosial politik masyarakat, telah
disusun pula Standar Kompetensi Sumber Daya Manusia Teknologi
Informasi yang dilakukan setelah melalui berbagai diskusi dengan
TKTI, Asosiasi di Bidang ICT dan Lembaga Pemerintah Terkait
(Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Perindustrian,
Departemen Perdagangan, Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Badan Pusat Statistik, dan Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara). Kompetensi pengguna diharapkan dapat dijadikan
instrumen dalam menyiapkan SDM yang memiliki kemampuan

15 - 6
standar dalam pelaksanaan pekerjaan dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi di lembaga-lembaga pemerintah dan
swasta. Terkait dengan peningkatan pelayanan Pemerintah, upaya lain
yang dilakukan adalah melaksanakan sosialisasi dan implementasi
pengembangan e-government. Pelaksanaan program ini merupakan
bentuk konkret dari pelaksanaan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003
tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-
government sebagai pewujudan niat Pemerintah menuju good
governance dengan penerapan e-government di seluruh lembaga
pemerintah, baik pusat maupun daerah. Lebih jauh dapat disampaikan
bahwa pelaksanaan instruksi ini merupakan juga prasyarat bagi
Indonesia agar tetap menjadi bagian dari komunitas internasional,
yang telah menetapkan pemanfaatan secara optimal teknologi
komunikasi dan informatika untuk mendukung kegiatan di berbagai
sektor kehidupan, termasuk di pemerintahan dan kerja sama
internasional seperti ASEAN, APEC, WTO, dan World Summit on
Information Society (WSIS).
Lebih jauh lagi, Pemerintah telah juga menyiapkan kebijakan-
kebijakan pendukung yang merupakan operasionalisasi (policy
deployment) dari Inpres No. 3 Tahun 2003. Saat ini, telah diselesaikan
penyusunan enam belas kebijakan operasional dan disosialisasikan
bersama Pemerintah Daerah dan swasta. Sosialisasi secara khusus
juga dilaksanakan untuk pejabat dan staf KBRI/Konsulat Jenderal di
wilayah Afrika dan Timur Tengah. Secara keseluruhan, sosialisasi
kebijakan di bidang e-government telah diselenggarakan di 23 kota
sebanyak 46 kali di instansi pusat dan daerah.
Untuk mendukung implementasi kebijakan, di samping kegiatan
sosialisasi, Pemerintah telah menyiapkan aplikasi e-government yang
bersifat generik yang bisa diterapkan di seluruh instansi seperti
aplikasi sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah secara
elektronik (e-procurement), aplikasi Intra-Governmental Access to
Shared Information System (IGASIS), aplikasi sistem pengelolaan
arsip berbasis teknologi informasi (SiPATI), sistem informasi
kepegawaian, serta aplikasi-aplikasi yang bersifat spesifik seperti
perpajakan, bea cukai, dan lain-lain. Sebenarnya, inisiatif untuk
menerapkan e-government di pemerintah daerah telah dimulai
sebelum dikeluarkannya Inpres No. 3 Tahun 2003. Pemerintah

