Anda di halaman 1dari 39

HUBUNGAN KEPATUHAN PEMBATASAN CAIRAN

TERHADAP HIPERVOLEMIA PADA PASIEN


GAGAL GINJAL KRONIK

DISUSUN OLEH :

DHITA FITRI WULANDARI

NPM. 22.14201.90.18.P

KELAS REG B1/SMT VI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIK)

BINA HUSADA PALEMBANG

2023/2024

1
2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki fungsi penting di

dalam tubuh. Fungsi ginjal diantaranya mengatur konsentrasi garam dalam

darah dan mengatur keseimbangan asam basa, dengan cara menyaring, me

mbersihkan dan membuang kelebihan cairan dan sisa-sisa metabolisme dal

am darah. Ginjal juga membantu memproduksi sel-sel darah merah, memp

roduksi hormon yang mengatur dan melakukan control atas tekanan darah,

serta membantu menjaga tulang tetap kuat. Terjadi kegagalan pada fungsi

ginjal maka akan berakibat ginjal sulit mengontrol keseimbangan cairan, k

andungan natrium, kalium dan nitrogen didalam tubuh. Ginjal sudah tidak

mampu berfungsi, maka di perlukan terapi tertentu untuk menggantikkan k

erja ginjal, yakni dengan transplatasi ginjal atau hemodialisis (Faisal,

2019)

Cedera Ginjal Akut (Acute Kidney Injury/AKI) merupakan

masalah kesehatan masyarakat yang utama dan dikaitkan dengan

morbiditas, mortalitas, dan morbiditas yang tinggi biaya kesehatan.

Berdasarkan data World Health Organization (WHO), diperkirakan > 13

juta orang terkena cidera ginjal akut setiap tahun di seluruh dunia. Di

negara maju, cidera ginjal akut bermanifestasi terutama pada pasien yang

lebih tua dan di unit perawatan intensif, sementara di negara berkembang,

orang dewasa dan wanita lebih sering terkena. Terlepas dari semua
3

kemajuan di bidang ini, kematian dari cidera ginjal akut tetap tinggi,

diperkirakan 24% pada orang dewasa dan 14% pada anak-anak (World

Health Organization, 2020)

Di Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) tahu

n 2018, prevalensi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) meningkat menjadi 0,3

8%. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2013

yang hanya 0,2%, sementara data Indonesian Renal Registry (IRR, 2018)

memperkirakan angka kejadian gagal ginjal yang memerlukan dialisis adal

ah sekitar 499 per juta penduduk. Bila pasien sudah mengalami gagal ginja

l, itu akan mengganggu 8-10 persen kehidupan pasien dari orang normal

(Pranita, 2020).

Data penderita gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisa men

urut Indonesia Renal Regystri tahun (2017) di Indonesia, yaitu pasien baru

yang pertama kali menjalani dialisis pada tahun 2017 berjumlah 30843 sed

angkan pasien aktif adalah seluruh pasien baik pasien baru tahun 2017 ma

upun pasien lama dari tahun sebelumnya yang masih menjalani HD rutin d

an masih hidup sampai dengan tanggal 31 Desember 2017 berjumlah 7789

2 (Indonesian Renal Registry, 2018).

Sedangkan di Sumatera Selatan pasien baru yang pertama kali

menjalani dialisis tahun 2018 berjumlah 2333. Keseluruhan jumlah ini aka

n terus meningkat sebanding dengan adanya peningkatan populasi pendud

uk, jumlah lanjut usia, dan jumlah pasien hipertensi dan diabetes

(Indonesian Renal Registry, 2018).


4

Salah satu intervensi yang diberikan kepada penderita hemodialisa

adalah pembatasan asupan cairan. Tanpa adanya pembatasan asupan

cairan, akan mengakibatkan cairan menumpuk dan akan menimbulkan

edema di sekitar tubuh. Kondisi ini akan membuat tekanan darah

meningkat dan memperberat kerja jantung. Penumpukan cairan juga akan

masuk ke paru-paru sehingga membuat pasien mengalami sesak nafas.

Secara tidak langsung berat badan pasien juga akan mengalami

peningkatan berat badan yang cukup tajam, mencapai lebih dari berat

badan normal (0,5 kg /24 jam) (Anita & Novitasari, 2020).

Oleh karena itu, pasien GGK perlu mengontrol dan membatasi

jumlah asupan cairan yang masuk dalam tubuh. Pembatasan asupan cairan

penting agar pasien yang menderita GGK tetap merasa nyaman pada saat

sebelum, selama dan sesudah terapi hemodialisa. Pembatasan cairan sering

kali sulit dilakukan oleh pasien, terutama jika mereka mengkonsumsi obat-

obatan yang membuat membran mukosa kering seperti diuretik. Karena

obat tersebut akan menyebabkan rasa haus yang berakibat adanya respon

untuk minum (Anita & Novitasari, 2020).

Individu dengan hemodialisa jangka panjang sering merasa

khawatir akan kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan. Perubahan

gaya hidup dan pembatasan asupan makanan dan cairan pada pasien GGK,

sering menghilangkan semangat hidup pasien sehingga dapat

mempengaruhi kepatuhan pasien dalam pembatasan asupan cairan

(Brunner & Suddart dalam Anita & Novitasari (2014).

Dari data penelitian Priska, 2019 yang dilakukan terhadap 40

responden, didapatkan hasil rata-rata kenaikan berat badan intradialisis

dalam Kg adalah 2,188 dengan kenaikan minimal 0,5 dan kenaikan


5

maksimal 4 kg. Lindberg menjelaskan bahwa kenaikan berat badan 1

kilogram sama dengan satu liter air yang dikonsumsi oleh pasien.

Sementara kenaikan berat badan antar sesi dialisis yang diajurkan yaitu

antara 2,5% sampai 3,5% dari berat badan kering untuk mencegah resiko

penyakit kardiovaskuler. Sedangkan penambahan berat badan diantara dua

sesi hemodialisa yang dapat ditoleransi oleh tubuh berkisar 1,0 – 1,5 Kg.

