Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL


KRONIK DIRUANG HEMODIALISA RUMAH SAKIT dr. SOEBANDI
JEMBER

oleh
Eka Mei Dianita
NIM 192311101023

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
2019

i
PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan berikut disusun oleh:

Nama : Eka Mei Dianita


NIM : 192311101023
Judul : Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Gagal Ginjal
Kronik di Rumah Sakit Daerah Dr. Soebandi Jember

telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari :
Tanggal : Oktober 2019

Jember, Oktober 2019

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

Ns.Ana Nistiandani,S.Kep.,M.Kep ………………………………


NRP 7600190011 NIP

ii
DAFTAR ISI

PENGESAHAN ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1 Anatomi Ginjal ..........................................................................................1
1.2 Fisiologi Ginjal ..........................................................................................1
1.3 Pengertian gagal ginjal kronik ...................................................................2
1.4 Epidemiologi .............................................................................................2
1.5 Etiologi ......................................................................................................3
1.6 Patofisiologi ...............................................................................................5
1.7 Manifestasi klinis.......................................................................................7
1.8 Pemeriksaan penunjang .............................................................................8
1.9 Penatalaksaan farmakologi dan non farmakologi................................... 10
BAB II CLINICAL PATHWAY........................................................................ 15
BAB III. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ........................................... 17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 31

iii
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Anatomi Ginjal


Ginjal berukuran 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm kira-kira sebesar
kepalan tangan. Ginjal dibentuk oleh unit-unit yang disebut nephron dimulai
dari pembuluh darah halus/kapiler, bersifat sebagai saringan disebut
glomerulus, darah melewati glomerulus atau kapiler tersebut dan disaring
sehingga terbentuk filtrasi (urin yang encer) yang jumlahnya kira-kira 170 liter
per hari, kemudian dialirkan pipa/saluran yang disebut tubulus. Urin ini
dialirkan ke kluar ke saluran ureter, kandung kencing, kemudian ke luar
melalui uretra (Lumenta, 2006).

Gambar ginjal
1.2 Fisiologi Ginjal
Ginjal adalah organ yang berfungsi mengatur keseimbangan cairan tubuh
dengan cara membuang sisa metabolisme dan menahan zat – zat yang
diperlukan oleh tubuh. Fungsi ini amat penting bagi tubuh untuk menjaga
hemeostatis. Homeostatis amat penting dijaga karena sel – sel tubuh hanya bisa
berfungsi pada keadaan cairan tertentu. Walaupun begitu, ginjal tidak selalu
bisa mengatur keadaan cairan tubuh dalam kondisi normal. Pada keadaan
minimal, ginjal mengeluarkan minimal 0,5 liter air per hari untuk kebutuhan
pembuangan racun. Hal ini tetap harus dilakukan walaupun tubuh berada dalam
kondisi dehidrasi berat (Lumenta, 2006).

1
1.3 Pengertian gagal ginjal kronik
Gagal ginjal akut adalah sindrom klinis dimana ginjal tidak lagi
mengsekresi produk-produk limbah metabolism. Biasanya karena hiperfusi
ginjal sindrom ini biasa berakibat azotemia (uremia), yaitu akumulasi produk
limbah nitrogen dalam darah dan aliguria dimana haluaran urine kurang dari
400 ml / 24 jam. (Tambayong, jan 2000). Gagal ginjal akut terjadi akibat
penyebab-penyebab yang berbeda. Ternyata 43% dari 2200 kasus gagal ginjal
akut berhubungan dengan trauma atau tindakan bedah 26% dengan berbagai
kondisi medic 13%, pada kehamilan dan 9% disebabkan nefrotoksin penyebab
GGA dibagi dalam katagori renal, renal dan pasca renal. Gagal ginjal akut
dikenal dengan Acute Renal Fallure (ARF) adalah sekumpulan gejala yang
mengakibatkan disfungsi ginjal secara mendadak. (M. Nursalam 2006).

1.4 Epidemiologi

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK)


merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan prevalensi dan
insidensi gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan biaya yang
tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk usia
lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10
populasi global mengalami PGK pada stadium tertentu. Data mengenai
penyakit ginjal didapatkan dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas),
Indonesian Renal Registry (IRR), dan sumber data lain. Hasil Riskesdas tahun
2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya
umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44 tahun
dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%)
lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada
masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan
menengah bawah masing-masing 0,3%. Sedangkan provinsi dengan prevalensi

2
tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan
Sulawesi Utara masing-masing 0,4 % (InfoDATIN, 2017). Data IRR dari 249
renal unit yang melapor, tercatat 30.554 pasien aktif menjalani dialisis pada
tahun 2015, sebagian besar adalah pasien dengan gagal ginjal kronik. Kematian
pada pasien yang menjalani hemodialisis selama tahun 2015 tercatat sebanyak
1.243 orang dengan lama hidup dengan HD 1-317 bulan. Proporsi terbanyak
pada pasien dengan lama hidup dengan HD 6-12 bulan (InfoDATIN, 2017).