15 - 7
melakukan pembinaan agar dicapai keseragaman arah dan
memanfaatkan secara optimal sumber daya nasional yang terbatas
menuju sistem secara nasional. Pengembangan e-government
diarahkan untuk mengikuti tahapan-tahapan yang benar dan realistik
yang disesuaikan dengan kesiapan faktor-faktor kunci keberhasilan e-
government, yaitu ketersediaan infrastruktur jaringan komunikasi dan
informasi, penetrasi komputer dan internet, SDM pengelola e-
government, dukungan pimpinan (e-leadership), literasi masyarakat
dan dunia usaha sebagai pihak pengguna/yang menerima jasa layanan
pemerintahan, peraturan perundang-undangan, dan dana. Dari
penerapan e-government di daerah diperoleh hasil bahwa sebagian
besar Pemda masih berada pada tahap awal implementasi e-
government, yaitu mulai memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk mendukung proses administrasi internal dan
membangun situs web untuk menyampaikan informasi melalui
internet tentang instansinya. Dari total 471 Pemda, 48 persen atau 226
Pemda telah memiliki situs web dan baru 198 situs yang dikelola
secara aktif. Beberapa Pemda bahkan mulai menyelenggarakan
layanan pemerintahan melalui internet, seperti mengunduh
(download) dokumen-dokumen (perizinan, pendaftaran, dan lain-lain)
yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan dunia usaha. Pemda
yang dinilai cukup maju, antara lain, Pemerintah Provinsi (Pemprov)
DKI Jakarta, Pemprov D.I. Yogyakarta, Pemprov Jawa Timur,
Pemprov Sulawesi Utara, Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta,
Pemkot Bogor, Pemkot Tarakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Kebumen, Pemkab Kutai Timur, Pemkab Kutai Kartanegara, Pemkab
Bantul, Pemkab Malang, dan Pemkot Surabaya.
Wujud konkret yang lain dari pelaksanaan e-government adalah
upaya untuk menerapkan e-procurement oleh instansi pemerintah. Hal
ini penting untuk menunjukkan komitmen Pemerintah dalam
menyelenggarakan proses pengadaan barang dan jasa secara
transparan, akuntabel, dan adil sejalan dengan Inpres No. 5 Tahun
2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah
Berakhirnya Program Kerja Sama dengan International Monetary
Fund dan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi. Sistem aplikasi e-procurement dikembangkan mengacu
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Kepres No.
80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

15 - 8
Sistem aplikasi e-procurement tersebut telah diuji coba dan perluasan
operasinya akan dilaksanakan pada tahun 2006. Selanjutnya, sistem
aplikasi e-procurement akan ditawarkan secara cuma-cuma kepada
seluruh instansi pusat dan daerah, serta BUMN/BUMD. Untuk
mendukung implementasi e-procurement, sedang disiapkan konsep
Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
secara Elektronik (e-Pengadaan) sebagai landasan hukum penerapan
e-procurement, di samping RUU tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang saat ini sedang dalam penyelesaian di DPR.
Upaya lain yang telah dilakukan dalam rangka peningkatan
kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman masyarakat dalam
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi adalah pelaksanaan
dialog interaktif yang melibatkan berbagai kalangan dari tokoh
masyarakat, baik bidang pendidikan, agama, dunia usaha, organisasi
masayarakat, maupun instansi pemerintah. Di samping itu, juga
dilaksanakan kegiatan Fasilitasi Pemberdayaan Perempuan dalam
upaya pengembangan kemampuan akses informasi.
Kebijakan lain dalam rangka menjaga proses konsolidasi
demokrasi adalah peningkatan advokasi dan sosialisasi terhadap
penerapan nilai-nilai persatuan bangsa. Wujud nyata pelaksanaan
kebijakan ini adalah berbagai langkah yang dilakukan pemerintah
untuk mempersiapkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) agar dapat
berjalan dengan aman dan damai. Persiapan pelaksanaan Pilkada ini
sekaligus juga dalam konteks melaksanakan kebijakan untuk
memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan kata
lain, peningkatan kualitas desentralisasi dan otonomi daerah akan
berhasil apabila ditunjang oleh kepala daerah yang profesional dan
kompeten serta memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan
perannya di dalam proses demokrasi. Kepala daerah yang profesional
akan muncul apabila kepala daerah terpilih telah melalui proses
pemilu yang jujur dan adil.
Dari aspek hukum, dalam rangka mendukung kesuksesan
Pilkada, Pemerintah telah menetapkan PP No. 6 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sementara itu, dari aspek
sosiologis psikologis, upaya lain yang dilakukan oleh Pemerintah
adalah dengan melaksanakan sosialisasi dan dialog interaktif antara

