Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Posisi wilayah Indonesia, secara geografis dan demografis rawan terjadinya


bencana alam dan non alam seperti gempa tektonik, tsunami, banjir dan angin puting
beliung. Bencana non alam akibat ulah manusia yang tidak mengelola alam dengan baik
dapat mengakibatkan timbulnya bencana alam, seperti tanah longsor, banjir bandang,
kebakaran hutan dan kekeringan. Selain itu, keragaman sosio-kultur masyarakat
Indonesia juga berpotensi menimbulkan gesekan sosial yang dapat berakibat terjadi
konflik sosial.
Pada tahun 2010 tercatat 315 kali kejadian bencana dengan korban meninggal
sebanyak 1.385 orang, luka berat/rawat inap sebanyak 4.085 orang, luka ringan/rawat
jalan 98.235 orang, korban hilang 247 orang dan mengakibatkan 618.880 orang
mengungsi. Sementara itu, pada tahun 2011 tercatat 211 kali kejadian bencana dengan
korban meninggal sebanyak 5.5.2 orang, luka berat/rawat inap sebanyak 1.5.7.1 orang,
luka ringan/rawat jalan 12.39.6 orang, korban hilang 264 orang dan mengakibatkan
144.604 orang mengungsi. Pada tahun 2018 tercatat 2.575 kali bencana dengan 4.814
orang korban meninggal dan hilang, 21.083 korban luka luka, 10.333,309 orang
terdampak bencana dan mengungsi (BNPB,2018).
Dampak bencana tersebut, baik bencana alam maupun konflik sosial,
mengakibatkan terjadinya kedaruratan di segala bidang. Dampak yang lebih mendasar
adalah timbulnya permasalahan kesehatan dan gizi pada kelompok masyarakat korban
bencana. Hal ini disebabkan rusaknya sarana pelayanan kesehatan, terputusnya jalur
distribusi pangan sehingga ketersediaan pangan sangat terbatas, rusaknya sarana air
bersih dan sanitasi lingkungan yang buruk. Kehidupan di pengungsian pada umumnya
menyebabkan tekanan fisik dan psikologis para korban. Oleh karena itu pada awal
kedatangan korban ke tempat pengungsian sangat tergantung pada bantuan pangan dan
kesehatan lainnya. Apabila hal ini tidak segera diatasi maka kondisi kesehatan para
korban akan menjadi buruk.

1
Masalah gizi yang bisa timbul adalah kurang gizi pada bayi dan balita serta
memburuknya status gizi kelompok masyarakat yang menjadi korban bencana atau
konflik. Hal ini dapat di sebabkan bantuan makanan yang sering terlambat, tidak ber
kesinambungan dan terbatasnya ketersediaan pangan lokal dapat memperburuk kondisi
yang ada.
Masalah gizi lain yang seringkali muncul adalah adanya bantuan pangan dari
dalam dan luar negeri yang mendekati atau melewati masa kadaluarsa, tidak disertai label
yang jelas, tidak ada keterangan halal serta melimpahnya bantuan susu formula bayi dan
botol susu. Masalah tersebut diperburuk lagi dengan kurangnya pengetahuan dalam
penyiapan makanan buatan lokal khususnya untuk bayi dan balita.
Pemberian makanan dan nutrisi yang tidak tepat pada kelompok rentan
mengalami penurunan status gizi, meningkatkan resiko kesakitan dan kematian terlebih
pada situasi bencana. Pengalaman di camp pengungsi di Asia dan Afrika menunjukkan
bahwa angka kematian tinggi pada pengungsi yang berkaitan erat dengan buruknya status
gizi para pengungsi terutama pada kelompok rawan/rentan. Kelompok rentan yang harus
diutamakan dan menjadi perhatian khusus dalam pemberian asupan makanan adalah bayi
dan balita, ibu hamil, ibu yang sedang menyusui, serta lansia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan Unicef
terhadap pengungsi Timor Timur di Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa 24%
balita dikategorikan status gizi kurus atau wasted (BB/TB < – 2SD), 8% diantaranya
sangat kurus (BB/TB < -3SD ). Sedangkan di Kalimantan Barat prevalensi gizi kurang
(BB/TB < - 2 SD) dilaporkan sebesar 10.8%. Penelitian di pengungsian menunjukkan
bahwa kematian anak balita 2-3 kali lebih besar dibandingkan kematian pada semua
kelompok umur. Kematian terbesar terjadi pada kelompok umur 0-6 bulan
(WHOUNICEF, 2001).
Berdasarkan ketentuan UNHCR jika prevalensi status gizi Kurang (< - 2SD)
antara 10-15% ditambah adanya faktor lain yang memperburuk, maka keadaan gizi di
lokasi pengungsi tersebut dikatakan kritis. Oleh karena itu penanganan gizi dalam situasi
bencana menjadi bagian penting untuk menangani pengungsi secara cepat dan tepat.
Status gizi diartikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan
antara kebutuhan dan masukan zat gizi. Status gizi sangat ditentukan oleh ketersediaan