1.5 Etiologi
InfoDATIN (2017) menyebutkan bahwa faktor resiko proporsi terbesar
pasien hemodialisis disebabkan oleh penyakit hipertensi dan diabetes. Secara
global, penyebab PGK terbesar adalah diabetes mellitus. Di Indonesia, sampai
dengan tahun 2000, penyebab terbanyak adalah glomerulonefritis, namun
beberapa tahun terakhir menjadi hipertensi berdasarkan data IRR. Namun
belum dapat dipastikan apakah memang hipertensi merupakan penyebab PGK
atau hipertensi akibat penyakit ginjal tahap akhir, karena data IRR didapatkan
dari pasien hemodialisis yang sebagian merupakan pasien dengan penyakit
ginjal tahap akhir (InfoDATIN, 2017). Penyakit ginjal kronik dapat disebabkan
oleh: hipertensi, diabetes mellitus, obesitas, dan lain-lain (glomerulonefritis
kronis, nefritis intersisial kronis, penyakit ginjal polikistik, obstruksi-infeksi
saluran kemih, dan tidak diketahui).
a. Hipertensi
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah pada Riskesdas 2013,
prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun ke atas di Indonesia
adalah sebesar 25,8%. Sedangkan yang berdasarkan wawancara telah
terdiagnosis hipertensi oleh dokter hanya 9,4%. Hipertensi yang
berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan stuktur pada
arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis)
di dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak,
ginjal, dan mata. Pada ginjal karena aterosklerosis ginjal akibat hipertensi
lama menyebabkan nefrosklerosis benigna. Gangguan ini merupakan

3
akibat langsung dari iskemia renal. Ginjal mengecil, biasanya simetris dan
permukaan berlubang-lubang dan berglanula. Penyumbatan arteri dan
arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus,
sehingga seluruh nefron rusak.
b. Diabetes Mellitus
Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi penderita diabetes di Indonesia
adalah sebesar 5,7%, dan hanya 26,3% yang telah terdiagnosis. Diabetes
mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam bentuk nefropati
diabetik yaitu semua lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes mellitus.
Seiring waktu, tingginya tingkat gula dalam darah merusak jutaan unit
penyaringan kecil dalam setiap ginjal. Hal ini akhirnya mengarah pada
gagal ginjal.
c. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko kuat terjadinya penyakit ginjal. Obesitas
meningkatkan risiko dari faktor risiko utama dari PGK seperti hipertensi
dan diabetes. Pada obesitas, ginjal juga harus bekerja lebih keras menyaring
darah lebih dari normal untuk memenuhi kebutuhan metabolik akibat
peningkatan berat badan. Peningkatan fungsi ini dapat merusak ginjal dan
meningkatkan risiko terjadinya PGK dalam jangka panjang.
Pasien dengan diagnose PGK memiliki keluhan utama adalah sesak. Sesak
termasuk dalam gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen. Menurut Wartonah
(2006) gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen dapat disebabkan oleh
beberapa faktor sebagi berikut:
a. Faktor fisiologis
1. Menurunnya kemampuan mengikat O2 seperti pada anemia
2. Menurunnya konsentrasi O2 yang diinspirasi seperti pada Obstruksi
saluran pernafasan bagian atas
3. Hipovolemia sehingga tekanan darah menurun yang mengakibatkan
terganggunya oksigen(O2)
4. Meningkatnya metabolisme seperti adanya infeksi, demam luka, dll

4
5. kondisi yang mempengaruhi pergerakkan dinding dada seperti pada
kehamilan, obesitas, muskulur sekeletal yang abnormal, penyakit kronis
seperti TBC paru.
b. Faktor perilaku
1. Nutrisi, misalnya gizi yang buruk menjadi anemia sehingga daya ikat
oksigen berkurang
2. Exercise, exercise akan meningkatkan kebutuhan Oksigen
3. Merokok, nikotin menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer
dan korone
4. Alkohol dan obat-obatan menyebankan intake nutrisi /Fe
mengakibatkan penurunan hemoglobin, alkohol menyebabkan depresi
pusat pernafasan.
5. Kecemasan menyebabkan metabolisme meningkat.

