Anda di halaman 1dari 47

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN

SISTEM PERKEMIHAN: GAGAL GINJAL AKUT DAN KRONIK

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

oleh:
Kelompok 12
Kelas D 2018

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
2020
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN
SISTEM PERKEMIHAN: GAGAL GINJAL AKUT DAN KRONIK

KEPERAWATAN MEDIKAL MEDIKAL

(disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal)


Dosen Pembimbing: Ns. Murtaqib S.Kp. M.Kep

oleh:
Imraatul Istiqamah
NIM 182310101175
Kelas D 2018

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan Hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Pada Klien Gagal Ginjal Kronik”. Pembuatan makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Keperawatan Medikal. Dalam penulisan makalah ini kami
mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ns. Murtaqib S.Kp. M.Kep selaku dosen pembimbing mata kuliah


Keperawtaan Medikal
2. Ns. John S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.MB, selaku dosen penanggung jawab
mata kuliah Keperawatan Medikal
3. Serta teman-teman mahasiswa Program Studi Sarjana Keperawatan
Universitas Jember kelas D-18 yang telah membantu.

Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca demi
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan pembaca.

Jember, 23 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

PRAKATA

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Epidemiologi
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
1.3.2 Tujuan Khusus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi

2.2 Pengertian

2.3 Etiologi

2.4 Patofisiologi

2.5 Klasifikasi

2.6 Manifestasi Klinik

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.8 Penatalaksanaan

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
3.2 Diagnosa Keperawatan
3.3 Intervensi
3.4 Implementasi
3.5 Evaluasi

BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN

4.1 Kasus
4.2 Pengkajian

4.3 Analisa Data

4.4 Diagnosa Keperawatan

4.5 Pathway

4.6 Intervensi Keperawatan

4.7 Implementasi keperawatan

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ginjal adalah organ utama sistem perkemihan yang memproses plasma darah
dan mengeluarkan buangan dalam bentuk urin melalui organ perkemihan yang
meliputi ureter, kandung kemih, dan uretra (Chang, Daly, dan Elliot, 2010). Ginjal
mempunyai peran dan fungsi untuk mengatur keseimbangan cairan dalam
tubuh, mengatur kosentrasi garam dalam darah, keseimbangan asam basah
dalam darah dan ekresi bahan buangan seperti urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah. Ketika Ginjal tidak mampu bekerja sebagai mana mestinya maka akan
timbul masalah kesehatan yang akan berkaitan dengan penyakit gagal ginjal
(Chayaningsih, 2009).

Gagal ginjal merupakan suatu keadaan dimana terjadinya penurunan fungsi


ginjal secara optimal untuk membuang zat-zat sisa dan cairan yang berlebihan dari
dalam tubuh. Penurunan fungsi ginjal dapat terjadi akibat suatu penyakit, kelainan
anatomi ginjal dan penyakit yang menyerang ginjal itu sendiri. Menurut WHO di
Indonesia penyakit gagal ginjal selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Penyakit gagal ginjal termasuk salah satu penyakit ginjal yang paling berbahaya
dan tidak menular, namun menyebabkan kematian. Penyakit gagal ginjal dibedakan
menjadi dua, yaitu gagal ginjal akut (GGA) dan gagal ginjal kronik (GGK)
(Muhammad, 2012). Dikatakan gagal ginjal akut (GGA) apabila penyakit
berkembang sangat cepat terjadi dalam beberapa jam atau dalam beberapa hari.
Sedangkan gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara
metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang
berakibat pada peningkatan ureum (Desfrimadona, 2016). Penyakit ini bersifat
progresif dan umumnya tidak dapat pulih kembali (irreversible).

Penyakit gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat global


dengan prevalensi dan insidensi gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk
dan biaya yang tinggi. Gagal ginjal kronik saat ini telah menjadi suatu masalah
kesehatan publik di seluruh dunia. Hal ini diakui sebagai suatu kondisi umum yang
dikaitkan dengan peningkatan penyakit jantung dan gagal ginjal kronik.
1.2 Epidemiologi
Kejadian penyakit gagal ginjal di Indonesia semakin meningkat, hanya sekitar
0,1% kasus yang terdeteksi gagal ginjal dan 11-16% yang tidak terdeteksi.
Penelitian WHO pada tahun 1999 memperkirakan di Indonesia akan mengalami
peningkatan penderita gagal ginjal antara tahun 1995 – 2025 sebesar 414%.
Penderita Gagal ginjal berada pada kisaran usia 50 tahun dan usia produktif,
sedangkan pada lansia terjadinya gagal ginjal karena DM dan hipertensi yang tidak
diberikan pengobatan dengan benar. Menurut World Health Organization (WHO)
memperkirakan bahwa prevalensi gagal ginjal akut (GGA) lebih dari 356 orang
yang mengalami gagal ginjal akut (GGA) dengan mortalitas lebih tinggi pada
pasien lanjut usia dan pada pasien dengan kegagalan multiorgan.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat penderita gagal ginjal
yang cukup tinggi. Menurut data dari persatuan Nefrologi Indonesia (Pernetfri)
di perkirakan mencapai 70.000 orang penderita gagal ginjal, namun yang
terdeteksi gagal ginjal kronis tahap terminal dari mereka yang menjalani cuci
darah (hemodialisis) hanya sekitar 4.000-5.000 saja. Berdasarkan Pusat Data &
Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, jumlah pasien gagal ginjal
kronik (GGK) diperkirakan sekitar 50 orang per 1 juta penduduk, 60% nya adalah
usia dewasa dan usia lanjut. Berdasarkan data dari PT Askes tahun 2009
menunjukkan jumlah gagal ginjal di Indonesia mencapai 350 per satu juta
penduduk, saat ini terdapat sekitar 70000 pasien gagal ginjal kronik yang
memerlukan cuci darah (hemodialysis). Riset Kesehatan Dasar 2013 mendapatkan
prevalensi gagal ginjal kronis menurut diagnosis dokter dari hasil wawancara pada
umur ≥ 15 tahun di Indonesia sebesar 0,2 %.
Pada akhir tahun 2013 tercatat jumlah pasien dengan gagal ginjal di dunia
mencapai 3.200.000 dengan tingkat pertumbuhan 6% . Peningkatan jumlah pasien
gagal ginjal terjadi di negara maju dan berkembang. Berdasarkan data US Renal
Data System Annual Data Report jumlah penderita gagal ginjal di Amerika Serikat
tahun 2013 lebih dari 660.000 orang dengan jumlah penderita baru mencapai
117.000 orang. 88,2% pasien gagal ginjal di Amerika Serikat menggunakan terapi
hemodialisis dan mortality rate pada pasien hemodialisis adalah 172 per 1000%.
Berdasarkan data yang dirilis PT Askes jumlah penderita gagal ginjal tahun 2010,
2011 dan 2012 adalah 15.507 orang, 23.261 orang dan 24.141 orang. Laporan
Indonesian Renal Registry (IRR) menunjukkan 82,4% pasien gagal ginjal di
Indonesia menjalani hemodialisis pada tahun 2014.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang konsep dasar
penyakit Gagal Ginjal Akut dan Kronik serta asuhan keperawatan
pada pasien Gagal Ginjal Kronik.

1.3.2 Tujuan Khusus

2. Untuk mengetahui dan memahami definisi Gagal Ginjal Akut dan


Kronik
3. Untuk mengetahui dan memahami penyebab/etiologi Gagal Ginjal
Akut dan Kronik.
4. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi Gagal Ginjal Akut
dan Kronik
5. Untuk mengetahui dan memahami tanda dan gejala Gagal Ginjal
Akut dan Kronik
6. Untuk mengetahui dan memahami prosedur diagnostic Gagal Ginjal
Akut dan Kronik
7. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan medis Gagal
Ginjal Akut dan Kronik
8. Untuk mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada pasien
Gagal Ginjal Kronik
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi

Gambar 1.1 Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan keseimbangan


(homeostatic) cairan tubuh secara teratur. Fungsi ginjal dalam tubuh adalah
mempertahankan keseimbangan (homeostatic) dengan mengatur volume cairan,
keseimbangan osmotic, asambsa, ekskresi sisa metabolism, sistem pengaturan
hormonal, dan metabolism (Syarifuddin, 2016). Letak ginjal pada rongga abdomen
yaitu di sebelah kanan kalumna vertabralis, sebelah kiri retroperitoneal primer dan
dibelakang peritoneum. Ginjal juga di kelilingi oleh lemak dan jaringan ikat yang
berfungsi melindungi ginjal dari goncangan. Batas letak ginjal sebelah kiri adalah
iga ke-11 sedangkan ginjal kanan adalah ika ke-12. Maka dari itu ginjal sebelah kiri
lebih panjang daripada ginjal sebelah kanan (Syarifuddin, 2016).

