oleh:
Kelompok 12
Kelas D 2018
oleh:
Imraatul Istiqamah
NIM 182310101175
Kelas D 2018
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan Hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Pada Klien Gagal Ginjal Kronik”. Pembuatan makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Keperawatan Medikal. Dalam penulisan makalah ini kami
mengucapkan terimakasih kepada:
Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca demi
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
PRAKATA
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
2.2 Pengertian
2.3 Etiologi
2.4 Patofisiologi
2.5 Klasifikasi
2.8 Penatalaksanaan
3.1 Pengkajian
3.2 Diagnosa Keperawatan
3.3 Intervensi
3.4 Implementasi
3.5 Evaluasi
4.1 Kasus
4.2 Pengkajian
4.5 Pathway
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1 PENDAHULUAN
Masing-masing ginjal mempunyai panjang 11 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,5 cm,
dan berat ginjal pada perempuan 115-155 gram dan berat ginjal pada laki-laki 150-
170 gram. Ginjal memiliki bentuk seperti kacang, sisi dalmnya menghadap ke
vertebrata torakalis sedangkan sisi luarnya menghadap berbentuk cembung yang
disetiap masing-masing ginjal memliki kelenjar suprarenal yang berfungsi untuk
memproduksi hormon aldesteron. Dalam waktu 1 menit sekitar 20% darah manusia
mengalir melewati ginjal untuk dibersihkan. Darah mengalir melalui pembuluh
nadi (renal artery) masuk ke jaringan ginjal yang bercabang-cabang sampai
menjadi kapiler dan mencapai suatu bangunan yang dinamakan glomerulus.
c. Vaskularisasi Ginjal
Ginjal mendapat darah dari aorta abdominalis yang mempunyai percabangan
arteria renalis, yang berpasangan kiri dan kanan dan bercabang menjadi arteria
interlobularis kemudian menjadi arteri akuata. Arteri interlobularis yang berada
ditepi ginjal bercabang menjadi kapiler membentuk gumpalan yang disebut
glomerulus dan dikelilingi oleh alat yang disebut dengan simpai bownman.,
didalamnya terjadi penyadangan pertama dan kapiler darah yang meninggalkan
simpai bownman kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena kava inferior (Nuari
dan Widiyati, 2017).
2.2 Pengertian
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan salah satu kegagalan organ ganda
yang dapat memberikan perubahan dengan cepat pada proses keseimbangan
air, elektrolit, homesostatis asam basa (Indra, 2013). Gagal ginjal akut (GGA)
merupakan penimbunan sampak metabolic didalam darah atau urea akibat
kemunduran yang cukup cepat dari kemampuan ginjal dalam membersihkan
darah dari racun (Wati, dkk., 2018).
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan penurunan fungsi ginjal mendadak
dengan akibat hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan
homeostatis tubuh. Gagal ginjal akut juga merupakan suatu sindrom yang
di tandai dengan penurunan fungsi ginjal mendadak dengan akibat terjadinya
penimbuhan hasil metabolik pesenyawaan nitrogen seperti ureum, dan
kreatinin. Dalam diagnosis gagal ginjal akut (GGA) yaitu terjadinya
peningkatan kadar kreatinin darah secara progesif 0,5 mg/dl per hari.
Peningkatan kadar ureum darah adalah sekitar 10-20 mg/dl per hari kecuali bila
terjadi hiperkatabolisme dapat mencapai 100,0 mg/dl perhari (Andani,2010).
Penyakit gagal ginjal dikatakan gagal ginjal akut (GGA) apabila penyakit
berkembang sangat cepat terjadi dalam beberapa jam atau dalam beberapa hari.
Penyakit gagal ginjal kronik pada stadium akhir disebut dengan End
Stage Renal Disease (ESRD). Gagal ginjal kronik stadium akhir End Stage
Renal Disease (ESRD) dimana ginjal mengalami kerusakan fungsi ginjal yang
progresif dan tidak dapat pulih kembali, yaitu tubuh tidak mampu memelihara
metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang
berakibat peningkatan ureum. End Stage Renal Disease (ESRD) ditandai
dengan azotemia, uremia, dan sindrom uremik.
2.3 Etiologi
Gagal ginjal kronik terjadi ketika suatu penyakit atau kondisi yang
merusak fungsi ginjal sehingga dapat menyebabkan ginjal menjadi rusak
selama beberapa bulan atau tahun (Nuari, 2017). Penyakit gagal ginjal kronik
merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang bersifat progresif dan
irreversible karena berbagai penyebab diantaranya:
2.4 Patofisiologi
a. Prerenal
Gagal ginjal akut (GGA) prerenal adalah hipoperfusi ginjal.