Berdasarkan dari penjelasan diatas kepatuhan pasien dalam membatasi

konsumsi cairan menjadi fokus dalam mengurangi komplikasi dari

penyakitnya gagal ginjal kronis.

Peneliti sudah melakukan studi pendahuluan RS PUSRI Palembang

dan mendapatkan data pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK) yang

menjalani hemodialisis dari bulan Oktober sampai Desember 2021. Dari

data tersebut terlihat adanya kenaikan jumlah pasien dengan penyakit

ginjal kronik (PGK) yang menjalani hemodialisis, dimana pada bulan

Oktober 2021 tercatat ada 63 pasien dengan rentang usia 26-59 tahun

sebanyak 40 pasien dan usia 60-68 tahun sebanyak 23 pasien. Pada bulan

November 2021 jumlahnya meningkat menjadi 67 pasien, dengan rentang

usia 26-59 tahun sebanyak 42 pasien dan usia 60-77 tahun sebanyak 25

pasien. Pada bulan Desember 2021 kembali meningkat menjadi 72 pasien

dengan rentang usia 26-59 tahun sebanyak 42 pasien dan usia 60-80 tahun

sebanyak 30 pasien dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani

hemodialisis.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang “Hubungan Kepatuhan Pembatasan Cair

an Terhadap Hipervolemia Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Ruan

g Hemodialisa Rumah Sakit Pusri Palembang Tahun 2023”.


6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan data-data pendukung dilatar belakang maka dapat

dirumuskan permasalahan yaitu adakah hubungan kepatuhan pembatasan c

airan terhadap hipervolemia pada pasien gagal ginjal kronik di Ruang Hem

odialisa Rumah Sakit Pusri Palembang tahun 2023”

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan kepatuhan pembatasan cairan terhada

p hipervolemia pada pasien gagal ginjal kronik di Ruang Hemodialisa Ru

mah Sakit Pusri Palembang tahun 2023.

1.3 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini akan menambah pengetahuan mahasiswa serta

menambah literatur di perpustakaan STIKES BINA HUSADA khususnya

teori-teori yang berhubungan dengan hubungan kepatuhan pembatasan cair

an terhadap hipervolemia pada pasien gagal ginjal kronik.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas

pelayanan bagi masyarakat serta dapat menjadi acuan dasar perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik dengan

pembatasan cairan terhadap hipervolemia.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi

Ginjal adalah salah satu organ utama sistem kemih atau uriner

(tractus urinarius) yang bertugas menyaring dan membuang cairan samph

metabolisme dari dalam tubuh (Alam & Hadibroto, 2020)

Gagal ginjal (renal atau kidney failure) adalah kasus penurunan

fungsi ginjal yang terjadi secara akut (kambuhan) maupun kronis (menahun).

Dikatakan gagal ginjal akut (acute renal failure) bila penurunan fungsi

ginjal berlangsung secara tiba-tiba, tetapi kemudian dapat kembali normal

setelah penyebabnya dapat segera diatasi. Sedangkan gagal ginjal kronis

(chronic renal failure) gejalanya muncul secara bertahap biasanya tidak

menimbulkan gejala awal yang jelas, sehingga penurunan fungsi ginjal

tersebut sering tidak dirasakan, tahu-tahu sudah pada tahap parah yang sulit

diobati (Alam & Hadibroto, 2020)

Gagal ginjal kronis (chronic renal failure) atau sering disebut

dengan CKD (Chronic kidney desease) adalah kerusakan ginjal progesif

yang berakibat fatal dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,

menyebabkan azotemia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam

6
8

darah). Penyaki tini juga dikenal dengan penyakit ginjal tahap akhir (end

stage renal desease/ESRD) (Diyono, 2019)

Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan keadaan dimana terjadi pen

urunan fungsi ginjal yang cukup berat secara perlahan-lahan (menahun). P

enyakit GGK disebabkan oleh berbagai penyakit ginjal. Penyakit ini bersif

at progresif dan biasanya tidak bisa pulih kembali (irreversible) (Anita &

Novitasari, 2020)

2.1.2 Etiologi

Menurut Diyono (2019), gagal ginjal kronis dapat disebabkan

karena kondisi sebagai berikut:

1. Penyakit sistemik terutama diabetes melitus, hipertensi, leptospirosis.

2. Infeksi ginjal kronis (glomerulonefritis, pyelonefritis).

3. Genetik autosomal

4. Obstruksi saluran kemih

5. Obat-obatan dan zat kimia nefrotoxic

6. Faktor lingkungan, paparan kadmium, merkuri, dan krom.

National Kidney Foundation (NKF) menyebutkan bahwa dua

penyebab utama penyakit ginjal kronik adalah diabetes dan hipertensi.

Diabetes dapat menyebabkan kerusakan pada banyak organ tubuh,

termasuk ginjal, pembuluh darah, jantung, serta saraf dan mata. Selain itu

juga tekanan darah tinggi atau hipertensi yang tidak terkendali dapat

menyebabkan serangan jantung, stroke dan penyakit ginjal kronik.


9

Sebaliknya, penyakit ginjal kronik juga dapat menyebabkan tekanan darah

tinggi (Anita & Novitasari, 2020).

Kondisi lain yang dapat mempengaruhi ginjal yaitu (Anita &

Novitasari, 2020) :

1. Glomerulonefritis, yang merupakan kumpulan penyakit yang

menyebabkan inlamasi dan kerusakan pada unit penyaring pada ginjal

2. Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik, yang dapat

menyebabkan pembentukan kista pada ginjal dan merusak jaringan di

sekitarnya

3. Lupus dan penyakit lain yang dapat mempengaruhi sistem kekebalan

tubuh

4. Obstruksi yang disebabkan karena batu ginjal, tumor atau pembesaran

kelenjar prostat pada pria, serta

5. Infeksi saluran kencing yang berulang

2.1.3 Patofisiologi

Gagal ginjal kronik terjadi setelah sejumlah keadaan yang

menghancurkan masa nefron ginjal. Keadaan ini mencakup penyakit

parenkim ginjal difus bilateral, juga lesi obstruksi pada traktus urinearius.

