Anda di halaman 1dari 89

1

KARYA TULIS ILMIAH

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GGK PADA MASALAH HIPERVOLEMIA


DENGAN TINDAKAN KEPERAWATAN PEMANTAUAN CAIRAN PASIEN
HEMODIALISA TN. S DAN PASIEN TN. M
DI RUMAH SAKIT PLUIT
JAKARTA UTARA TAHUN 2021

PROPOSAL KTI

Nama : LINDA LAMTIUR


NIM 18013

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN Dr.
SISMADI JAKARTA TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia sebagai makhluk holistik bermakna bahwa manusia merupakan
makhluk yang utuh atau menyeluruh, terumah sakitusun atas unsur biologis,
psikologis, sosial dan spiritual. Setiap manusia mempunyai kebutuhan dasar
tertentu yang harus dipenuhi untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan.
Kebutuhan dasar ini berumah sakitifat heterogen artinya pada dasarnya manusia
memiliki kebutuhan yang sama tetapi karena terdapat perbedaan budaya,
kebutuhan itupun ikut berbeda. (Saputra, 2013)
Kebutuhan dasar manusia merupakan fokus dalam asuhan keperawatan.
Bagi pasien yang mengalami gangguan kesehatan, maka kemungkinan ada satu
atau beberapa kebutuhan dasarnya yang tergangu. Proses keperawatan
merupakan pengetahuan dasar perawat dalam melakukan asuhan keperawatan ,
sehingga pemahaman terhadap proses keperawatan menjadi keharusan bagi
perawat yang akan melakuan praktik keperawatan (Tarwoto & Wartonah, 2012).
Kebutuhan cairan dan elektrolit merupakan salah satu dari kebutuhan dasar
manusia secara fisiologis yang harus dipenuhi, dimana air merupakan medium
penting dalam tubuh manusia yang jumlahnya sebesar 50% hingga 75% dari
berat badan manusia. Air merupakan elemen utama dalam plasma darah yang
digunakan untuk mengedarkan sari-sari makanan, oksigen dan elektrolit
keseluruh tubuh, selain itu air juga memberi bentuk dan ukuran sel, mengatur
suhu tubuh, meminyaki perumah sakitendian dalam tubuh serta melindungi
organ-organ tubuh.
Kemudian elektrolit merupakan mineral bermuatan listrik yang terumah
sakitimpan didalam tubuh, bekerja berumah sakitama-sama dengan air untuk
menjaga homeostasis atau mencapai keseimbangan untuk mempertahankan
hidup. Menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, serta asam-basa sangat penting
karena dapat memengaruhi proses metabolisme dalam tubuh.
Ketidakseimbangan akan mempercepat proses, memperlambat, menghambat
penggunaan sari-sari makanan dengan benar, memengaruhi kadar oksigen dalam
tubuh, atau bahkan menyebabkan tubuh kita menyimpan limbah beracun dan
berdampak pada semua sistem tubuh. (Vaugans, 2013)
Saat ini banyak sekali berbagai macam penyakit yang menyerang
masyarakat Indonesia, mulai dari penyakit yang menular seperti ISPA,
Pneumonia, TB Paru, Diare, Hepatitis, Malaria, Filariasis, dan HIV-Aids hingga
Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti Asma, Kanker, Stroke, Penyakit Ginjal
Kronik, Penyakit Sendi, Diabetes Melitus, Jantung, Hipertensi dan Obesitas.
Perubahan pola penyakit tanpa disadari telah memberi pengaruh terhadap
terjadinya transisi epidemiologi. Dimana salah satu penyakit tidak menular yang
juga mengalami peningkatan adalah Gagal Ginjal Kronik (GGK). (Kemenkes,
2018)
Hasil survei Komunitas Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
tahun 2005 terhadap 9.412 subjek di Indonesia menunjukkan bahwa 12.5%
sudah mengalami penurunan fungsi ginjal, artinya sekitar 25-30 juta penduduk
Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.Pada tahun 2013, sebanyak 2 per
1000 penduduk atau 499.800 penduduk Indonesia menderita Penyakit Gagal
Ginjal. Sebanyak 6 per 1000 penduduk atau 1.499.400 penduduk Indonesia
menderita Batu Ginjal (Riskesdas, 2013). Dan dari Hasil Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013 dan 2018 menunjukan bahwa prevalensi penyakit gagal ginjal kronik
di Indonesia ≥ 15 tahun berdasarkan diagnosis dokter pada tahun 2013 adalah
0,2% dan terjadi peningkatan pada tahun 2018 sebesar 0,38%.
Menurut data dari (RISKESDAS, 2018) Jakarta masih memiliki kasus
Gagal Ginjal Kronik di atas nilai rata-rata nasional. Untuk nilai rata-rata
nasional sendiri berada di nilai 3.8% sedangkan DKI Jakarta memiliki nilai yang
cukup tinggi yaitu 4.0% dari jumlah penduduk Jakarta.
Gagal Ginjal Kronik ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang cukup
besar hingga ≤ 20% nilai GFR yang normal, dalam periode waktu yang lama
(biasanya > 6 bulan). Selain itu terjadi peningkatan uremia dan gejala lain yang
menyertai ketika GFR sudah turun hingga dibawah 60 mL/ menit. Gagal ginjal

kronik bisa berlangsung tanpa keluhan dan gejala selama bertahun-tahun.

Penderita sering tidak menyadari bahwa kondisi mereka telah parah hingga
tahap uremik akhir tercapai. Oleh karenanya, rata-rata penderita gagal ginjal
kronik datang kerumah sakit setelah kondisi ginjal mereka rusak dan
membutuhkan penanganan segera. (Saputra, 2013)
Umumnya, Penderita Gagal Ginjal Kronik dapat bertahan melalui dua cara
yaitu dengan tranplantasi ginjal atau dengan hemodialisis (cuci darah). Di
Indonesia Pelayanan hemodialisis harus memiliki sarana dan prasarana yang
memadai sesuai dengan Permenkes 812 tahun 2010. Dari total 4.898 mesin
hemodialisis yang terdata pada tahun 2015, proporumah sakiti terbanyak
terdapat di wilayah DKI Jakarta (26%) dan Jawa Barat (22%). Provinsi Jawa
Tengah 12%, Jawa Timur 11%, Sumatera Utara 7%, Bali 4%, Sumatera Barat
4%, Sumatera Selatan 4%, DI Yogyakarta 3%, Kalimantan 2%, dan provinsi
lainnya termasuk Lampung sekitar 1% (Kemenkes, 2017).
Data menurut Rumah Sakit Pluit Jakarta Utara tahun 2021, jumlah pasien
yang menderita gagal ginjal kronik dengan perawatan hemodialisa selama 6
bulan terakhir adalah 21 pasien. Sedangkan jumlah pasien yang menjalanakan
hemodialisa selama bulan Januari - Juli 804 Tindakan dengan menggunakan 5
mesin hemodialisa di Ruangan Hemodialisa Rumah Sakit Pluit Jakarta Utara.
Perawat dalam menjalankan perannya yaitu upaya promotif, upaya
preventif, upaya kuratif dan upaya rehabilitatif. Upaya rehabilitatif adalah usaha
untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat, sehingga dapat
berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat dan berguna untuk dirinya dan
masyarakat semaksimalnya sesuai kemampuannya dan upaya ini dapat
dilakukan pada pasien penyakit ginjal kronik yang harus menjalani terapi
Hemodialisis.
Dampak Kelebihan cairan pada pasien gagal ginjal kronik dapat
menimbulkan komplikasi lanjut, seperti hipertensi, penyakit vascular, hipertrofi
ventrikel kiri, sesak nafas dan edema, baik edema paru ataupun edema anasarka
(seluruh tubuh) yang disebabkan oleh retensi natrium dan air serta zat sisa
berbahaya lainnya seperti produk akhir nitrogen dari metabolisme protein
terutama urea, asam urat, dan kreatinin. sehingga dapat berakibat fatal terhadap
penderita, bahkan dapat menyebabkan kematian.

Pembatasan cairan pada penderita gagal ginjal kronik begitu penting,


namun kondisi yang sering kali dijumpai adalah masih kurangnya perhatian
terhadap perhitungan intake dan output pemenuhan kebutuhan cairan penderita,
baik ketika perawatan dirumah sakit ataupun perawatan dirumah. Sehingga
ginjal yang telah rusak dipaksa untuk tetap bekerja seperti sebelum rusak dan
semakin memperparah keadaan ginjal.
Berdasarkan latar belakang diatas dapat penulis simpulkan pentingnya
pengaturan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit pada penderita gagal
ginjal kronik. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengambil studi kasus yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pasien Gagal Ginjal Kronik Pada Masalah
Hipervolemia Dengan Tindakan Keperawatan Pemantauan Cairan Pasien
Hemodialisa Tn. S Dan Pasien Tn. M Di Rumah sakit Pluit Jakarta Utara Tahun
2021”.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Untuk memperoleh pengalaman secara nyata dalam memberikan


asuhan keperawatan pada pasien Gagal Ginjal Kronik dengan tindakan
Pemantauan Cairan Pasien Hemodialisa Di Rumah sakit Pluit Jakarta
Utara Tahun 2021.

1.2.2 Tujuan Khusus.

Tujuan khusus dari penelitian ini meliputi :

1.2.2.1 Mampu melakukan pengkajian terhadap pasien Gagal Ginjal


Kronik dengan tindakan Pemantauan cairan.
1.2.2.2 Merumuskan diagnosa terhadap pasien Gagal Ginjal Kronik
dengan tindakan Pemantauan cairan.
1.2.2.3 Menyusun intervensi terhadap pasien Gagal Ginjal Kronik
dengan tindakan Pemantauan cairan.
1.2.2.4 Melaksanakan implementasi terhadap pasien Gagal
Ginjal Kronik dengan tindakan Pemantauan cairan.
1.2.2.5 Melakukan evaluasi terhadap pasien Gagal Ginjal Kronik dengan
tindakan Pemantauan cairan.
1.2.2.6 Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pasien Gagal
Ginjal Kronik dengan tindakan Pemantauan cairan.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas peneliti membuat perumusan masalah
yaitu, “Asuhan Keperawatan Pasien Gagal Ginjal Kronik Pada Masalah
Hipervolemia Dengan Tindakan Keperawatan Pemantauan Cairan Pasien
Hemodialisa Tn. S Dan Pasien Tn. M Di Rumah sakit Pluit Jakarta Utara Tahun
2021.”

1.4 Sistematika Penulisan

Penyusunan karya tulis ilmiah ini disusun secara sistematis yang terdiri
dari lima bab, yaitu :
BAB I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penulisan, sistematika penulisan dan manfaat penulisan. BAB
II merupakan tinjauan pustaka yang terdirdiri dari konsep Gagal Ginjal Kronik
(GGK) , konsep Hipervolemia, konsep Hemodialisa, konsep pemantauan cairan
keperawatan serta konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien GGK . BAB III
merupakan Metodologi Karya Tulis terdiri dari rancangan studi kasus, subjek
studi kasus, definisi operasional, tempat dan waktu pelakasanaan studi kasus,
instrumen studi kasus, langkah – langkah studi kasus, analisa studi kasus dan
etika studi kasus. BAB IV merupakan hasil studi kasus dan pembahasan. BAB V
merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

1.5 Manfaat

1.5.1 Bagi pelayanan kesehatan


Laporan Tugas Akhir ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan terutama pada pasien Gagal
Ginjal Kronik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik


2.1.1 Pengertian Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuannya untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan
asupan makanan normal. Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan
gagal ginjal yang progresif dan lambat pada setiap nefron (biasanya
berlangsung beberapa tahun dan tidak reverumah sakitible). (Nurarif &
Kusuma, 2015).

Gagal ginjal kronik yang juga disebut penyakit ginjal kronik


(CKD; Chronic Kidney Disease) adalah kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit
akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi
penumpukkan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah. (Muttaqin
& Sari, 2012)

2.1.2 Etiologi
Begitu banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya
gagal ginjal kronik. Akan tetapi, apapun sebabnya respon yang terjadi
adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif. Gagal ginjal kronik
dapat disebabkan oleh ginjal itu sendiri dan dari luar ginjal. (Muttaqin &
Sari, 2012).

Tabel 2.1 Klasifikasi penyebab Gagal Ginjal Kronik


Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit infeksi tubulointerumah Pielonefritis kronik atau refluks nefropati
sakittitial
Penyakit peradangan Glomerulonephritis
Penyakit vaskuler hipertensif Nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna,
stenosis arteria renalis
Gangguan jaringan ikat Lupus eritematosus sistemik,
Poliarteritis Nodosa
Gangguan Kongenital dan Herediter Penyakit ginjal polikistik, Asidosis tubulus
Ginjal
Penyakit metabolic Diabetes melitus,
Goat,
Hiperparatiroidisme, Amyloidosis
Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesic, Nefropati timah
Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas : batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal.
Traktus urinarius bagian bawah : hipertrofi
prostat struktur uretra, anomaly
congenital, leher vesika urinaria dan uretra
Sumber : (Nurarif & Kusuma, 2015).

2.1.3 Pathogenesis dan Patofisiologis


2.1.3.1 Pathogenesis
Patofisiologi gagal ginjal kronik dimulai pada fase awal
gangguan, keseimbangan cairan, penanganan garam, serta
penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada
bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari
25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin
minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih
fungsi nefron yang rusak. Nefron yang terumah sakitisa
meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya, serta
mengalami hipertrofi.
Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka
nefron yang terumah sakitisa menghadapi tugas yang semakin
berat sehingga nefron- nefron terumah sakitebut ikut rusak dan
akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya
berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk
meningkatkan reabsorpsi protein. Pada saat penyusutan
progresif nefron- nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan
aliran darah ginjal akan berkurang. Pelepasan renin akan
meningkat berumah sakitama dengan kelebihan beban cairan
sehingga dapat menyebabkan hipertensi.
Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal ginjal, dengan
tujuan agar terjadi peningkatan filtrasi protein-protein plasma.
Kondisi akan bertambah buruk dengan semakin banyak terbentuk
jaringan parut sebagai respons dari kerusakan nefron dan secara
progresif fungsi ginjal menurun drastik dengan manifestasi
penumpukan metabolit-metabolit yang seharusnya dikeluarkan
dari sirkulasi sehingga akan terjadi sindrom uremia berat yang
memberikan banyak manifestasi pada setiap organ tubuh.

2.1.3.2 Patofisiologis
Gambar 2.1. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

(Sumber : Nurarif & Kusuma, 2015)


2.1.4 Stadium Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR.
Stadium-stadium gagal ginjal kronik didasarkan pada tingkat GFR yang
terumah sakitisa, diantaranya adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2. klasifikasi National Kidney Foundation tentang penyakit


ginjal kronik
Stadium Deskripsi Istilah lain yang GFR
digunakan (ml/menit/1,73 m3)
1 Kerusakan ginjal Berada pada resiko >90
dengan tingkat filtrasi
glomerulus (GFR)
Normal
2 Kerusakan ginjal Kelainan ginjal kronik 60-89
dengan penurunan (chronic renal insufficiency
GFR ringan –CRI)
3 Penurunan GFR CRI, gagal ginjal kronik 30-59
sedang (chronic renal failure-
CRF)
4 Penurunan GFR parah CRF 15-29
5 Gagal ginjal Penyakit ginjal stadium <15
akhir (End-stage
renal
disease-ESRD)
(Sumber : Black & Hawks, 2014)

2.1.5 Manifestasi Klinis


Menurut perjalanan klinisnya :
2.1.5.1 Menurunnya cadangan ginjal pasien asimtomatik, namun GFR
dapat menurun hingga 25% dari normal.

2.1.5.2 Insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami polyuria


dan nokturia, GFR 10% hingga 25% dari normal, kadar creatinin
serum dan BUN sedikit meningkat diatas normal.

2.1.5.3 Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik


pasien merasa lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang sampai koma.
Ditandai dengan GFR kurang dari 5-10 ml/menit, kadar serum
creatinin dan BUN meningkat tajam, dan terjadi perubahan
biokimia dan gejala yang kompleks.
Gejala komplikasinya antara lain yaitu hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida) (Nurarif & Kusuma,
2015).