15 - 9
pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memantapkan
persiapan pelaksanaan Pilkada. Untuk memastikan komitmen untuk
menyukseskan Pilkada, Pemerintah menetapkan Inpres No. 7 Tahun
2005 tentang Dukungan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
Kelancaran Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah. Hubungan kerja sama yang konstruktif tidak hanya pada
tataran instansi Pemerintah, tetapi juga dengan masyarakat secara
menyeluruh akan memberikan dukungan yang positif terhadap
keberhasilan pelaksanaan Pilkada. Untuk para kandidat pemimpin
provinsi dan kabupaten/kota, telah pula diupayakan pengembangan
budaya berkompetisi ”siap menang siap kalah” sebagai bentuk nyata
penerapan nilai demokrasi. Sementara itu, hal teknis dalam rangka
memperlancar dan mempercepat pengadaan dan pendistribusian
perlengkapan Pilkada, telah ditetapkan Peraturan Presiden No. 32
Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Presiden No. 80
Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Mengingat Pilkada secara langsung baru pertama kali dilakukan,
Pemerintah telah pula membentuk Tim (Desk) Pilkada Pusat dengan
Menteri Dalam Negeri sebagai penanggung jawab di tingkat pusat,
serta Tim (Desk) Pilkada Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Hasil dari berbagai upaya menjaga persatuan dan kesatuan di
dalam masyarakat terutama yang berkenaan dengan Pilkada,
berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Pilkada yang
dilakukan sejak tanggal 1 Juni 2005 sampai dengan 2 Agustus 2005
adalah bahwa Pilkada yang aman dan damai telah dilaksanakan di 170
daerah, yang terdiri atas 7 provinsi, 133 kabupaten, dan 30 kota. Perlu
diakui bahwa peran masyarakat justru memiliki porsi yang jauh lebih
besar dalam menciptakan suasana dan iklim yang aman dan damai
selama masa Pilkada. Walaupun, di satu sisi masih ditemukan
beberapa persoalan, seperti masih banyak warga yang tidak dapat
memperoleh hak pilihnya yang disebabkan tidak terdaftarnya sebagai
pemilih, dan juga beberapa bentuk protes dan unjuk rasa yang
disebabkan tidak puasnya warga terhadap hasil Pilkada di wilayahnya
akibat munculnya praktik politik uang. Terhadap masalah tersebut,
Pemerintah mengambil kebijakan agar pihak yang tidak puas terhadap
hasil Pilkada menempuh jalur hukum sesuai dengan peraturan

15 - 10
perundangan yang berlaku. Pilkada ini mendapat dukungan anggaran
APBD dan APBN senilai Rp744 miliar.
Terkait dengan penyelesaian persoalan-persoalan masa lalu
yang dapat berpotensi mengganggu stabilitas politik dan dapat
menghambat proses konsolidasi demokrasi, Pemerintah mendukung
peran dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sesuai dengan
UU No. 27 Tahun 2004 untuk dapat melaksanakan tugas dan
wewenangnya secara profesional, transparan, dan akuntabel. Saat ini
lembaga KKR sedang meningkatkan pembangunan kapasitasnya
untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenangnya di dalam
proses politik pemerintahan.