Mula-mula terjadi beberapa serangan penyakit ginjal terutama menyerang

glomerulus (glumerolunepritis), yang menyerang tubulus ginjal

(pyelonefritis atau penyakit polikistik) yang dapat mengganggu perfusi

dan fungsi darah pada parenkim ginjal (nefrosklerosis). Perubahan

patologi CRF melalui 3 tahap yaitu (Diyono, 2019) :


10

1. Reduced renal reserve

Ditandai dengan hilangnya 40-70% fungsi nefron. Biasanya belum

muncul gejala karena nefron masih mampu menjalankan fungsi ginjal

dengan baik.

2. Renal insuffisiency

Dimulai ketika nefron yang rusak mencapai 75-90%. Pasien akan

mengeluh pollyurie dan nocturia. Ureum kreatinin mulai naik karena

ginjal tidak mampu mengeluarkannya bersama urine. Kadang pada

fase ini gejala anemia mulai muncul.

3. ESRD (End Stage Renal Disease)

Terjadi ketika nefron yang berfungsi tinggal 10%. Gejala kegagalan

dalam menjalankan fungsi ginjal semakin tampak yang ditandai

dengan peningkatan kadar kreatinin, ketidakseimbangan elektrolit dan

asam basa. Pada tahap ini pasien biasanya membutuhkan terapi

dialisis.

Masalah-masalah yang muncul pada gagal ginjal kronik sangat

bervariatif. Namun secara umum masalah yang muncul adalah (Diyono,

2019):

1. Fungsi renal menurun

Produk akhir metabolisme protein (yang normalnya dieksresi bersama

urine) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi

setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka


11

gejala seperti azotemia akan semakin berat. Banyak gejala uremia

membaik setelah dialisis.

2. Gangguan kliren renal

Banyak masalah muncul pada gagal ginjal akut akibat dari penurunan

jumlah glumeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan

klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.

3. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR)

Dapat dideteksi dengan mendapatkan urine 24 jam untuk pemeriksaan

klirens kreatinin. Menurunnya filtrasi glomerulus (akibat tidak

berfungsinya glumeruli) klirens kreatinin akan menurun dan kadar

kreatinin serum akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah

(BUN) biasanya meningkat.

4. Retensi cairan dan natrium

Pada penyakit ginjal tahap akhir, ginjal tidak mampu lagi untuk

mengonsentrasikan atau mengencerkan urine secara normal sebagai

respns yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit

sehari-hari. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan

risiko terjadinya edema, gagal jantung kongesif dan hipertensi.

5. Asidosis

Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis

metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengeksresi muatan

asam yang berlebihan. Penurunan muatan asam terutama akibat

ketidakmamuan tubulus ginjal untuk mengeksresi ammonia dan


12

mengabsorpsi natrium bikarbonat. Penurunan ekskresi fosfat dan asam

organik lain juga terjadi.

6. Anemia

Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak

adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan

kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik

pasien terutama dari saluran gastrointestinal.

7. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat

Abnormalitas utama yang lain pada gagal ginjal kronis adalah

gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan

fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik. Jika salah satunya

meningkat, maka yang lain akan turun.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Menurut Diyono (2019), manifestasi klinis gagal ginjal kronik

adalah sebagai berikut:

1. Psikologi : denial, cemas, depresi, dan psikosis

2. Kardiovaskuler : hipertensi, perubahan EKG, perikarditis, tamponade

perikardium.

3. Metabolik / endokrin : gangguan hormon seks menyebabkan

penurunan libido dan impoten

4. Neuromuskuler : lemah, gangguan tidur, sakit kepala, letargi,

gangguan muskular, neuropati perifer, bingung dan koma

5. Respirasi : edema, paru, efusi pleura, pleuritis


13

6. Gastrointestinal : ulserasi saluran pencernaan dan perdarahan,

anoreksia, nausea, vornitus, stomatitis.

7. Hematologi : anemia, defek kualitas platelet, perdarahan meningkat

8. Dermatologi : pucat, hiperpigmentasi, kulit bersisik, eksimosis, uremia

frost.

9. Cairan dan elektrolit : gangguan asam basa menyebabkan kehilangan

sodium sehingga terjadi dehidrasi, asidosis, hiperkalemia,

hipermagnesemia, hipokalsemia.

2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik

Laboratorium penilaian CRF dengan gangguan yang serius dapat

dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium seperti kadar serum

sodium/natrium dan potasium/kalium, pH, kadar serum, fosfat, kadar Hb,

hematokrit, kadar urea dalam darah (BUN), serum kreatinin dalalm urine,

urinealisis (Diyono, 2019).

Pemeriksaan radiologi, terdiri dari :

1. Flat plat radiografi

Untuk mengetahui keadaan ginjal, ureter dan vesika urinaria serta

untuk mengetahui bentuk, ukuran, posisi dan klasifikasi dari ginjal

2. Computed tomography (CT)

Scan digunakan untuk melihat secara jelas struktur anatomi ginjal yang

penggunaannya dengan memakai kontras atau tanpa kontras.


14

3. Intervenous pyelography (IVP)

Untuk mengevaluasi keadaan fungsi ginjal adalah dengan memakai

kontras. IVP digunakan pada kasus gangguan ginjal disebabkan oleh

trauma, pembedahan, anomali kongenital, kelainan prostat, calculi

ginjal, abses/batu ginjal obstruksi saluran kemih.

4. Aorta – renal argiography

Digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena dan kapiler pada

ginjal dengan menggunakan kontras.

5. Magnetic resonance imaging (MRI)

Digunakan untuk mengevaluasi kasus yang disebabkan oleh obstruksi

uropati, proses infeksi pada ginjal serta transplantasi ginjal.