Masing-masing ginjal mempunyai panjang 11 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,5 cm,
dan berat ginjal pada perempuan 115-155 gram dan berat ginjal pada laki-laki 150-
170 gram. Ginjal memiliki bentuk seperti kacang, sisi dalmnya menghadap ke
vertebrata torakalis sedangkan sisi luarnya menghadap berbentuk cembung yang
disetiap masing-masing ginjal memliki kelenjar suprarenal yang berfungsi untuk
memproduksi hormon aldesteron. Dalam waktu 1 menit sekitar 20% darah manusia
mengalir melewati ginjal untuk dibersihkan. Darah mengalir melalui pembuluh
nadi (renal artery) masuk ke jaringan ginjal yang bercabang-cabang sampai
menjadi kapiler dan mencapai suatu bangunan yang dinamakan glomerulus.

Gambar 1.2 Bentuk Ginjal

Adapun struktur ginjal antara lain sebagai berikut:

a. Struktur Makroskopis Ginjal


Secara anatomis ginjal terbagi menjadi beberapa bagian yaitu, bagian kulit
(korteks), sumsum ginjal (medulla), dan bagian rongga ginjal (pelvis renalis),
(Nuari dan Widiyati, 2017).

Gambar 1.3 Bagian-bagian ginjal

1. Kulit Ginjal (Korteks)


Pada kulit ginjal terdapat bagian yang bertugas melaksanakan penyaringan
darah yang disebut sebagai nefron. Pada tempat penyaringan darah ini banyak
mengandung kapiler darah yang tersusun bergumpal-gumpal yang disebut
dengan glomerulus. Tiap glomerulus dikelilingi oleh simpai bownman, dan
gabungan antara glomerulus dan simpai bownman disebut dengan badan
malphigi. Penyaringan darah terjadi pada badan malphigi. Zat-zat tersebut
selanjutnya akan menuju ke pembuluh yang merupakan lanjutan dari simpai
bownman yang terdapat di dalam sumsum ginjal (Medula).
2. Sumsusm Ginjal (Medula)
Sumsum ginjal terdriri dari beberapa badan yang berbentuk kerucut yang
disebut dengan piramid renal. Dengan dasarnya yang menghadap korteks dan
puncaknya disebut dengan apeks atau papilla renis, mengarah ke bagian
dalam ginjal. Satu piramid dengan jaringan korteks didalamnya disebut
dengan lobus ginjal. Piramid antar 8 hingga 18 buah tampak bergaris-garis
karena terdiri atas berkas saluran parallel (tubuli dan duktus koligentes).
Diantara piramid terdapat jaringan korteks yang disebut dengan kolumna
renal. Di dalam pembuluh halus ini terangkut urin yang merupakan hasil
penyaringan darah badan malphigi, setelah mengalami berbagai proses (Nuari
dan Widiyati, 2017).
3. Rongga Ginjal (Pelvis Renalis)
Pelvis renalis adalah ujung ureter yang berpangkal di ginjal berbentuk
corong lebar. Pelvis renalis berbatasan dengan jaringan ginjal, dan bercabang
dua atau tiga yang disebut dengan kaliks mayor. Di setiap kaliks mayor
bercabang membentuk kaliks minor yang langsung menutupi papilla renis
dan piramid. Kaliks minor ini menampung urin yang terus keluar dari papilla
(Nuari dan Widiyati, 2017).
b. Struktur Mikroskopis Ginjal
Satuan struktur dan fungsional ginjal yang terkecil disebut dengan nefron.
Tiap-tiap nefron terdiri atas komponen vaskuler dan tubuler. Komponen
vaskuler terdiri atas pembuluh-pembuluh darah yaitu glomerulus dan kapiler
peritubuler yang mengitari tubuli. Dalam komponen tubuler terdapat kapsul
bownman, serta tubulus-tubulus yaitu seperti tubulus kontortus proksimal,
tubulus kontortus distal, tubulus pengumpul dan lengkung henle yang
terdapat pada medulla. Kapsula bownman terdiri atas lapisan luar (parietal)
dan lapisang yang langsung membungkus kapiler glomerulus (viseral).
Kapsula bownman bersama glomerulus disebut dengan korpuskel renal
(Nuari dan Widiyati, 2017).

Gambar 1.4 Bagian-bagian nefron

c. Vaskularisasi Ginjal
Ginjal mendapat darah dari aorta abdominalis yang mempunyai percabangan
arteria renalis, yang berpasangan kiri dan kanan dan bercabang menjadi arteria
interlobularis kemudian menjadi arteri akuata. Arteri interlobularis yang berada
ditepi ginjal bercabang menjadi kapiler membentuk gumpalan yang disebut
glomerulus dan dikelilingi oleh alat yang disebut dengan simpai bownman.,
didalamnya terjadi penyadangan pertama dan kapiler darah yang meninggalkan
simpai bownman kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena kava inferior (Nuari
dan Widiyati, 2017).

Gambar 1.5 Vaskularisasi Ginjal


d. Perasarafan Ginjal
Ginjal mendapat persarafan dari refluks renalis (vasomotor). Saraf ini
berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal. Saraf
ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal. Anak
ginjal (kelenjar suprarenal) terdapat diatas ginjal yang merupakan sebuah
kelenjar buntu yang menghasilkan dua macam hormone yaitu hormone
adrenalin dan hormone kortison (Nuari dan Widiyati, 2017).

Gambar 1.6 Persarafan pada ginjal

2.2 Pengertian

2.2.1 Pengertian Gagal Ginjal Akut (GGA)

Penyakit gagal ginjal merupakan suatu penyakit dimana fungsi organ


ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama
sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga
keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam
darah atau produksi urin (Warianto, 2011).

Gagal ginjal akut (GGA) merupakan salah satu kegagalan organ ganda
yang dapat memberikan perubahan dengan cepat pada proses keseimbangan
air, elektrolit, homesostatis asam basa (Indra, 2013). Gagal ginjal akut (GGA)
merupakan penimbunan sampak metabolic didalam darah atau urea akibat
kemunduran yang cukup cepat dari kemampuan ginjal dalam membersihkan
darah dari racun (Wati, dkk., 2018).
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan penurunan fungsi ginjal mendadak
dengan akibat hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan
homeostatis tubuh. Gagal ginjal akut juga merupakan suatu sindrom yang
di tandai dengan penurunan fungsi ginjal mendadak dengan akibat terjadinya
penimbuhan hasil metabolik pesenyawaan nitrogen seperti ureum, dan
kreatinin. Dalam diagnosis gagal ginjal akut (GGA) yaitu terjadinya
peningkatan kadar kreatinin darah secara progesif 0,5 mg/dl per hari.
Peningkatan kadar ureum darah adalah sekitar 10-20 mg/dl per hari kecuali bila
terjadi hiperkatabolisme dapat mencapai 100,0 mg/dl perhari (Andani,2010).
Penyakit gagal ginjal dikatakan gagal ginjal akut (GGA) apabila penyakit
berkembang sangat cepat terjadi dalam beberapa jam atau dalam beberapa hari.

2.2.2 Pengertian Gagal Ginjal Kronik (GGK)

Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang


progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu
memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum (Desfrimadona, 2016).
Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai nilai Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
yang berada dibawah batas normal selama lebih dari 3 bulan. Gagal ginjal
kronik (GGK) ini biasanya ditandai dengan adanya protein dalam urin,
gangguan fungsi ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Gagal
ginjal kronik (GGK) merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat biasanya berlangsung beberapa tahun. Pada keadaan ini ginjal
kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi
cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal.

