PENDAHULUAN
Salah satu dari penyakit ginjal yaitu gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu kondisi
terjadi kerusakan atau penurunan fungsi ginjal dalam menyaring sisa metabolisme
yang ada di tubuh yang dibuang melalui urin. Terjadinya kerusakan pada ginjal
biasanya disebut dengan gagal ginjal. Gagal ginjal tebagi menjadi dua fase yaitu fase
akut dan kronik. Gagal ginjal akut adalah kondisi ginjal berhenti fungsinya secara
mendadak. Biasanya terjadi akibat gangguan aliran darah ke ginjal atau penyumbatan
di saluran urine. Sedangkan gagal ginjal kronis atau juga biasanya disebut dengan
gagal ginjal tahap terminal adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dalam kurun
waktu lebih dari 3 bulan dan tidak bisa pulih kembali.
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik menurut WHO (2018) menjelaskan bahwa
gagal ginjal kronik (GGK) adalah masalah kesehatan. Terdapat 1/10 penduduk di
dunia dikategorikan dengan penyakit ginjal kronik (PGK) dan diperkirakan 5-10 juta
kematian pasien setiap tahunnya dan diperkirakan 1,7 juta kematian setiap tahunnya
akibat kerusakan pada ginjal (Zulfan et al, 2021)
Hasil data yang diperoleh dari Indonesia Renal Registry (dalam Rahayu, 2021) pada
tahun 2017 di Indonesia pasien gagal ginjal kronik berjumlah 30.831 pasien. Dan
pada tahun 2018 terjadi peningkatan dua kali lipat jumlah pasien baru gagal ginjal
kronik sejumlah 66.433 pasien. Selain itu proporsi gagal ginjal kronik di provinsi
jawa tengah sebagai kasus baru penyakit tidak menular menempati urutan ke
Sembilan dengan prosentase 0,3% (Dinkes Jawa Tengah, 2020)
Banyaknya jumlah penyakit gunjal dari waktu ke waktu dan cenderung meningkat
maka perlu menjalani beberapa pengobatan dan perawatan. Pengobatan yang bisa
dijalani pada penyakit ginjal kronik (PGK) adalah transplantasi ginjal, hemodialisa
dan continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD). Pengobatan dengan
transplantasi ginjal sangat diharapkan oleh penderita dikarenakan melalui proses
pencangkokan ginjal yang bisa dilakukan dengan operasi. Tetapi jumlah pendonor
yang terbatas dan tidak cocok terkadang menjadi penghalang transplantasi ginjal ini
menjadi susah untuk dilakukan. Begitupula dengan CAPD, terapi yang mudah
dilakukan tetapi banyak hal-hal yang diperhatikan khusunya untuk penyediaan tempat
yang steril. Itu biasanya penderita susah untuk melakukannya. Pengobatan penderita
ginjal kronik yang paling banyak diminati yaitu dengan hemodialisa atau cuci darah.
Hemodialisa memudahkan penderita untuk menjalani pengobatan karena banyak
fasilitas kesehatan rumah sakit yang menyediakan tempat untuk cuci darah (Astuti et
al., 2018).
Terapi hemodialisa atau cuci darah adalah terapi yang dilakukan untuk menggantikan
fungsi ginjal yang sudah berkurang fungsinya dengan cara membuang sisa
metabolisme dan mengekskresikan cairan di dalam tubuh untuk memperpanjang
kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik (Romiko, 2020). Selama pasien
menjalani cuci darah ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu pembatasan
cairan, kepatuhan terhadap diit cairan, kepatuhan diet rendah garam, pengontrolan
tekanan darah dan pencegahan komplikasi (Wulan & Emaliyawati, 2018).
Kepatuhan terhadap cairan pada pasien hemodialisa merupakan salah satu factor
penting yang dapat menentukan keberhasilan penderita dalam menjalani terapi.
Kepatuhan dapat diartikan sebagai perilaku apakah sesuai dengan ketentuan petugas
kesehatan (sackett,1976 yang dikutip oleh Niven, 2012 dalam kurniawati, dkk, 2015).