6. Biopsi ginjal

Biopsi ginjal adalah utnuk mendiagnosa ginjal dengan mengambil

jaringan ginjal lalu dianalisis. Biasanya biopsi digunakan pada kasus

glumerolunefritis, neprotik sindrom, penyakit ginjal bawaan,

pencernaan transplantasi ginjal

2.1.6 Penatalaksanaan

Pada umumnya keadaan sudah sedemikian rupa hingga etiologi

tidak dapat diobati lagi. Usaha yang harus ditujukan untuk mengurangi

gejala, mencegah kerusakan /pemburukan fatal ginjal terdiri dari (Diyono,

2019):

1. Monitor overload cairan : udem, JVP

2. Monitor balance cairan yang ketat


15

3. Memberi dan mengaktifkan support system

4. Manajemen nutrisi

5. Manajemen asam basa

6. Manajemen cairan danelektrolit

7. Mencegah terjadinya infeksi dan anemia

8. Kelola terapi:

a. Anti hipertensi

b. Eritropoetin

c. Koreksi kalium dan kalsium

9. Siapkan untuk hemodialisa, transplantasi ginjal

2.1.7 Komplikasi

Menurut Diyono (2019), komplikasi dari gagal ginjal akut antara lain:

1. Gangguan keseimbangan elektrolit : hiperkalemia, hipokalsemia

2. Gangguan asam basa : acidosis

3. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung

4. Hipertensi

5. Anemia

6. Perdarahan saluran cerna

7. Penyakit tulang

2.2 Hemodialisa

2.2.1 Definisi

Hemodialisa adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang

menggunakan alat khusus dengan tujuan mengatasi gejala dan tanda akibat
16

laju filtrasi glomerulus yang rendah sehingga diharapkan dapat

memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Hemodialisis memakan waktu beberapa jam (4-5 jam) dan dilakukan

secara berkala sesuai rekomendasi dokter (Dinkes, 2018).

Hemodialisis (HD) merupakan terapi pengganti ginjal yang dilakuk

an dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialise

r) yang bertujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa metabolisme protein dan

koreksi gangguan keseimbangan elektrolit antara kompartemen darah deng

an kompartemen dialisat melalui membrane semipermiabe (Wong, 2017).

Hemodialisa merupakan tindakan pengobatan yang dilakukan pada

pasien gagal ginjal supaya mampu bertahan hidup. Namun demikian, tinda

kan tersebut mempunyai efek samping pada kondisi fisik serta psikologis p

endetita gagal ginjal. Haemodialisa merupakan pengobatan (replacement t

reatment) pada penderita gagal ginjal stadium terminal, jadi fungsi ginjal d

igantikan oleh alat yang disebut dyalizer (artifical kidney), pada dialyzer in

i terjadi proses pemindahan zat-zat terlarut dalam darah kedalam cairan dia

lisa atau sebaliknya. Hamodialisa adalah suatu proses dimana komposisi s

olute darah diubah oleh larutan lain melalui membran semi permiabel, he

modialisa terbukti sangat bermanfaat dan meningkatkan kualitas hidup pas

ien. Pada umumnya hemodialisa pada pasien GGK dilakukan 1 atau 2 kali

seminggu dan sekurang-kurangnya berlangsung selama 3 bulan secara ber

kelanjutan. Beberapa dampak atau resiko hemodialisa harus dihadapi oleh

pasien GGK mengingat tindakan ini merupakan salah satu tindakan yang j
17

uga bermanfaat dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya

(Wiliyanarti et al., 2019)).

2.2.2 Tujuan Hemodialisa

Menurut Black & Hawks dalam Wong (2017) tujuan hemodialisis

adalah membuang produk sisa metabolisme protein seperti ureum dan krea

tinin, mempertahankan kadar serum elektrolit dalam darah, mengoreksi asi

dosis, mempertahankan kadar bikarbonat dalam darah, mengeluarkan kele

bihan cairan dari darah dan menghilangkan overdosis obat dari darah.

Menurut (Kusuma, 2019) fungsi dari hemodialisis adalah :

1. Membersihkan kotoran dari darah seperti urea

2. Menyeimbangkan elektrolit dalam darah

3. Membuang cairan yang berlebihan dari tubuh

2.2.3 Indikasi

Menurut (Radias et al., 2018) indikasi dilakukannya hemodialisa antara

lain:

1. Kelebihan (overload) cairan ekstraseluler yang sulit dikendalikan dan /

atau hipertensi.

2. Hiperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diit dan terapi farmakol

ogis.

3. Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi bikarbona

t.

4. Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diit dan terapi pengik

at fosfat.
18

5. Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoietin dan besi.

6. Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa peny

ebab yang jelas.

7. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala

mual, muntah, atau adanya bukti lain gastroduodenitis.

8. Selain itu indikasi segera untuk dilakukanya hemodialisis adalah adany

a gangguan neurologis (seperti neuropati, ensefalopati, gangguan psiki

atri), pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh penyebab la

in,serta diatesis hemoragik dengan pemanjangan waktu perdarahan.

2.2.4 Prosedur Hemodialisa

Hal penting yang perlu diperhatikan sebelum memulai

hemodialisis adalah mempersiapkan akses vaskular, yaitu suatu tempat

pada tubuh di mana darah diambil dan dikembalikan. Persiapan ini

dibutuhkan untuk lebih memudahkan prosedur hemodialisis sehingga

komplikasi yang timbul dapat diminimalisir (National Institute of Diabetes

and Digestive and Kidney Disease dalam Wong, 2017).

Akses vaskular dapat berupa fistula, graft, atau kateter. Fistula

dibuat dengan menyatukan sebuah arteri dengan vena terdekat yang

terletak di bawah kulit untuk menjadikan pembuluh darah lebih besar.

Graft merupakan akses lain yang dapat digunakan apabila pembuluh darah

tidak cocok untuk fistula. Pembuatan graft ini dilakukan dengan cara

menyatukan arteri dan vena terdekat dengan tabung sintetis kecil yang

diletakkan di bawah kulit. Akses ketiga yang dapat digunakan adalah


19

pemasangan kateter. Kateter dipasang pada vena besar di leher atau dada

sebagai akses permanen ketika fistula dan graft tidak dapat dipasang.

Kateter ini kemudian akan secara langsung dihubungkan dengan tabung

dialisis dan tidak lagi menggunakan jarum (National Kidney Foundation

dalam Wong, 2017).

Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu

tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen terpisah,

salah satu kompartemen berisikan darah pasien dan kompartemen lainnya

berisikan cairan dialisat. Dialisat merupakan suatu cairan yang terdapat

dalam dialiser yang membantu membuang zat sisa dan kelebihan cairan

pada tubuh (National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney

Disease dalam Wong, 2017).

Cairan ini berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum

normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Kedua

kompartemen ini dipisahkan oleh suatu membran. Dialisat dan darah yang

terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut

berpindah dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah sampai konsentrasi

zat pelarut sama di kedua kompartemen (difusi). Hal ini yang

menyebabkan terjadinya perpindahan zat sisa seperti urea, kreatinin dan

kelebihan cairan dari dalam darah. Sel darah, protein dan zat penting

lainnya tidak ikut berpindah dikarenakan molekulnya yang besar sehingga

tidak dapat melewati membran (National Kidney Foundation dalam

Wong, 2017)
20

2.2.5 Komplikasi

Meskipun tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan

yang cukup pesat, namun masih banyak pasien yang mengalami masalah

medis saat menjalani hemodialisis. Komplikasi hemodialisis dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis

(Daugirdas dalam Wong, 2017:

1. Komplikasi akut Komplikasi akut merupakan komplikasi yang terjadi

selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi

yaitu: hipotensi, hipertensi, reaksi alergi, aritmia, emboli udara, kram

otot, mual, muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal,

demam, dan menggigil.

2. Komplikasi kronis Komplikasi kronis adalah komplikasi yang terjadi

pada pasien dengan hemodialisis kronis. Komplikasi yang sering

terjadi adalah: penyakit jantung, malnutrisi, hipertensi, anemia, renal

osteodystrophy, neuropathy, disfungsi reproduksi, gangguan

perdarahan, infeksi, amiloidosis, acquired cystic kidney disease.

2.3 Konsep Keseimbangan Cairan

2.3.1 Definisi
21

Cairan tubuh didistribusikan dalam dua kompartemen yakni : caira

n ekstrasel (CES) dan cairan intrasel (CIS). Cairan ekstrasel terdiri dari cai

ran interstisial dan cairan intravaskuler. Cairan interstisial mengisi ruangan

yang berada diantara sebagian besar sel tubuh dan menysusun sejumlah be

sar lingkungan cairan tubuh. Sekitar 15% berat tubuh merupakan cairan int

erstisial. Cairan intravaskular terdiri dari plasma, bagian cairan limfe yang

mengandung air dan tidak berwarna, dan mengandung suspense leukosit, e

ritrosit dan trombosit. Plasma menyusun 5% berat tubuh.Cairan intrasel ad

alah cairan didalam membrran sel yang berisi substansi terlarut atau solute

yang penting untuk keseimbangan cairan dan elektrolit serta untuk metabo

lisme. Cairan intrasel membentuk 40% berat tubuh. Komposisi cairan tubu

h diantaranya elektrolit, mineral, dan sel (Potter & Perry dalam Rahma,

2019).

2.3.2 Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Tipe dasar ketidakseimbangan cairan adalah isotonik dan osmolar.

Kekurangan dan kelebihan isotonik terjadi jika air dan elektrolit diperoleh

atau hilang dalam proporsi yang sama. Sebaliknya, ketidakseimbangan cai

ran osmolar adalah kehilangan atau kelebihan air saja sehingga konsentrasi

(osmolalitas) serum dipengaruhi (Potter&Perry dalam Rahma, 2019).

1. Hipovolemia Hipovolemia adalah defisit volume cairan (fluid volume

deficit, FVD) isotonik yang terjadi apabila tubuh kehilangan air dan el

ektrolit dari CES dalam jumlah yang sama. Pada FVD, cairan pada aw

alnya keluar dari kompartemen intravaskular. FVD pada umumnya terj


22

adi akibat kehilangan abnormal melalui kulit, saluran perncernaan atau

ginjal, penurunan asupan cairan, perdarahan atau pergerakan cairan ker

uang ketiga.

2. Hipervolemia Hipervolemia merupakan kelebihan volume cairan meng

acu pada perluasan isotonik dari CES yang disebabkan oleh retensi air

dan natrium yang abnormal dalam proporsi yang kurang lebih sama di

mana mereka secara normal berasa dalam CES. Hal ini selalu terjadi se

sudah ada peningkatan kandungan natrium tubuh total, yang pada akhir

nya menyebabkan peningkatan air tubuh total.

2.3.3 Pembatasan Cairan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik

Klien yang menderita gagal ginjal kronik yang melakukan

pembatasan masukan cairan berpatokan terhadap keseimbangan cairan

yang diperlukan, dimana intake cairan sama dengan output cairan.

Masukan bersumber dari hasil penggunaan air seperti minuman juga dari

makanan. Sementara keluaran berupa urin dan insisible water loss (IWL)

yaitu air di tinja, keringat, dan jumlah pernafasan yang bisa dihitung dari

berat badan per orang.

Pembatasan intake cairan pasien penyakit ginjal kronik berbeda di

setiap penyakit ginjal karena pembatasan cairan berhubungan dengan laju

filtrasi glomerulus. Jika LFG semakin rendah maka cairan menjadi sedikit

yang di ekskresikan kelihatan dari sedikit urin yang dikeluarkan, sebabnya

cairan yang tertampung dalam tubuh semakin banyak. Apabila tingkatan

penyakit ginjal kronik tinggi dan glomerulus filtration rate jadi rendah
23

menyebabkan pembatasan masukan cairan semakin ketat (Sinambela,

2020).

2.4 Konsep Hipervolemia

2.4.1 Definisi

Hipervolemia adalah kelebihan volume cairan (fluid volume excess,

FVE) yang terjadi saat tubuh menahan air dan natrium dengan proporsi ya

ng sama dengan CES normal. Karena air dan natrium ditahan dalam tubuh,

konsentrasi natrium serum pada intinya tetap normal. FVE selalu menjadi

akibat sekunder dari peningkatan kandungan natrium tubuh total (Kozier

dalam Rahma, 2019).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hipervole

mia terjadi apabila tubuh menyimpan cairan dan elektrolit dalam komparte

men ekstraseluler dalam proporsi yang seimbang. Karena adanya retensi c

airan isotonik, konsentrasi natrium dalam serum masih normal. Kelebihan

cairan tubuh hampir selalu disebabkan oleh peningkatan jumlah natrium d

alam serum. Kelebihan cairan terjadi akibat overload cairan / adanya gang

guan mekanisme homeostatis pada proses regulasi keseimbangan cairan

(Rahma, 2019).

