Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

“PATOFISIOLOGI GANGGUAN SISTEM GINJAL DAN HIPERTENSI


DALAM KEHAMILAN”

Disusun Oleh :

1. Mesi Sepra (P01740522 009)


2. Sara Januarini Nenty Et (P01740522 017)
3. Shopiatun Fathona (P01740522 019)

Dosen Pengajar : Dwie Yunita Baska B. SST,M.Keb

Mata Kuliah : Patofisiologi Kasus Kebidanan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU

JURUSAN KEBIDANAN

PROFESI KEBIDANAN

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun Makalah “Patofisiologi Gangguan Sistem
Ginjal dan Hipertensi dalam Kehamilan”, sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas
Patofisiologi Kasus Kebidanan.

Dalam hal ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, karena itu pada
kesempatan kali ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bunda Dwie Yunita
Baska B. SST,M.Keb selaku dosen pengajar mata kuliah Patofisiologi Kasus Kebidanan.

Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diperlukan guna
tersusunnya makalah yang lebih baik lagi.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya

Wassalamualaikum wr.wb.

Bengkulu, 13 Juli 2022

Penulis
DAFTAR ISI

COVER

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

KATA PENGANTAR........................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................2

C. Tujuan..................................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Kajian Gangguan Sistem Fungsi Ginjal Dalam Kehamilan.................3

B. Kajian Hipertensi dalam Kehamilan.....................................................8

C. Langkah Penapisan/Skrining Awal.......................................................9

D. Stabilisasi Dan Tata Laksana Terhadap Kasus yang Timbul................9

D. Upaya Tindakan Kolaborasi Dan Memberi Asuhan Lanjut.................9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.........................................................................................10

B. Saran....................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan indikator
pembangunan kesehatan di suatu Negara, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan SDGs. Tahun 2015-2019 target AKI di Indonesia yaitu
306/100.000 kelahiran hidupdan target AKB yaitu 24/1.000 kelahiran hidupsedangkan target
SDGs, AKI harus diturunkan sampai 70 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sampai 23 per
1.000 kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan RI, 2015)

Pada saat ini penurunan AKI dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih menjadi prioritas
program kesehatan di Indonesia. Kematian ibu terjadi paling banyak saat hamil dan nifas
dengan spesifikasi ibu meninggal paling banyak pada usia reproduktif yaitu 20 – 35 tahun dan
masih banyak yang di atas usia 35 tahun. Ada beberapa penyebab kematian ibu adalah
perdarahan, hipertensi,infeksi, pertus lama, abortus dan lain-lain.

Tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol menyebabkan arteri di sekitar ginjal
menyempit, melemah, atau mengeras. Arteri yang rusak ini tidak mampu memberikan cukup
darah ke jaringan ginjal. Ginjal membantu menyaring limbah dan cairan ekstra dari darah, dan
mereka menggunakan banyak pembuluh darah selama proses penyaringan tersebut. Ketika
pembuluh darah menjadi rusak, nefron yang menyaring darah tidak menerima oksigen dan
nutrisi yang mereka butuhkan agar berfungsi dengan baik. Inilah sebabnya tekanan darah tinggi
atau hipertensi adalah penyebab utama gangguan fungsi ginjal.

Kehamilan dengan gangguan fungsi ginjal sangat beresiko sekali tidak hanya untuk ibunya akan
tetapi juga janinnya, kehamilan dengan peritoneal dialisis memiliki tanda dan gejala awal
seperti ibu hamil biasanya seperti mual muntah dipagi hari dan terjadinya tekanan darah tinggi
atau hipertensi (Tri et al., 2020). Kehamilan dengan gangguan fungsi ginjal sangat
membutuhkan pemantauan rutin oleh dokter ginjal dan dokter kandungan. Penanganan dan
perawatan yang baik pada pasien gagal ginjal kronis yang mengalami kehamilan menjadikan
perubahan paradigma dan meningkatkan minat pasien gagal ginjal untuk hamil (Fitzpatrick et
al., 2016).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan kajian fungsi ginjal dalam kehamilan, persalinan dan nifas ?
2. Apa yang di maksud dengan kajian hipertensi dalam kehamilan, persalinan dan nifas ?
3. Bagaimana langkah penapisan/screening awal pada kasus gangguan fungsi ginjal dan
hipertensi pada ibu hamil, persalinan dan nifas?
4. Bagaimana stabilisasi pada kasus dan tata laksana terhadap komlikasi pada gangguan fungsi
ginjal dalam kehamilan, persalinan dan nifas ?
5. Bagaimana upaya tindakan kolaborasi dan memberikan asuhan lanjut (follow up care) pada
kasus gangguan fungsi ginjal dan hipertensi dengan pendekatan holistic dan terintegrasi ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui patofisiologi gangguan sistem ginjal dan hipertensi pada


kehamilan,persalinan dan nifas.
2. Untuk mengetahui bagaimana langkah-langkah penapisan/sreening awal, stabilisasi pada
kasus dan tata laksana terhadap komplikasi yang timbul pada kasus gangguan fungsi ginjal
pada kehamilan, persalinan dan nifas.
3. Untuk mengetahui upaya tindakan kolaborasi dan memberikan asuhan lanjut (follow up
care) pada kasus gangguan fungsi ginjal dalam kehamilan dengan pendekatan holistik dan
terintegrasi.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Kajian gangguan sistem ginjal dalam kehamilan


1. Definsi
a. Definisi Ginjal
Ginjal adalah bagian tubuh yang sangat penting. Fungsi ginjal sebagai penyaring darah
dari sisa-sisa metabolisme menjadikan keberadaanya tidak bisa tergantikan oleh organ
tubuh lainnya. Kerusakan atau gangguan ginjal menimbulkan masalah pada kemampuan
dan kekuatan tubuh. Akibatnya, aktivitas kerja terganggu dan tubuh jadi mudah lelah
dan lemas. Ginjal memainkan peran kunci dalam tubuh, tidak hanya dengan menyaring
darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, namun juga dengan menyeimbangkan
tingkat elektrolit di dalam tubuh, mengontrol tekanan darah, dan menstimulasi produksi
dari sel-sel darah merah (Colvy, 2016)

Struktur Ginjal :

Secara struktur, ginjal ditutupi oleh kapsul tunika fibrosa yang kuat. Apabila kapsul
dibuka akan terlihat permukaan ginjal lincin dengan warna merah tua. Dengan
membuat potongan vertikal dari ginjal melalui margo lateralis ke margo medialisis,
akan terlihat hilus yang meluas ke ruangan sentral yang disebut sinus ranalis bagian
atas dari pelvis renalis. (Kirnanoro, 2017)
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula renalis yang terdiri dari
jaringan fibrus berwarna ungu tua. Lapisan luar terdiri dari lapisan korteks (subtansia
kortekalis),dan lapisan sebelah dalam bagian medulla (subtansia medularis) berbentuk
kerucut yang disebut renal piramid. Puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri
dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis. Masing-masing piramid dilapisi oleh
kolumna renalis, jumlah renalis 15-16 buah.