2
zat gizi dalam jumlah cukup dan dalam kombinasi waktu yang tepat di tingkat sel tubuh
agar berkembang dan berfungsi secara normal. Untuk mempertahankan status kesehatan
atau status gizi seseorang perlu diperhatikan asupan zat gizi. Dalam mempertahankan
atau memperbaiki status gizi kelompok yang rentan mengalami penurunana status gizi
dalam keadaan darurat sangat perlu diperhatikan asupan energy dan protein. Energy
dibutuhkan untuk mempertahankan proses fisiologi tubuh, protein dibutuhkan untuk
membangun sel-sel yang telah rusak serta membentuk zat-zat pengatur seperti enzim.
Dalam pelaksanaannya, upaya penanganan gizi dalam situasi bencana merupakan
rangkaian kegiatan yang dimulai sejak sebelum terjadinya bencana (pra bencana), pada
situasi bencana yang meliputi tahap tanggap darurat awal, tahap tanggap darurat lanjut
dan pasca bencana. Kegiatan penanganan gizi pada tahap tanggap darurat awal adalah
kegiatan pemberian makanan agar pengungsi tidak lapar dan dapat mempertahankan
status gizinya, sementara penanganan kegiatan gizi pada tahap tanggap darurat lanjut
adalah untuk menanggulangi masalah gizi melalui intervensi sesuai masalah gizi yang
ada. Intervensi dalam menangani masalah penurunan status gizi sangat penting
memperhatikan asupan energy dan protein.

B. TUJUAN

Adapun tujuan dari penyajian makalah ini adalah untuk mengetahui dan
memahami penanganan permasalahan gizi dalam kondisi darurat terutama untuk
memenuhi nilai gizi utama dalam mempertahankan atau meningkatkan status gizi dalam
kondisi darurat/bencana.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penyelengaraan Makanan Untuk Kedaruratan dan Bencana.

Penyelengaraan makanan darurat dipersiapkan pada waktu terjadinya keadaan


darurat yanga ditetapkan oleh kepala wilayah setempat sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan. Pada dasarnya penyediaan makanan darurat sifatnya sementara dalam
waktu relative singkat (1-3 hari). Macam makanan pada tahap awal diberikan makanan
matang,selanjutnya makanan mentah,sampai dinyatakan keadaan membaik.
Pada dasarnya penyedian makanan matang dilakukan pada tahap awal pada saat
dinyatakan keadaan darurat dan masyarakat tidak mungkin untuk meyelengarakan
makanan sendiri. Tugas penyediaan makanan dilakukan oleh team yang dibentuk oleh
kepala wilayah yang bertindak sebagai koordinator pelaksana penanggulangan bencana
alam, yang dipusatkan pada pos komando yang sudah ditetapkan. (Mayumi,2014)
Menurut kemenkes RI (2012) kegiatan penyelangaraan gizi dalam
penanggulangan bencana terdiri dari rangkaian kegiatan yang dimulai sejak pra bencana,
pada saat situasi bencana dan pasca bencana.

4
1) Pra Bencana
Penanganan gizi pada pra bencana pada dasarnya adalah kegiatan antisipasi
terjadinya bencana dan mengurangi risiko dampak bencana. Kegiatan yang
dilaksanakan antara lain sosialisasi dan pelatihan petugas seperti manajemen gizi
bencana, penyusunan rencana kontinjensi kegiatan gizi, konseling menyusui,
konseling Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), pengumpulan data awal
daerah rentan bencana, penyediaan bufferstock MP-ASI, pembinaan teknis dan
pendampingan kepada petugas terkait dengan manajemen gizi bencana dan
berbagai kegiatan terkait lainnya.
2) Situasi Keadaan Darurat Bencana

Situasi keadaan darurat bencana terbagi menjadi 3 tahap, yaitu siaga


darurat, tanggap darurat dan transisi darurat.