III. Tindak Lanjut yang Diperlukan


Dalam konteks mempertahankan konsolidasi demokrasi,
beberapa upaya tindak lanjut akan dilaksanakan, antara lain, terus
melaksanakan reformasi lebih lanjut atas peraturan perundangan yang
sudah ada, seperti UU Parpol, UU Pemilu Legislatif, UU Susduk
MPR, DPR, DPD dan DPRD, serta UU Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden, serta terus meningkatkan pembangunan kapasitas bagi
lembaga-lembaga demokrasi yang ada. Berbagai evaluasi terhadap
pelaksanaan undang-undang bidang politik itu akan menjadi langkah
signifikan untuk menentukan perjalanan reformasi bidang politik
selanjutnya. Terkait dengan DPRD, Pemerintah akan memfinalisasi
revisi terhadap PP No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan
Tata Tertib DPRD.
Berkenaan dengan peningkatan kualitas desentralisasi dan
otonomi daerah, tindak lanjut yang diperlukan adalah melakukan
berbagai evaluasi dan kajian mengenai pelaksanaan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah untuk selanjutnya disusun rumusan
desain menyeluruh (grand design) politik desentralisasi dan otonomi
daerah. Hal ini penting untuk memberikan arah dan tahapan
desentralisasi dan otonomi daerah agar berjalan mantap.
Dalam konteks menjaga stabilitas politik dan pemerintahan
dalam negeri, upaya tindak lanjut yang diperlukan adalah penanganan
berbagai implikasi pasca pelaksanaan Pilkada 2005 serta upaya

15 - 11
peningkatan persatuan dan kesatuan, termasuk pada beberapa daerah
dengan dinamika politik tinggi, serta mendukung terciptanya sistem
budaya politik pada tataran lokal yang semakin demokratis. Dalam
konteks Pilkada, pemantauan dan evaluasi akan terus dilakukan untuk
mengantisipasi berbagai kemungkinan negatif yang timbul yang justru
akan menghambat perlaksanaan Pilkada itu sendiri. Pemantauan ini
akan dilakukan pada sejumlah 4 provinsi dan 60 kabupaten/kota.
Upaya memberikan dukungan dan dorongan melakukan revisi
terhadap UU No. 8 Tahun 1985 akan terus dilakukan. Hal ini penting
sebagai langkah signifikan yang dapat memberikan ruang yang jauh
lebih besar bagi masyarakat sipil untuk berperan di dalam proses
konsolidasi demokrasi ke depan.
Berkenaan dengan upaya menjamin terpenuhinya hak-hak
masyarakat untuk memperoleh informasi secara bebas dan transparan
serta bertanggung jawab, kegiatan tindak lanjut yang akan dilakukan
adalah (1) penelitian dan pengembangan kualitas penyiaran; (2)
penyusunan kebijakan di bidang sarana komunikasi dan diseminasi
informasi; (3) penyusunan RPP Penyiaran; (4) penyempurnaan UU
Pers; (5) penyusunan Standar Digital Penyiaran; (6) penyusunan
Rencana Dasar Teknik Penyiaran; (7) penyusunan Rancangan Perpres
tentang Pengembangan Publikasi Pemerintah; (8) pengkajian strategi
kebijakan dan program dalam pemecahan masalah dan peningkatan
kinerja di bidang komunikasi dan informasi; (9) penelitian
penyelesaian restrukturisasi sektor Postel; (10) penelitian, pemerataan,
dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana postel; (11) pengkajian
tentang masalah komunikasi dan informatika yang dihadapi dalam
interrelasi penyelenggaraan komunikasi, informatika, regulasi, iptek,
lingkungan, kelembagaan, investasi, pendanaan, tarif, produksi,
manajemen, dan informasi; (12) penelitian kapasitas dan kemampuan
masyarakat dalam mendayagunakan teknologi serta aplikasi teknologi
telekomunikasi; (13) penelitian dan pengembangan tentang: (a) peran
lembaga komunikasi sosial dalam masyarakat; (b) kerja sama
kemitraan antara Pemerintah dengan masyarakat; (c) pengembangan
kualitas, kuantitas, dan efektivitas informasi publik; (d) pemanfaatan
dan pendayagunaan aplikasi telematika dalam meningkatkan kualitas
layanan Pemerintah dan bisnis; (14) peningkatan akses ke masyarakat
untuk memperoleh dan menikmati layanan publik di bidang

15 - 12
komunikasi dan informasi; (15) pelaksanaan kerja sama dan kemitraan
lembaga komunikasi dan informasi, Pemerintah, dan masyarakat.

15 - 13

Anda mungkin juga menyukai