Anda di halaman 1dari 29

TUGAS

"PERJALANAN OBAT DALAM TUBUH PADA


PASIEN KELAINAN GINJAL"

Di Susun Oleh:
ANI NURYANI ISMAYANTI
NPM: 17344054
Kelas E

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL (ISTN)


JAKARTA

TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik
dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini membahas mengenai Migrain.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kelainan Ginjal

2.2 Macam-macam Gagal Ginjal

2.3 Perjalanan Klinis Gagal Ginjal

2.4 Pengobatan

2.5 Perawatan Pendukung

2.6 Absorbsi, Distribusi, Metabolisme, dan Eksresi (ADME)

2.7 Pemilihan dan Interaksi Obat

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicable diseases)


terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit ginjal
kronik, sudah menggantikan penyakit menular (communicable diseases) sebagai
masalah kesehatan masyarakat utama.

Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi sistem vaskuler sehingga dapat
membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini sebelum pasien mengalami
komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, dan
penyakit pembuluh darah perifer.

Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan terapi
pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya
desertai berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran napas,
penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia.

Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis dan
pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit ginjal
kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal. Bukti ilmiah
menunjukkan bahwa komplikasi penyakit ginjal kronik, tidak bergantung pada etiologi,
dapat dicegah atau dihambat jika dilakukan penanganan secara dini. Oleh karena itu,
upaya yang harus dilaksanakan adalah diagnosis dini dan pencegahan yang efektif
terhadap penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan karena berbagai faktor risiko
untuk penyakit ginjal kronik dapat dikendalikan.

Gaya hidup yang bersifat negatif seperti merokok, mengkonsumsi alkohol, dan tidak
beraktifitas dapat memicu timbulnya berbagai penyakit diantaranya gagal ginjal kronik
(Kozier, 2004).
Di Swedia yang melibatkan 926 kasus dan 998 kelompok kontrol yang diamati selama
tahun 1996-1998 menemukan bahwa terdapat korelasi antara gaya hidup merokok,
kelebihan berat badan, intake protein terhadap gagal ginjal kronik.

Di Amerika dialami 2 setiap 1.000 penduduk dengan diabetes dan hipertensi sebagai
penyebab langsung (Silberberg, 2007).

Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal cukup tinggi mencapai
4.500 orang.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, maka dapat diasumsikan
beberapa pertanyaan penulisan yaitu:

a. Kelainan ginjal

b. Terapi obat kelainan ginjal

c. Perjalanan obat didalam tubuh

d. Pemilihan dan Interaksi obat kelainan ginjal

1.3 Tujuan

a. Sebagai pemenuhan tugas

b. Untuk memperluas wawasan pengetahuan tentang kelainan ginjal


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal
penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia
tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urine. (Sarwono, 2008)

Penyakit gagal ginjal ini dapat menyerang siapa saja yang menderita penyakit serius
atau terluka dimana hal itu berdampak langsung pada ginjal itu sendiri. Penyakit gagal
ginjal lebih sering dialamai mereka yang berusia dewasa, terlebih pada kaum lanjut
usia. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum
dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal. (Brunner & Suddarth, 2002: 1443).

Penyakit gagal ginjal akut adalah suatu penyakit dimana ginjal tidak dapat lagi
menjalankan fungsinya sebagai organ pembuangan, ginjal secara relatif mendadak tidak
dapat lagi memproduksi cairan urine yang merupakan cairan yang mengandung zat-zat
yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh dan harus dikeluarkan dari tubuh .Gagal ginjal
akut biasanya disertai oliguria (pengeluaran kemih <400ml/ hari). (Price and Wilson,
1995 : 885). Acute renal failure (ARF) is the rapid deterioration of renal function
associated with an accumulation of nitrogenous wastes in the body (azotemia).
(Ignatavicius et all, 1995: 2147). Secara umum, penyakit gagal ginjal adalah penyakit
akhir dari serangkaian penyakit yang menyerang traktus urinarius.

2.2 Macam-macam Gagal Ginjal

a. Gagal Ginjal Akut (GGA)

Gagal ginjal mendadak (acute renal failure) merupakan komplikasi yang sangat


gawat dalam kehamilan dan nifas , karena dapat menimbulkan kematian , atau
kerusakan fungsi ginjal yang tidak bisa sembuh lagi. Kejadiannya 1 dalam 1300-
1500 kehamilan.

