Anda di halaman 1dari 53

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN

GAGAL GINJAL KRONIS

Nama Kelompok:

Riska Apriliyanti Taufik 214201446178

Eliance Marpaung 214201446181

Theresia Fransiska Agustina 214201446186

Hanifa A. Fitriani 214201446188

Zahra Azizah 214201446190

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS NASIONAL

JAKARTA

2023
2

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
kelompok dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA
ANAK DENGAN GAGAL GINJAL KRONIS” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Keperawatan Anak
Sakit Kronis dan Terminal. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Asuhan Keperawatan pada anak dengan gagal ginjal kronis bagi para pembaca dan juga penulis.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Kelompok sangat berharap semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap
lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami
sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 24 Maret 2023

Kelompok II

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel dan progresif dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
3
elektrolit sehingga menyebabkan uremia (Black & Hawk dalam Dwy Retno Sulystianingsih,
2018).
Gagal Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) saat ini merupakan masalah
kesehatan yang penting mengingat selain insiden dan pravelensinya yang semakin meningkat,
pengobatan pengganti ginjal yang harus dijalani oleh penderita gagal ginjal merupakan
pengobatan yang sangat mahal. Dialisa adalah suatu tindakan terapi pada perawatan penderita
gagal ginjal terminal. Tindakan ini sering juga disebut sebagai terapi pengganti karena
berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang sering dilakukan adalah
hemodialisis dan peritonealialisa. Diantara kedua jenis tersebut, yang menjadi pilihan utama
dan metode perawatan yang umum untuk penderita gagal ginjal adalah hemodialisis (Arliza
dalam Nita Permanasari, 2018).
Populasi paling sedikit 6 % dari populasi dewasa di Amerika Serikat mengidap
penyakit ginjal kronik stadium 1 dan 2. Sebagian dari kelompok ini akan berlanjut ke stadium-
stadium penyakit ginjal kronik yang lebih berat. Sebanyak 4,5% dari populasi Amerika Serikat
diperkirakan mengidap penyakit ginjal kronis stadium 3 dan 4. Kausa tersering penyakit ginjal
kronis adalah nefropati diabetikum, terutama akibat diabetes melitus tipe 2. Nefropati
hipertensif adalah penyebab penyakit ginjal kronis yang sering dijumpai pada usia lanjut
karena iskemia kronik pada ginjal akibat penyakit renovaskuler pembuluh kecil dan besar
dapat berlangsung tanpa disadari. Nefrosklerosis progresif akibat penyakit vaskuler adalah
padanan ginjal untuk proses yang sama yang menyebabkan penyakit jantung koroner dan
penyakit serebrovaskuler (Harrison, 2013: 107).
Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan pada tahun 2013 populasi diatas 15
tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronis sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan
prevalensi PGK (Penyakit Ginjal Kronik) di negaranegara lain. Sedangkan provinsi dengan
prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan
Sulawesi Utara masingmasing 0,4 % (Infodatin, 2017).
Menurut World Health Organization (WHO) penyebab kematian terbesar terbesar di
dunia adalah penyakit jantung iskemik, bertanggung jawab atas 16% dari total kematian dunia.
Sejak tahun 2000, peningkatan kematian terbesar adalah untuk penyakit ini, meningkat lebih
dari 2 juta menjadi 8,9 juta kematian pada tahun 2019.Selanjutnya Stroke dan penyakit paru
obstruktif kronik adalah penyebab kematian ke-2 dan ke-3, Sementara Chronic kidney disease
(CKD) mengalami peningkatan dari urutan ke-13 penyebab kematian menjadi urutan ke-10.
Kematian meningkat dari 813.000 pada tahun 2000 menjadi 1,3 juta pada tahun 2019.
Diagnosa keperawatan yang biasa muncul pada klien dengan gagal ginjal kronik yaitu
Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung meningkat, Kelebihan volume
cairan yang berhubungan dengan kegagalan mekanisme pengaturan ginjal, Ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
4
kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis, Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, Defisit perawatan diri
berhubungan dengan kelemahan, Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan
status cairan dan Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan (Pranata &
Prabowo (2014) dan Margareth (2012).
Peran perawat dalam pengobatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik khusunya
pada anak adalah perawat bertanggung jawab memberikan penyuluhan kepada keluarga
mengenai penyakit, implikasi dan rencana terapi, kemungkinan efek psikologis penyakit dan
penanganannya karena pada remaja yang sangat membutuhkan kemandirian dan cenderung
memberontak, biasanya kurang beradaptasi dengan baik. Mereka marah karena dikendalikan
dan dipaksa bergantung pada program terapi yang keras dan tidak dapat ditawar. Selain itu
perawat berperan dalam pembatasan diet pada anak dan memberi kesempatan anak terutama
remaja untuk berpartisipasi atas program terapinya sendiri, dikarenakan pembatasan diet
terutama membebani anak dan orangtua. Anak akan merasa diabaikan ketika mereka tidak
boleh memakan makanan yang tadinya sangat disukai sedangkan anggota keluarga yang
lainnya boleh memakan makanan tersebut. Beberapa anak yang tidak memahami tujuan
pembatasan makanan, akan mencuri-curi makanan yang dilarang dalam setiap kesempatan,
untuk itu harus diberikan kesempatan pada anak untuk berpartisipasi dalam program terapinya
sendiri (Wong, dkk, 2009: 1200).
1.2 TUJUAN
A. Tujuan
1. Tujuan umum
Mampu menerapkan filosofi, konsep holistik dan proses keperawan kritis pada klien dengan
Gagal Ginjal Kronis pada anak.
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mampu memahami teori Gagal Ginjal Kronis pada anak.
b. Mahasiswa mampu memahami konsep teori asuhan Gagal Ginjal Kronis pada anak.
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit Gagal Ginjal Kronik


1. Pengertian
Gagal Gagal Ginjal Kronis didefinisikan sebagai kerusakan fungsi ginjal yang terjadi
lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural maupun fungsional ginjal dengan atau tanpa
disertai penurunan laju filtrasi glomerulus (Glomerulus Filtration Rate / GFR) dengan
manifestasi kelainan pathologis atau terdapat tanda-tanda kelainan ginjal, termasuk
kelainan dalam komposisi kimia darah, urin atau kelainan pathologis atau terdapat tanda-
tanda kelainan ginjal (Smeltzer & Bare, 2015).
Gagal ginjal kronik adalah suatu proses dengan etiologi yang beragam patofisiologis,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progressive, dan pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal, gagal ginjal adalah suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel. Uremia adalah suatu
sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi
ginjal pada penyakit ginjal kronik pada semua organ (Suwitra, 2015).
Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan cairan
tubuh dalam keadaan asupan makanan normal volume dan komposisi. Biasanya dibagi
menjadi dua kategori yaitu kronik dan akut gagal ginjal. Progresif dan lambat pada setiap
nefron Penyakit ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang (biasanya
berlangsung beberapa tahun dan tidak reversible). Penyakit ginjal kronik seringkali
berkaitan dengan penyakit kritis, dan biasanya reversible bila pasien dapat bertahan dengan
penyakit kritisnya dengan berkembang cepat dalam hitungan beberapa hari hingga minggu.
(Price & Wilson, 2006 dalam Nanda Nic-Noc, 2015).
6

2. Etiologi

Gagal ginjal pada bayi dan anak sering terjadi akibat anomaly ginjal atau
traktus urinarius congenital seperti hipoplasia atau dysplasia ginjal, penyakit
ginjal kistik dan kelainan ureter, katup vesikoureter dan uretra. Refluks
vesikoureter bertekanan tinggi akibat obstruksi dapat menghancurkan ginjal
in utero. Refluks minor akibat inkompetensi katup vesikoureter pun mampu
menambah kerentanan terhadap infeksi ginjal, dan pielonefritis berulang
dengan parut ginjal merupakan penyebab gagal ginjal kronik yang lazim
pada anak semua usia. Neurogenik bladder, suatu masalah lazim pada anak
dengan spina bifida, kadang-kadang disertai dengan cedera ginjal berat
karena refluks dan infeksi. Penyakit glomerulus tidak lazim ditemukan pada
masa bayi tetapi merupakan penyebab gagal ginjal yang semakin sering
sesudah usia beberapa tahun pertama. Ginjal juga dapat ikut terkena pada
penyakit sistemik, seperti lupus atau sindrom hemolitik-uremik. Kadang-
kadang penyebab gagal ginjal kronik pada anak adalah nekrosis korteks
karena anoksia ginjal, obat nefrotoksik, dan racun serta kesalahan
metabolisme bawaan seperti sistinosis dan hipereoksaluria kongenital
(Rudolph, dkk 2014: 1478).

3. Anatomi dan Fisiologi Ginjal

a. Anatomi Ginjal

Ginjal (kidney) merupakan organ yang berguna dalam produksi urine dan

mengeluarkan urine dari dalam tubuh. Ginjal melakukan fungsi yang paling

penting dengan menyaring plasma dan memindahkan zat dan filtrat pada
7
kecepatan yang bervariasi tergantung pada kebutuhan tubuh. Akhirnya ginjal

membuang zat yang tidak diinginkan dengan cara filtrasi darah dan

menyekresinya melalui urin, sementara zat yang masih dibutuhkan akan

kembali ke dalam darah. Pada orang dewasa, panjang ginjal kira – kira 11 cm

dengan lebar 5 –7.5 cm dan tebalnya 2.5 cm dan beratnya sekitar 150 gram.

Organ ginjal berbentuk kurva yang terletak di area retroperitoeal, pada bagian

belakangdinding abdomen di samping depan vertebrata, setinggi torakal 12

sampai lumbal ke 3. Ginjal disokong oleh jaringan adipose dan jaringan

penyokong yang disebut fasia gerota serta dibungkus oleh kapsul ginjal, yang

berguna untuk mempertahankan ginjal, pembuluh darah dan kelenjar adrenal

terhadap adanya trauma. Menurut (Syarifuddin, 2011), terdapat beberapa

fungsi ginjal adalah sebagai berikut :

1) Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh.

Kelebihan air dalam tubuh akan dieksresikan oleh ginjal

sebagai urin yang encer dalam jumlah besar. Kekurangan air

(kelebihan keringat) menyebabkan urin yang dieksresikan

jumlahnya berkurang dan monsentrasinya menjadi lebih pekat

sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahankan

relatif normal.

2) Mengatur keseimbangan osmotik dan keseimbangan ion.

Fungsi ini terjadi dalam plasma bila terdapat pemasukan

dan pengeluaran yang abnormal dari ion – ion. Akibat pemasukan

garam yang berlebihan atau penyakit perdarahan, diare, dan

muntah

– muntah, ginjal akan meningkatkan eksresi ion – ion yang

penting, seperti : Na, K,Cl, Ca dan fosfat.

3) Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh.

Tergantung pada apa yang dimakan, campuran makanan


8
(mixed diet) akan menghasilkan urin yang bersifat agak asam, pH

kurang dari 6. Hal ini disebabkan oleh hasil akhir metabolisme

protein. Apabila banyak makan sayur – sayuran, urin akan bersifat


basa, pH urin bervariasi antara 4,8 – 8,3. Ginjal menyekresi urin

sesuai dengan perubahan pH darah.

4) Ekskresi sisa – sisa hasil metabolisme. (ureum, asam urat,

kreatinin) Bahan – bahan yang dieksresikan oleh ginjal antara lain

zat toksik, obat – obatan, hasil metabolisme hemoglobin, dan

bahan

kimia asing (pestisida) .

5) Fungsi hormonal dan metabolisme.

Ginjal menyekresi hormon renin yang mempunyai peranan

penting dalam mengatur tekanan darah (sistem renin-angiostensin-

aldesteron) yaitu untuk mengatur pembentukan sel darah merah

(eritropoisis). Disamping itu, ginjal juga membentuk hormon

dihidroksi kolekalsiferol (vitamin D aktif) yang diperlukan untuk

absobsi ion kalsium di usus.

6) Pengaturan tekanan darah

Ginjal sebagai pengatur tekanan darah dan menghasilkan

enzim renin, angiostensin, dan aldesteron yang berfungsi

meningkatkan tekanan darah.

7) Pengeluaran zat racun.

Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan makanan, obat –

obatan, atau zat kimia asing lain dari tubuh.

Ginjal terdiri atas tiga area yaitu korteks, medulla dan pevis.

a) Korteks
Korteks merupakan bagian paling luar ginjal, dibawah

kapsula fibrosa sampai dengan lapisan medulla, tersusun atas

nefron – nefron yang jumlahnya lebih dari 1 juta. Semua

glomerulus berada di korteks dan 90% aliran darah menuju

pada korteks.

b) Medulla

Medulla terdiri dari saluran – saluran atau duktus

collecting yang disebut piramid ginjal yang tersusun antara 8 –

18 buah.

c) Pelvis

Pelvis merupakan area yang terdiri dari kaliks minor

yang kemudian bergabung menjadi kaliks mayor. Empat

sampai lima kaliks minor bergabung menjadi kaliks mayor dan

dua sampai tiga kaliks mayor bergabung menjadi pelvis ginjal

yang berhubungan dengan ureter bagian proksimal (Tarwoto &

Wartonah, 2015).

b. Letak Anatomi Ginjal

Pembuluh darah pada ginjal dimulai dari arteri renalis sinistra

yang membawa darah dengan kandungan tinggi CO2 masuk ke ginjal

melalui hilum renalis. Secara khas, didekat hilum renalis masing -

masing arteri menjadi lima cabang arteri segmentalis yang melintas ke

segmenta renalis. Beberapa vena menyatukan darah dari ginjal dan

bersatu membentuk pola yang berbeda - beda, untuk membentuk vena


11

renalis. Vena renalis terletak ventral terhadap arteri renalis, dan vena

renalis sinistra lebih panjang, melintas ventral terhadap aorta. Masing

- masing vena renalis bermuara ke vena cava inferior Arteri lobaris

merupakan arteri yang berasal dari arteri segmentalis dimana masing -

masing arteri lobaris berada pada setiap piramis renalis. Selanjutnya,

arteri ini bercabang menjadi 2 atau 3 arteri interlobaris yang berjalan

menuju korteks di antara piramid renalis. Pada perbatasan korteks dan

medula renalis, arteri interlobaris bercabang menjadi arteri arkuata

yang kemudian menyusuri lengkungan piramis renalis. Arteri arkuata

mempercabangkan arteri interlobularis yang kemudian menjadi

arteriol aferen.

c. Fisiologi Ginjal

Masing - masing ginjal manusia terdiri dari sekitar 1.000.000

nefron yang masing - masing dari nefron tersebut memiliki tugas

untuk membentuk urin. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru,

disebabkan karena trauma, penyakit ginjal, atau penuaan ginjal

normal, yang akan menyebabkan penurunan jumlah nefron secara

bertahap. Setelah usia 40 tahun, jumlah nefron biasanya menurun

setiap 10 tahun. Berkurangnya fungsi ini seharusnya tidak


12
mengancam jiwa karena adanya proses adaptif tubuh terhadap

penurunan fungsi faal ginjal. Setiap nefron memiliki 2 komponen

utama yaitu glomerulus dan tubulus. Glomerulus (kapiler glomerulus)

dilalui sejumlah cairan yang difiltrasi dari darah sedangkan tubulus

merupakan saluran panjang yang mengubah cairan yang telah difiltrasi

menjadi urin dan dialirkan menuju keluar ginjal. Glomerulus tersusun

dari jaringan kapiler glomerulus bercabang dan beranastomosis yang

mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira – kira 60mmHg),

dibandingkan dengan jaringan kapiler lain.

Kapiler - kapiler glomerulus dilapisi oleh sel - sel epitel dan seluruh

glomerulus dilingkupi dengan kapsula bowman. Cairan yang difiltrasi

dari kapiler glomerulus masuk ke dalam kapsula bowman dan

kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang terletak pada korteks

ginjal. Dari tubulus proksimal kemudian dilanjutkan dengan ansa

Henle (Loop of Henle). Pada ansa Henle terdapat bagian yang

desenden dan asenden. Pada ujung cabang asenden tebal terdapat

makula densa. Makula densa juga memiliki kemampuan kosong untuk

mengatur fungsi nefron. Setelah itu dari tubulus distal, urin menuju

tubulus rektus dan tubulus koligentes modular hingga urin mengalir

melalui ujung papilla renalis dan kemudian bergabung membentuk

struktur pelvis renalis.

Terdapat 3 proses dasar yang berperan dalam pembentukan urin yaitu

filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Filtrasi

dimulai pada saat darah mengalir melalui glomerulus sehingga terjadi

filtrasi plasma bebas - protein menembus kapiler glomerulus ke

kapsula bowman. Proses ini dikenal sebagai filtrasi glomerulus yang

merupakan langkah pertama dalam pembentukan urin. Setiap hari

terbentuk rata - rata 170 liter filtrat glomerulus. Dengan menganggap


13
bahwa volume plasma rata – rata pada orang dewasa adalah 2,75 liter,

hal ini berarti seluruh volume plasma tersebut difiltrasi sekitar enam

puluh lima kali oleh ginjal setiap harinya. Apabila semua yang

difiltrasi menjadi urin, volume plasma total akan habis melalui urin

dalam waktu setengah jam. Namun, hal itu tidak terjadi karena adanya

tubulus - tubulus ginjal yang dapat mereabsorpsi kembali zat - zat

yang masih dapat dipergunakan oleh tubuh. Perpindahan zat - zat dari

bagian dalam tubulus ke dalam plasma kapiler peritubulus ini disebut

sebagai reabsorpsi tubulus. Zat - zat yang direabsorpsi tidak keluar

dari tubuh melalui urin, tetapi diangkut oleh kapiler peritubulus ke

sistem vena dan kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Dari

170 liter plasma yang difiltrasi setiap hari, 178,5 liter diserap kembali

dengan 1,5 liter sisanya terus mengalir melalui pelvis renalis dan

keluar sebagai urin. Secara umum, zat - zat yang masih diperlukan

tubuh akan direabsorpsi kembali sedangkan yang sudah tidak

diperlukan akan tetap bersama urin untuk dikeluarkan dari tubuh.

Proses ketiga adalah sekresi tubulus yang mengacu pada

perpindahan selektif zat - zat dari darah kapiler peritubulus ke lumen

tubulus. Sekresi tubulus merupakan rute kedua bagi zat - zat dalam

darah untuk masuk ke dalam tubulus ginjal. Cara pertama adalah

dengan filtrasi glomerulus dimana hanya 20% dari plasma yang

mengalir melewati kapsula Bowman, sisanya terus mengalir melalui

arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus. Beberapa zat, mungkin

secara diskriminatif dipindahkan dari plasma ke lumen tubulus

melalui mekanisme sekresi tubulus. Melalui 3 proses dasar ginjal

tersebut, terkumpullah urin yang siap untuk diekskresi. Ginjal

memainkan peranan penting dalam fungsi tubuh, tidak hanya dengan

menyaring darah dan mengeluarkan produk - produk sisa, namun juga


14
dengan menyeimbangkan tingkat - tingkat elektrolit dalam tubuh,

mengontrol tekanan darah, dan menstimulasi produksi dari sel - sel

darah merah.

Ginjal mempunyai kemampuan untuk memonitor jumlah cairan

tubuh, konsentrasi dari elektrolit - elektrolit seperti sodium dan

potassium, dan keseimbangan asam - basa dari tubuh. Ginjal

menyaring produk – produk sisa dari metabolisme tubuh, seperti urea

dari metabolisme protein dan asam urat dari uraian DNA. Dua produk

sisa dalam darah yang dapat diukur adalah Blood Urea Nitrogen

(BUN) dan kreatinin (Cr). Ketika darah mengalir ke ginjal, sensor -

sensor dalam

ginjal memutuskan berapa banyak air dikeluarkan sebagai urin,

bersama dengan konsentrasi apa dari elektrolit - elektrolit. Contohnya,

jika seseorang mengalami dehidrasi dari latihan olahraga atau dari

suatu penyakit, ginjal akan menahan sebanyak mungkin air dan urin

menjadi sangat terkonsentrasi. Ketika kecukupan air dalam tubuh, urin

adalah jauh lebih encer, dan urin menjadi bening. Sistem ini dikontrol

oleh renin, suatu hormon yang diproduksi dalam ginjal yang

merupakan sebagian daripada sistem regulasi cairan dan tekanan darah

tubuh. (Syarifuddin, 2011).

4. Patofiologi

Menurut Pranata & Prabowo (2014) dan Harrison (2013) Gagal ginjal
kronis seringkali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit lainnya, sehingga
merupakan penyakit sekunder. Penyebab yang sering adalah diabetes melitus
dan hipertensi. Selain itu ada beberapa penyebab lain dari gagal ginjal kronis
yaitu penyakit glomerular kronis (glomerulonefritis), infeksi kronis
(pyelonefritis kronis, tuberculosis), kelainan kongenital (polikistik ginjal),
penyakit vaskuler (renal nephrosclerosis), obstruksi saluran kemih
(nephrolithisis), penyakit kolagen (systemik lupus erythematosus) dan obat-
obatan nefrotoksik (aminoglikosida). Pada awalnya beberapa penyakit ginjal
15
terutama menyerang glomerulus (glomerulonefritis), sedangkan jenis yang
lain menyerang tubulus ginjal atau dapat juga mengganggu perfusi darah pada
parenkim ginjal (nefrosklerosis) sehingga menyebabkan suplai darah ke ginjal
turun maka laju filtrasi glomerulus menurun sehingga menyebabkan
seseorang menderita gagal ginjal kronis, akibatnya sekresi protein terganggu,
retensi natrium dalam darah, dan sekresi eritropoetin turun. Bila proses
penyakit tidak dihambat, maka pada semua kasus seluruh nefron akhirnya
hancur dan diganti dengan jaringan parut. Bila nefron terserang penyakit,
maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap
bekerja normal. Uremia akan terjadi bila jumlah nefron sudah sangat
berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat
dipertahankan lagi.