Menurut Departemen Kesehatan (2017) gagal ginjal kronik merupakan


kerusakan ginjal dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Penyakit ini
bersifat progresif dan umumnya tidak dapat pulih kembali (irreversible).

Penyakit gagal ginjal kronik pada stadium akhir disebut dengan End
Stage Renal Disease (ESRD). Gagal ginjal kronik stadium akhir End Stage
Renal Disease (ESRD) dimana ginjal mengalami kerusakan fungsi ginjal yang
progresif dan tidak dapat pulih kembali, yaitu tubuh tidak mampu memelihara
metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang
berakibat peningkatan ureum. End Stage Renal Disease (ESRD) ditandai
dengan azotemia, uremia, dan sindrom uremik.

2.3 Etiologi

2.3.1 Etiologi (GGA)

Penyebab gagal ginjal akut terbagi menjadi tiga yaitu:

1. Praenal (Hipoperfusi ginjal) terjadi ketika aliran darah ke ginjal menurun


akibat kontraksi volume intravaskuler atau menurunnya volume darah
efektif (Amelia, dkk, 2014).
Menurut Nuari dan Widiyati (2017) terdiri atas:
a. Depresi volume cairan ekstrasel (ECF) absolute/hipovolemia.
a). Pendarahan, seperti operasi besar, trauma, pascapartum.
b). Diuresis berlebihan.
c). Kehilangan cairan dari urelogi yang berat, seperti muntah, diare.
d). Kehilangan cairan dari ruang ketiga, seperti luka bakar, peritonitis,
pangkreatitis.

b. Penurunan volume sirkulasi arteri yang efektif.

a). Penurunan curah jantung, seperti infark miokardium, distrimia,


gagal jantung kongestif, tamponade jantung, emboli paru.

b). Vasodilatasi perifer, seperti sepsis, anavilaksis, obat, anastesi,


antihipertensi, nitrat.

c). Hipoalbuminimea, seperti sindrom nefrotik, gagal hati (sirosis).

c. Perubahan hemodinamik ginjal primer.

a). Penghambat sintesis prostaglanding, seperti espirin dan obat


NSAID, lain.
b). Vasodilatasi arteriol eferen, seperti penghambat enzim pengonfersi
angiotensin misalnya kaptropril.

c). Obat vasokontriktor, seperti obat alfa-adnergik misal, norepinefrin,


angiotensin II.

2. Intrarenal (kerusakan actual jaringan ginjal) terjadi akibat nekrosis tubular


akut hipoksik-iskemik (Amelia, dkk, 2014).

Menurut Nuari dan Widayati (2017) terdiri atas:

a. Nekrosis tubular akut


a). Pascaiskemik, seperti syok, sepsis, bedah jantung terbuka, bedah
aorta.
b). Nefrotoksik, seperti antibiotic, pigmen intratubuler.

b. Penyakit vaskuler atau glomerulus ginjal primer

a). Glomerulonefritis progresif cepat atau pascastreptokokus akut.

b). Hipertensi maligna

c. Nefritis tubulointerstisial akut

a). Alergi, seperti beta lactam (penisilin, sefalosporin), sulfonamide.

b). Infeksi, seperti pielonefritis akut.

3. Pascarenal (obstruksi aliran urin) terjadi karena tekanan di tubulus ginjal


meningkat akhirnya laju filtrasi glomerulus meningkat (Amelia, dkk, 2014).
Menurut Nuari dan Widayati (2017) terdiri atas:

a. Obstruksi uretra, seperti katup uretra, striktur uretra.

b. Obstruksi aliran keluar kandung kemih, seperti hipertrofi prostat,


karsinoma.

c. Obstruksi ureter bilateral

a). Intraureter, seperti batu, bekuan darah


b). Ekstraureter (kompresi), seperti fibrosis retroperitoneal, neoplasma
kandung kemih, ligase bedah.

d. Kandung kemih neurogenik.

2.3.2 Etiologi (GGK)

Gagal ginjal kronik terjadi ketika suatu penyakit atau kondisi yang
merusak fungsi ginjal sehingga dapat menyebabkan ginjal menjadi rusak
selama beberapa bulan atau tahun (Nuari, 2017). Penyakit gagal ginjal kronik
merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang bersifat progresif dan
irreversible karena berbagai penyebab diantaranya:

a. Penyakit infeksi tubulointerstitial


- Pielonefritis kronik
- Refluks nefropati
b. Penyakit peradangan: Glomerulonefritis
c. Penyakit vaskuler hipertensi: Nefrosklerosis (beligna, maligna).
d. Gangguan genital dan herediter:
- Penyakit ginjal polikistik
- Asidosis tubulus ginjal
e. Penyakit metabolic:
- Diabetes militus
- Gout
- Hiperparatiroid
- Amiloidosis
f. Nefropati toksik:
- Obat analgesic

2.4 Patofisiologi

2.4.1 Patofisiologi (GGA)

Patofisiologi gagal ginjal akut (GGA) adalah ketika terjadi gangguan


perfusi oksigen dan nutrisi dari nefron baik karena pasokan yang menurun
maupun permintaan yang meningkat. Terdapat tiga kategori gagal ginjal akut
(GGA) yaitu prerenal, renal dan posternal dengan mekanisme patofisiologi
berbeda.

a. Prerenal
Gagal ginjal akut (GGA) prerenal adalah hipoperfusi ginjal.
Hipoperfusi dapat disebabkan oleh hipovelimia atau menurunnya volume
sirkulasi yang efektif (Sutjahjo, 2015). Penyebab umumnya juga dapat
terjadi akibat penurunan volume intravaskuler karena perdarahan, dehidrasi,
atau hilangnya cairan gastrointestinal. Hal ini menyebabkan terjadinya
penurunan aliran darah dan gangguan dalam mempertahankan tekanan
filtrasi intraglomerulus sehingga ginjal hanya menerima 25% dari curah
jantung (Sutjahjo, 2015).
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata <70 mmHg)
serta berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka mekanisme
otoregulasi akan terganggu. Dimana arteriol afferent mengalami otoregulasi
mengalami vasokontraksi serta terjadi peningkatan Na+ dan air. Otoregulasi
ginjal dapat dipengaruhi dari beberapa obat ACE/ARB, NSAID, terutama
pada pasien 60 tahun ke atas dengan kadar keratinin mg/dl sehingga dapat
terjadi gagal ginjal akut (GGA) prerenal (Sutjahjo, 2015).
b. Renal
Gagal ginjal akut (GGA) renal yaitu kelainannya berada pada ginjal
(glomerulus, tubulus , dan vascular dalam ginjal) yang disebabkan oleh
kelainan vaskuler seperti, vasculitis, hipertensi maligna, glomerulus, nefritis
interstitial akut (Sutjahjo, 2015). Pada keadaan iskemik, apabila keadaan
pada hipoperfusi pada ginjal ini terjadi berkepanjangan maka dapat terjadi
kerusakan struktur epitel di dalam tubulus. Sehingga dapat terjadi yang
dinamakan nikrosis tubular akut. Pada keadaan nikrosis tubular akut,
iskemik yang terjadi melebihi kemampuan autoregulasi ginjal, sehingga
ginjal tidak dapat mengatasi keadaan hipoperfusi yang terjadi. Tahapan
nikrosis tubular akut ada tiga yaitu:
1. Peningkatan Ca2+ intrasel yang menyebabkan cytoskeleton.
2. Peningkatan NO, caspase, dan mettalogroteinase serta defisiensi hiet
shock protein, akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel.
3. Obstruksi tubulus. Mikrovili tubulus proksimalis yang terlepas bersama
depris seluler yang akan membentuk substart yang akan menyumbat
tubulus (Sutjahjo, 2015).
c. Postrenal
Gagal ginjal akut (GGA) postrenal disebabkan oleh obstruksi intrarenal
dan ekstrarenal. Gagal ginjal akut (GGA) postrenal terjadi apabila obstruksi
pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal
dari obstruksi total ureter akut, terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan
peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh
prostaglandin. Pada fase kedua terjadi penurunan aliran darah ginjal
dibawah normal akibat pengaruh thromboxane. Fase ketiga ditandai oleh
aliran darah ginjal yang semakin menurun dan mulai terjadi pengeluaran
mediator inflamasi dan faktor pertumbuhan yang akan menyebabkan
fibroisis interstitial ginjal (Sutjahjo, 2015).