Penderita yang mengalami sakit gagal ginjal mendadak ini sering dijumpai pada
kehamilan muda 12-18 minggu , dan kehamilan telah cukup bulan. Pada kehamilan
muda, sering disebabkan oleh abortus septik yang disebabkan oleh bakteri
Chlostridia welchii atau streptokokkus. Gambaran klinik yaitu berupa sepsis, dan
adanya tanda-tanda oliguria mendadak dan azothemia serta pembekuan darah
intravaskuler ( DIC = disseminated intravascular coagulation ) , sehingga terjadi
nekrosis tubular yang akut.

Kerusakan ini dapat sembuh kembali bila kerusakan tubulus tidak terlalu luas
dalam waktu 10-14 hari. Seringkali dilakukan tindakan histerektomi untuk
mengatasinya , akan tetapi ada peneliti yang menganjurkan tidak perlu melakukan
operasi histerektomi tersebut asal pada penderita diberikan antibiotika yang
adekuat dan intesif serta dilakukan dialisis terus menerus sampai fungsi ginjal
baik. Lainnya hal dengan nekrosis kortikal yang bilateral, biasanya dihubungkan
dengan solusia plasenta , pre-eklampsia berta atau eklampsia , kematian janin
dalam kandungan yang lama , emboli air ketuban yang menyebabkan terjadi DIC,
reaksi transfusi darah atau pada perdarahan banyak yang dapat menimbulkan
iskemi.

Penderita dapat meninggal dalam waktu 7-14 hari setelah timbulnya anuria.
Kerusakan jaringan dapat terjadi di beberapa tempat yang tersebar atau ke seluruh
jaringan ginjal. Pada masa nifas sulit diketahui sebabnya ,sehingga disebut sindrom
ginjal idiopatik postpartum. Penanggulangan pada keadaan ini penderita diberi
infus, atau transfusi darah, diperhatikan keseimbangan elektrolit dan cairan dan
segera dilakukan hemodialisis bila ada tanda-tanda uremia. Banyak penderita
membutuhkan hemodialisis secara teratur atau dilakukan transplantasi ginjal untuk
ginjal yang tetap gagal.

b. Gagal Ginjal Kronik (GGK)

terjadinya perlahan-lahan, tidak dapat sembuh. Dengan berobat teratur dapat


menghambat memburuknya fungsi ginjal.
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patalogis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria.

2.3 Perjalanan Klinis Gagal Ginjal

Perjalanan umum gagal ginjal dapat dibagi menjadi 3 stadium:

a. Stadium I

Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40 % - 75 %). Tahap inilah yang
paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita ini belum
merasasakan gejala gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam
masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN
(Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan
fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang
berat, sepersti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test GFR
yang teliti.

b. Stadium II

Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % - 50 %). Pada tahap ini penderita dapat
melakukan tugas-tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL menurun.
Pada stadium ini pengobatan harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan cairan,
kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat-obatan yang
bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya
dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada
tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru
mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-
beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.pada stadium ini kadar kreatinin
serum mulai meningkat melebihi kadar norma.

Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama
menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter /
hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5 %
- 25 % . faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gejala gejala kekurangan
darah, tekanan darah akan naik, aktifitas penderita mulai terganggu.

c. Stadium III

Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %). Semua gejala sudah jelas dan
penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat melakukan tugas sehari hari
sebaimana mestinya. Gejala gejala yang timbul antara lain mual, muntah, nafsu
makan berkurang., sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang
tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma.
Stadum akhir timbul pada sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR
nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml /
menit atau kurang.

Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat
mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai
merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi
mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita
biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/ hari karena
kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang tubulus
ginjal, Kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan
gejala gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam
tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan menggal kecuali ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

2.4 Pengobatan

Dalam beberapa kasus, penyakit ginjal kronis dapat berkembang menjadi gagal ginjal
tahap akhir (End-Stage Renal Disease/ESRD) atau established renal failure (ERF). Pada
tahap ini, ginjal berhenti bekerja dan mengancam hidup. Kondisi ini terjadi secara
perlahan-lahan dan jarang terjadi secara tiba-tiba. Namun banyak pengidap penyakit
ginjal tetap dapat memiliki ginjal yang berfungsi dengan baik sepanjang hidup mereka,
namun dengan menjalani perawatan.
Ada 3 terapi pengganti ginjal, yaitu:

a. Hemodialisis

Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah, dan “dialisis ” artinya
pemisahan zat-zat terlarut. Hemodialisis menggunakan mesin hemodialisis. Proses
terjadinya dialisis, tepatnya ada di Dializer (disebut alat ginjal buatan). 2 hal yang
paling Penting kenapa pasien gagal ginjal harus melakukan Dialisis adalah:

1) Untuk membuang kelebihan air.

