Disusun Oleh :
Kelompok 2
1. Maimunah (14201.11.19024)
2. Nandini Nursyamsiana (14201.11.19033)
3. Nita Damayanti (14201.11.19034)
4. Nur Aulia Utami (14201.11.19037)
5. Siti Romlah (14201.11.19047)
PADJARAKAN-PROBOLINGGO
2021 – 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
sehingga makalah dengan judul “PENYAKIT GINJAL KRONIK (PGK)” ini
dapat diselesaikan tepat waktu. Semoga shalawat serta salam tercurah limpahkan
kepada Nabi kita Muhammad SAW, juga segenap keluarga, dan para sahabatnya.
Karena tanpa dukungan dan bimbingan beliau makalah ini tidak akan
terselesaikan. Seiring doa semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada
saya mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Harapan penulis,
semoga makalah ini dapat bermanfaat baik untuk diri sendiri dan para pembaca
untuk dijadikan referensi.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Penyakit Ginjal Kronik(PGK) atau Gagal Ginjal Kronik(GGK) adalah
kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta
keseimbangan caran dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang
progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolic (toksik uremik) di
dalam darah (Arif Muttaqin, 2014).
Penyakit ginjal kronik adalah gangguan fungsi pada ginjal yang bersifat
progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu
memelihara metabolisme, keseimbangan cairan, dan elektrolit yang berakibat
pada peningkatan ureum (Purwanto, 2016 dalam Riana, 2021). Penyakit
ginjal kronik adalah ginjal kehilangan kemampuan dalam mempertahankan
volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan normal dengan oliguria
(penurunan jumlah berkemih) <400ml/24 jam (Tarwoto & Wartonah, 2015
dalam Riana, 2021).
2.2 Etiologi
Begitu banyak konsisi klinis yang bisa menyebabakan terjadinya gagal ginjal
kronis. Akan tetapi apapun sebabnya, respons yang terjadi adalah penurunan
fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan dan
mengakibatkan GGK bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan diluar ginjal.
(Arif Muttaqin, 2014).
1. Penyakit dari ginjal
a. Penyakit pada saringan (glomerulus): glomerulonephritis.
b. Infeksi kuman: pyelonephritis, ureteritis.
c. Batu ginjal: nefrolitiasis
d. Kista di ginjal: polcystis kidney
e. Trauma langsung pada ginjal.
f. Keganasan pada ginjal.
g. Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/ striktur.
2. Penyakit umum di luar ginjal
a. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi.
b. Dyslipidemia.
c. SLE.
d. Infeksi di badan: TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis.
e. Preeklamsi.
f. Obat-obatan.
g. Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar).
1. Nefrosklerosis hipertensi
2. Nefropati diabetic
3. Pielonefritis kronik
4. Glomerulonefritis kronik
5. Eritematosa lupus sistemik
6. Penyakit ginjal polisistik
2.4 Farmakologi
1. Ranitidin
Ranitidin merupakan obat golongan antagonis reseptor H2
(H2RAs) yang direkomendasikan untuk dilakukan penyesuaian dosis
saat diberikan pada pasien dengan penurunan klirens kreatinin (GFR).
Dosis ranitidin yang direkomendasikan sebesar 50-100% dosis normal
untuk pemakaian oral dan 50 mg tiap 12 jam untuk pemakaian
intravena. Penelitian lain menyebutkan bahwa waktu paruh ranitidin
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal meningkat menjadi 7,3 jam
yaitu setara dengan 2,4 kali waktu paruh ranitidin pada pasien dengan
fungsi ginjal normal. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan
eliminasi ranitidin pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, yang
berisiko meningkatkan efek samping obat yang tidak diharapkan.