2.4.2 Etiologi

Menurut Rahma (2019) penyebab spesifik hipervolemia antara lain :

1. Asupan natrium klorida yang berlebihan


24

2. Pemberian infus yang mengandung natrium dalam waktu terlalu cepat

dan banyak, terutama pada klien dengan gangguan mekanisme regulasi

3. Penyakit yang mengubah mekanisme regulasi, seperti gangguan jantun

g (gagal jantung kongestif), gagal ginjal, sirosis hati, sindrom cushing

2.4.3 Patofisiologi

Kelebihan cairan ekstraseluler dapat terjadi bila natrium dan air ke

duaduanya tertahan dengan proporsi yang kira-kira sama. Dengan terkump

ulnya cairan isotonik yang berlebihan pada ECF (hipervolumia) maka cair

an akan berpindah ke kompartemen cairan interstisial sehingga menyebabk

an edema. Edema adalah penumpukan cairan interstisial yang berlebihan.

Edema dapat terlokalisir atau generalisata. Kelebihan cairan tubuh hampir

selalu disebabkan oleh peningkatan jumlah natrium dalam serum. Kelebih

an cairan terjadi akibat overload cairan / adanya gangguan mekanisme ho

meostatis pada proses regulasi keseimbangan cairan (Price&Wilson, 2006).

2.4.4 Manifestasi Klinis

Menurut Kozier dalam Rahma (2019) tanda dan gejala klinik yang

didapatkan pada klien dengan hipervolemia antara lain :

1. Pertambahan berat badan. Pertambahan 2%-4% = hipervolemia ringan,

pertambahan 5%-7% = hipervolemia sedang, pertambahan > 8% = hip

ervolemia berat.

2. Asupan cairan lebih besar dibandingkan haluaran.


25

3. Membran mukosa lembab

4. Denyut nadi penuh dan kuat, takikardia

5. Peningkatan tekanan darah dan tekanan vena sentral

6. Vena leher dan perifer terdistensi, pengosongan vena lambat.

7. Terdengar suara ronkhi basah di paru-paru, dispnea, nafas pendek

8. Kebingungan mental

2.5 Konsep Kepatuhan

2.5.1 Definisi

Kepatuhan merupakan kemauan klien untuk menaati pelaksanaan

tindakan terapi dan keluarga dengan meluangkan waktu dalam mengikuti

pengobatan yang diperlukan disebut kepatuhan. Kepatuhan pasien juga

berarti adanya kemauan dan kemampuan dari pasien dalam mengikuti

kegiatan hidup sehat berpedoman pada aturan pengobatan yang telah

dibuat dan taat dalam memeriksakan kesehatan (Potter & Perry dalam

Sinambela, 2020).

Wong dalam Sinambela (2020) menyebutkan kepatuhan adalah

semua perilaku pasien dan keluarga yang sesuai dengan program yang

ditentukan oleh tenaga kesehatan, seperti: jadwal mengkonsumsi obat,

pemeriksaan, melaksanakan diet, dan adaptasi cara hidup.

2.5.2 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kepatuhan Pasien

Penyakit Ginjal Kronik Yang Mengikuti Hemodialisa Dalam

Pembatasan Asupan Cairan


26

Menurut Sinambela (2020), terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi ketaatan pasien yang sedang menjalani hemodialisa untuk

membatasi asupan cairan yaitu sebagai berikut:

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan pengideraan seseorang atau

pemahaman individu terhadap suatu objek tertentu lewat indra yang

dipunyainya yaitu indra penglihatan, pendengran, rasa, penciuman,

dan peraba. Pengetahuan dihubungkan dengan pembatasan intake

cairan pada orang yang mengikuti terapi hemodialisa karena memiliki

pengaruh besar terhadap setiap aspek dalam kehidupan pasien,

contohnya: Pada umumnya pasien tidak sepenuhnya mengerti akibat

dari dialisis (cuci darah) dan keperluan untuk mempelajari dikarenakan

bisa baru sadar ketika klien sudah lama dipulangkan dari rumah sakit.

Oleh karena itu, dengan adanya rasa ingin tahu tersebut pasien akan

memahami apa saja yang harus dilakukan setelah mereka dipulangkan

dari rumah sakit.

2. Kepercayaan dan Budaya

Terdapat tiga langkah dalam pemberian perawatan yang secara

budaya sangat sensitif. Hal yang utama yaitu tenaga kesehatan perlu

menyadari kepercayaan budaya yang sering dipertahankan dan gaya

secara budaya normal saling mempengaruhi pada populasi penderita

penyakit. Selanjutnya diperlukan penilaian pengaruh kepercayaan dan

perilaku. Perilaku individu di tentukan dari suatu bentuk kepercayaan


27

dengan tidak menghiraukan apakah hal itu mengalami kesesuaian

terhadap kenyataan atau dengan persepsi banyak orang tentang

kebaikan dalam diri individu tersebut.

3. Fasilitas

Segala bentuk sarana atau prasarana yang digunakan untuk dapat

menjalankan suatu tujuan yang ingin dicapai. Fasilitas yang dimaksud

mencakup: transportasi, kondisi keuangan (ekonomi), dan jarak.

Fasilitas (sarana) sangat mempengaruhi motivasi seorang pasien dalam

hal menjalani terapi cuci darah. Keadaan fasilitas yang tidak memadai

akan dapat menjadi hambatan bagi pasien untuk patuh dalam

melakukan cuci darah.