Hipoperfusi dapat disebabkan oleh hipovelimia atau menurunnya volume
sirkulasi yang efektif (Sutjahjo, 2015). Penyebab umumnya juga dapat
terjadi akibat penurunan volume intravaskuler karena perdarahan, dehidrasi,
atau hilangnya cairan gastrointestinal. Hal ini menyebabkan terjadinya
penurunan aliran darah dan gangguan dalam mempertahankan tekanan
filtrasi intraglomerulus sehingga ginjal hanya menerima 25% dari curah
jantung (Sutjahjo, 2015).
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata <70 mmHg)
serta berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka mekanisme
otoregulasi akan terganggu. Dimana arteriol afferent mengalami otoregulasi
mengalami vasokontraksi serta terjadi peningkatan Na+ dan air. Otoregulasi
ginjal dapat dipengaruhi dari beberapa obat ACE/ARB, NSAID, terutama
pada pasien 60 tahun ke atas dengan kadar keratinin mg/dl sehingga dapat
terjadi gagal ginjal akut (GGA) prerenal (Sutjahjo, 2015).
b. Renal
Gagal ginjal akut (GGA) renal yaitu kelainannya berada pada ginjal
(glomerulus, tubulus , dan vascular dalam ginjal) yang disebabkan oleh
kelainan vaskuler seperti, vasculitis, hipertensi maligna, glomerulus, nefritis
interstitial akut (Sutjahjo, 2015). Pada keadaan iskemik, apabila keadaan
pada hipoperfusi pada ginjal ini terjadi berkepanjangan maka dapat terjadi
kerusakan struktur epitel di dalam tubulus. Sehingga dapat terjadi yang
dinamakan nikrosis tubular akut. Pada keadaan nikrosis tubular akut,
iskemik yang terjadi melebihi kemampuan autoregulasi ginjal, sehingga
ginjal tidak dapat mengatasi keadaan hipoperfusi yang terjadi. Tahapan
nikrosis tubular akut ada tiga yaitu:
1. Peningkatan Ca2+ intrasel yang menyebabkan cytoskeleton.
2. Peningkatan NO, caspase, dan mettalogroteinase serta defisiensi hiet
shock protein, akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel.
3. Obstruksi tubulus. Mikrovili tubulus proksimalis yang terlepas bersama
depris seluler yang akan membentuk substart yang akan menyumbat
tubulus (Sutjahjo, 2015).
c. Postrenal
Gagal ginjal akut (GGA) postrenal disebabkan oleh obstruksi intrarenal
dan ekstrarenal. Gagal ginjal akut (GGA) postrenal terjadi apabila obstruksi
pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal
dari obstruksi total ureter akut, terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan
peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh
prostaglandin. Pada fase kedua terjadi penurunan aliran darah ginjal
dibawah normal akibat pengaruh thromboxane. Fase ketiga ditandai oleh
aliran darah ginjal yang semakin menurun dan mulai terjadi pengeluaran
mediator inflamasi dan faktor pertumbuhan yang akan menyebabkan
fibroisis interstitial ginjal (Sutjahjo, 2015).
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal akut (GGA) dengan kriteria RIFLE ialah terdiri
dari tiga kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan
LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal
(Triastuti, 2017).
Kategori Peningkatan Penurunan Laju Kriteria
Creatinin Serum Filtrasi Output Urine
(SCr) Glomerulus (UO)
(LFG)
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
<12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam
atau >4 mg/dL atau anuria >12
dengan kenaikan jam
akut >0,5 mg/dL
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
minggu.
End Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan
Stage
Tabel 1.1 Klasifikasi Gagal Ginjal Akut (Triastuti, 2017)
1. Stadium 1
Kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal: GFR >90
ml/menit/1,73 m2
2. Stadium 2
Kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan: GFR 60-89
ml/menit/1,73 m2
3. Stadium 3
Kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal sedang: GFR 30-59
ml/menit/1,73 m2
4. Stadium 4
Kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal berat: GFR 15-29
ml/menit/1,73 m2
5. Stadium 5
Gagal ginjal: GFR <15 ml/menit/173 m2 atau sudah menjalani dinalysis
Menurut salam (2006) dalam Wati dkk (2018) gejala klinis yang umum
terjadi pada penderita gagal ginjal akut (GGA) antara lain:
Menurut Nuari (2017) pada awal terjadinya gagal ginjal kronik tidak
menunjukkan gejala penyakit yang jelas, akan tetapi saat fungsi ginjal telah
memburuk atau rusak hingga stadium gagal ginjal berat (kurang dari 25% dari
fungsi ginjal yang normal) maka akan menyebabkan uremia yang ditandai
dengan gejala sebaga berikut:
a. Urea
b. Darah
Penilaian gagal ginjal kronik dengan gangguan yang serius dapat
dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium, seperti: kadar serum
sodium/natrium dan potassium/kalium, pH, kadar serum phosphor, kadar
Hb, hematocrit, kadar urea nitrogen dalam darah (BUN), serum dan
konsentrasi keratinin urin, urinalis. Hb: menurun ada adanya anemia.
1. Sedimen: sering menurun mengikuti peningkatan
kerapuhan/penurunan hidup.
2. pH: Asidosis metabolic (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena
penurunan kemam.
3. Puan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan hasil akhir metabolism.
4. BUN/keratinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya berganting pada tingkat katabolisme (pemecahan
protein), perfusi renal, dan masukkan protein. Serum keratinin
meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar keratinin serum
bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan
penyakit. Biasanya meningkat pada proporsi rasia 10:1.
5. Osmolalitas serum: lebih besar dari 285 mOsm/kg: sering sama
dengan urin.
6. Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolysis
sel darah merah).
7. Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
8. pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
9. Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat
10. Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urin, perpindahan cairan, penurunan
pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam amino
esensial (Doenge, 2000).
c.Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda pericarditis,
aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
Pemeriksaan ini menilai dan besar bentuk ginjal, tebal korteks ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih serta prostate.
d. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, intravenous pyelography, retrograde pyelography, renal
aretriografi dan venografi, CT Scan, MRI, renal Biopsi, pemeriksaaan
rintgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Beberapa
pemeriksaan radiologi yang bisa digunakan untuk mengetahui gangguan
fungsi ginjal antara lain:
1. Flat-Plat radiography/Radiographic keadaan gnjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan klasifikasi
dari ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil
yang mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
2. Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat
secara jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaannya dengan
memakai kontras atau tanpa kontras.
3. Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi
keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan
pada kasus gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma,
pembedahan, anomaly kongental, kelainan postat, calculi ginjal,
abses/batu ginjal, serta obstruksi saluran kencing.
4. Aortarenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri,
vena, dan kapiler pada ginjal dengan menggunakan kontras.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis,
aneurisma ginjal, artevenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk
vaskuler.
5. Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi
kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi
pada ginjal serta post transplantasi ginjal.
e. Biopsi Ginjal
Pemeriksaan biopsy ginjal ini menggunakan jarum untuk mengambil
sampel kecil dari jaringan ginjal dengan bantuan anastesi local dan
memeriksa jaringan dibawah mikroskop. Biopsi ginjal ini bisa digunakan
untuk mendiagnosa radang ginjal (Rini, 2016).
f. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi
darah arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri
femoralis, radialisis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang
telah diberi heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum
dilakukan uji laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada
penderita gagal ginjal akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolic
dengan nilai PO2 normal, PCO2 rendah, pH rendah, dan deficit basa
tinggi.
2.8 Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
1. Diet protein
Diet rendah protein dianjurkan untuk penderita gagal ginjal kronik
hal ini bertujuan mencegah atau mengurangi toksin azotemia.
Pembatasan asupan protein dalam makanan dapat mengurangi
timbulnya gejala anoreksia, mual, dan muntah. Asupan rendah
protein dapat mengurangi beban ekskresi ginjal sehingga
menurunkan terjadinya hiperfiltrasi glomerulus, intaglomerulus,
dan cedera sekunder pada nefron intak. Jumlah protein yang
diperbolehkan untuk dikonsumsi yaitu <0,6 g protein/kg/hari
dengan LFG<10 ml/menit (Pranandari, 2015).
2. Diet kalium
Diet kalium pada pasien gagal ginjal kronik dapat dilakukan
dengan cara diet rendah kalium dan tidak mengkonsumsi obat-
obatan yang mengandung kalium tinggi. Jumlah yang
diperbolehkan dalam diet kalium ini adalah 40-80 mEq/hari selain
itu dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung
kalium seperti sup, pisang, dan jus buah murni (Nuari, 2017).
