Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II


PENYAKIT GINJAL KRONIK (PGK)

Dosen Pembimbing : Ainul Yaqin Salam S.Kep.Ns.,M.Kep

Disusun Oleh :

Kelompok 2

1. Maimunah (14201.11.19024)
2. Nandini Nursyamsiana (14201.11.19033)
3. Nita Damayanti (14201.11.19034)
4. Nur Aulia Utami (14201.11.19037)
5. Siti Romlah (14201.11.19047)

PRODI SARJANA KEPERAWATAN

STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN GENGGONG

PADJARAKAN-PROBOLINGGO

2021 – 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
sehingga makalah dengan judul “PENYAKIT GINJAL KRONIK (PGK)” ini
dapat diselesaikan tepat waktu. Semoga shalawat serta salam tercurah limpahkan
kepada Nabi kita Muhammad SAW, juga segenap keluarga, dan para sahabatnya.

Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:


1. KH. Muhammad Hasan Mutawakkil Alallah, SH, MM. selaku
Pembina Yayasan Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan Probolinggo.
2. Dr. H. Nur Hamim, S.KM., S.Kep.Ns., M.Kes selaku Ketuan STIKes
Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan Probolinggo.
3. Ibu Shinta Wahyusari, S.Kep.Ns., M.Kep, Sp.Kep.Mat selaku Kepala
Prodi Sarjana Keperawatan STIKes Hafshawaty Pesantren Zainul
Hasan Probolinggo.
4. Bapak Ainul Yaqin Salam S.Kep.Ns.,M.Kep selaku Dosen Mata
Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II
5. Orang tua selaku pemberi dukungan moral dan material.
6. Rekan – rekan STIKes Hafshawaty Zainul Hasan Genggong STIKes
Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo semester
V.

Karena tanpa dukungan dan bimbingan beliau makalah ini tidak akan
terselesaikan. Seiring doa semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada
saya mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Harapan penulis,
semoga makalah ini dapat bermanfaat baik untuk diri sendiri dan para pembaca
untuk dijadikan referensi.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.

Probolinggo, 21 Agustus 2021

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan gangguan pada ginjal. Penyakit
ini ditandai dengan abnormalitas struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung
lebih dari tiga bulan. Penyakit ginjaL kronik ditandai dengan satu atau lebih
tanda kerusakan ginjal yang meliputi albuminuria, abnormalitas pada
elektrolit, struktur ginjal, histologi, sedimen urin, ataupun riwayat
transplantasi ginjal. Selain itu juga disertai penurunan laju fltrasi glomerulus.
Ginjal merupakan bagian tubuh yang kompleks baik secara struktur
maupun fungsi. Fungsi ginjal dapat diukur melalui laju filtrasi glomerulus
(GFR), yang dilakukan dengan pengukuran creatinine clearance berdasarkan
nilai serum kreatinin. Penurunan nilai GFR dapat mengindikasikan adanya
gangguan fungsi ginjal (Cartet-Farnier dkk., 2017).
Penyebab PGK adalah penyakit glomerulonephritis, infeksi kronis,
kelainan kongenital, penyakit vaskuler, obstruksi saluran kemih, obat-obatan
nefrotoksik (Robinson, 2013 dalam Prabowo & Pranata, 2014).
Pasien penyakit ginjal kronik mempunyai karakteristik bersifat menetap,
tidak bisa sembuh, dan memerlukan pengobatan berupa transplantasi ginjal,
dialysis peritoneal, hemodialisa, dan rawat jalan dalam jangka yang lama
(Black & Hawk., 2014).
Angka kejadian PGK menurut Hill et al (2016) berdasarkan hasil dari
systemic review dan metaanalysis yang telah dilakukannya didapatkan
prevalensi di dunia PGK sebesar 13,4%. Di Indonesia menurut Riskesdas
tahun 2013 terdapat 0,2% penderita terdiagnosis PGK karena di Indonesia
sebagian besar baru diketahui pada tahap lanjut dan akhir oleh sebab itu
angkanya lebih rendah daripada negara lain. Sementara itu, provinsi Jawa
Timur sebesar 0,3% penderita PGK sehingga menduduki peringkat ke-5 di
Indonesia dan angka kejadian di Indonesia meningkat pada umur 35-75 tahun
ke atas dan paling tinggi pada umur 75 tahun ke atas daripada pada kelompok
umur 25-34 tahun (InfoDATIN, 2017). Pada tahun 2016 menurut Indonesian
Renal Registry terdapat 78.281 pasien yang menjalani hemodialisa dan pada
tahun 2017 meningkat menjadi 108.723 pasien (IRR, 2017).
Perawat dalam menjalankan perannya sebagai pemberi asuhan
keperawatan yang komprehensif pada klien dengan masalah resiko gangguan
integritas kulit yaitu untuk mencegah terjadinya kerusakan. Salah satu
tindakan keperawatan yang dapat dilakukan yaitu dengan menjaga
kelembapan kulit agar tidak kering dengan memberikan pelembab dan
memberikan KIE tentang penyebab munculnya masalah kulit akibat PGK.
Berdasarkan masalah diatas maka penulis tertarik untuk membuat makalah
dengan judul Penyakit Ginjal Kronik (PGK) sehingga nantinya dapat
memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang definisi, penyebab, tanda
dan gejala, pemeriksaan, tindakan yang harus dilakukan, dan komplikasi dari
Penyakit Ginjal Kronik (PGK).
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat mengambil
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang di maksud Penyakit Ginjal Kronik?
2. Apa penyebab Penyakit Ginjal Kronik?
3. Apa tanda dan gejala Penyakit Ginjal Kronik?
4. Bagaimana diagnosis dan tindakan keperawatan Penyakit Ginjal
Kronik?
5. Bagaimana farmakologi Penyakit Ginjal Kronik?
6. Bagaimana diet nutrisi Penyakit Ginjal Kronik?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang Penyakit Ginjal Kronik?
8. Bagaimana ASKEP teori Penyakit Ginjal Kronik?
9. Bagaimana aspek legal etik keperawatan?
10. Bagaimana fungsi advokasi keperawatan?
11. Bagaimana health education Penyakit Ginjal Kronik?
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT
A. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas maka makalah ini memiliki tujuan sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari Penyakit Ginjal
Kronik.
2. Untuk mengetahui penyebab dari Penyakit Ginjal Kronik.
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari Penyakit Ginjal Kronik.
4. Untuk mengetahui dan memahami diagnosis dan tindakan keperawatan
dari Penyakit Ginjal Kronik.
5. Untuk mengetahui dan memahami farmakologi dari Penyakit Ginjal
Kronik.
6. Untuk mengetahui dan memahami diet nutrisi dari Penyakit Ginjal
Kronik.
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari Penyakit Ginjal
Kronik.
8. Untuk memahami ASKEP teori dari Penyakit Ginjal Kronik.
9. Untuk memahami aspek legal etis keperawatan.
10. Untuk memahami fungsi advokasi keperawatan,
11. Untuk mengetahui dan memahami health education dari Penyakit
Ginjal Kronik.
B. Manfaat
1. Bagi Institusi Pendidikan
Agar mengetahui sejauh mana kemampuan mahasiswa dalam
memahami Penyakit Ginjal Kronik. Serta sebagai bahan mata ajar
dalam proses belajar mengajar di Institusi
2. Tenaga Kesehatan (Perawat)
Agar mengetahui tentang Penyakit Ginjal Kronik, sehingga dapat
mengaplikasikannya dalam dunia kerja, sehingga dapat meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan di masyarakat.
3. Mahasiswa
Menambah wawasan teori kepada mahasiswa tentang Penyakit Ginjal
Kronik.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Penyakit Ginjal Kronik(PGK) atau Gagal Ginjal Kronik(GGK) adalah
kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta
keseimbangan caran dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang
progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolic (toksik uremik) di
dalam darah (Arif Muttaqin, 2014).
Penyakit ginjal kronik adalah gangguan fungsi pada ginjal yang bersifat
progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu
memelihara metabolisme, keseimbangan cairan, dan elektrolit yang berakibat
pada peningkatan ureum (Purwanto, 2016 dalam Riana, 2021). Penyakit
ginjal kronik adalah ginjal kehilangan kemampuan dalam mempertahankan
volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan normal dengan oliguria
(penurunan jumlah berkemih) <400ml/24 jam (Tarwoto & Wartonah, 2015
dalam Riana, 2021).