5
a. Siaga Darurat

Suatu keadaan potensi terjadinya bencana yang ditandai dengan adanya


pengungsi dan pergerakan sumber daya. Kegiatan penanganan gizi pada
situasi siaga darurat sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dapat
dilaksanakan kegiatan gizi seperti pada tanggap darurat.

b. Tanggap Darurat
Kegiatan penanganan gizi pada saat tanggap darurat dapat dikelompokkan
dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap tanggap darurat awal dan tanggap darurat
lanjut.
a) Tahap Tanggap Darurat Awal
 Fase I Tanggap Darurat Awal
Fase I Tanggap Darurat Awal antara lain ditandai dengan kondisi
sebagai berikut: korban bencana bisa dalam pengungsian atau
belum dalam pengungsian, petugas belum sempat mengidentifikasi
korban secara lengkap,bantuan pangan sudah mulai berdatangan
dan adanya penyelenggaraan dapur umum jika diperlukan.
Lamanya fase 1 ini tergantung dari situasi dan kondisi setempat di
daerah bencana yaitu maksimal sampai 3 hari setelah bencana. Pada
fase ini kegiatan yang dilakukan adalah:
 Memberikan makanan yang bertujuan agar pengungsi tidak
lapar dan dapat mempertahankan status gizinya.
 Mengawasi pendistribusian bantuan bahan makanan.
 Menganalisis hasil Rapid Health Assessment (RHA).

Pada fase ini, penyelenggaraan makanan bagi korban bencana


mempertimbangkan hasil analisis RHA dan standar ransum. Rasum
adalah bantuan bahan makanan yang memastikan korban bencana
mendapatkan asupan energi, protein dan lemak untuk
mempertahankan kehidupan dan beraktivitas. Ransum dibedakan
dalam bentuk kering (dry ration) dan basah (wet ration). Dalam

6
perhitungan ransum basah diprioritaskan penggunaan garam
beriodium dan minyak goreng yang difortifikasi dengan vitamin A.

 Fase II Tanggap Darurat Awal


Kegiatan terkait penanganan gizi pada fase II, adalah:
a) Menghitung kebutuhan gizi
Berdasarkan analisis hasil Rapid Health Assessment (RHA)
diketahui jumlah pengungsi berdasarkan kelompok umur,
selanjutnya dapat dihitung ransum pengungsi dengan
memperhitungkan setiap orang pengungsi membutuhkan
2.100 kkal, 50 g protein dan 40 g lemak, serta menyusun
menu yang didasarkan pada jenis bahan makanan yang
tersedia.

7
8
9
b) Pengelolaan penyelenggaraan makanan di dapur umum
meliputi:
 Tempat pengolahan
 Sumberbahan makanan
 Petugas pelaksana
 Penyimpanan bahan makanan basah
 Penyimpanan bahan makanan kering
 Cara mengolah
 Cara distribusi
 Peralatan makan dan pengolahan
 Tempat pembuangan sampah sementara
 Pengawasan penyelenggaraan makanan
 Mendistribusikan makanan siap saji
 Pengawasan bantuan bahan makanan untuk
melindungi korban bencana dari dampak buruk
akibat bantuan tersebut seperti diare, infeksi,
keracunan dan lain-lain

b) Tanggap Darurat Lanjut


Tahap tanggap darurat lanjut dilaksanakan setelah tahap tanggap
darurat awal, dalam rangka penanganan masalah gizi sesuai tingkat
kedaruratan. Lamanya tahap tanggap darurat lanjut tergantung dari situasi
dan kondisi setempat di daerah bencana.