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang


normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah sehingga
terjadi sindrom uremia yang jika tidak dikeluarkan oleh tubuh lewat urin
maka akan mempengaruhi keseimbangan asam basa, tertimbunnya urokrom
dikulit dan prepospatemia.
Gangguan keseimbangan asam basa akan memicu asam lambung naik
memicu terjadinya iritasi pada lambung dan menyebabkan seseorang
mengalami nyeri abdomen, mual, muntah dan perdarahan saluran cerna
sehingga diagnosa keperawatan yang muncul adalah Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Salah satu akibat dari sindrom uremia
adalah tertimbunnya urokrom di kulit. Urokrom yang tertimbun di kulit dapat
menyebabkan seseorang dengan gagal ginjal kronik mengalami perubahan
pada warna kulit yang terlihat lebih gelap. Perpospatemia adalah salah satu
dampak dari sindrom uremia jika tidak ditangani. Perpospatemia
menyebabkan pruritus maka diagnosa keperawatan yang muncul kerusakan
integritas kulit.

Masalah yang timbul akibat gagal ginjal kronik adalah kurangnya


produksi eritropoetin oleh ginjal yang sakit. Sekresi eritropoetin yang
mengalami defisiensi di ginjal akan mengakibatkan penurunan hemoglobin
sehingga oksihemoglobin turun dan menyebabkan suplai oksigen ke jaringan
turun menyebabkan seseorang cepat lelah saat beraktivitas maka diagnosa
keperawatan yang timbul intoleransi aktivitas.
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik stabil,
kandungan natrium dan air tubuh total meningkat sedang, meskipun hal ini
mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan klinis. Banyak bentuk penyakit
16
ginjal (mis. Glomerulonefritis) mengganggu keseimbangan glomerulotubular
ini sedemikian rupa sehingga asupan natrium dari makanan melebihi
ekskresinya di urin, menyebabkan retensi natrium dan ekspansi volume cairan
ekstrasel (VCES) naik. Jika ekspansi volume cairan ekstrasel naik maka
tekanan kapiler meningkat dan menyebabkan volume interstisial naik
sehingga timbul edema maka diagnosa keperawatan yang dapat diambil
kelebihan volume cairan. Jika edema tidak segera diatasi maka beban jantung
meningkat yang menyebabkan prognosis yang buruk, termasuk terbentuknya
hipertrofi ventrikel dan semakin cepatnya penurunan fungsi ginjal. Hipertrofi
ventrikel kiri dapat menyebabkan gagal jantung atau bahkan serangan edema
paru. Gagal jantung dapat merupakan konsekuensi dari disfungsi diastolik
atau sisitolik atau keduanya. Juga dapat terjadi suatu bentuk edema paru
‘tekanan darah’ pada penyakit ginjal kronis stadium lanjut, yang
bermanifestasi sebagai napas yang pendek dan cairan edema alveolus.
Temuan ini dapat dijumpai bahkan tanpa adanya kelebihan VCES dan
berkaitan dengan tekanan baji kapiler paru yang normal atau sedikit
meningkat. Proses ini diperkirakan disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas membran kapiler alveolus sebagai manifestasi dari keadaan
uremik, dan berespons terhadap dialisis, maka diagnosa keperawatan yang
dapat diambil adalah gangguan pertukaran gas.
17

Kelainan kongenital, Infeksi kronis,


Arteriosklerosis Suplai darah
Glomerulonefritis, SLE, Zat toksik, GFR turun GGK
ginjal turun
Nephrolithiasis, penyakit vaskuler

Sekresi protein Retensi Na Sekresi eritropoetin


terganggu turun

Total CES naik Produksi Hb turun


Sindrom uremia

Tekanan kapiler naik Suplai nutrisi dalam


Gangguan Urokrom perpospatemia
darah turun
keseimbangan tertimbun di
asam basa kulit
Volume interstisial naik Oksihemoglobin
Pruritus
turun
Asam lambung naik Perubahan
edema Beban
warna kulit
Kerusakan jantung naik
Suplai oksigen ke
integritas kulit
Mual, muntah jaringan menurun
Kelebihan volume Hipertrofi
cairan ventrikel kiri
Keletihan
Ketidakseimb
angan nutrisi Payah jantung kiri
kurang dari
Intoleransi
kebutuhan
Bendungan atrium kiri naik aktivitas
tubuh

Tekanan vena pulmonalis meningkat

Kapiler paru naik

Edema paru

Gangguan pertukaran gas

(Nurarif & Hardhi, 2013)


18

5. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan yang
bersifat sistemik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran sirkulasi
memiliki fungsi yang banyak (organs multifunction), sehingga kerusakan
kronis secara fisiologis ginjal akan mengakibatkan gangguan keseimbangan
sirkulasi dan vasomotor. Berikut ini adalah tanda dan gejala yang ditunjukkan
oleh gagal ginjal kronis menurut Pranata & Prabowo (2014: 198).
1. Ginjal dan gastrointestinal
Sebagai akibat dari hiponatremi maka timbul hipotensi,mulut
kering, penurunan turgor kulit, kelemahan, dan mual kemudian
terjadi penurunan kesadaran (somnolen) dan nyeri kepala yang
hebat. Dampak dari peningkatan kalium adalah peningkatan
iritabilitas otot dan akhirnya otot mengalami kelemahan. Kelebihan
cairan yang tidak terkompensasi akan mengakibatkan asidosis
metabolik. Tanda paling khas adalah terjadinya penurunan urine
output dengan sedimentasi yang tinggi.
2. Kardiovaskuler
Biasanya terjadi hipertensi, gagal jantung, edema periorbital dan
edema perifer.
3. Gastrointestinal
Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa
gastrointestinal karena stomatitis, ulserasi, dan perdarahan gusi, dan
kemungkinan juga disertai parotitis. Kejadian sekunder biasanya
mengikuti seperti anoreksia, nausea, dan vomiting.
4. Integumen
Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan ada scalp.
Selain itu biasanya juga menunjukkan adanya purpura, ekimosis,
petechie, dan timbunan urea pada kulit.

5. Neurologis

Biasanya ditunjukkan dengan adanya neuropathy perifer, nyeri,


gatal pada lengan dan kaki. Selain itu, juga adanya kram pada otot
19
dan refleks kedutan, daya memori menurun, apatis, rasa kantuk
meningkat, iritabilitas, pusing, koma, dan kejang. Dari hasil EEG
menunjukkan adanya perubahan metabolik encephalophaty.

6. Endokrin

Bisa terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorrhea, dan


gangguan siklus menstruasi pada wanita, penurunan sekresi sperma,
peningkatan sekresi aldosteron dan kerusakan metabolisme
karbohidrat.
7. Hematopoitiec
Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah,
trombositopenia (dampak dari dialysis), dan kerusakan platelet.
Biasanya masalah yang serius pada system hematologi ditunjukkan
dengan adanya perdarahan (purpura, ekimosis dan petechie).
8. Musculoskeletal
Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur
pathologis dan kalsifikasi (otak, mata, gusi, sendi, miokard).

6. Pemeriksaan Penunjang
Berikut ini adalah pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk
menegakkan diagnoasa gagal ginjal kronis (Pranata & Prabowo, 2014: 201):
a. Biokimiawi
Pemeriksaan utama dari analisa fungsi ginjal adalah ureum dan
kreatinin plasma. Untuk hasil yang lebih akurat untuk mengetahui
fungsi ginjal adalah dengan analisa creatinine clearance (klirens
kreatinin). Selain pemeriksaan fungsi gnjal (renal function test),
pemeriksaan kadar elektrolit juga harus dilakukan untuk
mengetahui status keseimbangan elektrolit dalam tubuh sebagai
bentuk kinerja ginjal.

b. Urinalisis
Urinalisis dilakukan untuk menapis ada/ tidaknya infeksi pada
ginjal atau ada/ tidaknya perdarahan aktif akibat inflamasi pada
jaringan parenkim ginjal.
c. Ultrasonografi ginjal
Imaging (gambaran) dari ultrasonografi akan memberikan
informasi yang mendukung untuk menegakkan diagnosa gagal
ginjal. Pada klien gagal ginjal biasanya menunjukkan adanya
obstruksi atau jaringan parut pada ginjal. Selain itu, ukuran dari
20
ginjal pun akan terlihat.

Menurut Lemone, dkk (2016: 1067) pemeriksaan diagnostik


digunakan baik untuk mengidentifikasi gagal ginjal kronik maupun
memonitor fungsi ginjal. Sejumlah pemeriksaan dapat dilakukan untuk
menentukan penyebab gangguan ginjal. Ketika diagnosis ditegakkan,
fungsi ginjal dimonitor terutama lewat kadar sisa metabolik dan
elektrolit dalam darah.
1. Urinalisis
Dilakukan untuk mengukur berat jenis urine dan mendeteksi komponen
urine yang abnormal. Pada gagal ginjal kronik, berat jenis dapat tetap
pada sekitar 1,010 akibat kerusakan sekresi tubulus, reabsorpsi dan
kemampuan memekatkan urine. Protein abnormal, sel darah dan
bekuan sel dapat juga ditemukan di urine.
2. Kultur urine
Diinstruksikan untuk mengidentifikasi infeksi saluran kemih yang
mempercepat perkembangan gagal ginjal kronik.
3. BUN dan kreatinin serum
Diambil untuk mengevaluasi fungsi ginjal dan mengkaji perkembangan
gagal ginjal. BUN 20-50 mg/dL mengindikasikan azotemia ringan;
kadar lebih dari 100 mg/dL mengindikasikan kerusakan ginjal
berat. Gejala uremia ditemukan saat BUN sekitar 200 mg/dL atau
lebih tinggi. Kadar serum kreatinin lebih dari 4 mg/dL
mengindikasikan kerusakan ginjal serius.
4. eGFR
Digunakan untuk mengevaluasi GFR dan stadium penyakit ginjal
kronik. eGFR adalah perhitungan nilai yang ditentukan menggunakan
rumus yang memasukkan kreatinin serum, usia, jenis kelamin dan ras
pasien.
5. Elektrolit serum
Dimonitor lewat perjalanan gagal ginjal kronik. Natrium serum dapat
berada dalam batasan normal atau rendah karena retensi air. Kadar
kalium naik tetapi biasanya tetap dibawah 6,5 mEq/L. Fosfor serum
naik dan kadar kalsium turun. Asidosis metabolik diidentifikasi dengan
pH rendah, CO2 rendah, dan kadar bikarbonat rendah.
6. CBC
Menunjukkan anemia sedang ke arah berat dengan hematokrit 20%
21
hingga 30% dan hemoglobin rendah. Jumlah sel darah merah dan
trombosit turun.
7. Ultrasonografi ginjal
Dilakukan untuk mengevaluasi ukuran ginjal. Pada gagal ginjal kronik,
ukuran ginjal berkurang karena nefron hancur dan massa ginjal
mengecil.
8. Biopsi ginjal
Dapat dilakukan untuk mengidentifikasi proses penyakit penyebab jika
ini tidak jelas. Selain itu juga digunakan untuk membedakan gagal
ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Biopsi ginjal dapat dilakukan pada
pembedahan atau dilakukan menggunakan biopsi jarum.