2. Ketorolak
Ketorolak termasuk obat golongan NSAIDs yang bekerja
menghambat prostaglandin, dimana obat-obat tersebut dilaporkan
menyebabkan nefrotoksisitas. Penggunaan ketorolak tanpa
penyesuaian dosis pada pasien CKD dapat meningkatkan risiko efek
obat yang tidak diinginkan antara lain perdarahan pada saluran
pencernaan, peningkatan frekuensi kemih, oliguria, gagal ginjal akut,
hiponatremi, hiperkalemi serta meningkatkan ureum dan kreatinin
serum (Ashley, 2018). Efek samping obat yang tidak diinginkan tidak
ditemukan pada pasien yang mendapatkan ketorolak dalam penelitian
ini.
3. Sukralfat
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, sukralfat harus
digunakan dengan hatihati karena adanya kandungan aluminium yang
terabsorbsi dan terakumulasi. Pada pasien CKD dengan hemodialisis,
sukralfat hanya boleh digunakan dalam periode singkat karena
aluminium yang terabsorbsi dapat terikat dengan protein plasma dan
tidak dapat terdialisis (Ashley, 2018). Oleh karena itu, pasien dengan
gagal ginjal atau insufisiensi ginjal yang menjalani terapi sukralfat
jangka panjang harus mendapatkan pengawasan terkait tanda-tanda
toksisitas aluminium. Efek samping sukralfat seperti konstipasi dan
insomnia ditemukan pada beberapa pasien.
4. Levofloxacin
Levofloxacin merupakan antibiotik golongan floroquinolon
generasi ke-3. Farmakokinetik obat golongan ini menunjukan adanya
eliminasi obat yang signifikan melalui ginjal. Pada pasien dengan
CKD, proses eliminasi tersebut dapat berkurang sehingga
memungkinkan terjadinya akumulasi obat dalam darah yang dapat
memicu terjadinya efek samping obat yang tidak diinginkan.
1. Kreatinin
Kreatinin merupakan zat nonprotein nitrogen sebagai hasil
metabolisme kreatin otot, zat endogen yang difiltrasi bebas, tidak
mengalami reabsorbsi ditubulus ginjal, tetapi sejumlah kecil kreatinin
disekresi oleh sel tubulus ginjal. Produksi kreatinin berdasarkan masa
otot, usia, jenis kelamin dan berat badan. Kadar kreatinin darah memiliki
variasi diurnal karena asupan makanan, sebaiknya darah diambil dalam
keadaan puasa. Meski demikian penilaian fungsi ginjal berdasarkan laju
filtrasi glomerulus masih banyak yang menggunakan kreatinin karena
biaya yang lebih murah, mudah dilakukan dan klirens kreatinin adalah
parameter yang baik untuk menilai fungsi ginjal.
Klirens kreatinin merupakan cara yang banyak digunakan untuk
mengukur GFR. Klirens kreatinin secara konvensional memerlukan
pengumpulan urine 24 jam. Hal ini menjadi kendala bila nilai GFR perlu
segera diketahui, juga bila ada berbeda pemahaman mengenai
pengumpulan urine 24 jam yang benar. Untuk menghindari kesalahan
penilaian karena pengumpulan urine, digunakan rumus bersihan tanpa
pengukuran kadar kreatinin urine yakni rumus Cockcroft-Gault.
Metode analisis yang digunakan untuk mengukur kreatinin adalah
metode kimia berdasarkan reaksi Jaffe, metode enzimatik dan High
performance liquid chromatography (HPLC). Nilai kreatinin serum
normal: 0,6 – 1,3 mg/dL. Kreatinin serum > 1,5 mg/dL menunjukkan
telah adanya gangguan fungsi ginjal. Beberapa rumus yang digunakan
untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus melalui kadar kreatinin
darah adalah.
72 X Pcr X A
2. Urea
Kadar urea darah meningkat pada diet tinggi protein, perdarahan
sistem pencernaan, dehidrasi, gangguan fungsi ginjal, adanya bendungan
di saluran kemih bagian bawah dan katabolisme protein yang meningkat.