Pada tahap ini sudah ada informasi lebih rinci tentang keadaan
pengungsi, seperti jumlah menurut golongan umur dan jenis kelamin,

10
keadaan lingkungan, keadaan penyakit, dan sebagainya. Kegiatan
penanganan gizi pada tahap ini meliputi:

 Analisis factor penyulit berdasarkan hasil Rapid Health


Assessment(RHA).
 Pengumpulan data antropometri balita (berat badan,
panjang badan/tinggi badan), ibu hamil dan ibu menyusui
(Lingkar Lengan Atas).
 Menghitung proporsi status gizi balita kurus (BB/TB <-
2SD) dan jumlah ibu hamil dengan risiko KEK (LILA
<23,5. cm).
 Menganalisis adanya faktor penyulit seperti kejadian diare,
campak, demam berdarah dan lain-lain. Informasi tentang
proporsi status gizi balita selanjutnya digunakan sebagai
dasar untuk melakukan modifikasi atau perbaikan
penanganan gizi sesuai dengan tingkat kedaruratan yang
terjadi. Penentuan jenis kegiatan penanganan gizi
mempertimbangkan pula hasil dari surveilans penyakit.
Hasil analisis data antropometri dan faktor penyulit serta
tindak lanjut atau respon yang direkomendasikan adalah
sebagai berikut:
 Situasi Serius(Serious Situation),jika prevalensi
balita kurus ≥15.% tanpa faktor penyulit atau
1014,9.% dengan faktor penyulit. Pada situasi ini
semua korban bencana mendapat ransum dan
seluruh kelompok rentan terutama balita dan ibu
hamil diberikan makanan tambahan (blanket
supplementary feeding).
 Situasi Berisiko (Risky Situation), jika prevalensi
balita kurus 10-14,9.% tanpa faktor penyulit atau
5.-9.,9.% dengan faktor penyulit. Pada situasi ini

11
kelompok rentan kurang gizi terutama balita
kurus dan ibu hamil risiko KEK diberikan
makanan tambahan (targetted supplementary
feeding).
 Situasi Normal, jika prevalensi balita
kurus <10% tanpa faktor penyulit atau
<5% dengan faktor penyulit maka dilakukan
penanganan penderita gizi kurang melalui
pelayanan kesehatan rutin. Apabila ditemukan
balita sangat kurus dan atau terdapat tanda klinis
gizi buruk segera dirujuk ke sarana pelayanan
kesehatan untuk mendapat perawatan sesuai
Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
 Melaksanakan pemberian makanan tambahan dan
suplemen gizi.
 Khusus anak yang menderita gizi kurang
perlu diberikan makanan tambahan disamping
makanan keluarga, seperti kudapan/jajanan, dengan
nilai energi 350 kkal dan protein 15. g per hari.
 Ibu hamil perlu diberikan 1 tablet Fe setiap
hari,selama 90 hari.
 Ibu nifas (0-42 hari) diberikan 2 kapsul
vitamin A dosis 200.000 IU (1 kapsul pada hari
pertama dan 1 kapsul lagi hari berikutnya, selang
waktu minimal 24 jam)
 Pemberian vitamin A biru (100.000 IU) bagi
bayiberusia 6-11 bulan; dan kapsul vitamin A
merah (200.000 IU) bagi anak berusia 12-59 bulan,
bila kejadian bencana terjadi dalam waktu kurang
dari 30 hari setelah pemberian kapsul vitamin A

12
(Februari dan Agustus) maka balita tersebut tidak
dianjurkan lagi mendapat kapsul vitamin A.
 Melakukan penyuluhan kelompok dan konseling
perorangan dengan materi sesuai dengan kondisi
saat itu, misalnya konseling menyusui dan MP-ASI.
 Memantau perkembangan status gizi balita melalui
surveilans gizi.
3. Transisi Darurat
Transisi darurat adalah suatu keadaan sebelum dilakukan rehabilitasi dan
rekonstruksi. Kegiatan penanganan gizi pada situasi transisi darurat disesusaikan
dengan situasi dan kondisi yang ada, dapat dilaksanakan kegiatan gizi seperti pada
tanggap darurat.