3. Diet kalori
Untuk penderita gagal ginjal kronik untuk usia kurang dari 60
tahun dengan LFG <25 ml/menit dan tidak menjalani dialysis
yaitu 35 kkal/kg/hari. Sedangkan untuk usia lebih dari 60 tahun
yaitu 30-35 kkal/kg/hari (Nuari, 2017).
4. Kebutuhan cairan
Dalam memberikan asupana cairan pada pasien gagal ginjal
kronik membutuhkan regulasi yang hati-hati. Hal ini jika asupan
yang kurang dapat menyebabkan dehidrasi, hipotensi dan
pemburukan fungsi ginjal. Sedangkan asupan cairan yang
berlebihan dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edem
dan intoksikasi cairan. Pada pasien dialysis cairan yang
dibutuhkan untuk penambahan berat badan yaitu 0,9-1,3 kg2
(Nuari,2017).
Ketika terapi konservatif tidak bisa memperbaiki keadaan pasien
maka dapat dilakukan dengan menggunakan terapi pengganti ginjal
berupa:
a. Hemodialisis
Hemodialisis (cuci darah) merupakan proses pembuangan
sampah berlebih pada darah yang bertujuan untuk mengambil zat-
zat nitrogen yang beracun dalam tubuh dan mengeluarkan air
yang berlebihan. Hemodialisis ini menggunakan cara dengan
mengalirkan darah ke dalam tabung ginjal buatan (dialyzer) yang
terdiri dari 2 komparten yaitu, komparten darah dan komparten
dialisat yang berfungsi untuk membuang sisa-sia metabolism
berupa air, natrium, hydrogen, kalium, ure, keratinin dan zat-zat
lain. Terapi hemodialysis membutuhkan waktu 12-15 jam setiap
minggunya dan dilakukan sebanyak 3 kali dalam seminggu
selama 3-4 jam (Nuari, 2017).
Meskipun fungsi ginjal dapat diambil alih dengan
menggunakan mesin hemodialisi, akan tetapi terapi tersebut tidak
begitu diminati oleh masyarakat karena dapat menimbulkan
beberapa dampak atau mempengaruhi kualitas hidup pasien
seperti kesehatan fisik, psikologis, spiritual, dan faktor ekonomi
yang memerlukan sekitar Rp. 500.00 setiap kali terapi. Hal
tersebut yang membebani penderita maupun keluarganya (Nuari
dkk, 2013).
b. Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal (cuci darah lewat perut) merupakan
prosedur lain yang dapat digunakan untuk membuang produk
limbah dan mengeluarkan cairan yang berlebih dalam tubuh.
Keuntungan menggunakan dialysis peritoneal yaitu efisiensi
waktu atau dapat dilakukan sendiri dirumah tanpa membutuhkan
mesin hemodialysis, peralatan yang digunakan mudah dibawa
hanya berupa kantong cairan dialisat, dan dapat mengurangi
beban kerja jantung dan tekanan di dalam pembuluh darah. Akan
tetapi dialysis peritoneal juga memiliki resiko pada penderita
yang menjalaninya yaitu peningkatan berat badan. Hal ini karena
cairan dialisat mengandung gula yang disebut dengan dekstrosa.
Terserapnya cairan ini dalam tubuh yang berlebihan maka dapat
menyebabkan tubuh kelebihan kalori dan mengalami peningkatan
berat badan (Nuari, 2017).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan pengobatan yang dilakukan
pada pasien gagal ginjal kronik stadium akhir. Namun
transplantasi ginjal sulit dilakukan karena dipengaruhi oleh
jumlah ketersediaan ginjal. Sehingga hal ini dapat membatasi
transplantasi ginjal sebagai pengobatan yang dipilih oleh
penderita. (Nuari, 2017).
2. Penatalaksanaan Farmakologi
Penatalaksanaan untuk mengatasi komplikasi (Nuari, 2017):
a. Hipertensi diberikan dengan obat antihipertensi yaitu metidopa
(aldomet), propanol (Inderal), minoksisil (loniten), klonidin
(catapses), beta bloker dan prazonin (minipress).
b. Kelebihan cairan diberikan dengan diuretic yaitu flurosemid (Lasix),
bemutanid (bumex), torsemid dan metolazone (zaroxolon).
c. Hiperkalemia diatasi dengan kayezalate dan natrium polisteren
sulfunat.
d. Hiperurisemia diatasi dengan allopurino.