7. Penatalaksanaan

Menurut Wong, dkk (2009) Pada gagal ginjal yang bersifat ireversibel,
tujuan penatalaksanaan medis antara lain meningkatkan fungsi ginjal sampai
taraf maksimal, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam
batas biokimiawi yang aman, mengobati komplikasi sistemik dan
meningkatkan kualitas kehidupan hingga taraf seaktif dan senormal mungkin
bagi anak tersebut.
a. Pengaturan diet
Tujuan diet pada gagal ginjal adalah memberikan kalori dan protein
yang cukup bagi pertumbuhan anak sekaligus membatasi kebutuhan
ekskresi pada ginjal, meminimalkan penyakit tulang metabolik, dan
meminimalkan gangguan cairan dan elektrolit.
Asupan natrium dan air biasanya tidak dibatasi kecuali bila terdapat
gejala edema dan hipertensi, dan asupan kalium umumnya tidak
dibatasi.
Asupan fosfor harus dikendalikan melalui pengurangan asupan protein
dan susu untuk mencegah atau mengoreksi gangguan keseimbangan
kalsium atau fosfor. Kadar fosfor dapat dikurangi lebih lanjut dengan
pemberian karbonat per oral yang berikatan dengan fosfor
menurunkan absorpsi gastrointestinal dan menurunkan kadar fosfat
serum.
b. Penatalaksanaan teknologik gagal ginjal
1. Dialisis
Dialisis merupakan proses pemisahan substansi koloid dan
kristaloid dalam larutan berdasarkan perbedaan laju difusi melalui
membrane semipermeabel. Metode dialisis yang kini tersedia
22
adalah dialisis peritoneal dengan rongga abdomen berfungsi
sebagai membran semipermeabel yang dapat dilalui oleh air dan zat
terlarut yang ukuran molekulnya kecil; hemodialisis yaitu darah
yang disirkulasikan diluar tubuh melalui membrane buatan yang
memungkinkan alur yang sama untuk air dan zat terlarut;
hemofiltrasi yaitu filtrat darah yang disirkulasi di luar tubuh dengan
diberi tekanan hidrostatik melintasi membran semipermeabel
sambil pada saat yang bersamaan dimasukkan larutan pengganti.
2. Transplantasi
Transplantasi memberikan kesempatan kepada pasien untuk
menjalani hidup yang relative normal dan merupakan bentuk terapi
pilihan untuk anak-anak yang menderita gagal ginjak kronik. Ginjal
untuk ditransplan diperoleh dari dua sumber yaitu donor kerabat
yang masih hidup (living related donor/ LDR) yang biasanya
berasal dari orangtua atau saudara kandung, atau donor kadaver,
yaitu yang berasal dari pasien yang sudah meninggal atau yang
sudah mengalami kematian otak yang keluarganya yang menyetujui
untuk menyumbangkan organ ginjal yang sehat tersebut. Tujuan
utama transplantasi adalah kelangsungan hidup jaringan yang
dicangkokkan dalam jangka waktu lama dengan melindungi
jaringan yang secara antigen serupa dengan jaringan yang terdapat
pada resipien dan dengan menekan mekanisme imun resipien.
Menurut Lemone, dkk (2014: 1068) mengatakan bahwa dalam
mempertahankan nutrisi yang cukup dan mencegah kekurangan gizi
kalori protein adalah fokus penatalaksanaan nutrisi selama tahap
awal gagal ginjal kronik. Saat fungsi ginjal menurun, eliminasi air,
zat terlarut, dan sisa metabolik rusak. Akumulasi zat sisa ini dalam
tubuh memperlambat perkembangan kerusakan nefron,
menurunkan gejala uremia, dan membantu mencegah komplikasi.
Tidak seperti karbohidrat dan lemak, tubuh tidak dapat
menyimpan kelebihan protein. Protein dalam makanan yang tidak
dipakai dipecah menjadi urea dan sisa nitrogen lainnya, yang
kemudian dieliminasi oleh ginjal. Makanan kaya protein juga
mengandung ion anorganik seperti ion hydrogen, fosfat, dan sulfit
yang dieliminasi oleh ginjal. Asupan protein harian 0,6 g/kg
berat badan tubuh atau sekitar 40 g/hari untuk rata-rata pasien
pria, memberikan asam amino yang dibutuhkan untuk perbaikan
23
jaringan. Protein harus mempunyai nilai biologis tinggi, kaya asam
amino esensial. Asupan karbohidrat ditingkatkan untuk
mempertahankan kebutuhan energi dan memberikan sekitar 35
kkal/kg per hari.
Asupan air dan natrium diatur untuk mempertahankan volume
cairan ekstraseluler pada kadar normal. Asupan air 1-2 L per hari
biasanya dianjurkan untuk mempertahankan keseimbangan air.
Natrium dibatasi hingga 2 g per hari pada awalnya. Batasan air dan
natrium yang lebih ketat dapat dibutuhkan pada saat gagal ginjal
memburuk. Pasien diinstruksikan untuk memonitor berat badan tiap
hari dan melaporkan kenaikan berat badan lebih dari 2,3 kg selama
periode 2 hari.
Pada stadium 4 dan 5, asupan kalium dan fosfor juga dibatasi.
Asupan kalium dibatasi hingga kurang dari 60 hingga 70 mEq/hari
(asupan normal dalam sekitar 100 mEq/ hari). Pasien diperingatkan
untuk menghindari pemakaian pengganti garam. Yang biasanya
berisi kadar kalium klorida tinggi. Makanan tinggi fosfor mencakup
telur, produk susu, dan daging.

8. Komplikasi Gagal Ginjal Kronik

Menurut Pranata & Prabowo (2014) Komplikasi yang dapat ditimbulkan


dari penyakit gagal ginjal kronik adalah:
1. Penyakit tulang
Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan
mengakibatkan dekalsifikasi matriks tulang, sehingga tulang akan
menjadi rapuh (osteoporosis) dan jika berlangsung lama akan
menyebabkan fraktur pathologis.

2. Penyakit kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara
sistemik berupa hipertensi, kelainan lipid, intoleransi glukosa, dan
kelainan hemodinamik (sering terjadi hipertrofi ventrikel kiri).
3. Anemia
Selain berfungsi dalam sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam
rangkaian hormonal (endokrin). Sekresi eritropoetin yang
mengalami defisiensi di ginjal akan mengakibatkan penurunan
hemoglobin.

9. Konsep Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronik


24
A. Pengkajian

Menurut Pranata & Prabowo (2014: 204) Pengkajian pada klien gagal
ginjal kronis sebenarnya hampir sama dengan klien gagal ginjal akut,
namun disini pengkajian lebih penekanan pada support system untuk
mempertahankan kondisi keseimbangan dalam tubuh. Dengan tidak
optimalnya/ gagalnya fungsi ginjal, maka tubuh akan melakukan upaya
kompensasi selagi dalam batas ambang kewajaran. Tetapi, jika kondisi ini
berlanjut (kronis) maka akan menimbulkan berbagai manifestasi klinis
yang menandakan gangguan system tersebut. Berikut ini adalah
pengkajian keperawatan pada klien dengan gagal ginjal kronis:
1. Biodata
Tidak ada spesifikasi khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun laki-
laki sering memiliki risiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan dan
pola hidup sehat. Gagal ginjal kronis merupakan periode lanjut dari
insidensi gagal ginjal akut, sehingga tidak berdiri sendiri.
2. Keluhan Utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder
yang menyertai. Keluhan bisa berupa urine output yang menurun
(oliguria) sampai pada anuria, penurunan kesadaran karena
komplikasi pada system sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual dan
muntah, napas berbau urea. Kondisi ini dipicu oleh penumpukan zat
sisa metabolisme toksin dalam tubuh karena ginjal mengalami
kegagalan filtrasi.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Pada klien dengan gagal ginjal kronis kaji onset penurunan urine
output, penurunan kesadaran, kelemahan fisik, perubahan pola napas
karena komplikasi dari gangguan system ventilasi, fatigue, perubahan
fisiologis kulit, bau urea pada napas.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Gagal ginjal kronik dimulai dengan periode gagal ginjal akut dengan
berbagai penyebab. Oleh karena itu, informasi penyakit terdahulu akan
menegaskan untuk penegasan masalah. Kaji riwayat penyakit ISK
(Infeksi Saluran Kemih), payah jantung, penggunaan obat berlebihan
khususnya obat yang bersifat nefrotoksik, BPH (Benigna Prostat
Hiperplasia) dan lain-lain.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular dan menurun, sehingga
25
silsilah keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun,
pencetus sekunder seperti DM (Diabetes Melitus) dan hipertensi
memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit gagal ginjal kronis,
karena penyakit tersebut bersifat herediter.
6. Keadaan umum dan tanda-tanda vital
Kondisi klien dengan gagal ginjal kronis biasanya lemah (fatigue),
tingkat kesadaran bergantung pada tingkat toksisitas. Pada pemeriksaan
TTV sering didapatkan RR meningkat, hipertensi/ hipotensi sesuai
dengan kondisi fluktuatif.
7. Sistem pernapasan
Adanya bau urea pada bau napas. Jika terjadi komplikasi asidosis/
alkalosis respirat orik maka kondisi pernapasan akan mengalami
patologis gangguan. Pola napas akan semakin cepat dan dalam sebagai
bentuk kompensasi tubuh mempertahankan ventilasi.
8. Sistem hematologi
Ditemukan adanya friction rub pada kondisi uremia berat. Selain itu,
biasanya terjadi TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi
jantung, nyeri dada, dyspneu, gangguan irama jantung dan gangguan
sirkulasi lainnya.
9. Sistem perkemihan
Dengan gangguan/ kegagalan fungsi ginjal secara kompleks (filtrasi,
sekresi, reabsorpsi, dan sekresi), maka manifestasi yang paling
menonjol adalah penurunan urine output < 400 ml/hari bahkan sampai
pada anuria (tidak adanya urine output).
10. System pencernaan

Gangguan system pencernaan lebih dikarenakan efek dari penyakit.