Garis-garis yang terlihat di piramid disebut tubulus nefron yang merupakan bagian
terkecil dari ginjal yang terdiri dari glomerulus, tubulus proksimal (tubulus kontorti
satu), ansa henle, tubulus distal (tubulus kontorti dua) dan tubulus urinarius (papilla
vateri). Pada setiap ginjal diperkirakan ada 1.000.000 nefron , selama 24 jam dapat
menyaring darah 170 liter. Arteri renalis membawa darah murni dari aorta ke ginjal,
lubang-lubang yang terdapat piramid renal masing-masing membentuk simpul dari
kapiler satu badan malfigi yang disebut glomerulus. Pembuluh aferen yang bercabang
membentuk kapiler vena renalis yang membawa darah dari ginjal ke vena kava inferior
(Widia, 2015).

b. Gangguan Fungsi Ginjal

Gangguan fungsi ginjal atau penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses
patofisiologis dengan berbagai macam penyebab, akibat dari perubahan fungsi nefron
yang mengalami kerusakan secara terus menerus dalam waktu yang lama hingga
menjadi stadium akhir (Nur, 2012). Ini adalah keadaan dimana lebih banyak nefron
rusak secara progresif sampai ginjal tidak mampu lagi berfungsi dengan semestinya.

Beberapa dari penyebab yang berbeda – beda termasuk:


1). Glomerulonefritis kronis. Disebabkan oleh salah satu dari banyak penyakit yang
merusak baik glomerulus maupun tubulus. Infeksi, yang menyebabkan
pembentukan kompleksantigen-antibodi, berakibat pada peradangan
glomerululi. Membran glomerular menebal dan kemudian terserang jaringan
berserabut. Pada tahap penyakit berikutnya keseluruhan kemampuan penyaringan
ginjal sangat berkurang. Pada tahap akhir penyakit, banyak dari glomeruli benar-
benar digantikan oleh jaringan berserabut danf fungsi nefron hilang selamanya.
2). Plelonefritis, ini adalah proses infeksi dan peradangan yang biasanya mulai di
renal pelvis, saluran ginjal yang menghubungkan ke saluran kencing (ureter) dan
parenchyma ginjal atau jaringan ginjal. Infeksi bisa diakibatkan dari banyak jenis
bakteri, terutama dari basilus kolon. Yang aslinya dari kontaminasi fecal saluran
kencing. Ketika bakteri menyerang jaringan ginjal, kerusakan progresif dipicu
sehingga mengakibatkan hilangnya fungsi ginjal. Lokasi yang paling umum
diserang adalah medula ginjal, bagian yang bertanggung jawab memekatkan
urine. Jadi, pasien dengan kondisi ini telah mengalami penurunan kemampuan
memekatkan urine (Reed, 2009).

c. Gangguan fungsi ginjal pada kehamilan, persalinan dan nifas

Secara fisiologi, ginjal mengalami perubahan hemodinamik, tubulus ginjal, dan


perubahan endokrin selama kehamilan. Adaptasi ginjal untuk kehamilan diantisipasi
sebelum konsepsi, yaitu menjelang akhir setiap siklus menstruasi, laju filtrasi
glomerulus (LFG) akan meningkat 10-20%. Jika kehamilan terjadi, LFG terus
meningkat, sehingga pada kehamilan 16 minggu, nilai LFG 55% di atas nilai LFG pada
seseorang yang tidak hamil.3 Kenaikan ini dimediasi melalui peningkatan aliran darah
ginjal pada trimester kedua yang mencapai maksimum 70-80% di atas nilai yang tidak
hamil, sebelum turun pada saat aterm menjadi sekitar 45% di atas nilai yang tidak
hamil.

Pada awal kehamilan terjadi peningkatan aliran darah ginjal menyebabkan


peningkatan laju filtrasi glomerulus hingga 50-70% diatas normal di dua trimester
awal dan tetap 40% di atas normal pada trimester ketiga. Peningkatan aliran darah ginjal
ini disebabkan adanya peningkatan curah jantung dan penurunan resistensi vaskuler
ginjal akibat vasodilatasi vaskularisasi ginjal. Peningkatan LFG mulai terjadi pada
minggu keempat kehamilan hingga menjadi 50% diatas normal dalam 13 minggu.
Terjadi hiperfiltrasi gestasional disertai dengan penurunan relatif dalam konsentrasi
serum kreatinin dan urea, sehingga nilai-nilai yang dianggap normal pada keadaan tidak
hamil dapat menjadi abnormal dalam kehamilan. Tekanan darah dan resistensi vaskuler
perifer turun segera setelah konsepsi.

Penurunan resistensi vaskuler diperkirakan akibat peningkatan sintesis prostaglandin


vasodilator (prostasiklin). Dari penelitian lain menyatakan bahwa nilai rata- rata dari
serum kreatinin dan urea pada wanita hamil adalah 0,5 dan 20 mg/dl, lebih rendah dari
nilai rata-rata pada wanita yang tidak hamil, yaitu 0,82 dan 25 mg/dl Peningkatan LFG
menyebabkan peningkatan klirens asam urat dan penurunan kadar asam urat serum.
Fungsi tubulus juga berubah seiring dengan perubahan fungsi glomerulus. Peningkatan
LFG sebesar 50% selama kehamilan mengakibatkan peningkatan reabsorpsi natrium
oleh tubulus ginjal. Ambang batas reabsorpsi glukosa meningkat dan glukosuria
mungkin terjadi tanpa adanya hiperglikemia.

Pada masa nifas sulit diketahui sebabnya, sehingga disebut sindrom ginjal idiopatik
postpartum. Penanggulangan pada keadaan ini, penderita diberi infuse, atau transfusi
darah, diperhatikan keseimbangan elektrolit dan cairan dan segera dilakukan
hemodialisis bila ada tanda-tanda uremia. Banyak penderita membutuhkan hemodialis
secara teratur atau dilakukan transplantasi ginjal untuk ginjal yang tetap gagal.