2.2 Etiologi
Begitu banyak konsisi klinis yang bisa menyebabakan terjadinya gagal ginjal
kronis. Akan tetapi apapun sebabnya, respons yang terjadi adalah penurunan
fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan dan
mengakibatkan GGK bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan diluar ginjal.
(Arif Muttaqin, 2014).
1. Penyakit dari ginjal
a. Penyakit pada saringan (glomerulus): glomerulonephritis.
b. Infeksi kuman: pyelonephritis, ureteritis.
c. Batu ginjal: nefrolitiasis
d. Kista di ginjal: polcystis kidney
e. Trauma langsung pada ginjal.
f. Keganasan pada ginjal.
g. Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/ striktur.
2. Penyakit umum di luar ginjal
a. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi.
b. Dyslipidemia.
c. SLE.
d. Infeksi di badan: TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis.
e. Preeklamsi.
f. Obat-obatan.
g. Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar).

Menurut (Lemone, Burke, & Bauldoff, 2016 dalam Riski &Yuanita,


2019) etiologi gagal ginjal kronik adalah:

1. Nefrosklerosis hipertensi
2. Nefropati diabetic
3. Pielonefritis kronik
4. Glomerulonefritis kronik
5. Eritematosa lupus sistemik
6. Penyakit ginjal polisistik

2.3 Tanda dan gejala


Manifestasi klinik gagal ginjal kronik menurut Baradero, Dayrit, &
Siswadi (2009) dan Kowalak, Welsh, & Mayer (2017) yaitu:
1. Sistem hematopoietic
Anemia (cepat lelah) dikarenakan eritropoietin menurun,
trombositopenia dikarenakan adanya perdarahan, ekimosis
dikarenakan trombositopenia ringan, perdarahan dikarenakan
koagulapati dan kegiatan trombosit menurun.
2. Sistem kardiovaskular
Hipervolemia dikarenakan retensi natrium, hipertensi dikarenakan
kelebihan muatan cairan, takikardia, disritmia dikarenakan
hiperkalemia, gagal jantung kongestif dikarenakan hipertensi kronik,
perikarditis dikarenakan toksin uremik dalam cairan pericardium.
3. Sistem pernafasan
Takipnea, pernapasan kussmaul, halitosis uremik atau fetor,
sputum yang lengket, batuk disertai nyeri, suhu tubuh meningkat, hilar
pneumonitis, pleural friction rub, edema paru.
4. Sistem gastrointestinal
Anoreksia, mual dan muntah dikarenakan hiponatremia,
perdarahan gastrointestinal, distensi abdomen, diare dan konstipasi.
5. Sistem neurologi
Perubahan tingkat kesadaran (letargi, bingung, stupor, dan koma)
dikarenakan hiponatremia dan penumpukan zatzat toksik, kejang, tidur
terganggu, asteriksis.
6. Sistem skeletal
Osteodistrofi ginjal, rickets ginjal, nyeri sendi dikarenakan
ketidakseimbangan kalsium-fosfor dan ketidakseimbangan hormon
paratiroid yang ditimbulkan.
7. Kulit
Pucat dikarenakan anemia, pigmentasi, pruritus dikarenakan
uremic frost, ekimosis, lecet.
8. Sistem perkemihan
Haluaran urine berkurang, berat jenis urine menurun, proteinuria,
fragmen dan sel urine, natrium dalam urine berkurang semuanya
dikarenakan kerusakan nefron.
9. Sistem reproduksi
Interfilitas dikarenakan abnormalitas hormonal, libido menurun,
disfungsi ereksi, amenorea.