Sering ditemukan anoreksia, nausea, vomit dan diare.

B. Diagnosa
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons

pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik

yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan

untuk mengidentifikasi respons pasien individu, keluarga dan komunitas

terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2017)

Diagnosa Keperawatan adalah penilaian klinik tentang respons individu,

keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan yang


26
aktual atau potensial, diagnosa Keperawatan memberikan dasar untuk

pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang merupakan

tanggung jawab perawat. (Allen, 1998). Setelah dilakukan pengkajian

kemungkinan diagnosa yang akan muncul pada pasien dengan penyakit ginjal

kronik menurut (Smeltzer & Bare, 2015) :

a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan

ventilasi-perfusi, perubahan membran alveoluskapiler (D.0003).

b. D.0009 Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan

konsentrasi hb (D.0009).

c. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan preload naik

(D.0011)

d. Defisit nutrisi b.d kurangnya asupan makanan (D.0019).

e. D.0122 Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi, kelebihan

asupan cairan, kelebihan asupan natrium (D.0122).

f. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen (D.0056).

g. Nausea berhubungan dengan gangguan biokimiawi (D.0076)

h. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (D.0077).

i. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d kelebihan volume cairan,

sindrom uremia (D.0129).

B. Perencanaan

Tahap intervensi memberikan kesempatan kepada perawat, pasien,

keluarga, dan orang terdekat untuk merumuskan rencana tindakan yang

bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah pasien. Dalam intervensi

terdapat empat komponen tahap perencanaan, yaitu: membuat prioritas

urutan diagnose keperawatan, membuat kriteria hasil, menulis instruksi

keperawatan, dan menulis rencana asuhan keperawatan (Allen, 1998).


27
Tujuan dan kriteria
No Diagnosa Intervensi
hasil

1 Gangguan Pertukaran Gas Pemantauan Respirasi


pertukaran gas (L.01003). (I.01014).
berhubungan Ekspektasi: meningkat Observasi
dengan Kriteria hasil 1.1 Monitor frekuensi,
ketidakseimbanga 1. Tingkat kesadaran irama kedalaman dan
n ventilasi-perfusi, meningkat upaya napas
perubahan 2. Dispnea menurun 1.2 Monitor pola napas
membran 3. Bunyi napas (seperti bradipnea,
alveolus-kapiler tambahan menurun takipnea, hiperventilasi,
(D.0003). 4. Pusing menurun Kussmaul, Cheyne-
5. Penglihatan kabur Stokes, Biot, ataksik)
menurun 1.3 Monitor kemampuan
6. Diaforesis menurun batuk efektif
7. Gelisah menurun 1.4 Monitor adanya
8. Napas cuping produksi sputum
hidung menurun 1.5 Monitor adanya
9. PCO2 membaik sumbatan jalan napas
10. PO2 membaik 1.6 Palpasi kesimetrisan
11. Takikardia membaik ekspansi paru
12. pH arteri membaik 1.7 Auskultasi bunyi napas
13. Sianosis membaik 1.8 Monitor saturasi
14. Pola napas membaik oksigen
15. Warna kulit 1.9 Monitor nilai AGD
membaik 1.10 Monitor hasil x-ray
toraks
Terapeutik
1.11 Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
1.12 Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
1.13 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
1.14 Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu
28

Terapi Oksigen (I.01026)


Observasi
2.1 Monitor kecepatan
aliran oksigen
2.2 Monitor posisi alat
terapi oksigen
2.3 Monitor aliran oksigen
secara periodik dan
pastikan fraksi yang
diberikan cukup
2.4 Monitor kemampuan
melepaskan oksigen
saat makan
2.5 Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
2.6 Monitor tanda dan
gejala toksikasi oksigen
dan atelaktasis
2.7 Monitor tingkat
kecemasan akibat terapi
oksigen
2.8 Monitor integritas
mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen
Terapeutik
2.9 Bersihkan sekret pada
mulut, hidung dan
trakea, jika perlu
2.10 Pertahankan kepatenan
jalan napas
2.11 Siapkan dan atur
peralatan pemberian
oksigen
2.12 Berikan oksigen
tambahan, jika perlu
2.13 Tetap berikan oksigen
saat pasien
ditransportasi
2.14 Gunakan perangkat
oksigen yang sesuai
dengan tingkat
mobilitas pasien
Edukasi
2.15 Ajarkan pasien dan
keluarga cara
menggunakan oksigen
di rumah
Kolaborasi
2.16 Kolaborasi penentuan
dosis oksigen
29

2.17 Kolaborasi penggunaan


oksigen saat aktivitas
dan/atau tidur.

2 Perfusi perifer tidak Perfusi Perifer Perawatan Sirkulasi


efektif berhubungan (L.02011). (I.02079).
dengan penurunan Ekspektasi: meningkat Observasi
konsentrasi Kriteria hasil: 3.1. Periksa sirkulasi
hemoglobin (D.0009). 1. Denyut nadi perifer periver (mis. Nadi
meningkat perifer, edema,
2. Penyembuhan luka pengisian kapiler,
meningkat warna, suhu, ankle
3. Sensasi meningkat brachial index)
4. Warna kulit pucat 3.2. Identifikasi faktor
menurun resiko gangguan
5. Parastesia menurun sirkulasi ( mis.
6. Kelemahan otot Diabetes, perokok,
orang tua hipertensi
menurun
7. Kram otot menurun dan kadar kolestrol
tinggi)
8. Bruit femoralis
3.3. Monitor panans,
menurun
kemerahan, nyeri atau
9. Nekrosis menurun
bengkak pada
10. Pengisian kapiler ekstermitas
membaik Teraupetik
11. Akral membaik 3.4. Hindari pemasangan
12. Turgor kulit infus atau
membaik pengambilan darah di
13. Tekanan darah daerah keterbatasan
sistolik membaik perfusi
14. Tekanan darah 3.5. Hindari pengukuran
diastolik membaik tekanan darah pada
15. Tekanan arteri ekstermitas dengan
16. rata-rata membaik keterbatasan perfusi
17. Indeks 3.6. Hindari penekanan
anklebrachial dan pemasangan
membaik tourniquet pada area
yang cidera
3.7. Lakukan pencegahan
infeksi
3.8. Lakukan perawatan
kaki dan kuku
Edukasi
3.9. Anjurkan berhenti
merokok
3.10. Anjurkan berolah raga
rutin
3.11. Anjurkan mengecek
air mandi untuk
30

menghindari kulit
terbakar
3.12. Anjurkan minum obat
pengontrol tekanan
darah,
antikoagulan,dan
penurun kolestrol,
jika perlu
3.13. Anjurkan minum obat
pengontrl tekanan
darah secara teratur
3.14. Anjurkan
menggunakan obat
penyekat beta
3.15. Ajarkan program diet
untuk memperbaiki
sirkulasi ( mis.
Rendah lemak jenuh,
minyak ikan omega 3)
3.16. Informasikan tanda
dan gejala darurat
yang harus dilaporkan
(mis. rasa sakit yang
tidak hilang saat
istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya
rasa)

Manajemen Sensasi Perifer


(I.06195).
Observasi
4.1. Identifikasi penyebab
perubahan sensasi
4.2. Identifikasi
penggunaan alat
pengikat, prosthesis,
sepatu, dan pakaian
4.3. Periksa perbedaan
sensasi tajam dan
tumpul
4.4. Periksa perbedaan
sensasi panas dan
dingin
4.5. Periksa kemampuan
mengidentifikasi
lokasi dan tekstur
benda
4.6. Monitor terjadinya
parestesia, jika perlu
31

4.7. Monitor perubahan


kulit
4.8. Monitor adanya
tromboflebitis dan
tromboemboli vena
Teraupetik
4.9. Hindari pemakaian
benda-benda yang
berlebihan suhunya
(terlalu panas atau
dingin)
Edukasi
4.10. Anjurkan penggunaan
thermometer untuk
menguji suhu air
4.11. Anjurkan penggunaan
sarung tangan termal
saat memasak
4.12. Anjurkan memakai
sepatu lembut dan
bertumit rendah
Kolaborasi
4.13. Kolaborasi pemberian
analgesik, jika perlu
4.14. Kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika
perlu.

3 Defisit nutrisi Status Nutrisi Manajemen Nutrisi


berhubungan dengan (I.03030). (I.03119).
kurangnya asupan Ekspektasi: membaik Observasi
makanan (D.0019). Kriteria hasil: 5.1. Identifikasi status
1. Porsi makanan nutrisi
yang dihabiskan 5.2. Identifikasi alergi dan
meningkat intoleransi makanan
2. Kekuatan otot 5.3. Identifikasi makanan
pengunyah yang disukai
meningkat 5.4. Identifikasi kebutuhan
3. Kekuatan otot kalori dan jenis
menelan meningkat nutrient
4. Serum albumin 5.5. Monitor asupan
meningkat makanan
5. Verbalisasi 5.6. Monitor berat badan
keinginan untuk 5.7. Monitor hasil
meningkatkan pemeriksaan
nutrisi meningkat laboratorium
6. Pengetahuan Teraupetik
tentang pilihan 5.8. Lakuka oral hygiene
makanan yang sebelum makan, jika
sehat meningkat perlu
32