B. Pelaksanaan Kegiatan Penanganan Gizi


Kegiatan penanganan gizi pada situasi bencana perlu dikoordinasikan agar efektif
dan efisien, antara lain sebagai berikut:
a) Penghitungan kebutuhan ransum.
b) Penyusunan menu 2.100 kkal, 50 g protein dan 40 g lemak.
c) Penyusunan menu untuk kelompok rentan.
d) Pendampingan penyelenggaraan makanan sejak dari persiapan sampai
pendistribusian.
e) Pengawasan logistik bantuan bahan makanan, termasuk bantuan susu formula
bayi.
f) Pelaksanaan surveilans gizi untuk memantau keadaan gizi pengungsi
khususnya balita dan ibu hamil.
g) Pelaksanaan tindak lanjut atau respon sesuai hasil surveilans gizi.
h) Pelaksanaan konseling gizi khususnya konseling menyusui dan konseling MP-
ASI.
i) Suplementasi zat gizi mikro (kapsul vitamin A untuk balita dan tablet besi
untuk ibu hamil).

13
Penanganan gizi dalam situasi bencana terdiri dari penanganan gizi pada kelompok
rentan dan dewasa selain ibu menyusui dan ibu hamil.

C. Pangan Darurat

Pangan darurat atau emergency food product (EFP) adalah produk pangan yang
didesain untuk digunakan pada situasi darurat dan dapat dikonsumsi secara langsung
serta memenuhi kebutuhan gizi harian (Syamsir et al., 2014). Tujuan dari EFP adalah
mengurangi angka kematian korban keadaan darurat tersebut dengan menyediakan
makanan yang mengandung nutrisi lengkap untuk memenuhi angka kebutuhan gizi
harian. Tujuan tersebut dicapai dengan menyediakan makanan bergizi lengkap serta
mencukupi sebagai satu-satunya sumber nutrisi selama 15 hari dari waktu pengungsian
yang diakui (IOM, 2002).

Lima karakteristik yang penting untuk pengembangan pangan darurat yang baik
secara urut adalah bersifat aman, dapat dikonsumsi (memiliki palatabilitas yang baik),
mudah didistribusikan, mudah digunakan dan memiliki kandungan gizi yang lengkap
(IOM, 2002). Panitia Nutrisi Internasional memperkirakan ratarata kebutuhan energi per
kapita atau estimated mean per capita energy requirement (EMPCER) adalah sebesar
2.076 kkal/ hari yang dibulatkan menjadi 2.100 kkal/ hari (IOM, 1995). Rekomendasi
pemenuhan angka kebutuhan gizi sebanyak 2.100 kkal/ hari harus dilakukan oleh pangan
darurat (EFP) dengan berat kurang lebih 450 g (IOM, 2002).

Karakteristik kimia pada pangan darurat yang lebih spesifik adalah aktifitas air
yang dimiliki pangan tersebut. Aktifitas air yang lebih rendah dari 0,4 dibutuhkan pada
pangan darurat untuk memastikan perlindungan dari degradasi nutrisi (IOM, 2002).

Keadaan darurat dapat digolongkan menjadi dua sebagai dasar perancangan


pangan darurat. Pertama adalah keadaan darurat dimana masih tersedia air dan sumber
energi untuk memasak namun dalam jumlah yang terbatas.Keadaan kedua adalah kondisi
dimana korban keadaan darurat tidak memiliki akses untuk air dan api atau sumber energi
lain yang dapat digunakan untuk memasak. IOM (2002) mengemukakan beberapa
spesifikasi untuk pangan darurat:

14
a. dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk populasi dengan umur di
atas 6 bulan
b. dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber pangan untuk
bertahan hidup hingga 15 hari
c. dapat diterima oleh orang-orang dari berbagai latar belakang suku
dan agama,
d. dapat dikonsumsi dalam keadaan bergerak tanpa preparasi,
e. dapat ditempatkan pada kondisi lingkungan yang buruk
sekurangkurangnya selama 3 tahun tanpa penambahan biaya secara
signifikan dan
f. dapat didistribusikan dari udara tanpa merusak produk dan tanpa
membahayakan orang yang ada di bawah.

Asumsi yang digunakan dalam pengembangan komposisi nutrisi produk pangan


darurat berdasarkan ketetapan Institute of Medicine adalah air minum disediakan sebagai
prioritas tertinggi dan tersedia bersama dengan produk pangan darurat. Selain untuk
kondisi darurat berupa bencana alam atau peperangan,walaupun tidak umum untuk
dikonsumsi dalam keadaan normal, pangan darurat tetap dapat berperan membantu
ketersediaan energi dalam tubuh serta mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk
mempersiapkan makanan jika dikonsumsi pada keadaan normal.