2. Etiologi

Ginjal juga bertindak sebagai organ endokrin yang memproduksi erythropoietin, vitamin D
aktif dan renin. Produksi dari ketiga hormon tersebut meningkat selama kehamilan normal,
tetapi efek mereka akan ditutupi oleh perubahan lain. Sebagai contoh, pada awal
kehamilan, vasodilatasi perifer meningkatkan renin-aldosteron yang menyebabkan
ekspansi volume plasma, sehingga tekanan darah turun pada kehamilan 12 minggu.
Sebaliknya, ekspansi volume plasma akan menyebabkan peningkatan eritropoetin, yang
menyebabkan peningkatan masa sel darah merah, menyebabkan anemia fisiologis.
Demikian pula, vitamin D aktif yang beredar dua kali lebih banyak dibandingkan yang
tidak hamil, tetapi bersamaan dengan itu terjadi pengurangan separuh dari kadar hormon
paratiroid, hiperkalsiuria dan peningkatan kebutuhan janin menyebabkan kadar plasma
terionisasi kalsium tidak berubah. Proteinuria akan sedikit meningkat pada kehamilan
normal, namun peningkatan yang lebih dari 260 mg/ 24 jam harus dipertimbangkan
sebagai suatu keadaan yang abnormal. Kadar plasma albumin yang biasanya menurun
sebesar 5-10 g dan kolesterol yang meningkat akan tampak seperti gambaran sindroma
nefrotik. Glikosuria gestasional yang disebabkan oleh reabsorpsi glukosa yang berkurang
pada tubular. Selanjutnya, peningkatan ventilasi alveolar menyebabkan alkalosis
respiratorik dan asidosis metabolik terkompensasi melalui bikarbonaturia.

Anatomi ginjal juga mengalami perubahan selama kehamilan. Ukuran ginjal membesar
sekitar 1-1,5 cm akibat peningkatan volume vaskuler dan kapasitas sistem pengumpul
(collecting system). Ginjal tampak lebih besar (plethoric kidneys) pada ultrasonografi dan
disertai pembesaran pada pelvis ginjal, traktus urinarius dan dilatasi ureter, yaitu perubahan
yang normal pada kehamilan yang tampak seperti obstruksi.11 Dilatasi ginjal dan traktus
urinarius ini mulai terjadi pada trimester pertama dan bertahan hingga 12 minggu post
partum. Penurunan plasma albumin 5-10 g/ l, kenaikan dalam serum kolesterol, dan edema
pada akhir kehamilan juga dapat terjadi pada kehamilan normal, dan kadang-kadang
terlihat seperti sindrom nefrotik.

Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-
2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonelritis (25%),
diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Sudoyo & Aru,
2006).

a. Glomerulonelritis
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila'penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri sedangkan glomerulonelritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES),
mieloma multiple atau amiloidosis.
b. Diabetes Mellitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya.
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah diastolik >
90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi.
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista
yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena
kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi
ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain
yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic
kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanilestasi pada usia di atas 30
tahun.

3. Patofisiologi

Patofisiologi eksaserbasi penyakit ginjal akibat kehamilan masih belum diketahui. Suatu
hipotesis menyatakan bahwa menurunnya fungsi ginjal berkaitan dengan peningkatan
perfusi glomerulus, namun fakta menunjukkan bahwa kebanyakan perempuan dengan
penurunan fungsi ginjal selama kehamilan tidak terbukti mengalami hiperperfusi dini,
seperti penurunan awal konsentrasi kreatinin serum. Hipotesis lain menyatakan bahwa
penyakit ginjal yang ada, membentuk kaskade agregasi platelet thrombi fibrin, koagulasi
mikrovaskular dan disfungsi endotelial di ginjal. Konsepsi jarang terjadi pada wanita yang
menjalani dialisis dan terjadi 1 dari setiap 200 pasien,dan kehamilan sering terdiagnosa
terlambat karena adanya ketidakteraturan menstruasi yang sering menyebabkan abortus
pada wanita dengan PGK.

Hipertensi pada ibu, proteinuria dan infeksi saluran kemih yang berulang sering terjadi
bersamaan dengan PGK. Walaupun sulit untuk menjelaskan bagaimana masing-masing
faktor tersebut berkontribusi terhadap perburukan dalam kehamilan, namun secara
kumulatif, faktor-faktor tersebut dapat membahayakan janin. Secara ringkas, terdapat
beberapa risiko utama akibat penyakit ginjal dalam kehamilan, yaitu tingkat kesintasan
janin lebih rendah dengan hipertensi yang tidak terkontrol, risiko relatif kematian janin
hampir sepuluh kali lebih tinggi pada perempuan dengan MAP > 105 mmHg saat konsepsi
dibandingkan dengan perempuan yang normotensi baik spontan maupun dengan bantuan
obat, anemia, risiko prematuritas meningkat pada pasien dengan kadar kreatinin serum
lebih dari 1,4 mg/dl, tingkat persalinan prematur umumnya umumnya berkaitan dengan
penanganan preeklampsia dan IUGR (Intra Uterine Growth Restriction), risiko
preeklampsia meningkat secara bermakna pada perempuan hamil yang dikaitkan dengan
morbiditas maternal dan fetal.

Preeklampsia lebih sulit didiagnosis pada wanita dengan kelainan dasar proteinuria dan
hipertensi, gambaran sindroma preeklampsia mencakup memburuknya hipertensi dan
proteinuria secara bermakna (dua kali lipat), diiringi dengan penurunan jumlah platelet
atau peningkatan enzim hati.1Biasanya sindroma ini muncul pada trimester ketiga, namun
pada perempuan dengan penyakit ginjal kronik, risiko lebih besar pada trimester kedua.
Risiko buruk pada kehamilan berhubungan dengan derajat disfungsi ginjal.

Pasien yang telah menjalani transplantasi ginjal, fungsi seksual dan endokrin pulih dengan
cepat. Sekitar 50% perempuan usia produktif yang berhasil menjalani transplantasi dapat
mengalami kehamilan.Tiga puluh persen tidak melewati trimester pertama karena abortus
spontan, namun tingkat keberhasilan kehamilan yang bisa melewati trimester pertama
sebesar 95%. Disarankan untuk menunda kehamilan hingga 18-24 bulan setelah menjalani
transplantasi ginjal. Selama rentang waktu tersebut pasien diharapkan telah pulih dari
operasi, fungsi graft telah stabil dan obat-obat imunosupresan dikonsumsi pada dosis
rumatan (maintenance).
4. Klasifikasi

Wanita hamil dengan penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori
a. Wanita hamil dengan insufisiensi renal ringan (kreatinin serum <1,4 mg/dl) dan
tanpa hipertensi.
b. Wanita hamil dengan insufisiensi renal moderat/sedang ( kreatinin serum 1,4-2,8 mg/dl)
c.Wanita hamil dengan insufisiensi renal berat (kreatinin serum > 2,8 mg/dl)

5. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan yang bersifat
sistematik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran sirkulasi memilikii fungsi yang
banyak (organ multifunction), sehingga kerusakan kronis secara fisioogis ginjal akan
mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Berikut ini adalah tanda
dan gejala yang ditunjukkan oleh gagal ginjal kronis (Judith & Robinson, 2006;2013):
a. Ginjal dan gastrointestinal
Sebagai akibat dari hiponartemi maka timbul hipotensi, mulut kering, penurunan tugor
kulit, kelemahan, fatique, dan mual. Kemudian tejadi penurunan kesadaran (somnolen)
dan nyeri kepala yang hebat. Dampak dari peningkatan kalium adalah peningkatan
iritabilitas otot dan akhirnya otot mengalami kelemahan. Kelebihan cairan yang tidak
terkompensasi akan mengakibatkan asidosis metabolik. Tanda paling khas adalah
terjadinya penurunan urine output dengan sedimentasi yang tinggi.
b. Kardiovaskuler
Biasanya terjadi hipertensi , aritmia, kardiomyopati, uremic percarditis, effusi
perikardial (kemungkinan bisa terjadi tamponade jantung, gagal jantung, edema
periorbital dan edema perifer.
c. Respiratory System
Biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan efusi pleura, crackles,
sputum yang kental, uremic pleuritis dan uremic lung, dan sesak napas.
d. Gastrointestinal
Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa gastrointestinal
karena stomatitis, ulserasi dan pendarahan gusi, dan kemungkinan juga disertai
parotitis, esofagitis, gastritis, ulseratif duodenal, lesi pada usus halus/usus besar, colitis,
dan pankreatitis. Kejadian sekunder biasanya mengikuti seperti anoreksia, nausea dan
vomiting.
e. Integumen
Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan ada scalp. Selain itu, biasanya
juga menunjukkan adanya purpura, ekimosis, petechiae, dan timbunan urea pada kulit.
f. Neurologis
Biasanya ditunjukkan dengan adanya neuropathy perifer, nyeri gatal pada lengan dan
kaki. Selain itu, juga adanya kram pada otot dan refleks kedutan, daya memori
menurun, apatis, rasa kantuk meningkat, iritabilitas, pusing, koma dan kejang. Dari
hasil EEG menunjukkan adanya perubahan metabolik encephalophaty.
g. Endokrin
Bisa terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorrhea dan gangguan siklus
menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi sperma, peningkatan sekresi
aldosteron, dan kerusakan metabolisme karbohidrat.
h. Hematopoitiec
Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah, trombositopenia (dampak
dari dialysis), dan kerusakan platelet. Biasanya masalah yang serius pada sistem
hematologi ditunjukkan dengan adanya perdarahan (purpura, ekimosis, dan petechiae).
i.Muskuloskeletal
Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur pathologis, dan kalsifikasi
(otak, mata, gusi, sendi, miokard).
B. Kajian hipertensi dalam kehamilan

1. Definisi
a. Definisi hipertensi
Hipertensi berasal dari bahasa latin yaitu hiper dan tension. Hiper artinya yang
berlebihan dan tension artinya tekanan. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana
tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hipertensi atau tekanan
darah tinggi adalah peningkatan tekanan persisten pada pembuluh darah arteri,
seseorang dikatakan menderita tekanan darah tinggi atau hipertensi yaitu apabila
tekanan darah sistolik >140 mmHg dan diastolik >90 mmHg (AHA, 2017).
Hipertensi seringkali tidak menunjukkan gejala sehingga menjadi pembunuh diam –
diam (the silent of death). Jika dibiarkan, hipertensi dapat mengganggu fungsi organ-
organ lain, terutama organ organ vital seperti jantung ginjal dan mata. Hipertensi
merupakan pemicu beragam penyakit, diantaranya stroke, diabetes, dan gagal ginjal.
Menurut data WHO (World Health Organization).

b. Hipertensi dalam kehamilan,persalinan dan nifas

Hipertensi karena kehamilan yaitu hipertensi yang terjadi karena atau pada saat
kehamilan, dapat mempengaruhi kehamilan itu sendiri biasanya terjadi pada usia
kehamilan memasuki 20 minggu (Rukiyah & Yulianti, 2010). Hipertensi pada
kehamilan sering terjadi dan merupakan penyebab utama kematian ibu melahirkan,
serta memiliki efek serius lainnya saat melahirkan. Hipertensi pada kehamilan
terjadi pada 5% dari semua kehamilan. Di Amerika Serikat angka kejadian kehamilan
dengan hipertensi mencapai 6-10 %, dimana terdapat 4 juta wanita hamil dan
diperkirakan 240.000 disertai hipertensi setiap tahun. Hipertensi merupakan faktor
risiko stroke dan insidennya meningkat pada kehamilan dimana 15% kematian ibu
hamil di Amerika disebabkan oleh pendarahan intraserebral. Kondisi ini memerlukan
strategi manajemen khusus agar hasilnya lebih bagus.
Hipertensi pada kehamilan mempengaruhi ibu dan janin, dan dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas ibu dan janin jika tidak dikelola dengan baik. Hipertensi
yang diinduksi kehamilan dianggap sebagai komplikasi obstetrik. Ada efek maternal
merugikan yang signifikan, beberapa menghasilkan morbiditas atau kematian
maternal yang serius. Namun, harus diingat bahwa kondisi ibu dengan abrupsio
plasenta, gagal ginjal akut, pendarahan intraserebral dan edema paru akan memiliki
efek buruk pada janin. Demi untuk keselamatan ibu perlu rencana untuk melahirkan
janin lebih awal. Kelahiran dini ini akan menyelamatkan ibu namun meningkatkan
risiko pada bayi. Kesulitan dokter kandungan adalah memutuskan apakah
melanjutkan kehamilan atau segera melahirkan.

Selanjutnya hipertensi saat persalinan cukup berbahaya, karena memicu komplikasi


pada saat kehamilan dan persalinan. Ibu hamil menjelang persalinan yang memiliki
riwayat hipertensi beresiko tinggi bagi bayi yang dilahirkan. Dampak dari tingginya
tekanan darah pada ibu hamil adalah rusaknya ginjal atau organ tubuh penting
lainnya. Hipertensi dalam persalinan dapat dipengaruhi beberapa keadaan yaitu lebih
sering terjadi pada primigravida, patologi terjadi akibat implantasi sehingga timbul
iskemia plasenta yang diikuti sindrom inflamasi.

Hipertensi postpartum (nifas) tekanan darah secara tipikal meningkat setelah


persalinan lebih dari 24 jam pertama atau lima hari pertama. Hipertensi pada ibu nifas
terjadi karena adanya perubahan struktural fungsional pada sistem pembuluh darah
perifer yang bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah. Perubahan tersebut
meliputi tingginya natrium dan penurunan pada kalium pembuluh darah sehingga
menurunkan kemampuan distensi dan daya renggang pembuluh darah.
Konsekuensinya aorta dan arteri besar kurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang di pompa oleh jantung, mengakibatkan
penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer.
2. Etiologi

Meningkatnya kejadian hipertensi dipengaruhi beberapa faktor risiko yaitu jenis kelamin,
adanya riwayat tekanan darah tinggi dalam keluarga, obesitas, kurang olah raga,
mengkonsumsi garam berlebih, stress dan kebiasaan hidup seperti merokok dan minum
minuman beralkohol. Bagi yang memiliki faktor resiko ini seharusnya lebih waspada dan
lebih dini dalam melakukan upaya-upaya preventif, contohnya rutin mengontrol tekanan
darah, serta berusaha menghindari faktor-faktor pencetus hipertensi (Kemenkes, 2013).
Tingginya kejadian hipertensi dalam kehamilan ini disebabkan oleh banyak faktor.
Adapun menurut hasil penelitian Saraswati (2014) menunjukkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara umur dengan kejadian hipertensi pada ibu hamil. 35 tahun
mempunyai risiko 15,731 mengalami kejadian hipertensi dibandingkan dengan responden
yang berumur 20 – 35 tahun.