7. Pengetahuan 5.9. Fasilitasi menentukan


tentang standar pedooman diet (mis.
asupan nutrisi yang Piramida makanan)
tepat meningkat 5.10. Sajikan makanan
8. Pengetahuan secara menarik dan
tentang standar suhu yang sesuai
asupan nutrisi yang 5.11. Berikan
tepat meningkat makanantinggi serat
9. Penyiapan dan untuk mencegah
penyimpanan konstipasi
makanan yang 5.12. Berikan makanan
aman meningkat tinggi kalori dan
10. Penyiapan dan tinggi protein
11. Penyimpanan 5.13. Berikan makanan
minuman yang rendah protein
aman meningkat Edukasi
12. Sikap terhadap
5.14. Anjurkan posisi
13. makanan/minuman
dusuk, jika mampu
sesuai dengan
tujuan kesehatan
5.15. Anjurkan diet yang
diprogramkan
meningkat
Kolaborasi
14. Perasaan cepat
5.16. Kolaborasi pemberian
kenyang menurun
medikasi sebelum
15. Nyeri abdomen
makan (mis. Pereda
16. menurun
nyeri, antiemetic),
17. Sariawan menurun
jika perlu
18. Rambut rontok
5.17. Kolaborasi dengan
Menurun
ahli gizi menentukan
19. Diare menurun
jumlah kalori dan
20. Berat badan
21. Membaik jenis nutrient yang
dibutuhkan, jika
22. Indeks Massa
perlu.
Tubuh (IMT)
membaik
Promosi Berat Badan
23. Frekuensi makan
(I.03136).
membaik
Observasi
24. Nafsu makan
6.1. Identifikasi
membaik
kemungkinan
25. Bising usus
penyebab BB kurang
Membaik
6.2. Monitor adanya mual
26. Tebal lipatan kulit
muntah
trisep membaik
6.3. Monitor jumlah kalori
27. Membran mukosa
yang dikonsumsi
membaik
sehari-hari
6.4. Monitor berat badan
6.5. Monitor albumin,
limfosit, dan elektrolit
serum
Teraupetik
6.6. Berikan perawatan
mulut sebelum
33

pemberian makan, jika


perlu
6.7. Sediakan makanan
yang tepat sesuai
kondisi pasien (mis.
Makanan dengan
tekstur halus,
makanan yang
diblender, makanan
cair yang diberikan
melalui NGT atau
gastrostomy, total
parenteral nutrition
sesuai indikasi)
6.8. Hidangkan makanan
secara menarik
6.9. Berikan suplemen,
jika perlu
6.10. Berikan pujian pada
pasien/keluarga untuk
peningkatan yang
dicapai
Edukasi
6.11. Jelaskan jenis
makanan yang bergizi
tinggi, namun tetap
terjangkau
6.12. Jelaskan peningkatan
asupan kalori yang
dibutuhkan.
4 Hipervolemia Keseimbangan Cairan Manajemen Hipervolemia
berhubungan dengan (L.03020) (I.03114).
gangguan Ekspektasi: meningkat Observasi
mekanisme regulasi, Kriteria hasil: 7.1. Periksa tanda dan
kelebihan asupan 1. Asupan cairan gejala hipervolemia
cairan, kelebihan meningkat (mis. Ortopnea,
asupan natrium 2. Haluaran urin dispnea, edema,
(D.0022). meningkat JVP/CVP meningkat,
3. Kelembaban refleks hepatojugular
membran mukosa positif, suara npas
meningkat tambahan)
4. Asupan makanan 7.2. Identifikasi penyebab
meningkat hipervolemia
5. Edema menurun 7.3. Monitor status
6. Dehidrasi menurun hemodinamik (mis.
7. Asites menurun Frekuensi jantung,
8. Konfusi menurun tekanan darah, MAP,
9. Tekanan darah CVP, PAP, PCWP,
membaik CO, CI), jika tersedia.
34

10. Denyut nadi radial 7.4. Monitor intake dan


membaik output cairan
11. Tekanan arteri 7.5. Monitor tanda
ratarata membaik hemokonsentrasi (mis.
12. Membran mukosa Kadar natrium, BUN,
membaik hematokrit, berat jenis
13. Mata cekung urine)
membaik 7.6. Monitor tanda
14. Turgor kulit peningkatan tekanan
membaik onkotik plasma (mis.
15. Berat badan kadar protein dan
membaik albumin meningkat)
7.7. Monitor keceptan
infus secara ketat
7.8. Monitor efek samping
diuretik (mis.
Hipotensi ortostatik,
hipovolemia,
hipokalemia,
hiponatremia)
Terapeutik
7.9. Timbang berat badan
setiap hari pada waktu
yang sama
7.10. Batasi asupan cairan
dan garam
7.11. Tinggikan kepala
tempat tidur 30 40°
Edukasi
7.12. Anjurkan melapor jika
haluaran urin <
0,5,mL/kg/jam dalam
6 jam
7.13. Anjurkan melapor jika
BB bertambah > 1 kg
dalam sehari
7.14. Ajarkan cara
mengukur dan
mencatat asupan dan
haluaran cairan
7.15. Ajarkan cara
membatasi cairan
Kolaborasi
7.16. Kolaborasi pemberian
diuretik
7.17. Kolaborasi
penggantian
kehilangan kalium
akibat diuretik
35

7.18. Kolaborasi pemberian


continous renal
replacement therapy
(CRRT), jika perlu.

Pemantauan Cairan
(I.03121).
Observasi
8.1. Monitor frekuensi dan
kekuatas nadi
8.2. Monitor frekuensi
napas
8.3. Monitor tekanan darah
8.4. Monitor berat badan
8.5. Monitor waktu
pengisian kapiler
8.6. Monitor elastisitas
atau turgor kulit
8.7. Monitor jumlah,
warna dan berat jenis
urine
8.8. Monitor kadar
albumin dan protein
total
8.9. Monitor hasil
pemeriksaan serum
(mis. Osmolaritas
serum, hematokrit,
natrium, kalium,
BUN)
8.10. Monitor intake dan
output cairan
8.11. Identifikasi tanda-
tanda hipovolemia
(mis. frekuensi nadi
meningkat, nadi teraba
lemah, tekanan darah
menurun, tekanan nadi
menyempit, turgor
kulit menurun,
membran mukosa
kering, volume urin
menurun, hematokrit
meningkat, haus,
lemah, konsentrasi
urine meningkat, berat
badan menurun dalam
waktu singkat)
8.12. Identifikasi tanda-
tanda hipervolemia
36

(mis. dispnea, edema


perifer, edema
anasarka, JVP
meningkat, CVP
meningkat, refleks
hepatojugular positif,
berat badan menurun
dalam waktu singkat)
8.13. Identifikasi faktor
risiko
ketidakseimbangan
cairan (mis. Prosedur
pembedahan mayor,
trauma/perdarahan,
luka bakar, aferesis,
obstruksi intestinal,
peradangan pankreas,
penyakit ginjal dan
kelenjar, disfungsi
intestinal)
Terapeutik
8.14. Atur interval waktu
pemantauan sesuai
dengan kondisi pasien
8.15. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
8.16. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
8.17. Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu.

5 Intoleransi aktivitas Toleransi Aktivitas Manajemen Energi


Berhubungan (L.05047). (I.05178).
dengan Ekspektasi: meningkat Observasi
ketidakseimbanga Kriteria hasil: 9.1. Identifikasi gangguan
n antara suplai dan 1. Frekuensi nadi fungsi tubuh yang
kebutuhan oksigen meningkat mengakibatkan
(D.0056). 2. Saturasi oksigen kelelahan
meningkat 9.2. Monitor kelelahan
3. Kemudahan dalam fisik dan emosional
melakukan 9.3. Monitor pola dan jam
aktivitas seharihari tidur
meningkat 9.4. Monitor lokasi dan
4. Kecepatan berjalan ketidaknyamanan
meningkat selama melakukan
5. Jarak berjalan aktivitas
meningkat Terapeutik
37

6. Kekuatan tubuh 9.5. Sediakan lingkungan


bagian atas nyaman dan Rendah
meningkat stimulus (mis. cahaya,
7. Kekuatan tubuh suara, kunjungan).
bagian bawah 9.6. Lakukan latihan
meningkat rentang gerak pasin
8. Toleransi dalam dan/atau aktif
menaiki tangga 9.7. Berikan aktivitas
meningkat distraksi yang
9. Keluhan lelah menenangkan
10. Dipsnea saat 9.8. Fasilitasi duduk di sisi
aktivitas menurun tempat tidur, jika tidak
11. Dipsnea setelah dapat berpindah atau
aktivitas menurun berjalan
12. Perasaan lemah Edukasi
menurun 9.9. Anjurkan tirah baring
13. Aritmia saat 9.10. Anjurkan melakukkan
beraktivitas aktivitas secara
menurun bertahap
14. Aritmia setelah 9.11. Anjurkan
beraktivitas menghubungi perawat
menurun jika tanda dan gejala
15. Sianosis menurun kelelahan tidak
16. Warna kulit berkurang
membaik 9.12. Ajarkan strategi
17. Tekanan darah koping untuk
membaik mengurangi kelelahan
18. Frekuensi napas Kolaborasi
membaik 9.13. Kolaborasi dengan
19. EKG Iskemia ahli gizi tentang cara
membaik meningkatkan asupan
makanan.

Terapi Aktivitas (I.05186).


Observasi
10.1. Identifikasi defisit
tingkat aktivitas
10.2. Identifikasi
kemampuan
berpartisipasi dalam
aktivitas tertentu
10.3. Identifikasi sumber
daya untuk aktivitas
yang diinginkan
10.4. Identifikasi strategi
meningkatkan
partisipasi dalam
aktivitas
10.5. Identifikasi makna
aktivitas rutin (mis.
38

bekerja) dan waktu


luang
10.6. Monitor respons
emosional, fisik,
sosial, dan spiritual
terhadap aktivitas.
Terapeutik
10.7. Fasilitasi fokus pada
kemampuan, buka
defisit yang dialami
10.8. Sepakati komitmen
untuk meningkatkan
frekuensi dan rentang
aktivitas
10.9. Fasilitasi memilih
aktivitas dan tetapkan
tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai
kemampuan fisik,
psikologis, dan sosial
10.10.Koordinasikan
pemilihan aktivitas
sesuai usia
10.11.Fasilitasi makna
aktivitas yang dipilih
10.12.Fasilitasi transportasi
untuk menghadiri
aktivitas, jika sesuai
10.13.Fasilitasi pasien dan
keluarga dalam
menyesuaikan
lingkungan untuk
mengakomodasi
aktivitas yang dipilih
10.14.Fasilitasi aktivitas
fisik rutin (mis.
Ambulasi, mobilisasi,
dan perawatan diri),
sesuai kebutuhan
10.15.Fasilitasi ativitas
pengganti saat
mengalami
keterbatasan waktu,
energi, atau gerak
10.16.Fasilitasi aktivitas
motorik kasar untuk
pasien hiperaktif
10.17.Tingkatan aktivitas
fisik untuk
39

memelihara berat
badan, jika sesuai
10.18. Fasilitasi aktivitas
motorik untuk
merelaksasi otot
10.19. Fasilitasi aktivitas
dengan komonen
memori implisit dan
emosional (mis.
Kegiatan keagamaan
khusus) untuk pasien
demensia
10.20. Libatkan dalam
permainan kelompok
yang tidak kompetitif,
terstruktur, dan aktif
10.21. Tingkatkan
keterlibatan dalam
aktivitas rekreasi dan
diversifikasi untuk
menurunkan
kecemasan (mis. vocal
group, bola voli, tenis
meja, jogging,
berenang, tugas
sederhana, permainan
sederhana, tugas rutin,
tugas rumah tangga,
perawatan diri, dan
teka-teki dan kartu)
10.22. Libatkan keluarga
dalam aktivitas,
jika perlu
10.23. Fasilitasi
mengembangkan
motivasi dan
penguatan diri
10.24. Fasilitasi pasien dan
keluarga memantau
kemajuannya sendiri
untuk mencapai tujuan
10.25. Jadwalkan aktvitas
dalam rutinitas
seharihari
10.26. Berikan penguatan
positif atas partisipasi
dalam aktivitas
Edukasi
40