1.6 Patofisiologi
Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah penyebab utama CKD. Seiring
waktu, tekanan darah tinggi dapat merusak pembuluh darah ke seluruh tubuh.
Ini dapat mengurangi suplai darah ke organ-organ penting seperti ginjal.
Tekanan darah tinggi juga merusak unit penyaringan kecil di ginjal. Akibatnya,
ginjal mungkin berhenti mengeluarkan limbah dan cairan ekstra dari darah.
Cairan ekstra di pembuluh darah mungkin menumpuk dan bahkan
meningkatkan tekanan darah. Hipertensi yang berlangsung lama dapat
mengakibatkan perubahan-perubahan stuktur pada arteriol diseluruh tubuh,
ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) di dinding pembuluh darah.
Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada ginjal karena
aterosklerosis ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis
benigna. Gangguan ini merupakan akibat langsung dari iskemia renal. Ginjal
mengecil, biasanya simetris dan permukaan berlubang-lubang dan berglanula.
Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan
atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak. Tekanan darah tinggi juga bisa
merupakan komplikasi dari CKD. Ginjal memainkan peran penting dalam

5
menjaga tekanan darah dalam kisaran yang normal. Ginjal yang sakit kurang
bisa membantu mengatur tekanan darah. Akibatnya, tekanan darah meningkat
(National Kidney Foundation, 2010).
Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme
protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah.
Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah
glomeruli yang normal menyebabkan penurunan substansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya Gromerular Filtration
Rate (GFR) mengakibatkan penurunan kreatinin dan peningkatan kadar
kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam
usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin
sampai ke otak mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada
saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN)
biasanya juga meningkat.
Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau
diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit.
Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif.
Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan suplai oksigen
dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema
dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh,
sehingga perlu dimonitor balance cairannya. Semakin menurunnya fungsi renal
terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+)
yang berlebihan. Terjadi penurunan produksi eritropoetin yang mengakibatkan
terjadinya anemia. Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya
kelemahan dan kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap
aktifitas. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan
kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Pasien gagal ginjal mengalami kulit berwarna pucat akibat anemia

6
dan gatal-gatal akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium di poripori kulit.
Butiran uremik merupakan suatu penumpukan kristal urea dikulit. Laju
penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan
gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi
(Smeltzer dan Bare, 2001).

1.7 Manifestasi klinis


Gagal ginjal akut merupakan sakit yang kritis. Tanda-tanda yang dini
meliputi oliguria, azotemia, dan kadang-kadang anuria. Ketidakseimbangan
elektrolit, asidosis metabolic, dan beberapa akibat berat lainnya akan terjadi
ketika keadaan uremua yang dialami pasien bertambah berat dan disfungsi
menganggu sistem tubuh yang lain (Kowalak, 2011).

Gastro intestinal : anoreksia, mual, muntah, diare atau konstipasi,


stomatitis, perdarahan, hematemesis, membrane
mukosa yang kering dan pernafasan uremik.
Sistem syaraf pusat : sakit kepala, mengantuk, iritabilitas, kebingungan,
neuropati perifer, serangan kejang/ bangkitan, koma.
Kardiovaskuler : pada awal penyakit hipotensi, kemudian terjadi
hipertensi, aritmia, kelebihan muatan cairan, gagal
jantung, edema sistemik, anemia, perubahan
mekanisme pembekuan darah.
Pernafasan : edema paru, pernafasan kusmaul.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik:
a. Hipervolemi akibat retensi ureum
b. Hipokalsemia dan hyperkalemia akibat ketidakseimbangan elektrolit
c. Azotemia akibat retensi zat sisa nitrogen
d. Asidosis metabolic akibat kehilangan bikarbonat
e. Nyeri tulang serta otot dan fraktur yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan kalsium-fosfor dan ketidakseimbangan hormon
paratiroid yang ditimbulkan
f. Neuropati perifer akibat penumpukan zat-zat toksik

7
g. Mulut yang kering, keadaan mudah lelah, dan mual akibat hiponatremia
h. Hipotensi akibat kehilangan natrium
i. Perubahan status kesadaran akibat hiponatremia dan penumpukan zat-zat
toksik
j. Frekuensi jantung yang tidak reguler akibat hiperkalemia
k. Hipertensi akibat kelebiahan muatan cairan
l. Luka-luka pada gusi dan perdarahan akibat koagulopati
m. Kulit berwarna kuning tembaga akibat perubahan proses metabolik
n. Kulit yang kering serta bersisik dan rasa gatal yang hebat akibat uremic
frost
o. Kram otot dan kedutan (twitching) yang meliputi iritabilitas jantung akibat
hiperkalemia
p. Pernapasan Kassmaul akibat asidosis metabolik
q. Infertilitas, penurunan libido, amenore, dan impotensi akibat gangguan
endokrin
r. Perdarahan GI, hemoragi, dan keadaan mudah memar akibat
trombositopenia dan defek trombosit
s. Infeksi yang berhubungan dengan penurunan aktivitas makrofag.