2) Untuk membuang sampah metabolisme (ureum, creatinin, asam urat), dan


kelebihan mineral, elektrolit (Fosfat, Kalium)

Prosedur:

1) Persiapan Sebelum Hemodialisa

a) Persiapan pasien

 Surat dari dokter penanggungjawab Ruang HD untuk tindakan


HD (instruksi dokter)

 Apabila dokter penanggung jawab HD tidak berada ditempat atau


tidak bisa dihubungi, surat permintaan tindakan hemodialisa
diberikan oleh dokter spesialis penyakit dalam yang diberi
delegasi oleh dokter penanggung jawab HD.
 Apabila pasien berasal dari luar RS ( traveling ) disertai dengan
surat traveling dari RS asal.

 Identitas pasien dan surat persetujuan tindakan HD

 Riwayat penyakit yang pernah diderita (penyakit lain)

 Keadaan umum pasien

 Keadaan psikososial

 Keadaan fisik (ukur TTV, BB, warna kulit, extremitas edema +/-)

 Data laboratorium: darah rutin,GDS,ureum, creatinin, HBsAg,


HCV, HIV, CT, BT

 Pastikan bahwa pasien benar-benar siap untuk dilakukan HD

b) Persiapan mesin

 Listrik

 Air yang sudah diubah dengan cara: Filtrasi, Softening,


Deionisasi, Reverse Osmosis

 Sistem sirkulasi dialisat: Sistem proporsioning, Acetate /


bicarbonate

 Sirkulasi darah

c) Persiapan alat

 Dialyzer

 Transfusi set

 Normal saline 0.9%

 AV blood line
 AV fistula

 Spuit

 Heparin

 Lidocain

 Kassa steril

 Duk

 Sarung tangan

 Mangkok kecil

 Desinfektan (alkohol/betadin)

 Klem

 Matkan

 Timbangan

 Tensimeter

 Termometer

 Plastik

 Perlak kecil

d) Langkah-langkah

 Setting dan priming

 Mesin dihidupkan
 Lakukan setting dengan cara: keluarkan dialyzer dan AV
blood line dari bungkusnya, juga slang infus / transfusi set
dan NaCl (perhatikan sterilitasnya)

 Sambungkan normal saline dengan seti infus, set infus


dengan selang arteri, selang darah arteri dengan dialyzer,
dialyzer dengan selang darah venous

 Masukkan selang segmen ke dalam pompa darah, putarlah


pump dengan menekan tombol tanda V atau Λ (pompa
akan otomatis berputar sesuai arah jarum jam)

 Bukalah klem pada set infus, alirkan normal saline ke


selang darah arteri, tampung cairan ke dalam gelas ukur

 Setelah selang arteri terisi normal saline, selang arteri


diklem

 Lakukan priming dengan posisi dialyzer biru (outlet) di atas dan


merah (inlet) di bawah

 Tekan tombol start pada pompa darah, tekan tombol V atau


Λ untuk menentukan angka yang diinginkan (dalam posisi
priming sebaiknya kecepatan aliran darah 100 rpm)

 Setelah selang darah dan dialyzer terisi semua dengan


normal saline, habiskan cairan normal sebanyak 500 cc

 Lanjutkan priming dengan normal saline sebanyak 1000 cc.


Putarlah Qb dan rpm

 Sambungkan ujung selang darah arteri dan ujung selang


darah venous

 Semua klem dibuka kecuali klem heparin


 Setelah priming, mesin akan ke posisi dialysis, start layar
menunjukkan “preparation”, artinya: consentrate dan RO
telah tercampur dengan melihat petunjuk conductivity telah
mencapai (normal: 13.8 – 14.2). Pada keadaan
“preparation”, selang concentrate boleh disambung ke
dialyzer

 Lakukan sirkulasi dalam. Caranya: sambung ujung blood


line arteri vena

 Dialyzer siap pakai ke pasien

Sambil menunggu pasien, matikan flow dialisat agar concentrate


tidak boros. Catatan: jika dialyzer reuse, priming 500 cc dengan
Qb 100 rpm sirkulasi untuk membuang formalin (UFG: 500, time
life 20 menit dengan Qb 350 rpm). Bilaslah selang darah dan
dialyzer dengan normal saline sebanyak 2000 cc

2) Punksi Akses Vaskuler

a) Punksi Cimino

Memulai Punksi Cimino:

 Memberikan anestesi lokal pada cimino (tempat yang akan


dipunksi) dengan spuit insulin 1 cc yang diisi dengan lidocain.