Pangan darurat (EFP) mungkin dapat digunakan dikemudian hari pada keadaan-
keadaan di luar keadaan darurat sebagai sumber nutrisi tambahan hingga diet tradisional
(IOM, 2002).Institute of Medicine juga memberikan rekomendasi dan saran mengenai
kandungan nutrisi minimal yang dianjurkan pada pangan darurat. Saran kandungan
nutrisi tersebut terdapat dalam Tabel berikut

15
Spesifikasi Nutrisi untuk Produk Pangan Darurat Energi Tinggi dan Padat Nutrisi

Nutrisi Kebutuhan Kepadatan Nutrisi Minimum


per Batang Pangan per 1.000 kkal Per 2.100 kkal
Darurat (50 g) energi energi
Energi 233 kkal
Lemak 9,1 g (35% dari total 39 g 82 g
kalori)
Proteinb 7,9 g (13,5% dari 34 g 71 g
total kalori)
Total Karbohidrat 100-125 g 210 – 263 g
Total Gula 7-11,7 g (12-20% 30 – 50 g 63 – 105 g
dari total kalori)
Sumber: IOM, 2002.
a Kandungan energi produk pangan darurat dikhususkan berada dalam kisaran 4,5 sampai 5 kkal/g, yang
akan menyediakan energi antara 2.100-2.250 kkal per 9 batang pangan darurat (50 g).
b Protein Digestibility-Corrected Amino Acid Score (PDCAAS) merupakan metode yang digunakan oleh
FAO/ WHO (1989) untuk evaluasi protein yang berdasarkan asam amino esensial yang dibutuhkan oleh
anak berumur 2-5 tahun.
Selain rekomendasi terhadap kandungan makro dan mikronutrien, terdapat juga
rekomendasi terhadap stabilitas mikrobiologis, stabilitas kimia dan retensi nutrien, rasa
dan warna, komposisi produk pangan darurat, uji penerimaan produk awal, pengemasan,
konfigurasi produk, metode produksi dan uji keterjaminan kualitas serta kontrol.
Rekomendasi terhadap rasa dan warna juga mencakup saran agar produk pangan darurat
tidak menyerupai air jika terdispersi dalam air.
D. Penanganan Gizi Kelompok Rentan
Penanganan gizi kelompok rentan diprioritaskan bagi anak usia 0-23 bulan, anak
usia 24-59 bulan, ibu hamil dan ibu menyusui serta lanjut usia.
1) Gizi Anak Usia 0-23 Bulan.
Bayi dan anak usia 0-23 bulan atau di bawah dua tahun (baduta)
merupakan kelompok yang paling rentan sehingga memerlukan penanganan
gizi khusus. Pemberian makanan yang tidak tepat serta kekurangan gizi pada
kelompok tersebut dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian yang
lebih tinggi pada situasi bencana.

16
Penelitian di pengungsian menunjukkan bahwa kematian anak balita 2-3
kali lebih besar dibandingkan kematian pada semua kelompok umur.
Kematian terbesar terjadi pada kelompok umur 0-6 bulan (WHO-UNICEF,
2001). Oleh karena itu penanganan gizi bagi kelompok ini dalam situasi
bencana menjadi bagian penting untuk menangani pengungsi secara cepat dan
tepat. Penanganan gizi anak usia 0-23 bulan mengikuti prinsip Pemberian
Makanan Bayi dan Anak (PMBA).
Berikut Penanganan Gizi Bayi 0-5 Bulan pada kondisi bencana :
 Bayi tetap diberi ASI.
 Bila bayi piatu, bayi terpisah dari ibunya atau ibu tidak
dapat memberikan ASI, upayakan bayi mendapat bantuan
ibu susu/donor, dengan persyaratan:
 Permintaan ibu kandung atau keluarga bayi yang
bersangkutan.
 Identitas agama dan alamat pendonor ASI diketahui
dengan jelas oleh keluarga bayi.
 Persetujuan pendonor setelah mengetahui identitas
bayi yang di beri ASI.
 Pendonor ASI dalam kondisi kesehatan baik dan
tidak mempunyai indikasi medis.
 ASI donor tidak diperjualnbelikan
 Bila tidak memungkinkan bayi mendapat ibu susu/donor,
bayi diberikan susu formula dengan pengawasan atau
didampingi oleh petugas kesehatan.
Penanganan Gizi Anak Usia 6-23 Bulan pada kondisi bencana :
 Baduta tetap diberi ASI.
 Pemberian MP-ASI yang difortifikasi dengan zat gizi
makro, pabrikan atau makanan lokal pada anak usia 6-23
bulan.
 Pemberian makanan olahan yang berasal dari bantuan
ransum umum yang mempunyai nilai gizi tinggi.