1.8 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang gagal ginjal akut (Kowalak, 2011).
a. Darah: ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas
b. Urin: ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
c. Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat
d. Gangguan keseimbangan asam basa: asidosis metabolik.
e. Gangguan keseimbangan elektrolit: hiperkalemia, hipernatremia atau
hiponatremia, hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
f. Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24
jam setelah ginjal rusak.
g. Warna urine: kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb,
Mioglobin, porfirin.
h. Berat jenis urine: kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh:
glomerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk
memekatkan; menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat.

8
i. PH Urine: lebih dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal, dan
gagal ginjal kronik.
j. Warna tambahan: Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna
tambahan selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular
ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan warna merah diduga nefritis
glomular.
k. Osmolaritas urine: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal,
dan ratio urine/serum sering.
l. Klierens kreatinin urine: mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN
dan kreatinin serum menunjukan peningkatan bermakna
m. Natrium Urine: Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila
ginjal tidak mampu mengabsorbsi natrium
n. SDM urine: mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau
peningkatan GF.
o. Protein: protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan
glomerulus bila SDM dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat
rendah (1-2+) dan SDM menunjukan infeksi atau nefritis interstisial. Pada
NTA biasanya ada proteinuria minimal.

Pemeriksaan Radiologi
a. Pemeriksaan Radiologi
Berberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan utntuk mengetahui
gangguan fungsi ginjal antara lain:
1) Flat-Plat radiografy/radiographic keadaan ginjal, uereter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari
ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang mungkin
disebabkan karena adanya proses infeksi.
2) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara
jelas sturktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras
atau tanpa kontras.

9
3) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan
fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus
gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali
kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses/batu ginjal, serta obstruksi
saluran kencing.
4) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus
yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, proses infeksi pada ginjal serta
post transplantasi ginjal.
5) Biopsi Ginjal digunakan untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan
mengambil jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada
kasus golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, dan
perencanaan transplantasi ginjal.

1.9 Penatalaksaan farmakologi dan non farmakologi


Penatalaksanaan GGK dapat dibagi menjadi dua, yaitu penatalaksanaan
konservatif dan penatalaksanaan terapi pengganti ginjal (Price & Wilson, 2005).

a. Penatalaksanaan konservatif
1. Pengaturan diet protein.
Pengaturan diet penting sekali pada pengobatan GGK. Pembatasan
protein tidak hanya mengurangi kadar BUN dan mungkin juga hasil
metabolisme protein toksik yang belum diketahui, tetapi juga
mengurangi asupan kalium, fosfat, dan produksi ion hidrogen yang
berasal dari protein.

2. Pengaturan diet kalium.


Hiperkalemia umumnya menjadi masalah dalam gagal ginjal lanjut, dan
juga menjadi penting untuk membatasi asupan kalium dalam diet.

3. Pengaturan diet natrium dan cairan.


Pengaturan natrium dalam diet memiliki arti penting dalam gagal ginjal.
Jumlah natrium yang biasanya diperbolehkan adalah 40 hingga 90
mEq/hari (1 hingga 2 gr natrium), tetapi asupan natrium yang optimal

10
harus ditentukan secara individual pada setiap pasien untuk
mempertahankan hidrasi yang baik.

4. Pencegahan dan pengobatan komplikasi.


Kategori kedua dari tindakan konservatif yang digunakan pada
pengobatan gagal ginjal adalah tindakan yang ditujukan untuk mencegah
dan mengatasi komplikasi meliputi hipertensi, hiperkalemia, anemia, dll.

5. Pengobatan segera pada infeksi.


Pasien GGK memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap serangan
infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Semua jenis infeksi dapat
memperkuat proses katabolisme dan mengganggu nutrisi yang adekuat
serta keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga infeksi harus segera
diobati untuk mencegah gangguan fungsi ginjal lebih lanjut.

6. Pemberian obat dengan hati-hati.


Ginjal mengekskresikan banyak obat sehingga obat-obatan harus
diberikan secara hati-hati pada pasien uremik.

B . Penatalaksanaan terapi pengganti Ginjal


1) Hemodialisis
Hemodialisa merupakan suatu proses penyaringan darah untuk
mengeluarkan produk-produk sampah metabolisme pada pasien dalam
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa
hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium
terminal (ESRD atau end-stage renal disease) yang membutuhkan terapi
jangka panjang atau terapi permanen. Satu membran sintetik yang
semipermeabel menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja
sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya (Smeltzer dan Bare,
2001). Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu

11
cepat pada pasien CKD yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (GFR).

Tujuan dari hemodialisis yaitu untuk mengeluarkan zat nitrogen


yang toksik di dalam darah dan mengurangi cairan yang berlebihan dari
dalam tubuh. Hemodialisis dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun
harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen dan
menghindari kematian. Hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan
yang berlebihan (Smeltzer dan Bare, 2005).

Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan


HD kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
a. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Lukman,. dkk, 2013).
1. Kegawatan ginjal

a) Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi

b) Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)

c) Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)

d) Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya


K >6,5 mmol/l )
e) Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)

f) Uremia ( BUN >150 mg/dL)

g) Ensefalopati uremikum

h) Neuropati/miopati uremikum

i) Perikarditis uremikum

12
j) Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)

k) Hipertermia

2) Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati


membran dialisis.
Indikasi Hemodialisis Kronik Hemodialisis kronik adalah
hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur hidup penderita dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika
GFR <15 ml/mnt. Keadaan klien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak
selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai
salah satu dari hal tersebut di bawah ini:
1. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis

2. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.

3. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.

4. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.

5. Komplikasi metabolik yang refrakter (Rahardjo, 2014).

2) Dialisis Peritoneal
Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisis pada penanganan
gagal ginjal akut dan kronik.

3) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal.

13
14
BAB II CLINICAL PATHWAY

15
16
BAB III. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Identitas klien
Nama: mengetahui identitas klien
Umur dan tanggal lahir: dapat terjadi pada semua usia meningkat pada usia
rentan yaitu bayi dan lansia.
Jenis kelamin: bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan
Suku bangsa: dapat terjadi pada semua suku bangsa
Pekerjaan: pekerjaan yang meningkatkan pneumonia dapat memicu lebih
banyak terjadinya misalnya pekerjaan yang setiap hari terpapar dengan AC,
lingkungan udara yang kurang sehat.
Pendidikan: pendidikan menentukan pengetahuan dalam memahami proses
penyakit
Status menikah: dukungan dari istri/suami dapat mempercepat proses
penyembuhan dari pada klien yang hidup sendiri
Alamat: mengetahui identitas klien
Tanggal MRS: mengetahui identitas klien
Diagnosa medis: Pneumonia
b. Identitas penaggung jawab meliputi nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin,
alamat.
c. Alasan MRS dan Keluhan Utama: Tanyakan kepada pasien adanya keluhan
seperti sesak napas, demam tinggi, menggigil dan batuk. Adanya keluhan nyeri
dada, sesak napas, peningkatan frekuensi pernapasan, lemas, dan kepala nyeri
(Supandi, 1992; Jeremy, 2007; Alberta Medical Assosiation, 2011).
d. Riwayat penyakit sekarang: Informasi yang dapat diperoleh meliputi informasi
mengenai keluhan batuk biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah

17
meminum obat batuk yang biasanya tersedia di pasaran. Pada awalnya keluhan
batuk yang tidak produktif, tapi selanjutnya akan berkembang menjadi batuk
produktif dengan mucus purulen kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, dan
seringkali berbau busuk.
e. Riwayat penyakit dahulu: penyakit kronik (misalnya ginjal, dan paru), diabetes
mellitus, imunosupresi (misalnya obat-obatan, HIV), ketergantungan alkohol,
aspirasi (misalnya epilepsi), penyakit virus yang baru terjadi (misalnya
influenza), malnutrisi, ventilasi mekanik, pascaoperasi (Jeremy, 2007;
Misnadirly, 2008).
f. Riwayat penyakit keluarga: tanyakan pada pasien apakah keluarga pasien ada
yang mengalami hal yang sama dengan pasien atau apakah keluarga ada yang
mengalami penyakit degeneratif.
g. Pola pemeliharaan kesehatan
Merupakan pola kesehatan yang sering dilakukan misalnya :
1. Kebiasaan minum alkohol
2. Kebiasaan merokok
3. Menggunakan obat-obatan
4. Aktifitas atau olahraga
5. Stress

Pengkajian Fisik (B1-B6)


Setelah melaukan anamnesa yang mengarah pada keluhan klien, pemeriksaan
fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik dilakukan secara persistem (B1-B6) dengan focus pada
pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan
dari klien. Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa TTV. Pada klien
pneumonia biasanya didapatkan sesak nafas, peningkatan suhu tubuh lebih dari
normal yaitu 38-48 oC, kemerahan, panas, kulit kering, dan berkeringat. Keadaan

18
ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi alveoli yang sudah
menggangu pusat pengatur suhu tubuh (Muttaqin, 2008).