Berdasarkan penelitian Fahira (2017) bahwa riwayat hipertensi merupakan faktor risiko
kejadian preeklampsia dengan kata lain riwayat hipertesnsi berisiko 1,591 kali lebih besar
untuk mengalami preeklampsia dibanding dengan yang tidak memiliki riwayat hipertensi.
Menurut hasil penelitian Lina (2013) 2 responden dari kelompok hipertensi yang
menyatakan tinggal serumah dengan > 1 perokok aktif sedangkan pada kelompok tidak
hipertensi hanya 1 responden berarti perokok pasif yang tinggal serumah dengan > 1 orang
perokok aktif berisiko 1,85 kali daripada serumah dengan 1 perokok aktif untuk terjadi
hipertensi. Menurut hasil penelitian Sri (2016) proporsi ibu bersalin dengan hipertensi
yang paling banyak adalah pada kelompok ibu yang pernah melahirkan > 3 kali yaitu
terdapat 74%. Menurut hasil penelitian Ridha (2013) menunjukkan adanya hubungan
dengan hipertensi antara tingkat stres yang dialami oleh ibu hamil yaitu sebesar 47,6%.
Beberapa faktor risiko dari hipertensi dalam kehamilan adalah :
a. Usia maternal
Usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20- 30 tahun. Komplikasi
maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2
sampai 5 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi pada usia 20
sampai 2 tahun. Dampak dari usia yang kurang, dapat menimbulkan komplikasi selama
kehamilan. Setiap remaja primigravida mempunyai risiko yang lebih besar mengalami
hipertensi dalam kehamilan dan meningkat lagi saat usia diatas 35 tahun.
b. Primigravida
Sekitar 85% hipertensi dalam kehamilan terjadi pada kehamilan pertama. Jika ditinjau
dari kejadian hipertensi dalam kehamilan, graviditas paling aman adalah kehamilan
kedua sampai ketiga.
c. Riwayat keluarga
Terdapat peranan genetik dalam hipertensi kehamilan. Hal tersebut dapat terjadi karena
terdapat riwayat keluarga dengan hipertensi dalam kehamilan.
d. Riwayat hipertensi
Riwayat hipertensi kronis yang dialami selama kehamilan dapat meningkatkan risiko
terjadinya hipertensi dalam kehamilan, dimana komplikasi tersebut dapat
mengakibatkan superimpose preeklamsia dan hipertensi kronis dalam kehamilan.
e. Tingginya indeks massa tubuh
Tingginya nilai indeks massa tubuh merupakan masalah gizi karena kelebihan kalori,
kelebihan gula dan garam yang kelak bisa menjadi faktor risiko terjadinya berbagai
jenis penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi kehamilan, penyakit
jantung koroner, reumatik dan berbagai jenis keganasan (kanker) dan gangguan
kesehatan lain. Hal tersebut berkaitan dengan adanya timbunan lemak berlebih dalam
tubuh.
f. Gangguan ginjal
Penyakit ginjal seperti gagal ginjal akut yang diderita pada ibu hamil dapat
menyebabkan hipertensi dalam kehamilan. Hal tersebut berhubungan dengan kerusakan
glomerulus yang menimbulkan gangguan filtrasi dan vasokonstriksi pembuluh darah.
3. Patofisiologi

Hipertensi dalam kehamilan (HDK) merupakan kelainan vaskuler yang terjadi sebelum
kehamilan atau timbul dalam kehamilan atau pada masa nifas. Resiko terbesar hipertensi
pada wanita hamil adalah kerusakan pada ginjal. Pada kasus yang lebih serius, ibu bisa
menderita preeklampsia atau keracunan pada kehamilan, yang akan sangat membahayakan
baik ibu maupun bagi janin. Selain itu hipertensi bisa menyebabkan kerusakan pembuluh
darah, stroke, dan gagal jantung di kemudian hari. Preeklampsia dimulai pada kehamilan
minggu ke-20, sebagai akibat dari hipertensi. Berpengaruh pada ginjal dan pengeluaran
protein melalui urin, juga mempengaruhi otak, plasenta dan hati (liver). Pada janin,
preeklampsia bisa menyebabkan berat badan lahir rendah keguguran, dan lahir prematur.
Hipertensi dalam kehamilan merupakan gangguan multifaktorial. Berikut patofisiologi
hipertensi pada kehamilan :
a. Implantasi plasenta abnormal (cacat pada trofoblas dan spiral arteriol)
b. Faktor angiogenik (faktor rendahnya pertumbuhan plasental)
c. Fenomena immunologi
d. Kerusakan endotelial vaskular dan stres oksidatif Gambaran pre-eklampsia berat.
e. Peningkatan tekanan darah (sistolik ≥ 160 mmHg, diastolik ≥ 110 mmHg)
f. Peningkatan kreatinin (> 1.1 mg/dL [97 µmol/L] atau ≥ 2x normal)
g. Disfungsi hati (transamilase ≥ 2x normal atas) atau nyeri pada tubuh bagian atas
h. Sakit kepala atau penglihatan kabur
i. Trombosit < 100x103/µL (100x109/L)
j. Edema paru

4. Klasifikasi hipertensi pada kehamilan


Hipertensi pada kehamilan apabila tekanan darahnya ≥140/90 mmHg. Dibagi menjadi
ringan-sedang (140 – 159 / 90 – 109 mmHg) dan berat (≥160/110 mmHg). Pada semua
wanita hamil, pengukuran tekanan darah harus dilakukan dalam posisi duduk, karena posisi
telentang dapat mengakibatkan tekanan darah lebih rendah daripada yang dicatat dalam
posisi duduk. Diagnosis hipertensi pada kehamilan membutuhkan pengukuran tekanan
darah dua kali terjadi hipertensi setidaknya dalam 6 jam. Pada kehamilan, curah
jantung meningkat sebesar 40%, dengan sebagian besar peningkatan karena peningkatan
stroke volume. Denyut jantung meningkat 10x/menit selama trimester ketiga. Pada
trimester kedua, resistensi vaskular sistemik menurun, dan penurunan ini dikaitkan dengan
penurunan tekanan darah.
Klasifiksi hipertensi pada kehamilan dapat digolongkan menjadi: 1) pre-eklampsia/
eklampsia, 2) hipertensi kronis pada kehamilan, 3) hipertensi kronis disertai pre-eklampsia,
dan 4) hipertensi gestational ;