2.4 Farmakologi
1. Ranitidin
Ranitidin merupakan obat golongan antagonis reseptor H2
(H2RAs) yang direkomendasikan untuk dilakukan penyesuaian dosis
saat diberikan pada pasien dengan penurunan klirens kreatinin (GFR).
Dosis ranitidin yang direkomendasikan sebesar 50-100% dosis normal
untuk pemakaian oral dan 50 mg tiap 12 jam untuk pemakaian
intravena. Penelitian lain menyebutkan bahwa waktu paruh ranitidin
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal meningkat menjadi 7,3 jam
yaitu setara dengan 2,4 kali waktu paruh ranitidin pada pasien dengan
fungsi ginjal normal. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan
eliminasi ranitidin pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, yang
berisiko meningkatkan efek samping obat yang tidak diharapkan.
2. Ketorolak
Ketorolak termasuk obat golongan NSAIDs yang bekerja
menghambat prostaglandin, dimana obat-obat tersebut dilaporkan
menyebabkan nefrotoksisitas. Penggunaan ketorolak tanpa
penyesuaian dosis pada pasien CKD dapat meningkatkan risiko efek
obat yang tidak diinginkan antara lain perdarahan pada saluran
pencernaan, peningkatan frekuensi kemih, oliguria, gagal ginjal akut,
hiponatremi, hiperkalemi serta meningkatkan ureum dan kreatinin
serum (Ashley, 2018). Efek samping obat yang tidak diinginkan tidak
ditemukan pada pasien yang mendapatkan ketorolak dalam penelitian
ini.
3. Sukralfat
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, sukralfat harus
digunakan dengan hatihati karena adanya kandungan aluminium yang
terabsorbsi dan terakumulasi. Pada pasien CKD dengan hemodialisis,
sukralfat hanya boleh digunakan dalam periode singkat karena
aluminium yang terabsorbsi dapat terikat dengan protein plasma dan
tidak dapat terdialisis (Ashley, 2018). Oleh karena itu, pasien dengan
gagal ginjal atau insufisiensi ginjal yang menjalani terapi sukralfat
jangka panjang harus mendapatkan pengawasan terkait tanda-tanda
toksisitas aluminium. Efek samping sukralfat seperti konstipasi dan
insomnia ditemukan pada beberapa pasien.
4. Levofloxacin
Levofloxacin merupakan antibiotik golongan floroquinolon
generasi ke-3. Farmakokinetik obat golongan ini menunjukan adanya
eliminasi obat yang signifikan melalui ginjal. Pada pasien dengan
CKD, proses eliminasi tersebut dapat berkurang sehingga
memungkinkan terjadinya akumulasi obat dalam darah yang dapat
memicu terjadinya efek samping obat yang tidak diinginkan.

2.5 Diet nutrisi


Salah satu pola diet yang dianjurkan untuk penyakit ginjal kronik adalah
meningkatkan konsumsi buah dan sayur secara adekuat yakni ≥6 potong buah
perminggu dan ≥3 sajian sayur per hari (Inne Dame, 2020). Berdasarkan
Australia KHA-CARI, penderita ginjal kronik sebaiknya mengkonsumsi diet
seimbang dengan meningkatkan intake buah dan sayur. Berdasarkan
penelitian, anjuran ini berguna untuk menunda progresifitas penyakit ginjal
kronik dan memperbaiki ketahanan pasien stadium 3 dan 4 sebanyak 65%.
Selain itu, pembatasan konsumsi alkohol, cemilan, natrium, peningkatan
konsumsi gandum, modifikasi penyajian makanan yang sehat (rebus, kukus)
dapat menurunkan angka mortalitas, penundaan inisiasi dialisis.
Beberapa tahun belakangan, pola diet plant based pada penderta penyakit
ginjal kronik sangat dianjurkan karena dapat menunda progresifitas penyakit,
memelihara endotelium, membantu mengontrol tekanan darah dan
menurunkan proteinuria. Intinya pola vegertarian juga dapat menjauhkan
komplikasi. Diet ini dapat menstimulasi produksi bakteri butyrate yang
berdampak positif bagi sistem pencernaan. Bakteri ini
sangat bermanfaat untuk kesehatan sel epitel juga sebagai prebiotik. Alasan
inilah yang menjadikan bahwa produk nabati dianjurkan bagi penderita ginjal
kronik (Gluba-brz, Franczyk, & Rysz, 2017). Selain itu, plantbased dapat
memperbaiki nilai lipid, mencegah inflamasi serta menurunkan nilai serum
ureum yang berhubungan dengan peningkatan ekskresi nitrogen intestinal.
Efektifitas diet tinggi serat juga telah diteliti yakni dapat menurunkan
BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin secara signifikan
(Sabatino, 2017). Adapun jumlah serat yang dianjurkan untuk penderita ginjal
kronik adalah 20-30 gram (KDOQI Guidelines on Dyslipidemia in CKD) atau
40-45% dari total kalori sebaiknya berasal dari gandum atau biji-bijian
(KDIGO clinical Practice Guidelines for Diabetes and CKD). biasanya ini
didapatkan dari roti, sereal, beras yang penting sebagai promotor metabolisme
tubuh. Gandum utuh adalah contoh bahan terbaik yang dapat menurunkan
kadar kolesterol dan modulasi gula darah (Chan, Kelly, & Tapsell, 2020).
Protein merupakan senyawa kompleks yang terdiri dari makromolekul
berisi asam amino yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk mencegah
terjadinya asidosis (Türk et al., 2018). Berdasarkan penelitian, protein
merupakan komponen inti pengaturan diet bagi penderita penyakit ginjal
kronik karena sangat mempengaruhi fungsi ginjal. Namun jumlah asupan
batasan diet ini sering menjaadi kontroversi karena menimbulkan masalah
lain yaitu malnutrisi energi akibat tidak tercukupinya kebutuhan akan protein
harian(Alessandro et al., 2016).
Kebutuhan protein pada orang normal dan penderita penyakit ginjal kronik
tentu sangat berbeda. Hal ini diakibatkan fungsi ginjal yang menurun
sehingga tidak dapat mengikat protein melainkan melepaskan dan semakin
merusak struktur ginjal. Berdasarkan pedoman NKF/KDOQI on
Hypertension an Antihypertentive Agent in CKD, batasan asupan protein
untuk penderita ginjal kronik stadium 1-2 adalah 1.4 gram/kg/hari (-18% dari
kalori) sedangkan untuk stadium 3-4 dianjurkan 0.6-0.8 gram/kg/hari (-10%
dari kalori). Pembatasan ini dilakukan sebagai manajemen gejala uremia dan
menunda inisiasi dialisis. Selain itu minimalisiasi asupan protein juga dapat
mencegah bahaya hiperfiltrasi akibat meningkatnya laju filtrasi glomerulus
sesaat yang pada akhirnya dapat menyebabkan kehilangan nefron (Chan et
al., 2020). Diet rendah protein pada penyakit ginjal kronik memang selalu
memberikan konsekuensi lain yaitu malnutrisi energi yang ditandai dengan
komposisi tubuh yang buruk yakni massa otot tidak sesuai dengan standar.
Namun apabila penderita mengkonsumsi tinggi protein dapat menyebabkn
peningkatan ekskresi urin albumin pada orang dewasa (Kramer, 2019).