17
 Pemberian kapsul vitamin A biru (100.000 IU) bagi yang
berusia 6-11 bulan; dan kapsul vitamin A merah (200.000
IU) bagi anak berusia 12-59 bulan “ Bila bencana terjadi
dalam waktu kurang dari 30 hari setelah pemberian kapsul
vitamin A (Februari dan Agustus) maka balita tersebut
tidak dianjurkan lagi mendapat kapsul vitamin A”.
 Dapur umum sebaiknya menyediakan makanan untuk anak
usia 6-23 bulan.
 Air minum dalam kemasan diupayakan selalu tersedia di
tempat pengungsian.

Penyusunan Menu Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak (PBMA)


Usia 6– 59 Bulan:

 Kebutuhan gizi:
 Bayi 6-11 bulan, 100-120 kkal/kg berat badan,
makanan terdiri dari Air Susu Ibu (ASI) + Makanan
Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI).
 Anak 12-23 bulan, 80-90 kkal/kg berat badan,
makanan terdiri dari ASI + MP-ASI/makanan
keluarga.
 Anak 24-59 Bulan, 80-100 Kal/kg berat badan,
makanan terdiri dari makanan keluarga.
 Menu MP-ASI dan makanan keluarga dibawah ini terdiri
dari 2 bagian. Bagian satu adalah menu 5 hari pertama
setelah keadaan darurat terjadi, dimana bantuan bahan
makanan masih terbatas. Lima (5) hari berikutnya
diharapkan keadaan sudah mulai teratasi dan bantuan bahan
makanan segar sudah ada, sehingga menu dapat ditambah
bahan makanan segar berupa lauk, sayur dan buah sesuai
kebutuhannya.

18
 Bila dari awal keadaan darurat sudah tersedia bahan
makanan segar seperti daging/ikan/telur, sayur dan buah,
maka harus diutamakan untuk diberikan pada bayi dan
balita.
 Perlu diperhatikan jenis bantuan yang diberikan hendaknya
juga meliputi bumbu dapur, baik yang segar maupun yang
sudah diproses atau siap pakai (dalam kemasan).

19
20
2) Gizi Anak Balita 24-59 Bulan.
 Hindari penggunaan susu dan makanan lain yang penyiapannya
menggunakan air, penyimpanan yang tidak higienis, karena
berisiko terjadinya diare, infeksi dan keracunan.
 Keragaman menu makanan dan jadwal pemberian makanan
disesuaikan dengan kemampuan tenaga pelaksana. Daftar menu

21
harian ditempel di tempat yang mudah dilihat oleh pelaksana
pengolahan makanan.
 Pemberian kapsul vitamin A.
 Makanan utama yang diberikan sebaiknya berasal dari makanan
keluarga yang tinggi energi, vitamin dan mineral.
 Makanan pokok yang dapat diberikan seperti nasi, ubi, singkong,
jagung, lauk pauk, sayur dan buah. Bantuan pangan yang dapat
diberikan berupa makanan pokok, kacang-kacangan dan minyak
sayur.

22
23
3) Gizi Ibu Hamil dan Ibu Menyusui
Ibu hamil dan menyusui, perlu penambahan energi sebanyak 300 kkal dan
17 g protein, sedangkan ibu menyusui perlu penambahan energi 500 kkal dan
17g protein.