2.4.2 Patofisiologi (GGK)

Penyebab umum gagal ginjal kronik antara lain glomerulonephritis kronis,


diabetic nephropathly, hipertensi, penyakit renovaskuler, interstinal nephritis
kronis, penyakit ginjal tutunan, penyempitan saluran kemih berkepanjangan.
Kronologi terjadinya gagal ginjal kronik (GGK) dimulai pada fase awal
gangguan, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan penimbunan zat-zat
sisa pada ginjal. Gagal ginjal kronik (GGK) ditandai dengan adanya kerusakan
dan menurunnya nefron dengan kehilangan fungsi ginjal progresif sehingga
nefron sisa yang sehat akan mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron
yang tersisa akan meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, serta mengalami
hipertrofi. Semakin berkurangnya kerja dari nefron-nefron akan membentuk
jaringan parut dan aliran darah yang menuju ginjal semakin berkurang. Jika
jumlah nefron yang tidak berfungsi semakin meningkat, maka ginjal tidak
mampu untuk menyaring urin dengan baik. Pada tahap ini glomerulus akan
menjadi kaku dan plasma darah tidak dapat disaring dengan mudah melalui
tubulus sehingga akan terjadi kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium.
Pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) dapat terjadi edema di ektremitas seperti
kelopak mata dan kaki (Aisara, 2018).
Ketika kerusakan ginjal berlanjut bahkan sampai bertahun-tahun tidak
kunjung sembuh dan terjadi penurunan jumlah nefron yang masih berfungsi, laju
filtrasi glomerulus total akan menurun lebih banyak sehingga tubuh tidak
mampu mengeluarkan kelebihan air, garam, dan produk limbah lainnya melalui
ginjal. Ketika laju filtrasi glomerulus kurang dari 10-20 mL/min, tubuh akan
mengalami keracunan ureum. Jika penyakit tersebut tidak diatasi dengan dialysis
atau transplantasi ginjal, maka hasil akhir dari gagal ginjal kronik (GGK) adalah
uremia dan kematian (Aisara, 2018).

2.5 Klasifikasi

2.5.1 Klasifikasi (GGA)

Klasifikasi gagal ginjal akut (GGA) dengan kriteria RIFLE ialah terdiri
dari tiga kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan
LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal
(Triastuti, 2017).
Kategori Peningkatan Penurunan Laju Kriteria
Creatinin Serum Filtrasi Output Urine
(SCr) Glomerulus (UO)
(LFG)
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
<12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam
atau >4 mg/dL atau anuria >12
dengan kenaikan jam
akut >0,5 mg/dL
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
minggu.
End Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan
Stage
Tabel 1.1 Klasifikasi Gagal Ginjal Akut (Triastuti, 2017)

2.5.2 Klasifikasi (GGK)

Menurut Rahmawati (2017) berdasarkan derajat penurunan laju filtrasi


glomerulus, gagal ginjal kronik (GGK) dibagi menjadi 5 stadium yaitu:

1. Stadium 1
Kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal: GFR >90
ml/menit/1,73 m2
2. Stadium 2
Kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan: GFR 60-89
ml/menit/1,73 m2
3. Stadium 3
Kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal sedang: GFR 30-59
ml/menit/1,73 m2
4. Stadium 4
Kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal berat: GFR 15-29
ml/menit/1,73 m2
5. Stadium 5
Gagal ginjal: GFR <15 ml/menit/173 m2 atau sudah menjalani dinalysis

2.6 Manifestasi Klinis

2.6.1 Manifestasi Klinis (GGA)

Menurut salam (2006) dalam Wati dkk (2018) gejala klinis yang umum
terjadi pada penderita gagal ginjal akut (GGA) antara lain:

a. Mual muntah dan diare


b. Manifestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot dan kejang)
c. Kulit dan membrane mukosa kering akibat dehidrasi dan nafas mungkin
berbau urin (fetouremik)
d. Noreksia disebabkan karena akumulasi produk sisa nitrogen
e. Perubahan pengeluaran produksi urin sedikit dan dapat mengandung
darah
f. Kelemahan akibat anemia
g. Sakit atau nyeri pada tulang dan sendi akibat kehilangan kalsium dari
tulang
h. Hipertensi, peningkatan berat badan dan edema

2.6.2 Manifestasi Klinis (GGK)

Manifestasi klinik pada gagal ginjal kronik akan terjadi rangkaian


perubahan. Bila Glomerular Filtrasi Rate (GFR) menurun dari 5 - 10 % dari
keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita
Sindrome Uremik, yaitu suatu gejala kompleks yang diakibatkan atau berkaitan
dengan retensi metabolit nitrogen akibat gagal ginjal (Toto dan Majid, 2013).

Menurut Nuari (2017) pada awal terjadinya gagal ginjal kronik tidak
menunjukkan gejala penyakit yang jelas, akan tetapi saat fungsi ginjal telah
memburuk atau rusak hingga stadium gagal ginjal berat (kurang dari 25% dari
fungsi ginjal yang normal) maka akan menyebabkan uremia yang ditandai
dengan gejala sebaga berikut:

a. Jumlah kencing harian menurun (oliguria)


b. Kelelahan, anemia (wajah pucat)
c. Kehilangan nafsu makan, mual dan muntah
d. Kaki bengkak, lingkar perut semakin besar (edema tungkai/asites)
e. Hipertensi (tekanan darah tinggi)
f. Sesak nafas, menganatuk, tidak sadar, kejang, koma
g. Edema (pembengkakan pergelangan kaki atau kelopak mata).

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.7.1 Pemeriksaan Penunjang (GGA)

a. Keratinin dan BUN serum keduanya tinggi karena beratnya gagal


ginjal.

b. Klirens keratinin menunjukkan penyakit ginjal tahap akhir bila


berkurang s/d 90%.

c. Elektronik serum menunjukkan peningkatan kalium, fosfor, kalsium,


magnesium dan produk fasfor-kalsium dengan natrium serum rendah.
d. Gas darah arteri (GDA) menunjukkan asidosis metabolic (nilai PH,
kaderbikarbonat dan kelebihan basa dibawah rentang normal).

e. HB dan hematocrit dibawah rentang normal.

f. Jumlah sel darah merah dibawah rentang normal.

g. Kadar alkalin fosfat mungkin tinggi bila metabolisme tulang


dipengaruhi.

2.7.2 Pemeriksaan Penunjang (GGK)

a. Urea

Pemeriksaan Blood Urea Nitrogen (BUN) berfungsi untuk menilai


keseimbangan nitrogen, status pengaturan cairan tubuh, mengukur hasil
tes hemodialysis, dan menganalisia adanya penyakit ginjal. Nilai rujukan
ure nitrogen pada serum atau plasma adalah 20-30 mg/dL dan BUN 10-
20 mg/dL. Peningkatan kadar urea plasma karena retensi nitrogen akibat
gangguan fungsi ginjal dikenal sebagai azotemia (Verdiansyah, 2016).