2.6 Pemeriksaan penunjang


Pemantauan penurunan filtrasi ginjal dalam laju filtrasi glomerulus
digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui besarnya kerusakan ginjal
karena filtrasi glomerulus merupakan tahap awal dari fungsi nefron. Besarnya
laju filtrasi glomerulus sama dengan klirens suatu bahan yang difiltrasi secara
bebas oleh glomerulus, tidak direabsorbsi dan tidak disekresi oleh tubulus
ginjal.
GFR <60 ml/menit/1,73 m2 ≥ 3 bulan diklasifikasikan sebagai penyakit
ginjal kronis. Ginjal telah kehilangan fungsinya ≥ 50%. Derajat penurunan
laju filtrasi glomerulus pada penyakit ginjal kronik, dibagi menjadi 5 stadium:
a) Stadium 1: Kerusakan ginjal dengan GFR ≥ 90 ml/menit/1,73 m2
b) Stadium 2: Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan 60 –
89 ml/menit/1,73 m2
c) Stadium 3: Penurunan GFR sedang 30 – 59 ml/menit/1,73 m2
d) Stadium 4: Penurunan GFR berat 15 – 29 ml/menit/1,73 m2 5.
Stadium
e) Gagal ginjal, GFR < 15 ml/menit/1,73 m2 atau sudah menjalani
dialysis

1. Kreatinin
Kreatinin merupakan zat nonprotein nitrogen sebagai hasil
metabolisme kreatin otot, zat endogen yang difiltrasi bebas, tidak
mengalami reabsorbsi ditubulus ginjal, tetapi sejumlah kecil kreatinin
disekresi oleh sel tubulus ginjal. Produksi kreatinin berdasarkan masa
otot, usia, jenis kelamin dan berat badan. Kadar kreatinin darah memiliki
variasi diurnal karena asupan makanan, sebaiknya darah diambil dalam
keadaan puasa. Meski demikian penilaian fungsi ginjal berdasarkan laju
filtrasi glomerulus masih banyak yang menggunakan kreatinin karena
biaya yang lebih murah, mudah dilakukan dan klirens kreatinin adalah
parameter yang baik untuk menilai fungsi ginjal.
Klirens kreatinin merupakan cara yang banyak digunakan untuk
mengukur GFR. Klirens kreatinin secara konvensional memerlukan
pengumpulan urine 24 jam. Hal ini menjadi kendala bila nilai GFR perlu
segera diketahui, juga bila ada berbeda pemahaman mengenai
pengumpulan urine 24 jam yang benar. Untuk menghindari kesalahan
penilaian karena pengumpulan urine, digunakan rumus bersihan tanpa
pengukuran kadar kreatinin urine yakni rumus Cockcroft-Gault.
Metode analisis yang digunakan untuk mengukur kreatinin adalah
metode kimia berdasarkan reaksi Jaffe, metode enzimatik dan High
performance liquid chromatography (HPLC). Nilai kreatinin serum
normal: 0,6 – 1,3 mg/dL. Kreatinin serum > 1,5 mg/dL menunjukkan
telah adanya gangguan fungsi ginjal. Beberapa rumus yang digunakan
untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus melalui kadar kreatinin
darah adalah.

Rumus Cockcroft – Gault =

GFR = ( 140 – usia ) X berat badan X 1,73

72 X Pcr X A

Pcr = kadar kreatinin darah (mg/dL)

A = luas permukaan tubuh (m2 )

Untuk wanita rumus tersebut dikalikan dengan 0,85 yang merupakan


koreksi 15% dari pria.