B1 Breathing
Inspeksi apakah terdapat batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot
bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan yang sering didapatkan pada
pasien pneumonia. Palpasi adanya ketidaksimetrisan pernapasan pada klien.
Perkusi seluruh dada dan lapang paru untuk menentukan letak gangguan di paru
sebelah mana. Auskultasi bunyi napas tambahan yaitu stridor maupun ronkhi pada
pasien pneumonia untuk menentukan pneumonia terletak pada lobus paru sebelah
mana.
B2 Blood
Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokonstriksi, kualitas darah menurun.
Berhubungan dengan adanya agen asing yang masuk di dalam tubuh.
B3 Brain
Pada klien dengan pneumonia pada fase akut dapat terjadi penurunan GCS, refleks
menurun atau normal, letargi. Terjadi karena virus atau bakteri di dalam paru
besirkulasi mengikuti aliran darah menuju sistem saraf pusat.
B4 Bladder
Pada pneumonia produksi dapat menurun atau normal. Observasi adanya
penurunan urin sebagai tanda terjadinya penurunan tekanan darah atau syok
hipovolemik.
B5 Bowel
Pneumonia kadang tidak mempengaruhi sistem pencernaan, feses normal atau
dapat terjadi mual dan muntah akibat terapi pengobatan dan anoreksia.
B6 Bone

19
Akibat gangguan pada ventilasi paru maka suplai O 2ke jaringan juga menurun
mengakibatkan penurunan tonus otot dan nyeri otot. Kulit nampak pucat, sianosis,
banyak keingat, suhu kulit meningkat serta kemerahan.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pertukaran Gas
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
c. Nyeri akut
d. Kelebihan volume cairan
e. Kerusakan integritas kulit
f. Mual (Nausea)
g. Intoleransi Aktivitas
h. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer.

20
3. Intervensi/Nursing Care Plan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1 Gangguan pertukaran Setelah dilakukan perawatan selama 2x24 jam gangguan (3140) Manajemen Jalan
Gas pertukaran gas pada pasien dapat teratasi dengan kriteri Nafas
hasil: Definisi: Fasilitasi kepatenan
Status Pernafasan (0415) jalan nafas
Tujuan 1. Buka jalan nafas dengan
No Indikator Awal teknik chin lift atau jaw
1 2 3 4 5 trust, sebagaimana
1 Frekuensi pernapasan mestinya.
2. Posisikan pasien untuk
2 Irama pernapasan memaksimalkan
ventilasi. (semi fowler)
3 Kedalaman inspirasi
3. Auskultasi suara nafas,
4 Suara auskultasi nafas catat area yang
ventilasinya menurun
5 Kepatenan jalan nafas atau tidak ada dan adanya
6 Saturasi oksigen suara tambahan.
4. Kolaborasi dengan tim
7 Suara nafas tambahan medis pemberian
nebulizer.
Keterangan: (3320) Terapi Oksigen
1. Deviasi berat dari kisaran normal/sangat berat Definisi: Pemberian oksigen
2. Deviasi yang cukup besar dari kisaran dan pemantauan mengenai
normal/berat aktivitasnya.
3. Deviasi sedang dari kisaran normal/cukup 1. Berikan Oksigen
4. Deviasi ringan dari kisaran normal/ringan tambahan seperti yang
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal/tidak ada diperintahkan.

21
2. Monitor aliran oksigen
Monitor adanya tanda-
tanda keracunan oksigen.
2 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jsm (1100 ) Manajemen
nutrisi kurang dari Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Nutrisi
kebutuhan tubuh dapat teratasi dengan kriteri hasil: Definisi: Menyediakan dan
Status Nutrisi (1004) meningkatkan intake nutrisi
Tujuan yang seimbang
No Indikator Awal 1. Tentukan status gizi
1 2 3 4 5 pasien dan kemampuan
1 Asupan gizi [pasien] untuk memenuhi
kebutuhan gizi.
2 Asupan makanan 2. Identifikasi adanya alergi
atau intoleransi makanan
3 Asupan Cairan
yang dimiliki pasien
4 Energi 3. Pantau pasien dalam
menentukan pedoman
5 Rasio berat atau piramida makanan
badan/tinggi bada yang paling cocok untuk
Keterangan: memenuhi kebutuhan
1. Sangat menyimpang dari rentang normal nutrisi dan preferensi.
2. Banyak menyimpang dari rentang normal 4. Tentukan apa yang
3. Cukup menyimpang dari rentang normal menjadi preferensi
4. Sedikit menyimpang dari rentang normal makanan bagi pasien.
5. Tidak menyimpang dari rentang normal 5. Intruksikan pasien
mengenai kebutuhan
nutrisi dan gizi.
6. Tentukan jumlah kalori
dan jenis nutrisi ynag

22
dibutuhkan untuk
memenuhi persyaratan
7. Monitor kalori dan
asupan makanan
3 Nyeri akut Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam Nyeri Manajemen nyeri(1400)
akut dapat teratasi dengan kriteri hasil: 1. Lakukan pengkajian
Tingkat nyeri (2102) yang komprehensif yang
Tujuan meliputi lokasi,
No Indikator Awal karakteristik,
1 2 3 4 5 onsert/durasi, frekuensi,
1 Nyeri yang dilaporkan kualitas, intensitas atau
beratnya dan faktor
2 Panjangnya periode pencetus.
nyeri 2. Observasi adanya
petunjuk nonverbal
3 Menggosok area yang
mengenai
terkena dampak
ketidaknyamanan
4 Ketegangan otot terutama pada merek
yang tidak dapat
5 Ekspresi nyeri wajah berkomunikasi secara
Keterangan: efektif
1. Sangat Berat 3. Pastikan perawatan
2. Berat analgesik bagi pasien
3. Cukup dilakukan dengan
4. Ringan pemamtauan yang ketat
5. Tidak Ada 4. Gali pengetahuan dan
kepercayaan pasien
mengenai nyeri

