Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kesehatan merupakan peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dimana
kesehatan tersebut meliputi sehat secara badan, jiwa, ataupun social. Sehat badan
diartikan ketika tubuh berada dalam keadaan sehat dan bugar. Indonesia merupakan
negara yang cukup besar dengan populasi yang juga besar, tidak heran salah satu
indicator pencapaian yang optimal adalah di bidang kesehatan. Adapun kesehatan di
Indonesia juga perlu mendapat perhatian, khususnya dengan kesehatan system organ
vital. Salah satu system organ vital yang mempunyai unsur penting dalam
keberlangsungan hidup adalah ginjal. Ginjal mempunyai peranan penting dalam
siklus tubuh manusia karena berfungsi untuk mengatur keseimbangan cairan di
dalam tubuh dan menjaga agar tubuh tetap sehat.

Salah satu dari penyakit ginjal yaitu gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu kondisi
terjadi kerusakan atau penurunan fungsi ginjal dalam menyaring sisa metabolisme
yang ada di tubuh yang dibuang melalui urin. Terjadinya kerusakan pada ginjal
biasanya disebut dengan gagal ginjal. Gagal ginjal tebagi menjadi dua fase yaitu fase
akut dan kronik. Gagal ginjal akut adalah kondisi ginjal berhenti fungsinya secara
mendadak. Biasanya terjadi akibat gangguan aliran darah ke ginjal atau penyumbatan
di saluran urine. Sedangkan gagal ginjal kronis atau juga biasanya disebut dengan
gagal ginjal tahap terminal adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dalam kurun
waktu lebih dari 3 bulan dan tidak bisa pulih kembali.

Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik menurut WHO (2018) menjelaskan bahwa
gagal ginjal kronik (GGK) adalah masalah kesehatan. Terdapat 1/10 penduduk di
dunia dikategorikan dengan penyakit ginjal kronik (PGK) dan diperkirakan 5-10 juta
kematian pasien setiap tahunnya dan diperkirakan 1,7 juta kematian setiap tahunnya
akibat kerusakan pada ginjal (Zulfan et al, 2021)

Di Indonesia menurut kemenkes penyakit ginjal kronik menjadi penyebab kematian


ke 10 dengan jumlah kematian lebih dari 42 ribu pertahun. Perhimpunan nefrologi
Indonesia (pernefri) melaporkan bahwa setiap tahun terdapat 200.000 kasus baru
penyakit ginjal kronik stadium akhir atau terminal (wahyuni, 2018). Diperkirakan
sekitar 12,5% dari populasi atau sebesar 25 juta penduduk Indonesia mengalami
penurunan fungsi ginjal (pernefri; dalam Ali, Masi, & Kaloo, 2017).

Hasil data yang diperoleh dari Indonesia Renal Registry (dalam Rahayu, 2021) pada
tahun 2017 di Indonesia pasien gagal ginjal kronik berjumlah 30.831 pasien. Dan
pada tahun 2018 terjadi peningkatan dua kali lipat jumlah pasien baru gagal ginjal
kronik sejumlah 66.433 pasien. Selain itu proporsi gagal ginjal kronik di provinsi
jawa tengah sebagai kasus baru penyakit tidak menular menempati urutan ke
Sembilan dengan prosentase 0,3% (Dinkes Jawa Tengah, 2020)

Banyaknya jumlah penyakit gunjal dari waktu ke waktu dan cenderung meningkat
maka perlu menjalani beberapa pengobatan dan perawatan. Pengobatan yang bisa
dijalani pada penyakit ginjal kronik (PGK) adalah transplantasi ginjal, hemodialisa
dan continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD). Pengobatan dengan
transplantasi ginjal sangat diharapkan oleh penderita dikarenakan melalui proses
pencangkokan ginjal yang bisa dilakukan dengan operasi. Tetapi jumlah pendonor
yang terbatas dan tidak cocok terkadang menjadi penghalang transplantasi ginjal ini
menjadi susah untuk dilakukan. Begitupula dengan CAPD, terapi yang mudah
dilakukan tetapi banyak hal-hal yang diperhatikan khusunya untuk penyediaan tempat
yang steril. Itu biasanya penderita susah untuk melakukannya. Pengobatan penderita
ginjal kronik yang paling banyak diminati yaitu dengan hemodialisa atau cuci darah.
Hemodialisa memudahkan penderita untuk menjalani pengobatan karena banyak
fasilitas kesehatan rumah sakit yang menyediakan tempat untuk cuci darah (Astuti et
al., 2018).