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik


2.1.6.1 Laboratorium
Laju Endap Darah meninggi yang diperberat oleh adanya anemia
dan hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah
retikulosit yang rendah.
2.1.6.2 Ureum dan kreatinin meninggi, biasanya perbandingan antara ureum
dan kreatinin kurang lebih 20:1. Perbandingan dapat meninggi oleh
karena perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas,
pengobatan steroid, dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini
berkurang dengan ureum lebih kecil dari kreatinin pada diet rendah
protein, dan tes klirens kreatinin yang menurun.
2.1.6.3 Hiponatremi umumnya terjadi karena kelebihan cairan, sedangkan
Hiperkalemia biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut berumah
sakitamaan dengan menurunnya diuresis.
2.1.6.4 Hipokalsemia dan hiperfosfatemia dapat terjadi karena
berkurangnya sintesis vitamin D3 pada Gagal Ginjal Kronik.
2.1.6.5 Phosphate alkaline meninggi akibat gangguan metabolisme tulang,
terutama Isoenzim fosfatase lindi tulang.
2.1.6.6 Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia umumnya disebabkan
oleh gangguan metabolisme dan diet rendah protein.
2.1.6.7 Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat
pada gagal ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan
perifer)
2.1.6.8 Hipertrigliserida akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan
oleh peninggian hormon insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
2.1.6.9 Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH
yang menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2
yang menurun, semuanya disebabkan oleh retensi asam-asam
organik pada gagal ginjal.
2.1.6.10 Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal
(adanya batu atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan
memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab itu penderita diharapkan
tidak puasa.
2.1.6.11 Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises
dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal
pada keadaan tertentu, misalnya : usia lanjut, diabetes melitus, dan
nefropati asam urat.
2.1.6.12 USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim
ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises,
ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
2.1.6.13 Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi
dari gangguan (vascular, parenkim, ekskresi), serta sisa fungsi
ginjal.
2.1.6.14 EKG untuk melihat kemungkinan : hipertropi ventrikel kiri,
tanda- tanda pericarditis, aritmia, gangguan elektrolit
(Hiperkalemia).

2.1.7 Komplikasi Gagal Ginjal Kronik


Gagal ginjal kronik juga dapat memicu munculnya penyakit lainnya.
Komplikasi dari gagal ginjal kronik yang dimaksud diantaranya adalah
sebagai berikut.

2.1.7.1 Hiperkalemia
Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic,
katabolisme, dan masukan diet berlebihan.

2.1.7.2 Pericarditis.
Pericarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak kuat.
2.1.7.3 Hipertensi.
Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
2.1.7.4 reninangiostensin-aldosteron.
2.1.7.5 Anemia.
Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin,
dan kehilangan darah selama hemodialysis.
2.1.7.6 Penyakit tulang.
Penyakit tulang serta klasifikasi metastatik akibat retensi fosfat,
kadar kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal,
dan peningkatan kadar alumunium.
(Ariani, 2016).
2.1.8 Penatalaksanaan
Menurut (Tanto, 2014)
2.1.8.1 Terapi spesifik terhadap penyakitnya.
Waktu yang paling tepat adalah sebelum terjadi penurunan
LFG sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy dan
pemeriksaan hispatologi dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik.

2.1.8.2 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid.


Perlu pencatatan kecepatan penurunan LFG untuk
mengetahui kondisi komorbid. Faktor komorbid antara lain yaitu
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi tidak terkontrol,
infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obatan
nefrotoksik, bahan kontras atau peningkatan penyakit dasarnya.

2.1.8.3 Menghambat perburukan fungsi ginjal.


Faktor utama yaitu hiperfiltrasi glomerulus, ada dua cara
untuk menguranginya.

2.1.8.4 Terapi farmakologis.


Pemakaian Obat Anti Hipertensi (OAH) terutama
Angiotensin- converting enzyme inhibitor (ACEI) sebagai obat
antihipertensi dan antiproteinuria.

2.1.8.5 Terapi non farmakologis.


Pembatasan protein yang mulai dilakukan saat LFG ≤ 60
ml/menit. Protein diberikan hanya 0,6-0,8/kgBB/hari dengan
jumlah pengaturan asupan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari.
Pembatasan Lemak, karbohidrat, garam NaCl, kalsium, besi,
magnesium asam folat Pasien dan pembatasan cairan sesuai
dengan balance cairan klien.

2.1.8.6 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler


Meliputi pengendalian DM, hipertensi, dyslipidemia, anemia,
hiperfosfatemia dan terapi kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit.
2.1.8.7 Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi Anemia.
2.1.8.8 Defisiensi eritropoetin, defisiensi besi, kehilangan darah
(perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat hemolysis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh uremic, proses inflamasi akut atau kronik. Evaluasi
anemia dimulai saat Hb ≤ 10% atau Ht ≤ 30%. Meliputi evaluasi
status besi (kadar besi serum/serum iron), kapasitas ikat besi total,
ferritin serum dengan sasaran Hb 11/12 gr/dL.
2.1.8.9 Osteodistrofi renal.
Mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol.
Hiperfosfatemia, pembatasan fosfat (diet rendah fosfat, tinggi
kalori, rendah protein dan rendah garam). Asupan fosfat 600-
800 mg/hari, pemberian kalsitriol.
Kadar fosfat normal, kadar hormon paratiroid (PTH) >2,5x
normal.
2.1.8.10 Pembatasan cairan dan elektrolit.
Pembatasan cairan dan elektrolit disesuaikan dengan hasil dari
2.1.8.11 Balance Cairan klien yang dihitung dengan cara.
Balance Cairan = Intake-Output + IWL (Insensible Water Loss)
2.1.8.12 Terapi pengganti ginjal.
Hemodialysis, peritoneal dialysis / transplantasi ginjal pada
gagal ginjal stadium 3 dengan LFG < 15 ml/menit.
2.2 Konsep Hipervolemia
2.2.1 Pengertian

Hipervolemia adalah peningkatan retensi cairan isotonik (Ackley,

Ladwig, 2016) Hipervolemia adalah peningkatan volume cairan

intravaskular, interumah sakittisial, dan intraseluler (Tim Pokja SDKI DPP

PPNI, 2017b). Hipervolemia (kelebihan volume cairan) adalah peningkatan

asupan dan/atau retensi cairan (NANDA, 2018). Hypervolemia pada gagal

ginjal kronik merupakan suatu ketidakseimbangan yang memengaruhi cairan

ekstraseluler sehingga terjadi pertambahan natrium dan air dalam jumlah

yang relative sama yang kemudian terjadi kelebihan volume cairan

ekstraseluler (Muttaqin, 2014).

Kelebihan volume cairan ekstraselular (ECF) dapat terjadi jika natrium

dan air kedua-duanya tertahan dengan proporumah sakiti yang lebih kurang

sama. Seiring dengan terkumpulnya cairan isotonic berlebihan di ECF (Extra

Celuler Fluid), maka cairan akan berpindah ke kompartemen cairan

interumah sakittisial sehingga menyebabkan terjadinya edema. Kelebihan

volume cairan selalu terjadi sekunder akibat peningkatan kadar natrium

tubuh total yang akan menyebabkan terjadinya retensi air (Mubarak et al.,

2015).
2.2.2 Etiologi hipervolemia pada gagal ginjal kronik

Penyebab (etiology) merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi

perubahan status kesehatan. Etiology dapat mencakup empat kategori yaitu :

2.2.2.1 Fisiologis,Biologis atau Psikologis;

2.2.2.2 Efek terapi/ tindakan;

2.2.2.3 Situasional (lingkungan atau perumah sakitonal);

2.2.2.4 Maturasional (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

Hypervolemia pada gagal ginjal kronik merupakan suatu

ketidakseimbangan yang memengaruhi cairan ekstraseluler sehingga terjadi

pertambahan natrium dan air dalam jumlah yang relative sama yang

kemudian terjadi kelebihan volume cairan ekstraseluler (Muttaqin, 2014).

Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) penyebab hipervolemia pada

gagal ginjal kronik adalah gangguan mekanisme regulasi (ekskresi cairan).

2.2.3 Gangguan regulasi air

Peningkatan osmolaritas plasma dan cairan interumah sakittisium

menimbulkan refleks umpan balik negative cairan ekstrasel yang di sensor oleh

osmoreseptor di system saraf pusat. Sinyal dari osmoreseptor ini akan

merangsang kelenjar yang menghasilkan ADH di hipotalamus. ADH akan

dilepas dari ujung-ujung saraf pada kelenjar hipofisis posterior dan dikeluarkan

ke sirkulasi. Peningkatan ADH plasma akan meningkatkan reabsorpsi air di

tubulus ginjal sehingga terjadi retensi air (Unit Pendidikan Kedokteran-

Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (UPK-PKB), 2008). Terjadinya

retensi air akan menyebabkan volume cairan ekstraselular meningkat

(hypervolemia) yang nantinya cairan terumah sakitebut akan berpindah ke

ruang interumah sakittisial sehingga menyebabkan peningkatan volume darah


dan edema (Mubarak et al., 2015).

2.2.4 Gangguan regulasi natrium

Natrium merupakan kation dominan yang terdapat pada cairan ekstrasel.

Lebih dari 90% tekanan osmotic di cairan ekstrasel di tentukan oleh garam

yang mengandung natrium khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl)

dan natrium bikarbonat, sehingga perubahan tekanan osmotic pada cairan

ekstrasel menggambarkan perubahan konsentrasi natrium. Kelebihan natrium

dalam darah akan meningkatkan tekanan osmotic dan menahan air lebih

banyak sehingga tekanan darah akan meningkat. Peningkatan konsentrasi

natrium cairan ekstrasel yang diperoleh dari pemasukan tinggi natrium

menyebabkan kandungan natrium di cairan ekstrasel meningkat. Peningkatan

kandungan natrium akan diikuti peningkatan konsentrasi natrium plasma

secara temporer.

Beberapa hormone juga dapat menyebabkan terjadinya retensi natrium dan

air yaitu hormone aldosterone dan hormone glukokortikoid. Sekresi

aldosterone diaktifkan oleh angiotensin II yang dihasilkan di ginjal oleh system

renin- angiotensin .(Pengeluaran renin dari ginjal akan mengakibatkan

perubahan angiostensinogen (suatu glikoprotein yang di buat dalam hati)

menjadi angiostensin I. Angiostensin I kemudian dirubah menjadi angiostensin

II oleh converting enzyme yang ditemukan di dalam kapiler paru- paru.

Angiostensin II meningkatkan tekanan darah dengan menyebabkan

vasokonstriksi arteriol perifer dan merangsang sekresi aldosterone. Peningkatan

kadar aldosterone akan merangsang reabsorpsi natrium dalam tubulus distal

dan duktus koligen. Peningkatan reabsorpsi natrium akan mengakibatkan

peningkatan reabsorpsi air dan dengan demikian volume plasma meningkat


(Price & Wilson, 2015).
Sedangkan hormone glukokortikoid merupakan hormone yang dapat

meningkatkan reabsorpsi natrium sehingga menyebabkan volume darah

meningkat dan terjadi retensi natruim (Tambayong, 2013). Fungsi utama

natrium adalah untuk membantu mempertahankan keseimbangan cairan

terutama intrasel dan ekstrasel.

Ketika terjadi retensi (kelebihan) natrium dan air ini akan menyebabkan

volume cairan ekstraselular meningkat (hypervolemia) yang nantinya cairan

terumah sakitebut akan berpindah ke ruang interumah sakittisial sehingga

menyebabkan peningkatan volume darah dan edema (Mubarak et al., 2015).

2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi hypervolemia pada gagal ginjal kronik


2.2.5.1 Usia

Bayi dan anak yang sedang tumbuh memiliki perpindahan cairan

yang jauh lebih besar dibandingkan orang dewasa karena laju

metabolisme mereka lebih tinggi meningkatkan kehilangan cairan.

Bayi kehilangan banyak cairan melalui ginjal karena ginjal yang

belum matang kurang mampu menyimpan air dibandingkan ginjal

orang dewasa. Pada usia paruh baya (40-65 tahun) perubahan fisik

individu yang terjadi pada system perkemihan yaitu unit nefron

berkurang selama periode ini dan laju filtrasi glomerulus menurun.

Pada lansia (lebih dari 65 tahun) perubahan fisik normal akibat

penuaan pada perkemihan yaitu penurunan kemampuan filtrasi ginjal

dan gangguan fungsi ginjal, konsentrasi urine menjadi kurang efektif,

urgensi berkemih dan sering berkemih (Kozier et al, 2011)


2.3.5.2 Suhu lingkungan

Suhu lingkungan juga dapat memengaruhi hypervolemia pada

gagal ginjal kronik. Disaat suhu lingkungan mengalami peningkatan,

maka keringat akan lebih banyak dikeluarkan, ion natrium dan

klorida juga dilepaskan berumah sakitamaan dengan keringat. Selain

itu, juga terjadi peningkatan curah jantung dan frekuensi denyut nadi

yang nantinya akan memacu peningkatan hormone aldosterone

(Pranata, 2013).). Sehingga terjadi retensi natrium yang pada

akhirnya menyebabkan retensi air dan terjadi peningkatkan volume

cairan ekstrasel (hypervolemia) (Pranata, 2013).

2.2.5.2 Gaya Hidup

Gaya hidup di sini meliputi diet, dan stress yang dapat


emengaruhi keseimbangan cairan dan elekrolit (Pranata, 2013).

2.2.5.2.1 Diet

Diet dapat mempengaruhi asupan cairan. Asupan

nutrisi yang tidak adekuat dapat mempengaruhi terhadap

kadar albumin serum. Jika albumin serum menurun,

cairan interumah sakittitial tidak bisa masuk ke

pembuluh darah sehingga terjadi edema. (Mubarak et al.,

2015)

2.2.5.2.2 Stres

Stress merupakan suatu hal yang tidak boleh

diremehkan. Stress akan meningkatkan beberapa kadar

hormone seperti aldosterone, glukokortikoid dan ADH.

Hormone aldosterone dan glukokortikoid yang


menyebabkan retensi natrium, sehngga air juga akan

tertahan. Sedangkan dampak dari peningkatan ADH

adalah penurunan jumlah urin sehingga terjadi retensi air

(Pranata, 2013).

2.2.6 Patofisiologi hipervolemia pada gagal ginjal kronik

Dalam mekanisme homeostasis, ginjal memiliki peran yang sangat

penting yaitu membuang kelebihan garam sehingga input bisa sama dengan

output. (William, 2017). Beberapa faktor yang memengaruhi mekanisme

kerja ginjal yang dalam hal pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit

adalah usia, suhu lingkungan, gaya hidup (diet, stress).

Pada bayi dan anak yang sedang tumbuh memiliki perpindahan cairan

yang jauh lebih besar dibandingkan orang dewasa karena laju metabolisme

mereka lebih tinggi meningkatkan kehilangan cairan. Bayi kehilangan

banyak cairan melalui ginjal karena ginjal yang belum matang kurang

mampu menyimpan air dibandingkan ginjal orang dewasa. Pada usia paruh

baya (40-65 tahun) perubahan fisik individu yang terjadi pada system

perkemihan yaitu unit nefron berkurang selama periode ini dan laju filtrasi

glomerulus menurun (Kozier et al, 2011).

Suhu lingkungan dan stress juga dapat memicu terjadinya hypervolemia.

Suhu lingkungan yang panas akan memicu peningkatan hormone

aldosterone yang bekerja pada tubulus ginjal dan tingkat stress juga

meningkatkan beberapa kadar hormone seperti aldosterone, glukokortikoid

dan ADH. Hormone aldosterone dan glukokortikoid yang menyebabkan

retensi natrium, sehngga air juga akan tertahan. Sedangkan dampak dari

peningkatan ADH adalah penurunan jumlah urin sehingga terjadi retensi air
(Pranata, 2013)

Pada gagal ginjal kronik sekitar 90% dari massa nefron telah hancur

mengakibatkan laju filtrasi glomelurus (GFR) menurun sehingga ginjal tidak

mampu lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh.

Menurunnya laju filtrasi glomelurus (GFR) menyebabkan retensi (kelebihan)

natrium dan air. Adanya perbedaan tekanan osmotic karena natrium tertahan

menyebabkan terjadi proses osmosis yaitu air berdifusi menembus

membrane sel hingga tercapai keseimbangan osmotic (Price & Wilson,

2015). Fungsi utama natrium adalah untuk membantu mempertahankan

keseimbangan cairan terutama intrasel dan ekstrasel. Retensi (kelebihan)

natrium dan air ini akan menyebabkan volume cairan ekstraselular

meningkat (hypervolemia) yang nantinya cairan terumah sakitebut akan

berpindah ke ruang interumah sakittisial sehingga menyebabkan

peningkatan volume darah dan edema (Mubarak et al., 2015).

2.2.7 Manifestasi klinis hipervolemia pada gagal ginjal kronik

Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017) tanda merupakan data

objektif yang diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratoriun, dan prosedur diagnostic sedangkan gejala merupakan data

subjektif yang diperoleh dari hasil anamnesis. Tanda dan gejala

hypervolemia pada gagal ginjal kronik adalah:

2.2.7.1 Dyspnea, Ortopnea dan Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND)

Kelebihan cairan vaskuler dapat meningkatkan hidrostatik cairan.