2. Urea
Kadar urea darah meningkat pada diet tinggi protein, perdarahan
sistem pencernaan, dehidrasi, gangguan fungsi ginjal, adanya bendungan
di saluran kemih bagian bawah dan katabolisme protein yang meningkat.
Pengukuran urea dilakukan pada filtrat bebas protein dari serum
berdasarkan pengukuran jumlah nitrogen, yang terbanyak digunakan
adalah metode kinetik yang menggabungkan reaksi urea dengan
Lglutamate dehidrogenase (GLDH) dan mengukur tingkat Nikotinamide
adenine dinukleotide (NADH tereduksi) pada 340 nm(7). Reaksi
enzimatik dari urea adalah sebagai berikut: Nilai rujukan urea nitrogen
pada serum atau plasma adalah 20 – 30 mg/dL dan BUN 10 – 20 mg/dL.
Peningkatan kadar urea plasma karena retensi nitrogen akibat gangguan
fungsi ginjal dikenal sebagai azotemia.
3. Asam Urat
Asam urat merupakan produk akhir dari metabolisme purin. Asam
urat bersifat kurang larut air, oleh enzim urikase / urat oksidase
dikatabolisme menjadi alantoin yang larut air. Adenosin dan guanin
(purin) berasal dari pemecahan asam nukleat yang diubah menjadi asam
urat di dalam hati. Pengangkutan asam urat dalam plasma dari hati
menuju ginjal dan diginjal di filtrasi oleh glomerulus. Reabsorbsi asam
urat 98 – 100% terjadi di tubulus proksimalis. Sebagian kecil asam urat
disekresi oleh tubulus distal dan 70% diekskresikan ke urine. Asam urat
yang tidak mengalami ekskresi akan masuk ke system pencernaan
dipecah oleh enzim dari bakteri.
Penyakit ginjal kronik menyebabkan kadar asam urat serum
meningkat karena adanya gangguan fungsi filtrasi, sekresi ginjal dan
ekskresi asam urat melalui urine yang menurun. Metode analisis
pemeriksaan asam urat yaitu dengan metode kimia asam fosfotungstat
dan metode enzimatik spektrofotometri.
Nilai rujukan asam urat darah dengan metode urikase adalah:
a. Wanita dewasa = 2,6 – 6 mg/dl (0,16 – 0,36 mmol/L)
b. Pria dewasa = 3,5 – 7,2 mg/dl (0,21 – 0,43 mmol/L)
c. Anak – anak = 2 – 5,5 mg/dl (0,12 – 0,33 mmol/L)
Pemeriksaan diagnostik lain:
1. Foto polos abdomen untu menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu
atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan
ginjal, oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
2. Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises dan
ureter. Pemeriksaan ini mempunyai risiko penurunan faal ginjal pada
keadaan tertentu, misalnya: usia lanju, diabetes mellitus, dan nefropati
asam urat.
3. USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih, dan prostat.
4. Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari
gangguan (vaskular, parenkim, ekskresi), serta sisa fungsi ginjal.
5. EKG untuk melihat kemungkinan, hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit ( hiperkalemia).
2.7 Penatalaksanaan
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan
transplantasi ginjal.
1. Hemodialisis
Saat ini terapi pengganti pada penyakit ginjal kronik yang banyak
dipilih yaitu hemodialisis. Hemodialisis berfungsi untuk mengatasi
ketidakseimbangan cairan dan membantu mengendalikan penyakit
ginjal serta meningkatkan kualitas hidup pasien cronik kidney disease
(CKD) (Armiyati et al., 2019). Pasien penyakit ginjal kronik yang
menjalani hemodialisa untuk mencegah timbulnya penyakit
kardiovaskuler, hipertensi, edema paru akut dan gagal jantung
kongestif, maka pasien harus melakukan pembatasan cairan agar
mencegah terjadinya kelebihan cairan (Girsang & Barus, 2019).
Pembatasan cairan ini dapat menimbulkan beberapa efek pada tubuh,
seperti keracunan hormonal, munculnya rasa haus dan gejala berupa
mulut kering akibat produksi kelenjar ludah berkuranng (xerostomia)
(Bambang Utoyo, Podo Yuwono, 2016).
2. CAPD
Dapat digunakan sebagai terapi alternatif dialisis untuk penderita
ESRD dengan 3-4 kali pertukaran cairan per hari. Pertukaran cairan
terakhir dilakukan pada jam tidur sehingga cairan peritoneal dibiarkan
semalam. Terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien dialisis
peritoneal. Indikasi dialisis peritoneal yaitu pasien anak-anak dan
orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis,
kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT
(gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup dan pasien
nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality.
3. Transplantasi ginjal
Merupakan cara pengobatan yang lebih disukai untuk pasien gagal
ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplantasi ginjal jauh
melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang ada dan biasanya ginjal yang
cocok dengan pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga dengan
pasien. Sehingga hal ini membatasi transplantasi ginjal sebagai
pengobatan yang dipilih oleh pasien. Transplantasi ginjal memerlukan
dana dan peralatan yang mahal serta sumber daya manusia yang
memadai. Transplantasi ginjal ini juga dapat menimbulkan komplikasi
akibat pembedahan atau reaksi penolakan tubuh.
2.8 Askep teori
A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian yang dapat dilakukan pada klien dengan gagal ginjal
kronik meliputi beberapa hal, yaitu:
a. Biodata
Tanyakan identitas klien meliputi nama lengkap, tanggal lahir,
alamat dan sebagainya lalu cocokkan dengan label nama untuk
memastikan bahwa setiap rekam medis, catatan, hasil tes dan
sebagainya memang milik klien (Gleadle, 2007). Menurut Prabowo
& Pranata (2014) pekerjaan dan pola hidup tidak sehat juga memiliki
keterkaitan dengan penyakit PGK karena itu laki-laki sangat
beresiko.
b. Keluhan utama
Pada klien PGK dengan masalah kulit biasanya memiliki keluhan
seperti kulit kering sampai bersisik, kasar, pucat, gatal, mengalami
iritasi karena garukan, edema (Nursalam, & Baticaca, 2009;
Muttaqin & Sari, 2011).
c. Riwayat kesehatan sekarang
Klien akan mengeluhkan mengalami penurunan urine output
(oliguria) sampai pada anuria, anoreksia, mual dan muntah, fatigue,
napas berbau urea, adanya perubahan pada kulit. Kondisi ini terjadi
karena penumpukan (akumulasi) zat sisa metabolisme/toksin dalam
tubuh karena ginjal mengalami kegagalan dalam filtrasi (Muttaqin &
Sari, 2014; Prabowo & Pranata, 2014).
d. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat pemakaian obat-obatan, ada riwayat gagal ginjal akut,
ISK, atau faktor predisposisi seperti diabetes melitus dan hipertensi
biasanya sering dijumpai pada penderita PGK (Muttaqin & Sari,
2011).
e. Riwayat Psikososial
Menurut Muttaqin & Sari (2014) PGK bisa menyebabkan
gangguan pada kondisi psikososial klien seperti adanya gangguan
peran pada keluarga karena sakit, kecemasan karena biaya perawatan
dan pengobatan yang banyak, gangguan konsep diri (gambaran diri).
f. Kebutuhan dasar manusia meliputi:
1) Pola nutrisi: Pada klien PGK terjadi peningkatan BB karena
adanya edema, namun bisa juga terjadi penurunan BB karena
kebutuhan nutrisi yang kurang ditandai dengan adanya anoreksia
serta mual atau muntah (Rendi & Margareth, 2012).
2) Pola eliminasi: Pada klien PGK akan terjadi oliguria atau
penurunan produksi urine kurang dari 30 cc/jam atau 500 cc/24
jam. Bahkan bisa juga terjadi anuria yaitu tidak bisa
mengeluarkan urin selain itu juga terjadi perubahan warna pada
urin seperti kuning pekat, merah dan coklat (Haryono 2013;
Debora, 2017).
3) Pola istirahat dan tidur: Pada klien PGK istirahat dan tidur akan
terganggu karena terdapat gejala nyeri panggul, sakit kepala,
kram otot dan gelisah dan akan memburuk pada malam hari
(Haryono, 2013).
4) Pola aktivitas: Pada klien PGK akan terjadi kelemahan otot dan
kelelahan yang ekstrem (Rendi & Margareth, 2012).
5) Personal Hygiene: Pada klien PGK penggunaan sabun yang
mengandung gliserin akan mengakibatkan kulit bertambah kering
(Prabowo & Pranata, 2014).