10.27. Jelaskan metode


aktivitas fisik sehari-
hari, jika perlu
10.28. Ajarkan cara
melakukan aktivitas
yang dipilih
10.29. Anjurkan melakukan
aktivitas fisik, sosial,
spiritual, dan kognitif
dalam menjaga fungsi
dan kesehatan
10.30. Anjurkan terlibat
dalam aktivitas
kelompok atau terapi,
jika sesuai
10.31. Anjutkan keluarga
untuk memberi
penguatan positif atas
partisipasi dalam
aktivitas
Kolaborasi
10.32. Kolaborasi dengan
terapi okupasi dalam
merencanakan dan
memonitor program
aktivitas, jika sesuai
10.33. Rujuk pada pusat atau
program aktivitas
komunitas, jika perlu.
6 Nyeri akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri
berhubungan dengan (L.08066). (I.08238).
agen pencedera Ekspektasi: menurun Observasi
fisiologis (D.0077). Kriteria hasil: 11.1. Identifikasi lokasi,
1. Kemampuan karakteristik, durasi,
menuntaskan frekuensi, kualitas,
aktifitas meningkat intensitas nyeri
2. Keluhan nyeri 11.2. Identifikasi skala nyeri
menurun 11.3. Identifikasi respons
3. Meringis menurun nyeri non verbal
4. Sikap protektif 11.4. Identifikasi faktor
menurun yang memperberat dan
5. Gelisah menurun memperingan nyeri
6. Kesulitan tidur 11.5. Identifikasi
menurun pengetahuan dan
7. Menarik diri keyakinan tentang
menurun nyeri
8. Berfokus pada diri 11.6. Identifikasi pengaruh
sendiri menurun budaya terhadap
9. Diaforesis menurun respon nyeri
41

10. Perasaan depresi 11.7. Identifikasi pengaruh


(tertekan) menurun nyeri pada kualitas
11. Perasaan takut hidup
mengalami cidera 11.8. Monitor keberhasilan
tulang menurun terapi komplementer
12. Anoreksia yang sudah diberikan
Menurun 11.9. Monitor efek samping
13. Perineum terasa penggunaan analgetik
tertekan menurun Terapeutik
14. Uterus teraba 11.10.Berikan teknik
membulat menurun nonfarmakologis
15. Ketegangan otot untuk mengurangi rasa
menurun nyeri (mis. TENS,
16. Pupil dilatasi hipnosis, akupresur,
menurun terapi musik,
17. Muntah menurun biofeedback, terapi
18. Mual menurun pijat, aromaterapi,
19. Frekuensi nadi teknik imajinasi terbi-
membaik mbing, kompres
20. Pola napas hangat/dingin, terapi
membaik bermain)
21. Tekanan darah 11.11. Kontrol lingkungan
membaik yang memperberat
22. Proses berpikir rasa nyeri (mis. suhu
membaik ruangan, pencahayaan,
23. Fokus membaik kebisingan)
24. Fungsi berkemih 11.12. Fasilitasi istirahat dan
membaik tidur
25. Perilaku membaik 11.13. Pertimbangkan jenis
26. Nafsu makan dan sumber nyeri
membaik dalam pemilihan
27. Pola tidur membaik strategi meredakan
nyeri
Edukasi
11.14. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
11.15. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
11.16. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
11.17. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
11.18. Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi
42

11.19.Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

Pemberian Analgesik
(I.08243).
Observasi
12.1. Identifikasi
karakteristik nyeri
(mis. pencetus,
pereda, kualitas,
lokasi, intensitas,
frekuensi, durasi)
12.2. Identifikasi riwayat
alergi obat
12.3. Identifikasi kesesuaian
jenis analgesik (mis.
narkotika, non-
narkotik, atau NSAID)
dengan tingkat
keparahan nyeri
Monitor tanda-tanda
vital sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik
12.4. Monitor efektifitas
analgesik
Terapeutik
12.5. Diskusikan jenis
analgesik yang disukai
untuk mencapai
analgesik optimal,
jika perlu
12.6. Perimbangkan
penggunaan infus
kontinu, atau bolus
opioid untuk
mempertahankan
kadar dalam serum
12.7. Tetapkan target
efektifitas untuk
mengoptimalkan
respons pasien
12.8. Dokumentasikan
respons terhadap Efek
analgesik dan efek
yang tidak diinginkan
Edukasi
12.9. Jelaskan efek terapi
dan efek samping obat
Kolaborasi
43

12.10.Kolaborasi pemberian
dosis dan jenis
analgetik, sesuai
indikasi.
7. Gangguan Integritas Kulit dan Perawatan Integritas Kulit
integritas kulit Jaringan (L.14125). (I.11353).
berhubungan Ekspektasi: meningkat Observasi
dengan kelebihan Kriteria hasil: 13.1. Identifikasi penyebab
volume cairan, 1. Elastisitas gangguan integritas
sindrom uremia meningkat kulit (mis. perubahan
(D.0129). 2. Hidrasi meningkat sirkulasi, perubahan
3. Perfusi jaringan status nutrisi,
meningkat penurunan
4. Kerusakan jaringan kelembaban, suhu
menurun lingkungan ekstrem,
5. Kerusakan lapisan penurunan mobilitas)
kulit menurun Terapeutik
6. Nyeri menurun 13.2. Ubah posisis tiap 2
7. Perdarahan jam jika tirah baring
menurun 13.3. Lakukan pemijatan
8. Kemerahan pada area penonjolan
menurun tulang, jika perlu
9. Hematoma 13.4. Bersihkan perineal
menurun dengan air hangat,
10. Pigmentasi terutama selama
abnormal menurun periode diare
11. Jaringan parut 13.5. Gunakan produk
menurun berbahan petrolium
12. Nekrosis menurun atau minyak pada kulit
13. Abrasi kornea kering
menurun 13.6. Gunakan produk
14. Suhu kulit berbahan ringan/alami
membaik dan hipoalergik pada
15. Sensasi membaik kulit sensitif
16. Tekstur membaik 13.7. Hindari produk
17. Pertumbuhan berbahan dasar
rambut membaik alkohol pada kulit
kering
Edukasi
13.8. Anjurkan
menggunakan
pelembab (mis. lotion,
serum)
13.9. Anjurkan minum air
yang cukup
13.10.Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
44

13.11. Anjurkan
meningkatkan asupan
buah dan sayur
13.12. Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
13.13. Anjurkan
menggunakan tabir
surya SPF minimal 30
saat berada di luar
rumah
13.14. Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya.

Perawatan Luka (I.4564).


Observasi
14.1. Monitor karakteristik
luka (mis. drainase,
warna, ukuran, bau)
14.2. Monitor tanda-tanda
infeksi
Terapeutik
14.3. Lepaskan balutan dan
plester secara perlahan
14.4. Cukur rambut di
sekitar daerah luka,
jika perlu
14.5. Bersihkan dengan
cairan NaCl atau
pembersih nontoksik,
sesuai kebutuhan
14.6. Bersihkan jaringan
nekrotik
14.7. Berikan salep yang
sesuai kulit/lesi,
jika perlu
14.8. Pasang balutan sesuai
jenis luka
14.9. Pertahankan teknik
steril saat melakukan
perawatan luka
14.10.Ganti balutan sesuai
jumlah eksudat dan
drainase
14.11.Jadwalkan perubahan
posisi setiap 2 jam
atau sesuai kondisi
pasien
14.12.Berikan diet dengan
kalori 30-35
45

kkal/kgBB/hari dan
protein 1,25-
1,5g/kgBB/hari
14.13. Berikan suplemen
vitamin dan mineral
(mis. vitamin A,
vitami C, Zinc, asam
amino), sesuai
indikasi
14.14. Berikan terapi TENS
(stimulasi sarap
transkutaneus), jika
perlu
Edukasi
14.15. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
14.16. Anjurkan
mengonsumsi
makanan tinggi kalori
dan protein
14.17. Ajarkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri
Kolaborasi
14.18.Kolaborasi prosedur
debridement (mis.
enzimatik, biologis,
mekanis, autolitik),
jika perlu
14.19.Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu
8. Risiko Penurunan Curah Jantung Perawatan Jantung
Curah Jantung (L.02008). (I.02075).
ditandai dengan Ekspetasi : Meningkat Observasi
perubahan irama Kriteria Hasil : 15.1. Identifikasi
jantung (D.0011). 1. Ejection tanda/gejala primer
fraction (EF) penurunan curah
meningkat jantung (meliputi
2. Cardiac index (CI) dispnea, kelelahan,
meningkat edema, ortopnea,
3. Left ventricular paroxymal nocturnal
stroke work dyspnea, peningkatan
index (LVSWI) CVP).
meningkat 15.2. Identifikasi
4. Stroke tanda/gejala sekunder
volume index penurunan curah
(SVI) jantung (meliputi
meningkat peningkatan berat
5. Palpitasi menurun badan, hepatomegali,
6. Bradikardia distensi vena
menurun
46

7. Takikardia jugularis, palpitasi,


menurun ronkhi basah, oliguria,
8. Gambaran EKG batuk, kulit pucat)
aritmia menurun 15.3. Monitor tekanan darah
9. Lelah menurun (termasuk tekanan
10. Edema menurun darah ortostatik, jika
11. Distensi vena perlu
jugularis menurun 15.4. Monitor intake dan
12. Dispnea menurun output cairan
13. Oliguria menurun 15.5. Monitor berat badan
14. Pucat/sianosis setiap hari pada waktu
menurun yang sama
15. Paroxysmal 15.6. Monitor saturasi
nocturnal oksigen
dyspnea (PND) 15.7. Monitor keluhan nyeri
menurun dada (mis. Intensitas,
16. Ortopnea menurun lokasi , radiasi, durasi,
17. Batuk menurun presivitasi yang
18. Suara jantung S3 mengurangi nyeri)
menurun 15.8. Monitor EKG 12
19. Suara jantung S4 sadapan
menurun 15.9. Monitor aritmia
20. Murmur jantung (kelainan irama dan
menurun frekuensi)
21. Berat badan 15.10.Monitor nilai
menurun laboratorium jantung
22. Hepatomegali (mis. Elektrolit, enzim
menurun jantung, BNP, Ntpro-
23. Pulmonary BNP)
vascular 15.11.Monitor fungsi alat
resistance (PVR) pacu jantung
menurun 15.12.Periksa tekanan darah
24. Systemic vscular dan frekuensi nadi
resitance menurun sebelum dan sesudah
25. Tekanan darah aktivitas
membaik 15.13.Periksa tekanan darah
26. Capillary refill time dan frekuensi nadi
(CRT) membaik sebelum pemberian
27. Pulmonary artery obat (mis. Beta
wedge pressure blocker, ACE
(PAWP) membaik inhibitor, calcium
28. Central venous channel blocker,
pressure membaik digoksin)
Terapuetik
15.14.Posisikan pasien semi-
fowler atau fowler
dengan kaki ke bawah
atau posisi nyaman
15.15.Berikan diet jantung
yang sesuai (mis.
47