BAB III. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Pengkajian adalah proses yang terstruktur dan sistematis, mulai dari
pengumpulan data, verifikasi data, dan komunikasi data tentang klien. Pada fase
pengkajian ini terdapat 2 langkah yaitu pengumpulan data dari klien (sumber
primer) dan keluarga, tenaga kesehatan (sumber sekunder) serta analisa data untuk
diagnose keperawatan.
A. Identitas klien
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Pendidikan
Alamat
No. RM
Pekerjaan
Status perkawinan
Tanggal MRS
Tanggal pengkajian
Sumber informasi
Jam
B. Riwayat kesehatan
1. Diagnosa medic
Menjelaskan diagnose yang ditegakkan oleh dokter serta penjelasan
medis yang terkait.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang paling dirasakan oleh klien yang didapatkan
secara langsung dari pasien atau keluarga sehingga mengharuskan
klien untuk mencari pertolongan.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan kronologis mengenai peristiwa terkait penyakit klien yang
sekarang alami sejak klien mengalami keluhan utama sampai pasien
memutuskan untuk menemui petugas kesehatan.
4. Riwayat kesehatan terdahulu:
a. Penyakit yang pernah dialami
Riwayat yang pernah diderita: jenis, tindakan pengobatan,
perawatan yang diberikan, prognosis, hospitalisasi dll.
b. Alergi (obat, makanan, dll)
Semua jenis alergi baik dari makanan ataupun tidak serta efek
yang ditimbulkan dari alergi tersebut.
c. Kebiasaan/pola hidup
Kebiasaan klien setiap hari seperti makanan dan aktivitas yang
dilakukan.
d. Obat-obatan yang digunakan
Riwayat obat-obatan yang digunakan klien misalnya obat
antihipertensi bagi klien yang memiliki riwayat penyakit
hipertensi.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Mendeskripsikan tentang riwayat atau kondisi kesehatan yang terjadi
pada keluarga klien.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda-tanda vital
TD : mmHg
Nadi : x/menit
RR : x/menit
Suhu : O
C
2. Pemeriksaan Head To Toe
a. Kepala
Inspeksi : kepala simetris, perubahan distribusi rambut, dan kulit
kepala kering.
Palpasi : tidak adanya nyeri tekan, tidak teraba adanya benjolan
abnormal dibagian kepala.
b. Mata
Inspeksi: perhatikan terdapat edema periobita atau tidak,
eksoftalmus (mata menonjol), anemis atau tidak, kesulitan
memfokuskan mata dan perhatikan sebaran alis mata tebal atau
tipis.
Palpasi: tidak adanya nyeri tekan dan tidak teraba benjolan
abnormal pada kedua mata.
c. Telinga
Inspeksi: tidak adanya kelainan telinga
Palpasi: tidak adanya nyeri dan benjolan yang abnormal pada
telinga
d. Hidung
Inspeksi: kebersihan terjaga meliputi tidak terdapat kotoran pada
bagian luar ataupun dalam telinga
Palpasi: tidak adanya nyeri tekan pada hidung
e. Mulut
Inspeksi: mukosa mulut kering, tidak terdapat karang gigi, dan
lidah klien bersih.
f. Leher
Inspeksi: Leher simetris
Palpasi: tidak ada pembengkakan pada kelenjar tiroid dan
pembesaran vena jugularis
g. Dada
Pemeriksaan dada meliputi organ paru dan jantung, secara umum
bentuk dada tidak ada masalah, pergerakan nafas normal, krepitasi
dan dilihat saat dilakukan perkusi (bunyi perkusi sonor).
h. Abdomen
Inspeksi: keadaan kulit, bentuk perut,gerakan dinding perut dan
keadaan umbilicus serta adanya massa atau pembengkakan.
Palpasi: ketegangan otot, nyeri tekan pada bagian perut terasa
tergantug dengan perlukaan pada lambung, massa, keadaan hati,
ginjal, pemeriksaan ascites dan ketok ginjal.
Perkusi: tanda pembesaran organ, adanya udara dan cairan bebas,
penentuan batas dan tanda pembesaran hati.
Auskultasi: bising dan peristatik usus, bunyi gerakan cairan, dan
bising pembuluh darah.
i. Kulit dan kuku
Pemeriksaan warna kulit biasanya warna sesuai dengan warna
kulit normal. Selain itu kaji cacat kulit dan tugor kulit.
3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis atas respon pasien,
keluarga atau komunitas terhadap kesehatan dan proses kehidupan actual atau
potensial. Diagnosa keperawatan merupakan dasar atas pemilihan intervensi
keperawatan untuk mencapai hasil yang mana perawat bertanggung jawab dan
bertanggung gugat.