24
4) Gizi Lanjut Usia
Usia lanjut, perlu makanan dalam porsi kecil tetapi padat gizi dan mudah
dicerna. Dalam pemberian makanan pada usia lanjut harus memperhatikan
faktor psikologis dan fisiologis agar makanan yang disajikan dapat
dihabiskan. Dalam kondisi tertentu, kelompok usia lanjut dapat diberikan
bubur atau biskuit.
E. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Pada Pengungsi.
Ada 3 jenis PMT yang dapat diberikan pada pengungsi korban bencana,
yaitu PMT Darurat, PMT Darurat Terbatas dan PMT Terapi.
a) PMT Darurat.
Blanket supplementary feeding programe merupakan
pemberian makanan tambahan kepada seluruh kelompok rentan:
anak balita, wanita hamil,dan ibu meneteki (khususnya sampai 6
bulan setelah melahirkan) yang bertujuan mencegah memburuknya
keadaan gizi pengungsi.PMT darurat diberikan tanpa melihat status
gizi pengungsu dan diberikan diet lebih kurang 2000 kkal.

25
PMT Darurat dalam bentuk bahan pangan dengan nilai gizi
seimbang, diusahakan sesuai dengan kebiasaan penduduk
setempat. Untuk pendistribusian terpusat melalui dapur umum.
b) PMT Darurat Terbatas.
Targeted supplementary feeding programe
merupakan pemberian makanan tambahan kepada
kelompok rentan yang menderita gizi kurag dengan. Tujuan
untuk memberikan PMT untuk mengurangi prevalensi gizi
kurang dan kematian pada kelompok rentan/resiko
c) PMT Terapi

Therapeutic feeding programme merupakan


pemberian makanan tambahan dengan terapi diet dan medis
pada anak yang menderita gizi buruk. Bahan makanan yang
diberikan disesuaikan dengan bahan makanan lokal,
bertujuan menurunkan angka kematian.

26
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Kegiatan penyelangaraan gizi dalam penanggulangan bencana terdiri dari
rangkaian kegiatan yang dimulai sejak pra bencana, pada saat situasi
bencana dan pasca bencana.
2. Kegiatan penanganan gizi pada saat tanggap darurat dapat dikelompokkan
dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap tanggap darurat awal dan tanggap darurat
lanjut.
3. Menghitung kebutuhan gizi berdasarkan analisis hasil Rapid Health
Assessment (RHA) diketahui jumlah pengungsi berdasarkan kelompok
umur, selanjutnya dapat dihitung ransum pengungsi dengan
memperhitungkan setiap orang pengungsi membutuhkan 2.100 kkal, 50 g
protein dan 40 g lemak, serta menyusun menu yang didasarkan pada jenis
bahan makanan yang tersedia.
4. Penanganan gizi kelompok rentan diprioritaskan bagi anak usia 0-23
bulan, anak usia 24-59 bulan, ibu hamil dan ibu menyusui serta lanjut usia.
5. Ada 3 jenis PMT yang dapat diberikan pada pengungsi korban bencana,
yaitu PMT Darurat, PMT Darurat Terbatas dan PMT Terapi.

27
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI., 2007. Pedoman Penanganan Gizi Dalam Situasi Darurat. Jakarta : Direktorat Bina
Gizi Kesehatan Masyarakat. http://www.scribd.com/doc/ 121762813/Penanganan-Gizi-
Darurat#scribd [ diakses 27 februari 2019]

BNPB. 2012. Peraturan Kepala Badan Nasioanal Penanggulangan Bencana. Jakarta : Badan
Nasional Penanggulangan Bencana www.bnpb.go.id/ uploads/migration/pubs/477.pdf . [ diakses
27 februari 2019]

Aritonang, E., 2004. Kurang Energi Protein. USU Digital Library. http://library.
usu.ac.id/download/fkm/fkmgizi-evawany.pdf [ diakses 27 februari 2019]

Hardini. V., 2012. Hubungan Ketahanan Pangan Dalam Rumah Tangga Dengan Status Gizi
Anak Balita Di Kelurahan Tawalian Kabupaten Mamasa Sulawesi Batrat Tahun 2012.
FKM UNHAS. http://repository .unhas.ac .id:4001 /digilib/ files/disk1/.../--verahardin-12515-1-
skripsi-k.pdf[ diakses 27 februari 2019]

Hardinsyah, Riyadi. H., dan Napitupulu . V., 2012, Kecukupan Energi, Protein, Lemak Dan
Karbohidrat, Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB dan Departemen Gizi FK UI : Jakarta
https://hadiriyadiipb.files.wordpress.com/ 2013/03/angka-kecukupan-gizi-2012-energi-protein-
karbohidrat-lemak-serat. pdf[ diakses 27 februari 2019]

28

Anda mungkin juga menyukai