Pengukuran urea dilakukan pada filtrat bebas protein dari serum
berdasarkan pengukuran jumlah nitrogen, yang terbanyak digunakan
adalah metode kinetik yang menggabungkan reaksi urea dengan
Lglutamate dehidrogenase (GLDH) dan mengukur tingkat Nikotinamide
adenine dinukleotide (NADH tereduksi) pada 340 nm(7). Reaksi
enzimatik dari urea adalah sebagai berikut: Nilai rujukan urea nitrogen
pada serum atau plasma adalah 20 – 30 mg/dL dan BUN 10 – 20 mg/dL.
Peningkatan kadar urea plasma karena retensi nitrogen akibat gangguan
fungsi ginjal dikenal sebagai azotemia.
3. Asam Urat
Asam urat merupakan produk akhir dari metabolisme purin. Asam
urat bersifat kurang larut air, oleh enzim urikase / urat oksidase
dikatabolisme menjadi alantoin yang larut air. Adenosin dan guanin
(purin) berasal dari pemecahan asam nukleat yang diubah menjadi asam
urat di dalam hati. Pengangkutan asam urat dalam plasma dari hati
menuju ginjal dan diginjal di filtrasi oleh glomerulus. Reabsorbsi asam
urat 98 – 100% terjadi di tubulus proksimalis. Sebagian kecil asam urat
disekresi oleh tubulus distal dan 70% diekskresikan ke urine. Asam urat
yang tidak mengalami ekskresi akan masuk ke system pencernaan
dipecah oleh enzim dari bakteri.
Penyakit ginjal kronik menyebabkan kadar asam urat serum
meningkat karena adanya gangguan fungsi filtrasi, sekresi ginjal dan
ekskresi asam urat melalui urine yang menurun. Metode analisis
pemeriksaan asam urat yaitu dengan metode kimia asam fosfotungstat
dan metode enzimatik spektrofotometri.
Nilai rujukan asam urat darah dengan metode urikase adalah:
a. Wanita dewasa = 2,6 – 6 mg/dl (0,16 – 0,36 mmol/L)
b. Pria dewasa = 3,5 – 7,2 mg/dl (0,21 – 0,43 mmol/L)
c. Anak – anak = 2 – 5,5 mg/dl (0,12 – 0,33 mmol/L)
Pemeriksaan diagnostik lain:
1. Foto polos abdomen untu menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu
atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan
ginjal, oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
2. Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises dan
ureter. Pemeriksaan ini mempunyai risiko penurunan faal ginjal pada
keadaan tertentu, misalnya: usia lanju, diabetes mellitus, dan nefropati
asam urat.
3. USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih, dan prostat.
4. Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari
gangguan (vaskular, parenkim, ekskresi), serta sisa fungsi ginjal.
5. EKG untuk melihat kemungkinan, hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit ( hiperkalemia).
2.7 Penatalaksanaan
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan
transplantasi ginjal.
1. Hemodialisis
Saat ini terapi pengganti pada penyakit ginjal kronik yang banyak
dipilih yaitu hemodialisis. Hemodialisis berfungsi untuk mengatasi
ketidakseimbangan cairan dan membantu mengendalikan penyakit
ginjal serta meningkatkan kualitas hidup pasien cronik kidney disease
(CKD) (Armiyati et al., 2019). Pasien penyakit ginjal kronik yang
menjalani hemodialisa untuk mencegah timbulnya penyakit
kardiovaskuler, hipertensi, edema paru akut dan gagal jantung
kongestif, maka pasien harus melakukan pembatasan cairan agar
mencegah terjadinya kelebihan cairan (Girsang & Barus, 2019).
Pembatasan cairan ini dapat menimbulkan beberapa efek pada tubuh,
seperti keracunan hormonal, munculnya rasa haus dan gejala berupa
mulut kering akibat produksi kelenjar ludah berkuranng (xerostomia)
(Bambang Utoyo, Podo Yuwono, 2016).