4. Keterlibatan (Dukungan keluarga)

Pada klien dengan menjalani hemodialisa yang patuh memiliki

kepercayaan lebih pada kemampuan diri sendiri dalam hal mengontrol

aspek permasalahannya. Terhambatnya seseorang dalam mengerjakan

aktivitas sosialnya dikarenakan terpakainya waktu untuk keperluan

tindakan terapi hemodialisa akan memuncukan suatu masalah, seperti

rasa bersalah, bosan, dan juga depresi bagi keluarga. Orang terdekat

klien dan keluarganya mungkin melihat pasien seperti orang buangan

dan tidak diperhatikan dengan harapan hidup yang terbatas.

Kemungkinan pasien, pasangan, dan keluarga mengalami kesulitan

untuk mengutarakan luapan amarah dan negative thinking. Walaupun

pada dasarnya respon seperti itu biasa dalam situasi demikian, tetapi
28

tidak menutup kemungkinan itu menyebabkan bahaya bagi pasien

sehingga perlu adanya konseling dan terapi psikologis. Dengan

demikian support keluarga menjadi hal yang perlu sebagai salah satu

bentuk sosial yang bersifat pertolongan dengan memberikan aspek

perhatian, bantuan dan cara pandang dari keluarga

5. Keterlibatan tenaga kesehatan

Keikutsertaan para medis penting bagi klien yang berguna untuk

memberikan pelayanan kesehatan, rekan diskusi para pasien dan

keluarga serta planning keberlanjutan perawatan. Tugas kolaborasi dar

i pekerjaan perawat salah satunya memberikan bantuan dalam memper

siapkan klien supaya menaati rencana pengobatan yang sudah dibuat b

agian medis. Komunikasi teraupetik mempunyai fungsi yang besar dia

ntara perawat, pasien, keluarga dan tim medis lainnya didalam memba

ngun hubungan saling percaya.


29

2.6 Penelitian Terkait

Tabel 2.2 Penelitian Terkait


30

Metode Tujuan Perbedaan dengan Pen


No. Nama Penelitin Judul Penelitian Tahun Hasil
Penelitian Penelitian elitian

1. Melianna & Hubungan Kepatuhan 2019 Cross sectional Untuk Hasil univariat Perbedaan terdapat pada
Wiarsih (2019) Pembatasan Cairan mengetahui menunjukkan, responden jumlah sampel, tempat
Terhadap Terjadinya Hubungan tidak patuh terhadap penelitian, dan hasil
Kepatuhan pembatasan cairan sebesar penelitian
Overload Pada Pasien
Pembatasan 76%, responden
Gagal Ginjal Kronik
Cairan Terhadap
Post Hemodialisa Di mengalami overload
Terjadinya
Rumah sebesar 53,6%. Hasil
Overload Pada bivariat (Chi-Square)
Sakit Umum Pusat
Pasien Gagal dengan α=0,05, didapatkan
Fatmawati
Ginjal Kronik tidak ada hubungan yang
Post Hemodialisa bermakna antara kepatuhan
Di Rumah pembatasan cairan dengan
overload (p=0,35).
Sakit Umum
Semakin besar klien patuh
Pusat Fatmawati
pada pembatasan cairan
maka akan semakin kecil
terjadi overload.

2. Anita & Kepatuhan pembatasan 2020 Cross sectional Untuk Hasil penelitian Perbedaan terdapat pada
Novitasari asupan cairan terhadap mengetahui menunjukkan bahwa jumlah sampel, tempat
(2020) lama menjalani Kepatuhan sebagian besar responden penelitian, dan hasil
pembatasan (63,3%) dalam kategori penelitian
Hemodialisa
asupan cairan lama menjalani hemodialisa
terhadap lama (>24 bulan), kemudian
menjalani diikuti kategori baru (<12
bulan) yaitu 26,7%, dan
Hemodialisa
31
32

2.7 Kerangka Teori

Pasien Gagal Ginjal

Etiologi :
1. Penyakit sistemik terutama diabetes melitus, hipertensi,
leptospirosis.
2. Infeksi ginjal kronis (glomerulonefritis, pyelonefritis).
3. Genetik autosomal
4. Obstruksi saluran kemih
5. Obat-obatan dan zat kimia nefrotoxic
6. Faktor lingkungan, paparan kadmium, merkuri, dan krom.

Medis: Non Medis:


1. Manajemen nutrisi
1. Monitor overload cairan : udem, 2. Manajemen asam basa
JVP 3. Manajemen cairan danelektrolit
2. Monitor balance cairan yang ketat 4. Mencegah terjadinya infeksi dan anemia
3. Memberi dan mengaktifkan support 5. Kelola terapi (anti hipertensi, eritropoetin,
system koreksi kalium dan kalsium)
4. Hemodialisa, transplantasi ginjal

Pembatasan Cairan

Patuh Tidak Patuh

Hipervolemia
33

2.8 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara

konsep dan variabel-variabel, baik independen (variabel bebas, sebab dan

mempengaruhi) maupun dependen (variabel tergantung), akibat dan pengaruh yang

diamati atau diukur melalui pengertian - pengertian yang akan dilakukan (Notoatmodjo,

2018).

Kerangka konsep penelitian ini secara sistematis digambarkan sebagai berikut :

Bagan 2.1
Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Hipervolemia Pada Pasi


Kepatuhan Pembatas
an Cairan en Gagal Ginjal Kronik

2.9 Hipotesa

Ho : Tidak ada hubungan kepatuhan pembatasan cairan terhadap hipervolemia pada pasie

n gagal ginjal kronik di Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Pusri Palembang tahun

2022

Ha : Ada hubungan kepatuhan pembatasan cairan terhadap hipervolemia pada pasien

gagal ginjal kronik di Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Pusri Palembang tahun

2022
34

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada semua pasien gagal ginjal kronik di Ruang He

modialisa Rumah Sakit Pusri Palembang untuk mengetahui hubungan kepatuhan pembata

san cairan terhadap hipervolemia pada pasien gagal ginjal kronik

3.1.1 Format Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analitik dengan pendekatan cross sectional.

Metode analitik adalah penelitian yang mencoba menggali bagaimana fenomena

kesehatan itu terjadi. Kemudian melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena

antara faktor risiko (kepatuhan pembatasan cairan) dengan faktor efek (hipervolemia pad

a pasien gagal ginjal kronik). Sedangkan pendekatan cross sectional ialah suatu

penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek,

dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat

(point time approach) (Notoatmodjo, 2018).