b. Darah
Penilaian gagal ginjal kronik dengan gangguan yang serius dapat
dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium, seperti: kadar serum
sodium/natrium dan potassium/kalium, pH, kadar serum phosphor, kadar
Hb, hematocrit, kadar urea nitrogen dalam darah (BUN), serum dan
konsentrasi keratinin urin, urinalis. Hb: menurun ada adanya anemia.
1. Sedimen: sering menurun mengikuti peningkatan
kerapuhan/penurunan hidup.
2. pH: Asidosis metabolic (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena
penurunan kemam.
3. Puan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan hasil akhir metabolism.
4. BUN/keratinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya berganting pada tingkat katabolisme (pemecahan
protein), perfusi renal, dan masukkan protein. Serum keratinin
meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar keratinin serum
bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan
penyakit. Biasanya meningkat pada proporsi rasia 10:1.
5. Osmolalitas serum: lebih besar dari 285 mOsm/kg: sering sama
dengan urin.
6. Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolysis
sel darah merah).
7. Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
8. pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
9. Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat
10. Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urin, perpindahan cairan, penurunan
pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam amino
esensial (Doenge, 2000).
c.Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda pericarditis,
aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
Pemeriksaan ini menilai dan besar bentuk ginjal, tebal korteks ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih serta prostate.
d. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, intravenous pyelography, retrograde pyelography, renal
aretriografi dan venografi, CT Scan, MRI, renal Biopsi, pemeriksaaan
rintgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Beberapa
pemeriksaan radiologi yang bisa digunakan untuk mengetahui gangguan
fungsi ginjal antara lain:
1. Flat-Plat radiography/Radiographic keadaan gnjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan klasifikasi
dari ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil
yang mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
2. Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat
secara jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaannya dengan
memakai kontras atau tanpa kontras.
3. Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi
keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan
pada kasus gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma,
pembedahan, anomaly kongental, kelainan postat, calculi ginjal,
abses/batu ginjal, serta obstruksi saluran kencing.
4. Aortarenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri,
vena, dan kapiler pada ginjal dengan menggunakan kontras.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis,
aneurisma ginjal, artevenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk
vaskuler.
5. Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi
kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi
pada ginjal serta post transplantasi ginjal.
e. Biopsi Ginjal
Pemeriksaan biopsy ginjal ini menggunakan jarum untuk mengambil
sampel kecil dari jaringan ginjal dengan bantuan anastesi local dan
memeriksa jaringan dibawah mikroskop. Biopsi ginjal ini bisa digunakan
untuk mendiagnosa radang ginjal (Rini, 2016).
f. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi
darah arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri
femoralis, radialisis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang
telah diberi heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum
dilakukan uji laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada
penderita gagal ginjal akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolic
dengan nilai PO2 normal, PCO2 rendah, pH rendah, dan deficit basa
tinggi.
2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Penatalaksanaan (GGA)

Menurut Nuari dan Widiyati (2017) penatalaksanaan yang dapat


dilakukan ialah sebagai berikut:

a. Mempertahankan keseimbangan cairan


Koreksi keseimbangan cairan didasarkan pada BB harian, pengukuran
tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang masuk dan yang
keluar serta tekanan darah klien. Pemberian diuretik furosemide mencegah
reabsorpsi Na sehingga mengurangi metabolic sel tubulus ginjal serta
mengurangi masa oliguria.
b. Mempertahankan keseimbangan elektrolit
Pada hipernatremi dapat diatasi dengan pemberian infus glukosa 50% dan
insulin 10 U selama 5 menit dapat menurunkan kalium 1-2 mEq/L dalam 30-
60 menit. Pada hiperfosfatemia dapat dikendalikan dengan agen pengikat fosfat
(aluminium hidroksida). Agen ini mencegah peningkatan serum fosfat dengan
menurunkan absorpsi fosfat disaluran cerna. Dan pada hipokalsemia dapat
diatasi dengan pemberian preparat kalsium glukonas 10% IV.
c. Mempertimbangkan status nutrisi
Kebutuhan nutrisi di sesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya. Diet
protein dibatasi sampai 0,6 gr/KgBB/hr selama fase oliguria untuk menurunkan
pemercahan protein dan mencegah akumulasi produk toksik. Kebutuhan kalori
dipenuhi dengan pemberian diet tinggi karbohidrat, karena kebutuhan energi
dari pemecahan karbohidrat telah terpenuhi maka pemecahan protein tidak
akan terjadi dan intake kalium dan fosfat (Pisang, jeruk, kopi) dibatasi.
d. Mencegah dan memperbaiki infeksi terutama ditujukan pada infeksi saluran
nafas dan saluran kemih. Tanda infeksi menunjukkan adanya reaksi demam.
Perawatan/penggantian kateter dan pelepasan kateter harus sering dilakukan.
e. Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Perdarahan saluran
cerna dapat dideteksi dari kenaikan rasio ureum/keratinin disertai dengan
penurunan hemoglobin.
2.8.2 Penatalaksanaan (GGK)

1. Penatalaksanaan non farmakologi

a. Terapi konservatif

Terapi ini bertujuan untuk mencegah memburuknya fungsi ginjal


secara progresif, memperbaiki metabolism secara optimal, meringankan
keluhan akibat toksin azotemia dan memelihara kaseimbangan cairan
elektrolit. Berikut ini hal yang dapat dilakukan dengan terapi konservatif
yaitu:

1. Diet protein
Diet rendah protein dianjurkan untuk penderita gagal ginjal kronik
hal ini bertujuan mencegah atau mengurangi toksin azotemia.
Pembatasan asupan protein dalam makanan dapat mengurangi
timbulnya gejala anoreksia, mual, dan muntah. Asupan rendah
protein dapat mengurangi beban ekskresi ginjal sehingga
menurunkan terjadinya hiperfiltrasi glomerulus, intaglomerulus,
dan cedera sekunder pada nefron intak. Jumlah protein yang
diperbolehkan untuk dikonsumsi yaitu <0,6 g protein/kg/hari
dengan LFG<10 ml/menit (Pranandari, 2015).
2. Diet kalium
Diet kalium pada pasien gagal ginjal kronik dapat dilakukan
dengan cara diet rendah kalium dan tidak mengkonsumsi obat-
obatan yang mengandung kalium tinggi. Jumlah yang
diperbolehkan dalam diet kalium ini adalah 40-80 mEq/hari selain
itu dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung
kalium seperti sup, pisang, dan jus buah murni (Nuari, 2017).
3. Diet kalori
Untuk penderita gagal ginjal kronik untuk usia kurang dari 60
tahun dengan LFG <25 ml/menit dan tidak menjalani dialysis
yaitu 35 kkal/kg/hari. Sedangkan untuk usia lebih dari 60 tahun
yaitu 30-35 kkal/kg/hari (Nuari, 2017).
4. Kebutuhan cairan
Dalam memberikan asupana cairan pada pasien gagal ginjal
kronik membutuhkan regulasi yang hati-hati. Hal ini jika asupan
yang kurang dapat menyebabkan dehidrasi, hipotensi dan
pemburukan fungsi ginjal. Sedangkan asupan cairan yang
berlebihan dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edem
dan intoksikasi cairan. Pada pasien dialysis cairan yang
dibutuhkan untuk penambahan berat badan yaitu 0,9-1,3 kg2
(Nuari,2017).
Ketika terapi konservatif tidak bisa memperbaiki keadaan pasien
maka dapat dilakukan dengan menggunakan terapi pengganti ginjal
berupa:
a. Hemodialisis
Hemodialisis (cuci darah) merupakan proses pembuangan
sampah berlebih pada darah yang bertujuan untuk mengambil zat-
zat nitrogen yang beracun dalam tubuh dan mengeluarkan air
yang berlebihan. Hemodialisis ini menggunakan cara dengan
mengalirkan darah ke dalam tabung ginjal buatan (dialyzer) yang
terdiri dari 2 komparten yaitu, komparten darah dan komparten
dialisat yang berfungsi untuk membuang sisa-sia metabolism
berupa air, natrium, hydrogen, kalium, ure, keratinin dan zat-zat
lain. Terapi hemodialysis membutuhkan waktu 12-15 jam setiap
minggunya dan dilakukan sebanyak 3 kali dalam seminggu
selama 3-4 jam (Nuari, 2017).
Meskipun fungsi ginjal dapat diambil alih dengan
menggunakan mesin hemodialisi, akan tetapi terapi tersebut tidak
begitu diminati oleh masyarakat karena dapat menimbulkan
beberapa dampak atau mempengaruhi kualitas hidup pasien
seperti kesehatan fisik, psikologis, spiritual, dan faktor ekonomi
yang memerlukan sekitar Rp. 500.00 setiap kali terapi. Hal
tersebut yang membebani penderita maupun keluarganya (Nuari
dkk, 2013).
b. Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal (cuci darah lewat perut) merupakan
prosedur lain yang dapat digunakan untuk membuang produk
limbah dan mengeluarkan cairan yang berlebih dalam tubuh.
Keuntungan menggunakan dialysis peritoneal yaitu efisiensi
waktu atau dapat dilakukan sendiri dirumah tanpa membutuhkan
mesin hemodialysis, peralatan yang digunakan mudah dibawa
hanya berupa kantong cairan dialisat, dan dapat mengurangi
beban kerja jantung dan tekanan di dalam pembuluh darah. Akan
tetapi dialysis peritoneal juga memiliki resiko pada penderita
yang menjalaninya yaitu peningkatan berat badan. Hal ini karena
cairan dialisat mengandung gula yang disebut dengan dekstrosa.
Terserapnya cairan ini dalam tubuh yang berlebihan maka dapat
menyebabkan tubuh kelebihan kalori dan mengalami peningkatan
berat badan (Nuari, 2017).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan pengobatan yang dilakukan
pada pasien gagal ginjal kronik stadium akhir. Namun
transplantasi ginjal sulit dilakukan karena dipengaruhi oleh
jumlah ketersediaan ginjal. Sehingga hal ini dapat membatasi
transplantasi ginjal sebagai pengobatan yang dipilih oleh
penderita. (Nuari, 2017).
2. Penatalaksanaan Farmakologi
Penatalaksanaan untuk mengatasi komplikasi (Nuari, 2017):
a. Hipertensi diberikan dengan obat antihipertensi yaitu metidopa
(aldomet), propanol (Inderal), minoksisil (loniten), klonidin
(catapses), beta bloker dan prazonin (minipress).
b. Kelebihan cairan diberikan dengan diuretic yaitu flurosemid (Lasix),
bemutanid (bumex), torsemid dan metolazone (zaroxolon).
c. Hiperkalemia diatasi dengan kayezalate dan natrium polisteren
sulfunat.
d. Hiperurisemia diatasi dengan allopurino.
BAB III. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Pengkajian adalah proses yang terstruktur dan sistematis, mulai dari
pengumpulan data, verifikasi data, dan komunikasi data tentang klien. Pada fase
pengkajian ini terdapat 2 langkah yaitu pengumpulan data dari klien (sumber
primer) dan keluarga, tenaga kesehatan (sumber sekunder) serta analisa data untuk
diagnose keperawatan.
A. Identitas klien
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Pendidikan
Alamat
No. RM
Pekerjaan
Status perkawinan
Tanggal MRS
Tanggal pengkajian
Sumber informasi
Jam
B. Riwayat kesehatan
1. Diagnosa medic
Menjelaskan diagnose yang ditegakkan oleh dokter serta penjelasan
medis yang terkait.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang paling dirasakan oleh klien yang didapatkan
secara langsung dari pasien atau keluarga sehingga mengharuskan
klien untuk mencari pertolongan.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan kronologis mengenai peristiwa terkait penyakit klien yang
sekarang alami sejak klien mengalami keluhan utama sampai pasien
memutuskan untuk menemui petugas kesehatan.
4. Riwayat kesehatan terdahulu:
a. Penyakit yang pernah dialami
Riwayat yang pernah diderita: jenis, tindakan pengobatan,
perawatan yang diberikan, prognosis, hospitalisasi dll.
b. Alergi (obat, makanan, dll)
Semua jenis alergi baik dari makanan ataupun tidak serta efek
yang ditimbulkan dari alergi tersebut.
c. Kebiasaan/pola hidup
Kebiasaan klien setiap hari seperti makanan dan aktivitas yang
dilakukan.
d. Obat-obatan yang digunakan
Riwayat obat-obatan yang digunakan klien misalnya obat
antihipertensi bagi klien yang memiliki riwayat penyakit
hipertensi.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Mendeskripsikan tentang riwayat atau kondisi kesehatan yang terjadi
pada keluarga klien.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda-tanda vital
TD : mmHg
Nadi : x/menit
RR : x/menit
Suhu : O
C
2. Pemeriksaan Head To Toe
a. Kepala
Inspeksi : kepala simetris, perubahan distribusi rambut, dan kulit
kepala kering.
Palpasi : tidak adanya nyeri tekan, tidak teraba adanya benjolan
abnormal dibagian kepala.
b. Mata
Inspeksi: perhatikan terdapat edema periobita atau tidak,
eksoftalmus (mata menonjol), anemis atau tidak, kesulitan
memfokuskan mata dan perhatikan sebaran alis mata tebal atau
tipis.
Palpasi: tidak adanya nyeri tekan dan tidak teraba benjolan
abnormal pada kedua mata.
c. Telinga
Inspeksi: tidak adanya kelainan telinga
Palpasi: tidak adanya nyeri dan benjolan yang abnormal pada
telinga
d. Hidung
Inspeksi: kebersihan terjaga meliputi tidak terdapat kotoran pada
bagian luar ataupun dalam telinga
Palpasi: tidak adanya nyeri tekan pada hidung
e. Mulut
Inspeksi: mukosa mulut kering, tidak terdapat karang gigi, dan
lidah klien bersih.
f. Leher
Inspeksi: Leher simetris
Palpasi: tidak ada pembengkakan pada kelenjar tiroid dan
pembesaran vena jugularis
g. Dada
Pemeriksaan dada meliputi organ paru dan jantung, secara umum
bentuk dada tidak ada masalah, pergerakan nafas normal, krepitasi
dan dilihat saat dilakukan perkusi (bunyi perkusi sonor).
h. Abdomen
Inspeksi: keadaan kulit, bentuk perut,gerakan dinding perut dan
keadaan umbilicus serta adanya massa atau pembengkakan.
Palpasi: ketegangan otot, nyeri tekan pada bagian perut terasa
tergantug dengan perlukaan pada lambung, massa, keadaan hati,
ginjal, pemeriksaan ascites dan ketok ginjal.
Perkusi: tanda pembesaran organ, adanya udara dan cairan bebas,
penentuan batas dan tanda pembesaran hati.
Auskultasi: bising dan peristatik usus, bunyi gerakan cairan, dan
bising pembuluh darah.
i. Kulit dan kuku
Pemeriksaan warna kulit biasanya warna sesuai dengan warna
kulit normal. Selain itu kaji cacat kulit dan tugor kulit.
3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis atas respon pasien,
keluarga atau komunitas terhadap kesehatan dan proses kehidupan actual atau
potensial. Diagnosa keperawatan merupakan dasar atas pemilihan intervensi
keperawatan untuk mencapai hasil yang mana perawat bertanggung jawab dan
bertanggung gugat.
3.3 Intervensi Keperawatan
Menurut Doenges, dkk (2010) tahap ketiga dalam asuhan keperawatan yaitu
perencaan keperawatan. Pada tahap ini memberikan kesempatan kepada perawat,
klien, dan orang terdekat untuk mengatasi masalah yang ada pada klien dan
membuat prioritas urutan dari diagnose keperawatan. Unsur-unsur yang ada pada
tahap perencanaan sebagai berikut:
1. Memprioritaskan masalah, menentukan masalah apa yang memerlukan
perhatian
2. Merumuskan tujuan, yang akan ditetapkan, harus jelas, dapat diukur dan
realistis, menggunakan metode SMART (spesifik/berfkus pada klien,
meadurable/dapat diukur, reasonable/ sesuai dengan kenyataan dan time/
waktu).
3. Menentukan tindakan keperawatan, perawatan akan menerima pendapat
bebrapa alternative tindakan yang mungkin mengurangi bahkan
memecahkan suatu masalah.
4. Rasionalisasi, alasan dari adanya atau dilakukannya tindakan
keperawatan. Menentukan kriteria hasil sebagai tolak ukur keberhasilan
tindakan keperawatan.
3.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasikan intervensi
keperawatan. Implementasi keperawatan merupakan langkah keempat dari proses
keperawatan yang telah direncanakan oleh perawat untuk dikerjakan dalam rangka
membantu klien untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan dampak atau
respon yang ditimbulkan oleh masalah keperawatan dan kesehatan. Implementasi
keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan, dimana perawaat
melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan.
3.5 Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaan sudah berhasil dicapai. Evaluasi yang digunakan mencakup dua bagian
yaitu evaluasi proses (formatting) dan evaluasi hasil (sumatif). Ecaluasi proses
adalah yang dilaksanakan secara terus menerus terhadap tindakan yang telah
dilakukan, sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi tindakan secara keseluruhan
untuk menilai keberhasilan tindakan yang dilakukan untuk menggambarkan
perkembangan dalam mencapai sasaran yang telah ditentukan.
BAB IV. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Kasus
Seorang laki-laki berusia 64 tahun datang ke rumah sakit umum daerah
(RSUD) Jendral Ahmad Yani Metro dengan keluhan badan lemah, lesu, mual, dan
berkeringat dingin. Badan lemah ini telah dirasakan sejak 2 hari terakhir disertai
dengan mual, muntah, dan buang air besar (BAB) mencret sebanyak 5 kali. Klien
juga mengeluhkan mudah merasa lelah dan tidak sanggup beraktivitas berat. Klien
mengaku mempunyai riwayat penyakit darah tinggi dan meminum obat darah tinggi
jika ada keluhan saja, setelah keluhannya menghilang ia tidak meminumnya lagi.
Klien mengaku telah menjalani hemodialysis rutin selama 1 tahun terakhir. Klien
menyangkal mempunyai penyakit kencing manis (DM), muntah berdarah, BAB
berdarah, dan riwayat kecelakaan. Klien juga sering mendapat transfusi sebelum
hemodialysis, terdapat hipertensi namun tekanan darah terkontrol. Klien
mengatakan kedua orang tuanya memiliki riwayat penyakit hipertensi.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum klien tampak sakit sedang,
kesadaran komposmentis, TD 110/70mmHg, nadi 70 x/menit (regular, isi cukup),
pernafasan 16 x/menit (regular), suhu 37,5 OC, BB 50 kg, TB 158 cm, status gizi
cukup. Pada mata didapatkan konjungtiva anemis. Bising usus meningkat, tugor
kulit baik. Pemeriksaan laboratorium didapatkan b hemoglobin 7,8 gr/dl,
hematocrit 22,3 L%, eritrosit 2,48 x 106/uL, leukosit 21,8 x 103/uL, mean
corpuscular volume 90 fl, mean corpuscular hemoglobin 31,4 pg, ureum 276 mg/dl,
keratinin 10,5 mg/dl.
4.2 Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama : Tn. P
Umur : 64 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Lampung
Agama : Islam
Pendidikan :-
Status : Menikah
Tanggal MRS : 05 Oktober 2013
Tanggal pengkajian : 05 Oktober 2013
2. Alasan Masuk
Klien mengalami keluhan badan lemah, lesu, mual, dan berkeringan dingin.
3. Riwayat Kesehatan
a. Diagnosa Medik
Gagal ginjal kronik et causa glomerulonefritis kronis
b. Keluhan utama
Klien mengeluh mudah merasa lelah dan tidak sanggup beraktivitas
berat
c. Riwayat penyakit sekarang
Klien datang ke rumah sakit umum daerah (RSUD) dengan keluhan
badan lemah, lesu, mual, dan berkeringan dingin. Badan lemah ini telah
dirasakan sejak 2 hari terakhir disertai dengan mual, muntah, dan buang
air besar (BAB) mencret sebanyak 5 kali. Klien juga mengeluhkan
mudah merasa lelah dan tidak sanggup beraktivitas berat.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Klien mengaku mempunyai riwayat penyakit darah tinggi (hipertensi)
sejak 15 tahun yang lalu.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Klien mengatakan bahwa kedua orang tuanya memiliki riwayat
penyakit hipertensi.
4. Pemeriksaan fisik
a. Tingkat kesadaran : Compos mentis
b. Keadaan umum : Sedang
c. Tanda-tanda Vital :
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 70 x/menit
RR : 16 x/menit
Suhu: 37,5 OC
BB : 50 kg
TB : 158 cm
d. Pemeriksaan Head To Toe
1. Kepala
- Rambut
Bentuk kepala normal, tidak ada kelainan bentuk/kecacatan, tidak
ada lesi, rambut bersih berwarna hitan sedikit beruban. Tidak ada
nyeri tekan dan tidak terdapat benjolan.
- Mata
Bentuk mata normal, bersih, tidak ada lesi, konjungtiva tampak
anemis, sclera putih, respon terhadap cahaya normal dan tidak ada
nyeri dan benjolan.
- Hidung