 Tusuk tempat cimino dengan jarak 8 – 10 cm dari anastomose

 Tusuk secara intrakutan dengan diameter 0,5 cm

 Memberikan anestesi lokal pada tusukan vena lain

 Bekas tusukan dipijat dengan kassa steril

b) Punksi Femoral

Cara Melakukan Punksi Femoral:


 Obeservasi daerah femoral (lipatan), yang aka digunakan
penusukan

 Letakkan posisi tidur pasien terlentang dan posisi kaki yang akan
ditusuk fleksi

 Lakukan perabaan arteri untuk mencari vena femoral dengan cara


menaruh 3 jari di atas pembuluh darah arteri, jari tengah di atas
arteri

 Dengan jari tengah 1 cm ke arah medial untuk penusukan jarum


AV Fistula

3) Memulai Hemodialisa

Sebelum dilakukan punksi dan memulai hemodialisa, ukur tanda-tanda vital


dan berat badan pre hemodialisa

a) Setelah selesai punksi, sirkulasi dihentikan, pompa dimatikan, ujung


AV blood line diklem

b) Lakukan reset data untuk menghapus program yang telah dibuat, mesin
otomatis menunjukkan angka nol (0) pada UV, UFR, UFG dan time
left

c) Tentukan program pasien dengan menghitung BB datang – BB standar


+ jumlah makan saat hemodialisa

d) Tekan tombol UFG = target cairan yang akan ditarik

e) Tekan tombol time left = waktu yang akan diprogram

f) Atur concentrate sesuai kebutuhan pasien (jangan merubah Base Na +


karena teknisi sudah mengatur sesuai dengan angka yang berada di
gallon. Na = 140 mmol)

g) Tekan tombol temperatur (suhu mesin = 360C – 370C)


h) Buatlah profil yang sesuai dengan keadaan pasien

i) Berikan kecepatan aliran darah 100 rpm

j) Menyambung selang fistula inlet dengan selang darah arteri

 Matikan (klem) selang infus

 Sambungkan selang arteri dengan fistula arteri (inlet)

 Masing-masing kedua ujung selang darah arteri dan fistula di-


swab dengan kassa betadine sebagai desinfektan

 Ujung selang darah venous masukkan dalam gelas ukur

 Hidupkan pompa darah dan tekan tombol V atau Λ 100 rpm

 Perhatikan aliran cimino apakah lancar, fixasi dengan micropore.


Jika aliran tidak lancar, rubahlah posisi jarum fistula

 Perhatikan darah, buble trap tidak boleh penuh (kosong),


sebaiknya terisi ¾ bagian

 Cairan normal saline yang tersisa ditampung dalam gelas ukur


namanya cairan sisa priming

 Setelah darah mengisi semua selang darah dan dialyzer, matikan


pompa darah

k) Menyambung selang darah venous dengan fistula outlet

 Sambung selang darah venous ke ujung AV fistula outlet (kedua


ujungnya diberi kassa betadine sebagai desinfektan). Masing-
masing sambungan dikencangkan)

 Klem pada selang arteri dan venous dibuka, sedangkan klem


infus ditutup
 Pastikan pada selang venous tidak ada udara, lalu hidupkan
pompa darah dari 100 rpm sampai dengan yang diinginkan

 Tekan tombol UF pada layar monitor terbaca “dialysis”

 Selama proses hemodialisa ada 7 lampu hijau yang menyala


(lampu monitor, on, dialysis start, pompa, heparin, UF dan Flow)

 Rapikan peralatan

4) Penatalaksanaan Selama Hemodialisa

a) Memprogram dan memonitor mesin hemodialisa

 Lamanya HD

 QB (kecepatan aliran darah) 150 – 250 cc/menit

 QD (kecepatan aliran dialisa) 500 cc/menit

 Temperatur dialisat 370C

 UFR dan TMP otomatis

 Heparinisasi: Dosis awal: 25 – 50 unit/kgBB diberikan pada


waktu punksi. Dosis maintenance 500 – 2000 u/jam diberikan
pada waktu HD berlangsung

 Pemeriksaan (laboratorium, ECG, dll)

 Pemberian obat-obatan, transfusi, dll

 Monitor tekanan

b) Observasi pasien

 Tanda-tanda vital

 Fisik
 Perdarahan

 Sarana hubungan sirkulasi

 Posisi dan aktivitas

 Keluhan dan komplikasi hemosialisa

5) Mengakhiri Hemodialisa

a) Persiapan alat

 Piala

 ginjal

 Kassa steril

 Betadine solution

 Sarung tangan tidak steril

 Perban gulung

 Band aid (pelekat)

 Gunting

 Nebacetin powder antibiotic

 Thermometer

 Micropore

b) Pelaksanaan

 Perawat mencuci tangan

 Perawat memakai sarung tangan


 Mesin menggunakan UFG reached = UFG sudah tercapai (angka
UV = angka UF)