3.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 1 April 20 Mei 2023.

3.1.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Pusri Palembang

tahun 2023

3.2 Populasi dan Sampel 33

3.2.1 Populasi
35

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2018).

Populasi yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah semua pasian gagal ginjal

kronik di Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Pusri Palembang pada bulan Desember 2021

sebanyak 72 orang.

3.2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2018).

Sampel dalam penelitia ini adalah semua pasien gagal ginjal kronik di Ruang He

modialisa Rumah Sakit Pusri Palembang saat dilakukan penelitian sebanyak 35 orang.

3.2.3 Teknik Pengambilan Sampel

Untuk menentukan jumlah sampel disini penulis menggunakan teknik purposive

sampling, yaitu penentuan sampel dimana peneliti sudah mengetahui ciri atau sifat-sifat

populasi sebelumnya dan mengidentifikasi semua karateristik responden.

Dalam penelitian ini terdapat kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria inklusi

dan eksklusi yang dimaksud adalah:

1. Kriteria Inklusi

a. Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani perawatan hemodialisa di Ruang Hemo

dialisa Rumah Sakit Pusri Palembang

b. Pasien dalam keadaan sadar dan dapat berkomunikasi dengan baik

c. Bersedia menjadi responden dalam penelitian

2. Kriteria Ekslusif
36

a. Pasien gagal ginjal kronik dalam kondisi kurang sehat sehingga membutuhkan

perawatan khusus

b. Tidak bersedia menjadi responden dalam penelitian

3.3 Data dan Cara Pengumpulan Data

3.3.1 Data primer

Data primer yaitu data atau informasi yang langsung berasal dari yang

mempunyai wewenang dan bertanggung jawab terhadap data tersebut (Notoatmodjo,

2018).

Dalam penelitian ini data primer diperoleh secara langsung dengan cara

memberikan pertanyaan dalam bentuk kuesioner kepada pasien gagal ginjal kronik di

Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Pusri Palembang saat dilakukan penelitian.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder yaitu data atau informasi yang bukan langsung dari orang yang

ditanyai dan yang bukan atau dianggap tidak mempunyai wewenang dan tanggung jawab

terhadap pemberian informasi atau data tersebut (Notoatmodjo, 2018).

Data sekunder didapat dari data pasien gagal ginjal kronik di Rumah Sakit Pusri

Palembang, buku bacaan dan sumber dari internet yang berhubungan dengan topik

pembahasan.

3.3.3 Cara Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan

proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian

(Nursalam, 2008).
37

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai

alat bantu dalam pengambilan data kepatuhan pembatasan cairan dan kejadian hipervole

mia pada pasien gagal ginjal kronik.

3.4 Teknik Pengolahan Data

Empat tahap dalam pengolahan data menurut Notoatmodjo (2018) adalah sebagai

berikut :

1. Editing (Pengeditan Data)

Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian check list apakah jawaban

yang ada dikuesioner sudah lengkap, jelas relevan dan konsisten.

2. Coding (Pengkodean)

Koding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk

angka atau bilangan. Kegunaan dari koding adalah untuk mempermudah pada saat

analisis data dan juga mempercepat pada saat entry data.

3. Proccessing (Pemrosesan)

Setelah semua isian check list terisi penuh dan benar dan juga sudah melewati

pengkodingan, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar dapat

dianalisis. Pemrosesan data dilakukan dengan cara mengentry data dari check list ke

paket program komputer.

4. Cleaning data (pembersihan data)


38

Cleaning merupakan pengecekan kembali data yang sudah di entry apakah ada

kesalahan atau tidak.

3.5 Teknis Analisis

3.5.1 Analisa Data Univariat

Analisa yang dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi variabel independen

dan dependen dari hasil penelitian pada umumnya dalam analisa ini hanya menghasilkan

distribusi dan persentase dari tiap variabel (Notoadmodjo, 2018).

Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian yaitu variabel

independen (kepatuhan pembatasan cairan) dan variabel dependen (hipervolemia pada

pasien gagal ginjal kronik) yang dianalisis dengan menggunakan tabel distribusi

frekuensi.

3.5.2 Analisa Data Bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui ada

tidaknya hubungan atau pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat

(Notoatmodjo, 2018).

Analisa bivariat adalah analisa data untuk mengetahui hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen yang dianalisis dengan uji chi-square (x2) dengan

taraf signifikan (α) = 0,05.

1) Jika p value < nilai α adalah (0,05). Maka ada hubungan antara variabel independen

dengan variabel dependen

2) Jika p value > nilai α (0,05). Maka tidak ada hubungan bermakna (Signifikan) antara

variabel independen dengan variabel dependen


39

3.6 Definisi Variabel Operasional

Tabel 3.1
Definisi Variabel Operasional
Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala
Ukur
Kepatuhan Kemauan dan Wawancara Kuesioner 1. Patuh : Jika Ordinal
pembatasan kemampuan dari skor > mean
cairan pasien dalam 2. Tidak patuh :
mengikuti jika skor <
kegiatan hidup mean
sehat (Rahma, 2019)
berpedoman
pada aturan
pengobatan yang
telah dibuat dan
taat dalam
memeriksakan
kesehatan

Hipervolemia Hipervolemia me Observasi Timbangan 1. Pertambahan B Ordinal


rupakan kelebiha Penambahan B 2%-4% = hip
n volume cairan berat badan ervolemia ringa
mengacu pada pe n
rluasan isotonik 2. Pertambahan B
dari CES yang di B 5%-7% = hip
sebabkan oleh re ervolemia sedan
tensi air dan natri g
um yang abnorm 3. Pertambahan B
al dalam propors B > 8% = hiper
i yang kurang leb volemia berat.
ih sama dimana (Rahma, 2019)
mereka secara no
rmal berada dala
m CES.

Anda mungkin juga menyukai