2. CAPD
Dapat digunakan sebagai terapi alternatif dialisis untuk penderita
ESRD dengan 3-4 kali pertukaran cairan per hari. Pertukaran cairan
terakhir dilakukan pada jam tidur sehingga cairan peritoneal dibiarkan
semalam. Terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien dialisis
peritoneal. Indikasi dialisis peritoneal yaitu pasien anak-anak dan
orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis,
kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT
(gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup dan pasien
nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality.
3. Transplantasi ginjal
Merupakan cara pengobatan yang lebih disukai untuk pasien gagal
ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplantasi ginjal jauh
melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang ada dan biasanya ginjal yang
cocok dengan pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga dengan
pasien. Sehingga hal ini membatasi transplantasi ginjal sebagai
pengobatan yang dipilih oleh pasien. Transplantasi ginjal memerlukan
dana dan peralatan yang mahal serta sumber daya manusia yang
memadai. Transplantasi ginjal ini juga dapat menimbulkan komplikasi
akibat pembedahan atau reaksi penolakan tubuh.
2.8 Askep teori
A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian yang dapat dilakukan pada klien dengan gagal ginjal
kronik meliputi beberapa hal, yaitu:
a. Biodata
Tanyakan identitas klien meliputi nama lengkap, tanggal lahir,
alamat dan sebagainya lalu cocokkan dengan label nama untuk
memastikan bahwa setiap rekam medis, catatan, hasil tes dan
sebagainya memang milik klien (Gleadle, 2007). Menurut Prabowo
& Pranata (2014) pekerjaan dan pola hidup tidak sehat juga memiliki
keterkaitan dengan penyakit PGK karena itu laki-laki sangat
beresiko.
b. Keluhan utama
Pada klien PGK dengan masalah kulit biasanya memiliki keluhan
seperti kulit kering sampai bersisik, kasar, pucat, gatal, mengalami
iritasi karena garukan, edema (Nursalam, & Baticaca, 2009;
Muttaqin & Sari, 2011).
c. Riwayat kesehatan sekarang
Klien akan mengeluhkan mengalami penurunan urine output
(oliguria) sampai pada anuria, anoreksia, mual dan muntah, fatigue,
napas berbau urea, adanya perubahan pada kulit. Kondisi ini terjadi
karena penumpukan (akumulasi) zat sisa metabolisme/toksin dalam
tubuh karena ginjal mengalami kegagalan dalam filtrasi (Muttaqin &
Sari, 2014; Prabowo & Pranata, 2014).
d. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat pemakaian obat-obatan, ada riwayat gagal ginjal akut,
ISK, atau faktor predisposisi seperti diabetes melitus dan hipertensi
biasanya sering dijumpai pada penderita PGK (Muttaqin & Sari,
2011).
e. Riwayat Psikososial
Menurut Muttaqin & Sari (2014) PGK bisa menyebabkan
gangguan pada kondisi psikososial klien seperti adanya gangguan
peran pada keluarga karena sakit, kecemasan karena biaya perawatan
dan pengobatan yang banyak, gangguan konsep diri (gambaran diri).
f. Kebutuhan dasar manusia meliputi:
1) Pola nutrisi: Pada klien PGK terjadi peningkatan BB karena
adanya edema, namun bisa juga terjadi penurunan BB karena
kebutuhan nutrisi yang kurang ditandai dengan adanya anoreksia
serta mual atau muntah (Rendi & Margareth, 2012).
2) Pola eliminasi: Pada klien PGK akan terjadi oliguria atau
penurunan produksi urine kurang dari 30 cc/jam atau 500 cc/24
jam. Bahkan bisa juga terjadi anuria yaitu tidak bisa
mengeluarkan urin selain itu juga terjadi perubahan warna pada
urin seperti kuning pekat, merah dan coklat (Haryono 2013;
Debora, 2017).
3) Pola istirahat dan tidur: Pada klien PGK istirahat dan tidur akan
terganggu karena terdapat gejala nyeri panggul, sakit kepala,
kram otot dan gelisah dan akan memburuk pada malam hari
(Haryono, 2013).