 Jika proses hemodialisa sudah selesai, posisi mesin akan terbaca


“Reinfusion”

 Sebelum 5 menit selesai, pasien diobservasi tanda-tanda vital

 Kecilkan kecepatan aliran darah (pompa darah) sampai 100 rpm


lalu matikan

 Klem pada fistula arteri dan selang darah arteri

 Cabutlah fistula outlet (venous), tekan bekas tusukan dengan


kassa betadine, tutuplah bekas tusukan dengan kassa betadine

 Bilaslah fistula, selang darah dan dializer dengan normal saline


secukupnya sampai bersih dan gunakan kecepatan aliran darah
100 rpm

 Cabutlah fistula outlet (venous), tekan bekas tusukan dengan


kassa betadine

 Jika tidak ada darah bekas tusukan, maka berilah nebacetin


powder dan tutuplah bekas tusukan dengan Band Aid (K/p
dibalut dengan perban gulung)

 Berilah fixasi dengan micropore pada perban gulung

 Observasi tanda-tanda vital pasien

 Kembalikan alat-alat ke tempat semula

 Perawat melepas sarung tangan

 Perawat mencuci tangan


b. Dialisis Peritoneal

Membuang sebagian air, dan racun melalui medium rongga perut (peritoneum).

Dialisis Peritoneal itu gambar B: cairan dianeal /cairan bilasan ada di kantong luar
⇒ dimasukkan ke dalam rongga perut, diganti tiap 3- 4 kali sehari tergantung
kebutuhan.

Cairan bilasan yang dimasukkan ke dalam perut  akan didiamkan di dalam perut
(untuk menarik kelebihan air, elektrolit , dan racun) selama sekitar 5 jam nanti
dibuang lagi untuk diganti cairan dianeal baru.

c. Transplantasi Ginjal

Mencangkokkan ginjal normal dari sang pendonor ke dalam tubuh pasien untuk
menggantikan ginjal yang gagal.  Membutuhkan prosedur operasi atau bedah organ
dalam.
2.5 Perawatan pendukung

Perawatan pendukung bertujuan terbatas, yaitu hanya untuk meringankan gejala yang
dirasakan penderita stadium akhir. Pada umumnya perawatan pendukung diberikan
pada penderita gagal ginjal yang tidak ingin melakukan cuci darah atau transplantasi
ginjal.

a) Menjaga Tekanan Darah

Tekanan darah tinggi dapat mempercepat perkembangan kerusakan ginjal. Oleh


sebab itu penting untuk mengontrol tekanan darah, yang dapat dilakukan dengan
mengubah gaya hidup seperti mengurangi konsumsi garam dan mengurangi berat
badan.

Namun jika perubahan ini belum cukup untuk mengontrol tekanan darah, Anda
mungkin membutuhkan obat-obat antihipertensi seperti penghambat ACE
(angiotensin converting enzyme inhibitor). Obat penghambat ACE memberikan
perlindungan tambahan pada ginjal dan mengurangi tekanan pada pembuluh
darah. Contoh penghambat ACE adalah ramipril dan lisinorpil. Golongan obat ini
dapat menyebabkan efek samping berupa batuk kering, sakit kepala, dan lemah.
Gejala-gejala ini dapat hilang setelah beberapa hari pemakaian, meski pada
beberapa penderita batuk kering tetap muncul.

Selain itu terdapat juga obat anti-hipertensi yang disebut angiotensin-II receptor
blocker (ARB) meliputi: valsartan, irbesartan, dan losartan. Efek samping dari
jenis obat ini jarang namun tetap ada, misalnya rasa pusing.
b) Perbaikan Keseimbangan Fosfat

Kelebihan fosfat pada tubuh biasanya disaring oleh ginjal. Namun penumpukan
fosfat akan terjadi pada ginjal yang tidak berfungsi dengan baik, seperti yang
dapat terjadi pada pengidap penyakit ginjal stadium empat atau lima. Maka dari
itu, pengidap penyakit ginjal stadium menengah ke atas akan disarankan untuk
mengurangi konsumsi fosfat yang umumnya terkandung dalam daging merah,
makanan produk susu, telur, dan ikan.
Selain itu, penderita akan disarankan untuk mengonsumsi obat-obatan yang
disebut pengikat fosfat. Contoh pengikat fosfat yang paling umum digunakan
adalah kalsium karbonat. Walau jarang terjadi, pengikat fosfat dapat
menimbulkan efek samping yang meliputi: konstipasi, diare, mual, sakit
perut, perut kembung, ruam serta gatal-gatal pada kulit.
c) Mengurangi Kadar Kolesterol

Beberapa faktor risiko GGK seperti tekanan darah tinggi dan tingginya kadar
kolesteroldalam darah, sama dengan faktor risiko serangan jantung dan stroke.