Bentuk hidung normal, simetris, tidak ada lesi, tidak mengalami


masalah sensori, tidak ada nyeri tekan dan tidak ada edema.

- Telinga
Bentuk telinga normal, simetris kanan kiri, tidak ada gangguan
kongenital, bersih tidak menggunakan alat bantu dengar, tidak ada
nyeri tekan, dan tidak tidak ditemukan adanya edema.
- Mulut
Bentuk mulut normal simetris, warna bibir normal, sedikit kering,
tidak ada lesi, lidah sedikit pucat, tidak terlihat ada sariawan.
- Leher

Bentuk leher normal, tidak ada ruam kemerahan, tidak ada bekas
luka atau jejas.

2. Thorax
I: Bentuk dada normal, pengembangan dada simetris, tidak ada
retraksi pada dada, tidak ada lesi, tidak ada nyeri tekan dan tidak
ada luka
P: Tidak teraba pembengkakan, tidak ada nyeri tekan, pergerakan
dada teraba
P: Sonor
A: Suara nafas vaskuler, tidak ronchi
3. Abdomen
I: Bentuk datar, simetris dengan umbilicus, tidak ada lesi, tidak ada
tidak ada benjolan, tugor kulit baik, tidak ada distensi.
P: tidak teraba adanya pembengkakan
A: Bissing usus (+)
4. Genitalia
Tidak ada keluhan nyeri pada daerah kelamin dan tidak ada
kelainan pada genitalia.
5. Ekstermitas
Atas : Tidak bekas luka, warna kulit sawo matang, tidak ada lesi,
kuku bersih, tidak ada kelainan bentuk pada tangan, dapat
digerakkan secara bebas.
Bwah: Kaki kanan-kiri tampak normal, tidak ada luka jejas, tidak
ada kelainan bentuk, tidak ada nyeri tekan.
6. Integumen
Kulit sedikit kering, ascites tidak ada, tugor kulit baik, tidak ada
edema.
5. Pemeriksa Penunjang
a. Laboratorium
Hemoglobin : 7,8 gr/dl
Hematokrit : 22,3 L%
Eritrosit : 2,48 x 106/uL
Leukosit : 21,8 x 10 /uL
Ureum : 276 mg/dl
Keratinin : 10,5 mg/dl.
b. Penatalaksanaan
Rencana pengelolaan pada klien yaitu dengan non-medikamentosa
dengan bed rest dan diet ginjal berupa protein 0,6-0,8/kg BB/hari,
kalori: 30-35 kkal/kgBB. Penatalaksanaan medikamentosa dengan: O2
2-4 L/menit (bila sesak), infus ringer laktat tetesan V/mnt, hemodialisis,
transfusi packed red cell (PRC) 2 kolf, eritropoetin alfa 1x3000 IU/ml
intravena (IV), Ondansetron 2x8 mg IV, Ranitidin 2x50 mg IV,
Ceftriaxon 1x1 gr IV.
4.3 Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1. DS: Gagal ginjal Kronik Intoleransi Aktivitas b.d
1. Klien mengeluh ↓ keletihan d.d lemah dan
badan lemah, lesu, Penurunan fungsi ginjal lesu
mual, dan ↓
berkeringat dingin.
Penurunan produksi
2. Klien mengeluh
eritropoietin
mudah merasa lelah

dan tidak sanggup
Penurunan
untuk beraktivitas
pembentukan eritrosit
berat

DO:
Anemia
Klien tampak lemah,
pucat dan tidak mampu ↓
melakukan aktivitas Lemah dan lesu

Intoleransi Aktivitas
2. DS: Hipertensi Defisit pengetahuan b.d
Klien mengaku ↓ kurangnya informasi
mempunyai riwayat Gagal ginjal kronik mengenai proses
penyakit darah tinggi (GGK) penyakit, perawatan
dan meminum obat ↓ dan pengobatan
darah tinggi jika ada
Kurangnya informasi
keluhan saja, setelah

keluhannya menghilang
Defisit pengetahuan
ia tidak meminumnya
lagi.
DS:
Klien tampak tidak
mengetahui terkait
penyebab penyakit
gagal ginjal kronik yang
dialaminya

4.4 Diagnosa Keperawatan


a. Intoleransi Aktivitas b.d keletihan d.d lemah dan lesu
b. Defisit pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai proses penyakit,
perawatan dan pengobatan.
Glomerulonefritis
4.5 Pathway Selera makan Sensasi
Kerusakan glomerulus menurun muntah