23
5. Tentukan akibat dari
pengalaman nyeri
terhadap kualitas hidup
pasien (misalnya: tidur,
nafsu makan, performa
kerja, perasaaan,
pengertian, hubungan,
tanggung jawab peran)
6. Berikan informasi
mengenai nyeri, seperti
penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan
dirasakan dan antisipasi
akan ketidaknyamanan
akibat prosedur.
7. Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri
8. Ajarkan teknik non
farmakologis (seperti:
biofeeback, TENS,
hypnosis,
relaksasi,bimbingan
antisipatif, terapi music,
terapi bermain, terapi
aktifitas, akupresur,
aplikasi panas/dingin
dan pijatan)
9. Berikan penurun nyeri
yang optimal dengan

24
resepan analgesik dari
dokter.
4 Kelebihan volume Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam Fluid
cairan Kelebihan volume cairan dapat teratasi dengan kriteri management(4120)
hasil: 1. Pertahankan catatan
Keseimbangan cairan (0601) intake dan output yang
Tujuan akurat
No Indikator Awal 2. Pasang urin kateter jika
1 2 3 4 5 diperlukan
1 Tekanan darah 3. Monitor hasil lab yang
sesuai dengan retensi
2 Denyut nadi radial cairan (BUN, Hmt ,
osmolalitas urin )
3 Keseimbangan intake
4. Monitor status
dan output dalam 24
hemodinamik termasuk
jam
CVP, MAP, PAP, dan
4 Berat badan stabil PCWP
5. Monitor vital sign
5 Turgor kulit 6. Monitor indikasi retensi/
Keterangan: kelebihan cairan (cracles,
1. Sangat terganggu CVP , edema, distensi
2. Banyak terganggu vena leher, asites)
3. Cukup terganggu 7. Kaji lokasi dan luas
4. Sedikit terganggu edema
5. Tidak terganggu 8. Monitor masukan
makanan / cairan dan
hitung intake kalori
harian
9. Monitor status nutrisi

25
10. Berikan diuretik sesuai
interuksi
11. Batasi masukan cairan
pada keadaan
hiponatrermi dilusi
dengan serum Na<130
mEq/l
12. Kolaborasi dokter jika
tanda cairan berlebih
muncul memburuk
5 Kerusakan integritas Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam Pengecekan kulit (3590)
kulit Kerusakan integritas kulit dapat teratasi dengan kriteria 1. Periksa kulit terkait
hasil: dengan adanya
Intregritas jaringan: Kulit dan membrane mukosa kemerahan, kehangatan
(1101) ekstrem, edema.
Tujuan 2. Amati kehangatan,
No Indikator Awal warna, bengkak, pulsasi,
1 2 3 4 5 tekstur, edema, dan
1 Suhu kulit ulserasi pada ekstemitas.
3. Monitor warna dan suhu
2 Sensasi (gatal) kulit.
4. Monitor infeksi terutama
3 Elastisitas
dari daerah edema.
4 Intregitas kulit 5. Ajarkan amggota
keluarga/pemberi asuhan
5 Tekstur mengenai tanda-tanda
6 Keringat keruskan kulit dengan
tepat.
Keterangan:

26
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
6 Mual (Nausea) Setelah dilakukan perawatan 1x24 jam diharapkan mual 1450. Manajemen Mual
dapat teratasi dengan kriteri hasil: 1. Dorong pasien
Nafsu Makan (1014) memantau
Tujuan pengalaman dir
No Indikator Awal terhadap mual
1 2 3 4 5 2. Drong pasien belajar
1 Hasrat/Keinginan mengatasi mual
untuk makan sendiri
3. Monitor efek dari
2 Menyenangi makanan manajemen mual
secara keseluruhan
3 Merasakan makanan
2300. Pemberian Obat
4 Energi untuk makan 1. Kolaborasi
pemberian obat
5 Intake makanan, 2. Bantu klien dalam
nutrisi, cairan pemberian obat
Keterangan: 3. Berikan obat sesuai
1. Sangat terganggu dengan teknik dan
2. Banyak terganggu cara yang tepat
3. Cukup terganggu 4. Ikuti prosedur 5
4. Sedikit terganggu benar dalam
5. Tidak terganggu pemberian obat