Dengan memiliki faktor risiko yang sama, pengidap GGK berisiko lebih tinggi
menderita sakit jantung, termasuk serangan jantung atau stroke.

Oleh sebab itu, Anda akan disarankan mengonsumsi statin untuk membantu
mengurangi risiko serangan jantung atau stroke. Statin bekerja dengan
menghambat efek enzim dalam hati Anda yang berguna untuk membentuk
kolesterol, pemicu serangan jantung.

Pada beberapa kasus, statin dapat menyebabkan sakit otot, lemas, dan nyeri.
Sementara efek samping lebih ringan yang dapat timbul adalah sakit perut,
konstipasi, diare, dan sakit kepala.

d) Konsumsi Suplemen Zat besi dan Vitamin D

Anemia atau kondisi saat tubuh tidak memiliki cukup sel darah merah, banyak
diderita pengidap GGK stadium tiga ke atas. Suplemen zat besi untuk produksi
sel-sel darah merah biasanya akan diberikan untuk mengatasinya. Zat ini dapat
diberikan dalam bentuk tablet seperti ferri sulfat.

Hormon eritropoietin yang membantu tubuh memproduksi sel darah merah juga
bisa disuntikkan jika langkah-langkah di atas tidak dapat mengatasi
anemia. Hormon ini bisa diberikan dalam bentuk suntikan ke dalam pembuluh
darah atau di bawah kulit (subkutan).
Selain itu, pengidap penyakit ginjal berisiko kekurangan vitamin D yang penting
untuk tulang. Ini dikarenakan ginjal tidak dapat berfungsi mengaktifkan vitamin
D dari makanan dan sinar matahari. Sehingga umumnya Anda akan mendapatkan
suplemen vitamin D seperti calcitriol.

2.6 Absorbsi, Distribusi, Metabolisme, dan Eksresi (ADME)

Para ahli telah memberikan nama untuk empat tahap dasar perjalanan obat dalam
tubuh: penyerapan/absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Seluruh proses ini
disingkat ADME. Ahli farmasi lainnya juga membagi kedalam 4 fase yakni farmasetika
(pra-formulasi dan formulasi obat), biofarmasetika (ketika obat masuk dalam tubuh
hingga obat terlepas dari pembawanya hingga akan diabsorbsi), farmakokinetika (Obat
diabsorbsi ke dalam darah, yang akan segera didistribusikan melalui tiap-tiap jaringan
dalam tubuh), farmakodinamika (interaksi obat-reseptor obat, fase metabolisme dan
eksresi obat).

a. Absorbsi

Tahap pertama adalah penyerapan. Obat-obatan bisa masuk ke dalam tubuh dalam
berbagai cara, dan mereka diserap ketika mereka melakukan perjalanan dari
berbagai rute pemberian/administrasi ke dalam sirkulasi tubuh.

Beberapa cara yang paling umum seperti melalui mulut/oral (menelan tablet
aspirin), intramuskular (mendapatkan vaksinasi flu dalam otot lengan), subkutan
(suntik insulin tepat di bawah kulit), intravena (menerima kemoterapi melalui
pembuluh darah), atau transdermal (memakai patch kulit).

Obat menghadapi rintangan terbesarnya selama penyerapan. Ketika obat diminum,


maka akan diantarkan melalui saluran pencernaan dan diabsorbsi melalui
pembuluh darah khusus menuju ke hati, di mana sejumlah besar obat dapat
dihancurkan oleh enzim metabolik pada apa yang disebut “lintas pertama obat/first
fast effect.” Rute lain dari pemberian obat yang melewati hati dengan memasuki
aliran darah secara langsung atau melalui kulit atau paru-paru.

b. Distribusi

Setelah obat diserap, tahap berikutnya adalah distribusi. Pada umumnya aliran


darah akan membawa obat-obatan ke seluruh tubuh. Selama langkah ini, efek
samping dapat terjadi ketika obat memiliki efek dalam organ selain organ target.
Untuk pereda nyeri, organ sasaran mungkin otot sakit di kaki; iritasi lambung bisa
menjadi efek samping. Banyak faktor yang mempengaruhi distribusi, seperti
kehadiran molekul protein dan lemak dalam darah yang dapat menempatkan
molekul obat terikat untuk membawa ketempat yang dituju.