3.3 Intervensi Keperawatan
Menurut Doenges, dkk (2010) tahap ketiga dalam asuhan keperawatan yaitu
perencaan keperawatan. Pada tahap ini memberikan kesempatan kepada perawat,
klien, dan orang terdekat untuk mengatasi masalah yang ada pada klien dan
membuat prioritas urutan dari diagnose keperawatan. Unsur-unsur yang ada pada
tahap perencanaan sebagai berikut:
1. Memprioritaskan masalah, menentukan masalah apa yang memerlukan
perhatian
2. Merumuskan tujuan, yang akan ditetapkan, harus jelas, dapat diukur dan
realistis, menggunakan metode SMART (spesifik/berfkus pada klien,
meadurable/dapat diukur, reasonable/ sesuai dengan kenyataan dan time/
waktu).
3. Menentukan tindakan keperawatan, perawatan akan menerima pendapat
bebrapa alternative tindakan yang mungkin mengurangi bahkan
memecahkan suatu masalah.
4. Rasionalisasi, alasan dari adanya atau dilakukannya tindakan
keperawatan. Menentukan kriteria hasil sebagai tolak ukur keberhasilan
tindakan keperawatan.
3.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasikan intervensi
keperawatan. Implementasi keperawatan merupakan langkah keempat dari proses
keperawatan yang telah direncanakan oleh perawat untuk dikerjakan dalam rangka
membantu klien untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan dampak atau
respon yang ditimbulkan oleh masalah keperawatan dan kesehatan. Implementasi
keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan, dimana perawaat
melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan.
3.5 Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaan sudah berhasil dicapai. Evaluasi yang digunakan mencakup dua bagian
yaitu evaluasi proses (formatting) dan evaluasi hasil (sumatif). Ecaluasi proses
adalah yang dilaksanakan secara terus menerus terhadap tindakan yang telah
dilakukan, sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi tindakan secara keseluruhan
untuk menilai keberhasilan tindakan yang dilakukan untuk menggambarkan
perkembangan dalam mencapai sasaran yang telah ditentukan.
BAB IV. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Kasus
Seorang laki-laki berusia 64 tahun datang ke rumah sakit umum daerah
(RSUD) Jendral Ahmad Yani Metro dengan keluhan badan lemah, lesu, mual, dan
berkeringat dingin. Badan lemah ini telah dirasakan sejak 2 hari terakhir disertai
dengan mual, muntah, dan buang air besar (BAB) mencret sebanyak 5 kali. Klien
juga mengeluhkan mudah merasa lelah dan tidak sanggup beraktivitas berat. Klien
mengaku mempunyai riwayat penyakit darah tinggi dan meminum obat darah tinggi
jika ada keluhan saja, setelah keluhannya menghilang ia tidak meminumnya lagi.
Klien mengaku telah menjalani hemodialysis rutin selama 1 tahun terakhir. Klien
menyangkal mempunyai penyakit kencing manis (DM), muntah berdarah, BAB
berdarah, dan riwayat kecelakaan. Klien juga sering mendapat transfusi sebelum
hemodialysis, terdapat hipertensi namun tekanan darah terkontrol. Klien
mengatakan kedua orang tuanya memiliki riwayat penyakit hipertensi.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum klien tampak sakit sedang,
kesadaran komposmentis, TD 110/70mmHg, nadi 70 x/menit (regular, isi cukup),
pernafasan 16 x/menit (regular), suhu 37,5 OC, BB 50 kg, TB 158 cm, status gizi
cukup. Pada mata didapatkan konjungtiva anemis. Bising usus meningkat, tugor
kulit baik. Pemeriksaan laboratorium didapatkan b hemoglobin 7,8 gr/dl,
hematocrit 22,3 L%, eritrosit 2,48 x 106/uL, leukosit 21,8 x 103/uL, mean
corpuscular volume 90 fl, mean corpuscular hemoglobin 31,4 pg, ureum 276 mg/dl,
keratinin 10,5 mg/dl.
4.2 Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama : Tn. P
Umur : 64 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Lampung
Agama : Islam
Pendidikan :-
Status : Menikah
Tanggal MRS : 05 Oktober 2013
Tanggal pengkajian : 05 Oktober 2013
2. Alasan Masuk
Klien mengalami keluhan badan lemah, lesu, mual, dan berkeringan dingin.