B. Pemeriksaan Fisik (Head To Toe)


Pemeriksaan pertama yang harus dilakukan sebelum melakukan
pemeriksaan fisik meliputi:
1) Tekanan darah: pada klien PGK tekanan darah cenderung
mengalami peningkatan dari hipertensi ringan hingga berat.
Sedangkan rentang pengukuran tekanan darah normal pada
dewasa yaitu 100-140/60-90 mmHg dengan rata-rata 120/80
mmHg dan pada lansia 100-160/ 60-90 mmHg dengan rata-rata
130/18 mmHg.
2) Nadi: pada klien PGK biasanya teraba kuat dan jika disertai
dengan disritmia jantung nadi akan teraba lemah halus. Frekuensi
normal pada nadi orang dewasa yaitu 60-100 x/menit.
3) Suhu: pada klien PGK biasanya suhu akan mengalami
peningkatan karena adanya sepsis atau dehidrasi sehingga terjadi
demam. Suhu pada dewasa normalnya berbeda pada setiap lokasi.
Pada aksila 36,4⁰C, rektal 37,6°C, oral 37,0°C.
4) Frekuensi pernapasan pada klien PGK akan cenderung meningkat
karena terjadi takipnea dan dispnea. Rentang normal frekuensi
pernapasan pada dewasa 12-20 x/menit dengan rata-rata 18
x/menit.
5) Keadaan umum pada klien PGK cenderung lemah dan nampak
sakit berat sedangkan untuk tingkat kesadaran menurun karena
sistem saraf pusat yang terpengaruhi sesuai dengan tingkat uremia
yang mempengaruhi (Rendi & Margareth, 2012; Muttaqin & Sari,
2014; Debora, 2017).

Setelah pemeriksaan TTV selesai selanjutnya pemeriksaan


fisik, meliputi:
a) Kepala
Inspeksi : Pada klien PGK, rambut tampak tipis dan kering,
berubah warna dan mudah rontok, wajah akan tampak
pucat, kulit tampak kering dan kusam (Williams & Wilkins,
2011; Debora 2017).
Palpasi: Rambut akan terasa kasar, kulit terasa kasar
(Haryono, 2013).
b) Telinga
Inspeksi: Periksa kesimetrisan dan posisi kedua telinga,
produksi serumen, warna, kebersihan dan kemampuam
mendengar. Pada klien PGK lihat adanya uremic frost
(Nursalam & Batticaca, 2009; Debora, 2017).
Palpasi: Periksa ada tidaknya massa, elastisitas atau nyeri
tekan pada tragus, pada klien PGK kulit akan terasa kasar
karena kering (Nursalam & Batticaca, 2009; Debora, 2017).
c) Mata
Inspeksi: Pada klien PGK akan tampak kalsifikasi (endapan
mineral kalsium fosfat) akibat uremia yang berlarut-larut di
daerah pinggir mata, di sekitar mata akan tampak edema,
penglihatan kabur dan konjungtiva akan terlihat pucat jika
ada yang mengalami anemia berat (Chamberlain’s,
2012;Haryono, 2013; Debora, 2017).
Palpasi: Bola mata akan teraba kenyal dan melenting, pada
sekitar mata akan teraba edema (Chamberlain’s, 2012;
Debora, 2017).
d) Hidung
Inspeksi: Periksa adanya produksi sekret, ada atau tidak
pernapasan cuping hidung, kesimetrisan kedua lubang
hidung, pada kulit akan telihat kering dan kusam
(Chamberlain’s, 2012; Debora, 2017).
Palpasi: Periksa ada massa dan nyeri tekan pada sinus atau
tidak, ada dislokasi tulang hidung atau tidak, akan terasa
kasar (Chamberlain’s, 2012; Debora, 2017).
e) Mulut
Inspeksi: Pada saat bernapas akan tercium bau ammonia
karena faktor uremik, ulserasi pada gusi, bibir tampak
kering (Williams & Wilkins, 2011).

f) Leher
Inspeksi: Periksa ada massa atau tidak, pembengkakan atau
kekakuan leher, kulit kering, pucat, kusam (Williams &
Wilkins, 2011; Debora, 2017).
Palpasi: Periksa adanya pembesaran kelenjar limfe, massa
atau tidak. Periksa posisi trakea ada pergeseran atau tidak,
kulit terasa kasar (Debora, 2017).
g) Dada
a. Paru
Inspeksi: Pada klien PGK pergerakan dada akan cepat
karena pola napas juga cepat dan dalam (kusmaul), batuk
dengan ada tidaknya sputum kental dan banyak apabila
ada edema paru batuk akan produktif menghasilkan
sputum merah muda dan encer, pada kulit akan
ditemukan kulit kering, uremic frost, pucat atau
perubahan warna kulit dan bersisik (Haryono, 2013;
Prabowo & Pranata, 2014).
Palpasi: Periksa pergerakan dinding dada teraba sama
atau tidak, terdapat nyeri dan edema atau tidak, kulit
terasa kasar dan permukaan tidak rata (Debora, 2017).
Perkusi: Perkusi pada seluruh lapang paru normalnya
resonan dan pada PGK pekak apabila paru terisi cairan
karena edema (Debora, 2017).
Auskultasi: Dengarkan apa ada suara napas tambahan
seperti ronchi, wheezing, pleural friction rub dan stridor
(Debora, 2017).
b. Jantung
Inspeksi: Normalnya akan tampak pulsasi pada ICS 5
midklavikula kiri katup mitrialis pada beberapa orang
dengan diameter normal 1-2 cm (Debora, 2017).
Palpasi: Normalnya akan teraba pulsasi pada ICS 5
midkalvikula kiri katup mitrialis (Debora, 2017).
Perkusi: Normalnya pada area jantung akan terdengar
pekak pada ICS 3-5 di sebelah kiri sternum (Debora,
2017).
Auskultasi: Pada klien PGK akan terjadi disritmia
jantung dan akan terdengar bunyi jantung murmur
(biasanya pada lansia) pada klien PGK yang memiliki
hipertensi (Haryono 2013; Debora, 2017).
h) Abdomen
Inspeksi: Kulit abdomen akan tampak mengkilap karena
asites dan kulit kering, pucat, bersisik, warna cokelat
kekuningan, akan muncul pruritus (Williams & Wilkins,
2011; Debora, 2017).
Auskultasi: Dengarkan bising usus di keempat kuadran
abdomen (Debora, 2017)
Perkusi: Klien dengan PGK akkan mengeluh nyeri pada saat
dilakukan pemeriksaan sudut ccosto-vertebrae pada
penderita PGK (Debora, 2017)
Palpasi: Lakukan palpasi pada daerah terakhir diperiksa
yang terasa nyeri, teraba ada massa atau tidak pada ginjal
(Debora, 2017).
i) Kulit dan kuku
Inspeksi: Kuku akan menjadi rapuh dan tipis, kulit menjadi
pucat, kering dan mengelupas, bersisik, akan muncul
pruritus, warna cokelat kekuningan, hiperpigmentasi,
memar, uremic frost, ekimosis, petekie (Nursalam &
Batticaca, 2009; Muttaqin & Sari, 2011; Williams
&Wilkins, 2011; Chamberlain’s, 2012)
Palpasi: CRT > 3 detik, kulit teraba kasar dan tidak rata
(Muttaqin & Sari, 2011).
j) Genetalia
Inspeksi: Lihat kebersihan genetalia, tampak lesi atau tidak
(Debora, 2017).
Palpasi : palpasi bagian genetalia apakah terdapat nyeri,
terdapat pembesaran kelenjar getah bening atau tidak.
k) Ekstremitas
Inspeksi: Pada klien PGK terdapat edema pada kaki karena
adanya gravitasi biasanya ditemukan di betis dan paha pada
klien yang bedrest, kelemahan, kelelahan, kulit kering,
hiperpigmentasi, bersisik (Rendi & Margareth, 2012;
Haryono 2013)
Palpasi: Turgor kulit > 3 detik karena edema, kulit teraba
kering dan kasar (Chamberlain’s, 2012)

C. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada penyakit gagal ginjal kronis
menurut SDKI (2017) yaitu :
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi
2. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemia,
peningkatan tekanan darah.
4. Resiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
6. Nausea berhubungan dengan gangguan biokimiawi (uremia)
7. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan kelebihan
volume cairan.
8. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen, tirah baring.

D. Intervensi keperawatan
Tindakan keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronis menurut
SIKI (2018) yaitu:
a) Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme
Tujuan dan kriteria hasil (L.03020) :
a. Output urin sedang
b. Edema sedang
c. Tekanan darah membaik
d. Turgor kulit membaik
e. Berat badan membaik
Intervensi (I.03121) :
Observasi
1. Identifikasi tanda-tanda hipervolemik
2. Monitor tanda-tanda vital
3. Monitor elastisitas atau turgor kulit
4. Monitor jumlah warna dan berat jenis urin
5. Monitor hasil pemeriksaan serum
6. Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
7. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
8. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
9. Informasikan hasil pemantauan

E. Implementasi keperawatan
F. Evaluasi keperawatan

2.9 Aspek legal etis


a. Otonomi (autonomy)
Yaitu hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembelaan
diri.
b. Berbuat baik ( beneficience)
Yaitu melakukan sesuatu yang baik, kebaikan, memerlukan pencegahan dari
kesalahan atau kejahatan.
c. Keadilan (justice)
Yaitu prinsip Adil terhadap orang lain yang menjunjung prinsip moral, legal
dan kemanusiaan.
d. Tidak merugikan (nonmaleficence)
Yaitu prinsip Tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada
klien.
e. Kejujuran (veracity)
Prinsip yang berarti penuh dengan kebenaran, mengatakan segala yang
sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
keadaan dirinya selama menjalani perawatan.
f. Menepati janji (fidelity)
Prinsip yang dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji
serta menyimpan rahasia klien.
g. Kerahasiaan (confidentiality)
Informasi klien harus dijaga, segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen
catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien.
h. Akuntabilitas (accountability)
Merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat
dinilai dalam situasi yang tidal jelas atau tanpa terkecuali.
2.10 Fungsi advokasi
a. Otonomi, memberikan hak kemandirian kepada klien untuk melakukan
kegiatan yang masih dapat ia lakukan misalnya, mandi, gosok gigi, dll.
Untuk tindakan yang akan diberikan pada klien seperti diberi obat anti nyeri
untuk diminum namun klien menolak maka perawat tidak bisa memaksakan
klien untuk tetap minum obat tetapi perawat dapat melakukan pendekatan
secara bertahap.
b. Berbuat baik, memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai dan dapat
meningkatkan derajat kesehatannya misalnya: pemberian obat nyeri untuk
meringankan rasa nyeri.
c. Keadilan, memberikan pelayanan kesehatan kepada klien dan tidak
memandang usia ataupun jenis kelaminnya.
d. Tidak merugikan, menjaga keamanan lingkungan pasien seperti memasang
pengaman di tempat tidur.
e. Kejujuran, memberikan informasi yang sesungguhnya tentang penyakit
pasien jika pasien bertanya-tanya
f. Menepati janji, memberikan pelayan kesehatan sesuai janji yang telah
dilakukan dengan klien.
g. Kerahasian, merahasiakan segala sesuatu yang terjadi pada pasien bila
pasien yang memintanya, dan termasuk keluarganya tidak boleh
mengetahui.
h. Akuntabilitas, perawat memberikan pelayanan secara professional kepada
pasien sehingga pasien merasa nyaman.