Obat yang ditargetkan menuju sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang
belakang) akan menghadapi rintangan besar yakni barikade yang hampir tak
tertembus disebut penghalang darah-otak/blood brain barrier. Blokade ini
dibangun khusus berbentuk kapiler berlapis yang bersama-sama untuk melindungi
otak dari zat-zat yang berbahaya seperti racun atau virus. Namun ahli farmasi telah
merancang berbagai cara untuk menyelinap beberapa obat melewati penghalang
ini.

c. Metabolisme

Setelah obat telah didistribusikan ke seluruh tubuh dan telah melakukan tugasnya,
obat akan pecah, atau dimetabolisme. Penguraian dari molekul obat biasanya
melibatkan dua langkah yang terjadi sebagian besar di pabrik pengolahan kimia
tubuh, yakni hati.

Hati adalah organ penting yang bekerja terus menerus. Semua yang memasuki
aliran darah baik itu melalui jalur oral, injeksi, inhalasi, kulit atau yang diproduksi
oleh tubuh secara alami akan dimetabolisme di hati.

Proses biotransformasi yang terjadi di hati dilakukan oleh protein dan enzim.


Setiap satu sel manusia memiliki berbagai enzim, yang diambil dari ratusan ribu
repertoar. Masing-masing enzim mengkhususkan diri dalam pekerjaan tertentu.
Beberapa mampu memecah molekul obat, sementara yang lain menghubungkan
molekul kecil menjadi rantai panjang. Reaksi dengan obat membuat suatu substansi
yang lebih mudah untuk dibuang melalui urin. Tidak heran minum obat tertentu
maka warna urin akan berubah.

d. Eksresi

Banyak produk dari hasil pemecahan enzimatik yang biasa disebut metabolit,
biasanya merupakan senyawa yang kurang aktif dari molekul asli obatnya. Untuk
alasan ini, para ilmuwan menyebut hati sebagai organ “detoksifikasi”. Kadang-
kadang metabolit obat yang dihasilkan dapat memiliki kegiatan kimia mereka
sendiri, bahkan memiliki kekuatan serupa dari obat aslinya. Ketika meresepkan
obat-obatan tertentu, dokter harus memperhitungkan efek samping ini. Setelah
enzim hati menyelesaikan pekerjaannya dalam membuat metabolit obat,
selanjutnya akan mengalami tahap akhir waktu dalam tubuh, yakni ekskresi dimana
akan keluar melalui urine atau feses, terkadang melalui keringat.

2.7 Pemilihan dan Interaksi Obat

Penyakit ginjal tidak hanya terdiri dari satu jenis saja. Terdapat dua jenis penyakit
ginjal, akut (kondisi sakit terjadi dalam waktu relatif cepat/tiba-tiba/kurang dari 2
minggu) dan kronik (terjadi perlahan dalam jangka waktu yang lama, > 2 minggu dan
biasanya terjadi kelainan fungsi ginjal yang menetap). Penyakit ginjal akut terbagi-bagi
lagi menjadi jenis yang spesifik, begitu juga penyakit ginjal kronis.

Penyakit ginjal yang menyebabkan kelainan struktur ginjal dan penurunan fungsi ginjal
tentunya harus memperhatikan konsumsi obat tertentu, terutama yang dimetabolisme
oleh ginjal. Selain itu kondisi tubuh pasien secara spesifik juga mempengaruhi jenis
obat apa saja yang harus diperhatikan efeknya pada kondisi penyakit ginjal yang Ia
alami.

Untuk menentukan obat apa saja yang perlu diwaspadai, sebaiknya mengkonsultasikan
langsung kondisi penyakit ginjal kepada Dokter. Sebab Dokter yang melakukan
pemeriksaan medis langsung pada pasien dan memegang data-data medis pasien lah
yang paling mengetahui kondisi pasien dan dengan demikian dapat merancang
penanganan yang terbaik.
Pada kondisi penyakit ginjal yang sudah mengalami penurunan fungsi ginjal signifikan,
biasanya Dokter mempertimbangkan pemberian dosis dan waktu kerja obat di dalam
tubuh yang biasanya tidak sama dengan pasien tanpa gangguan fungsi ginjal.

Pengobatan yang dilakukan pada penyakit ginjal bertujuan untuk mengatasi tanda,
gejala, dan komplikasi yang muncul akibat kondisi ini. Pengobatan yang dilakukan
adalah:

a. Obat untuk hipertensi

b. Obat-obatan untuk rasa sakit (sakit kepala, punggung)

c. Antibiotik untuk infeksi saluran kemih

d. Diet rendah garam

e. Obat diuretik yang berfungsi membuang cairan berlebih di dalam tubuh

f. Dialisis (cuci darah) dan transplantasi ginjal pada penyakit ginjal yang sangat
parah