3. Riwayat Kesehatan
a. Diagnosa Medik
Gagal ginjal kronik et causa glomerulonefritis kronis
b. Keluhan utama
Klien mengeluh mudah merasa lelah dan tidak sanggup beraktivitas
berat
c. Riwayat penyakit sekarang
Klien datang ke rumah sakit umum daerah (RSUD) dengan keluhan
badan lemah, lesu, mual, dan berkeringan dingin. Badan lemah ini telah
dirasakan sejak 2 hari terakhir disertai dengan mual, muntah, dan buang
air besar (BAB) mencret sebanyak 5 kali. Klien juga mengeluhkan
mudah merasa lelah dan tidak sanggup beraktivitas berat.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Klien mengaku mempunyai riwayat penyakit darah tinggi (hipertensi)
sejak 15 tahun yang lalu.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Klien mengatakan bahwa kedua orang tuanya memiliki riwayat
penyakit hipertensi.
4. Pemeriksaan fisik
a. Tingkat kesadaran : Compos mentis
b. Keadaan umum : Sedang
c. Tanda-tanda Vital :
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 70 x/menit
RR : 16 x/menit
Suhu: 37,5 OC
BB : 50 kg
TB : 158 cm
d. Pemeriksaan Head To Toe
1. Kepala
- Rambut
Bentuk kepala normal, tidak ada kelainan bentuk/kecacatan, tidak
ada lesi, rambut bersih berwarna hitan sedikit beruban. Tidak ada
nyeri tekan dan tidak terdapat benjolan.
- Mata
Bentuk mata normal, bersih, tidak ada lesi, konjungtiva tampak
anemis, sclera putih, respon terhadap cahaya normal dan tidak ada
nyeri dan benjolan.
- Hidung
- Telinga
Bentuk telinga normal, simetris kanan kiri, tidak ada gangguan
kongenital, bersih tidak menggunakan alat bantu dengar, tidak ada
nyeri tekan, dan tidak tidak ditemukan adanya edema.
- Mulut
Bentuk mulut normal simetris, warna bibir normal, sedikit kering,
tidak ada lesi, lidah sedikit pucat, tidak terlihat ada sariawan.
- Leher
Bentuk leher normal, tidak ada ruam kemerahan, tidak ada bekas
luka atau jejas.
2. Thorax
I: Bentuk dada normal, pengembangan dada simetris, tidak ada
retraksi pada dada, tidak ada lesi, tidak ada nyeri tekan dan tidak
ada luka
P: Tidak teraba pembengkakan, tidak ada nyeri tekan, pergerakan
dada teraba
P: Sonor
A: Suara nafas vaskuler, tidak ronchi
3. Abdomen
I: Bentuk datar, simetris dengan umbilicus, tidak ada lesi, tidak ada
tidak ada benjolan, tugor kulit baik, tidak ada distensi.
P: tidak teraba adanya pembengkakan
A: Bissing usus (+)
4. Genitalia
Tidak ada keluhan nyeri pada daerah kelamin dan tidak ada
kelainan pada genitalia.
5. Ekstermitas
Atas : Tidak bekas luka, warna kulit sawo matang, tidak ada lesi,
kuku bersih, tidak ada kelainan bentuk pada tangan, dapat
digerakkan secara bebas.
Bwah: Kaki kanan-kiri tampak normal, tidak ada luka jejas, tidak
ada kelainan bentuk, tidak ada nyeri tekan.
6. Integumen
Kulit sedikit kering, ascites tidak ada, tugor kulit baik, tidak ada
edema.
5. Pemeriksa Penunjang
a. Laboratorium
Hemoglobin : 7,8 gr/dl
Hematokrit : 22,3 L%
Eritrosit : 2,48 x 106/uL
Leukosit : 21,8 x 10 /uL
Ureum : 276 mg/dl
Keratinin : 10,5 mg/dl.
b. Penatalaksanaan
Rencana pengelolaan pada klien yaitu dengan non-medikamentosa
dengan bed rest dan diet ginjal berupa protein 0,6-0,8/kg BB/hari,
kalori: 30-35 kkal/kgBB. Penatalaksanaan medikamentosa dengan: O2
2-4 L/menit (bila sesak), infus ringer laktat tetesan V/mnt, hemodialisis,
transfusi packed red cell (PRC) 2 kolf, eritropoetin alfa 1x3000 IU/ml
intravena (IV), Ondansetron 2x8 mg IV, Ranitidin 2x50 mg IV,
Ceftriaxon 1x1 gr IV.