a. Pre-eklampsia dan Eklampsia

Pre-eklampsia adalah sindrom pada kehamilan (>20 minggu), hipertensi (≥140/90


mmHg) dan proteinuria (>0,3 g/hari). Terjadi pada 2-5% kehamilan dan angka
kematian ibu 12-15%. Pre-eklampsia juga dapat disertai gejala sakit kepala, perubahan
visual, nyeri epigastrium, dan dyspnoea. Beberapa faktor telah diidentifikasi terkait
dengan peningkatan risiko pre-eklampsia seperti usia, paritas, pre-eklampsia
sebelumnya, riwayat keluarga kehamilan ganda, kondisi medis yang sudah ada
sebelumnya (diabetes mellitus tipe I), obesitas dan resistensi insulin, hipertensi kronis,
penyakit ginjal, penyakit autoimun, sindrom anti-fosfolipid, penyakit rematik),
vmerokok, peningkatan indeks massa tubuh (BMI), peningkatan tekanan darah, dan
proteinuria. Selain itu, beberapa faktor yang terkait termasuk keterpaparan sperma yang
terbatas, primipaternitas, kehamilan setelah inseminasi donor / sumbangan oosit/
embrio telah ditemukan memainkan peran penting pada kejadian
pre-eklampsia/eklampsia Faktor risiko pre-eklampsia/eklampsia adalah hipertensi
kronis, obesitas, dan anemia parah. Faktor risiko utama pre-eklampsia adalah sindrom
antifosfolipid, relative risk, pre-eklampsia sebelumnya, diabetes tipe I, kehamilan
ganda, belum pernah melahirkan (nulliparity), sejarah keluarga, obesitas usia >40
tahun, hipertensi. Sindrom antibodi antifosfolipid, pre-eklampsia sebelumnya,
hipertensi kronik, diabetes tipe I, teknologi pembantu reproduksi dan BMI (body mass
index) sangat berkaitan erat dengan terjadinya pre-eklampsia.

Eklampsia adalah terjadinya kejang pada wanita dengan pre-eklampsia yang tidak
dapat dikaitkan dengan penyebab lainnya. Eklampsia keadaan darurat yang dapat
mengancam jiwa, terjadi pada sebelum, saat, dan setelah persalinan (antepartum,
intrapartum, postpartum). Eklampsia didahului dengan sakit kepala dan perubahan
penglihatan, kemudian kejang selama 60-90 detik.
b. Hipertensi Kronis pada Kehamilan

Hipertensi kronis pada kehamilan apabila tekanan darahnya ≥140/90 mmHg, terjadi
sebelum kehamilan atau ditemukan sebelum 20 minggu kehamilan. Seringkali
merupakan hipertensi esensial / primer, dan didapatkan pada 3,6-9% kehamilan.
Hipertensi kronis pada kehamilan adalah hipertensi (≥ 140/90 mmHg) yang telah ada
sebelum kehamilan Dapat juga didiagnosis sebelum minggu ke-20 kehamilan. Ataupun
yang terdiagnosis untuk pertama kalinya selama kehamilan dan berlanjut ke periode
post-partum. Peningkatan tekanan darah pada hipertensi kronis terjadi sebelum minggu
ke-20 kehamilan, dapat bertahan lama sampai lebih dari 12 minggu pasca persalinan.
Hipertensi, obesitas dan usia merupakan faktor risiko hipertensi kronis. Hipertensi
kronis pada kehamilan meningkatkan risiko pre-eklampsia, pertumbuhan janin,
persalinan dini, dan kelahiran dengan ceasar.

Wanita hipertensi yang hamil memiliki kecenderungan mengalami pre-eklampsia,


eklampsia, detachment plasenta, gagal hati, gagal ginjal dan sesak nafas karena cairan
pada paru. Hipertensi kronis pada kehamilan umumnya berasal dari hipertensi essensial
terlihat dari riwayat keluarganya. Tetapi bisa juga berasal dari kelainan ginjal parenkim,
hiperplasia fibromuskular atau hiperaldosteronisme hanya saja kasusnya jarang.
Hipertensi kronis berat (SBP ≥ 180 mmHg dan atau DBP ≥ 110 mmHg akan disertai
dengan penyakit ginjal, kardiomiopati, koarktasion aorta, retinopati, diabetes (B sampai
F), kolagen vaskular, sindrom antibodi antifosfolipid, pre-eklampsia. Wanita hamil
dengan hipertensi kronis berat memiliki risiko tinggi terkena stroke, serbral hemorage,
hipertesi encelopati, pre-eklampsia, serangan jantung, gagal ginjal akut, abruptio
plasenta, koagulopati intravaskular diseminata dan kematian.

Mayoritas wanita hipertensi kronis mengalami penurunan tekanan darah menjelang


akhir trimester pertama sekitar 5-10 mmHg mirip seperti siklus pada wanita normal.
Bahkan ada beberapa yang menjadi normal tekanan darahnya. Kemudian tekanan darah
naik kembali pada trimester ketiga sehingga mirip dengan hipertensi gestasional.
Tetapi hipertensi kronis dapat bertahan sampai lebih dari 12 minggu setelah persalinan.
Wanita hipertensi kronis setelah persalinan memiliki kemungkinan terkena komplikasi
edema pulmonari, hipertensi enselopati dan gagal ginjal. Sehingga perlu dilakukan
terapi anti hipertensi yang baik untuk mengontrol tekanan darah.
c. Hipertensi kronis yang disertai pre-eklampsia

Orang dengan hipertensi sebelum kehamilan (hipertensi kronis) memiliki risiko 4-5
kali terjadi pre-eklampsia pada kehamilannya. Angka kejadian hipertensi kronis pada
kehamilan yang disertai pre-eklampsia sebesar 25%. Sedangkan bila tanpa hipertensi
kronis angka kejadian pre-eklampsia hanya 5%. Hipertensi yang disertai pre-eklampsia
biasanya muncul antara minggu 24-26 kehamilan berakibat kelahiran preterm dan bayi
lebih kecil dari normal.