Penggunaan β-blocker sebenarnya memerlukan perhatian yang khusus terutama pada


pasien gagal ginjal. Hal ini karena terapi hipertensi dengan ß-bloker pada penderita
gagal ginjal kronik telah dilaporkan menyebabkan fungsi ginjal menurun, efek ini
mungkin disebabkan karena terjadi pengurangan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerolus akibat pengurangan curah jantung dan penurunan tekanan darah oleh obat
(Ganiswarna, 1995). Namun pertimbangan penggunaan β-blocker kardioselektif seperti
Bisoprolol pada pasien gagal ginjal disamping untuk mengontrol tekanan darah adalah
untuk mengurangi terjadinya resiko infark, jantung koroner, mengurangi kebutuhan O2
dari jantung, serta untuk menstabilkan kontraktilitas miokard (Munar dan Singh, 2007).

Selain obat-obat tersebut, dalam penanganan hipertensi pada pasien gagal ginjal juga
digunakan kombinasi terapi lainya dari obat seperti Clonidine, Amlodipine, serta obat
golongan Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) yaitu Losartan dan Valsartan
(Ganiswarna, 1995., Sjamsiah, 2005). Hal ini dilakukan untuk tujuan mengontrol
tekanan darah pasien yang sebagian besar fluktuatif akibat kondisi ginjal pasien yang
telah menurun (Sjamsiah, 2005).

Penggunaan obat non anti hipertensif terbesar adalah penggunaan CaCO 3 dan Asam
Folat. Secara garis besar, CaCO3 digunakan sebagai buffer dalam penanganan kondisi
asidosis metabolik yang terjadi pada hampir seluruh pasien gagal ginjal karena
kesulitan dalam proses eliminasi buangan asam hasil dari metabolisme tubuh
(Sjamsiah, 2005). CaCO3 juga digunakan dalam penanganan kondisi hiperfosfatemia
pasien. Hiperfosfatemia pada pasien gagal ginjal terjadi akibat pelepasan fosfat dari
dalam sel karena kondisi asidosis dan uremik yang sering terjadi. CaCO 3 bekerja
dengan mengikat fosfat pada saluran pencernaan sehingga mengurangi absorpsi fosfat
(Sweetman, 2007). Terapi dengan Asam Folat digunakan dalam penanganan kondisi
anemia yang muncul pada pasien kondisi uremia, defisiensi asam folat, defisiensi besi,
defisiensi vitamin B12, dan akibat fibrosis sumsum tulang belakang (Suhardjono, et al.,
2001).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal
penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia
tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urine.

Terdapat dua macam gagal ginjal, yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Dan
sejauh ini dunia kedokteran belum menemukan obat untuk menyembuhkannya, karena
penyakit ini tergolong sebagai kerusakan organ tubuh.

Ada 3 terapi pengganti ginjal, yaitu hemodialisis, dialisis peritoneal dan transplantasi
ginjal. Hemodialisis merupakan salah satu dari Terapi Pengganti Ginjal, yang
digunakan pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal, baik akut maupun kronik.

Dalam penanganan hipertensi pada pasien gagal ginjal juga digunakan kombinasi terapi
lainya dari obat seperti Clonidine, Amlodipine, serta obat golongan Angiotensin
Reseptor Blocker (ARB) yaitu Losartan dan Valsartan. Sedangkan penggunaan obat
non anti hipertensif terbesar adalah penggunaan CaCO3 dan Asam Folat.
Para ahli telah memberikan nama untuk empat tahap dasar perjalanan obat dalam tubuh
yaitu penyerapan/absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Seluruh proses ini
disingkat ADME.

3.2 Saran

Sakit dan sehat memang sudah ada yang mengatur takdir kita sebagai manusia. Tetapi
kita bisa menjauhkan keadaan sakit itu dengan berusaha untuk tetap prima dan fit agar
tubuh kita tetap sehat dengan cara Pola Hidup Sehat, yaitu dengan pola makan dan
minum yang sehat, Olahraga yang cukup, Hygienis, dan istirahat yang cukup.Jika
mengalami keadaan tubuh yang kurang sehat segeralah berobat untuk mendapatkan
tindakan dan pengobatan secara dini sebelum terjadi sakit yang kronis.

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswarna, S., G, 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi 4,Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Sjamsiah, S. 2005. Farmakoterapi Gagal Ginjal.Surabaya : Universitas Airlangga.

Rahayu, Sri. 2013. “Anatomi dan Fisiologi”. Universitas Ibn Khaldun. Bogor.

Warianto, Chaidar. 2011. Gagal Ginjal. Unair. Ac. Id

Dewanto, Rudi. 2009. Gagal Ginjal. Teknomobi

Wikipedia Indonesia. Ensiklopediabebas. Id.wikipedia.org

Anda mungkin juga menyukai