27
7 Intoleransi Aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 (4310) Terapi Aktivitas
jam, diharapkan aktivitas kembali normal dengan kriteri 1. Pertimbangkan
hasil: kemampuan klien dalam
Toleransi terhadap aktivitas (0005) berpartisipasi melalui
Tujuan aktivitas spesifik.
No Indikator Awal 2. Bantu klien tetap fokus
1 2 3 4 5 pada kekuatan [yang
1 SpO2 ketika dimilikinya]
beraktivitas dibandingkan dengan
kelemahan yang
2 Frekuensi nadi dimilikinya].
ketikaberaktivitas 3. Bantu dengn aktivits fisik
secara teratur sesuai
3 Frekuensi pernapasan
dengan kebutuhan.
ketika beraktivitas
4. Bantu klien untuk
4 Kemudahan bernafas meningkatkan motivasi
ketika beraktivitas diri dan penguatan.
(0180 Manajemen Energi).
5 Kemudahan dalam 1. Kaji status fisiologis
melakukan ADL asien yang menyebabkan
Keterangan: kelelahan sesuai dengan
1. Sangat terganggu konteks usia dan
2. Banyak terganggu perkembangan.
3. Cukup terganggu 2. Anjurkan pasien
4. Sedikit terganggu mengungkapkan secara
5. Tidak terganggu verbal keterbatasan yang
dialami.
3. Pilih intervensi untuk
mengurangi kelelahan

28
baik secara famakologis
maupun non
farmakologis dengan
tepat.
4. Kurangi
ketidaknyamanan fisik
yang dialami pasien yang
bisa mempengaruhi
fungsi kognitif,
pemantauan diri, dan
pengaturan aktivtas
pasien.
8. Ketidakefektifan perfusi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 (4062) Perawatan
jaringan perifer jam, diharapkan ketidakefektifan perfusi jaringan sirkulasi: Insufiensi Arteri
perifer dapat teratasi dengan kriteri hasil: 1. Lakukan pemeriksaan
Perfusi jaringan: Perifer (0407) fisik system
Tujuan kardiovaskuler atau
No Indikator Awal penilaian yang
1 2 3 4 5 komprrehensif pada
1 Pengisian kapiler jari sirkulasi perifer, missal
memeriksa nadi perifer,
2 Pengisian kapiler jari edema, warna dan suhu.
kaki 2. Evaluasi edema dan
denyut nadi
3 Suhu kulit ujuang kaki
3. Inspeksi kulit untuk
dan tangan
adanya luka atau
4 Edema perifer kerusakan jaringan.
5 Kekuatan denyut nadi

29
Keterangan: 4. Monitor tingkat
1. Deviasi berat dari kisaran normal/sangat berat ketidaknyamanan atau
2. Deviasi yang cukup besar dari kisaran adanya nyeri
normal/berat 5. Lindungi ujung kaki dan
3. Deviasi sedang dari kisaran normal/cukup tangan dari cidera
4. Deviasi ringan dari kisaran normal/ringan misalnya memakai kaos
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal/tidak ada kaki.
6. Instruksikan pada pasien
mengenai perawatan kaki
yang tepat.
7. Pelihara hidrasi yang
memadai untuk
menurunkan kekentalan
darah.
8. Monitor jumlah cairan
masuk dan keluar.

30
DAFTAR PUSTAKA

Herman T.H. & S. Komitsuru. 2018. Nanda Internasional Nursing Diagnosis:


Definition and Clasification 2018-2020. EGC. Jakarta
InfoDATIN. (2017). Situasi Penyakit Ginjal Kronis
Lumenta, Nico. (2006). Kenali Jenis Penyakit dan Cara Penyembuhannya:
MANAJEMEN HIDUP SEHAT. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Retrieved
from
https://books.google.co.id/books?id=g5Lbitu6jPoC&pg=PA42&dq=ANATOMI
+GINJAL&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwichs2Npb3lAhUg8HMBHVo0BbYQ6
AEILzAB#v=onepage&q=ANATOMI%20GINJAL&f=false
Kowalak, Jennifer P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Lukman, Nabila et al. (2013). Hubungan Tindakan Hemodialisa dengan Tingkat


Depresi Klien Penyakit Ginjal Kronik di BLU RSUP Prof.Dr.R.D. Kandou
Manado. E-Journal Keperawatan (e-Kp). Vol 1. No 1.

National Kidney Foundation. (2010). High Blood Pressure and Chronic Kidney
Disease For People with CKD Stages 1–4. Dalam National Kidney Foundation.
New York.

Prince,S.A.,dan Wilson,L.M.(2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta:EGC.

Smeltzer, S. C. dan B. G. Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Brunner &


Suddarth Vol.1 Edisi 8. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C., et al. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI

Wartonah, Tarwoto. (2006). Jakarta: Salemba Medika.

31

Anda mungkin juga menyukai