Turunnya filtrasi glomerulus Mual


Pusing

Hambatan eliminasi urin Retensi urin Meningkatnya BUN dan serum Sekresi eritropietin Produksi Hb turun

Defisit pengetahuan Kurangnya informasi Gagal ginjal kronik (GGK) Suplai oksigen ke
jaringan turun
Penurunan produksi Protein bocor Peningkatan kadar
Ketidakefektifan
hormo eritropoietin keratinin dan BUN serum
Penurunan kadar albumin perfusi jaringan perifer
Penurunan Azotemia
Tekanan ekstra seluler dan
pembentukan eritrosit kapiler darah meningkat Pembedahan
Sindrom uremia
Anemia Luka insisi
Cairan merembes ke intersisial Efek pada kulit

Lemah dan lesu Pruritus Nyeri


Cairan merembes
ke intersisial Kerusakan Gg pola tidur
Intoleransi aktivitas integritas kulit
Edema

Kelebihan volume cairan


4.6 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi


1. Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1. Identifikasi adanya faktor yang
keletihan d.d lemah dan lesu 1x24 jam diharapkan aktivitas klien dapat menyebabkan kelelahan
meningkat dengan kriteria hasil: 2. Monitor akan adanya kelelahan fisik dan
1. Klien mampu berpartisipasi dalam emosi secara berlebihan
kegiatan sehari-sehari dari skala 2 ke 4. 3. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan
2. Klien mampu beraktifitas sehari-hari aktif
dengan normal. 4. Berikan aktivitas distraksi yang
menenangkan
5. Bantu klien .untuk mengidentifikasi
aktivitas yang mampu dilakukan
6. Monitor respon fisik terhadap aktivitas
7. Bantu klien untuk mengembangkan
motivasi diri dan penguatan
8. Kolaborasikan dengan Rehabilitasi Medik
terkait terapi yang tepat.
2. Defisit pengetahuan b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1. Kaji tingkat pengetahuan klien
kurangnya informasi 1x24 jam diharapkan klien dapat mengetahui 2. Identifikasi penyebab dengan cara yang
mengenai proses penyakit, proses penyakit, perawatan dan pengobatan tepat.
perawatan dan pengobatan dengan kriteria hasil: 3. Jelaskan terkait proses penyakit gagal
1. Klien dapat mengetahui proses penyakit, ginjal kronik beserta etiologinya.
perawatan dan pengobatan. 4. Bimbing klien untuk mempelajari dan
2. Klien mampu melaksanakan prosedur yang mampu menjelaskan kembali apa yang
dijelaskan secara benar. telah dijelaskan oleh perawat/tim
3. Klien mampu menjelaskan kembali apa kesehatan.
yang telah dijelaskan oleh perawat. 5. Diskusikan pilihan terapi atau
penanganan
6. Dukung klien untuk mengeksplorasikan
atau mendapatkan second opinion
(pendapat kedua) dengan cara yang tepat.
4.7 Implementasi
No. Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi Paraf
Dx
1. 05 Oktober 2013 1. Mengidentifikasi adanya faktor yang S: Klien mengatakan sudah mampu Is
menyebabkan kelelahan melakukan aktifitas walaupun masih
2. Memonitor akan adanya kelelahan fisik dan belum normal.
emosi secara berlebihan O: Klien terlihat mampu beraktifitas sedikit
3. Melakukan latihan rentang gerak pasif dan demi sedikit.
aktif A: Masalah terasi sebagian
4. Memberikan aktivitas distraksi yang P: Lanjutkan intervensi
menenangkan
5. Membantu klien .untuk mengidentifikasi
aktivitas yang mampu dilakukan
6. Memonitor respon fisik terhadap aktivitas
7. Membantu klien untuk mengembangkan
motivasi diri dan penguatan
8. Kolaborasikan dengan Rehabilitasi Medik
terkait terapi yang tepat.
2. 05 Oktober 2020 1. Mengkaji tingkat pengetahuan klien S: Klien mengatakan paham dengan Is
2. Mengidentifikasi penyebab dengan cara penjelasan yang dipaparkan
yang tepat. O: Klien menyadari tentak kesehatan yang
3. Menelaskan terkait proses penyakit gagal ada di dalam dirinya
ginjal kronik beserta etiologinya. A: Masalah teratasi
4. Membimbing klien untuk mempelajari dan P: Hentikan Intervensi
mampu menjelaskan kembali apa yang
telah dijelaskan oleh perawat/tim
kesehatan.
5. Mendiskusikan pilihan terapi atau
penanganan
6. Mendukung klien untuk
mengeksplorasikan atau mendapatkan
second opinion (pendapat kedua) dengan
cara yang tepat.
BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Gagal ginjal akut merupakan penimbunan sampah metabolic di dalam darah
atau urea akibat kemunduran yang cukup cepat dari kemampuan ginjal dalam
membersihkan darah dari racun (Wati, dkk, 2018). Gagal ginjal akut juga
merupakan suatu sindrom yang di tandai dengan penurunan fungsi ginjal
mendadak dengan akibat terjadinya penimbuhan hasil metabolik pesenyawaan
nitrogen seperti ureum, dan kreatinin. Dalam diagnosis gagal ginjal akut (GGA)
yaitu terjadinya peningkatan kadar kreatinin darah secara progesif 0,5 mg/dl per
hari.
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan perkembangan penyakit ginjal yang
progresif yang berlangsung lebih dari tiga bulan. Gagal ginjal kronik (GGK) ini
biasanya ditandai dengan adanya protein dalam urin, gangguan fungsi ginjal dan
penurunan laju filtrasi glomerulus. Gagal ginjal kronik biasanya terjadi secara tiba-
tiba dan pertumbuhannya lambat laun. Penyakit ini berlangsung lambat dan tidak
muncul hingga pasien menunjukkan gejala parah dan membahayakan
kesehatannya.
5.2 Saran
Pada kasus gagal ginjal kronik (GGK) ini disarankan melakukan 3 hal yaitu
perlu dilakukan dengan pencegahan dan terapi hemodialysis, dialysis, dan
pengganti ginjal. Sehingga perawat perlu memberikan intervensi serta
implementasi sesuai dengan diagnosis prioritas untuk mencegah keparahan.
DAFTAR PUSTAKA

Nuari, N. A., dan D. Widiyati. 2017. Gangguan Pada Sistem Perkemihan dan
Penatalaksanaan keperawatan. Yogyakarta: CV Budi Utama.

Nanda. 2018. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-2020. Edisi 11


Editor T Heather Herdman, Shigemi Komitsuru. Jakarta: EGC

Rahmawati, F. 2017. Aspek Laboratorium Gagal Ginjal Kronik Di Unit


Hemodialisis RSUD Wates Kulon Progo. Vol 11 (2): 316-320

Verdiansah, 2016. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. CKD-237. Vol 43(@): 148-154.

Indra, I. 2013. Anestesia pada Insufisiensi Renal. Idea Nursing Journal. 4(1): 69-
73.

Kemenkes Republik Indonesia. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. 9 Maret 2017.


Infodatin. Jakarta.

Sutjahjo, A. 2015. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga


University Press (AUP).

Syarifuddin. 2016. Anatomi Fisiologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk


Keperawatan dan Kebidanan. Edisi IV. Jakarta: EGC.

Triastuti, I. 2017. Acute Kidney Injury (AKI). Bali: Fakultas Kedokteran


Universitas Udayana.

Tri Damayanty S. Andi Tenriola. Dkk. 2016. Gambaran Angka Kejadian Gagal
Ginjal Kronik Di Ruang Perawatan Gelatik RS Bhayangkara Makassar.
Jurnal Keperawatan Mappa Oudang. Vol 1/2/2016.

Ika Agustin Putri Haryanti, Khairun Nisa. 2015. Terapi Konservatif dan Terapi
Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik.
Fakultas Kedokteran. Universitas lampung. Vol 4/7/2015.

Pahlevi A. Bachtiar M. 2013. Gagal Ginjal Kronik Et Causa Glomerulonefritis


Kronis Yang Disertai Gastroentritis. Fakultas Kedokteran. Universitas
Lampung. Vol 1/5/2013.

Anda mungkin juga menyukai