Peningkatan tekanan hidrostatik yang besar dapat menekan sejumlah

cairan hingga ke membrane kapiler paru-paru sehingga menyebabkan

edema paru dan dapat mengakibatkan kematian. Manifestasi edema


paru inilah yang dapat menyebabkan dyspnea, penumpukan sputum,

batuk, dan suara ronki (Mubarak et al., 2015).

Dyspnea atau sesak napas, terjadi akibat penimbunan cairan dalam

alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Dyspnea bahkan dapat

terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal atau

sedang. Dapat terjadi ortopnea yaitu kesulitan bernapas saat berbaring.

Pasien yang mengalami ortopnea tidak akan mau berbaring, tetapi akan

menggunakan bantal agar bisa tegak di tempat tidur atau duduk di

kurumah sakiti, bahkan saat tidur. Beberapa pasien hanya mengalami

ortopnea pada malam hari, yaitu suatu kondisi yang dinamakan

paroxysmal nocturnal dyspnea (PND).

Hal ini terjadi bila pasien, yang sebelumnya duduk lama dengan

posisi kaki dan tangan di bawah, pergi berbaring ke tempat tidur.

Setelah beberapa jam, cairan yang tertimbun di ekstremitas yang

sebelumnya berada di bawah mulai diabsorbsi, dan ventrikel kiri yang

sudah terganggu, tidak mampu mengosongkan peningkatan volume

dengan adekuat. Akibatnya, tekanan dalam sirkulasi paru meningkat

dan lebih lanjut cairan berpindah ke alveoli (Smeltzer & G.Bare,

2013). Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) disebabkan oleh

perpindahan cairan dari jaringan ke dalam kompartemen intravaskuler

sebagai akibat posisi terlentang. Selama siang hari tekanan pada vena

tinggi khususnya pada bagian dependen tubuh.

Hal ini terjadi karena gravitasi, peningkatan volume cairan, dan

peningkatan tonus sismpatetik. Dengan peningkatan tekanan

hidrostatik ini, beberapa cairan keluar masuk ke area jaringan. Dengan


posisi terlentang tekanan pada kepiler– kapiler dependen menurun, dan

cairan diserap kembali ke dalam sirkulasi. Peningkatan volume

memberikan jumlah tambahan darah yang diberikan ke jantung untuk

memompa tiap menit dan memberikan beban tambahan pada dasar

vaskuler pulmonal yang telah kongesti. Paroxysmal Nocturnal

Dyspnea (PND) terjadi bukan hanya pada malam hari, tetapi kapan aja

selam perawatan akut di rumah sakit yang memerlukan tirah baring

(Muttaqin, 2014).

2.2.7.2 Edema (edema anasarka dan/atau edema perifer)

Edema merupakan pembengkakan lokal yang dihasilkan oleh

cairan dan beberapa sel yang berpindah dari aliran darah ke jaringan

interstitial (Robbins et al, 2015). Edema adalah salah satu tanda

adanya inflamasi. Inflamasi merupakan reaksi pertahanan organisme

dan jaringan terhadap kerusakan, tujuannya adalah memperbaiki

kerusakan atau paling tidak membatasinya serta menghilangkan

penyebab kerusakan, seperti bakteri atau benda asing (Silbernagl dan

Florian, 2013)

Proses terbentuknya edema ansarka terjadi akibat tekanan osmotic

di plasma menurun, menyebabkan cairan berpindah dari vaskuler ke

ruang interumah sakittitial. Berpindahnya cairan menyebabkan

penurunan sirkulasi volume darah yang mengaktifkan sistem imun

angiotensin, menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut

keseluruh tubuh (Price & Wilson, 2015).


Edema anasarka adalah edema yang terdapat di seluruh tubuh.

Edema perifer adalah edema pitting yang muncul di daerah perifer dan

akan mencekung bila di tekan pada daerah yang bengkak (Mubarak et

al., 2015). Edema perifer pada pasien merupakan akibat dari

penumpukan cairan karena berkurangnya tekanan osmotik plasma dan

retensi natrium dan air. Akibat peranan dari gravitasi, cairan yang

berlebih terumah sakitebut akan lebih mudah menumpuk di tubuh

bagian perifer seperti kaki, sehingga edema perifer akan lebih cepat

terjadi dibanding gejala kelebihan cairan lainnya (Aisara et al., 2018).

2.2.7.3 Berat badan meningkat dalam waktu singkat

Kenaikan dan penurunan berat badan perhari dengan cepat

biasanya berhubungan dengan perubahan volume cairan. Peningkatan

berat badan lebih dari 2, 2 kg/hari (1 lb/hari) diduga ada retensi cairan.

Secara umum pedoman yang dipakai adalah 473 ml (1 pt) cairan

menggambarkan 0,5 kg (1,1 lb) dari peningkatan berat badan (Morton

et al, 2012).

Pasien yang mengikuti dan melaksananakan petunjuk menjaga

keseimbangan cairan dapat membantu mempertahankan berat badan

interdialytic (IDWG) 2,5% sampai 3,5% berat badan kering atau tidak

melebihi 5% berat badan kering. Nilai IDWG (interdialytic weight

gain) dihitung berdasarkan berat badan pasien sebelum hemodialisa

(berat badan basah) dikurangi berat badan setelah hemodialisa (berat

badan kering). Nilai normal IDWG adalah kurang dari 3% berat badan

kering (Price & Wilson, 2015).


27

Central venous pressure (CVP), jugular venous pressure (JVP),


distensi vena leher Central venous pressure atau tekanan vena sentral
merupakan gambaran pengisian ventrikel kanan dan menunjukkan
kemampuan sisi kanan jantung dalam mengatur beban cairan. CVP
berperan sebagai pemandu pemberian cairan pada pasien yang
mengalami sakit serius dan sebagai pengatur volume efektif darah
yang beredar. Peningkatan CVP dapat merupakan tanda akhir dari
gagal ventrikuler. Penurunan CVP menunjukkan bahwa pasien
mengalami hypovolemia dan dibuktikan bila pada pemberian cairan
intravena cepat akan menaikkan CVP. Peningkatan CVP dapat
disebabkan baik oleh hopervolemia atau kontraktilitas jantung yang
buruk. CVP diukur berdasrkan tingginya kolom air pada manometer.
Saat mengukur titik nol manometer harus sejajar dengan titik acuan
standar disebut aksis flebostatik (perumah sakitilangan dua garis
acuan). Bila digunakan aksis flebostatik CVP dapat diukur dengan
tepat pada pasien dalam posisi terlentang dan kepala ditinggikan
sampai 45 derajat. CVP normal adalah 4 sampai 10 cm H2O (Smeltzer
& G.Bare, 2013) .
Jugular venous pressure atau tekanan vena jugularis merupakan
tekanan vena perifer, saat CVP melebihi nilai normal akan membuat
vena menjadi lebar bahkan titik-titik rawan kolaps akan terbuka bila
CVP meningkat (Morton et al., 2012).
Pemantauan selanjutnya adalah berupa pemantauan adanya distensi
vena jugularis dan mengukur JVP. Hal terumah sakitebut dapat
dilakukan sehubungan dengan anatomi pembuluh darah terumah
sakitebut bermuara pada vena sentral (vena cava superior).
Peningkatan pada vena sentral sehubungan dengan meningkatnya
volume sirkulasi sistemik akan berdampak kepada peningkatan JVP
yang dapat terlihat dengan adanya distensi vena leher, jadi secara tidak
langsung terhadap distensi vena leher dan peningkatan JVP
menunjukkan kemungkinan adanya kondisi overload cairan. Tekanan
vena jugulari diperiksa sebagai berikut:
2.2.7.3.1 Pasien dalam posisi supine, dengan kepala dinaikkan setinggi
28

15 sampai 30 derajat pada tempat tidur atau meja pemeriksa.


2.2.7.3.2 Kepala pasien sedikit dipalingkan menjauhi sisi leher yang
akan diperiksa.
2.2.7.3.3 Carilah vena jugularis eksterna
2.2.7.3.4 Carilah denyutan vena jugularis interna (bedakan denyutan ini
dengan denyutan dari arteri karotis interna di sebelahnya).
2.2.7.3.5 Tentukan titik tertinggi dimana denyutan vena jugularis
interna masih terlihat.
2.2.7.3.6 Dengan menggunakan penggaris sentimeter, ukurlah jarak
ventrikel Antara titik ini dengan sudut sternal.
2.2.7.3.7 Catatlah jarak dalam sentimeter dan tentukan sudut
kemiringan pasien berbaring (mis. denyut vena jugularis 5 cm
diatas sudut sternal, dengan kepala dinaikkan 30 derajat).

2.2.7.3.8 Pengukuran yang lebih dari 3 sampai 4 cm di atas sudut sternal


dianggap suatu peningkatan. Kalau vena jugularis interna sulit
dicari, dapat dicatat denyut vena jugularis eksterna. Vena ini

lebih superfisial dan terlihat tepat diatas klavikula di sebelah


otot sternocleidomastoid, dan biasanya mengalami distensi
jika pasien berbaring dengan posisi supine pada tempat tidur
atau meja pemeriksaan. Ketika kepala pasien dinaikkan maka
distensi vena ini akan hilang. Vena ini normalnya tidak akan
kelihatan jika kepala dinaikkan lebih dari 30 derajat. Distensi
yang jelas saat kepala dinaikkan sebesar 45sampai 90 derajat
menunjukkan peningkatan abnormal volume system vena
(Smeltzer & G. Bare, 2013).

2.2.7.4 Refleks hepatojugular positif

Refleks hepatojugular positif merupakan respon vena jugularis


yang terjadi saat jantung menerima beban sehingga peregangan vena
jugularis meningkat dan frekuensi denyut vena di leher juga
meningkat (Price & Wilson, 2015)

2.2.7.5 Hepatomegaly
29

Hepatomegaly dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen


yang terjadi akibat pembesaran vena di hepar merupakan manifestasi
dari kegagalan jantung. Bila proses ini berkembang maka tekanan
dalam pembuluh portal meningkat, sehingga cairan terdorong keluar
rongga abdomen, yaitu suatu kondisi yang dinamakan asites.
Pengumpulan cairan dalam rongga abdomen ini dapat menyebabkan
tekanan pada diafragma dan distress pernapasan (Muttaqin, 2014).

2.2.7.6 Kadar Hb/Ht turun

Pasien dengan gagal ginjal kronik berat hamper selalu mengalami

anemia. Penyebab paling pening dari hal ini adalah berkurangnya sekresi

eritropoietin ginjal yang merangsang sumsum tulang untuk menghasilkan sel

darah merah. Jika ginjal mengalami kerusakan berat, ginjal tidak mampu

membentuk eritropoietin dalam jumlah yang cukup sehingga menyebabkan

terjadinya penurunan produksi sel darah merah (hemoglobin) dan

menimbulkan anemia (Guyton & Hall, 2011).

Hematokrit adalah fraksi darah yang terdiri ari sel-sel darah merah

yang ditentukan melalui sentrifugasi darah dalam “tabung hematocrit”.

Perumah sakitentase darah berupa sel disebut hematocrit. Jadi, bila

seseorang mempunyai hematocrit 40, artinya 40 perumah sakiten volume

darah adalah sel dan sisanya adalah plasma. Pada laki-laki normal,

hematocrit terukur rata-rata sekitar 42% dan pada wanita normal rata- rata

sekitar 38%. Pada anemia berat hematocrit dapat turun sampai 10% yaitu

suatu nilai yang hampir tidak cukup untuk mempertahankan hidup.

Sebaliknya, ada beberapa kondisi dimana terjadi produksi sel darah

merah yang berlebihan yaitu pada polisitemia. Pada kondisi ini hematocrit

dapat mencapai 65% (Guyton & Hall, 2011).


30

2.2.7.7 Terjadinya penurunan produksi urine (oliguria)

Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal,

jumlah nefron yang sudah tidak berfungsi menjadi meningkat, maka

ginjal tidak akan mampu dalam menyaring urine. Kemudian dalam hal

ini, glomerulus akan kaku dan plasma tidak dapat di filter dengan

mudahnya lewat tubulus sehingga terjadi retensi natrium dan cairan yang

mengakibatkan ginjal tidak mampu dalam mengkonsentrasikan atau

mengencerkan urine secara normal sehingga terjadi oliguria (Muttaqin,

2014).

2.2.7.8 Intake lebih banyak dari output

Menurut Oktiawati.dkk (2017) asupan yang bebas dapat menyebabkan

beban sirkulasi berlebihan. Aturan yang dipakai untuk menentukan

banyaknyan asupan cairan yaitu jumlah urin yang dikeluarkan selama 24

jam terakhir di tambah 500 ml Kongesti paru

Edema pulmonal akut adalah gambaran klinis paling bervariasi

dihubungkan dengan kongesti vaskuler pulmonal. Ini terjadi bila tekanan

pulmonal melebihi tekanan yang cenderung mempertahankan cairan di

dalam saluran vaskuler (kurang lebih 30 mmHg). Pada tekanan ini

terdapat transduksi cairan ke dalam (Smeltzer & G. Bare, 2013).


31

Table 2.3
Gejala dan Tanda Mayor & Minor pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik dengan Hipervolemia

Keterangan Mayor Minor

Subjektif 1. Ortopnea Tidak terumah


sakitedia
2. Dispnea
3. Paroxysmal Nocturnal
Dyspnea
(PND)

1. Edema anasarka dan/ atau 1. Distensi vena


Objektif
edema perifer jugularis
2. Berat badan 2. Terdengar suara
meningkat dalam waktu napas tambahan
singkat 3. Hepatomegaly
3. Jugular Venous 4. Kadar Hb/Ht turun
Pressure (JVP) dan/ atau 5. Oliguria
Central Venous Pressure 6. Intake lebih banyak dari
(CVP) meningkat output (balance cairan
4. Refleks hepatojugular positif)
Positif 7. Kongesti paru

(Sumber: Tim Pokja SDKI DPP PPNI, Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, 2017)

2.2.8 Dampak hipervolemia pada gagal ginjal kronik

Dampak apabila kelebihan volume cairan tidak teratasi akan mengalami

oedeme, badan terasa lemas, aktivitas terganggu dan sesak nafas (Bayhakki,

2012)
32

2.3 Konsep Pemantauan Cairan

2.3.1 Pengertian Pemantauan Cairan


Menurut (Fanny & Arcellia, 2016).Pemantauan cairan merupakan
suatu tindakan yang dilakukan untuk mengukur jumlah cairan yang masuk
kedalam tubuh (intake) dan jumlah cairan yang keluar dari tubuh (output).

2.3.2 Tujuan :
2.3.2.1 Menentukan status keseimbangan cairan tubuh klien.
2.3.2.2 Menentukan tingkat dehidrasi ataupun tingkat kelebihan cairan klien.

2.3.3 Prosedur :

2.3.3.1 Tentukan jumlah cairan yang masuk kedalam tubuh.


Cairan yang masuk kedalam tubuh melalui air minum,
air dalam makanan, air hasil oksidasi (metabolism), dan
cairan intravena.

2.3.3.2 Tentukan jumlah cairan yang keluar dari tubuh klien.


Cairan yang keluar dari tubuh terdiri atas urine,
insensible water loss (IWL), feses, dan muntah

2.3.3.3 Tentukan keseimbangan cairan tubuh klien dengan


rumus : Balance Cairan = intake-output

2.3.4 Hal yang perlu diperhatikan :

2.3.4.1 Rata-rata intake cairan per hari : adalah 30-40 mL/kgBB dalam 24 jam

2.3.4.2 Rata-rata output cairan per hari : Urine : 1-2 cc/kgBB/jam Insensible
water loss (IWL) :
2.3.4.2.1 Urine
Proses pembentukan urine oleh ginjal dan ekskresi melalui
traktus urinarius merupakan proses output cairantubuh yang
utama. Dalam kondisi normal output urine sekitar 1400-1500 ml
per 24 jam, atau sekitar 30-50 ml per jam pada orang dewasa.
Pada orang yang sehat kemungkinan produksi urine bervariasi
dalam setiap harinya, bila aktivitas kelenjar keringat meningkat
33

maka produksi urine akan menurun sebagai upaya tetap


mempertahankan keseimbangan dalam tubuh.

2.3.4.2.2 IWL (Insesible Water Loss)

IWL terjadi melalui paru-paru dan kulit. Melalui kulit dengan


mekanisme diffusi. Pada orang dewasa normal kehilangan cairan
tubuh melalui proses ini adalah berkisar 300-400 ml per hari,
tetapi bila proses respirasi atau suhu tubuh meningkat maka IWL
dapatmeningkat.