Terapi hemodialisa atau cuci darah adalah terapi yang dilakukan untuk menggantikan
fungsi ginjal yang sudah berkurang fungsinya dengan cara membuang sisa
metabolisme dan mengekskresikan cairan di dalam tubuh untuk memperpanjang
kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik (Romiko, 2020). Selama pasien
menjalani cuci darah ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu pembatasan
cairan, kepatuhan terhadap diit cairan, kepatuhan diet rendah garam, pengontrolan
tekanan darah dan pencegahan komplikasi (Wulan & Emaliyawati, 2018).

Kepatuhan terhadap cairan pada pasien hemodialisa merupakan salah satu factor
penting yang dapat menentukan keberhasilan penderita dalam menjalani terapi.
Kepatuhan dapat diartikan sebagai perilaku apakah sesuai dengan ketentuan petugas
kesehatan (sackett,1976 yang dikutip oleh Niven, 2012 dalam kurniawati, dkk, 2015).
Kepatuhan terhadap diit cairan akan berdmpak pada kondisi tubuhnya ketika minum
terlalu berlebihan akan mengalami kenaikan berat badan yang tidak sesuai dengan
kriteria yang mengakibatkan pasien menjadi oedem dan sesak nafas (meistatika,
2017).

Penelitian yang dilakukan oleh (Fazriansyah et al, 2018) di RSUD Kotabaru


menyebutkan bahwa kepatuhan pasien dalam mengontrol intake (asupan) cairan
hampir seluruhnya (87,5%) responden dalam kategori tidak patuh dan hasil
penambahan berat badan diantara dua waktu hemodialisa (inter-dialytic weight gain-
IDWG) sebagian besar (70,8%) responden dalam kategori penambahan sedang.
Dimana penelitian tersebut disimpulkan bahwa terdapat hubungan kuat antara
kepatuhan mengontrol intake (asupan) cairan dengan penambahan nilai inter-dialytic
weight gain (IDWG) pada pasien yang menjalani terapi hemodialysis di RSUD
Kotabaru

Manajemen terhadap pembatasan cairan akan berdampak pada kenaikan berat badan
intradialysis (interdialytic weigh gain) atau kenaikan berat badan diantara dua waktu
dialysis. Interdialytic weigh gain (IDWG) yang dapat ditoleransi adalah tidak lebih
dari 3% dari kenaikan berat badan pasien. Salah satu penyebab kematian pada
penyakit ginjal kronik (PGK) dengan hemodialisa adalah masalah asupan cairan atau
diit cairan yang tidak terkontrol. IDWG merupakan indicator dalam keberhasilan
kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan yang diukur berdasarkan berat kering.
Berat badan kering adalah berat badan pasien yang dirasakan nyaman, tidak ada sesak
nafas dan tidak ada tanda-tanda kelebihan cairan. Berat badan lebih dari 3% dari berat
kering merupakan penyebab berbagai komplikasi seperti hipotensi, hipertensi hingga
terjadi penurunan kesadaran.