4) Pola aktivitas: Pada klien PGK akan terjadi kelemahan otot dan
kelelahan yang ekstrem (Rendi & Margareth, 2012).
5) Personal Hygiene: Pada klien PGK penggunaan sabun yang
mengandung gliserin akan mengakibatkan kulit bertambah kering
(Prabowo & Pranata, 2014).
f) Leher
Inspeksi: Periksa ada massa atau tidak, pembengkakan atau
kekakuan leher, kulit kering, pucat, kusam (Williams &
Wilkins, 2011; Debora, 2017).
Palpasi: Periksa adanya pembesaran kelenjar limfe, massa
atau tidak. Periksa posisi trakea ada pergeseran atau tidak,
kulit terasa kasar (Debora, 2017).
g) Dada
a. Paru
Inspeksi: Pada klien PGK pergerakan dada akan cepat
karena pola napas juga cepat dan dalam (kusmaul), batuk
dengan ada tidaknya sputum kental dan banyak apabila
ada edema paru batuk akan produktif menghasilkan
sputum merah muda dan encer, pada kulit akan
ditemukan kulit kering, uremic frost, pucat atau
perubahan warna kulit dan bersisik (Haryono, 2013;
Prabowo & Pranata, 2014).
Palpasi: Periksa pergerakan dinding dada teraba sama
atau tidak, terdapat nyeri dan edema atau tidak, kulit
terasa kasar dan permukaan tidak rata (Debora, 2017).
Perkusi: Perkusi pada seluruh lapang paru normalnya
resonan dan pada PGK pekak apabila paru terisi cairan
karena edema (Debora, 2017).
Auskultasi: Dengarkan apa ada suara napas tambahan
seperti ronchi, wheezing, pleural friction rub dan stridor
(Debora, 2017).
b. Jantung
Inspeksi: Normalnya akan tampak pulsasi pada ICS 5
midklavikula kiri katup mitrialis pada beberapa orang
dengan diameter normal 1-2 cm (Debora, 2017).
Palpasi: Normalnya akan teraba pulsasi pada ICS 5
midkalvikula kiri katup mitrialis (Debora, 2017).
Perkusi: Normalnya pada area jantung akan terdengar
pekak pada ICS 3-5 di sebelah kiri sternum (Debora,
2017).
Auskultasi: Pada klien PGK akan terjadi disritmia
jantung dan akan terdengar bunyi jantung murmur
(biasanya pada lansia) pada klien PGK yang memiliki
hipertensi (Haryono 2013; Debora, 2017).
h) Abdomen
Inspeksi: Kulit abdomen akan tampak mengkilap karena
asites dan kulit kering, pucat, bersisik, warna cokelat
kekuningan, akan muncul pruritus (Williams & Wilkins,
2011; Debora, 2017).
Auskultasi: Dengarkan bising usus di keempat kuadran
abdomen (Debora, 2017)
Perkusi: Klien dengan PGK akkan mengeluh nyeri pada saat
dilakukan pemeriksaan sudut ccosto-vertebrae pada
penderita PGK (Debora, 2017)
Palpasi: Lakukan palpasi pada daerah terakhir diperiksa
yang terasa nyeri, teraba ada massa atau tidak pada ginjal
(Debora, 2017).
i) Kulit dan kuku
Inspeksi: Kuku akan menjadi rapuh dan tipis, kulit menjadi
pucat, kering dan mengelupas, bersisik, akan muncul
pruritus, warna cokelat kekuningan, hiperpigmentasi,
memar, uremic frost, ekimosis, petekie (Nursalam &
Batticaca, 2009; Muttaqin & Sari, 2011; Williams
&Wilkins, 2011; Chamberlain’s, 2012)
Palpasi: CRT > 3 detik, kulit teraba kasar dan tidak rata
(Muttaqin & Sari, 2011).
j) Genetalia
Inspeksi: Lihat kebersihan genetalia, tampak lesi atau tidak
(Debora, 2017).