2.3.4.2.3 Keringat
Berkeringat terjadi sebagai respon terhadap kondisi tubuh yang
panas, respon ini berasal dari anterior hypotalamus, sedangkan
impulsnya ditransfer melalui sumsum tulang belakang yang
dirangsang oleh susunan syaraf simpatis pada kulit

2.3.4.2.4 .Feses
Pengeluaran air melalui feses berkisar antara 100-200 ml per
hari, yang diatur melalui mekanisme reabsorbsi di dalam mukosa
usus besar (kolon). Sumber : Horne dan Swearingen 2001 dalam
(Hardiansyah, 2012)

2.3.5 Kebutuhan elektrolit


Elektrolit terdapat pada seluruh cairan tubuh. Cairan tubuh
mengandung oksigen, nutrien, dan sisa metabolisme seperti
karbondioksida, yang semuanya disebut dengan ion. Beberapa
jenis garam dalam air akan dipecah dalam bentuk ion elektrolit.
Contohnya NaCl akan dipecah menjadi ion Na+ dan Cl+.
Pecahan elektrolit terumah sakitebut merupakan ion yang dapat
menghantarkan arus listrik. Ion yang bermuatan negatif disebut
anion sedangkan ion yang bermuata positif disebut kation.
Contoh kation antara lain natrium, kalsium, dan magnesium,
sedangkan anion antara lain klorida, bikarbonat, dan fosfat.

Komposisi elektrolit dalam plasma adalah sebagai berikut :


34

Natrium : 135-145 mEq/lt, Kalium: 3,5-5,3 mEq/lt, Magnesium


: 1,5- 2,5mEq/lt, Klorida : 22-26 mEq/lt, Bikarbonat : 22-26
mEq/lt, Fosfat : 2,5-4,5 mg/100ml.

2.3.6 Pengaturan Elektrolit

2.3.6.1 Pengaturan Keseimbangan Natrium

Natrium berfungsi mengatur osmolalitas dan volume cairan


tubuh. Natrium paling banyak terdapat pada cairan ekstrasel.
Pengaturan konsentrasi cairan ekstrasel diatur oleh ADH dan
aldosteron. Natrium tidak hanya bergerak ke dalam dan ke luar tubuh,
tetapi juga mengatur keseimbangan cairan tubuh. Ekskresi dari natrium
dapat dilakukan melalui ginjal atau sebagian kecil melalui feses,
keringat, dan air mata.

2.3.6.2 Pengaturan Keseimbangan Kalium

Kalium merupakan kation utama yang terdapat dalam cairan


intrasel dan berfungsi mengatur keseimbangan elektrolit.
Keseimbangan kalium diatur oleh ginjal dengan mekanisme perubahan
ion natrium dalam tubulus ginjal dan sekresi aldosteron. Aldosteron
juga berfungsi mengatur keseimbangan kadar kalium dalam plasma
(Cairan ekstrasel). Masalah Kebutuhan Elektrolit antara lain:

2.3.6.3 Hiponatremia

Merupakan suatu keadaan kekurangan kadar natrium dalam plasma


darah yang ditandai dengan adanya kadar natrium dalam plasma
sebanyak < 135 mEq/lt, rasa haus berlebihan, denyut nadi yang cepat,
hipotensi, konvulsi, dan membran mukosa kering. Hiponatremia
disebabkan oleh hilangya cairan tubuh secara berlebihan, misalnya
ketika tubuh mengalami diare berkepanjangan.

2.3.6.4 Hipernatremia
35

Merupakan suatu keadaan di mana kadar natrium dalam plasma


tiggi, ditandai dengan adanya mukosa kering, oliguri/anusia, turgor
kulit buruk dan permukaan kulit membengkak, kulit kemerahan, lidah
kering dan kemerahan, konvulsi, suhu tubuh naik, serta kadar natrium
dalam plasma > 145 mEq/lt. Kondisi demikian dapat disebabkan
dengan dehidrasi, diare, pemasukan air yang berlebihan sementara
asupan garam sedikit.

2.3.6.5 Hipokalemia

Merupakan suatu keadaan kekurangan kadar kalium dalam darah.


Hipokalemia dapat terjadi dengan sangat cepat. Kondisi ini sering
terjadi pada pasien yang mengalami diare berkepanjangan, juga
ditandai dengan lemahnya denyut nadi, turunnya tekanan darah, tidak
nafsu makan dan muntah-muntah, perut kembung, lemah dan
lunaknya otot tubuh, denyut jantung tidak beraturan (aritmia),
penurunan bising usus, dan turunnya kadar kalsium plasma hingga <
3,5 mEq/lt.

2.3.6.6 Hiperkalemia

Merupakan suatu keadaan di mana kadar kalium dalam darah tinggi,


sering terjadi pada pasien luka bakar, penyakit ginjal, asidosis metabolik,
pemberian kalium yang berlebihan melalui intravena yang ditandai
dengan adanya mual, hiperaktivitas sistem pencernaan, aritmia,
kelemahan, sedikitnya jumlah urine dan diare, adanya kecemasan dan
iritabilitas, serta kadar kalium dalam plasma mencapai > 5 mEq/lt.

2.3.6.7 Hipokalsemia

Meupakan kondisi kekurangan kadar kalsium dalam plasma yang


ditandai dengan adanya kram otot dan kram perut, kejang, bingung,
kadar kalsium dalam plasma <4,3 mEq/lt, kesemutan pada jari dan
sekitar mulut yang dapat disebabkan oleh pengaruh pengangkatan
kelenjar gondok, serta kehilangan sejumlah kalsium karena sekresi
intestinal.
36

2.3.6.8 Hiperkalsemia

Suatu keadaan kelebihan kadar kalsium dalam darah yang dapat


terjadi pada pasien yang mengalami pengangkatan kelenjar gondok dan
makan vitamin D yang berlebihan, ditandai dengan adanya nyeri pada
tulang, relaksasi otot, batu ginjal, mual, koma, dan kadar kalsium
dalam plasma mencapai > 4,3 mEq/lt.

2.3.6.9 Hipermagnesia

Suatu kondisi kekurangan magnesium dalam darah ditandai dengan


adanya iritabilitas, tremor, kram pada kaki dan tangan, takikardi,
hipertensi, disorientasi, dan konvulasi. Kadar magnesium < 1,3
mEq/lt.

2.3.6.10 Hipermagnesia

Kondisi berlebihnya kadar magnesium dalam darah ditandai


dengan adanya koma, gangguan pernapasan, dan kadar magnesium >
2,5 mEq/lt. Sumber : Mary Baradero, dkk. 2008. Klien Gangguan
Ginjal.
2.3.7 Faktor yang Memengaruhi Kebutuhan Cairan dan Elektrolit

2.3.7.1 Usia, perbedaan usia menentukan luas permukaan tubuh


serta aktivitas organ sehingga dapat memengaruhi
jumlah kebutuhan cairan dan elektrolit.

2.3.7.2 Temperatur, suhu tubuh yang tinggi menyebabkan


proses pengeluaran cairan mlalui keringat cupuk banyak,
sehingga tubuh akan banyak mengeluarkan cairan.

2.3.7.3 Diet. Apabila kekurangan nutrien tubuh akan memecah


cadangan makanan yang terumah sakitimpan di
dalamnya sehingga dalam tubuh terjadi pergerakan
cairan yang dapat berpengaruh pada jumlah pemenuhan
kebutuhan cairan.

2.3.7.4 Stres, dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan cairan


dan elektrolit melalui proses peningkatan produksi
37

ADH, karena proses ini dapat meningkatkan


metabolisme sehingga mengakibatkan terjadinya
glikolisis otot yang dapat menyebabkan retensi sodium
dan air.

2.3.7.5 Sakit. Pada keadaan sakit terdapat banyak sel yang


rusak, sehingga untuk memperbaiki sel yang rusak
dibutuhkan proses pemenuhan kebutuhan cairan yang
cukup. Keadaan sakit menimbulkan ketidakseimbangan
sistem dalam tubuh, yang mengganggu keseimbangan
cairan dan elektrolit. (Haswita, 2017)

2.4 Konsep Hemodialisa

2.4.1 Definisi Hemodialisa

Terapi hemodialisa merupakan teknologi tinggi sebagai terapi


pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu
dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea,
kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permiabel

sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi
proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Brunner & Suddarth, 2013).

Tujuan dilakukan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan sisa


metabolism, protein, gangguan keseimbangan air dan elektrolit antara
kompartemen larutan dialisat melalui membrane (selaput tipis)
semipermiabel yang berfungsi sebagai ginjal buatan atau biasa disebut
dialyzer (Wahyuningsih, 2020)

2.4.2 Prinsip-prinsip Hemodialisa

Dialisis berkesinambungan merupakan terapi pengganti (replacement

treatment) pada klien CRF stadium terminal. Dialisis digunakan untuk

mengeluarkan cairan dan produk-produk sampah dari dalam tubuh saat

ginjal tidak dapat melakukanya lagi. Prinsip hemodialisis adalah


38

menempatkan darah berdampingan dengan cairan dialisat yang dipisahkan

2.4.2.1 Proses Difusi

Merupakan proses berpindahnya suatu zat terlarut yang disebabkan karena


adanya perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut dalam darah dan dialisat.
Perpindahan molekul terjadi dari zat yang berkonsentrasi tinggi ke yang
berkonsentrasi lebih rendah. Pada HD pergerakan molekul/zat ini melalui
suatu membrane semi permeable yang membatasi kompartemen darah dan
kompartemen dialisat. Proses difusi dipengaruhi oleh :

1) Perbedaan konsentrasi

2) Berat molekul (makin kecil BM suatu zat, makin cepat zat itu keluar)

3) QB (Blood Pump)

4) Luas permukaan membran

5) Temperatur cairan

6) Proses konvektik

7) Tahanan / resistensi membran

8) Besar dan banyaknya pori pada membran

9) Ketebalan / permeabilitas dari membrane

2.4.2.2 Proses Ultrafiltrasi

Berpindahnya zat pelarut (air) melalui membrane semi permeable akibat

perbedaan tekanan hidrostatik pada kompartemen darah dan kompartemen

dialisat. Tekanan hidrostatik /ultrafiltrasi adalah yang memaksa air keluar

dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat. Besar tekanan ini

ditentukan oleh tekanan positif dalam kompartemen darah (positive

pressure) dan tekanan negatif dalam kompartemen dialisat (negative

pressure) yang disebut TMP (trans membrane pressure) dalam mmHg.

2.4.2.3 Proses Osmosis


39

Proses osmosis merupakan proses alamiah yang terjadi sebagai upaya

untuk menyeimbangkan konsentrasi garam pada kedua sisi. Pada proses

osmosis, molekul air akan mengalir dari permukaan air yang lebih rendah

(dilute solution) menuju ke permukaan air yang lebih tinggi (concentrated

solution). Tekanan inilah yang biasa 24 disebut osmotic pressure,

sedangkan proses reverse osmosis adalah proses dengan memberikan

tekanan pada larutan yang memiliki kadar garam lebih tinggi (concentrated

solution) agar terjadi aliran molekul air yang menuju larutan dengan kadar

garam yang lebih rendah. Pada proses ini molekul garam tidak dapat

menembus membrane semi permeable, sehingga hanya molekul air sajalah

yang dapat mengalir dan kemudian akan menghasilkan air yang murni,

sedangkan garam - garam terlarut yang tidak tersaring akan dibuang

melalui saluran rejeksi atau saluran air buangan RO. (Budiyono dan

Siswo, 2013).

2.4.2.4 Indikasi Hemodialisa

Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada penyakit ginjal

kronik adalah laju filtrasi glomerulus (LFG) sudah kurang dari 5 mL/menit,

sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari

hal terumah sakitebut dibawah (Sylvia & Wilson, 2015):

2.4.2.5 Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

2.4.2.6 K serum > 6 mEq/L

2.4.2.7 Ureum darah > 200 mg/Dl

2.4.2.8 pH darah < 7,1

2.4.2.9 Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )

2.4.2.10 Fluid overloaded


40

2.4.3 Kontraindikasi Hemodialisis

Menurut PERNEFRI (2013), kontraindikasi dari hemodialisaadalah

tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler

sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa

yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,

sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan

lanjut.

2.4.4 Komplikasi Hemodialisa

Hemodialisis merupakan intervensi untuk mengganti sebag ginjal

tahap akhir stadium akhir. Walaupun intervensi hemodialisis saat ini

mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak

penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani hemodialisis.

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani hemodialisis

adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan

dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat hemodialisis. Hipotensi

intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani hemodialisis

regular, namun sekitar 5-15% dari responden hemodialisis tekanan darahnya

justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau

intradialytic hypertension (Agarwal dkk dalam Mahmudah, 2017).

2.4.4.1 Komplikasi Akut

Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi

selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi

diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit

kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil.


41

Tabel 2.4 Komplikasi Akut Hemodialisis


Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan,
terapi antihipertensi, infark
jantung, tamponade, reaksi
anafilaksis
Hipertensi Kelebihan natrium dan air,
ultrafiltrasi yang tidak adekuat
Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung,
heparin, besi, lateks

Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan


cairan yang terlalu cepat, obat
antiaritmia yang terdialisis
Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan
elektrolit
Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis disequilibirium Perpindahan osmosis antara
intrasel dan ekstrasel menyebabkan
sel menjadi bengkak, edema
serebral. Penurunan konsentrasi
urea plasma
yang terlalu cepat
Masalah pada dialisat Hemolisis oleh karena menurunnya
Chlorine kolom charcoal
Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal,
sinkop, tetanus, gejala neurologi,
aritmia
Kontaminasi bakteri/ Demam, mengigil, hipotensi oleh
Endotoksin karena kontaminasi dari dialisat
maupun sirkuti air
Sumber: Sudoyo (2009)
42

2.4.4.2 Komplikasi kronik

Komplikasi kronik yang terjadi pada respondenhemodialisis

yaitu penyakit jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess,

anemia, Renal osteodystrophy, Neurophaty,disfungsi reproduksi,

komplikasi pada akses, gangguan perdarahan, infeksi, amiloidosis,

dan Acquired cystic kidney disease (Bieber dkk dalam Mahmudah,

2013).

Terjadinya gangguan pada fungsi tubuh responden

hemodialisis, menyebabkan responden harus melakukan

penyesuaian diri secara terus menerus selama sisa hidupnya. Bagi

responden hemodialisis, penyesuaian ini mencakup keterbatasan

dalam memanfaatkan kemampuan fisik dan motorik, penyesuaian

terhadap perubahan fisik dan pola hidup, ketergantungan secara fisik

dan ekonomi pada orang lain serta ketergantungan pada mesindialisa

selama sisa hidup.

2.4.5 Prinsip Kerja Hemodialisa

Gambar 2.3 Prinsip Kerja Dialisis


43

(Lavey, 2011).

Mesin hemodialisis memiliki spesialisasi filter disebut dialyzer (juga

disebut ginjal tiruan) untuk memberumah sakitihkan darah. Darah dialirkan

ke dialyzer dengan dibuat akses oleh ahli bedah pada pembuluh darah

melalui operasi minor biasanya pada tangan. Terdapat 2 jenis akses untuk

jangka panjang yaitu dibuat fistula arteriovenosa (AV) atau graft AV.

Adapun untuk penggunan jangka pendek terdapat akses dengan kateter. AV

Fistula dibuat dengan menggabungkan arteri ke pembuluh darah terdekat di

bawah kulit sehingga terbuatlah pembuluh darah yang lebih besar. Fistula

merupakan jenis akses yang lebih diutamakan karena memiliki lebih sedikit

kendala dan bertahan lebih lama. Responden harus dievaluasi secara khusus

oleh ahli bedah vaskular paling tidak enam bulan sebelum dilakukan dialisis

sehingga ada banyak waktu untuk menyembuhkan dan fistula pun telah siap

pada saat akan dialisis.

Jika pembuluh darah responden tidak sesuai dengan fistula makaakan

dilakukan pemasangan AV graft yang melibatkan arteri bergabung dengan

vena terdekat dengan tabung lembut kecil yang terbuat dari bahan sistetis,
44

kemudian diletakkan dibawah kulit. Setelah fistula atau graft disembuhkan,

baru setelah beberapa bulan dapat digunakan untuk dialisis. Setelah itu,

responden akan ditusuk dengan 2 jarum yang dihubungkan ke plastik

tabung. Satu tabung membawa darah ke dialyzer untuk diberumah

sakitihkan dan tabung lainnya mengembalikan darah yang telah diberumah

sakitihkan.

Setelah itu, ada akses jenis ketiga yaitu hd kateter. Hd kateter adalah

tabung lembut yang dimasukkan ke dalam vena besar di leher atau dada

Anda. Jenis akses ini umumnya digunakan bila dialisis diperlukan hanya

untuk periode singkat atau digunakan sebagai akses permanen ketika fistula

atau graft tidak dapat dipasang. Kateter bisa dihubungkan langsung ke

tabung dialisis tanpa menggunakan jarum.