2.11Health education
Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) dalam mempertahankan kualitas
hidupnya harus patuh terhadap terapi hemodialisis dan dianjurkan pula untuk
melakukan pembatasan asupan cairan, akan tetapi pada terapi hemodialisis
berikutnya sering pasien datang dengan keluhan sesak nafas akibat kenaikan
volume cairan tubuh (Smeltzer& Bare 2002; dalam Kurniawati 2017).
Edukasi dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan klien PGK dalam
pembatasan asupan cairan, namun diperlukan faktor-faktor pendukung lainya
seperti dukungan keluarga, dukungan sosial dan motivasi dari klien sendiri.
Pemberian edukasi yang berkesinambungan serta adanya dukungan keluarga,
dukungan sosial, dan motivasi dari pasien sendiri diharapkan dapat
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi khususnya terapi pembatasan
asupan cairan.
Perawat hemodialsis mempunyai peran penting sebagai pemberi edukasi
untuk membantu pasien penyakit ginjal kronis agar patuh pada intake cairan.
Peningkatan pengetahuan dan pendidikan adalah pengalaman belajar yang
dirancang untuk membantu individu dan masyarakat dalam meningkatkan
kesehatan mereka dengan meningkatkan pendidikan dan mempengaruhi sikap
mereka (WHO 2011).
Edukasi yang bisa diberikan kepada pasien tentang asupan cairan harian
yang diberikan kepada pasien dibatasi sebanyak Insensible Water Losses
(IWL) ditambah jumlah urine/24 jam (Smeltzer & Bare 2008; Hinkle et al
2008). Tidak hanya masukan cairan yang bisa menaikkan berat badan
intradialitik namun makanan yang banyak mengandung natrium seperti ikan
asin, mengandung air seperti gelatin, sayuran berkuah seperti sop, camilan
kering seperti kerupuk memberi kontribusi pada total masukan cairan (Welch
et al 2006). Pasien secara rutin diukur berat badannya sebelum dan sesudah
HD untuk mengetahui kondisi cairan dalam tubuh pasien.
Menurut (Sri Purwanti, 2017) Beberapa edukasi kesehatan yang mampu
memberikan penanganan pada pasien gagal ginjal kronik dengan cara edukasi
secara online dan offline:
a. Edukasi kesehatan yang dilakukan secara online pasien mudah untuk
mengakses materi edukasi, meningkatkan pemahaman dan kepatuhan,
bisa berkonsultasi langsung dengan tenaga kesehatan, konsultasi gizi,
konseling pre dialisis dan bisa mengakses selama 24 jam kapan saja
dan dimana saja.
b. Edukasi secara offline pasien bisa diberikan edukasi pada saat
menjalani terapi hemodialisis atau pada saat rawat jalan.tujuan,
sesuaikan pengajaran dengan kebutuhan pasien, pilih materi edukasi
yang sesuai, sesuaikan isi pembelajaran dengan kemampuan atau
ketidakmampuan kognitif, psikomotor dan afektif pasien, siapkan
lingkungan yang kondusif, evaluasi pencapaian pasien terhadap tujuan
dari edukasi tersebut, berikan penguatan perilaku, berikan waktu
untuk diskusi, sertakan keluarga atau orang terdekat.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada BAB II maka penulis dapat menarik kesimpulan
sebagai berikut :
Penyakit Ginjal Kronik(PGK) atau Gagal Ginjal Kronik(GGK) adalah
kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta
keseimbangan caran dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang
progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolic (toksik uremik) di
dalam darah(Arif Muttaqin, 2014).
Begitu banyak konsisi klinis yang bisa menyebabakan terjadinya gagal
ginjal kronis. Akan tetapi apapun sebabnya, respons yang terjadi adalah
penurunan fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan
dan mengakibatkan GGK bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan diluar ginjal.
Pemantauan penurunan filtrasi ginjal dalam laju filtrasi glomerulus
digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui besarnya kerusakan ginjal
karena filtrasi glomerulus merupakan tahap awal dari fungsi nefron. Besarnya
laju filtrasi glomerulus sama dengan klirens suatu bahan yang difiltrasi secara
bebas oleh glomerulus, tidak direabsorbsi dan tidak disekresi oleh tubulus
ginjal.
Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) dalam mempertahankan kualitas
hidupnya harus patuh terhadap terapi hemodialisis dan dianjurkan pula untuk
melakukan pembatasan asupan cairan, akan tetapi pada terapi hemodialisis
berikutnya sering pasien datang dengan keluhan sesak nafas akibat kenaikan
volume cairan tubuh (Smeltzer& Bare 2002; dalam Kurniawati 2017).

3.2 SARAN
Hasil pembuatan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
tambahan pengetahuan dalam ilmu keperawatan khususnya dalam
pemahaman tentang Penyakit Ginjal Kronik sehingga para pembaca bisa
mengaplikasikan hal tersebut dalam kehidupan sehari – hari maupun di lahan
kerja dengan mampu memahami definisi Penyakit Ginjal Kronik, sehingga
nantinya makalah ini mampu meningkatkan keperawatan sebagai suatu
disiplin ilmu yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Andriani Santi, dkk. (2021). Penyesuaian Dosis Obat pada Pasien Gagal Ginjal
Kronis Rawat Inap di Rumah Sakit Kabupaten Tegal, Indonesia. Majalah
Farmaseutik Vol 17 No 1. Di akses pada tanggal 21 Agustus 2021.

Ariani,Purwanti,Sri, dkk. (2020). Intervensi Edukasi Kesehatan Pada Pasien


Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis . Jurnal Health Sains.
Vol. 1, no. 5. Diakses pada tanggal 22 agustus 2021

Dewi, Riana & Mustofa, Akhmad. (2021). Penurunan Intensitas Rasa Haus
Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Dengan
Menghisap Es Batu. Ners Muda, Vol 2 No 2. Di akses pada tanggal 21
Agustus 2021.

Dila,RR & Panma,Yuannita. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan


Gagal Ginjal Kronik RSUD Kota Bekasi. Buletin Kesehatan.vol.3 no.1.
diakses pada tanggal 21 agustus 2021.

Haryanti, Ika,AP.dkk.2019. Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai


Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik.Majority. vol.4 no.7. diakses pada
tanggal 26 agustus 2021.

Hutagaol, Emma H. 2017.Peningkatan Kualitas Hidup Pada Penderita GGK


Yang Menjalani Terapi Hemodialisa Melalui Pshycological Intervention di
Unit Hemodialisa RS Royal Prima Medan, Tahun 2016. Jurnal
Jumantik.vol.2 no.1. diakses pada tanggal 21 agustus 2021.

Muttaqin, Arif & Sari, Kumala. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Jakarta:Salemba Medika. Hal 166-180.

Riahta,DI &Yetti,Krisna. 2020. Diet Dan Nutrisi Pada Penyakit Ginjal Kronik.
Jurnal Keperawatan. Vol.12 No.4. diakses pada tanggal 22 agustus 2021.

Sagita, Novia Dwi. 2019. Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Penyakit Ginjal Kronis
Di RS Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. (Karya Tulis Ilmiah. Samarinda :
Politeknik Kemenkes Kalimantan Timur) diakses pada tanggal 26 agustus 2021

Widiani, Helen. 2020. Penyakit ginjal kronik stadium V akibat nefrolitiasis.


Intisari Sains Medis .Vo.11 no.1.diakses pada tanggal 21 agustus 2021.

Anda mungkin juga menyukai