Batasi asupan kefein,


natrium, kolestrol, dan
makanan tinggi
lemak)
15.16. Gunakan stocking
elastis atau pneumatik
intermiten, sesuai
indikasi
15.17. Fasilitas asien dan
keluarga untuk
memodifikasi gaya
hidup sehat
15.18. Berikan terapi
relaksasi untuk
mengurangi stres,
jika perlu
15.19. Berikan dukungan
emosional dan spritual
15.20. Berikan oksigen untuk
mempertahankan
saturasi oksigen 94%
Edukasi
15.21. Anjurkan beraktivitas
fisik sesuai toleransi
15.22. Anjurkan beraktivitas
fisik secara bertahap
15.23. Anjurkan berhenti
merokok
15.24. Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur
berat badan harian
15.25. Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur
intake dan output
cairan harian
Kolaborasi
15.26.Kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu
15.27.Rujuk ke program
rehabilitasi jantung.

Perawatan Jantung Akut


(I.02076).
Observasi
16.1. Identifikasi
karakteristik nyeri
dada (meliputi faktor
pemicu dan pereda,
kualitas, lokasi,
radiasi, skala, durasi
dan frekuensi)
16.2. Monitor EKG 12
sadapan untuk
perubahan ST dan T
16.3. Monitor aritmia
(kelainan irama dan
frekuensi)
16.4. Monitor elektrolit
yang dapat
meningkatkan risiko
aritmia (mis. Kalium,
magnesium serum)
16.5. Monitor enzim
jantung (mis. CK,CK-
MB, Troponin T,
Troponin I)
16.6. Monitor saturasi
oksigen
16.7. Identifikasi stratifikasi
pada sindrom koroner
akut (mis. Skor TIMI,
Killip, Crusade)
Terapuetik
16.8. Pertahankan tirah
baring minimal 12 jam
16.9. Pasang akses
intravena
16.10.Puasakan hingga
bebas nyeri
16.11.Berikan terapi
relaksasi untuk
mengurangi ansietas
dan stres
16.12.Sediakan lingkungan
yang kondusif untuk
beristirahat dan
pemulihan
16.13.Siapkan menjalanin
intervensi koroner
perkutan, jika pelu
16.14.Berikan dukungan
emosional dan
spritual.
Edukasi
16.15.Anjurkan segera
melaporkan nyeri
dada
16.16.Anjurkan menghindari
manuver Valsava
(mis.mengedan saat
BAB atau batuk
16.17. Jelaskan tindakan
yang dijalani pasien
16.18. Ajarkan teknik
menurunkan
kecemasan dan
ketakutan
Kolaborasi
16.19. Kolaborasi pemberian
antiplatelet, jika
perlu
16.20. Kolaborasi pemberian
antiangina (mis.
Nitrogliserin, beta
bloker, calcium
channel blocker)
16.21. Kolaborasi pemberian
morfin, jika perlu
16.22. Kolaborasi pemberian
inotropik, jika perlu
16.23. Kolaborasi pemberian
obat untuk mencegah
manuver Valsava
(mis. Pelunak tinja,
antimetik)
16.24. Kolaborasi
pencegahan trombus
dengan antikoagulan,
jika perlu
16.25. Kolaborasi
pemeriksaan x-ray
dada, jika perlu.

C. Pelaksanaan Tindakan Keperawatan


Selama tahap implementasi perawat melaksanakan rencana asuhan

keperawatan.Instruksi keperawatan diimplementasikan untuk membantu

pasien memenuhi kriteria hasil. Dalam implementasi terdapat tiga komponen

tahap implementasi, yaitu: tindakan keperawatan mandiri, tindakan

keperawatan kolaboratif, dan dokumentasi tindakan keperawatan dan respons

pasien terhadap asuhan keperawatan (Allen, 1998).

D. Evaluasi

Tahap evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang


merupakan perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang

dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan

dengan melibatkan pasien dan tenaga kesehatan lainnyasecara umum,

evaluasi ditujukan untuk melihat dan menilai kemampuan pasien dalam

mencapai tujuan, menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau

belum, mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai.

Evaluasi terbagi menjadi dua jenis yaitu evaluasi formatif dan evaluasi

sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan

hasil tindakan keperawatan, dirumuskan dengan empat komponen yang

dikenal dengan istilah SOAP, subyektif(data berupa keluhan pasien), objektif

(data hasil pemeriksaan), analisis data (pembandingan data dengan teori),

perencanaan. Sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan

setelah semua aktivitas proses keperawatan selesai dilakukan (Asmadi, 2013)


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gagal Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) saat ini merupakan masalah
kesehatan yang penting mengingat selain insiden dan pravelensinya yang semakin meningkat,
pengobatan pengganti ginjal yang harus dijalani oleh penderita gagal ginjal merupakan pengobatan
yang sangat mahal. Dialisa adalah suatu tindakan terapi pada perawatan penderita gagal ginjal
terminal. Tindakan ini sering juga disebut sebagai terapi pengganti karena berfungsi menggantikan
sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang sering dilakukan adalah hemodialisis dan
peritonealialisa. Diantara kedua jenis tersebut, yang menjadi pilihan utama dan metode perawatan
yang umum untuk penderita gagal ginjal adalah hemodialisis (Arliza dalam Nita Permanasari,
2018).

3.2 Saran

Sebagai mahasiswa kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu
saya mengharapkan mendapatkan saran atau kritik yang dapat memberitahu saya menjadi
mahaiswa yang jauh lebih baik kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, C. V. (1998). Memahami Proses Keperawatan dengan Pendekatan Latihan.
Jakarta: EGC.
Anita, D. C., & Novitasari, D. (2015). KEPATUHAN PEMBATASAN ASUPAN
CAIRAN TERHADAP LAMA MENJALANI HEMODIALISA. Prodi
Ilmu Keperawatan Universitas µ$LV\L\DK<RJ\DNDUWD, 105.
Asmadi. (2013). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC. Retrieved from
http://scholar.unand.ac.id
Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat. (2017). “Ramadhan Saat yang Tepat
untuk Mulai Berhenti Merokok” Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak
Menular. Jakarta: Ditjen Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Kementerian
Kesehatan RI. Retrievedfrom
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/tips-
sehat/20170220/1219750/cara-berhenti-merokok-dan-manfaatnya/

Brunner&Sudrat. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8.


Jakarta: ECG.
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Potofisiologi (3 ed.). Jakarta: ECG. Retrieved
from http://opac.kaltimprov.go.id/ucs/index.php?
p=show_detail&id=31862
Doenges, M. E. (2018). Rencana Asuhan Keperawatan Doenges Edisi 9 Vol. 3.
Jakarta: EGC.
Eva, S., & Sri, I. (2015). Faktor yang berhubungan dengan Penyakit Ginjal Kronik
di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. Retrieved Februari 6, 2021,
from http://journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi/article/view/3155
Evelyn. (2000). Anatomi dan fisiologi untuk paramedic (23 ed.). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hasanah, H. (2016). TEKNIK-TEKNIK OBSERVASI (Sebuah Alternatif Metode
Pengumpulan Data Kualitatif Ilmu-ilmu Sosial). at-Taqaddum.
doi:10.21580/at.v8i1.1163
Huda, N. A. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis. Tanggerang: Mediaction
publishing. Retrieved from
http://lib.stikesyatsi.ac.id//index.php?p=show_detail&id=10362
Infodatin. (2017, May 4). Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Retrieved from Situasi
Penyakit Ginjal Kronis:
https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/17050400001/situasi-penyakit-
ginjal-kronis.html
Irwan. (2018). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Yogyakarta: Deepublish.
Kalangi, J. A., Umboh, A., & Pateda, V. (2015). HUBUNGAN FAKTOR
GENETIK DENGAN TEKANAN DARAH PADA REMAJA. Jurnal
e-
Clinic (eCl), 67.
Kedokteran, F. (2018). Keterampilan Basic Physical Examination : Teknik Inspeksi,
Palpasi, Perkusi dan. Auskultasi. Surakarta: KEMENTERIAN RISET,
TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS SEBELAS MARET.
Lynn S, et.al. (2014). Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan: (Bates'
Pocket Guide to Physical Examination and History Taking) (7 ed.). Jakarta:
ECG.
Madjid, A. (2019). PRURITUS (GATAL). Makassar: Departemen Dermatologi &
Venereologi, RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo.
Manurung. (2011). Buku ajar keperawatan maternitas asuhan keperawatan
intranatal. Jakarta: Trans Info Media.
Nuari, N. A. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan & Penatalaksanaannya,
Ed.1. Yogyakarta: Deepublish.
Nurarif, A. H. (2015). Aplikasi: Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis NANDA & NIC-NOC Jilid 1. Yogjakarta: Media Action.
Potter&Ferry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta: EGC.
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indnesia (1st ed.). Jakarta: DPP
PPNI.
Prameswari, N. (2019). ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN PENYAKIT
GINJAL KRONIS DI RUANG FLAMBOYAN RUMAH SAKIT ABDUL
WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA. KARYA TULIS ILMIAH, 5.
Pranandari, R., & Supadmi, W. (2015). FAKTOR RISIKO GAGAL GINJAL
KRONIK DI UNIT HEMODIALISIS RSUD WATES. Majalah
Farmaseutik, 2.
Prastika, D. (2018). EFEKTIVITAS PEMBERIAN POSISI FOWLER DAN
SEMIFOWLER TERHADAP SKALA SESAK NAPAS PASIEN PPOK
SAAT MENJALANI TERAPI NEBULIZER DI RSUD K.R.M.T.
WONGSONEGORO SEMARANG. 5-6.
Putri, D. P. (2017). ANALISA PELAKSANAAN ASESMEN PENCEGAHAN
RISIKO JATUH PASIEN OLEH PERAWAT DI RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK. NASKAH PUBLIKASI,
3.
Ramadhani, A. W. (2020). ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN TINDAKAN

Anda mungkin juga menyukai