Di dalam dialyzer atau filter, terdapat dua sisi yaitu untuk darah dan

untuk cairan yang disebut dialisat. Dua sisi terumah sakitebut dipisahkan

oleh selaput tipis yang juga menyebabkan sel darah, protein dan hal penting

lain tetap ada dalam darah. Hal ini disebabkan karena sel darah, protein dan

hal penting lain terumah sakitebut terlalu besar untuk dilewati melalui

membran permeabilitas (Cahyaningsih, 2014).

2.4.6 Durasi Hemodialisa

Waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan

individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan frekuensi 2 kali

seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15 jam/minggu dengan QB

200–300 mL/menit. Hemodialisa regeluer dikatakan cukup bila dilaksanakan

secara teratur, berkesinambungan, selama 9-12 jam setiap minggu (Suwitra,


45

2010). Menurut Nugraha dalam Mahmudah (2017), klien baru (bila <1 tahun),

dan klien lama (bila ≥ 1 tahun).

Dosis minimum durasi HD yang ditetapkan oleh KDOQI adalah 2,5 -

4,5 jam, dan dilakukan 3x seminggu (NKF, 2006). Akan tetapi untuk

pengobatan awal, terutama ketika kadar blood urea nitrogen (BUN) sangat

tinggi (mis: diatas 125 mg/dL), durasi dialisis dan kecepatan aliran darah harus

dikurangi. URR harus ditargetkan ˂ 40%.

Hal ini berarti menggunakan laju aliran darah hanya 250 mL/menit

dengan durasi dialysis selama 2 jam. Durasi dialisis yang lebih lama pada

keadaan akut dapat menyebabkan disequilibrium syndrome, yang dapat

menyebabkan kejang atau koma selama/ setelah dialisis, hal ini diakibatkan

pembuangan zat terlarut dalam darah yang terlalu cepat. (Suhardjono, 2016)

Setelah melewati terapi awal, responden dapat dievaluasi kembali dan

untuk durasi dialisis selanjutnya dapat ditingkatkan menjadi 3 jam, asalkan

kadar BUN predialisis ˂ 100 mg/dL. Durasi dialisis selanjutnya dapat

dilakukan selama yang diperlukan, tetapi panjang pengobatan dialisis tunggal

jarang melebihi 6 jam kecuali tujuan dialisis adalah pengobatan overdosis obat

(Suhardjono, 2016)
46

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan pada penyakit GGK

Asuhan keperawatan adalah merupakan suatu tindakan kegiatan atau proses


dalam praktik keperawatan yang diberikan secara langsung kepada klien(pasien)
untuk memenuhi kebutuhan objektif klien, sehingga dapat mengatasi masalah yang
sedang dihadapinya, dan asuhan keperawatan dilaksanakan berdasarkan kaidah-

kaidah ilmu keperawatan.

2.5.1 Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan
keperawatan pasien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. (Dermawan,
2012).

Pada prakteknya kegiatan proses keperawatan di atas tidaklah selalu


berurutan tetapi bisa dikerjakan pada waktu bersamaan/tumpang tindih
(overlapping). Salah satu kegiatan yang penting dalam proses keperawatan
adalah pengkajian keperawatan. Pengkajian keperawatan ini sangat penting
karena dari pengkajian keperawatan maka perawat akan mampu menentukan
apa masalah keperawatan/diganosa keperawatan dan masalah
kolaboratif/diagnosis potensial komplikasi yang dialami oleh pasien dan
membuat perencanaan dalam merawat pasien. Pengalaman menunjukkan
bahwa sering sekali perawat kesulitan dalam menentukan diagnosis
keperawatan spesifik yang dialami oleh pasien.Hal ini mungkin karena
47

pengkajian keperawatan yang tidak terstruktur dengan baik.Pengalaman


menunjukkan bahwa pengkajian yang dilakukan oleh perawat tidak
mempunyai urutan yang runut dan terkait dengan diagnosis
keperawatan.Sering terjadi perawat mempunyai data tertentu tetapi
kebingungan untuk menentukan data tersebut mendukung diagnosis
keperawatan yang mana. Atau sebaliknya perawat mempunyai prediksi pasien
mempunyai diagnosis tertentu tetapi tidak tahu data apa yang perlu dikaji
untuk mendukung diagnosis tersebut muncul (Nurjannah, 2017).

Menurut (Muttaqin & Sari, 2012) hasil pengkajian yang dapat


ditemukan pada klien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan cairan dan
elektrolit meliputi :

2.5.1.1 Keluhan Utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine
output sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan
kesadaran, tidak selera makan (anoreksi), mual, muntah, mulut
terasa kering, rasa lelah, napas berbau (ureum), dan gatal pada kulit.
2.5.1.2 Riwayat kesehatan sekarang

Kaji onset penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan pola


napas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, dan perubahan
pemenuhan nutrisi. Kaji sudah kemana saja klien meminta pertolongan
untuk mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatan apa.
2.5.1.3 Riwayat kesehatan dahulu

Kaji adanya riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih,
payah jantung, penggunaan obat-obatan nefrotoksik, benign prostatik
hiperplasia, dan prostatektomi. Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran
kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit diabetes
melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi
predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian
obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat.
2.5.1.4 Pemeriksaan Fisik
48

Pengkajian fisik yang menyeluruh harus dilakukan karena


ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dapat memengaruhi seluruh
sistem tubuh. Data yang didapatkan selama pengkajian fisik memberikan
validasi dan memberikan tambahan informasi yang dikumpulkan melalui
riwayat kesehatan klien.

Tabel 2.5 Pengkajian fisik pada gangguan keseimbangan cairan &


elektrolit
Pengkajian Ketidakseimbangan
Perubahan berat badan
a. Kehilangan sebesar 2-5% a. Defisit volume cairan ringan
b. Kehilangan sebesar 5-8% b. Defisit volume cairan sedang
c. Kehilangan sebesar 8-15% c. Defisit volume cairan berat
d. Kehilangan sebesar > 15% d. Kematian
e. Penambahan sebesar 2% e. Kelebihan volume cairan ringan
f. Penambahan sebesar 5-8% f. Kelebihan volume cairan sedang
Kepala hingga berat
Riwayat :
a. Sakit kepala a. Defisit volume cairan ringan
b. Pusing b. Defisit volume cairan ringan
Observasi :
a. Iritabilitas a. Ketidakseimbangan Hiperosmolar
b. Letargi b. Defisit volume cairan ringan
c. Bingung, disorientasi c. Defisit volume cairan ringan
Mata
Riwayat :
a. Pandangan kabur a. Kelebihan volume cairan
Inspeksi :
a. Mata cekung a. Defisit volume cairan
b. Konjungtiva kering b. Defisit volume cairan
c. Air mata berkurang tidak ada c. Defisit volume cairan
d. Edema periorbital d. Kelebihan volume cairan
e. Papilledema e. Kelebihan volume cairan

Tenggorokan dan mulut


Inspeksi :
a. Lengket a. Defisit volume cairan, hipernatremia
b. Mukosa kering
c. Bibir pecah-pecah dan kering
d. Air liur berkurang
e. Alur lidah
longitudinal Sistem
kardiovaskular Inspeksi :
a. Vena leher datar a. Defisit volume cairan
b. Distensi vena jugularis b. Kelebihan volume cairan
Palpasi :
a. Edema : bagian tubuh yang a. Kelebihan volume cairan
bergantung (kaki, sacrum,
punggung)
b. Disritmia (juga disertai dengan b. Asidosis metabolik, alkalosis
perubahan EKG) dan asidosis
respiratorik, ketidakseimbangan
kalium, hipomagnesemia
c. Denyut nadi meningkat c. Alkalosis metabolik, asidosis
respiratorik, Hiponatremia, defisit
volume cairan, kelebihan volume
cairan, hipomagnesemia
d. Denyut nadi menurun d. Alkalosis metabolik, hipokalemia
e. Denyut nadi melemah e. Defisit volume cairan, hipokalemia
f. Pengisian kapiler berkurang f. Defisit volume cairan
g. Denyut nadi kencang g. Kelebihan volume cairan
Auskultasi :
a. Tekanan darah rendah atau disertai a. Defisit volume cairan, Hiponatremia,
perubahan ortostatik Hiperkalemia, hipermagnesemia
b. Bunyi jantung ketiga (kecuali pada b. Kelebihan volume cairan
anak-anak)
c. Hipertensi c. Kelebihan volume cairan
Sistem respirasi
Inspeksi :
a. Laju pernapasan berkurang a. Kelebihan volume cairan, alkalosis
respiratorik, asidosis metabolik
b. Dyspnea b. Kelebihan volume cairan
Auskultasi :
a. Krekles a. Kelebihan volume cairan
Sistem gastrointestinal
Riwayat :
a. Anoreksia a. Asidosis metabolik
b. Kram abdominal b. Asidosis metabolik
Inspeksi :
a. Abdomen cekung a. Defisit volume cairan
b. Distensi abdomen b. Sindrom ruang ketiga
c. Muntah c. Defisit volume cairan, Hiperkalsemia,
Hiponatremia, Hipokloremia,
alkalosis metabolik
d. Diare d. Hiponatremia, asidosis metabolik
Auskultasi :
a. Bunyi “mengeram” kuat karena a. Defisit volume cairan, hipokalemia
hiperperistaltis disertai diare, atau
bunyi usus tidak ada karena
hipoperistaltis.
Sistem perkemihan
Inspeksi :
a. Oliguria atau anuria a. Defisit volume cairan, kelebihan
volume cairan
b. Diuresis (jika ginjal normal) b. Kelebihan volume cairan
c. Meningkatnya berat jenis urine c. Defisit volume cairan
Sistem neuromuscular
Inspeksi :
a. Kebas, kedut a. Asidosis metabolik, hipokalemia,
ketidakseimbangan kalium
b. Kram otot, tetani b. Hipokalsemia, alkalosis metabolik atau
respirasi
c. Koma c. Ketidakseimbangan hiperosmolar atau
hipoosmolar, Hiponatremia
d. Tremor d. Asidosis respiratorik, hipomagnesemia
Palpasi :
a. Hipotonisitas a. Hipokalemia, Hiperkalsemia
b. Hipertonisitas b. Hipokalsemia,
hipomagnesemia, alkalosis metabolik
Kulit
Suhu tubuh :
a. Meningkat a. Hipernatremia, ketidakseimbangan
hiperosmolar, asidosis metabolik
b. Berkurang b. Defisit volume cairan
Inspeksi :
a. Kering, memerah a. Defisit volume cairan, hipernatremia,
Palpasi : asidosis metabolik
a. Turgor kulit tidak elastis, kulit a. Defisit volume cairan
dingin dan lembap basah

2.5.1.5 Mengukur Intake dan Output Cairan Pengertian :


Pengukuran Intake dan Output cairan merupakan suatu tindakan yang
dilakukan untuk mengukur jumlah cairan yang masuk kedalam tubuh (Intake)
dan jumlah cairan yang keluar dari tubuh (Output).
Tujuan :

2.5.1.6 Menentukan status keseimbangan cairan tubuh klien.

Menentukan tingkat dehidrasi ataupun tingkat kelebihan cairan


klien. Prosedur :
2.5.1.6.1 Tentukan jumlah cairan yang masuk kedalam tubuh. Cairan yang
masuk kedalam tubuh melalui air minum, air dalam makanan, air
hasil oksidasi (metabolisme), dan cairan intravena.
2.5.1.6.2 Tentukan jumlah cairan yang keluar dari tubuh klien. Cairan
yang keluar dari tubuh terdiri atas urine, insensible water loss
(IWL), feses, dan muntah.
2.5.1.6.3 Tentukan keseimbangan cairan tubuh klien dengan rumus :
Balance Cairan = Intake-Output + IWL (Insensible Water Loss)
Rumus perhitungan Insensible Water Loss (IWL) dengan suhu
tubuh normal.
IWL = (15 x BB) = ….. cc/jam 24 jam
*jika dalam 24 jam, maka hasilnya dikali dengan 24 jam.

2.5.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga, dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan
(SDKI, 2017).
Menurut buku SDKI tahun 2017, diagnosa yang muncul pada kasus
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit yang berkaitan dengan kondisi
klinis Gagal Ginjal Kronik adalah :
2.5.2.1 Hipervolemia
Definisi :
Peningkatan volume cairan intravaskular , interumah sakittisial, dan
/ atau
intraselular. Penyebab :
2.5.2.1.1 Gangguan mekanisme regulasi
2.5.2.1.2 Kelebihan asupan cairan
2.5.2.1.3 Kelebihan asupan natrium
2.5.2.1.4 Gangguan aliran balik vena
2.5.2.1.5 Efek agen farmakologis (mis. Kortikosteroid
,chlorpropamide,tolbutamide, vincristine,
tryptilinescarba mazepine).

Gejala dan Tanda Mayor :


Data Subjektif :
2.5.2.1.1 Ortopnea
2.5.2.1.2 Dyspnea
2.5.2.1.3 Paroxysmal nocturnal dyspnea
(PND) Data Objektif :
2.5.2.1.1 Edema anasarka dan/atau edema perifer
2.5.2.1.2 Berat badan meningkat dalam waktu singkat
2.5.2.1.3 Jugular Venous Pressure (JVP) dan/atau Central
2.5.2.1.4 Refleks hepatojugular positif.

Gejala dan Tanda Minor :


Data Subjektif :
(tidak terumah
sakitedia) Data
Objektif :

2.5.2 Distensi vena jugularis


2.5.3 Terdengar suara nafas tambahan
2.5.4 Hepatomegaly
2.5.5 Kadar Hb/Ht turun
2.5.6 Oliguria
2.5.7 Intake lebih banyak dari Output (balance cairan positif)
2.5.8 Kongesti paru

Kondisi klinis terkait :


Penyakit ginjal : gagal ginjal akut/kronik, sindrom nefrotik,Hipoalbuminemia
Gagal jantung kongestif, Kelainan hormon, Penyakit hati (mis. Sirosis, asites,
kanker hati), Penyakit vena perifer (mis. Varises vena, thrombus vena,
phlebitis), Imobilitas.

2.5.2.2 Risiko Ketidakseimbangan Elektrolit


Definisi :
Berisiko mengalami perubahan kadar serum elektrolit
Faktor risiko :
2.5.2.2.1 Ketidakseimbangan cairan (mis. Dehidrasi dan intoksikasi air)
2.5.2.2.2 Kelebihan volume cairan
2.5.2.2.3 Gangguan mekanisme regulasi (mis. Diabetes)
2.5.2.2.4 Efek samping prosedur (mis. Pembedahan)
2.5.2.2.5 Diare
2.5.2.2.6 Muntah
2.5.2.2.7 Disfungsi ginjal
2.5.2.2.8 Disfungsi regulasi endokrin
32

Kondisi klinis terkait :


2.5.2.2.1 Gagal ginjal
2.5.2.2.2 Anoreksia nervosa
2.5.2.2.3 Diabetes melitus
2.5.2.2.4 Penyakit Chron
2.5.2.2.5 Gastroenteritis
2.5.2.2.6 Pankreatitis
2.5.2.2.7 Cedera kepala
2.5.2.2.8 Kanker
2.5.2.2.9 Trauma multiple
2.5.2.2.10 Luka bakar.