Wanita hipertensi yang memiliki proteinuria kurang lebih 20 minggu kehamilan


diikuti dengan; peningkatan dosis obat hipertensi, timbul gejala lain (peningkatan
enzim hati secara tidak normal), penurunan trombosit > 100000/mL, nyeri bagian atas
dan kepala, adanya edema, adanya gangguan ginjal (kreatinin ≥ 1.1 mg/dL), dan
peningkatan ekskresi protein. Hipertensi kronis disertai pre-eklampsia ada 2.
Hipertensi kronis disertai pre-eklampsia berat. Peningkatan tekanan darah, adanya
proteinuria dengan adanya gangguan organ lain. Hipertensi kronis disertai pre-
eklampsia ringan. Hanya ada peningkatan tekanan darah dan adanya proteinuria.

d. Hipertensi Gastesional

Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang terjadi setelah 20 minggu kehamilan


tanpa proteinuria. Angka kejadiannya sebesar 6%. Sebagian wanita (> 25%)
berkembang menjadi pre-eklampsia diagnosis hipertensi gestasional biasanya diketahui
setelah melahirkan. Hipertensi gestasional berat adalah kondisi peningkatan tekanan
darah > 160/110 mmHg. Tekanan darah baru menjadi normal pada post partum
biasanya. dalam sepuluh hari. Pasien mungkin mengalami sakit kepala, penglihatan
kabur, dan sakit perut dan tes laboratorium abnormal, termasuk jumlah trombosit
rendah dan tes fungsi hati abnormal. Hipertensi gestasional terjadi setelah 20 minggu
kehamilan tanpa adanya proteinuria. Kelahiran dapat berjalan normal walaupun tekanan
darahnya tinggi. Penyebabnya belum jelas, tetapi merupakan indikasi terbentuknya
hipertensi kronis di masa depan sehingga perlu diawasi dan dilakukan tindakan
pencegahan.
5. Manifestasi Klinis

Jhonson (2014), menjelaskan beberapa manifestasi klinis dari hipertensi dalam kehamilan
adalah sebagai berikut :

a. Gejala yang timbul akan beragam, sesuai dengan tingkat dan organ yang dipengaruhi.
b. Spasme pembuluh darah ibu serta sirkulasi dan nutrisi yang buruk dapat mengakibatkan
kelahiran dengan berat badan dan kelahiran prematur.
c. Mengalami hipertensi diberbagai level.
d. Protein dalam urin berkisar dari +1 hingga +4.
e. Gejala neurologi seperti pandangan kabur, sakit kepala dan hiper refleksia mungkin
akan terjadi.
f. Berpotensi gagal hati.
g. Kemungkinan akan mengalami nyeri di kuadran kanan atas.
h. Meningkatnya enzim hati.
i. Jumlah trombosit menurun

C. Langkah penapisan/ screening awal

1. Langkah penapisan/ sreening awal gangguan fungsi ginjal pada kehamilan, persalinan dan
nifas

Deteksi dini penyakit ginjal dengan mengenali penyebab-penyebab gagal ginjal. Penyebab
penyakit ginjal yang paling sering terjadi adalah hipertensi, diabetes, dan radang ginjal.
Sementara untuk gejala penyakit ginjal kronis antara lain mual, gatal-gatal, sesak napas,
anemia, dan hipertensi. Sayangnya gejala ini baru muncul setelah tahap lanjut atau pada
stadium lanjut. Pada stadium awal gejala sama sekali tidak terlihat atau tidak terasa. Oleh
karena itu solusinya adalah harus melakukan pemeriksaan secara berkala, secara rutin
terutama bagi faktor risiko menderita penyakit ginjal antara lain usia di atas 50 tahun,
penderita diabetes, penderita hipertensi, perokok, obesitas, dan ada riwayat keluarga yang
menderita penyakit ginjal.
2. Langkah penapisan/ sreening awal hipertensi kehamilan, persalinan dan nifas

Antenatal care (ANC) terpadu merupakan salah satu program yang disusun oleh
kementrian kesehatan RI untuk dapat mendeteksi dini masalah/penyakit pada ibu hamil.
Diharapkan dengan ANC terpadu pada fasilitas kesehatan primer maka status kesehatan ibu
akan meningkat dan dapat menurunkan angka kematian ibu. Pada ANC terpadu dilakukan
penapisan pada faktor risiko dan penyakit yang dapat berpengaruh pada kehamilan. Penting
dilakukan pengukuran tekanan darah untuk mendeteksi adanya hipertensi (>140/90
mmHg). Perlu diwaspadai tanda-tanda preeklamsia yang lain seperti edema wajah, tungkai
atau proteinuria.

a. Pemeriksaan diagnostik

Manuaba dkk (2013) dan Purwaningsih & Fatmawati(2010) menyebutkan pemeriksaan


diagnostik yang dilakukan pada ibu hamil dengan hipertensi diantaranyana :

1). Uji urin kemungkinan menunjukkan proteinuria

2). Pengumpulan urin selama 24 jam untuk pembersihan kreatinin dan protein.

3). Fungsi hati : meningkatnya enzim hati (meningkatnya alamine aminotransferase


atau meningkatnya aspartate).

4). Fungsi ginjal: profil kimia akan menunjukkan kreatinin dan elektrolitmabnormal,
karena gangguan fungsi ginjal.

5). Tes non tekanan dengan profil biofisik.

6). USG seri dan tes tekanan kontraksi untuk menentukan status janin

7). Evaluasi aliran doppler darah untuk menentukan status janin dan ibu.

D. Stabilisasi dan tata laksana terhadap komplikasi yang timbul

1. Stabilisasi dan tata laksana terhadap komplikasi gangguan fungsi ginjal dalam kehamilan
Wanita dengan PGK harus memahami dampak jangka panjang yang ditimbulkan
terhadap fungsi ginjal bila terjadi kehamilan, namun apabila seseorang merencanakan
kehamilan, yang harus diperhatikan adalah untuk menghindari obat-obatan yang bersifat
fetotoksik, seperti ACE (angiotensin converting enzyme) inhibitor dan ARB (angiotensin II
receptor blocker). Asam folat 400 µg/hari juga sebaiknya diberikan dari sebelum
kehamilan hingga kehamilan 12 minggu. Aspirin dosis rendah (50-150 mg/hari)
dianjurkan untuk diberikan dari awal kehamilan untuk mengurangi risiko preeklampsia dan
memperbaiki kondisi perinatal. Adapun stabilisasi dan tata laksana terhadap ibu hamil
dengan gangguan fungsi ginjal :
1). Melakukan pemeriksaan rutin kondisi janinya beserta ibunya ke bidan maupun
dokter kandungan.
2). Tetap melakukan terapi peritoneal dialisis sesuai dengan dosis yang ditentukan
dokter.
3).Tetap mengkonsusmsi obat yang disarankan oleh dokter dan dipastikan obat tersebut
tidak membahayakan untuk kondisi janinya.
4). Menjaga dan mempertahankan kebutuhan gizi baik untuk ibu dan janinnya.