Palpasi : palpasi bagian genetalia apakah terdapat nyeri,
terdapat pembesaran kelenjar getah bening atau tidak.
k) Ekstremitas
Inspeksi: Pada klien PGK terdapat edema pada kaki karena
adanya gravitasi biasanya ditemukan di betis dan paha pada
klien yang bedrest, kelemahan, kelelahan, kulit kering,
hiperpigmentasi, bersisik (Rendi & Margareth, 2012;
Haryono 2013)
Palpasi: Turgor kulit > 3 detik karena edema, kulit teraba
kering dan kasar (Chamberlain’s, 2012)
C. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada penyakit gagal ginjal kronis
menurut SDKI (2017) yaitu :
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi
2. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemia,
peningkatan tekanan darah.
4. Resiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
6. Nausea berhubungan dengan gangguan biokimiawi (uremia)
7. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan kelebihan
volume cairan.
8. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen, tirah baring.
D. Intervensi keperawatan
Tindakan keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronis menurut
SIKI (2018) yaitu:
a) Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme
Tujuan dan kriteria hasil (L.03020) :
a. Output urin sedang
b. Edema sedang
c. Tekanan darah membaik
d. Turgor kulit membaik
e. Berat badan membaik
Intervensi (I.03121) :
Observasi
1. Identifikasi tanda-tanda hipervolemik
2. Monitor tanda-tanda vital
3. Monitor elastisitas atau turgor kulit
4. Monitor jumlah warna dan berat jenis urin
5. Monitor hasil pemeriksaan serum
6. Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
7. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
8. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
9. Informasikan hasil pemantauan
E. Implementasi keperawatan
F. Evaluasi keperawatan
2.11Health education
Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) dalam mempertahankan kualitas
hidupnya harus patuh terhadap terapi hemodialisis dan dianjurkan pula untuk
melakukan pembatasan asupan cairan, akan tetapi pada terapi hemodialisis
berikutnya sering pasien datang dengan keluhan sesak nafas akibat kenaikan
volume cairan tubuh (Smeltzer& Bare 2002; dalam Kurniawati 2017).
Edukasi dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan klien PGK dalam
pembatasan asupan cairan, namun diperlukan faktor-faktor pendukung lainya
seperti dukungan keluarga, dukungan sosial dan motivasi dari klien sendiri.
Pemberian edukasi yang berkesinambungan serta adanya dukungan keluarga,
dukungan sosial, dan motivasi dari pasien sendiri diharapkan dapat
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi khususnya terapi pembatasan
asupan cairan.
Perawat hemodialsis mempunyai peran penting sebagai pemberi edukasi
untuk membantu pasien penyakit ginjal kronis agar patuh pada intake cairan.
Peningkatan pengetahuan dan pendidikan adalah pengalaman belajar yang
dirancang untuk membantu individu dan masyarakat dalam meningkatkan
kesehatan mereka dengan meningkatkan pendidikan dan mempengaruhi sikap
mereka (WHO 2011).
Edukasi yang bisa diberikan kepada pasien tentang asupan cairan harian
yang diberikan kepada pasien dibatasi sebanyak Insensible Water Losses
(IWL) ditambah jumlah urine/24 jam (Smeltzer & Bare 2008; Hinkle et al
2008). Tidak hanya masukan cairan yang bisa menaikkan berat badan
intradialitik namun makanan yang banyak mengandung natrium seperti ikan
asin, mengandung air seperti gelatin, sayuran berkuah seperti sop, camilan
kering seperti kerupuk memberi kontribusi pada total masukan cairan (Welch
et al 2006). Pasien secara rutin diukur berat badannya sebelum dan sesudah
HD untuk mengetahui kondisi cairan dalam tubuh pasien.