Kepatuhan terhadap diit cairan akan berdmpak pada kondisi tubuhnya ketika minum
terlalu berlebihan akan mengalami kenaikan berat badan yang tidak sesuai dengan
kriteria yang mengakibatkan pasien menjadi oedem dan sesak nafas (meistatika,
2017).
Manajemen terhadap pembatasan cairan akan berdampak pada kenaikan berat badan
intradialysis (interdialytic weigh gain) atau kenaikan berat badan diantara dua waktu
dialysis. Interdialytic weigh gain (IDWG) yang dapat ditoleransi adalah tidak lebih
dari 3% dari kenaikan berat badan pasien. Salah satu penyebab kematian pada
penyakit ginjal kronik (PGK) dengan hemodialisa adalah masalah asupan cairan atau
diit cairan yang tidak terkontrol. IDWG merupakan indicator dalam keberhasilan
kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan yang diukur berdasarkan berat kering.
Berat badan kering adalah berat badan pasien yang dirasakan nyaman, tidak ada sesak
nafas dan tidak ada tanda-tanda kelebihan cairan. Berat badan lebih dari 3% dari berat
kering merupakan penyebab berbagai komplikasi seperti hipotensi, hipertensi hingga
terjadi penurunan kesadaran.
Menurut Andriati dan Rohimi (2016, dalam Bayhakki & Hasneli, 2017) bahwa
kemampuan pasien dalam menjalani terapi hemodialisa untuk mempertahankan
IDWG yang normal dipengaruhi oleh beberapa factor yang salah satunya adalah
kepatuhan pasien dalam mempertahankan berat badan. IDWG berhubungan erat
dengan masuknya cairan, pembatasan cairan atau diit cairan merupakan salah satu
cara yang harus dilakukan agar tidak memperburuk keadaan. Pasien chronic kidney
desease (CKD) menjalani terapi hemodialisa tidak setiap hari tetapi hanya 2 kali
seminggu atau bahkan satu bulan sekali dengan lama durasi setiap kali hemodialisa
3-5 jam,yang artinya pasien hemodialisa yang menjalani terapi akan menglami
penumpukan cairan dalam tubuh pada waktu 2x terapi. Hemodialisa yang cukup lama
dan tidak terukur waktu untuk tingkat kesembuhannya akan menurunkan semangat
hidup pasien,hal itu bisa mempengaruhi kepatuhan diit pasien (Ayu, 2019). Dampak
ketidakpatuhan terhadap pengobatan yang sedang dijalani adalah berupa kenaikan
berat badan ketika menjelang hd yang tidak terkontrol.
Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti yang bertempat di ruang hemodialisa
rumah sakit mitra siaga tegal yaitu dilakukan pada 10 pasien yang menjalani terapi
hemodialisa dengan metode wawancara. Ketika diberikan pertanyaan apakah pasien
minum dalam jumlah banyak dalam sehari dengan rentang waktu dua kali cuci darah
dan jawaban tujuh pasien mengatakan minum banyak dan terjadi oedem pada kaki.
Ini mengetahui bahwasanya penumpukan cairan yang terjadi atau memasukan cairan
dalam jumlah yang banyak pada pasien hemodialisa akan berpengaruh pada
kondisinya ditunjukan dengan kenaikan berat badan yang berlebih sehingga
menimbulkan sesak nafas. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya
karena kondisi cuaca, minum obat dalam jumlah banyak sehingga menimbulkan
masukan cairan yang banyak, hal itulah yang menjadi dasar ketidakpatuhan
pembatasan cairan terhadap kenaikan berat badan pasien yang berlebih. Berdasarkan
faktor yang sudah dijelaskan maka kepatuhan pembatasan cairan pada pasien
hemodialisa masih kurang atau tidak patuh dikarenakan masih terjadinya kenaikan
berat badan yang tidak sesuai dengan ketentuannya yaitu kurang dari 3% dari berat
badan kering. Oleh karenanya berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti ingin
mengetahui apakah ada hubungan antara kepatuhan diit cairan dengan kenaikan berat
badan intradialisis pasien gagal ginjal kronik di ruang hemodialisa rs mitra siaga
tegal.