2.5.3 Intervensi Keperawatan


Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran
(outcome) yang diharapkan. Berikut rencana tindakan asuhan keperawatan pada
pasien gagal ginjal kronik dengan diagnosa keperawatan hipervolemia (SIKI.,
2018)
Tabel 2.6 Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Intervensi Utama Rasional
keperawatan kriteria hasil
1. Hipervolemia Tujuan : Manajemen hypervolemia Manajemen
b.d gangguan Setelah dilakukan Observasi : Hipervolemia Observasi :
mekanisme asuhan keperawatan 1. Periksa tanda dan gejala Hipervolemia (mis. 1. Peningkatan menunjukkan adanya
regulasi. selama 3x24 jam Ortopnea, dyspnea, Edema, JVP/CVP Hipervolemia. Kaji bunyi jantung dan napas,
diharapkan meningkat, refleks hepatojugular positif, perhatikan S3 dan/atau gemericik, ronchi.
Hipervolemia dapat suara napas tambahan). Kelebihan volume cairan berpotensi gagal
teratasi. jantung kongestif/ edema paru
Kriteria Hasil : 2. Identifikasi penyebab Hipervolemia 2. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
1. Terbebas dari Hipervolemia yaitu gagal jantung kongestif,
edema, efusi, infark miokard, penyakit katup jantung,
anasarka. sirosis hati, dan gagal ginjal.
2. Bunyi nafas 3. Takikardia dan hipertensi terjadi karena (1)
berumah 3. Monitor status hemodinamik (mis. kegagalan ginjal untuk mengeluarkan urine,
sakitih, tidak Frekuensi jantung, tekanan darah, MAP, (2) pembatasan cairan berlebihan selama
ada CVP, PAP, PCWP, CO, CI), jika terumah mengobati Hipervolemia/hipertensi atau
dypsneu/ sakitedia. perubahan fase oliguria gagal ginjal,
ortopneu dan/atau (3) perubahan pada system renin-
3. Terbebas dari angiotensin. Catatan : pengawasan invasive
distensi vena diperlukan untuk mengkaji volume
jugularis Intravascular, khususnya pada pasien
4. Tanda-tanda dengan fungsi jantung buruk.
vital dalam 4. Pada kebanyakn kasus, jumlah aliran harus
batas normal 4. Monitor Intake dan Output cairan sama atau lebih dari jumlah yang
dimasukkan. Keseimbangan positif
menunjukkan kebutuhan evaluasi lebih
lanjut.
5. Monitor tanda hemokonsentrasi (mis. Kadar 5. Kadar natrium tinggi dihubungkan dengan
natrium, BUN, hematocrit, berat jenis kelebihan cairan, edema, hipertensi, dan
urine). komplikasi jantung. Ketidakseimbangan
dapat mengganggu konduksi elektrikal dan
fungsi jantung.
6. Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik 6. Terjadinya peningkatan tekanan onkotik
plasma (mis. Kadar protein dan albumin plasma mengakibatkan terjadinya edema.
meningkat)
7. Monitor kecepatan infus secara ketat. 7. Mencegah terjadinya intake cairan
berlebihan sehingga memperparah keadaan
kelebihan volume cairan.
8. Monitor efek samping Diuretik (mis. 8. Diuretik berfungsi membuang kelebihan
Hipotensi ortortostatik, Hipovolemia, garam dan air dari dalam tubuh melalui
hipokalemia, Hiponatremia). urine. Jumlah garam, terutama natrium yang
diserap kembali oleh ginjal akan dikurangi.
Natrium terumah sakitebut akan ikut
membawa cairan yang ada didalam darah,
sehingga produksi urin bertambah.
Akibatnya, cairan tubuh akan berkurang dan
tekanan darah akan turun.
Terapeutik : Terapeutik :
1. Timbang berat badan setiap hari pada waktu 1. Membantu mengevaluasi status cairan
yang sama. khususnya bila dibandingkan dengan berat
badan. Peningkatan berat badan antara
pengobatan harus tidak lebih dari 0,5 kg/hari.
2. Batasi asupan cairan dan garam 2. Menjaga agar kelebihan cairan tidak
bertambah parah. Garam dapat mengikat air
sehingga akan memperparah kelebihan
cairan.
3. Tinggikan kepala tempat tidur 30-400 3. Klien dengan kelebihan volume cairan juga
mengalami gangguan pernafasan seperti
takipnea, dispnea, peningkatan
frekuensi/kedalaman (pernapasan Kussmaul).
Edukasi : Edukasi :
1. Anjurkan melapor jika haluaran urine <0,5 1. Ini menandakan terjadi retensi sisa
mL/kg/jam dalam 6 jam metabolik.
2. Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 2. Peningkatan BB > 1 kg dalam sehari
kg dalam sehari. mengindikasikan kelebihan volume cairan
dalam tubuh.
3. Ajarkan cara mengukur dan mencatat 3. Pentingnya pengukuran intake dan output
asupan dan haluaran cairan. cairan agar terdokumentasi sepenuhnya.
4. Ajarkan cara membatasi cairan 4. Pembatasan cairan membutuhkan kerjasama
dari berbagai pihak termasuk pasien dan
keluarga.
Kolaborasi : Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian diuretic 1. Diuretik dapat meningkatkan laju aliran
urine sehingga produksi urine meningkat
guna mengurangi kelebihan volume cairan
dalam tubuh.
2. Kolaborasi penggantian kehilangan kalium 2. Peningkatan aliran urin dan natrium
akibat diuretik ditubulus distal dapat meningkatkan sekresi
kalium di tubulus distal sehingga
menyebabkan hipokalemia.
3. Kolaborasi pemberian continuous renal 3. Merupakan terapi yang menggantikan fungsi
replacement therapy (CRRT), jika perlu. penyaringan darah normal dari ginjal.
2. Resiko Tujuan : Observasi :
ketidakseimba Setelah dilakukan 4. Monitor kehilangan cairan, jika perlu. 1. Beberapa kondisi yang mungkin
ngan asuhan keperawatan menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit
elektrolit selama 3x24 jam yaitu diare/muntah, luka bakar, gagal ginjal,
b.d disfungsi diharapkan resiko 5. Monitor tanda dan gejala hipokalemia (mis. efek obat. Setelah penyebab diketahui
ginjal ketidakseimbangan Kelemahan otot, interval QT memanjang, perawat akan mudah dalam menentukan
elektrolit dapat gelombang T datar atau terbalik, depresi tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan.
teratasi. segmen ST, gelombang U, kelelahan, 2. Elektrolit sebagai indikator keadaan status
Kriteria Hasil : parestesia, penurunan refleks, anoreksia, cairan dalam tubuh.
1. Terbebas dari konstipasi, motilitas usus menurun, pusing, 4. Mual, muntah dan diare merupakan keadaan
Edema, efusi depresi pernapasan). yang dapat menyebabkan
anasarka. 6. Monitor tanda dan gejala Hiperkalemia gangguanKehilangan cairan berlebih juga
2. Bunyi nafas (mis. Peka rangsang, gelisah, mual, muntah, berpengaruh terhadap keseimbangan
berumah Takikardia, mengarah ke bradikardia, elektrolit dalam tubuh.
sakitih, tidak fibrilasi/Takikardia ventrikel, gelombang T 5. Menyadari tanda dan gejala dengan cepat
ada dypsneu tinggi, gelombang P datar, kompleks dan tepat dapat mencegah terjadinya
/ortopneu QRUMAH SAKIT tumpul, blok jantung kemungkinan yang tidak diinginkan akibat
3. Kadar elektrolit mengarah asistol). hipokalemia.
dalam tubuh 7. Monitor tanda dan gejala Hiponatremia
normal. (mis. Disorientasi, otot berkedut, sakit 6. Menyadari tanda dan gejala dengan cepat
Tanda-tanda vital kepala, membran mukosa kering, hipotensi dan tepat dapat mencegah terjadinya
dalam postural, kejang, letargi, penurunan kemungkinan yang tidak diinginkan akibat
batas normal, kesadaran). Hiperkalemia.
8. Monitor tanda dan gejala hipernatremia
(mis. Haus, demam, mual, muntah, gelisah, 7. Menyadari tanda dan gejala dengan cepat
peka rangsang, membran mukosa kering, dan tepat dapat mencegah terjadinya
takikardia, hipotensi, letargi, konfusi, kemungkinan yang tidak diinginkan akibat
kejang) Hiponatremia.
9. Monitor tanda dan gejala Hipokalsemia
(mis.peka rangsang, tanda Chvostek [spasme 8. Menyadari tanda dan gejala dengan cepat
otot wajah], tanda Trousseau [spasme dan tepat dapat mencegah terjadinya
karpal], kram otot, interval QT memanjang). kemungkinan yang tidak diinginkan akibat
1. Monitor tanda dan gejala Hiperkalsemia hipernatremia.
(mis. Nyeri tulang, haus, anoreksia, letargi,
kelemahan otot, segmen QT memendek). 9. Menyadari tanda dan gejala dengan cepat
dan tepat dapat mencegah terjadinya hal
yang tidak diinginkan akibat Hipokalsemia.

10.Menyadari tanda dan gejala dengan cepat


Hiperkalsemia.
11. Monitor tanda dan gejala hipomagnesemia 11. Menyadari tanda dan gejala dengan cepat
(mis. Depresi pernapasan, apatis, tanda dan tepat dapat mencegah terjadinya
Chvostek, tanda Trousseau, konfusi, kemungkinan yang tidak diinginkan akibat
disritmia). hipomagnesemia.
12. Monitor tanda dan gejala Hipermagnesemia 12. Menyadari tanda dan gejala dengan cepat
(mis. Kelemahan otot, hiporefleks, dan tepat dapat mencegah terjadinya
bradikardia, depresi SSP, letargi, koma, kemungkinan yang tidak diinginkan akibat
depresi) Hipermagnesemia.

Terapeutik : Terapeutik :
1. Atur interval waktu pemantauan sesuai 1. Pemantauan berkala penting guna
dengan kondisi pasien mengetahui perkembangan kondisi klien.
2. Dokumentasikan hasil pemantauan 2. Dokumentasi sebagai dasar hukum tindakan
keperawatan yang telah dilakukan dan
sebagai alat komunikasi antar tenaga
kesehatan.
Edukasi : Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan 1. Pasien dan keluarga mengetahui dan
mengerti tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan. yang dilakukan
2. Pasien dan keluarga mengetahui
perkembangan keadaan klien.
37

2.5.4 Implementasi
Menurut Mulyadi (2015:12), implementasi mengacu pada tindakan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan.
Tindakan ini berusaha untuk mengubah keputusan-keputusan tersebut
menjadi pola-pola operasional serta berusaha mencapai perubahanperubahan
besar atau kecil sebagaimana yang telah diputuskan sebelumnya.
Implementasi pada hakikatnya juga merupakan upaya pemahaman apa yang
seharusnya terjadi setelah program dilaksanakan.

Implementasi keperawatan adalah aktivitas yang mempunyai maksud


yaitu praktik keperawatan yang dilakukan dengan cara yang sistematik.
Selama melaksanakan proses keperawatan, perawat menggunakan dasar
pengetahuan yang komprehensif untuk mengkaji status kesehatan klien,
membuat penilaian yang bijaksana dan mendiagnosa, mengidentifikasi hasil
akhir kesehatan klien dan merencanakan, menerapkan dan mengevaluasi
tindakan keperawatan yang tepat guna mencapai hasil akhir tersebut
(Dermawan, 2012).

2.5.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan untuk
mengetahui sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai. Evaluasi
ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil akhir yang teramati dengan
tujuan dan kriteria hasil yang dibuat dalam rencana keperawatan. Evaluasi
ini akan mengarahkan asuhan keperawatan, apakah asuhan keperawatan
yang dilakukan ke pasien berhasil mengatasi masalah pasien ataukan asuhan
yang sudah dibuat akan terus berkesinambungan terus mengikuti siklus
proses keperawatan sampai benar-benar masalah pasien teratasi. (Meirisa,
2013).
BAB III
Metodologi Karya Tulis
Ilmiah

3.1 Rancangan Studi Kasus


Menggunakan metode deskriptif analitik yang berbentuk studi kasus, tehnik
pengambilan data pada kasus dengan pengamatan, wawancara, pemeriksaan fisik,
dokumentasi catatan perawatan, partisipasi aktif dll.

3.2 Subjek Studi Kasus


Adapun kriteria inklusi dan eksklusi adalah sebagai berikut :

3.2.1 Kriteria inklusi Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian
dapat mewakili dalam sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai
sampel Notoatmodjo, 2012) yaitu : Kriteria inklusi dalam penelitian ini
adalah:
3.2.1.1 Pasien dengan diagnosa medis gagal ginjal kronik

3.2.1.2 2) Berumah sakitedia menjadi informan.

3.2.1.3 3) Usia mulai dari 18-45 tahun

3.2.1.4 4) Kondisi sehat jasmani & rohani

3.2.2 Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek


penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat
sebagai sampel penelitian (Notoatmodjo, 2012).

Kriteria eklusi antara lain:


3.2.2.1 Pasien dengan tidak terdiagnosa medis gagal ginjal kronik
3.2.2.2 Tidak berumah sakitedia menjadi informan.
3.2.2.3 Usia di luar dari 18-45 tahun
3.2.2.4 Kondisi tidak dalam keadaan sehat jasmani & rohani.
3.3 Fokus Studi Kasus
Digunakan : 1 -2 orang pasien/klien yang memiliki Masalah Keperawatan dan
diagnose medis sama

3.4 Definisi Operasional


Definisi operasional merupakan penjelasan semua variabel dan istilah yang akan
digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya mempermudah
pembaca dalam mengartikan makna penelitian: (Notoatmodjo,2012).

3.4.1 Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan


volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal.
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif
dan lambat pada setiap nefron (biasanya berlangsung beberapa tahun dan
tidak reverumah sakitible). (Nurarif & Kusuma, 2015).
3.4.2 Hipervolemia adalah suatu keadaan atau terjadinya peningkatan volume cairan
ekstrasel khususnya intravascular melebih kemampuan tubuh mengeluarkan air
melalui ginjal Pemantauan cairan merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk
mengukur jumlah cairan yang masuk kedalam tubuh (intake) dan jumlah cairan
yang keluar dari tubuh (output).
3.4.3 Hemodialisa merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah
manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-
zat lain melalui membran semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat
pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi.
3.4.4 Asuhan keperawatan adalah merupakan suatu tindakan kegiatan atau proses
dalam praktik keperawatan yang diberikan secara langsung kepada
klien(pasien) untuk memenuhi kebutuhan objektif klien, sehingga dapat
mengatasi masalah yang sedang dihadapinya, dan asuhan keperawatan
dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu keperawatan.
3.4.5 Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien.
3.4.6 Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons
klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya
baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan
bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu, keluarga, dan
komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan.
3.4.7 Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk
mencapai luaran (outcome) yang diharapkan Implementasi adalah
perwujudan atau pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat
terhadap klien.
3.4.8 Implementasi adalah pelaksanaan dari intervensi keperawatan untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan dari implementasi adalah
membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang
mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan
kesehatan dan memfasilitasi koping.
3.4.9 Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan, rencana
intervensi, dan implementasinya.

3.5 Tempat dan waktu yang digunakan


3.5.1 Tempat:
Tempat yang digunakan penelitian oleh peneliti dalam menjalankan
asuhan keperawatan ini terletak di Ruang Hemodialisa, RUMAH SAKIT
Pluit, Jakarta Utara.
3.5.2 Waktu
Waktu yang digunakan peneliti dalam menjalankan penelitian adalah
selama 3 hari terhitung dari tanggal 09 Agustus hingga 12 Agustus 2021.
3.6 Instrument studi kasus
Menggunakan metode Wawancara, observasi,studi dokumentasi, skala penilaian.
3.6.1 Wawancara

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah lembar pengkajian

keperawatan medikal bedah & informed consent yang telah di sediakan

oleh pihak kampus Dr. Sismadi Jakarta.


3.6.2 Observasi

Observasi dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa model

instrumen, antara lain:

3.6.2.1 Catatan Berkala: Mencatat gejala secara berurutan menurut

waktu namun tidak terus menerus .

3.6.2.2 Daftar Cek List: Menggunakan daftar yang memuat nama

observer disertai jenis gejala yang diamati.

3.6.3 Studi Dokumentasi


Pada studi kasus ini studi dokumentasi penelitian ini peneliti menggunakan
format asuhan keperawatan dari pihak kampus Dr. Sismadi yang berisikan
pengkajian, Diagnosis keperawatan, intervensi, implementasi serta evaluasi.

3.6.4 Cara penilaian


Peneliti menggunakan SOP untuk melakukan tindakan pemantauan cairan.
Untuk alat dan bahan yang di gunakan peneliti antara lain:
sphygmomanometer, stetoskop, jam tangan, Timabngan badan, perlak,
sarung tangan, kapas alkohol, plester, gunting plester serta bengkok.

3.7 Skala Penilaian


Variable (Tindakan keperawatan), Definisi operasional, instrument, hasil ukur.
Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu dokumentasi asuhan
keperawatan secara lengkap mulai dari pengkajian hingga evaluasi pasien Gagal
Ginjal Kronik dengan hipervolemia di RUMAH SAKIT Pluit Jakarta Utara.

3.8 Langkah studi kasus


3.8.1 Melakukan pengkajian asuhan keperawatan
3.8.2 Menganalisis data
3.8.3 Merencanakan tindakan asuhan keperawatan
3.8.4 Melakukan tindakan asuhan keperawatan
3.8.5 Melakukan evaluasi kegiatan
3.8.6 Mendokumentasikan
3.8.7 Menyimpulkan
3.9 Etika studi kasus

Menurut Patricia A. Potter (2017) Prinsip etika yang digunakan penulis dalam
membuat asuhan keperawatan ini harus diperhatikan hak asasi manusia. Prinsip
etika keperawatan dalam memberikan layanan keperawatan kepada individu,
kelompok/keluarga dan masyarakat, yaitu:

3.9.1 Informed consent


Peneliti dalam menjalankan laporan tugas akhir
menggunakaninformed consent sebagai suatu cara perumah sakitetujuan
antara peneliti dengan keluarga, dengan memberikan lembar perumah
sakitetujuan (informed consent). Informed consent terumah sakitebut
diberikan sebelum tindakan keperawatan dilaksanakan dengan
memberikan lembar perumah sakitetujuan untuk menjadi sasaran asuhan
keperawatan. Tujuan informed consent adalah agar pasien mengerti
maksud dan tujuan, mengetahui dampaknya.