Menurut (Sri Purwanti, 2017) Beberapa edukasi kesehatan yang mampu
memberikan penanganan pada pasien gagal ginjal kronik dengan cara edukasi
secara online dan offline:
a. Edukasi kesehatan yang dilakukan secara online pasien mudah untuk
mengakses materi edukasi, meningkatkan pemahaman dan kepatuhan,
bisa berkonsultasi langsung dengan tenaga kesehatan, konsultasi gizi,
konseling pre dialisis dan bisa mengakses selama 24 jam kapan saja
dan dimana saja.
b. Edukasi secara offline pasien bisa diberikan edukasi pada saat
menjalani terapi hemodialisis atau pada saat rawat jalan.tujuan,
sesuaikan pengajaran dengan kebutuhan pasien, pilih materi edukasi
yang sesuai, sesuaikan isi pembelajaran dengan kemampuan atau
ketidakmampuan kognitif, psikomotor dan afektif pasien, siapkan
lingkungan yang kondusif, evaluasi pencapaian pasien terhadap tujuan
dari edukasi tersebut, berikan penguatan perilaku, berikan waktu
untuk diskusi, sertakan keluarga atau orang terdekat.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada BAB II maka penulis dapat menarik kesimpulan
sebagai berikut :
Penyakit Ginjal Kronik(PGK) atau Gagal Ginjal Kronik(GGK) adalah
kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta
keseimbangan caran dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang
progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolic (toksik uremik) di
dalam darah(Arif Muttaqin, 2014).
Begitu banyak konsisi klinis yang bisa menyebabakan terjadinya gagal
ginjal kronis. Akan tetapi apapun sebabnya, respons yang terjadi adalah
penurunan fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan
dan mengakibatkan GGK bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan diluar ginjal.
Pemantauan penurunan filtrasi ginjal dalam laju filtrasi glomerulus
digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui besarnya kerusakan ginjal
karena filtrasi glomerulus merupakan tahap awal dari fungsi nefron. Besarnya
laju filtrasi glomerulus sama dengan klirens suatu bahan yang difiltrasi secara
bebas oleh glomerulus, tidak direabsorbsi dan tidak disekresi oleh tubulus
ginjal.
Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) dalam mempertahankan kualitas
hidupnya harus patuh terhadap terapi hemodialisis dan dianjurkan pula untuk
melakukan pembatasan asupan cairan, akan tetapi pada terapi hemodialisis
berikutnya sering pasien datang dengan keluhan sesak nafas akibat kenaikan
volume cairan tubuh (Smeltzer& Bare 2002; dalam Kurniawati 2017).
3.2 SARAN
Hasil pembuatan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
tambahan pengetahuan dalam ilmu keperawatan khususnya dalam
pemahaman tentang Penyakit Ginjal Kronik sehingga para pembaca bisa
mengaplikasikan hal tersebut dalam kehidupan sehari – hari maupun di lahan
kerja dengan mampu memahami definisi Penyakit Ginjal Kronik, sehingga
nantinya makalah ini mampu meningkatkan keperawatan sebagai suatu
disiplin ilmu yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Andriani Santi, dkk. (2021). Penyesuaian Dosis Obat pada Pasien Gagal Ginjal
Kronis Rawat Inap di Rumah Sakit Kabupaten Tegal, Indonesia. Majalah
Farmaseutik Vol 17 No 1. Di akses pada tanggal 21 Agustus 2021.
Dewi, Riana & Mustofa, Akhmad. (2021). Penurunan Intensitas Rasa Haus
Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Dengan
Menghisap Es Batu. Ners Muda, Vol 2 No 2. Di akses pada tanggal 21
Agustus 2021.
Muttaqin, Arif & Sari, Kumala. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Jakarta:Salemba Medika. Hal 166-180.
Riahta,DI &Yetti,Krisna. 2020. Diet Dan Nutrisi Pada Penyakit Ginjal Kronik.
Jurnal Keperawatan. Vol.12 No.4. diakses pada tanggal 22 agustus 2021.
Sagita, Novia Dwi. 2019. Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Penyakit Ginjal Kronis
Di RS Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. (Karya Tulis Ilmiah. Samarinda :
Politeknik Kemenkes Kalimantan Timur) diakses pada tanggal 26 agustus 2021