4.3 Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1. DS: Gagal ginjal Kronik Intoleransi Aktivitas b.d
1. Klien mengeluh ↓ keletihan d.d lemah dan
badan lemah, lesu, Penurunan fungsi ginjal lesu
mual, dan ↓
berkeringat dingin.
Penurunan produksi
2. Klien mengeluh
eritropoietin
mudah merasa lelah
↓
dan tidak sanggup
Penurunan
untuk beraktivitas
pembentukan eritrosit
berat
↓
DO:
Anemia
Klien tampak lemah,
pucat dan tidak mampu ↓
melakukan aktivitas Lemah dan lesu
↓
Intoleransi Aktivitas
2. DS: Hipertensi Defisit pengetahuan b.d
Klien mengaku ↓ kurangnya informasi
mempunyai riwayat Gagal ginjal kronik mengenai proses
penyakit darah tinggi (GGK) penyakit, perawatan
dan meminum obat ↓ dan pengobatan
darah tinggi jika ada
Kurangnya informasi
keluhan saja, setelah
↓
keluhannya menghilang
Defisit pengetahuan
ia tidak meminumnya
lagi.
DS:
Klien tampak tidak
mengetahui terkait
penyebab penyakit
gagal ginjal kronik yang
dialaminya
Hambatan eliminasi urin Retensi urin Meningkatnya BUN dan serum Sekresi eritropietin Produksi Hb turun
Defisit pengetahuan Kurangnya informasi Gagal ginjal kronik (GGK) Suplai oksigen ke
jaringan turun
Penurunan produksi Protein bocor Peningkatan kadar
Ketidakefektifan
hormo eritropoietin keratinin dan BUN serum
Penurunan kadar albumin perfusi jaringan perifer
Penurunan Azotemia
Tekanan ekstra seluler dan
pembentukan eritrosit kapiler darah meningkat Pembedahan
Sindrom uremia
Anemia Luka insisi
Cairan merembes ke intersisial Efek pada kulit
5.1 Kesimpulan
Gagal ginjal akut merupakan penimbunan sampah metabolic di dalam darah
atau urea akibat kemunduran yang cukup cepat dari kemampuan ginjal dalam
membersihkan darah dari racun (Wati, dkk, 2018). Gagal ginjal akut juga
merupakan suatu sindrom yang di tandai dengan penurunan fungsi ginjal
mendadak dengan akibat terjadinya penimbuhan hasil metabolik pesenyawaan
nitrogen seperti ureum, dan kreatinin. Dalam diagnosis gagal ginjal akut (GGA)
yaitu terjadinya peningkatan kadar kreatinin darah secara progesif 0,5 mg/dl per
hari.
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan perkembangan penyakit ginjal yang
progresif yang berlangsung lebih dari tiga bulan. Gagal ginjal kronik (GGK) ini
biasanya ditandai dengan adanya protein dalam urin, gangguan fungsi ginjal dan
penurunan laju filtrasi glomerulus. Gagal ginjal kronik biasanya terjadi secara tiba-
tiba dan pertumbuhannya lambat laun. Penyakit ini berlangsung lambat dan tidak
muncul hingga pasien menunjukkan gejala parah dan membahayakan
kesehatannya.
5.2 Saran
Pada kasus gagal ginjal kronik (GGK) ini disarankan melakukan 3 hal yaitu
perlu dilakukan dengan pencegahan dan terapi hemodialysis, dialysis, dan
pengganti ginjal. Sehingga perawat perlu memberikan intervensi serta
implementasi sesuai dengan diagnosis prioritas untuk mencegah keparahan.
DAFTAR PUSTAKA
Nuari, N. A., dan D. Widiyati. 2017. Gangguan Pada Sistem Perkemihan dan
Penatalaksanaan keperawatan. Yogyakarta: CV Budi Utama.
Indra, I. 2013. Anestesia pada Insufisiensi Renal. Idea Nursing Journal. 4(1): 69-
73.
Tri Damayanty S. Andi Tenriola. Dkk. 2016. Gambaran Angka Kejadian Gagal
Ginjal Kronik Di Ruang Perawatan Gelatik RS Bhayangkara Makassar.
Jurnal Keperawatan Mappa Oudang. Vol 1/2/2016.
Ika Agustin Putri Haryanti, Khairun Nisa. 2015. Terapi Konservatif dan Terapi
Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik.
Fakultas Kedokteran. Universitas lampung. Vol 4/7/2015.