3.9.2 Tanpa Nama (Anonimity)

Peneliti dalam menjalankan laporan tugas akhir menggunakan etika


penelitian keperawatan dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan
nama pasien pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan inisial 1 huruf
pada lembar pengumpulan data dan hasil laporan yang disajikan pada saat
presentasi.

3.9.3 Kerahasiaan (confidentiality)


Peneliti dalam menjalankan laporan tugas akhir menggunakan etika dalam
penelitian untuk menjamin kerahasiaan dari hasil laporan baik informasi
maupun masalah-masalah lainnya, pasien dijamin kerahasiaannya oleh
peneliti.

3.9.4 Justice atau adil

Peneliti memberikan kesempatan yang sama bagi pasien yang memenuhi


kriteria untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Selain itu, peneliti
memberikan kesempatan yang sama dengan partisipan untuk
mengungkapkan perasaannya baik sedih maupun senang dan
mengungkapkan seluruh pengalamannya terkait motivasi hidup pada ODHA
ini.

3.9.5 Beneficence dan Nonmaleficence

Penelitian ini tidak membahayakan partisipan dan peneliti telah berusaha


melindungi partisipan dari bahaya ketidaknyamanan (protection from
discomfort). Peneliti menjelaskan tujuan, manfaat, penggunaan alat
perekam, dan penggunaan data penelitian. Sehingga dapat dialami oleh
partisipan dan berumah sakitedia menandatangani serat keterumah
sakitediaan berpartisipasi atau Informed Consent.
44

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Gambaran Lokasi Pengambilan Data
Penelitian ini di lakukan di Rumah sakit umum swasta Pluit, Rumah Sakit

Pluit merupakan rumah sakit umum swasta yang sudah berdiri sejak tahun 1996

dibawah naungan PT Saranaduta Jasamedika. Rumah Sakit Pluit memiliki Visi

mewujudkan rumah sakit yang bermutu dan menjadi pilihan masyarakat sekitar. 

Dalam peneliian menggunakan ruangan HCU dengan kamar nomor 618 bagi pasien

1 dan kamar nomor 623 bagi pasien 2.

4.1.2Pengkajian
1) Identitas pasien

IDENTITAS PASIEN PASIEN 1 PASIEN 2


Nama Tn. H Tn. L
NRM 002-100-33 002-100-34
Tanggal MRS 29 Agustus 2021 30 Agustus 2021
Umur 45 tahun 58 tahun
Agama Kristen Kristen
Pendidikan SMP SMP
Pekerjaan Wiraswasta Pensiunan
Status perkawinan Kawin Kawin
Dx medis CKD CKD

2) Riwayat Penyakit
45

RIWAYAT
PASIEN 1 PASIEN 2
PENYAKIT
Keluhan utama Pasien mengatakan sesak Pasien mengatakan sesak
Riwayat penyakit Pasien mengatakan Pasien mengatakan
sekarang bengkak di abdomen, kaki, bengkak pada kaki sejak 2
tangan sejak 10 hari yang bulan yang lalu, nyeri saat
lalu, perut pasien teraba BAK seperti di tusuk-
keras dan terlihat besar tusuk, skala nyeri 5, dan
sejak 1 minggu yang lalu, nyeri terjadi hilang timbul.
pasien juga mengeluh Pasien mengatakan
pusing, mual dan muntah pusing,dada terasa berat,
2x sehari. Pada tanggal 29 mual, muntah 3x sehari.
Agustus 2021 pukul 11.00 Pada tanggal 30 Agustus
pasien mengeluh sesak 2021 pukul 18.30 pasien
nafas dan akhirnya dibawa mengeluh sesak dan
ke RS Pluit oleh akhirnya dibawa ke RS
keluarganya dan dirawat Pluit oleh
diruang HCU/618 keluarganya dan
dirawat diruag
HCU/623

Riwayat penyakit dahulu Pasien tidak mempunyai Pasien tidak mempunyai


riwayat penyakit darah riwayat penyakit diabetes
tinggi. mellitus
Riwayat keluarga Keluarga pasien tidak ada Keluarga pasien tidak ada
yang mempunyai yang mempunyai penyakit
penyakit yang diderita yang diderita pasien saat
pasien saat ini, seperti ini, seperti diabetes melitus
diabetes melitus,
hipertensi, HF

3) Perubahan Pola Kesehatan

No Pola Sebelum MRS Setelah MRS


46

Pasien 1 Pasien 2 Pasien 1 Pasien 2


1. Nutrisi dan Makan 3x1 Makan 3x1 Makan diet Makan diet
Cairan nasi dan nasi dan lunak RPDJRG lunak RPDJRG
sayur serta sayur serta Minum Minum
lauk, Minum lauk, Minum dibatasi dibatasi
500cc 500-600cc hanya hanya
perhari. perhari, 250cc/24 jam 250cc/24 jam
pasien karena pasien karena pasien
terbiasa odema. odema.
minum soda Tampak Tampak
gembira. konjungtiva konjungtiva
pucat dan pucat dan
muka tidak muka tidak
segar. segar.
2. Istirahat /  Tidur  Tidur siang  Pasien  Pasien
Tidur siang tidak tidak bisa tidak bisa
tidak teratur tidur tidur
teratur karena karena karena
karena pekerjaan sesak nafas sesak nafas
pekerjaan pasien
pasien sebagai
sebagai supir.
penjahit  Tidur
 Pasien malam
tidur tidak
malam teratur
tidak karena
teratur pekerjaan
karena
pekerjaan
pasien
sebagai
47

wiraswast
3. Eliminasi BAB 1x /hari BAB 1x /hari BAB(-) BAK BAB(-) BAK
BAK sering BAK sering 200cc dalam 250cc dalam
pada malam pada malam 24 jam warna 24 jam warna
hari tapi hari menetes kecoklatan kuning tua
sedikit dan seperti bau khas bau khas
tidak tuntas
4. Personal Mandi Mandi 2x/hari Mandi diseka Mandi diseka
Hygiene 2x/hari mengganti oleh keluarga oleh keluarga
mengganti pakaian 2x pagi dan 2x pagi dan
pakaian 2x/hari sore hari sore hari
2x/hari keramas mengganti mengganti
keramas 2x/minggu pakaian 1x pakaian 1x
2x/minggu sikat gigi pada pagi hari pada pagi hari
sikat gigi 2x/hari dibantu oleh dibantu oleh
2x/hari keluarga keluarga
pasien pasien
keramas(-) keramas(-)
sikat gigi(-) sikat gigi(-)
5. Aktivitas Pasien Pasien Pasien hanya Pasien hanya
bekerja sebagai bedrest saja, bedrest saja,
sebagai pensiunan pasien pasien
Wiraswasta mengatakan mengatakan
merasa mudah lelah
pusing

4) Pemeriksaan fisik
OBSERVASI PASIEN 1 PASIEN 2
48

S 37,0 C 36,9 C
N 92x/menit 100x/menit
TD 130/80 mmhg 140/80 mmhg
RR 26x/menit 30x/menit
GCS 456 456
Pemeriksa
Fisik (6B) Inspeksi: pasien nampak Inspeksi: bentuk dada simetris
BI Breathing sesak nafas Palpasi: tidak teraba massa/
Palpasi: tidak teraba benjolan
massa/benjolan Perkusi: bunyi timpani
Perkusi: bunyi timpani Auskultasi: Bunyi nafas
Auskultasi: Bunyi nafas ronchi
ronchi
B2 Blood Inspeksi: ada pembesaran Inspeksi: tidak ada
jantung pembesaran jantung
Palpasi: tidak teraba adanya
Palpasi: terdapat massa/
massa/ benjolan
benjolan disebelah kiri
Auskultasi: suara jantung
Auskultasi: suara jantung
normal
normal

B3 Brain Inspeksi: kesadaran Inspeksi: kesadaran


composmentis, GCS 456 composmentis, GCS 456
B4 Bladder Inspeksi: tidak terlihat Inspeksi: tidak terlihat
pembesaran kandung kemih pembesaran kandung kemih,
,pasien terpasang selang pasien terpasang selang kateter
kateter Palpasi: ada nyeri tekan
Palpasi: tidak ada nyeri
tekan
B5 Bowel dan Inspeksi: odema pada perut Ispeksi: tidak ada odema pada
Reproduksi Palpasi: tidak teraba perut
pembesaran lien atau hepar Palpasi: tidak teraba
Perkusi: terdengar keras pembesaran lien atau hepar
karena perut pasien odema Perkusi: pasien tidak
Auskultasi: bising usus(+) kembung Auskultasi: bising
49

usus(+)
B6 Bone Inspeksi: terdapat odema Inspeksi: terdapat odema pada
Muskuloskele pada kaki dan tangan kaki
tal Palpasi : akral hangat, turgor Palpasi : akral hangat, turgor
kembali lebih dari 2 detik kembali lebih dari 2 detik
Data Pasien terlihat gelisah karena Pasien terlihat tegang dan
Psikososial ia harus segera bekerja untuk murung karena penyakit yang
membiayai keluarganya. diderita tidak kunjung sembuh
dan khawatir akan memburuk
5) Hasil Pemeriksaan Diagnostik

Pasien 1 Pasien 2
Pemeriksaan Pemeriksaan Nilai
Jenis Pemeriksaan
tanggal tanggal Normal
30 Agustus 2021 31 Agustus 2021
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Leukosit (WBC) 9,90 7,27 3, 70 – 10, 1
Neutrofil 9,0 5,4
Limfosit 0,8 0,7
Monosit 0,1 0,6
Eosinofil 0,0 0,5
Basofil 0,0 0,1
Neutrofil % H 90,9 H 74,2 39, 3 – 73, 7

Limfosit % 18, 0 – 48, 3


L 7,8 L 9,9
Monosit % 4, 40 – 12, 7
L 1,0 7,9
Eosinofil % L 0,0 6,5 0, 600 – 7, 30

Basofil % 0,3 1,5 0, 00- 1, 70

Eritrosit (RBC) L 3,010 L1,560 4, 2 – 11, 0

Hemoglobin L 7,33 L 4, 39 12, 0 – 16, 0

(HGB)
Hematokrit (HCT) L 22,50 L 14, 00 38 – 47

MCV 89, 30 81, 1 – 96, 0


L 74,90
MCH 28, 00 27, 0 – 31, 2
L 24,30
MCHC L 31, 40 31, 8 – 35, 4
32,50
RDW 13,60 L 11, 40 11, 5 – 14, 5

PLT 229 193 155- 366

MPV 5,84 7, 24 6, 90 – 10, 6

KIMIA KLINIK
FAAL GINJAL
BUN H 156 H 114 7, 8 – 20, 23

Kreatinin 13,408 14, 036 0, 6 – 1, 0


ELEKTROLIT
ELEKTROLIT
SERUM 135 – 147
Natrium (Na) 139,10 143, 30 3, 5 – 5
Kalium(K) 4,59 4, 10 95 – 105
Klorida (CI) 101,80 99, 86 1, 16 – 1, 32
Kalsium Ion L 1,135 H 1, 550
GULA DARAH < 200
Glukosa darah 172 122
sewaktu

KIMIA KLINIK
< 31
FAAL HATI
19,13 < 39
AST/SGOT
13,20
ALT/SGPT

LEMAK < 150


Trigliserida H 205 < 200
Kolestrol 188 >44
Kolestrol HDL 28,67 < 100
Kolestrol LDL H 109,14

6) Terapi

Pasien 1 Pasien 2
Infus Nacl 500cc LL/24 jam Infus Nacl 500cc LL/24 jam
Injeksi Lasix 2-1-1 x 20 mg Injeksi Lasix 2 x 40 mg
Furosemid 1 x 20 mg Omeprazole 1 x 40 mg
Omeprazole 1 x 40 mg Po Amlodipin 1 x 5 mg
Po Adalat 1 x 30 mg Allopurinol 1 x 300 mg
Clonidin 3 x 1 tablet Foralit 1 x 400 mg
ISDN 3 x 5 mg Terapi oksigen 2l/m
Terapi oksigen 2l/m
4.1.3Analisis Data
ANALISIS DATA ETIOLOGI MASALAH
Pasien 1 Gangguan Hipervole
DS: mekanisme regulasi mia
Pasien mengatakan bengkak dikaki dan
tangan sejak 10 hari yang lalu, perut
pasien terasa keras dan terlihat besar
sejak seminggu yang lalu.
DO :
1) K/U lemah
2) Pasien gelisah
3) Pasien Odem pada tangan dan kaki
4) Pasien terpasang kateter output:
200cc intake : 250cc/ 24jam
5) Pasien posisi semi flower
6) Elektrolit
a. Na : 139,.10 mmol/L
b. K : 4,59 mmol/L
c. Cl : 101,80 mmol/L
d. Kalsium Ion : L 1,135
mmol/L
7) BB : 65 kg
8) TD : 130/80 mmHg
9) RR : 26x/menit
10) N :92x/menit 11. S : 37,0 C
11) Glukosa darah sewaktu : 155 mg/dl
DS : Kurang terpapar Ansietas
Pasien mengatakan gelisah karena ia informasi
harus segera bekerja untuk membiayai
keluarganya.
DO :
1) Pasien terlihat gelisah
2) Pasien hanya terbaring di bad

DS: Defesiensi nutrisi Intoleransi


1) Pasien mengatakan mudah lelah aktivitas
2) Pasien mengatakan pusing
DO:
1) Konjungtiva tampak pucat
2) Pasien tampak lemas
3) Hb 7,33

Pasien 2 Gangguan Hipervolemi


DS : mekanisme a
Pasien mengatakan bengkak pada kaki regulasi
sejak 2 bulan yang lalu, saat buang air
kecil terasa nyeri seperti ditusuk- tusuk
DO :
1) K/U lemah
2) Pasien gelisah
3) Odemapada kaki
4) Pasien memakai O2 masker 8
Lpm
5) Pasien posisi semi flower
6) Pasien terpasang kateter ourput :
250ccintake : 250cc/24jam
7) Elektrolit
a. Na : 143,30 mmol/L
b. K : 4,10 mmol/L
c. Cl : 99, 86 mmol/L
d. Kalsium Ion : H 1,550
mmol/L
e. 8. Hb : 4,39 g/dl
8) TD : 140/80 mmHg
9) RR : 30 x/menit
10) N : 100x/menit 12. S : 36,9 C
11) BB: 60 kg
ANALISIS DATA ETIOLOGI MASALAH
Kurang terpapar Ansietas
DS : informasi
Pasien mengatakan penyakit yang
diderita tidak kunjung sembuh dan
khawatir akan memburuk
DO :
3) Pasien terlihat tegang
4) Pasien terlihat khawatir
5) Pasien terlihat murung

DS: Defesiensi nutrisi Intoleransi


3) Pasien mengatakan lemas aktivitas
4) Pasien mengatakan pusing
DO:
4) Konjungtiva tampak pucat
5) Pasien tampak lemas
6) Hb 4, 39

4.1.4Diagnosa Keperawatan
Pasien Pasien
1 2
Hipervolemia berhubungan dengan Hipervolemia berhubungan
gangguan mekanisme regulasi dengan gangguan mekanisme
regulasi
Ansietas Kurang terpapar informasi

Intoleransi aktivitas Defesiensi nutrisi

Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan 3 diagnosa keperawatan dari pasien 1


maupun pasien 2 yaitu: Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi, Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi & Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan defesiensi nutrisi.
Namun, peneliti berfokus memaparkan pada diagnosa keperawatan utama yaitu
Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi yang di mulai dari
intervensi hingga evaluasi.