Menurut Andriati dan Rohimi (2016, dalam Bayhakki & Hasneli, 2017) bahwa
kemampuan pasien dalam menjalani terapi hemodialisa untuk mempertahankan
IDWG yang normal dipengaruhi oleh beberapa factor yang salah satunya adalah
kepatuhan pasien dalam mempertahankan berat badan. IDWG berhubungan erat
dengan masuknya cairan, pembatasan cairan atau diit cairan merupakan salah satu
cara yang harus dilakukan agar tidak memperburuk keadaan. Pasien chronic kidney
desease (CKD) menjalani terapi hemodialisa tidak setiap hari tetapi hanya 2 kali
seminggu atau bahkan satu bulan sekali dengan lama durasi setiap kali hemodialisa
3-5 jam,yang artinya pasien hemodialisa yang menjalani terapi akan menglami
penumpukan cairan dalam tubuh pada waktu 2x terapi. Hemodialisa yang cukup lama
dan tidak terukur waktu untuk tingkat kesembuhannya akan menurunkan semangat
hidup pasien,hal itu bisa mempengaruhi kepatuhan diit pasien (Ayu, 2019). Dampak
ketidakpatuhan terhadap pengobatan yang sedang dijalani adalah berupa kenaikan
berat badan ketika menjelang hd yang tidak terkontrol.
Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti yang bertempat di ruang hemodialisa
rumah sakit mitra siaga tegal yaitu dilakukan pada 10 pasien yang menjalani terapi
hemodialisa dengan metode wawancara. Ketika diberikan pertanyaan apakah pasien
minum dalam jumlah banyak dalam sehari dengan rentang waktu dua kali cuci darah
dan jawaban tujuh pasien mengatakan minum banyak dan terjadi oedem pada kaki.
Ini mengetahui bahwasanya penumpukan cairan yang terjadi atau memasukan cairan
dalam jumlah yang banyak pada pasien hemodialisa akan berpengaruh pada
kondisinya ditunjukan dengan kenaikan berat badan yang berlebih sehingga
menimbulkan sesak nafas. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya
karena kondisi cuaca, minum obat dalam jumlah banyak sehingga menimbulkan
masukan cairan yang banyak, hal itulah yang menjadi dasar ketidakpatuhan
pembatasan cairan terhadap kenaikan berat badan pasien yang berlebih. Berdasarkan
faktor yang sudah dijelaskan maka kepatuhan pembatasan cairan pada pasien
hemodialisa masih kurang atau tidak patuh dikarenakan masih terjadinya kenaikan
berat badan yang tidak sesuai dengan ketentuannya yaitu kurang dari 3% dari berat
badan kering. Oleh karenanya berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti ingin
mengetahui apakah ada hubungan antara kepatuhan diit cairan dengan kenaikan berat
badan intradialisis pasien gagal ginjal kronik di ruang hemodialisa rs mitra siaga
tegal.

1.2 Tujuan penelitian


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang
akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

1.1.1 Tujuan umum


Mengetahui hubungan antara kepatuhan diit cairan dengan kenaikan berat badan
intradialisis pasien gagal ginjal kronik di ruang hemodialisa rs mitra siaga tegal.
1.1.2 Tujuan khusus
1.1.2.1 Mengidentifikasi kepatuhan diit cairan pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa di rumah sakit mitra siaga tegal
1.1.2.2 Mengidentifikasi kenaikan berat badan intradialisis pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani terapi hemodialisa di rumah sakit mitra siaga tegal
1.1.2.3 Mengidentifikasi hubungan antara kepatuhan diit cairan dengan kenaikan
berat badan intradialisis pasien gagal ginjal kronik di ruang hemodialisa rs
mitra siaga tegal.

1.3 Manfaat penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik secara aplikatif,
keilmuan maupun metodologi sebagai berikut:

1.1.2.4 Manfaat aplikatif


Memberikan gambaran umum terkait dengan kepatuhan diit cairan terhadap kenaikan
berat badan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa,
sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi perawat dan
khususnya untuk pasien dan keluarga dalam memberikan motivasi dan penyuluhan
tentang pembatasan cairan terhadap pasien agar tidak terjadi ketidakpatuhan yang
menimbulkan banyak gejala yang dapat menurunkan kualitas dalam terapi
hemodialisa.
1.1.2.5 Manfaat keilmuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi ilmu bagi perawat
dalam memberikan penyuluhan lebih terkait pembatasan cairan terhadap pasien gagal
ginjal kronik.
1.1.2.6 Manfaat metodologi
Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dan rujukan bagi penelitian sejenis
selanjutnya sebagai acuan guna membandingkan, serta memberikan sedikit gambaran
bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian sejenis tentang kepatuhan
diit cairan dengan kenaikan berat badan intradialisis.

Anda mungkin juga menyukai