2. Stabilisasi dan tata laksana terhadap komplikasi hipertensi pada kehamilan


Penatalaksanaan hipertensi bila terjadi hipertensi berat, maka penatalaksanaannya dapat
dimulai dengan menggunakan terapi non-farmakologik antara lain olahraga teratur,
mengurangi asupan garam,dan mengurangi berat badan. Pengobatan nonfarmakologi ini
bersama-sama sejak awal dengan adanya pengobatan farmaklogik. Menurunkan morbiditas
dan mortalitas penyakit kardiovaskuler dengan memodifikasi gaya hidup tanpa memandang
tingginya tekanan darah (Ria Bandiara, 2008). Usia Kehamilan <37 mgg Perawatan
poliklinik :
a. Kontrol 2 kali perminggu
b. Evaluasi gejala pemberatan hipertensi (tekanan darah,tanda impending, edemia paru
c. Cek laboratorium (trombosit, serum kreatinin, albumin,(AST/ALT) setiap minggu
d. Evaluasi kondisi janin (hitung fetal kick count/hari,kesejahteraan janin (NST dan USG)
2 kali/minggu, evaluasi pertumbuhan janin setiap 2 minggu)

E. Upaya Tindakan Kolaborasi dan Memberikan Asuhan Lanjut (follow up care) Dengan
Pendekatan Holistic Dan Terintegrasi

1. Pada kasus gangguan fungsi ginjal


Beberapa hal yang perlu dipantau pada wanita dengan penyakit ginjal kronis (PGK)
a. Urin
Setiap 4-6 minggu urin harus diperiksa apakah ada infeksi, dan pemberian antibiotik
profilaks dianjurkan setelah adanya infeksi saluran kemih. Proteinuria ditatalaksana
dengan menggunakan tromboprofilaks Low Molecular Weight Heparin (LMWH) bila
terdapat protein lebih dari 1 gr/24 jam. Bila terjadi hematuria, pemeriksaan mikroskopis
silinder sel darah merah menandakan adanya penyakit parenkim ginjal yang aktif,
sedangkan morfologi sel darah merah yang normal menandakan adanya kelainan
urologi.
b. Tekanan Darah
Tekanan darah harus diperiksa secara teratur, dan target pencapaian adalah diantara
120/70 mmHg dan 140/90 mmHg dengan pengobatan antihipertensi. Tekanan darah
yang rendah berhubungan dengan restriksi perkembangan janin dan tekanan darah
tinggi berhubungan dengan kerusakan renovaskuler.
c. Fungsi Ginjal
Serum kreatinin dan ureum harus diperiksa secara teratur, frekuensinya tergantung dari
stadium penyakit.
d. Darah Lengkap
Pemeriksaan hemoglobin disertai pemeriksaan besi (feritin serum) diperlukan untuk
mempertahankan hemoglobin dalam batas 10-11 mg/dl.
e. USG Ginjal
Pemeriksaan ini dilakukan mulai dari kehamilan 12 minggu untuk melihat dimensi
pelvikalis ginjal dan ulangi pemeriksaan bila terdapat tanda-tanda obstruksi

2. Pada kasus hipertensi pada kehamilan kolaborasi antara bidan dengan dokter spesialis
obstetri dan ginekologi (SpOG) dari mulai hamil, bersalin dan nifas. Upaya tindakan
kolaborasi dan asuhan lanjutnya yaitu :
a. Manajemen pertama yang diberikan adalah edukasi. Pasien perlu mengetahui dan
menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan peningkatan keparahan penyakit dari
hipertensi gestasional menjadi preekampsi atau eklampsi. Edukasi yang diberikan yaitu
mengenai penyebab, faktor resiko, menu yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi,
aktivitas fisik yang dapat dilakukan, serta tanda-tanda preeklampsia dan eklampsia.
b. Manajemen yang kedua adalah tatalaksana yang diberikan kepada pasien mengenai
faktor-faktor pencetus hipertensi gestasional akibat stress, maka pasien diajarkan untuk
manajemen stress. Salah satu cara manajemen stress adalah dengan olahraga,
mendengarkan musik, dan menata ruangan tempat tinggal ataupun kamar dengan
suasana baru yang dapat menenangkan pasien. Selain manajemen kepada pasien,
dilakukan pula manajemen kepada keluarga pasien.
c. Manajemen ketiga yaitu manajemen keluarga. Manajemen keluarga yang dilakukan
adalah edukasi keluarga. Keluarga diberikan pengertian mengenai penyakit pasien serta
faktor yang menyebabkan penyakit yang berhubungan dengan perilaku keluarga.
Keluarga juga diberikan program khusus untuk mengatasi masalah jika sewaktu-waktu
terjadi preeklampsia atau eklampsia pada pasien. Program yang diberikan adalah
program “GRATIS (Gerakan Tanggap Ibu Selamat)”.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hipertensi pada ibu, proteinuria dan infeksi saluran kemih yang berulang sering terjadi
bersamaan dengan Penyakit Ginjal Kronis atau gangguan fungsi ginjal. Walaupun sulit untuk
menjelaskan bagaimana masing-masing faktor tersebut berkontribusi terhadap perburukan
dalam kehamilan, namun secara kumulatif, faktor-faktor tersebut dapat membahayakan janin.
Secara ringkas, terdapat beberapa risiko utama akibat penyakit ginjal dalam kehamilan, yaitu
tingkat kesintasan janin lebih rendah dengan hipertensi yang tidak terkontrol, risiko relatif
kematian janin hampir sepuluh kali lebih tinggi.
B. Saran

Dari pemaparan materi di atas, saran kami kepada pembaca diharapkan untuk dapat
memberi masukan dan informasi lebih menegani materi tersebut, agar kami dapat
memperbaiki dan menambahkan wawasan materi lain.
DAFTAR PUSTAKA

World Health Organization. Maternal mortality : level and trends 2000 to 2017. Sexual and
Reproductive Health.2019.12 p.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia., 2018. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017.
Kemenkes RI.

Zurmeli, Bayhakki, Utami T. G.(2015). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Pasien
Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisis Di Rsud Arifin Achmad
Pekanbaru. JOM Vol. 2 No. 1 Oktober 2015.

Wiles, K., & Oliveira, L. De. (2018). Dialysis in pregnancy. Best Practice & Research Clinical
Obstetrics & Gynaecology. https://doi.org/10.1016/j.bpobgyn.20 18.11.007

R. L., Mccullough, K., Johnson, D. W., … Robinson, B. M. (2016). The peritoneal dialysis outcomes
and practice patterns study (pdopps): unifying efforts to inform practice and improve global
outcomes in peritoneal dialysis. 36, 297–307.

Fitzpatrick, A., Mohammadi, F., & Jesudasn, S. (2016). Managing pregnancy in chronic kidney
disease : improving outcomes for mother and baby. 273–285.

Ferreira, H., & Nerbass, F. B. (2019). MON-081 PERITONEAL DIALYSIS AND PREGNANCY:

A CASE OF SUCCESS. Kidney International Reports, 4(7), S337.

.
https://doi.org/10.1016/j.ekir.2019.05 870

Hale AL, Nilay K, Kemal AY, Erol A, Hospital GM, Science H, et al. The role of hematological and
biochemical markers in preeclampsia prediction. J Clin Anal Med. 2017;8(Suplement 4).

Amalia M, Harfiani E, Aulia C, Renal Function Disturbance in Severe Preeclamptic Women with
Dyslipidemia at RSUD Class B Serang. 2020

Pamilu MW, Sri OP, LITERATUR REVIEW INTERVENSI PERITONEAL DIALISIS PADA
KEHAMILAN. 2021
Aprilia D, Penyakit Ginjal Kronis pada Kehamilan.http://jurnal.fk.unand.ac.id.2019
34

Anda mungkin juga menyukai