4.1.5Intervensi
DX DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI
KEP KEPERAWATAN HASIL KEPERAWATAN
1. Hipervolemia Setelah dilakukan Manajemen Hipervolemia
berhubungan dengan tindakan Observasi:
gangguan keperawatan selama  Periksa tanda dan gejala
mekanisme regulasi 3x8 jam maka hipervolemia (edema,
dibuktikan dengan hipervolemia dispnea, suara napas
pasien mengatakan meningkat dengan tambahan)
perut semakin kriteria hasil:  Monitor intake dan output
membesar dan kedua 1. Asupan cairan cairan
kaki bengkak, Kadar meningkat  Monitor jumlah da
hemoglobin 9.0 2. Haluaran urin nwarna urin
mg/dL dan meningkat  Terapeutik
3. Edema menurun,  Batasi asupan cairan dan
hematokrit 28,1 garam
% dan Oliguria  Tinggikan kepala tempat
4. Tekanan darah tidur 30-40o
120/80 mmHg Edukasi
5. Turgor kulit
 Jelaskan tujuan dan
membaik
prosedur pemantauan
cairan
Kolaborasi
 Kolaborasai pemberian
diuretik
 Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat
deuretik
 Kolaborasi pemberian
continuous renal
replecement therapy
(CRRT), jika perlu
4.1.6Implementasi

DX. KEP 30 Agustus 2021 31 Agustus 2021 01 September 2021

Pasien 1
Hipervole Implementasi Implementasi Implementasi
mia

08.00 a. Melakukan bina a. 16.00 a. 08.00


hubungan saling Memonitor Adanyaken Memonitor adanya
percaya pada aikantekan andarah. kenaikan tekanan
pasien dan darah
keluarga pasien b. 16.30
untuk menjalin
Memonitor adanya b. 08.30
kerja sama yang
baik dari odema tungkai odema Memonitor adanya
komunikasi pada tangan dan odema tungkai odema
terapeutik. ascites. pada tangan dan
08.30 b. Memonitor adanya ascites.
kenaikan tekanan c. 17.30
darah. Memonitor tingkat c. 09.00
c. Memonitor adanya kecemasan pasien. Memonitor tingkat
09.00 kecemasan pasien.
odema tungkai
odema pada tangan d. 18.00
dan ascites. Memonitor frekuensi d. 09.30
pernafasan. Memonitor frekuensi
10.00 d. Memonitor tingkat pernafasan.
kecemasan pasien. e. 18.30
Memberika n injeksi , e. 10.00
furosemid 20 mg, Memberika n injeksi ,
10.30 e. Memonitor omeprazol e 40 mg furosemid 20 mg,
frekuensi (IV). omeprazole 40 mg
pernafasan. (IV).
11.00 f. Memberikan f. 19.00
injeksi , furosemid Mencatat secara akurat f. 10.30
20 mg, omeprazole intake dan output Mencatat secara
40 mg (IV). akurat intake dan
output
g. Mencatat secara
11.30 akurat intake dan
output.
Pasien 2 31 Agustus 2021 01 September 2021 02 September 2021
Hipervole Implementasi Implementasi Implementasi
mia
16.00 a. Melakukan bina a. 08.00 a. 16.00
hubungan saling Memonitor Memonitor
percaya pada pasien adanya kenaikan adanya
dan keluarga pasien tekanan darah kenaikan
untuk menjalin kerja tekanan darah
sama yang baik dari b. 08.30 b. 16.30
komunikasi Memonitor Memonitor
terapeutik. adanya odema adanya odema
tungkai odema tungkai odema
pada tangan dan pada tangan
16.30 b. Memonitor adanya ascites. dan ascites.
kenaikan tekanan c. 17.00
darah. c. 09.00 Memonitor
Memonitor tingkat
17.00 c. Memonitor adanya tingkat kecemasan
odema tungkai kecemasan pasien.
odema pada tangan pasien. d. 17.30
dan ascites. Memonitor
17.30 d. Memonitor tingkat d. 09.30 frekuensi
kecemasan pasien. Memonitor pernafasan.
frekuensi e. 18.00
pernafasa. Memberika n
18.00 e. Memonitor frekuensi injeksi ,
pernafasan. e. 10.00 omeprazole 40
Memberika n mg (IV).
18.30 f. Memberikan injeksi , injeksi , f. 18.30
omeprazole 40 mg omeprazol e40 Mencatat
(IV). mg (IV). secara akurat
intake dan
19.00 g. Mencatat secara f. 10.30 output
akurat intake dan Mencatat secara
output. akurat intake
dan output
4.1.7 Evaluasi

Dx Hari 1 Hari 2 Hari 3


Pasien 1 S : pasien S : pasien S : pasien
Kelebih an mengatakan mengatakan sesak mengatakan sesak
volume sesak nafas nafas nafas
cairan
O: O: O:
a) GCS = 456 a) GCS= 456 a) GCS = 456
b) Kesadaran b) Kesadarancomp b) Kesadaran compos
compos mentis osmentis mentis
c) K/U lemah, c) K/U lemah, c) K/U baik, odem
gelisah, pasien gelisah,pasien pada tangan dan
tampak pucat, tampak pucat, kaki
odem pada odem d) CRT >2detik
tangan dan kaki padatangandan e) TD :140/80 mmHg
d) CRT >2detik kaki f) N: 82x/menit
e) TD : 150/80 d) CRT >2detik g) RR: 24x/menit
mmHg e) TD : 160/90 h) S: 36,5 C
f) N : 90x/menit mmHg i) Pasien memakai O2
g) RR : 26x/menit f) N : 89x/menit nasal kanul 4Lpm
h) S : 37,0 C g) RR : 28x/menit j) intake :
i) Pasien h) S:36,8 C 250cc/24jam
memakai O2 i) Pasien memakai k) output :
masker 8Lpm. O2 masker 8 200cc/24jam
j) Intake : Lpm.
250cc/24jam j) Intake 250cc/ A : masalah
k) Output : 24jam teratasi sebagian
200cc/24jam k) Output : 200cc/
24jam P : lanjutkan intervensi
A : masalah a, d, e, f, g, k.
belum teratasi A : masalah
belum teratasi
P : lanjutkan
intervensi a, d, e, f, P : lanjutkan
g, k. intervensi a, d, e, f,
g, k.
Dx Hari 1 Hari 2 Hari 3

Pasien 2 S : pasien S : pasien S : pasien mengatakan


Hipervole mengatakan mual, mengatakan mual, mual, badan terasa
mia badan terasa lemas badan terasa lemas. lemas, nyeri perut
nyeri perut skala 4 Nyeri perut berkurang dengan skala
berkurang dengan nyeri 2
O: skala nyeri 2
a) GCS: 456
b) Kesadaran O: O:
compos mentis a) GCS: 456 a) GCS: 456
c) K/U lemah, b) Kesadaran b) Kesadaran compos
gelisah composm entis mentis
d) tranfusi PRC c) K/U lemah, c) K/U lemah, gelisah
1/hari sampai gelisah d) PRC : 1/hari sampai
hb> 11 d) tranfusi PRC HB > 11
e) odema pada 1/hari sampaih e) Odema pada kaki
kaki b> 11 f) CRT >2detik
f) CRT >2 detik e) odema pada g) TD : 110/70 mmHg
g) TD : 100/70 kaki h) N: 82x/menit
h) mmHg f) CRT >2detik i) RR: 24x/menit
i) N: 84x/menit g) TD : 120/80 j) S : 37,8 C
j) RR: 26x/menit mmHg k) memakai O2 masker
k) S : 38 C h) N: 86x/menit 8Lpm
l) memakai O2 i) RR: 28x/menit l) Hb : 8,98 g/dl
masker 8Lpm j) S : 37,2 C m) Intake :
m) Hb : 8,47 g/dl k) memakai O2 250cc/24jam
n) Intake : masker 8Lpm n) Output :
o) 250cc/24jam l) Hb : 8,96 g/dl 200cc/24jam
p) Output : 200cc/ Intake :
24jam m) 250cc/24jam A : masalah teratasi
Output : sebagian
n) 200cc/24jam
A : masalah belum P : lanjutkan intervensi
teratasi A : masalah belum a, d, e, f, g, k.
teratasi
P : lanjutkan
intervensi a, d, e, f, P : lanjutkan
g, k. intervensi a, d, e, f,
g, k.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengkajian
1. Data subjektif
Dari hasil pengkajian yang didapatkan antara 2 pasien terdapat keluhan utama
yang sama yaitu bengkak pada bagian tubuh.. pasien 1 mengalami bengkak pada
tangan dan kaki dan ascites pada perut karena ada komplikasi heart failure dan
pasien 1 menggalami sesak nafas, pusing, mual, dan muntah. sedangkan pasien 2
hanya bengkak pada kaki, merasakan sesak nafas, nyeri seperti ditusuk-tusuk,
dada terasa berat, pusing, mual, dan muntah.
2. Data objektif
Data objektif pada observasi tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik,
yang didapatkan perbedaan antara pasien 1 dan pasien 2. Tekanan darah pada
pasien 1 : 160/100 mmHg dan pada pasien 2 : 140/80 mmHg. frekuensi
pernafasan pasien 1 : 26x/menit dan pasien 2 : 30x/menit. Pada pemeriksaan
fisik B1 pasien 1 dan pasien 2 terdapat bunyi timpani dan auskultasi terdapat
bunyi ronchi, B2 pasien 1 terdapat pembesaran jantung, terdapat benjolan
sebelah kiri, suara jantung tidak normal dan tidak ada tambahan bunyi jantung,
sedangkan pasien 2 suara jantung normal. B3 pasien 1 dan pasien 2 menggalami
kesadaran composmentis dengan GCS 4-5-6. B4 pasien 1 tidak ada nyeri tekan
dan pasien 2 menggalami nyeri tekan seperti ditusuk- tusuk, skala nyeri 5. B5
pada pasien 1 terdapat odema pada perut dan menggalami kembung, pasien 2
tidak menggalami odema dan tidak kembung. B6 pasien 1 menggalami odema
pada kaki dan tangan dengan turgor kulit lebih dari 2 detik dan akral hangat,
pasien 2 odema pada kaki dengan turgor kulit lebih dari 2 detik dan akral hangat.
4.2.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien 1 dan pasien 2 dari hasil pengkajian,
hasil pemeriksaan fisik, hasil dari pemeriksaan diagnostic yang didapatkan
menunjukan masalah yang dialami kedua pasien adalah Hipervolemia
berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi. Diagnosa keperawatan yang
diambil untuk pasien 1 dan pasien 2 didasarkan pada batasan karakteristik dan
tanda gejala yang dialami oleh kedua pasien.
4.2.3 Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan yang diberikan untuk pasien 1 dan pasien 2 adalah
SIKI dengan Manajemen Hipervolemi adalah Periksa tanda dan gejala
hipervolemia (edema, dispnea, suara napas tambahan) Monitor intake dan output
cairan Monitor jumlah dan warna urin, Batasi asupan cairan dan garam,
Tinggikan kepala tempat tidur,Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan cairan,
Kolaborasi, Kolaborasai pemberian diuretik, Kolaborasi penggantian kehilangan
kalium akibat deuretik, Kolaborasi pemberian continuous renal replecement
therapy (CRRT), jika perlu.
4.2.4 Implementasi keperawatan
Implementasi yang dilakukan pada pasien 1 yaitu : memonitoring adanya
kenaikan tekanan darah, memonitor adanya odema tungkai, odema pada tangan
dan ascites, memonitor tingkat kecemasan pasien, memonitor frekuensi
pernafasan dan berkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi injeksi
furosemid 20mg, omeprazole 40mg. Pada pasien 2 implementasi yang dilakukan
yaitu : memonitoring adanya kenaikan tekanan darah, memonitor adanya odema
tungkai odema pada tangan dan ascites, memonitor tingkat kecemasan pasien,
memonitor frekuensi pernafasan dan berkolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian terapi injeksi omeprazole 40mg.
4.2.5 Evaluasi keperawatan
Evaluasi pada pasien 1 dan pasien 2 yang dilakukan selama 3 hari pada hari
pertama pasien 1 masih mengeluh sesak nafas dengan frekuensi 26x/menit
dengan memakai masker 8Lpm. Pada hari ke-2 pasien masih mengeluh sesak
nafas dengan frekuensi 28x/menit dengan memakai masker 8Lpm. Pada hari
ketiga pasien masih menggeluh sesak nafas dengan frekuensi 24x/menit dengan
memakai nasal canul 4Lpm. tidak terdapat perubahan evaluasi. Pasien tetap saja
sesak nafas, tetapi hari ke-3 frekuensi mulai berkurang dengan memakai nasal
canul.
Pada pasien 2 evaluasi hari ke-1 pasien mengeluh mual, badan terasa lemas
dan nyeri perut skala 4. Pada hari ke-2 pasien mengeluh mual, badan terasa
lemas dan nyeri perut berkurang dengan nyeri skala 2. Pada hari ke-3 pasien
mengeluh mual badan terasa lemas dan nyeri skala 2.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan apa yang penulis didapatkan dalam laporan kasus dan pembahasan
pada asuhan keperawatan dengan masalah Hipervolemia pada Responden 1 dan
Responden 2 dengan kasus gagal ginjal kronik penulis mengambil kesimpulan:
1) Pengkajian
Pengkajian keperawatan yang dilakukan pada pasien 1 dan pasien 2 mengalami
perbedaan. Pada pasien 1 mengeluh sesak nafas sedangkan pada pasien 2
mengalami nyeri diseluruh bagian perut. Pada pasien 1 ditemukan oderma pada
tangan, kaki,dan ascites karena adanya komplikasi pada system kardiovaskuler.
Sedangkan pada pasien 2 oderma hanya terdapat pada kaki saja.
2) Diagnose keperawatan
Diagnose keperawatan yang diambil oleh peneliti untuk pasien 1 dan pasien 2
adalah Hipervolemia berhubung dengan gangguan mekanisme regulasi. Diagnose
ini diambil berdasarkan batasan karakteristik, tanda dan gejala yang dialami
masing-masing pasien.
3) Intervensi keperawatan
Intervensi yang dilakukan oleh peneliti untuk pasien 1 dan pasien 2 sudah sesuai
dengan apa yang ada pada SIKI yaitu manajeman hipervolemia(pemantauan
cairan). Ada perbedaan intervensi antara pasien 1 dan pasien 2 mengenai
monitoring tekanan darah. Pada pasien 1 monitoring hipertensi, sedangkan pada
pasien 2 monitoring adanya hipotensi dan hipovolemi.
4) Implementasi
Implementasi keperawatan antara pasien 1 dan pasien 2 menggunakan intervensi
yang telah ditetapkan. Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi akan tetapi
pada intervensi mengenai monitoring tekanan darah ada perbedan antara pasien 1
dan pasien 2. Pada pasien 1 monitoring adanya hipertensi, sedangkan pada pasien 2
monitoring adanya hipotensi dan hopovolemia.
5) Evaluasi
Evaluasi pada pasien 1 dan pasien 2 dilakukan selama 3 hari. Dan didapatkan hasil
pada hari ketiga pada pasin 1 yaitu :pasien masih merasa sesak nafas, tetapi
frekuensi mulai berkurang dengan memakai nasal canul. Sedangkan pada pasien 2
didaptakan hasil bahwa pasien masih mengeluh mual badan terasa lemas dan nyeri
skala 2. Dengan demikian intervensi dan implementasi yang sudah dilakukan
selama tiga hari didapatkan hasil evaluasi dengan masalah Hipervolemia bahwa
belum teratasi. Tidak teratasinya masalah pada pasin 1 dan pasien 2 karena penulis
keterbatasan waktu dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien.
5.2 Saran
1. Bagi perawat
Dapat dijadikan bahan masukan bagi perawat di rumah sakit dalam melakukan
asuhan keperawatan dalam rangka mningkatkan mutu pelayanan yang baik
khususnya pada pasien gagal ginjal kronik dengan masalah hipervolemia.
2. Bagi intitusi pendidikan
Dapat digunakan sebagai bahan acuan atau referensi tambahan untuk meberikan
pendidikan kepada mahasiswa tentang asuhan keperawatan pada pasien gagal
ginjal kronik dengan masalah Hipervolemia.
3. Bagi keluarga dan pasien
Dapat menambah pengetahuan kepada keluarga tentang penyakit gagal ginjal
kronik
Daftar Pustaka

Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, 2017, Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta 2017,
DKI Jakarta
Hardinsyah, Kebutuhan Air dalam Daur Kehidupan Dan Permasalahannya. Jakarta : dalam
seminar Nasional Universitas Esa Unggul. 2012.
Haswita & Reni S. 2017. Kebutuhan Dasar Manusia untuk mahasiswa keperawatan dan
kebidanan. Jakarta: CV. Trans Info Media
Kozier, et al. 2011a. Buku ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, proses & praktik, edisi
7, volume 1. Jakarta: EGC.
Morton,et al. (2012). Volume 1 Keperawatan kritis pendekatan asuhan holistik: Jakarta:
kedokteran EGC, hlm 835-842
Mubarak, Indrawati & Susanto, 2015. Buku ajar Ilmu Keperawatan Dasar, buku 2. Jakarta:
Salemba Medika. ]
Muttaqin Arif, Sari Kumala. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, A & Sari, K. 2014. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.
Notoatmojo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction
Prabowo & Pranata. 2014. Buku ajar keperawatan sistem perkemihan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2018. Diakses: 27 Desember 2018 dari www.depkes.go.id
Saputra, Lyndon. 2013. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Binarupa Aksara
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Suhardjono. Hemodialisis. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B,
Syam AF, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6. Jakarta: Interna
Publishing. 2016. p.2194-8.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta : PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta : PPNI
Vaughans, Bennita W. (2013). Keperawatan Dasar. Yogyakarta; Rapha Publishing.
Wahyuningsih, 2020. Prosedur dan Teknik Operasional Hemodialisa. Edisi pertama.
Yogyakarta: Tugu Pustaka
Wilson LM. Pengobatan gagal ginjal kronik. In: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep
klinis proses-proses penyakit edisi 6 volume 1. Jakarta: EGC; 2015. p.964-91

Anda mungkin juga menyukai